BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah I zainal.pdf · perbuatan yang bertentangan dengan...

33
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Kehidupan sehari-hari di dalam masyarakat Indonesia sering terjadi peristiwa yang tidak dikehendaki oleh masyarakat, baik itu perubahan yang dilarang oleh undang undang sebagai tindak pidana atau perbuatan lain yang tidak menyenangkan. Perbuatan atau tindak pidana itu memang harus ditangani secara benar sehingga tidak terjadi eigenricthing (main hakim sendiri) seperti yang sering terjadi dewasa ini. Perbuatan eignricthing sangat tidak menguntungkan dalam kehidupan hukum karena dengan demikian proses hukum menjadi tidak dapat dilakukan terhadap pelaku kejahatan. Perbuatan yang mengandung unsur kriminal dapat dipidana atau tidak dipidana, maka selalu muncul rumus : criminal act (perbuatan yang dilarang) ditambah criminal responsibilitry (pertanggungjawaban pidana) sama dengan punishment atau criminal sanction. Sanksi pidana dalam kajian teoritis dikategorikan sebagai ultimum remedium, sebagai senjata pamungkas terakhir yang diberikan setelah sanksi lain seperti sanksi perdata maupun sanksi administrasi dijatuhkan dan tidak efektif. Esensi ini terkait dengan problematika pertanggungjawaban pidana (criminal responsibility) yang berkaitan dengan upaya menempatkan nilai sifat melawan hukum pada posisi yang sangat strategis.

Transcript of BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah I zainal.pdf · perbuatan yang bertentangan dengan...

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Kehidupan sehari-hari di dalam masyarakat Indonesia sering terjadi

peristiwa yang tidak dikehendaki oleh masyarakat, baik itu perubahan yang

dilarang oleh undang undang sebagai tindak pidana atau perbuatan lain yang

tidak menyenangkan. Perbuatan atau tindak pidana itu memang harus ditangani

secara benar sehingga tidak terjadi eigenricthing (main hakim sendiri) seperti

yang sering terjadi dewasa ini. Perbuatan eignricthing sangat tidak

menguntungkan dalam kehidupan hukum karena dengan demikian proses hukum

menjadi tidak dapat dilakukan terhadap pelaku kejahatan.

Perbuatan yang mengandung unsur kriminal dapat dipidana atau tidak

dipidana, maka selalu muncul rumus : criminal act (perbuatan yang

dilarang) ditambah criminal responsibilitry (pertanggungjawaban pidana) sama

dengan punishment atau criminal sanction. Sanksi pidana dalam kajian teoritis

dikategorikan sebagai ultimum remedium, sebagai senjata pamungkas terakhir

yang diberikan setelah sanksi lain seperti sanksi perdata maupun sanksi

administrasi dijatuhkan dan tidak efektif. Esensi ini terkait dengan problematika

pertanggungjawaban pidana (criminal responsibility) yang berkaitan dengan

upaya menempatkan nilai sifat melawan hukum pada posisi yang sangat strategis.

Berkembangnya suatu ajaran atau aliran, tidak terlepas dari perjalanan

panjang sejarah yang mempengaruhinya yang mau tidak mau diakui

eksistensinya. Demikian halnya dengan ajaran sifat melawan hukum, secara

teoritis sifat melawan hukum adalah penilaian yang sangat objektif terhadap

perbuatan kriminal yang dilakukan dan tidak saja berorientasi pada hubungan

sinergis faktor akal dan faktor kehendak tetapi juga menilai aspek kesalahan

dalam perilaku orang tersebut. Oleh karena sifat melawan hukum merupakan

persoalan yang bersinggungan dengan aspek psikologis, memang sebaiknya

pemanfaatan ilmu di luar hukum pidana menjadi penting terutama psikologi. Hal

ini untuk menentukan kadar sifat melawan hukum yang menyusuri secara

akademik aspek kesalahan yang dilakukan seseorang.

Munculnya penafsiran dalam pandangan sifat melawan hukum

memberikan perbedaan yang berujung pada tiga hal yaitu mencocoki undang-

undang, mencocoki hukum tidak tertulis atau gabungan keduanya. Sinergis

dengan hal itu adalah timbulnya ajaran sifat melawan hukum formal, sifat

melawan hukum matrerial yang kemudian terbagi dalam fungsi positif dan

negatif. Ajaran ini sesungguhnya terlihat lihat mencoba untuk memetakan

problematika sifat dalam diri manusia yang melakukan kesalahan. Jika

dihubungkan dengan asas-asas yang dikembangkan dalam hukum pidana hal ini

sangat berkaitan erat dengan asas tiada pidana tanpa kesalahan (geen straft zonder

schuld), yang menjadi tonggak bagi hukum tidak tertulis dalam menilai

kesalahan.

Perbuatan melawan hukum secara material adalah apabila perbuatan

tersebut dipandang tercela dalam suatu masyarakat. Hal ini meliputi perbuatan-

perbuatan yang bertentangan dengan norma-norma kesopanan yang lazim atau

bertentangan dengan keharusan dalam pergaulan hidup. Menurut Loebby Loqman

ukuran dari perbuatan melawan hukum material ini adalah bukan didasarkan ada

atau tidaknya ketentuan dalam suatu perundang undangan, akan tetapi ditinjau

dari nilai yang ada dalam masyarakat.1 Nilai-nilai yang ada dalam masyarakat ini

sukar untuk diukur secara nyata namun dapat dilihat dengan timbul reaksi dari

masyarakat terhadap suatu perbuatan yang dianggap tercela misalnya dalam

bentuk demonstrasi dan lain lain.

Hukum pidana bersifat ultimum remidium atau sebagai alat terakhir

apabila usaha usaha lain tidak bisa dilakukan, hal ini disebabkan karena sifat

pidana yang menimbulkan nestapa penderitaan, demikian Sudarto

mengemukakan pada pelaku kejahatan, sehingga sebisa mungkin dihindari

penggunaan pidana sebagai sarana pencegahan kejahatan.2 Tetapi tidak semua

orang berpendapat bahwa pidana itu menimbulkan penderitaan, setidak-

1 Loebby Loqman, 1991, “Beberapa Ihwal dalam UU No.3 Tahun 1971 tentang Pemberantasan

Tindak Pidana Korupsi,” Jakarta: Datakom, hal.25.

2 Sudarto, 1990, Hukum Pidana I, Yayasan Sudarto, Semarang, hal. 9.

tidaknya Roeslan Saleh mengemukakan bahwa dalam pidana itu mengandung

pikiran-pikiran melindungi dan memperbaiki pelaku kejahatan. Untuk

menjatuhkan pidana, harus dipenuhi unsur-unsur tindak pidana yang terdapat

dalam suatu pasal. Salah satu unsur dalam perbuatan pidana adalah sifat melawan

hukum (wederrechtelijke) baik yang secara eksplisit maupun yang secara implisit

ada dalam suatu pasal. Meskipun adanya sifat melawan hukum yang implisit dan

eksplisit dalam suatu pasal masih dalam perdebatan, tetapi tidak disangsikan lagi

bahwa unsur ini merupakan unsur yang harus ada atau mutlak dalam suatu tindak

pidana agar si pelaku atau terdakwa dalam dilakukan penuntutan dan pembuktian

di pengadilan.

Perbuatan melawan hukum (wederrechtelijkheid) dalam hukum pidana

dikenal ada dua macam, yaitu perbuatan melawan hukum dalam pengertian

formal dan perbuatan melawan hukum dalam pengertian material.3 Penerapan

ajaran melawan hukum material dalam tindak pidana korupsi sulit untuk

dilakukan, mengingat adanya suatu keterbatasan yang merupakan asas dalam

hukum pidana Indonesia yaitu keberadaan asas legalitas (principle of legality).

Kesulitan pembuktian unsur melakukan kejahatan atau pelanggaran dalam tindak

pidana korupsi adalah karena unsur tersebut hanya mengandung pengertian sifat

melawan hukum suatu perbuatan dalam artian formil saja yaitu hanya sekedar

3Muhammad Zainal Abidin & I Wayan Edy Kurniawan, 2013, Catatan Mahasiswa Pidana,

Penerbit Indie Publishlng, Depok, hal. 53.

membuktikan ada atau tidaknya perbuatan melawan hukum secara formil dari

pelaku terhadap peraturan perundang-undangan tertulis.

Unsur melawan hukum dari pelaku aktual sukar untuk dibuktikan, karena

seringkali adanya perbuatan-perbuatan yang dipandang oleh masyarakat sebagai

tindak pidana korupsi namun tak terjangkau oleh maksud undang-undang karena

kerancuan penempatan unsur melawan hukum. Dalam kenyataannya suatu

perbuatan yang dipandang tercela atau koruptif oleh masyarakat meskipun

perbuatannya tidak melawan hukum secara formil selalu lolos dari jangkauan

hukum karena kesulitan pembuktiannya. Di sini sifat melawan hukum suatu

perbuatan hanya ada dalam artian sempit saja, sehingga hanya sekedar

membuktikan ada atau tidaknya perbuatan melawan hukum pada undang-undang

secara normatif dari pelaku.

Kesulitan pembuktian pada tindak pidana korupsi adalah seperti yang

diungkapkan oleh Muladi bahwa perbuatan dari pelaku aktual , seperti halnya

dalam tindak pidana korupsi adalah “low visibility” yaitu perbuatan itu sulit

terlihat karena biasanya tertutup oleh pekerjaan normal yang rutin, melibatkan

keahlian profesional dan sistem organisasi yang komplek. Selanjutnya menurut

Muladi yang mengutip pendapat Don C. Gibbson Tipologi kejahatan dengan

karateristik “Low Visibility“ di lingkungan profesi, pelakunya dinamakan

“Profesional Fringe Violator” yang mencakup berbagai dimensi lapangan kerja

(notaris, wartawan, pengacara dan lain-lain). Contohnya adalah diajukannya

seorang akuntan publik yang berkolusi dengan wajib pajak untuk meringankan

pajak dan merugikan keuangan negara. Karenanya sangat sulit dalam persoalan

pembuktiannya. 4

Hukum pidana yang menjadi perhatian adalah perbuatan-perbuatan yang

bersifat melawan hukum saja, perbuatan-perbuatan inilah yang dilarang dan

diancam dengan pidana. Langemeyer mengatakan untuk melarang perbuatan yang

tidak bersifat melawan hukum, yang tidak dapat dipandang keliru, itu tidak

masuk akal. Sekarang soalnya ialah : apakah ukuran keliru atau tidaknya suatu

perbuatan? Mengenai hal ini ada dua pendapat. Yang pertama ialah apabila

perbuatan telah mencocoki larangan undang undang, maka disitu ada kekeliruan.

Letak melawan hukumnya perbuatan sudah ternyata dari sifat melanggar

ketentuan undang-undang kecuali jika termasuk perkecualian yang telah

ditentukan oleh undang-undang pula. Bagi mereka ini melawan hukum berarti

melawan undang undang, sebab hukum adalah undang undang. Pendirian

demikian dinamakan pendirian yang formal. Sebaliknya ada yang berpendapat

bahwa belum tentu kalau semua perbuatan yang mencocoki larangan undang

undang bersifat melawan hukum. Bagi mereka ini yang dinamakan hukum

bukanlah undang undang saja, disamping undang undang (hukum yang tertulis)

ada pula hukum yang tidak tertulis, yaitu norma-norma atau kenyataan-kenyataan

4 Muladi dan Barda Nawawi Arief, 1992, Bunga Rampai Hukum Pidana, Alumni, Bandung, hal.

69-93.

yang berlaku dalam masyarakat. Pendirian yang demikian dinamakan pendirian

yang material.5

Menurut Van Hattum, mengenai wederrechtelijkheid itu terdapat

perbedaan pendapat tentang apa yang disebut orang dengan perkataan formele

wederrechtelijkheid dengan apa yang disebut materieele wederrechtelijkheid atau

tentang apa yang disebut wederrechtelijkheid dalam arti formal dengan apa yang

disebut wederrechtelijkheid dalam arti material.6

Menurut ajaran wederrechtelijkheid dalam arti formal suatu perbuatan

hanya dapat dipandang sebagai bersifat wederrechtelijk apabila perbuatan

tersebut memenuhi semua unsur yang terdapat di dalam rumusan suatu delik

menurut undang-undang. Sedang menurut ajaran wederrechtelijkheid dalam arti

material, apakah suatu perbuatan itu dapat dipandang sebagai

bersifat wederrechtelijk atau tidak, masalahnya bukan saja harus ditinjau sesuai

dengan ketentuan-ketentuan hukum yang tertulis, melainkan juga harus ditinjau

menurut asas-asas hukum umum dari hukum yang tidak tertulis.7

Secara singkat ajaran sifat melawan hukum yang formal mengatakan

bahwa apabila suatu perbuatan telah mencocoki semua unsur yang termuat dalam

rumusan tindak pidana, perbuatan tersebut adalah tindak pidana. Sedangkan

5 Moeljatno. 2002, Asas-Asas Hukum Pidana Cetakan Ke-tujuh, PT. Rineka Cipta, Jakarta,

hal.130-131.

6 P.A.F. Lamintang, 1997, Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia, Cetakan III, PT. Citra Aditya

Bakti, Bandung, hal.350. 7 Ibid, hal.351.

ajaran yang material mengatakan bahwa di samping memenuhi syarat-syarat

formal, yaitu mencocoki semua unsur yang tercantum dalam rumusan delik,

perbuatan itu harus benar benar dirasakan oleh masyarakat sebagai perbuatan

yang tidak patut atau tercela.8 Sifat melawan hukum formal berarti : semua

bagian (tertulis dalam undang-undang) dari rumusan delik telah terpenuhi.

Sedangkan sifat melawan hukum material berarti : bahwa karena perbuatan itu,

kepentingan hukum yang dilindungi oleh rumusan delik tertentu telah dilanggar.9

Sedangkan Satochid Kartanegara, mengatakan bahwa wederrehtelijk

formil bersandar pada undang undang, sedangkan wederrechtelijk material bukan

pada undang undang, namun pada asas asas umum yang terdapat dalam lapangan

hukum atau apa yang dinamakan algemene beginsel.10

Kemudian Penjelasan Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 31 Tahun

1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah

dengan Undang Undang Nomor 20 Tahun 2001, menegaskan bahwa pengertian

“secara melawan hukum” adalah dalam pengertian formil maupun material. Hal

mana jelas dinyatakan dalam penjelasan umum undang-undang tersebut, yang

dikutip berbunyi sebagai berikut : “Agar dapat menjangkau berbagai modus

operandi penyimpangan keuangan negara atau perekonomian negara yang

8 Komariah Emong Sapardjaja, 2002 , Ajaran Sifat Melawan Hukum Material Dalam Hukum

Pidana Indonesia, Cetakan Ke-1, PT. Alumni, Bandung, hal.25.

9 D. Schaffmeister, N. Keijzer, Mr. E. PH. Sutorius, 2003, Hukum Pidana, Cetakan Ke-2, Editor

Penerjemah J.E. Sahetapy, Liberty, Yogyakarta, hal.50.

10 Leden Marpaung, 2005, Asas-Teori-Praktik Hukum Pidana, Cetakan Pertama, Sinar Grafika,

Jakarta, hal.45.

semakin canggih dan rumit, maka tindak pidana yang diatur dalam Undang-

undang ini dirumuskan sedemikian rupa sehingga meliputi perbuatan-perbuatan

memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi secara ‘melawan

hukum’ dalam pengertian formil dan material.” Selanjutnya penjelasan Pasal 2

ayat (1)-nya sendiri menyatakan bahwa:11

yang dimaksud dengan secara

‘melawan hukum’ dalam pasal ini mencakup perbuatan melawan hukum dalam

arti formil maupun dalam arti material, yakni meskipun perbuatan tersebut tidak

diatur dalam peraturan perundang undangan, namun apabila perbuatan tersebut

dianggap tercela karena tidak sesuai dengan rasa keadilan atau norma-norma

kehidupan sosial dalam masyarakat, maka perbuatan tersebut dapat dipidana.

Dengan penjelasan umum dan penjelasan Pasal 2 ayat (1) yang

sedemikian itu, maka, Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah

diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tersebut, menegaskan

bahwa dalam tindak pidana korupsi, pengertian perbuatan melawan hukum adalah

dalam pengertiannya yang formil mau-pun yang material. Hal tersebut mengingat

pula bahwa tindak pidana korupsi sudah dikategorikan sebagai kejahatan luar

biasa (extraordinary crime). Ini ditegaskan pula dalam konsideran Undang-

Undang Nomor 20 Tahun 2001 tersebut bahwa tindak pidana korupsi yang

selama ini terjadi secara meluas, tidak hanya merugikan keuangan negara, tetapi

juga telah merupakan pelanggaran terhadap hak-hak sosial dan ekonomi

11 Penjelasan Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah

dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001

masyarakat secara luas, sehingga tindak pidana korupsi perlu digolongkan

sebagai kejahatan yang pemberantasannya harus dilakukan secara luar biasa.12

Namun, Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia dengan Putusan

Nomor : 003/PUU-IV/2006 tertanggal 25 Juli 2006 dalam amarnya menyatakan

bahwa penjelasan Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 31 tahun 1999

sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001

tersebut, sepanjang yang mengenai pengertian perbuatan melawan hukum dalam

arti material, adalah bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara

Republik Indonesia Tahun 1945, sehingga menjadi tidak mempunyai kekuatan

hukum mengikat. Dengan demikian, sejak dijatuhkannya Putusan Mahkamah

Konstitusi Nomor : 003/PUU-IV/2006 tanggal 25 Juli 2006 tersebut, maka

pengertian perbuatan melawan hukum dalam tindak pidana korupsi yang diatur

dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan

Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tersebut, hanya perbuatan melawan

hukum dalam pengertian formil saja.13

Pandangan sociological jurisprudence, hukum yang baik adalah hukum

yang sesuai dengan hukum yang hidup di dalam masyarakat. Sesuai disini berarti

bahwa hukum itu mencerminkan nilai-nilai yang hidup di dalam masyarakat.14

12Lihat Konsidran point a menimbang dalam Undang undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang

Tindak Pidana korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang undang Nomor 20 Tahun 2001

13 Lihat Putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Nomor : 003/PUU-IV/2006 tertanggal

25 Juli 2006

14. Lili Rasjidi, & Ira Thania Rasjidi, 2007, Dasar-Dasar Filsafat dan Teori Hukum, Cetakan X,

PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, (selanjutnya disebut Lili Rasjidi, & Ira Thania Rasjidi, I ) hal.66.

Bahkan sociological jurisprudence yang menganggap pandangan pure science of

law sebagai amat terbatas dikaitkan dengan kehadiran hukum itu, sesungguhnya

berfungsi untuk menyelesaikan berbagai masalah sosial. Menurut pengikut aliran

ini, “We can understand what a thing is only if we examine what is does.”15

Tindak pidana korupsi adalah masalah sosial yang dihadapi oleh

masyarakat Indonesia sejak bertahun-tahun silam. Oleh karena tindak pidana

korupsi sebagai masalah sosial tidak juga dapat ditanggulangi dalam beberapa

dekade tersebut, maka Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang

Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan

Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001, merumuskan pengertian perbuatan

melawan hukum tidak saja dalam pengertian formil, melainkan juga dalam

pengertian material, satu dan lain agar dapat menjangkau berbagai modus

operandi tindak pidana korupsi yang semakin rumit dan canggih. Namun Putusan

Mahkamah Konstitusi tanggal 25 Juli 2006 Nomor : 003/PUU-IV/2006 tersebut

diatas, telah mengubah paradigma yang dimaksud dalam Undang undang tentang

pemberantasan korupsi dimaksud, sehingga pengertian perbuatan melawan

hukum dalam tindak pidana korupsi hanya menjadi perbuatan melawan hukum

dalam pengertian formil saja, dalam arti dikatakan telah terjadi perbuatan

melawan hukum hanya apabila telah melanggar peraturan perundang undangan

atau peraturan tertulis saja.

15 Lili Rasjidi, & Ira Thania Rasjidi, 2010, Pengantar Filsafat Hukum, Cetakan Ke-lima, C.V.

Mandar Maju, Bandung, (selanjutnya disebut Lili Rasjidi, & Ira Thania Rasjidi, II) hal.36.

Pendayagunaan Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 termasuk sebagai

kebijakan kriminal, yang menurut Sudarto, sebagai usaha yang rasional dari

masyarakat untuk menanggulangi kajahatan. Didalamnya mencakup kebijakan

hukum pidana yang disebut juga sebagai kebijakan penanggulangan kejahatan

dengan hukum pidana, yang dalam arti paling luas merupakan keseluruhan

kebijakan yang dilakukan melalui perundang-undangan dan badan resmi, yang

bertujuan untuk menegakkan norma-norma sentral dari masyarakat.16

Perencanaan penanggulangan kejahatan diperlukan agar perundang-

undangan pidana menjadi sarana yang baik untuk menanggulangi tindak pidana

korupsi dan berlaku efektif. Kegiatan ini memasuki lingkup kebijakan hukum

pidana, yang merupakan suatu proses terdiri dari tahap formulasi atau legislatif,

tahap penerapan atau yudikatif, dan tahap pelaksanaan atau

eksekutif/administratif.

Tahap kebijakan legislatif yang secara operasional menjadi bagian dari

perencanaan dan mekanisme penanggulangan kejahatan pada tahap yang awal,

juga merupakan kebijakan perundang-undangan. Dalam pertimbangan Konggres

PBB VIII/1990 dinyatakan antara lain: Newly formulated policies and

legislation should be as dynamic as the modes of criminal behaviour and should

remain abreast of changes in the forms and dimensions of crime. Yang bermakna

“Kebijakan dan undang-undang yang baru dirumuskan harus sebagai dinamis

sebagai moda perilaku kriminal dan harus tetap mengikuti perubahan dalam

16 Sudarto,,1981, Hukum dan Hukum Pidana , Alumni, Bandung, hal.113.

bentuk dan dimensi kejahatan”. Oleh karena itu, kebijakan hukum pidana tahap

formulasi semestinya mampu merespon terhadap perkembangan dan perubahan

tindak kejahatan sejalan dengan perubahan dan perkembangan masyarakat.

Kebijakan perundang-undangan memfokuskan permasalahan sentral

menyangkut penetapan perbuatan apa yang seharusnya dijadikan sebagai tindak

pidana, dan sanksi pidana apa yang selayaknya dikenakan. Dalam hukum pidana

material kedua hal tersebut termasuk pula perhatian terhadap orang/pelakunya,

dalam hal ini menyangkut masalah pertanggungjawaban. Oleh karena itu, dalam

hukum pidana materiel dikenal masalah pokok yang menyangkut tindak pidana,

pertanggung-jawaban, dan sanksi pidana.17

Masalah berikutnya mengenai penentuan sanksi pidana dalam kebijakan

perundang-undangan merupakan kegiatan yang akan men-dasari dan

mempermudah penerapan maupun pelaksanaannya dalam rangka penegakan

hukum pidana inkonkreto. Penentuan sanksi pidana terhadap suatu perbuatan

merupakan pernyataan pencelaan dari sebagian besar warga masyarakat. Barda

Nawawi Arief mengemukakan, pencelaan mempunyai fungsi pencegahan karena

sebagai faktor yang dapat mempengaruhi perilaku. Hal itu diterima oleh si pelaku

memasuki kesadaran moralnya, yang akan menentukan tingkah-lakunya di masa

mendatang. Jadi tidak semata-mata taat pada ancaman yang menderitakan,

17 Muladi, Proyeksi Hukum Pidana Material Indonesia di Masa Mendatang (Pidato Pengukuhan

Guru Besar Fak. Hukum Universitas Diponegoro, Semarang, 24 Februari 1990), hal.2.

melainkan karena adanya rasa hormat tentang apa yang dipandang benar dan

adil.18

Pendayagunaan sanksi hukum pidana untuk menanggulangi

kejahatan, lebih konkretnya mengoperasikan UU No. 20 tahun 2001 yang

merupakan perundang-undangan pidana dalam rangka penanggulangan tindak

pidana korupsi akan menghadapi problema keterbatasan kemampuannya,

mengingat tipe atau kualitas sasaran (yakni korupsi) yang bukan merupakan

tindak pidana sembarangan (dari sudut pelakunya, modus-operandinya) sering

dikategorikan sebagai White Collor crime. Oleh karena itu, upaya dengan sarana

lainnya secara bersama-sama sudah seharusnya dimanfaatkan. Sehubungan

dengan ini, Barda Nawawi Arief19

menyarankan dalam upaya penanggulangan

kejahatan perlu ditempuh dengan pendekatan kebijakan, dalam arti ada

keterpaduan antara politik kriminal dan politik sosial, serta ada keterpaduan

antara upaya penanggulangan kejahatan dengan penal dan non-penal. Pengamatan

Bambang Poernomo,20

kesulitan untuk menanggulangi korupsi itu disebabkan

lingkaran pelakunya yang tidak lagi hanya para pejabat negara melainkan sudah

18 Barda Nawawi Arief, 1990, Kebijakan Legislatif dalam Penanggulangan Kejahatan dengan Pidana Penjara, Badan Penerbit Universitas Diponegoro, Semarang, (selanjutnya disebut Barda

Nawawi Arief I) hal.26.

19 Barda Nawawi Arief, 1996, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, PT Citra Aditya Bakti,

Bandung, (selanjutnya disebut Barda Nawawi Arief II) hal.4.

20 Bambang Poernomo, 1999, Kebijakan Non-Penal dalam Menanggulangai Kejahatan Korupsi.

Seminar Nasional Menyambut Lahirnya UU Tindak Pidana Korupsi Yang baru dan Antisipasinya

terhadap Perkembangan Kejahatan Korupsi di Fak. Hukum UGM, KEJATI DIY, dan Dep.

Kehakiman, Yogyakarta, Tanggal 11 September.hal.3.

cenderung meluas ke dalam lingkungan keluarga pejabat untuk memanfaatkan

kesempatan yang menguntungkan, dan/atau lingkungan kelompok bisnis tertentu

untuk mendapatkan keuntungan secara ilegal.

Pada masa Orde Baru banyak terjadi peluang dan kelonggaran melalui

peraturan dan kebijakan-kebijakan penguasa yang bersifat KKN. Hal ini

memunculkan korporasi berperan besar dalam perekonomian di Indonesia,

sejalan dengan kebijakan pembangunan yang mengutamakan pertumbuhan

menghasilkan korporasi raksasa dan konglomerat yang menguasai dan

memonopoli ekonomi.21

Sistem pengelolaan yang koruptif mengandalkan kemampuannya untuk

memperbesar dan memperumit KKN, sehingga penanganannya berada di

luar kapasitas individu dan institusi, termasuk hukum, yang akibatnya banyak

kasus KKN gagal ditangani oleh hukum.22

Masalah korupsi di Indonesia bukan

faktor individu belaka, melainkan juga menyangkut pranata sosial dan sistem

nilai yang sedang berada dalam disequilibrium, yang berarti masyarakat sedang

mengalami kondisi anomik. Dengan demikian, penanganannya tidak mungkin

21 Susanto, 1999 Kejahatan Korporasi di Indonesia Produk Kebijakan Rezim Orde Baru (Pidato

Pengukuhan Guru Besar Fak. Hukum Universitas Diponegoro, Semarang, 12 Oktober), hal.3.

22 Cornelis Lay, 1999, Aspek Politik KKN di Indoensia, Seminar Nasional Menyambut UU Tindak

Pidana Korupsi yang Baru dan Antisipasinya terhadap Perkembangan Kejahatan Korupsi di Fak.

Hukum UGM, KEJATI DIY, Dep. Kehakiman, Yogyakarta, Tanggal 11 September, hal.6.

sporadis tetapi melibatkan seluruh sistem sosial, hukum, dan masyarakat secara

keseluruhan.23

Penanggulangan korupsi hendaklah jangan mengukur tingkat intensitas

dan volumenya hanya dari segi perundang-undangan pidana semata, melainkan

harus dalam kaitannya dengan berbagai aspek yang berpengaruh, seperti: sifat

kepemimpinan dapat menjadi teladan atau tidak, mekanisme pengawasan

dapat berjalan efektif atau tidak.24

Oleh karena itu, penegakan hukum pidana

dengan pendekatan yang legalistik yang berorientasi represif hanya merupakan

pengobatan yang bersifat simptomatik dan tidak merupakan sarana hukum yang

ampuh untuk memberantas korupsi. Dengan demikian, diperlukan pendekatan

komprehensif, meliputi pendekatan sosiologis, kultural, ekonomi, manajemen

dalam penyelenggaraan negara.25

Perkembangan sifat melawan hukum material dewasa ini, dibutuhkan

perhatian yang cukup mendalam kepada konsep perumusan tentang unsur hukum

tersebut pada peraturan yang mendatang baik pada RUUKUHP (Rancangan

undang undang KUHP), dan RUU KORUPSI (Rancangan undang undang

Korupsi). Yang mana hal ini akan berpengaruh besar pada penegakan hukum di

23 Yasonna H. Laoly, 1996, “Kolusi: Fenomena atau Penyakit Kronis”, dalam Aldentua Siringo-

ringo dan Tumpal Sihite, Menyingkap Kabut Peradilan Kita: Menyoal Kolusi di Mahkamah Agung ,

Pustaka Forum Adil Sejahtera, Jakarta, hal. 34.

24 Soedjono dirdjosisworo, 1984, Fungsi perundang-undnagan Pidana dalam penanggulangan

korupsi di Indonesia, CV Sinar baru, Bandung, hal.47.

25 Romli Atmasasmita, 1999, Prospek Penanggulangan Korupsi di Indonesia Memasuki Abad ke

XXI : Suatu Orientasi atas Kebijakan Hukum Pidana di Indonesia (Pidato Pengukuhan Guru Besar

Fak. Hukum Universitas Padjadjaran, Bandung, 25 September), Hal.10 – 14.

Indonesia, yang mana seharusnya hukum di buat dan diciptakan dari rahim rakyat

bukan hanya terbuat dari pemikiran ahli hukum secara arti fisial. Oleh karena itu

penting untuk merumuskan peraturan masa dating (ius constituendum), dengan

matang dan banyak pertimbangan.

Dengan latar belakang seperti yang diuraikan dalam paparan diatas itulah,

skripsi ini mencoba untuk melihat Putusan Mahkamah Konstitusi 2006 Nomor :

003/PUU-IV/2006 tanggal 25 Juli tersebut sebagai suatu produk hukum yang

hadir ditengah-tengah masyarakat Indonesia yang sedang mengalami masalah

sosial yang disebut tindak pidana korupsi, selama bertahun-tahun tersebut, dalam

perspektif sociological jurisprudence, bahwa kehadiran hukum adalah untuk

menyelesaikan berbagai masalah sosial.

Sehubungan dengan latar belakang di atas maka mendorong penulis untuk

membahas dan memilih skripsi dengan judul “KEBIJAKAN HUKUM

PIDANA MENGENAI SIFAT MELAWAN HUKUM MATERIAL DALAM

PERSPEKTIF TINDAK PIDANA KORUPSI PASCA PUTUSAN

MAHKAMAH KOSNSTITUSI NOMOR : 03/PUU-IV/2006“

Dimana penelitian skripsi ini bertujuan untuk mengkaji lebih lanjut

tentang perkembangan ajaran sifat melawan hukum ini yang secara terus menerus

mengalami perubahan sikap baik dari pembuat Undang-undang maupun hakim

yang terwujud dalam yurisprudensi.

1.2 Rumusan Masalah

Dari uraian latar belakang diatas, maka terdapat beberapa rumusan

masalah yang dianalisa yaitu sebagai berikut :

1. Bagaimanakah sifat melawan hukum di formulasikan dalam kebijakan

perundang-undangan di Indonesia dan dalam Ius Constituendum?

2. Bagaimanakah perkembangan perumusan ajaran sifat melawan hukum

dalam kebijakan perundang-undangan tentang pemberantasan tindak pidana

korupsi di Indonesia, pasca Putusan Mahkamah Konstitusi Republik

Indonesia Nomor : 003/PUU-IV/2006?

1.3 Ruang Lingkup Masalah

Untuk menghindari pembahasan yang menyimpang dan keluar dari

permasalahan yang dibahas maka perlu terdapat pembatasan dalam ruang lingkup

masalah, adapun pembatasannya adalah sebagai berikut :

1. Yang pertama akan membahas tentang sifat melawan hukum,

perkembangannya dalam per undang undangan di Indonsia.

2. Yang kedua akan membahas perkembangan sifat melawan hukum pasca

Putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Nomor : 003/PUU-

IV/2006 tanggal 25 Juli 2006

3. Yang ketiga akan membahas perumusan ajaran sifat melawan hukum

material (materiele wederrechlijkheid) dalam kebijakan perundang-

undangan tentang pemberantasan tindak pidana korupsi di Indonesia pasca

Putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Nomor : 003/PUU-

IV/2006.

1.4 Orisinalitas Penelitian

Berdasarkan penelusuran terhadap judul penelitian ini, penulis kali ini penulis

menampilkan dua skripsi yang penilitiannya hampir mirip dengan penelitian penulis.

Dalam rangka menumbuhkan semangat anti plagiat didalam dunia peendidikan di

indonesi, maka mahasiswa di wajibkan untuk mampu menunjukkan orisinalitas dari

penelitian yang sedang ditulis dengan menampilkan beberapa judul penelitian skripsi

yang terdahuli sebagai pembanding. Seperti judul Analisa Hukum Mengenai

Eksistensi Sifat Melawan Hukum Dalam Tindak Pidana Korupsi Pasca Keluarnya

Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor: 003/PUU-IV/2006, dengan penulis Arrahman

asal Fakultas Hukum USU, dengan permasalahan sebagai berikut, Bagaimana konsep

sifat melawan hukum dalam tindak pidana di Indonesia ? dan, Bagaimana eksistensi

sifat melawan hukum dalam tindak pidana korupsi pasca keluarnya putusan

Mahkamah Konstitusi Nomor: 003/PUU-IV/2006?.

Pembanding kedua dengan judul Penerapan Ajaran Sifat Melawan Hukum

Material Dalam Perundang-Undangan Tindak Pidana Korupsi Di Indonesia atas

nama Fitriati, asal Universitas Adalas, dengan permasalahan, bagaimanakah

perumusan ajaran sifat melawan hokum material dalam kebijakan perundang-

undangan tentang pemberantasan tindak pidana korupsi di Indonesia, dan

bagaimanakah penerapan ajaran sifat melawan hokum material dalam proses

pembuktian kasus tindak pidana korupsi.

Berdasarkan uraian diatas dapat dikatakan bahwa penelitian yang dilakukan

penulis terjamin orisinalitasnya, dikarnakan aspek penelitian penulis bertitik pada

kebijakan hukum pidana yang dikaitkan dalam Tindak Pidana Korupsi dan RKUHP.

1.5 Tujuan Penilitian

Tujuan penelitian ini ada dua, yakni tujuan umum dan tujuan khusus. Adapun

tujuan tersebut antara lain:

1.5.1 Tujuan umum

Tujuan umum penelitian adalah sebagai berikut;

Untuk menganalisis kebijakan hukum pidana terkait sifat melawan

hukum material, dalam Tindak Pidana Korupsi pasca Putusan Mahkamah

Konstitusi Republik Indonesia Nomor : 003/PUU-IV/2006.

1.5.2 Tujuan khusus

1. Untuk mengetahui perkembangan sifat melawan hukum material dan

Untuk mengetahui apa akibat dari keluarnya Putusan Mahkamah Konstitusi

Republik Indonesia Nomor : 003/PUU-IV/2006 tanggal 25 Juli 2006,

terhadap hukum pidana di Indonesia, dan hukum yang berkembang di

masyarakat.

2. Untuk mengetahui perumusan ajaran sifat melawan hukum material

(materiele wederrechlijkheid) dalam kebijakan perundang-undangan

tentang pemberantasan tindak pidana korupsi di Indonesia pasca Putusan

Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Nomor : 003/PUU-IV/2006

1.6. Manfaat Penilitian

1.6.1. Manfaat teoritis

Secara teoritis, penelitian ini diharapkan dapat memberikan

sumbangan ilmiah bagi pengembangan ilmu hukum di bidang hukum pidana,

khususnya pemahaman teoritis mengenai perkembangan sifat melawan hukum

material pasca Putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Nomor :

003/PUU-IV/2006 tanggal 25 Juli 2006, dan dimana letak urgensi sutau

hukum yang hidup dan lahir dalam masyarakat

1.6.2. Manfaat praktis

Secara praktis, penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan

pertimbangan dan sumbangan pemikiran, serta dapat memberikan kontribusi

bagi lembaga penegak hukum seperti kepolisian, kejaksaan dan pengadilan

sebagai bagian dari sistem peradilan pidana terpadu di Indonesia dalam proses

penangan perkara pidana kasusnya terkait dengan unsur melawan hukum

dalam kebijakan peraturan perundang-undangan pidana di Indonesia dengan

tetap memperhatikan hukum yang berkembang dimasyarakat.

1.7. Landasan Teoritis

1.7.1. Teori kebijakan kriminal (criminal policy)

Kebijakan penanggulan kejahatan atau politik kriminal (criminal policy)

adalah suatu kebijakan atau usaha rasional untuk menanggulangi kejahatan. Politik

kriminal ini merupakan bagian dari politik penegakan hukum dalam arti luas (law

enforcement policy), yang seluruhnya merupakan bagian dari politik sosial (social

policy), yaitu suatu usaha dari masyarakat atau negara untuk meningkatkan

kesejahteraan warganya.26

Upaya atau kebijakan untuk melakukan pencegahan dan penanggulangan

kejahatan termasuk bidang ”kebijakan kriminal” (criminal policy). Kebijakan

kriminal ini pun tidak terlepas dari kebijakan yang lebih luas, yaitu ”kebijakan sosial”

(social policy) yang terdiri dari kebijakan/upaya-upaya untuk kesejahteraan sosial

(social welfare policy) dan kebijakan/upaya-upaya untuk perlindungan masyarakat

(social defence policy).27

Marc Ancel merumuskan criminal policy sebagai “rational organization of

the control of crime by society”.28

Sementara itu, G. Peter Hoefnagels mengemukakan

bahwa “Criminal policy is the rational organization of the social reaction to crime”.

Berbagai definisi lainnya yang dikemukakan G. Peter Hoefnagels ialah:

a. Criminal policy is the science of responses;

26 Muladi dan Barda Nawawi Arief,I, Op.cit, hal. 1.

27 Barda Nawawi Arief, II, Op.cit hal. 77.

28 Barda Nawawi Arief, II, Op.cit, hal. 209.

b. Criminal policy is the science of crime prevention;

c. Criminal policy is a policy of designating human behavior as crime;

d. Criminal policy is a rational total of the responses to crime.29

Sudarto mengemukakan tiga arti mengenai kebijakan kriminal, yaitu sebagai

berikut:

a. Dalam arti sempit, ialah keseluruhan asas dan metode yang menjadi dasar

dari reaksi terhadap pelanggaran hukum berupa pidana;

b. Dalam arti luas, adalah keseluruhan fungsi dari aparatur penegak hukum,

termasuk di dalamnya cara kerja dari pengadilan dan polisi;

c. Dalam arti yang paling luas, ialah keseluruhan kebijakan yang dilakukan

melalui perundang-undangan dan badan-badan resmi, yang bertujuan untuk

menegakkan norma-norma sentral dari masyarakat.30

Kebijakan kriminal meliputi ruang lingkup yang cukup luas, menurut G. Peter

Hoefnagels, upaya penanggulangan kejahatan dapat ditempuh dengan:

a. Penerapan hukum pidana (criminal law application);

b. Pencegahan tanpa pidana (prevention without punishment);

c. Mempengaruhi pandangan masyarakat mengenai kejahatan dan

pemidanaan lewat media massa (influencing views of society on crime and

punishment/mass media).31

29 Barda Nawawi Arief, II op.cit, hal. 2.

30 Sudarto, 1981, Kapita Selekta Hukum Pidana, Alumni, Bandung, (selanjutnya disingkat Sudarto

I), hal.. 113-114.

Upaya penanggulangan kejahatan perlu ditempuh dengan pendekatan

kebijakan, dalam arti:

a. Ada keterpaduan (integralitas) antara politik kriminal dan politik sosial;

b. Ada keterpaduan (integralitas) antara upaya penanggulangan kejahatan

dengan “penal” dan “non penal”.32

Dengan demikian, dalam melaksanakan kebijakan kriminal harus menunjang

tujuan kesejahteraan masyarakat dan perlindungan masyarakat, serta harus dilakukan

dengan pendekatan integral melalui keseimbangan sarana penal dan non penal untuk

mencegah dan menanggulangi kejahatan.

1.7.2 Teori kebijakan hukum pidana (penal policy)

Kebijakan hukum pidana merupakan bagian daripada politik kriminal

(criminal policy). Usaha dan kebijakan untuk membuat peraturan hukum pidana yang

baik pada hakikatnya tidak dapat dilepaskan dari tujuan penanggulangan kejahatan.

Dengan perkataan lain, dilihat dari sudut politik kriminal, maka politik hukum pidana

identik dengan pengertian “kebijakan penanggulangan kejahatan dengan hukum

pidana”. Usaha penanggulangan kejahatan dengan hukum pidana pada hakikatnya

juga merupakan bagian dari usaha penegakan hukum (khususnya penegakan hukum

pidana). Oleh karena itu, sering pula dikatakan bahwa politik atau kebijakan hukum

31 Trini Handayani, Op.cit., hal. 48.

32 Barda Nawawi Arief II, Op.cit., hal. 3-4.

pidana merupakan bagian pula dari kebijakan penegakan hukum (law enforcement

policy).33

Politik hukum pidana atau kebijakan hukum pidana adalah bagaimana

mengusahakan atau membuat atau merumuskan suatu perundang-undangan pidana

yang baik. Maka melaksanakan politik hukum pidana berarti mengadakan pemilihan

untuk mencapai hasil perundang-undangan pidana yang paling baik, dalam artian

memenuhi syarat keadilan dan daya guna.34

Sama halnya dengan pendapat Marc

Ancel bahwa kebijakan hukum pidana (penal policy) merupakan suatu ilmu sekaligus

seni yang mempunyai tujuan praktis untuk memungkinkan peraturan hukum positif

dirumuskan secara lebih baik.35

Menurut A. Mulder, strafrechtspolitiek atau kebijakan hukum pidana ialah

garis kebijakan untuk menentukan:

a. Seberapa jauh ketentuan-ketentuan pidana yang berlaku perlu diubah atau

diperbarui;

b. Apa yang dapat diperbuat untuk mencegah terjadinya tindak pidana;

c. Cara bagaimana penyidikan, penuntutan, peradilan dan pelaksanaan pidana

harus dilaksanakan.36

33 Barda Nawawi Arief II, Op.cit., hal. 24.

34 Sudarto, 2007, Hukum dan Hukum Pidana, Alumni, Bandung, (selanjutnya disingkat Sudarto

II), hal.153.

35 Barda Nawawi Arief II, Op.cit., hal.23.

36 Barda Nawawi Arief II, loc.cit.

Pencegahan dan penanggulangan kejahatan dengan sarana penal merupakan

penal policy atau penal law enforcement policy yang fungsionalisasi atau

operasionalisasinya melalui beberapa tahap:

1) Tahap formulasi (kebijakan legislatif);

2) Tahap aplikasi (kebijakan yudikatif/yudisial);

3) Tahap eksekusi (kebijakan eksekutif/administratif).

Dengan adanya tahap formulasi, maka upaya pencegahan dan penanggulangan

kejahatan bukan hanya tugas aparatur penegak/penerap hukum, tetapi juga tugas

aparat pembuat hukum (aparat legislatif), bahkan kebijakan legislatif merupakan

tahap paling strategis dari penal policy. Karena itu, kesalahan/kelemahan kebijakan

legislatif merupakan kesalahan strategis yang dapat menjadi penghambat upaya

pencegahan dan penanggulangan kejahatan pada tahap aplikasi dan eksekusi.37

1.7.3 Teori pembaruan hukum pidana (penal reform)

Pembaruan hukum pidana merupakan bagian dari kebijakan hukum pidana.

Makna dan hakikat pembaruan hukum pidana berkaitan erat dengan latar belakang

dan urgensi diadakannya pembaruan hukum pidana itu sendiri. Pada hakikatnya

pembaruan hukum pidana merupakan suatu upaya untuk melakukan reorientasi dan

reformasi hukum pidana yang sesuai dengan nilai-nilai sentral sosiopolitik,

sosiofilosofis, dan sosiokultural masyarakat Indonesia yang melandasi kebijakan

37 Barda Nawawi Arief I, Op.cit., hal. 78-79.

sosial, kebijakan kriminal dan kebijakan penegakan hukum di Indonesia.38

Makna

dan hakikat pembaruan hukum pidana adalah:

a. Dilihat dari sudut pendekatan-kebijakan

- Sebagai bagian dari kebijakan sosial, pembaruan hukum pidana pada

hakikatnya merupakan bagian dari upaya untuk mengatasi masalah-

masalah sosial (termasuk masalah kemanusiaan) dalam rangka

mencapai/menunjang tujuan nasional (kesejahteraan masyarakat dan

sebagainya).

- Sebagai bagian dari kebijakan kriminal, pembaruan hukum pidana pada

hakikatnya merupakan bagian dari upaya perlindungan masyarakat

(khususnya upaya penanggulangan kejahatan).

- Sebagai bagian dari kebijakan penegakan hukum, pembaruan hukum

pidana pada hakikatnya merupakan bagian dari upaya memperbaharui

substansi hukum (legal substance) dalam rangka mengefektifkan

penegakan hukum.

b. Dilihat dari sudut pendekatan-nilai

Pembaruan hukum pidana pada hakikatnya merupakan upaya melakukan

peninjauan kembali (reorientasi dan re-evaluasi) nilai-nilai sosiopolitik,

sosiofilosofis dan sosiokultural yang melandasi dan memberi isi terhadap

muatan normatif dan substantif hukum pidana yang dicita-citakan.

Bukanlah pembaruan (“reformasi”) hukum pidana, apabila orientasi nilai

38 Barda Nawawi Arief II, Op.cit., hal.25.

dari hukum pidana yang dicita-citakan (misalnya KUHP Baru) sama saja

dengan orientasi nilai dari hukum pidana lama warisan penjajah (KUHP

Lama atau WvS).39

Atau-pun undang-undang Korupsi dengan RUU

Korupsi.

1.8. Metode Penelitian

1.8.1. Jenis penelitian

Jenis penelitian yang digunakan dalam skripsi ini adalah penelitian

hukum normatif. Dipilihnya jenis penelitian hukum normatif karena penelitian

ini menguraikan permasalah-permasalahan yang ada, untuk selanjutnya

dibahas dengan kajian berdasarkan teori-teori hukum kemudian dikaitkan

dengan peraturan perundang undangan yang berlaku dalam praktek hukum.40

Penelitian hukum normatif digunakan dalam penelitian ini beranjak

dari adanya persoalan dalam aspek norma hukum, yaitu norma kabur, yaitu

kekaburan dalam formulasi unsur sifat melawan hukum Material dalam

Undang Undang No. 20 Tahun 2001 tentang Tindak Pidana Korupsi. Hal ini

dikarnakan pasca keluarnya Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 003/PUU-

IV/2006, yang mengakibatkan terjadinya ketidakjelasan dalam prumusannya,

seperti tidak ketidakjelasan tolak ukur penafsiran sifat melawan hukum

39Barda Nawawi Arief II, Op.cit., hal. 26.

40Soerjono Soekanto dan Sri Mamuji, 1995, Penelitian Hukum Normatif (Suatu Tinjauan Singkat),

PT. Grafindo Persada, Jakarta, hal.13.

matrial dalam UU tersebut. Penelitian hukum normatif ini dilakukan dengan

cara meneliti bahan hukum primer, bahan hukum sekunder.

1.8.2. Jenis pendekatan

Skripsi ini ingin melihat perkembangan sifat melawan hukum material

dalam kebijakan hukum pidana di Indonesia dan bagaimana formulasinya baik

sebelum atau pasca Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor : 003/PUU-

IV/2006 tanggal 25 Juli 2006. Sehingga metode pendekatan yang relevan

dipergunakan dalam penelitian skripsi ini adalah pendekatan perundang

undangan (satutory approach), pendekatan kasus(case approach), dan

pendekatan analitis (analitical approach).

a) Pendekatan Perundang undangan (statutory approach).

Pendekatan perundang-undangan (statutory approach), yang oleh

Peter Mahmud Marzuki disebut pendekatan Undang undang (satute

approach)41

dilakukan dengan menelaah semua undang undang dan regulasi

yang bersangkut paut dengan isu hukum yang sedang ditangani. Bagi

penelitian untuk kegiatan akademis, peneliti perlu mencari ratio legisdan

dasar ontologis lahirnya undang-undang tersebut. Dengan mempelajari ratio

legis dan dasar ontologis suatu undang undang, peneliti sebenarnya mampu

menangkap kandungan filosofi yang ada di belakang undang undang itu.

41 Peter Mahmud Marzuki, 2010, Penelitian Hukum, Cetakan ke-6, Prenada Media Group, Jakarta,

hal. 93.

Memahami kandungan filosofi yang ada di belakang Undang undang itu,

peneliti tersebut akan dapat menyimpulkan mengenai ada tidaknya benturan

filosofis antara undang-undang dengan isu yang dihadapi.42

Pendekatan ini

digunakan in case terhadap Undang Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang

pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan Undang Undang Nomor 20 Tahun

2001 tentang Perubahan Atas Undang Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang

Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Undang-Undang Nomor 48 Tahun

2009 tentang Kekuasaan Kehakiman dan Undang-Undang Dasar NRI 1945.

b) Pendekatan Kasus (case approach).

Pendekatan kasus (case approach) dilakukan dengan cara melakukan

telaah terhadap kasus-kasus yang berkaitan dengan isu yang dihadapi yang

telah menjadi putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum

tetap.43

Yang menjadi kajian pokok di dalam pendekatan kasus adalah ratio

decidendi atau reasoning yaitu pertimbangan pengadilan untuk sampai kepada

suatu putusan.44

Pendekatan ini digunakan in casu terhadap Putusan

Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Nomor 003/PUU-IV/2006 tanggal

25 Juli 2006 dan Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor :

103K/Pid/2007 tanggal 28 Februari 2007. Tentang Pemeriksaan Perkara

Tindak Pidana Korupsi atas nama Terdakwa Theodorus Fransisco Toemin.

42 Ibid., hal. 93-94.

43 Ibid., hal. 94.

44 Ibid.

c) Pendekatan Analitis (analitical approach).45

Pendekatan analitis ini diperlukan terutama dikarenakan penelitian skripsi

ini terutama menggunakan data-data sekunder yang berwujud bahan-bahan

hukum, yaitu Undang undang dan putusan Mahkamah Konstitusi

sebagaimana dimaksud diatas, sehingga timbul kebutuhan untuk menganalisis

Undang undang dan putusan Mahkamah Konstitusi tersebut.

1.8.3. Sumber bahan hukum

Sumber bahan hukum yang digunakan dalam penelitian ini berasal dari :

1. Sumber bahan hukum primer 46

Sumber bahan hukum primer adalah sumber bahan hukum yang

bersifat mengikat yakni berupa norma, kaidah dasar dan peraturan yang

berkaitan. Sumber bahan hukum primer yang digunakan adalah :

o Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

o Undang Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan

Atas Undang Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang

Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

2. Sumber bahan hukum sekunder

45 Johal.ny Ibrahal.im, 2006, Teori & Metodologi Penelitian Hukum Normatif, Cetakan Ke-dua,

Penerbit Bayumedia Publishing, Malang, hal. 301.

46 Lihat buku pedoman Pendidikan Fakultas Hukum Universitas Udayana, 2013, hal. 76.

Sumber bahan hukum sekunder yakni bahan hukum yang

memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer. Bahan hukum

sekunder yang digunakan adalah literatur-literatur yang relevan dengan

topik yang dibahas, baik literatur-literatur hukum (buku-buku hukum

(textbook) yang ditulis para ahli yang berpengaruh (de hersender leer),

pendapat para sarjana, maupun literatur non hukum dan artikel atau berita

yang diperoleh via internet.

1.8.4. Teknik pengumpulan bahan hukum

Teknik yang digunakan dalam pengumpulan bahan hukum yang

diperlukan dalam penelitian ini adalah teknik kepustakaan (study document).

Telaah kepustakaan dilakukan dengan sistem kartu (card system) yaitu cara

mencatat dan memahami isi dari masing-masing informasi yang diperoleh

dari bahan hukum primer, bahan hukum sekunder, dan bahan hukum tersier

yang relevan, kemudian dikelompokkan secara sistematis sesuai dengan

permasalahan yang dibahas dalam penelitian skripsi ini.

1.8.5. Teknik analisis bahan hukum

Untuk menganalisis bahan-bahan hukum yang telah terkumpul dapat

digunakan berbagai teknik analisis. Teknik analisis yang digunakan dalam

penelitian ini adalah teknik deskripsi, teknis interpretasi, teknik evaluasi,

teknik argumentasi dan teknik sistematisasi.

Teknik deskripsi adalah teknik dasar analisis yang tidak dapat

dihindari penggunaannya, deskripsi berarti uraian apa adanya terhadap suatu

kondisi atau posisi dari proposisi-proposisi hukum atau non-hukum.

Teknik interpretasi berupa penggunaan jenis-jenis penafsiran dalam

ilmu hukum seperti penafsiran gramatikal, penafsiran sistematis, penafsiran

teleologis, penafsiran historis, dan lain sebagainya.

Teknik evaluasi adalah penilaian berupa tepat atau tidak tepat, setuju

atau tidak setuju, benar atau salah, sah atau tidak sah oleh peneliti terhadap

suatu pandangan, proposisi, pernyataan rumusan norma, keputusan, baik yang

tertera dalam bahan primer maupun dalam bahan hukum sekunder.

Teknik argumentasi tidak bisa dilepaskan dari teknik evaluasi karena

penilaian harus didasarkan pada alasan-alasan yang bersifat penalaran hukum.

Dalam pembahasan permsalahan hukum makin banyak argumen makin

menunjukkan kedalaman penalaran hukum.