BAB II : TINJAUAN UMUM -...
Transcript of BAB II : TINJAUAN UMUM -...
BAB II
TINJAUAN UMUM
A. Sejarah Masuknya Agama ke Indonesia
1. Pengertian Agama dan Unsur-unsurnya
Dilihat dari perspektif agama, umur agama setua dengan umur
manusia. Tidak ada suatu masyarakat manusia yang hidup tanpa suatu bentuk
agama. Agama ada pada dasarnya merupakan aktualisasi dari kepercayaan
tentang adanya kekuatan gaib dan supranatural yang biasanya disebut sebagai
Tuhan dengan segala konsekuensinya. Atau sebaliknya, agama yang ajaran-
ajarannya teratur dan tersusun rapi serta sudah baku itu merupakan usaha
untuk melembagakan sistem kepercayaan, membangun sistem nilai
kepercayaan, upacara dan segala bentuk aturan atau kode etik yang berusaha
mengarahkan penganutnya mendapatkan rasa aman dan tentram.1
Karena inti pokok dari semua agama adalah kepercayaan tentang
adanya Tuhan, sedangkan persepsi manusia tentang Tuhan dengan segala
konsekuensi beranekaragam, maka agama-agama yang dianut manusia di
dunia ini pun bermacam-macam pula. Barangkali, karena kondisi seperti inilah
Mukti Ali mengatakan:
Barangkali tidak ada kata yang paling sulit diberi pengertian dan definisi selain dari kata agama. Paling sedikit ada tiga alasan untuk hal ini. Pertama, karena pengalaman agama itu adalah soal batini dan subyektif, juga sangat individualistik…. Alasan kedua, bahwa barangkali tidak ada orang yang berbicara begitu bersemangat dan emosional lebih daripada membicarakan agama… maka dalam membahas tentang arti agama selalu ada emosi yang kuat sekali hingga sulit memberikan arti kalimat agama itu…. Alasan ketiga, bahwa konsepsi tentang agama akan dipengaruhi oleh tujuan orang yang memberikan pengertian agama itu.2
1 Abdul Madjid, et.al, al-Islam, Jilid I, Pusat Dokumentasi dan Publikasi Universistas
Muhammadiyah, Malang, 1989, hlm. 26. 2 Mukti Ali, Agama, Universitas dan Pembangunan, Badan Penerbit IKIP, Bandung,
1971, hlm. 4. lihat juga Endang Syaefudin Anshari, Ilmu Filsafat dan Agama, PT Bina Ilmu, Surabaya, 2002, hlm. 117-118.
11
12
Mengenai arti agama secara etimologi terdapat perbedaan pendapat, di
antaranya ada yang mengatakan bahwa kata agama berasal dari bahasa
Sansekerta yang terdiri dari dua suku kata yaitu : “a” berarti tidak dan “gama”
berarti kacau, jadi berarti tidak kacau.3
Kata agama dalam bahasa Indonesia sama dengan “Adiin” (dari
bahasa Arab) dalam bahasa Eropa disebut “religi”, religion bahasa Inggris, la
religion (bahasa Perancis), the religie (bahasa Belanda), die religion, (bahasa
Jerman). Kata “diin” dalam bahasa Semit berarti undang-undang (hukum),
sedang kata diin dalam bahasa Arab berarti menguasi, menundukkan, patuh,
hutang, balasan, kebiasaan.
Meskipun terdapat perbedaan makna secara etimologi antara diin dan
agama, namun umumnya kata diin sebagai istilah teknis diterjemahkan dalam
pengertian yang sama dengan “agama”.4 Kata agama selain disebut dengan
kata diin dapat juga disebut syara, syari’at/millah. Terkadang syara itu
dinamakan juga addiin/millah. Karena hukum itu wajib dipatuhi, maka disebut
addin dan karena hukum itu dicatat serta dibukukan, dinamakan millah.
Kemudian karena hukum itu wajib dijalankan, maka dinamakan syara.5
Dari pengertian agama dalam berbagai bentuknya itu maka terdapat
bermacam-macam definisi agama. Harun Nasution telah mengumpulkan
delapan macam definisi agama yaitu:
1. Pengakuan terhadap adanya hubungan manusia dengan kekuatan gaib
yang harus dipatuhi.
2. Pengakuan terhadap adanya kekuatan gaib yang menguasai
3 Taib Thahir Abdul Mu’in, Ilmu Kalam, Wijaya, Jakarta, 1992, hlm. 112. Cf Nasrudin
Razak, Dienul Islam, PT al-Ma’arif, Bandung, 1973, hlm. 76. 4 Abdul Aziz Dahlan, et.al, Ensiklopedi Hukum Islam, PT. Ichtiar Baru Van Hoeve,
Jakarta, 1997, hlm. 63. 5 Taib Thahir Abdul Mu’in, op.cit, hlm. 121.
13
3. Mengikatkan diri pada suatu bentuk hidup yang mengandung pengakuan
pada suatu sumber yang berada di luar diri manusia dan yang
mempengaruhi perbuatan-perbuatan manusia.
4. Kepercayaan pada suatu kekuatan gaib yang menimbulkan cara hidup
tertentu.
5. Suatu sistem tingkah laku yang berasal dari suatu kekuatan gaib.
6. Pengakuan terhadap adanya kewajiban-kewajiban yang diyakini
bersumber pada suatu kekuatan gaib.
7. Pemujaan terhadap kekuatan gaib yang timbul dari perasaan lemah dan
perasaan takut terhadap kekuatan misterius yang terdapat dalam alam
sekitar manusia.
8. Ajaran-ajaran yang diwahyukan Tuhan kepada manusia melalui seorang
Rasul.6
Dengan demikian unsur-unsur penting yang terdapat dalam agama
ialah:
1. Kekuatan gaib : Manusia merasa dirinya lemah dan berhajat pada kekuatan
gaib itu sebagai tempat minta tolong. Oleh karena itu manusia merasa harus
mengadakan hubungan baik dengan kekuatan gaib tersebut. Hubungan baik
ini dapat diwujudkan dengan mematuhi perintah dan larangan kekuatan gaib
itu.
2. Keyakinan manusia bahwa kesejahteraannya di dunia ini dan hidupnya di
akhirat tergantung pada adanya hubungan baik dengan kekuatan gaib yang
dimaksud. Dengan hilangnya hubungan baik itu, kesejateraan dan
kebahagiaan yang dicari akan hilang pula.
3. Respons yang bersifat emosional dari manusia. Respons itu bisa mengambil
bentuk perasaan takut, seperti agama-agama yang terdapat dalam agama-
agama monoteisme. Selanjutnya respons mengambil bentuk penyembahan
yang terdapat dalam agama-agama primitif, atau pemujaan yang terdapat
6 Harun Nasution, Islam Ditinjau Dari Berbagai Aspeknya, Jilid I, UI Press, Jakarta, 1985, hlm.10.
14
dalam agama-agama monoteisme. Lebih lanjut lagi respons itu mengambil
bentuk cara hidup tertentu bagi masyarakat yang bersangkutan.
4. Paham adanya yang kudus (sacred) dan suci, dalam bentuk kekuatan gaib,
dalam bentuk kitab yang mengandung ajaran-ajaran agama yang
bersangkutan dan dalam bentuk tertentu.7
Sejalan dengan pandangan Harun nasution, Endang Saifuddin Anshari
mengemukakan unsur-unsur agama sebagai berikut :
Pertama, agama (religion atau din) adalah satu sistema credo (tata-
keimanan atau tata-keyakinan) atas adanya sesuatu Yang Mutlak di luar
manusia; kedua, di samping itu agama adalah juga satu sistema ritus (tata-
peribadatan) manusia kepada yang dianggapnya Yang Mutlak itu; ketiga, di
samping merupakan satu sistema credo dan satu sistema ritus, agama juga
adalah satu sistema norma (tata-kaidah atau tata-aturan) yang mengatur
hubungan manusia dengan manusia dan hubungan manusia dengan alam
lainnya, sesuai dengan tata-keimanan dan tata-peribadatan termaktub di atas.8
2. Masuknya Agama Hindu dan Budha
Di India, agama Hindu sering disebut dengan nama Sanatana Dharma,
yang berarti agama yang kekal, atau Waidika Dharma, yang berarti agama
yang berdasarkan kitab suci Weda. Menurut para sarjana, agama tersebut
terbentuk dari campuran antara agama India asli dengan agama atau
kepercayaan bangsa Arya.
Sebelum kedatangan bangsa Arya, di India telah lama hidup bangsa-
bangsa Dravida yang telah mencapai suatu tingkat peradaban yang
tinggi, sebagaimana dibuktikan oleh penelitian-penelitian yang dilakukan
terhadap wilayah Lembah Indus. Peradaban lembah ini dalam satu segi juga
7 Ibid, hlm. 11. 8 Endang Saifuddin Anshari, Kuliah Al-Islam Pendidikan Agama Islam di Perguruan
Tinggi, CV. Rajawali, Jakarta, 1992, cet 3. hlm 33.
15
menunjukkan gambaran keagamaan ada pada waktu itu, yang tetap dapat
dilacak dalam agama Hindu sekarang ini.9
Secara garis besar perkembangan agama Hindu dapat dibedakan
menjadi tiga tahap. Tahapan pertama sering disebut dengan zaman Weda,
yang dimulai dengan masuknya bangsa Arya di Punjab hingga munculnya
agama Buddha. Pada masa ini dikenal adanya tiga periode agama yang disebut
dengan periode tiga agama penting (tiga agama besar). Ketiga periode ini
adalah periode ketika bangsa Arya masih berada di daerah Punjab (1500-1000
S.M,). Agama dalam periode pertama lebih dikenal sebagai agama Weda
Kuno atau agma Weda Samhita. Periode kedua ditandai oleh munculnya
agama Brahmana, di mana para pendeta sangat berkuasa dan terjadi banyak
sekali perubahan dalam hidup keagamaan (1000-750 S.M.). Perubahan
tersebut lebih bersifat dari dalam agama weda sendiri dibanding perubahan
karena penyesuaian agama Weda dengan kepercayaan-kepercayaan yang
berasal dari luar. Agama Weda pada periode kedua ini lebih dikenal dengan
agama Brahmana. Periode ketiga ditandai oleh munculnya pemikiran-
pemikiran kefilsafatan ketika bangsa Arya menjadi pusat peradaban sekitar
sungai Gangga (750-500 S.M.). Agama Weda periode ini dikenal dengan
agama Upanishad.
Tahapan kedua adalah tahapan atau zaman agama Budha, yang
mempunyai corak yang sangat lain dari agama Weda. Zaman agama Budha ini
diperkirakan berlangsung antara 500 S.M. –300 M.
Tahapan ketiga adalah apa yang dikenal sebagai zaman agama Hindu,
berlangsung sejak 300 M. hingga sekarang.10
Agama Hindu tidak hanya terdapat di India, tetapi juga telah masuk ke
Indonesia, bahkan sangat kuat pengaruhnya terutama di Jawa. Kapan agama
9 Romdhon, et al, Agama-Agama di Dunia, IAIN Sunan Kalijaga Press, Yogyakarta,
1988, hlm94. 10 Hilman Hadikusuma, Antropologi Agama, bagian II, PT.Citra Aditya Bakti, Bandung,
1993, hlm.152.
16
tersebut masuk ke Nusantara (Indonesia) tidak dapat diketahui secara pasti.
Interpretasi terhadap penemuan kepurbakalaan, peninggalan karya tulis dan
sebagainya, juga tidak memberikan informasi tentang siapa nama pembawa
agama tersebut.
Ada beberapa bukti pengaruh agama Hindu dan kebudayaan India
terhadap Indonesia dalam bidang sastra dan agama, seni bangunan dan adat
kebiasaan yang ada di sekitar kraton. Dari sini barangkali dapat dipahami
bahwa masuknya pengaruh tersebut bukan melalui kasta-kasta Sudra, Waisya
ataupun Ksatria, tetapi oleh para Brahmana, karena merekalah yang
berwenang membaca kitab suci dan menentukan peribadatan. Ajaran tentang
samsara, karma yang tidak terlepas dari ajaran kasta (yang dikaitkan dengan
kelahiran seseorang) memungkinkan dugaan bahwa agama Hindu bukan
agama dakwah dan tidak mencari pengikut. Sering menjadi persoalan adalah
bagaimana pengaruh para Brahmana terhadap lingkungan kraton tersebut.
Dugaan kuat dalam hal ini ialah bahwa yang aktif adalah orang-orang
Indonesia sendiri. Karena adanya hubungan dagang dengan orang-orang India,
maka banyak rakyat yang juga hidup berdagang dan menjadi kaya. Hubungan
raja dan rakyat juga baik sehingga para raja juga menghargai para Brahmana
tersebut. Dalam lingkungan kehidupan beragama, para pedagang yang
beragama Hindu memerlukan para Brahmana. Oleh karena itu para Brahmana
tersebut memiliki kesempatan untuk berada dalam lingkungan kraton. Hal ini
terbukti dengan penemuan prasasti di Kutai yang menunjukkan bahwa untuk
keperluan sedekah, raja memberikan beberapa ekor sapi kepada para
Brahmana.
Aliran agama Hindu yang paling besar pengaruhnya adalah aliran Siwa
dan Tantra (abad 6). Di Indonesia, aliran Tantra dan agama Budha (yang
sempat mendesak Tantra keluar dari India) justru menyatu dengan sebutan
agama Siwa-Budha. Percampuran antara keduanya terlihat jelas pada zaman
kerajaan Singasari (1222-1292).
17
Dari penemuan prasasti dapat diketahui bahwa perkembangan
pengaruh agama Hindu di Indonesia tetap berpusat di sekitar kraton,
sungguhpun ada juga, karena jarak yang jauh, berpusat di biara-biara dan
pemakaman-pemakaman. Prasasti Kutai dari zaman raja Mulawarman abad
ke-5 menunjukkan bahwa korban sesajian oleh raja dilaksanakan dan
diselenggarakan sesuai dengan ajaran kitab Manusmirti. Pemujaan ditujukan
mungkin kepada Siwa dan mungkin kepada Wisnu. Di Jawa Barat, pasasti dari
raja Purnawarman menunjukkan bahwa agama yang berpengaruh adalah
agama Hindu aliran Wisnu; sementara prasasti di Jawa Tengah dari zaman
raja-raja Sanjaya (723) memperlihatkan bahwa agama yang berpengaruh
adalah agama Hindu aliran Siwa.11
Tahun 928 M, pusat kraton yang ada di Jawa Timur (Dinasti Raja
Sendok) lebih bercorak Wisnu. Peninggalan-peninggalan kitab sesudah zaman
itu (yaitu sekitar abad ke-10) adalah kitab Brahmandapurana yang di antara
isinya adalah tentang penciptaan (kosmogoni), silsilah para Resi, keterangan-
keterangan tentang kasta, asrama, yogi dan sebagainya. Juga terdapat uraian
tentang kitab Weda dan penjelasan hal-hal lain yang semuanya berupa mitos.
Kitab Agastyaparwa (akhir abad 10 memuat dialog antara agastya dan
puteranya, Drdhastu). Isi kitab tersebut adalah tentang kosmogoni, lahirnya
para Brahmarsi, lahirnya Manu dan lahirnya Manwatara.
Aliran Tantra mencapai puncak perkembangannya pada zaman
Singasari dan Majapahit. Dalam kitab Nagarakertagama disebutkan bahwa
raja Kertanegara menekuni kitab Subhuti Tantra. Menurut kitab Pararaton, ia
adalah seorang pemabuk, seorang pemuja yang erat hubungannya dengan
upacara pancatattwa (Lima-M). Raja Adityawarman dinobatkan dalam
upacara Bhairawa karena ia adalah penganut sekte Siwa yang menekankan
pada aliran Tantrayana. Menurut prasasti Surowaso (1375), ia dinobatkan
menjadi Bhairawa di Ksetra dengan duduk di atas singgasana yang terdiri dari
11 Djamannuri, Agama Kita Perspektif Sejarah Agama-Agama, Kurnia Kalam Semesta, Yogyakarta, 2000, hlm.37.
18
tumpukan mayat sambil tertawa terbahak-bahak dan minum darah. Sebagai
korban dibakar mayat-mayat yang baunya dikatakan seperti harumnya berjuta-
juta bunga. Di Padang Lawas Sumatra, paham Tantrayana juga mengutamakan
Bhairawa.
Dalam perkembangan selanjutnya, selain pusat-pusat keagamaan di
kraton, juga terdapat pusat-pusat keagamaan Hindu yang disebut Paguron atau
Mandala atau Kasturi. Di tempat-tempat ini para pendeta memberikan
pelajaran yang ada pada waktu itu adalah kitab Tantu Panggelaran, juga kitab
Nawaruci yang juga disebut dengan kitab Tattwajnana. Kitab terakhir ini
penting karena mistik yang terdapat di dalamnya sampai sekarang masih
berlaku di kalangan tertentu. Dasar fikiran dan mistik itu sendiri juga terdapat
dalam kitab-kitab Suluk yang sudah mendapat pengaruh dari Islam .
Di Bali, pengaruh Majapahit sangat kuat. Oleh karena itu agama Hindu
Jawapun sangat berpengaruh di sana, yang lama kelamaan bercampur dengan
agama asli Bali yang disebut agama Tirta dan kemudian disebut agama Hindu
Dharma.
Agama asli Bali mempunyai kepercayaan terhadap para dewa yang
dihindukan sesuai dengan agama Hindu-Jawa. Orang-orang asli Bali
mempercayai para dewa yang dulunya adalah arwah nenek moyang mereka, di
samping percaya terhadap roh-roh jahat. Dewa-dewa yang berasal dari Hindu-
Jawa disebut dengan Bhatara, yang terpenting di antaranya adalah Bhatara
Brahma (dewa api), Bhatara Surya (dewa matahari), Bhatara Indra (dewa
penguasa surga), Bhatara Yama (penguasa maut) dan Bhatari Durga (dewi
maut atau kematian). Bhatara Siwa adalah dewa tertinggi yang menguasai dan
memiliki kekuatan para dewa lainnya. Bahkan semua dewa adalah
penjelmaannya. Penjelmaan Siwa yang dianggap penting adalah Bhatara
Guru, Bhatara Kala dan Bhatari Durga.
Karena Arwah nenek moyang juga didewakan di Bali, maka di Bali
tedapat pengkultusan terhadap orang yang sudah mati. Ada dua macam
pemujaan terhadap orang yang sudah mati. Menurut kepercayaan Bali asli,
19
mayat tersebut cukup ditempatkan di hutan-hutan atau di aliran sungai-sungai,
dan menurut kepercayaan Hindu-jawa, pemujaan terhadap orang mati
dilakukan dengan cara membakar mayatnya terutama di kalangan bangsawan.
Orang mati dipuja terutama karena ada anggapan bahwa dengan
pemujaan tersebut arwahnya akan dapat segera sampai di tempat yang tenang
dan tidak akan mengganggu orang yang masih hidup. Jiwa orang yang masih
hidup dianggap terbelenggu oleh jasad sehingga menjadi kotor. Agar jiwa
lepas dari belenggu tersebut maka jiwa harus disucikan dengan cara-cara
tertentu. Melalui kematian jiwa berpisah dari jasad tetapi masih belum
sempurna karena belum bebas sebebas-bebasnya dan masih harus mengalami
kelahiran kembali. Jiwa semacam ini disebut pirata, dan dapat mendatangkan
petaka bagi keluarganya.
Sesudah penyucian karena kematian, maka penyucian tahap berikutnya
adalah penyucian dengan mempergunakan api dan air yang dilakukan dengan
membakar mayat dan abunya dibuang ke laut atau ke sungai-sungai agar noda-
noda dan karat-karat yang mengotorinya menjadi bersih dan suci secara
sempurna sehingga jiwa dapat menuju ke Indraloka. Di sini jiwa sudah
berubah menjadi pitara dan tidak lagi membahayakan keluarga.12 Sesudah
penyucian ini, baru dilakukan upacara sraddha supaya jiwa dapat langsung
berada di Siwaloka. Upacara mayat yang disebut Ngaben ini, terdiri dari tertib
upacara tertentu dan berbeda-beda sesuai dengan tingkatan kasta yang
bersangkutan. Akan tetapi dewasa ini, biasanya karena alasan ekonomis dan
sebagainya, penyelenggaraan upacara Ngaben sudah tidak begitu lengkap lagi.
Dalam perkembangan selanjutnya, agama Hindu di Indonesia
mengalami perkembangan sekaligus perubahan-perubahan yang sangat
mendasar karena faktor-faktor sosial ekonomi, kebudayaan, pendidikan dan
perkembangan agama Islam. Penyempurnaan dan perubahan tersebut bukan
12 Romdhon, et al, op cit,hlm. 97
20
hanya menyangkut penyelenggaraan upacara keagamaan tetapi juga dalam
konsep keagamaannya.
Agama Tirta mulai berubah sudah sejak zaman pemerintah Belanda, di
antaranya adalah usaha untuk mendapatkan tempat dalam kementerian Agama
Republik Indonesia. Usaha lain ialah usaha untuk menyempurnakan agama
Tirta agar mendapatkan tempat yang pasti di tengah-tengah kemajuan
masyarakat. Beberapa tokoh muda kemudian mendirikan lembaga pendidikan
dan organisasi keagamaan yang disebut Trimurti, yang bertujuan menembus
pembaharuan di bidang keagamaan. Di Singaraja, Bali lahir organisasi Bali
Dharma laksana yang berusaha untuk menyusun kitab suci yang jelas. Pada
zaman Jepang didirikan Paruman Pandita Dharma oleh pemerintah yang
dimaksudkan untuk mempersatukan paham keagamaan Bali dan sebagai
perantara dengan pemerintah Jepang. Pada waktu itu agama disebut dengan
Siwa Raditya atau agama Sanghyang Surya yang mengutamakan pemujaan
terhadap matahari. Pada tahun 1950, badan tersebut berubah menjadi Majelis
Hinduisme. Sejak tahun ini, ada lagi organisasi-organisasi keagamaan yang
muncul yaitu Wiwada Sastra Sabda dan Panti Agama Hindu Bali. Dari sinilah
muncul ide pengakuan agama Hindu Bali sebagai agama resmi di Indonesia,
yang baru berhasil diperjuangkan pada tahun 1958. Sejak saat itu minat untuk
memajukan agama Hindu Bali semakin meningkat. Langkah pertamanya
adalah pemurnian agama Hindu.
Dalam perkembangan yang mutakhir, rupa-rupanya rumusan-rumusan
ajaran agama Hindu di Bali sudah mengalami perubahan-perubahan yang
begitu jauh dibanding pengertian semula di tempat asalnya, India bahkan
sudah menyesuaikan dengan Indonesia dalam kekiniannya. Agama ini sudah
tidak terbatas hanya di Bali saja, tetapi seperti telah disebutkan di atas, dengan
mobilitas yang tinggi, agama Hindu (Bali) sudah memperluas diri dengan
sendirinya.13
13 Djamanuri, op cit, hlm.37.
21
Adapun masuknya agama Budha ke Indonesia dapat dipaparkan
sebagai berikut : berdasarkan beberapa penemuan arkeologi di beberapa
tempat yang terpisah, masa perkembangan agama Budha di Indonesia dimulai
sekitar abad ke-5 M. Dilaporkan bahwa pada waktu itu agama Budha sudah
berkembang luas di Jawa dan Sumatera, meskipun dikatakan pula penuh
dengan penyelewengan. Catatan agak lengkap mengenai keadaan agama
Budha pada waktu itu dibuat oleh I’tsing, yang pada tahun 672 menetap untuk
selama enam bulan di Sriwijaya guna mempelajari bahasa Sanskerta sebelum
belajar agama di Nalanda India. Ia bahkan kembali lagi ke Sriwijaya setelah
belajar selama lebih kurang sepuluh tahun di Nalanda untuk menterjemahkan
naskah-naskah Buddis ke dalam bahasa Cina. Dari catatan I’tsing pula dapat
diketahui bahwa Sriwijaya pada waktu itu sudah merupakan pusat pengajaran
agama Budha yang terkenal di Asia dan mempunyai hubungan yang luas
dengan pusat-pusat pengajaran agama Budha di India. Siswa-siswa yang
belajar di Sriwijaya bukan saja berasal dari wilayah Nusantara, tetapi juga
berasal dari Cina dan Tibet. Menurut I’tsing, penduduk seluruh daerah “laut
selatan”, maksudnya Jawa dan Sumatera, memeluk agama Budha Theravada
dan hanya penduduk melayu saja yang memeluk agama Budha Mahayana.
Pada waktu yang hampir bersamaan dengan kemajuan kerajaan
Sriwijaya, agama Budha Mahayana berkembang di Jawa Tengah di bawah
kekuasaan Mataram kuno yang diperintah oleh wangsa Syailendra. Di sini
kehidupan agama lebih kompleks karena dua agama ditemukan hidup
berdampingan, yaitu Hindu dan Budha. Dalam masalah agama, Jawa Tengah
tidak berperan sebagaimana halnya Sriwijaya, antara lain karena Jawa Tengah
terletak di luar jalur yang dilewati agama Budha dalam penyebaran dan
perkembangan internasionalnya.14 Sumber-sumber tentang agama Budha di
Jawa tengah ini terutama didasarkan pada beberapa peninggalan berupa
tempat-tempat peribadatan agama Budha dan prasasti-prasasti yang jumlahnya
14 Hilman Hadikusuma, op cit, hlm.200.
22
terbatas. Dari yang pertama disebutkan misalnya Candi Sewu, Kalasan,
Plaosan, Mendut dan Borobudur. Selain itu data filologis yang dapat
ditemukan dalam kitab-kitab seperti Sang Hyang Kamahayanikan, Sang
Hyang Nagabayu Sutra dan Kalpa Budha, juga merupakan sumber tentang
agama Budha di Jawa Tengah.
Candi Borobudur memberikan informasi yang agak banyak mengenai
agama Budha. Candi ini didirikan pada masa Samaratungga(312-832 M)
untuk menghormati leluhurnya dan menandai puncak pemerintahannya,
sebagaimana dapat diketahui dari prasasti Sri Kahulunan. Bentuk lahiriah
candi tersebut, yang merupakan lambang bagi jalan ke arah kelepasan
merupakan bukti bahwa candi tersebut dijadikan sarana untuk melakukan
samadi. Untuk memahami ajarannya lebih lanjut, Orang dapat melihat pada
pahatan relief yang terdapat pada dinding-dinding terasnya yang diambil dari
naskah-naskah Mahayana.
Sebagaimana halnya Jawa Tengah, keadaan agama di Jawa Timur juga
memperlihatkan adanya dua agama yang hidup berdampingan pada saat yang
sama yaitu agama Budha Mahayana dan agama Hindu. Ketika raja Erlangga
meresmikan tempat pemujaan bagi nenek moyangnya, Raja Sendok, tiga
macam pendeta ikut bersama-sama melakukan upacara : seorang Brahmana
biasa, seorang pendeta Siwa dan seorang pendeta Budha.15 Raja Kertanegara
yang memerintah antara 1254-1292 M. memeluk dua agama sekaligus, yaitu
Siwa dan Budha. Selain data arkeologis yang dapat ditemukan pada candi-
candi seperti Jago, Jawi dan Singasari, keadaan agama di Jawa Timur ini juga
dapat diketahui melalui sumber-sumber berupa naskah-naskah yang ditulis
sekitar setengah abad setelah Kertanegara meninggal dunia, yaitu kitab
Negarakertagama. Pararaton dan Kakawin Arjunawiwaha. Dari sumber-
sumber tersebut diduga pada masa ini ada tiga aliran keagamaan yang hidup
secara damai yaitu Siwa, Wisnu dan Budha Mahayana. Ketiga-tiganya
15 Djamanuri, op cit,hlm.66.
23
dipandang sebagai bentuk yang berbeda-beda dari kebenaran yang sama.
Gejala sinkretisme ini dapat diketahui pula pada praktik keagamaan dalam
kerajaan Majapahit setelah keruntuhan kerajaan Singasari sekitar tahun 1292
M.. Bahkan berdasarkan sumber-sumber arkeologi dan filologi, tampak bahwa
pada masa Majapahit, sinkretisme ini mencapai puncaknya. Empu Tantular,
dalam kitab Sutasoma, menggambarkan hubungan antara Hindu dan Budha
tersebut dengan kata-kata:”Bhineka Tunggal Ika Tan Hana Dharma
Mangrua”, yang berarti walaupun berbeda-beda satu jua adanya, sebab tidak
ada agama yang mempunyai tujuan yang berbeda. Kalimat ini mencerminkan
kenyataan dan keyakinan agama yang hidup waktu itu, yaitu sinkretisme
antara Hindu dan Budha. Gejala yang sama juga ditemukan di kerajaan
Pagaruyung, Sumatera, di masa pemerintahan Adityawarman, abad ke-14 M.
Singkatnya berdasarkan prasasti-prasasti yang ditemukan, baik di Jawa
maupun Sumatera, dapat diketahui bahwa corak keagamaan yang dianut
waktu itu adalah sinkretisme antara Hindu dan Budha yang mengambil bentuk
Siwa-Budha.16
Setelah berkembang selama berabad-abad di Nusantara, agama Budha
akhirnya mulai mengalami masa surut dari putaran roda sejarah agama di
Indonesia, sejalan dengan kemunduran kerajaan Majapahit pada tahun 1520
M. dan mulai berkembangnya agama Islam. Sejak abad ke-16 itu,
perkembangan agama Budha di Indonesia tidak dapat lagi diketahui secara
pasti. Tetapi pada awal abad ke 20, agama Budha di Indonesia mulai bangkit
kembali dipelopori oleh kalangan terpelajar asal bangsa Belanda, Cina dan
pribumi yang terhimpun dalam :”Perkumpulan Teosofi Indonesia”.
Perkumpulan ini bertujuan mempelajari kebijaksanaan semua agama termasuk
Budha. Salah satu kegiatannya adalah memperkenalkan kembali ajaran agama
Budha di kalangan pengikutnya. Pada tahun 1930 M., perkumpulan tersebut
menyelenggarakan upacara Waisak yang pertama di Candi Borobudur. Dua
16 Ibid
24
tahun berikutnya, di Jakarta berdiri organisasi Java Buddhist Association
sebagai cabang dari The International Buddist Missionary yang berpusat di
Burma. Organisasi ini lebih menekankan pada pemahaman, pengamalan dan
pengembangan agama Budha daripada Perkumpulan Teosofi Indonesia.17
Di kalangan masyarakat Cina juga dibentuk organsasi Sam Kauw Hee
yang bertujuan mempelajari agama Budha, Kong Hu Cu dan Laitze. Di
samping itu juga diadakan hubungan dengan umat Budha luar negeri terutama
dengan Sri Langka.
Peristiwa penting yang menandai kebangkitan kembali agama Budha
adalah penanaman dan pemberkahan pohon Bodhi di halaman candi
Borobudur pada tanggal 10 Maret 1934, serta pelantikan upasaka dan upasaki
yang dilakukan oleh seorang Bhikku asal Sri Langka, Narada Mahatera. Salah
seorang yang dilantik waktu itu adalah S.Mangunkawotjo, tokoh agama Budha
di Jawa Tengah.
Akan tetapi, secara umum keadaan agama Budha pada masa
penjajahan ini sampai dengan tahun lima puluhan tidak banyak yang
diketahui. Pada tahun 1952 muncul organisasi gabungan Sam kauw Indonesia
yang diketuai oleh The Boan Ah. Organisasi ini merupakan kelanjutan dari
organisasi Sam Kauw Hee yang pernah dibentuk pada zaman Belanda. Dalam
perkembangan selanjutnya, organisasi ini lebur menjadi Gabungan Tri dharma
Indonesia yang bertujuan mempelajari agama Budha, Kong Hu Cu dan lautze.
Dengan dipelopori oleh organisasi tersebut agama Budha diperkenalkan
kembali di alam Indonesia merdeka. Pada tahun 1953 didirikan persaudaraan
Upasaka-upasaki Indonesia, dan satu tahun berikutnya The Boan An
ditahsiskan sebagai bikkhu pertama di Indonesia dengan Bikku Ashin
Jinarakkitha di Vihara Watu Gong Budha Gaya, di dekat Semarang.
Sejak tahun 1955, Persaudaraan Upasaka-upasaki Indonesia semakin
berkembang, tidak hanya di Jawa tetapi juga di wilayah-wilayah lain di luar
17 Harun Hadiwijono, Agama Hindu dan Buddha, PT.BPK.Gunung MuliaJakarta, 2001, hlm.88.
25
Jawa sehingga mendorong berdirinya organisasi yang lebih besar pada 12
Pebruari 1957 yang diberi nama Perhimpunan Buddist Indonesia, diketahui
oleh Sastro Utomo.18
Dalam waktu singkat organisasi ini berkembang di beberapa kota di
Jawa, dan pada akhir Desember 1958 mengadakan kongresnya yang pertama
di Vihara Budha Gaya, Ungaran, Semarang.
Salah satu keputusan kongres ini ialah membentuk Perhimpunan
Buddis Indonesia, disingkat Perbuddhi, dengan ketuanya Sariputa Sadono.
Puncak perkembangan agama Budha tahun 1950-an ini adalah
perayaan Waisak di Candi Borobudur pada tahun 1950, suatu tahun yang
dijadikan titik tolak kebangkitan kembali agama Budha sedunia, tepat setelah,
menurut perhitungan, 2500 tahun Budha meninggal dunia. Peringatan tersebut
dihadiri pula oleh bikkhu Indonesia yang diikuti dengan berdirinya Sangha
Suci Indonesia pertama di Indonesia.
Akan tetapi perkembangan yang pesat tersebut dibayang-bayangi oleh
perpecahan yang dimulai tampak pada akhir tahun 1963 dan yang mencapai
puncaknya pada tahun 1964 dengan terpecahnya Perbuddhi menjadi tiga, yaitu
Musyawarah Umat budha seluruh Indonesia, Buddhis Indonesia dan
Perbuddhi sendiri.
Maha Sangha Indonesia juga pecah menjadi dua, yaitu Maha Sangha
Indonesia yang diketuai oleh bhikkhu Ashin Jinarakkhita dan Sangha
Indonesia yang diketuai oleh Bikkhu Jinapiya.19
Sumber utama perpecahan sangha tersebut adalah perbedaan
pemahaman mengenai Ketuhanan Yang Maha Esa dalam agama Budha.
Menurut golongan Mahayana yang diasuh oleh bikkhu Ashin Jinarakkhita,
sebutan Tuhan dalam agama Budha adalah Sang Hyang Adi Budha,
18 Hilman Hadikusuma, op cit,hlm.208 19 Romdhon,et al, op cit hlm. 144
26
sedangkan golongan Theravada, yang diasuh oleh bikkhu Jinapiya,
berpendapat bahwa Tuhan, Yang Mutlak, sebagai tujuan akhir setiap makhluk
dan prinsip yang membebaskan tidak dipandang sebagai pribadi seperti dalam
agama-agama lain, tetapi sebagai nibbhana. Usaha untuk mengatasi perbedaan
pendapat yang diprakarsai Departemen Agama R.I. pada tahun 1970-an
mengalami jalan buntu, karena Maha Sangha Indonenesia menuntut
diterimanya Adi Budha sebagai syarat penyatuan. Akhirnya diperoleh
kesepakatan agar masalah tersebut tidak dipermasalahkan lagi, dan sebagai
hasil lain, dibentuk Sangha Agung Indonesia.
Usaha penyatuan kembali agama Budha dilakukan pada 28 Mei 1972
dengan pembentukan wadah baru bernama Budha Dharma Indonesia, yang
diketuai oleh Suraji Ariakertawijaya. Namun ternyata organisasi ini tidak
dapat berkembang sebagaimana diharapkan, sehingga perlu dibentuk wadah
baru yang diberi nama Gabungan Umat Budha Seluruh Indonesia (GUBSI)
pada September 1976, di Jakarta, atas prakarsa tokoh-tokoh umat Budha dan
dukungan dari DPP Golkar. Tujuan organisasi ini adalah membina,
menyalurkan dan mengembangkan nilai-nilai sosial agama Budha. Sebulan
sesudah GUBSI berdiri, pada 03 Oktober 1976, terbentuk Majelis Pandita
Budha Dharma Indonesia, disingkat MAPANBUDDHI, yang diikuti dengan
berdirinya Sangha Theravada Indonesia, yang dianggap mewakili aliran
Theravada Indonesia.
Usaha penyatuan kembali agama Budha di Indonesia terus
dilaksanakan melalui berbagai pertemuan, yang membuahkan Kongres Umat
Budha Indonesia pada tanggal 7-8 Mei 1979 di Yogyakarta. Dalam kongres
yang dihadiri wakil dari tiga Sangha dan tujuh organisasi umat Budha
Indonesia tersebut, dikeluarkan ikrar dan ketetapan yang harus dihormati oleh
semua pihak. Ikrar tersebut dikukuhkan di Candi Mendut pada 10 Mei 1979,
yang isinya antara lain pernyataan kesediaan untuk bersikap saling
menghormati keyakinan masing-masing dan bekerja bahu-membahu sebagai
satu keluarga besar Umat Budha Indonesia, menjunjung tinggi wadah tunggal
27
Perwalian Umat Budha Indonesia (WALUBI) yang merupakan federasi dari
majelis-majelis agama Budha dan Sangha-Sangha Indonesia, serta
melaksanakan ketetapan dan keputusan Kongres Umat Budha Indonesia
tanggal 7-8 Mei di Yogyakarta.
Ketetapan yang cukup penting dalam usaha menciptakan kerukunan
intern umat Budha Indonesia adalah pengukuhan Keputusan Loka Karya
Pemantapan Ajaran Agama Budha dengan kepribadian Indonesia, yaitu :
I. Tuhan Yang Maha Esa :
(1). Semua sekte agama Budha Indonesia berkeyakinan terhadap Tuhan
Yang Maha esa.
(2). Semua sekte di Indonesia menyebut Tuhan Yang Maha Esa dengan
sebutan yang berbeda-beda tetapi pada hakekatnya adalah satu dan
sama.
(3). Semua sekte agama Budha di Indonesia bersikap menghormati
sebutan yang dipergunakan oleh masing-masing sekte agama Budha
yang lain.
II. Guru Agung/Pembabar/Nabi:
Semua sekte agama Budha di Indonesia berpedoman mengakui Budha
Gautama /Budha Sakyamuni sebagai Guru Agung /Pembabar Agung
Agama Budha.
III. Kitab Suci :
Semua sekte agama Budha di Indonesia berpedoman kepada Kitab suci
Tripitaka/Tipitaka.
IV. Umat :
Semua sekte agama Budha di Indonesia mempunyai umat yang berada di
seluruh pelosok tanah air Indonesia
V. Penghayatan dan Pengamalan Pancasila
Semua sekte agama Budha di Indonesia bertekat untuk melaksanakan
Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (Eka Prasetya Panca
Karsa).
28
Kongres umat Budha di Yogyakarta tersebut dipandang telah berhasil
memecahkan permasalahan intern umat Budha, menghilangkan sikap
saling menyalahkan dengan menumbuhkan sikap saling menghormati pada
keyakinan agamanya. Dalam masalah ekstern, kongres telah berhasil
menuntaskan persoalan umat Budha dalam hubungannya dengan
pemerintah, terutama yang menyangkut penghayatan dan pengamalan
Pancasila.
Dengan berhasilnya umat Budha memecahkan masalah-masalah dasar
tersebut, maka perkembangan agama Budha di Indonesia semakin semarak,
baik dalam pendalaman maupun penyebaran agama ke luar. Dengan
pemerintah, hubungan terjalin semakin baik, yang kemudian membuahkan
berdirinya satu Direktorat khusus agama Budha pada tanggal 16 Agustus 1980
dan keputusan Presiden nomor 3 tahun 1983 yang menetapkan hari raya nyepi
dan hari Waisak sebagai hari libur nasional.
Akhirnya, berdasarkan angka statistik tahun 1980, jumlah pemeluk
agama Budha di Indonesia dewasa ini mencapai 1.391.991 orang, yang
tersebar di beberapa kota di Indonesia.
3. Masuknya Agama Islam
Berbicara masuknya Islam ke Indonesia merupakan masalah historis
yang sampai dewasa ini masih terjadi perbedaan pendapat, baik mengenai
pembawaannya, jalan yang ditempuh, maupun dari segi waktunya.20 meskipun
demikian namun penyebaran Islam di Jawa diperkirakan telah sempura pada
abad ke-16 M seiring dengan berdirinya kerajaan Islam di Demak. Sempurna
di sini dalam arti secara kuantitas sebagian besar penduduk Jawa telah
mengaku sebagai orang Islam, sekalipun jumlah terbesar dari mereka juga
sebatas pada pengucapan syahadat.
Agama Islam mulai masuk di Pulau Jawa sebelum abad ke-13 M, dan
pertama kali menerima pengaruh Islam dari Malaka. Dari Jawa ini kemudian
20 Azyumardi Azra, Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII dan XVIII, Mizan, Bandung, 1994, hlm. 24-29.
29
Islam tersebar ke kepulauan Indonesia bagian timur seperti Makasar (Ujung
Pandang). Pusat-pusat tertua penyebaran agama Islam saat itu adalah daerah
Gresik dan Surabaya. Kesimpulan ini didasarkan pada bukti bahwa di Gresik
terdapat banyak makam tua. Di antaranya sebuah makam tua dari seorang
yang bernama Fatimah binti Maimun yang meninggal pada 7 Rajab 475 H
(1082 M) dan makam Malik Ibrahim yang meninggal pada 12 Rabiulawal
822 H (1419 M).21
Namun, menurut Ma Hua, pelancong muslim dari Cina, pada tahun
1415 M di Jawa Timur belum ada orang Islam pribumi dan baru pada tahun
1450 Islam telah memepegaruhi bangsawan-bangsawan kota di pesisiran,
seperti Tuban, Gresik, dan Sedayu. 22
Keberhasilan pengislaman penduduk Jawa itu adalah berkat kerja keras
para mubalig yang tangguh. Mereka adalah para wali yang terhimpun dalam
suatu lembaga dakwah yang terkenal dengan nama Walisongo. Proses
Islamisasi ini berjalan dengan damai, nyaris tanpa konflik politik ataupun
konflik kultural. Pengislaman di Jawa dimulai dari lapisan masyarakat bawah.
Tidak ada kekuatan secara politis untuk mengislamkan penduduk Jawa dari
atas, tetapi sebaliknya para penguasa, pejabat pemerintah masuk Islam karena
membela kepentingan mereka, yakni ketika masyarakat di wilayah
kekuasaannya telah menjadi muslim. Meski terdapat konflik politik dan
budaya, tetapi berskala kecil sehingga tidak mengesankan perang, kekerasan,
ataupun pemaksaan budaya.
Pengislaman itu terjadi secara damai karena metode yang dipakai oleh
para wali dalam berdakwah menggunakan metode yang sangat akomodatif dan
lentur, yakni dengan menggunakan unsur-unsur budaya lama (Hinduisme dan
Buddhisme), tetapi secara tidak langsung memasukkan nilai-nilai Islam ke
21 H.J. De Graff, dan Th. Pigeaud, Kerajaan-kerajaan Islam di Jawa, PT. Pustaka;
Grafiti Press, Jakarta, 1986, hlm. 21. 22 S. Soebardi, The Place of Islam, Studies in Indonesian History, Pitman Publishing Ltd,
Victoria, Australia, 1976, hlm. 40.
30
dalam unsur-unsur lama itu. Mereka sangat tekun dan benar-benar memahami
sosiokultural masyrakat Jawa. Sering metode ini disebut pula dengan metode
sinkretisme.
Di samping cara-cara tersebut, masih terdapat cara-cara yang
dilakukan oleh para wali dalam mengisalamkan orang Jawa, antara lain:
pertama, melalui jalur perkawinan, menjalin hubungan genealogis dengan
berbagai tokoh masyarakat ataupun pemerintahan, sebagaimana yang
dilakukan oleh Sunan Ampel dalam mengawinkan putra-putranya.
Kedua, melalui jalur pendidikan, dengan mengembangkan pendidikan
pesantren. Ketiga, melalui jalur pengembangan kebudayaan Jawa, khususnya
dalam bidang kesenian. Keempat, melalui jalur politik, diupayakan dengan
membentuk peraturan-peraturan ketataprajaan. dalam bidang politk
kenegaraan, yang berperan mengembangkan adalah sunan Giri. Beliau
menyusun peraturan-peraturan ketataprajaan dan pedoman tatacara keraton.
Sunan Giri banyak memegang peranan dalam mendirikan kerajaan islam di
Demak, Pajang, Mataram, dibantu oleh Sunan Kudus yang ahli dalam bidang
perundang-undangan, pengadilan dan mahkamah.
Semangat para wali dalam menyebarkan Islam tentunya karena
dilandasi oleh kewajiban yang ditetapkan dalam Al’Qur’an antara lain seperti:
a. Firman Allah SWT
ادع الى سبيل ربك بالحكمة والموعظة الحسنة وجاد لهم بالتى هي
احسن ان ربك هو اعلم بمن ضل عن سبيله وهو اعلم بالمهتد ين
Artinya: Serulah (manusia) kepadas jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik, dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu Dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk.( QS. An-Nahl: 125).23
23Yayasan Pennyelenggara Penterjemah Pentafsir Al-Qur’an, Al-Qur’an dan Terjemahnya, Depag, Surabaya, 1978, hlm. 421
31
b. Firman Allah SWT
ولتكن منكم امة يدعون الىالخير وياءمرون بالمعروف وينهون عن
لمنكر واولئك هم المفلحون ا
Artinya: Dan hendaklah ada di antara kamu segolonghan umat
yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang munkar; merekalah orang-orang yang beruntung. (QS. Ali Imran: 104).24
c. Firman Allah SWT
آنتم خير امة اخرجت للناس تاءمرون بالمعروف وتنهون عن المنكر
وتؤمنون باهللا
Artinya: Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah. (QS. Ali Imran: 110).25
Sebagaimana telah diutarakan sebelumnya, bahwa ada beberapa
kesulitan yang ditemukan dalam rangka menulis sejarah masuknya Islam di
Jawa. Kesulitan utama yang akan segera ditemui adalah kurangnya bukti-bukti
otentik yang dapat dipercaya yang menunjukkan tentang masuknya Islam di
Jawa. Kalaupun kemudian ditemukan bukti-bukti, tetapi karena sangat minim,
akan menimbulkan kesulitan pula dalam mengidentifikasikan sumber-sumber
yang ada. Namun demikian, hal itu tidak berarti bahwa tidak dimungkinkan
adanya pembuktian.
24 Ibid, hlm. 93. 25 Ibid, hlm. 94
32
Sumber pertama berbentuk artefak melalui penelitian arkeologi, dan
sumber kedua adalah dari teks-teks historiografi tradisional. Telaah sumber
sejarah dalam bentuk artefak dalam tulisan ini, hanya mengandalkan pada apa
yang telah banyak diteliti para arkeolog, sedangkan untuk sumber tradisional
tulisan ini langsung menelaah teks-teks babad. Pada yang pertama mungkin
tidak dijumpai kesulitan. Tapi pada sumber yang kedua, sebagaimana sifat
teks-teks babad yang bercorak tradisional, maka tulisan pada bagian ini lebih
panjang lebar dan cenderung rumit.
Bukti pertama Islam di Jawa
Masuknya Islam di Jawa sampai sekarang masih menimbulkan hasil
telaah yang sangat beragam. Ada yang mengatakan Islam masuk ke Jawa
sebagaimana Islam datang ke Sumatera, yang diyakini abad pertama Hijriah
atau abad ke-7 Masehi. Setidaknya pendapat ini didukung oleh Hamka,
dengan alasan adanya berita Cina yang mengisahkan kedatangan utusan raja
Ta Cheh26 kepada ratu Sima. Adapun Raja Ta Cheh, menurut Hamka adalah
Raja Arab dan khalifah saat itu adalah Muawiyah bin Abi Sufyan. Peristiwa
itu terjadi pada saat muawiyah melaksanakan pembangunan kembali armada
Islam . Ruban Levy menyatakan bahwa jumlah kapal yang dimiliki oleh
Muawiyah pada 34 H atau 654/655 M adalah sekitar 5000 buah. Tentu armada
kapal ini berfungsi pula untuk melindungi armada niaganya. Oleh karena itu,
tidaklah mustahil pada tahun 674 Manusia Muawiyah dapat mengirimkan
dutanya ke Kalingga.27
26 Sebagaimana dikuti Sartono Kartodirjo dalam Sejarah Nasional Indonesia 3, 1975,
catatan no.5, hlm.86, B. Schrieke dalam Indonesian Sosiological Studies, part one, The Hague 1955,15, menafsirkan Ta-Shih pada abad ke-12 Manusia ialah kekhalifahan Abbasiyah. Rita. R. De Meglio Arab trade With Indonesia and the Malay Peninsula (editor Richards), 1970,115, dalam catatannya no. 29 mengatakan bahwa akhir abad –7 istilah Ta-shih dipakai untuk menyebut orang-orang Arab, tetapi masa kemudian dipakai untuk menyebutkan seluruh kerajaan Abbasiyyah yang dalam suatu waktu meluas hingga istilah tersebut dipakai untuk menyebut orang-orang muslim umumnya. (juga mungkin untuk kekhalifahan Bani Umayyah: pen)
27 Am. Suryonegoro, Menemukan Sejarah, Mizan Bandung, 1995, hlm. 88.
33
Dalam bentuk artefak kita dapatkan bukti-bukti itu dalam bentuk
makam (batu nisan), masjid, ragam hias, dan tata kota. Dari sekian bukti-
bukti, salah satu di antaranya yaitu bentuk makam (batu nisan) dipaparkan
sebagai berikut: bahwa makam (batu nisan) merupakan bukti sejarah. Dengan
kata lain bukti sejarah yang paling faktual barangkali adalah ditemukannya
Batu Nisan kubur Fatimah Binti Maemun di Leran Gresik yang berangka 475
H (1082 M); Moqoutte seperti dikutip Sartono Kartodirjo, mengatakan bahwa
batu nisan itu mungkin merupakan bukti yang kongkret bagi kedatangan Islam
di Jawa.28 Pada nisan makam itu tercantum prasasti berhuruf dan berbahasa
Arab, yang menyatakan bahwa makam itu adalah kubur Fatimah binti Maimun
bin Hibatallah yang meninggal pada tanggal 7 Rajab 475 H bertepatan dengan
tanggal 1 Desember 1082 Manusia, yang berarti masih dalam jaman Kediri
(1042-1222).29 Di kampung Gapuro kota Gresik juga terdapat makam kuno,
yaitu kubur Malik Ibrahim yang meninggal tanggal 12 rabiul Awal 822 H,
bertepatan dengan 8 April 1419.30
Sementara itu, Ricklefs31 dalam uraiannya mengatakan bahwa
serangkaian batu nisan yang sangat penting ditemukan di kuburan-kuburan di
Jawa Timur, yaitu di Trowulan dan Troloyo, di dekat situs istana Majapahit
yang bersifat Hindu-Budha. Batu-batu itu menunjukkan makam orang-orang
muslim, tetapi lebih banyak menggunakan angka tahun Saka India dengan
angka-angka Arab. Tarikh Saka dipakai oleh istana-istana Jawa dari zaman
Jawa Kuno hingga tahun 1633 M. Digunakannya tarikh Saka dan angka-angka
tahun Jawa Kuno pada batu-batu nisan itu menunjukkan bahwa hampir dapat
dipastikan kalau makam-makam itu merupakan tempat penguburan orang-
28 Sartono Kartodirjo dkk, Sejarah Nasional Indonesia, Jilid III, depdikbud, 1975,
hlm.89. 29 Soekmono, Pengantar Sejarah Kebudayaan Indonesia 2,Pn. Kanisius, Yogyakarta,
1994, hlm. 57. 30 Inajati AM Romli, Islam dan Kebudayaan Jawa, Suatu Kajian arkeologi, makalah dari
Yayasan Javanologi Yogyakarta tanpa tahun, hlm. 3. 31 M.C. Ricklefs, Sejarah Indonesia Modern, terj. Darmono Hardjowijono, Gajah Mada
University Press, cet 3, Yogyakarta, 1993, hlm 5
34
orang muslim Jawa, dan bukan merupakan kuburan orang muslim asing. Batu
nisan yang pertama ditemukan di Trowulan memuat angka tahun Saka 1290
(1368-1369 M.). Di Troloyo ada beberapa batu nisan yang angka tahunnya
berkisar antara 1298 Saka sampai 1533 Saka (1376-1611 M.). Batu-batu itu
memuat kutipan-kutipan dari al-Qur’an dan formula-formula yang saleh.
Berdasarkan rumitnya hiasan yang terdapat pada beberapa batu nisan dan
lokasinya yang dekat dengan situs ibukota Majapahit, maka Damais seperti
dikutip Ricklefs menarik kesimpulan bahwa batu-batu nisan itu mungkin
untuk menandai kuburan-kuburan orang Jawa yang terhormat, bahkan ada
kemungkinan anggota keluarga raja.32
Oleh karena itu, batu-batu Jawa Timur tersebut memberi kesan bahwa
beberapa orang anggota kaum elite Jawa memeluk agama Islam pada masa
kerajaan Majapahit yang beragama Hindu-Budha sedang berada di puncak
kejayaannya. Selain itu, batu-batu nisan tersebut merupakan bukti paling kuno
yang masih ada tentang penduduk Jawa yang beragama Islam .33
B. Pengertian Pokok Sinkretisme
1. Pengertian Sinkretisme
Secara etimologis, sinkretisme berasal dari perkataan syin dan
kretiozein atau kerannynai, yang berarti mencampurkan elemen-elemen yang
saling bertentangan. Adapun pengertiannya adalah suatu gerakan di bidang
filsafat dan teologi untuk menghadirkan sikap kompromi pada hal-hal yang
agak berbeda dan bertentangan. Tercatat pada abad ke-2 dan ke-4 aliran Neo
Platonisme berusaha menyatukan agama-agama penyembah berhala.
Selanjutnya pada masa renaisan muncul usaha untuk menyatukan antara gereja
Katholik Timur dan Katholik Barat. Pernah juga muncul gerakan untuk
mengawinkan antara aliran lutherian dengan aliran-aliran lain dalam Protestan.
32 Ibid. 33 ibid
35
Sementara itu, dalam bidang filsafat pernah muncul usaha untuk
mengharmoniskan pertentangan antara pemikiran Plato dan Aritoteles.34
Cara sinkretisme adalah cara-cara seseorang dalam menghayati dan
mengamalkan agama dengan memilih-milih ajaran tertentu dari berbagai
agama untuk dipraktekkan dalam kehidupan keagamaan diri sendiri atau untuk
diajarkan kepada orang lain. Dalam prakteknya cara beragama sinkretisme ini
dapat terjadi pada bidang kepercayaan, sedangkan Tuhan umpamanya
dikombinasikan “Gustiallah” atau “Allah Sang Hyang widi”, dapat juga
dalam pelaksanaan ritual, dalam berdoa, dalam peralatan yang dipakai pada
upacara keagamaan dan sebagainya.35
Niels Mulder merumuskan:
Sinkretisme adalah upaya untuk menenggelamkan berbagai perbedaan dan menghasilkan kesatuan di antara berbagai sekte atau aliran filsafat. Dengan kata lain upaya menghasilkan kesatuan itu merupakan tujuan tertinggi; dan demi hal itu dianggap pantas untuk mengorbankan prinsip dan dogma.36
Sedangkan Akbar S Ahmed sebagaimana dikutif oleh Sumanto al-
qurtuby dalam bukunya mengatakan;
Sinkretisme Islam artinya percampuran antara islam dengan unsur-unsur lokal (Jawa) dalam cara yang tidak genuine dan sedikit agak dipaksakan. Sebutan sinkretisme memang mengandung nada ejekan (pejoratif), yakni bahwa Islam tidak lagi tampil sebagai dalam wujudnya yang asli tetapi sudah tercampur dengan unsur-unsur eksternal. islam yang “sinkretis” sebagaimana kita lihat dalam masyarakat Jawa dengan demikian menggambarkan suatu genuine keagamaan yang sudah jauh dari sifatnya yang “murni” di tempat asalnya di Timur Tengah.37
Menyikapi keterangan tersebut, Sumanto Al-Qurtuby mengungkapkan
bahwa tesis Akbar ini dijadikan kerangka analisis Ulil Abshar Abdalla, ketika
34 Dagobert D.Runes (ed), Dictionary of Philosophy, Littlefield, New Jersey, 1976, hlm.308.
35 Dadang Kahmat. op.cit, hlm. 47-48. 36 Niels Mulder, Agama, Hidup Sehari-Hari dan Perubahan Budaya, PT.Gramedia
Pustaka Utama Jakarta, 1999, hlm. 3. 37 Sumanto Al-Qurtuby, Banyak Jalan Menuju Islam, Kritik atas fundamentalisme
Agama, Semarang – Indonesia, hlm. 10-11
36
ia menulis tentang sinkretisme Islam melalui “optik” Serat Centini dalam
rubrik “Benthara” Kompas 4 Agustus 2000.38
2. Macam-macam Bentuk Sinkretisme
Salah satu sifat dari masyarakat Jawa adalah bahwa mereka religius
dan bertuhan. Sebelum agama-agama besar datang ke Indonesia, khususnya
Jawa, mereka sudah mempunyai kepercayaan adanya Tuhan yang melindungi
dan mengayomi mereka. Keberagamaan ini semakin berkualitas dengan
masuknya agama-agama besar seperti Hindu, Budha, Islam , Katholik dan
Protestan ke Jawa. Namun, dengan pengamatan selintas dapat diketahui bahwa
dalam keberagamaan rata-rata masyarakat Jawa adalah nominalis, dalam arti
bahwa mereka tidak bersungguh-sungguh dalam melaksanakan ajaran-ajaran
agamanya.39
Ada di antara mereka yang benar-benar serius dalam menjalankan
ajaran-ajaran agamanya. Ada juga yang berusaha untuk serius, tetapi karena
hambatan-hambatan khusus seperti ewuh dengan lingkungan yang tidak
mendukung, takut dikatakan sok semuci dan sebagainya,
Dalam mengekspresikan keagamaannya secara utuh. Dalam hal ini
bisa saja mereka mengaku sebagai orang muslim, yang untuk itu, mereka
bersedia dikhitan, membaca syahadat ketika akan melaksanakan akad nikah,
melakukan salat Idul Fitri,membaca surah Yasin dan tahlil ketika diundang
slametan oleh tetangga dan kerabatnya, menghadiri pengajian pada hari-hari
besar Islam, memberikan sumbangan untuk pembangunan masjid, dan
sebagainya. Namun untuk benar-benar serius dan sungguh-sungguh dalam
menjalankan syariat Islam, seperti salat lima waktu dengan berjamaah, puasa
sebulan penuh dalam bulan Ramadhan, membayar zakat mal (zakat yang
berkaitan dengan penghasilan yang mereka terima dan harta yang mereka
38 Ibid, hlm. 11. 39 Marbangun Hardjowiraga, manusia Jawa, Intidayu Press, Jakarta, 1984, hlm.17, dan
lihat pula Koentjaraningrat, Kebudayaan Jawa. Balai Pustaka, Jakarta, 1984, hlm. 310-312. Selanjutnya buku ini disebut Kebudayaan Jawa.
37
miliki), dan amalan-amalan agama lainnya yang relatif sulit dilakukan serta
membutuhkan keseriusan, mereka enggan mengerjakannya. Karena kurangnya
keseriusan dalam memahami dan mengamalkan agamanya.
Clifford Geertz, seorang antropolog Amerika yang pernah melakukan
penelitian di kota Pare, yang ia samarkan menjadi Kota Mojokuto pada awal
tahun lima puluhan, mengelompokkan masyarakat Jawa menjadi tiga
kelompok, yaitu abangan, santri, dan priyayi.40
Dalam menerangkan keberagamaan masyarakat muslim Jawa,
Kuncaraningrat membagi mereka menjadi dua, yaitu agama Islam Jawa dan
agama Islam santri. Pertama kurang taat kepada syari’at dan bersikap sinkretis
yang menyatukan unsur-unsur pra-Hindu, Hindu, dan Islam, sedangkan yang
kedua lebih taat dalam menjalankan ajaran-ajaran agama Islam dan bersifat
puritan. Ketiga, taat dalam menjalankan agama dengan selalu berpegang teguh
pada Al-Qur’an dan al-Hadits. Namun demikian, meski tidak sekental
pengikut agama Islam Jawa dalam keberagamaan, para pemeluk Islam santri
juga masih terpengaruh oleh animisme, dinamisme, dan Hindu-Budha.41
Dalam uraian di atas telah disebutkan beberapa contoh tentang
pelaksanaan sinkretisasi antar unsur-unsur dari ajaran-ajaran Islam dengan
agama Budha, Hindu dan tradisi lokal Jawa. Untuk lebih mengkongkretkan
pengertian dan pemahaman tentang itu, berikut ini dinukilkan lagi beberapa
contoh dari hal tersebut.
a. Penggabungan antara dua agama /aliran atau lebih
Menggabungkan dua agama atau lebih dimaksudkan untuk
membentuk suatu aliran baru, yang biasanya merupakan sinkretisasi antara
kepercayaan lokal (Jawa) dengan ajaran-ajaran agama Islam dan agama-
40 Untuk menguraikan hal tersebut, Geertz telah menulis buku The Religion of Java.
Banyak kritikan yang ditujukan kepada buku ini, antara lain, penyejajaran priyayi di satu pihak dengan santri dan abangan di pihak lain. Santri dan abangan adalah dikhotomi yang didasarkan pada pengamalan agama, sedangkan priyayi didasarkan pada status sosial. Dengan demikian kelompok priyayi lebih tepat didikhotomikan dengan wong cilik / kawula alit.
41 Kebudayaan Jawa, Op. Cit. hlm. 310-311.
38
agama lainnya. Dari masing-masing agama tersebut diambil yang sesuai
dengan alur pikiran mereka. Dan, apabila aliran-aliran kepercayaan yang
berkembang di Indonesia, dan lebih khusus lagi di Jawa diteliti, akan
didapatkan bahwa aliran-aliran ini merupakan hasil sinkretisasi antara
kepercayaan lokal dengan agama-agama yang telah ada.
Sebagai contoh dari langkah ini adalah ajaran Ilmu Sejati yang
diciptakan oleh Raden Sujono alias Prawirosudarso, yang berasal dari
Desa Sukorejo, Kecamatan Saradan, kabupaten Madiun. Ia lahir pada 1875
dan meninggal pada 25 Oktober 1961 dalam usia 85 tahun. Pada tahun
1916, ia belajar agama Islam kepada Haji Samsudin dari Desa Betet,
Kabupaten Bojonegoro, selama 3 tahun yang mengaku mendapatkan ilmu
khusus dari seorang pengikut mazhab Syafi’i ketika ia berada di Saudi
Arabia. Tokoh yang meresmikan ajarannya pada 13 Oktober 1926 ini
mempunyai pengalaman yang beraneka ragam. Ia pernah menjadi mantri
penjual candu selama 4 tahun.
Ia juga pernah menjadi anggota syariat Islam selama 4 tahun.
Karena kuat pengaruhnya pada pemilu tahun 1955 ia terpilih menjadi
anggota DPR mewakili calon independen, bahkan dalam dewan terhormat
tersebut ia pernah ditunjuk sebagai ketua sementara. Menurut
pengakuannya, ajaran ilmu sejati diasaskan pada kesucian yang dihimpun
dari ajaran-ajaran Islam , Kristen dan Budha . dan apabila ajaran tersebut
diteliti dengan seksama, akan terlihat bahwa pengakuannya tidak salah.
Sebagai contoh aliran ini mengajarkan sadat (Syahadat) yang
berbunyi sebagai berikut :
“Ashadu Allah ananingsun, anane ambekan, anane rasul, anane johar. Wa ashadu anane urip, anane Mukamad, anane nur, nur tegese padhang, johar tegese padhang, Mukamad lan rasul iku tegese cahya, nur johar tegese padhang.” Artinya : “Ashadu Allah adanya aku, adanya nafas, adanya rasul, adanya johar. Wa ashadu anna adanya hidup, adanya Mukamad, adanya nur, nur artinya terang, johar artinya terang . mukamad dan rasul artinya cahaya, nur johar artinya terang.
39
Di antara ajaran-ajaran aliran ini adalah sebagai berikut :
1. Dalam hidup wajib mengerti letak dasar iman, yaitu lafal(ucapan)
a. Laa ilaaha
b. Illallah
c. Allaah
Ketiga ucapan tersebut masing-masing diucapkan tiga kali
2. Wajib memenuhi rukun Islam yang lima yaitu .
a. Sahadat (syahadat) : supaya mengerti letaknya
b. Salat (shalat) : menjalankan serta mengerti tentang maksudnya.
c. Jakat (Zakat) : agar mulia awal akhir
d. Puasa (saum) : agar suci awal akhir
e. Kaji (haji) : agar sempurna betulnya
3. Hendaklah memenuhi tentang sembah lima (tata sila), yaitu :
a. Bapak dan ibu : ini yang menjadi sebab.
dilahirkannya di dunia.
b. Mertua laki isteri : inilah yang memberi kesenangan di dunia
c. Saudara tua : ini sebagai gantinya orang tua (bapak ibu)
d. Raja : yaitu harus mengikuti apa yang menjadi
permerintah Republik Indonesia.
e. Guru : ini yang memberi pengajaran yang benar-
benar, agar terang hatinya dan berguna hidupnya di dunia awal-
akhir.42
b. Dalam Masalah Kepercayaan
1. Konsep Mengenai Kosmogoni dan kosmologi
Dalam masyarakat Jawa telah beredar beberapa mite tentang
penciptaan alam dan manusia. Walaupun mite-mite tersebut berbeda,
42 Kamil Kartapraja, Aliran Kebatinan dan kepercayaan Indonesia. Yayasan Masagung,
Jakarta , 1985, hlm. 99-105 dan lihat pula Ridin Sofwan , Menguak Seluk Beluk Aliran Kebatinan, Aneka Ilmu, Semarang, 1999, hlm, 231-238.
40
tetapi di dalamnya terdapat satu persamaan. Semuanya menyebut adam
sebagai manusia dan nabi pertama
Salah satu mite menyebutkan bahwa Brahma adalah pencipta
bumi, wisnu adalah pencipta manusia. Setelah berhasil menciptakan
bumi. Brahma berusaha menciptakan manusia. Namun, setelah
berusaha tiga kali dan gagal, ia menyuruh Wisnu turun ke bumi untuk
melanjutkan usahanya yang gagal. Maka dengan menggunakan tanah
liat Wisnu membuat sebuah patung yang menyerupai dirinya sendiri,
yang kemudian diisinya dengan energi yang terdiri dari jiwa dan
sukma (semangat). Sayangnya dalam penciptaan ini ia lupa untuk
memasukkan prana (nafas) ke dalamnya sehingga ciptaannya tersebut
hancur menjadi ribuan serpihan dan kepingan. Kepingan-kepingan ini
kemudian menghilang dalam kegelapan dan kemudian berubah
menjadi hantu-hantu jahat yang mengganggu alam dewata.
Setelah itu Wisnu berusaha sekali lagi untuk melaksanakan
perintah Brahma. Dan karena sudah berpengalaman, ia berhasil
menciptakan makhluk yang lebih tanpan dan diisinya dengan unsur-
unsur yang diperlukan sehingga terciptalah manusia pertama
sebagaimana yang diharapkan Brahma. Setelah sempurna
penciptaannya, makhluk ini kemudian diberi nama Adina (Adam).
Setelah manusia dan nabi pertama ini tercipta, sadarlah Wisnu
bahwa seorang manusia Adam saja belum memadai untuk mengisi
dunia ini. Kemudian, terpikirlah oleh Wisnu untuk mencarikan Adam
seorang teman. Oleh karena itu, ketika terlihat oleh Wisnu setangkai
bunga teratai di dalam sebuah kolam, ia memintanya untuk menjelma
menjadi seorang perempuan sebagai teman Adam. Setelah teratai ini
menerima permintaan Wisnu, menjelmalah ia menjadi perempuan
cantik yang diberi nama Dewi Kana (Hawa
Dari uraian di atas terlihat bahwa mite ini berusaha untuk
mengkompromikan antara Islam dengan penyebutan Adam dan Hawa,
41
dan ajaran Hindu dengan menyebutkan nama Brahma dan Wisnu
dalam penciptaan alam dan manusia
2. Silsilah raja-raja mataram
Dalam rangka menambah wibawa dan legitimasi raja-raja
Mataram yang berasal dari orang biasa (Ki Ageng Pemanahan),
dibuatlah silsilah politik untuk menunjukkan bahwa dari garis ibu
mereka adalah keturunan para wali yang berujung kepada Nabi
Muhammad SAW (silsilah penengen), dan dari garis bapak, mereka
berasal dari keturunanpara Dewa dan sekaligus Nabi Adam.
Dari garis ibu dapat disebutkan bahwa mereka berasal dari
Syekh Wali Lanang yang merupakan putera dari Syekh Maulana Ishak
bin Syekh Jungeb. Untuk lebih jelasnya berikut ini kutipan bagan
silsilah penengen (silsilah dari garis ibu).
Syekh Jungeb (berasal dari saudi Arabia dan keturunan Nabi
Muhammad)
Syekh Maulana Ishak
Syekh Wali Lanang
Sunan Giri I
Sunan Giri II
Ki Ageng Saba
Nyi Ageng Pemanahan (ibu Panembahan Senapati)
Adapun dalam silsilah dari Nabi Adam sampai ke raja-raja
Mataram (silsilah pengiwa) sudah banyak diketahui oleh umum terutama
masyarakat Jawa yang kental dengan tradisi, meskipun tidak berarti pihak
yang tidak kental dengan tradisi tidak mengenal silsilah itu.
Dengan adanya silsilah pengiwa dan penengen ini diharapkan
masyarakat akan mengetahui bahwa raja-raja mereka adalah keturunan
42
dari tokoh-tokoh yang kuat dan terkenal. Dengan demikian pengungkapan
hal tersebut akan menambah legitimasi dan wibawa kepada mereka.43
Tulisan di atas menunjukkan sinkretisasi antara ajaran Islam dan
Hindu, dengan mengaitkan bahwa manusia adalah keturunan para dewa.
Namun ternyata para dewa juga masih keturunan manusia juga, Adam dan
Sis.
c. Bidang ritual
1. Upacara midodareni
Bagi masyarakat tradisional, pergantian waktu dan perubahan
fase kehidupan adalah saat-saat genting yang perlu dicermati dan
diwaspadai. Untuk itu mereka mengadakan crisis rites dan rites de
passage, yaitu upacara peralihan yang berupa slametan, makam
bersama (kenduri), prosesi dengan benda-benda keramat dan
sebagainya begitu pula sebelum Islam datang, di kalangan masyarakat
Jawa sudah terdapat ritual-ritual keagamaan. Seperti slametan yang
berkaitan dengan proses kelahiran, kematian, membengun dan pindah
rumah, menanam dan memanen padi serta penghormatan terhadap roh
para leluhur dan roh halus.
Ketika Islam datang ritual-ritual ini tetap dilanjutkan hanya
isinya diubah dengan unsur-unsur dari ajaran-ajaran Islam maka
terjadilah Islamisasi Jawaisme(keyakinan dan budaya Jawa)contoh
yang lainnya :upacara midodareni, suatu ritual yang dilangsungkan
pada malam hari menjelang hari perkawinan yang bermaksud untuk
mendekatkan pengantin pada para bidadari dan roh halus supaya
melindungi kedua calon pengentin dari mara bahaya yang mengganggu
jalannya prosesi perkawinan dan hari-hari sesudahnya.
2. Upacara brokohan dan sepasaran
43 W.L. Olthof (ed), Poeniko Serat Babad Tanah Jawi Wiwit Saking nabi Adam Dumugi Tahun 1647, M. Nijhoff, Gravenhage, 1941, hlm. 7-46 dan lihat pula C.C Berg. Penulisan Sejarah Jawa , Bharata Jakarta, 1985, serta lihat pula G. Moedjanto, Konsep kekuasaan, Penerapannya oleh Raja-raja mataram, Yogyakarta, 1987, hlm. 86.
43
Dalam Islam ketika seorang bayi lahir, ayah ibunya
disyariatkan untuk melaksanakan aqiqah, dengan menyembelih seekor
kambing kalau yang dilahirkannya seorang perempuan, dan dua ekor
kambing kalau yang dilahirkan laki-laki. Namun kenyataan
menunjukkan bahwa sebagian masyarakat muslim Jawa tidak
melaksanakan perintah ini. Sebagai gantinya mereka mengadakan
upacara brokohan (diadakan setelah bayi lahir ke dunia dengan
selamat) dan sepasaran (ketika bayi berusia lima hari).
Kedua slametan ini, mereka tidak tidak menyembelih kambing
tapi menggantinya dengan sego janganan, nasi urap yang sengaja
dibikin pedas urapnya untuk secara tidak langsung memberitahu
bahwa bayi yang dilahirkan adalah laki-laki. Dan apabila yang
dilahirkan adalah perempuan, urap sengaja dibikin tidak pedas.44
Dengan harapan dan doa agar anak yang dilahirkan tersebut akan
menjadi orang yang linuwih di kemudian hari.
d. Dalam doa dan mantera
Salah satu jasa Sunan makhdum Ibrahim, yang dikenal sebagai
Sunan Bonang, dalam menyebarkan Islam di Jawa adalah mengganti
nama-nama dewa yang terdapat pada mantera dan doa dengan nama-
nama nabi, malaikat dan tokoh-tokoh terkemuka di dalam Islam .
dengan cara ini diharapkan masyarakat berpaling dari pemujaan dewa-
dewa dan menggantinya dengan tokoh-tokoh yang berasal dari dunia
Islam . berikut ini adalah contoh mantera dan doa untuk mendapatkan
keperkasaan jasmani:
Bismillahirrahmanirrahim.
“Jabarail sumurup maring Fatimah. Fatimah sumurup maring
badandu, kapracaya dening Allah ta’ala, cik ancik macan putih dudu
44 Marbangun Hardjowiraga, Adat Istiadat Jawa, patma Bandung 1980, hlm 133-134
44
macan putih, mangko iki macan putih saking Allah, la ilaha illallah
Muhammad Rasulullah,”45
Doa ini dibaca setelah mandi 14 kali dalam semalam dan memakan 80
biji botor (biji kecipir)
e. Menggabungkan agama
Yang dimaksud dengan menggabungkan Islam dengan budaya
lokal dalam konteks ini adalah melaksanakan syariat Islam dengan
kemasan budaya Jawa. Berbakti kepada orang tua adalah wajib. Dalam
melaksanakan syariat ini masyarakat jawa biasanya menggunakan
media sungkem. Begitu pula dalam rangka memperingati hari raya Idul
Fitri, masyarakat menyiapkan hidangan kupat dan lontong. Secara
“kerata basa” kupat artinya ngaku lepat. Hal ini merupakan simbolisasi
dari perintah untuk meninta maaf kepada orang lain pada hari raya
yang penuh kebahagiaan ini.
Adapun lontong, secara Keratabasa dapat diartikan sebagai
alone kothong ‘kesalahannya kosong/habis. Hal ini merupakan
simbolisasi dari doa agar semua dosanya termaafkan sehingga dirinya
bersih dari dosa yang pernah menghinggapinya.
Meskipun sama-sama menggabungkan unsur-unsur ajaran dari dua
atau lebih agama /aliran yang berbeda, contoh—contoh sinkretisasi di atas
tidaklah sama tingkatannya. Ada yang sudah dataran aqidah, yang sebagian
besar ulama sepakat untuk menolaknya, ada yang menyentuh bidang ritual,
yang para ulama berselisih pendapat di dalamnya, dan ada yang hanya
menyentuh pada tingkatan budaya (akulturasi) yang sebagian besar ulama
sepakat untuk menerimanya, karena mereka menganggapnya sebagai bagian
dari urusan duniawi.
45 Karkono Kamajaya, Kebudayaan Islam , Perpaduannya dengan Islam , IKAPI DIY,
Yogyakarta, 1995. hlm 292-293