BAB II TINJAUAN UMUM 2.1 Pengertian dan Konsep...

40
BAB II TINJAUAN UMUM 2.1 Pengertian dan Konsep Penyandang Disabilitas Penyandang disabilitas merupakan kelompok masyarakat yang beragam, diantaranya penyandang disabilitas yang mengalami disabilitas fisik, disabilitas mental maupun gabungan dari disabilitas fisik dan mental. Istilah penyandang disabilitas pun sangat beragam. Kementerian Sosial menyebut penyandang disabilitas sebagai penyandang cacat, Kementerian Pendidikan Nasional menyebut dengan istilah berkebutuhan khusus, sedangkan Kementerian Kesehatan menyebut dengan istilah Penderita cacat. 1 WHO mendefinisikan disabilitas sebagai “A restriction or inability to perform an activity in the manner or within the range considered normal for a human being, mostly resulting from impairment”. 2 Definisi tersebut menyatakan dengan dengan jelas bahwa disabilitas merupakan pembatasan atau ketidakmampuan untuk melakukan suatu kegiatan dengan cara yang atau dalam rentang dianggap normal bagi manusia, sebagian besar akibat penurunan kemampuan. Selain pengertian secara umum, WHO mengemukakan pula definisi disabilitas yang berbasis pada model sosial sebagai berikut. 1 Eko Riyadi, at.al, 2012, Vulnerable Groups: Kajian dan Mekanisme Perlindungannya, PUSHAM UII, Yogyakarta, h. 293. 2 Barbotte, E.Guillemin, F.Chau, N. Lorhandicap Group, 2011, Prevalence of Impairments, Disabilities, Handicaps and Quality of Life in the General Population: A Review of Recent Literature, Bulletin of the World Health Organization, Vol.79, No. 11, p. 1047.

Transcript of BAB II TINJAUAN UMUM 2.1 Pengertian dan Konsep...

Page 1: BAB II TINJAUAN UMUM 2.1 Pengertian dan Konsep …erepo.unud.ac.id/8279/3/1e8c4e03313eee1d3708feb67301e323.pdf · a. Tuna Laras, dikelompokkan dengan anak yang mengalami gangguan

BAB II

TINJAUAN UMUM

2.1 Pengertian dan Konsep Penyandang Disabilitas

Penyandang disabilitas merupakan kelompok masyarakat yang beragam,

diantaranya penyandang disabilitas yang mengalami disabilitas fisik, disabilitas

mental maupun gabungan dari disabilitas fisik dan mental. Istilah penyandang

disabilitas pun sangat beragam. Kementerian Sosial menyebut penyandang

disabilitas sebagai penyandang cacat, Kementerian Pendidikan Nasional menyebut

dengan istilah berkebutuhan khusus, sedangkan Kementerian Kesehatan menyebut

dengan istilah Penderita cacat. 1

WHO mendefinisikan disabilitas sebagai “A restriction or inability to

perform an activity in the manner or within the range considered normal for a

human being, mostly resulting from impairment”.2 Definisi tersebut menyatakan

dengan dengan jelas bahwa disabilitas merupakan pembatasan atau

ketidakmampuan untuk melakukan suatu kegiatan dengan cara yang atau dalam

rentang dianggap normal bagi manusia, sebagian besar akibat penurunan

kemampuan.

Selain pengertian secara umum, WHO mengemukakan pula definisi

disabilitas yang berbasis pada model sosial sebagai berikut.

1 Eko Riyadi, at.al, 2012, Vulnerable Groups: Kajian dan Mekanisme Perlindungannya,

PUSHAM UII, Yogyakarta, h. 293.

2 Barbotte, E.Guillemin, F.Chau, N. Lorhandicap Group, 2011, Prevalence of

Impairments, Disabilities, Handicaps and Quality of Life in the General Population: A Review of

Recent Literature, Bulletin of the World Health Organization, Vol.79, No. 11, p. 1047.

Page 2: BAB II TINJAUAN UMUM 2.1 Pengertian dan Konsep …erepo.unud.ac.id/8279/3/1e8c4e03313eee1d3708feb67301e323.pdf · a. Tuna Laras, dikelompokkan dengan anak yang mengalami gangguan

a) Impairment (kerusakan atau kelemahan) yaitu ketidaklengkapan atau

ketidaknormalan yang disertai akibatnya terhadap fungsi tertentu. Misalnya

kelumpuhan di bagian bawah tubuh disertai ketidakmampuan untuk

berjalan dengan kedua kaki.

b) Disability/handicap (cacat/ketidakmampuan) adalah kerugian/keterbatasan

dalam aktivitas tertentu sebagai akibat faktor-faktor sosial yang hanya

sedikit atau sama sekali tidak memperhitungkan orang-orang yang

menyandang “kerusakan/kelemahan” terentu dan karenanya mengeluarkan

oranmg-orang itu dari arus aktivitas sosial.3

Pengertian lain disebutkan pula oleh The International Classification of

Functioning (ICF) yaitu “Disability as the outcome of the interaction between a

person with impairment and the environmental and attitudinal barriers s/he may

face”.4 Pengertian ini lebih menunjukkan disabilitas sebagai hasil dari hubungan

interaksi antara seseorang dengan penurunan kemampuan dengan hambatan

lingkungan dan sikap yang ditemui oleh orang tersebut.

Konvensi PBB mengenai Hak-Hak Penyandang Disabilitas tidak secara

eksplisit menjabarkan mengenai disabilitas. Pembukaan Konvensi menyatakan

disabilitas merupakan sebuah konsep yang terus berubah dan disabilitas adalah

hasil interaksi antara orang yang penyandang disabilitas/mental dengan hambatan

3 Coleridge Peter, 2007, Pembebasan dan Pembangunan, Perjuangan Penyandang Cacat

di Negara-Negara Berkembang, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, h.132.

4 UNESCO Bangkok, 2009, Teacing Children With Disabilities in Inclusive Settings,

UNESCO Bangkok, Bangkok, p.5.

Page 3: BAB II TINJAUAN UMUM 2.1 Pengertian dan Konsep …erepo.unud.ac.id/8279/3/1e8c4e03313eee1d3708feb67301e323.pdf · a. Tuna Laras, dikelompokkan dengan anak yang mengalami gangguan

perilaku dan lingkungan yang menghambat partisipasi yang penuh dan efektif di

tengah masyarakat secara setara dengan orang lain.

Disabilitas sebagai hasil interaksi antara masyarakat yang sifatnya tidak

inklusif dengan individual dapat digambarkan sebagai berikut.

a) Seseorang yang menggunakan kursi roda bisa saja mengalami kesulitan dalam

mendapatkan pekerjaan, bukan karena ia menggunakan kursi roda namun

karena ada hambatan-hambatan lingkungan misalnya bis atau tangga yang tidak

bisa mereka akses sehingga menghalangi akses mereka ke tempat kerja.

b) Seseorang yang memiliki kondisi rabun dekat ekstrim yang tidak memiliki

akses untuk mendapatkan lensa korektif mungkin tidak akan dapat melakukan

pekerjaan sehari-harinya. Orang yang sama yang memiliki resep untuk

menggunakan kacamata yang tepat akan dapat melakukan semua tugas itu tanpa

masalah

Secara yuridis pengertian penyandang cacat diatur dalam Pasal 1 ayat (1)

UU Penyandang Cacat sebagai berikut: Setiap orang yang mempunyai kelainan

fisik dan/atau mental, yang dapat menganggu atau merupakan rintangan dan

hambatan baginya untuk melakukan kegiatan secara selayaknya, yang terdiri dari:

a. penyandang cacat fisik

b. penyandang cacat mental

c. penyandang cacat fisik dan mental

Pengertian ini sama dengan pengertian yang tercantun dalam Pasal 1 ayat (1)

Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 43 Tahun 1998 tentang Upaya

Peningkatan Kesejahteraan Sosial Penyandang Cacat.

Page 4: BAB II TINJAUAN UMUM 2.1 Pengertian dan Konsep …erepo.unud.ac.id/8279/3/1e8c4e03313eee1d3708feb67301e323.pdf · a. Tuna Laras, dikelompokkan dengan anak yang mengalami gangguan

Dalam UU HAM, penyandang disabilitas merupakan kelompok masyarakat

rentan yang berhak memperoleh perlakuan dan perlindungan lebih berkenaan

dengan kekhususannya. Dalam Undang-Undang No. 11 Tahun 2009 tentang

Kesejahteraan Sosial, ditegaskan bahwa penyandang disabilitas digolongkan

sebagai bagian dari masyarakat yang memiliki kehidupan yang tidak layak secara

kemanusiaan dan memiliki kriteria masalah sosial.

Menurut Pasal 1 angka 5 Peraturan Menteri Pekerjaan Umum No.

30/PRT/M/2006 tentang Pedoman Teknis Fasilitas dan Aksesinilitas Pada

Bangunan Gedung dan Lingkungan, yang dimaksud dengan penyandang cacat

adalah setiap orang yang mempunyai kelemahan/kekurangan fisik dan/atau mental,

yang dapat menganggu atau merupakan rintangan dan hambatan baginya untuk

melakukan kegiatan kehidupan dan penghidupan secara wajar.

Menurut Convetion On The Rights of Persons With Disabilities (Konvensi

Mengenai Hak-Hak Penyandang Disabilitas) yang telah disahkan dengan Undang-

Undang Nomor 19 Tahun 2011 tentang Pengesahan Convention On The Rights Of

Persons With Disabilities (Konvensi Mengenai Hak-Hak Penyandang Disabilitas),

penyandang disabilitas termasuk mereka yang memiliki keterbatasan fisik, mental,

intelektual, atau sensorik dalam jangka waktu lama dimana ketika berhadapan

dengan berbagai hambatan, hal ini dapat mengahalangi partisipasi penuh dan efektif

mereka dalam masyarakat berdasarkan kesetaraan dengan yang lainnya. Konvensi

ini tidak memberikan batasan tentang penyandang cacat. Dalam konvensi ini

penyandang cacat disebut sebagai penyandang disabilitas.

Page 5: BAB II TINJAUAN UMUM 2.1 Pengertian dan Konsep …erepo.unud.ac.id/8279/3/1e8c4e03313eee1d3708feb67301e323.pdf · a. Tuna Laras, dikelompokkan dengan anak yang mengalami gangguan

Adapun jenis dan penyebab kecacatan bisa disebabkan oleh berbagai faktor

yaitu:

a) Cacat didapat (Acquired), penyebabnya bisa karena kecelakaan lalu lintas,

perang/konflik bersenjata atau akibat penyakit-penyakit kronis.

b) Cacat bawaan/sejak lahir (Congenital), penyebabnya antara lain karena

kelainan pembentukan organ-organ (organogenesis) pada masa kehamilan,

karena serangan virus, gizi buruk, pemakaian obat-obatan tak terkontrol

atau Karen apenyakit menular seksual.5

Menurut UU Penyandang Cacat, berbagai faktor penyebab serta

permasalahan kecacatan, maka jenis-jenis kecacatan dapat di kelompokkan sebagai

berikut :

1. Penyandang Cacat Fisik

a. Tuna Netra adalah seseorang yang terhambat mobilitas gerak yang

disebabkan oleh hilang/berkurangnya fungsi penglihatan sebagai akibat

dari kelahiran, kecelakaan maupun penyakit yang terdiri dari:

a) Buta total, tidak dapat melihat sama sekali objek di depannya

(hilangnya fungsi penglihatan).

b) Persepsi cahaya, seseorang yang mampu membedakan adanya

cahaya atau tidak, tetapi tidakdapat menentukan objek atau benda

di depannya.

5 Sapto Nugroho, Risnawati Utami, 2008, Meretas Siklus Kecacatan-Realitas Yang

Terabaikan, Yayasan Talenta, Surakarta, h.114.

Page 6: BAB II TINJAUAN UMUM 2.1 Pengertian dan Konsep …erepo.unud.ac.id/8279/3/1e8c4e03313eee1d3708feb67301e323.pdf · a. Tuna Laras, dikelompokkan dengan anak yang mengalami gangguan

c) Memiliki sisa penglihatan (low vision), seseorang yang dapat

melihat benda yang ada di depannya dan tidak dapat melihat jari-

jari tangan yang digerakkan dalam jarak satu meter.

b. Tuna Rungu/ Wicara adalah kecacatan sebagai akibat

hilangnya/terganggunya fungsi pendengaran dan atau fungsi bicara baik

disebabkan oleh kelahiran, kecelakaan maupun penyakit, terdiri dari tuna

rungu wicara, tuna rungu, tuna wicara.

c. Tuna Daksa adalah cacat pada bagian anggota gerak tubuh. Tuna daksa

dapat diartikan sebagai suatu keadaan rusak atau terganggu, sebagai akibat

gangguan bentuk atau hambatan pada tulang, otot, dan sendi dalam

fungsinya yang normal. Kondisi ini dapat disebabkan oleh penyakit,

kecelakaan atau dapat juga disebabkan oleh pembawaan sifat lahir.6 Pada

orang tuna daksa ini terlihat kelainan bentuk tubuh, anggota atau otot,

berkurangnya fungsi tulang, otot sendi maupun syaraf-syarafnya. 7

Tuna daksa terdiri dari dua golongan yaitu:

1) Tuna daksa ortopedi, yaitu kelainan atau kecacatan yang

menyebabkan terganggunya fungsi tubuh, kelainan tersebut dapat

terjadi pada bagian tulang, otot tubuh maupun daerah persendian, baik

yang dibawa sejak lahir (congenital) maupun yang diperoleh

kemudian karena penyakit atau kecelakaan, misalnya kelainan

6 T. Sutjihati Soemantri, 2006, Psikologi Anak Luar Biasa. Refika Aditama, Bandung,

h.121.

7 Endang Warsiki, dkk, 2003, Hubungan Antara Kecacatan Fisik Anak Dan Depresi Ibu

Dari Anak-Anak Tuna Daksa,YPAC, Surabaya, h.3.

Page 7: BAB II TINJAUAN UMUM 2.1 Pengertian dan Konsep …erepo.unud.ac.id/8279/3/1e8c4e03313eee1d3708feb67301e323.pdf · a. Tuna Laras, dikelompokkan dengan anak yang mengalami gangguan

pertumbuhan anggot badan atau anggota badan yang tidak sempurna,

cacat punggung, amputasi tangan, lengan, kaki dan lainnya.

2) Tuna daksa syaraf, yaitu kelainan yang terjadi pada fungsi anggota

tubuh yang disebabkan gangguan pada susunan syaraf di otak. Otak

sebagai pengontrol tubuh memiliki sejumlah syaraf yang menjadi

pengendali mekanisme tubuh, karena itu jika otak mengalami

kelainan, sesuatu akan terjadi pada organisme fisik, emosi dan mental.

Salah satu bentuk terjadi karena gangguan pada fungsi otak dapat

dilihat pada anak cerebral palsy yakni gangguan aspek motoric yang

disebabkan oleh disfungsinya otak.8

2. Penyandang Cacat Mental

a. Tuna Laras, dikelompokkan dengan anak yang mengalami gangguan

emosi. Gangguan yang muncul pada individu yang berupa gangguan

perilaku seperti suka menyakiti diri sendiri, suka menyerang teman, dan

lainnya.

b. Tuna Grahita, sering dikenal dengan cacat mental yaitu kemampuan

mental yang berada di bawah normal. Tolak ukurnya adalah tingkat

kecerdasan atau IQ. Tuna grahita dapat dikelompokkan sebagai berikut :

a) Tuna Grahita Ringan

Tampang dan fisiknya normal, mempunyai IQ antara kisaran 50 s/d

70. Mereka juga termasuk kelompok mampu didik, mereka masih bisa

8 Muhammad Effendi, 2006, Pengantar Psikopedagogik Anak Berkelainan, Bumi Aksara,

Jakarta, h.122.

Page 8: BAB II TINJAUAN UMUM 2.1 Pengertian dan Konsep …erepo.unud.ac.id/8279/3/1e8c4e03313eee1d3708feb67301e323.pdf · a. Tuna Laras, dikelompokkan dengan anak yang mengalami gangguan

dididik (diajarkan) membaca, menulis dan berhitung, anak tunagrahita

ringan biasanya bisa menyelesaikan pendidikan setingkat kelas IV SD

Umum.

b) Tuna Grahita Sedang

Tampang atau kondisi fisiknya sudah dapat terlihat, tetapi ada

sebagian anak tuna grahita yang mempunyai fisik normal. Kelompok

ini mempunyai IQ antara 30 s/d 50. Mereka biasanya menyelesaikan

pendidikan setingkat kelas II SD Umum.

c) Tuna Grahita Berat

Kelompok ini termasuk yang sangat rendah intelegensinya tidak

mampu menerima pendidikan secara akademis. Anak tunagrahita

berat termasuk kelompok mampu rawat, IQ mereka rata-rata 30

kebawah. Dalam kegiatan sehari-hari mereka membutuhkan bantuan

orang lain.

3. Penyandang Cacat Fisik dan Mental Ganda merupakan mereka yang

menyandang lebih dari satu jenis keluarbiasaan, misalnya penyandang tuna

netra dengan tuna rungu sekaligus, penyandang tuna daksa disertai dengan tuna

grahita atau bahkan sekaligus.

Dalam Pasal 13 UU Penyandang Cacat dikatakan bahwa setiap penyandang

cacat mempunyai kesamaan kesempatan untuk mendapatkan pekerjaan sesuai

dengan jenis dan derajat kecacatannya. Menurut Pasal 1 angka 2 UU Penyandang

Cacat dan Pasal 1 angka 2 PP No. 43 Tahun 1998 tentang Upaya Peningkatan

Page 9: BAB II TINJAUAN UMUM 2.1 Pengertian dan Konsep …erepo.unud.ac.id/8279/3/1e8c4e03313eee1d3708feb67301e323.pdf · a. Tuna Laras, dikelompokkan dengan anak yang mengalami gangguan

Kesejahteraan Sosial Penyandang Cacat yang dimaksud dengan derajat kecacatan

adalah berat ringannya keadaan cacat yang disandang seseorang.

Pada Pasal 2 PP No. 43 Tahun 1998 diatur bahwa penentuan jenis dan

tingkat kecacatan yang disandang seseorang ditetapkan oleh Menteri yang

bertanggung jawab di bidang kesehatan. Lebih lanjut dalam Pasal 6 Peraturan

Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor: 104/MENKES/PER/II/1999

tentang Rehabilitasi Medik dinyatakan bahwa penyandang cacat dapat dibedakan

dalam jenis dan derajat kecacatan yang meliputi cacat fisik, cacat mental dan cacat

fisik dan mental. Cacat fisik meliputi cacat bahasa, penglihatan, pendengaran,

skeletal, rupa, visceral dan generalisata. Cacat mental meliputi cacat intelektual dan

cacat psikologi lainnya. Cacat fisik dan mental mencakup kecacatan baik yang

dimaksud dalam kriteria cacat fisik dan cacat mental.

Menurut Pasal 7 Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor:

104/MENKES/PER/II/1999 tentang Rehabilitasi Medik mengatur bahwa derajat

kecacatan dinilai berdasarkan keterbatasan kemampuan seseorang dalam

melaksanakan kegiatan sehari-hari yang dapat dikelompokkan dalam:

a) Derajat cacat 1 yaitu mampu melaksanakan aktifitas atau mempertahankan

sikap dengan kesulitan.

b) Derajat cacat 2 yaitu mampu melaksanakan kegiatan atau mempertahankan

sikap dengan bantuan alat bantu.

c) Derajat cacat 3 yaitu dalam melaksanakan aktifitas, sebagian memerlukan

bantuan orang lain dengan atau tanpa alat bantu.

Page 10: BAB II TINJAUAN UMUM 2.1 Pengertian dan Konsep …erepo.unud.ac.id/8279/3/1e8c4e03313eee1d3708feb67301e323.pdf · a. Tuna Laras, dikelompokkan dengan anak yang mengalami gangguan

d) Derajat cacat 4 yaitu dalam melaksanakan aktifitas tergantung penuh terhadap

pengawasan orang lain.

e) Derajat cacat 5 yaitu tidak mampu melukakan aktifitas tanpa bantuan penuh

orang lain dan tersedianya leingkungan khusus.

f) Derajat cacat 6 yaitu tidak mampu penuh melaksanakan kegiatan sehari-hari

meskipun dibantu penuh orang lain.

Berdasar pengertian-pengertian tersebut, penyandang disabilitas diakui

sebagai bagian integral Bangsa Indonesia, yang tidak terpisahkan dari anggota

masyarakat lainnya. Penyandang disabilitas mempunyai kedudukan, hak,

kewajiban dan peran yang sama sebagai warga Negara Indonesia. Penyandang

disabilitas merupakan asset negara bidang sumber daya manusia yang mempunyai

kelebihan dan kekurangan sebagaimana manusia lainnya. Potensi yang dimiliki

penyandang disabilitas dapat dikembangkan sesuai dengan talenta yang dibawa

sejak lahir. Namun karena kecacatan yang disandangnya penyandang disabilitas

mengalami hambatan fisik, mental dan social untuk mengembangkan dirinya secara

alami.

Penyandang disabilitas memiliki kedudukan, hak dan kewajiban yang sama

dengan masyarakat non disabilitas. Sebagai bagian dari warga negara Indoesia,

penyandang disabilitas berhak mendapatkan perlakuan khusus, yang dimaksudkan

sebagai upaya perlindungan dari kerentanan terhadap berbagai tindakan

diskriminasi dan terutama perlindungan dari berbagai pelanggaran hak asasi

manusia. Perlakuan khusus tersebut dipandang sebagai upaya maksimalisasi

penghormatan, pemajuan, perlindungan dan pemenuhan hak asasi manusia

Page 11: BAB II TINJAUAN UMUM 2.1 Pengertian dan Konsep …erepo.unud.ac.id/8279/3/1e8c4e03313eee1d3708feb67301e323.pdf · a. Tuna Laras, dikelompokkan dengan anak yang mengalami gangguan

universal.

Sebagai bentuk komitmen lebih lanjut terhadap usaha mendorong

terwujudnya hak bagi para penyandang disabilitas, Pemerintah Indonesia

meratifikasi Konvensi PBB mengenai Hak Para Penyandang Disabilitas pada

bulan Oktober 2011. Konvensi ini kemudian diadaptasi ke dalam UU No 19 Tahun

2011. Ratifikasi UNCRPD oleh Pemerintah Indonesia adalah sebuah tindakan

yang memberikan pergeseran mendasar dari pendekatan kesejahteraan sosial

menjadi pendekatan hak asasi manusia. Termasuk di dalamnya adalah untuk

memfokuskan pada penghalang-penghalang yang menghambat di lingkungan

fisik, sosial, budaya dan ekonomi sehingga para penyandang disabilitas bisa

berpartisipasi dan memberikan kontribusi mereka sesuai dengan kemampuan yang

mereka miliki. Terlebih lagi, pendekatan ini juga menerima pemikiran untuk

mengadopsi perundang-undangan dan kebijakan non diskriminatif, yang

menekankan pada pentingnya perlakuan dan kesempatan yang setara.

Secara eksplisit Indonesia juga memiliki Undang Undang Nomor 4 tahun

1997 tentang Penyandang Cacat yang memberikan landasan hukum secara tegas

mengenai kedudukan dan hak penyandang disabilitas. Dalam konsideran UU

Penyandang Cacat ditegaskan bahwa "Penyandang cacat merupakan bagian

masyarakat Indonesia yang juga memiliki kedudukan, hak, kewajiban, dan peran

yang sama". Selain itu hak-hak fundamental berikut kewajiban penyandang

disabilitas juga ditegaskan dalam Pasal 41 Ayat 2 UU HAM, yang menyebutkan

bahwa : "Setiap penyandang cacat, orang yang berusia lanjut, wanita hamil

Page 12: BAB II TINJAUAN UMUM 2.1 Pengertian dan Konsep …erepo.unud.ac.id/8279/3/1e8c4e03313eee1d3708feb67301e323.pdf · a. Tuna Laras, dikelompokkan dengan anak yang mengalami gangguan

dan anak anak, berhak memperoleh kemudahan dan perlakuan khusus". Begitu

pula dengan Pasal 42 UU HAM yang berbunyi:

"Setiap warga negara yang berusia lanjut, cacat fisik dan atau cacat mental

berhak memperoleh perawatan, pendidikan, pelatihan, dan bantuan khusus

atas biaya negara, untuk menjamin kehidupan yang layak sesuai dengan

martabat kemanusiaannya, meningkatkan rasa percaya diri, dan

kemampuan berpartisipasi dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa,

dan bernegara".9

Seperti yang telah diuraikan pada paragraf di atas, penyandang cacat

memiliki kedudukan, hak dan kewajiban yang sama dengan warga negara non

disabilitas. Penyandang disabilitas memiliki hak untuk hidup, dan

mempertahankan kehidupnya. Selain hak untuk hidup, apabila membicarakan

isu-isu mengenai hak asasi manusia, kita juga dapat menemukan bahwa manusia

sebagai warga negara memiliki hak sipil dan politik, serta memiliki hak ekonomi,

sosial dan budaya.

Hak Sipil dan politik dipandang sebagai hak-hak yang bersumber dari

martabat dan melekat pada setiap manusia yang dijamin dan dihormati

keberadaannya oleh negara agar manusia bebas menikmati hak-hak dan

kebebasannya dalam bidang sipil dan politik yang pemenuhannya menjadi

tanggung jawab negara, yang meliputi hak hidup; hak bebas dari penyiksaan dan

perlakuan tidak manusiawi; hak bebas dari perbudakan dan kerja paksa; hak atas

kebebasan dan keamanan pribadi; hak atas kebebasan bergerak dan berpindah; hak

atas pengakuan dan perlakuan yang sama dihadapan hukum; hak untuk bebas

9 International Labour Office, 2006, Kaidah ILO tentang Pengelolaan Penyandang

Cacat di Tempat Kerja, ILO Publication, Jakarta, h.3. (selanjutnya disebut International Labour

Office II ).

Page 13: BAB II TINJAUAN UMUM 2.1 Pengertian dan Konsep …erepo.unud.ac.id/8279/3/1e8c4e03313eee1d3708feb67301e323.pdf · a. Tuna Laras, dikelompokkan dengan anak yang mengalami gangguan

berfikir, berkeyakinan dan beragama; hak untuk bebas berpendapat dan

berekspresi; hak untuk berkumpul dan berserikat; dan hak untuk turut serta dalam

pemerintahan.

Hak ekonomi, sosial, dan budaya, dipandang sebagai hak dasar manusia

yang harus dilindungi dan dipenuhi agar manusia terlindungi martabat dan

kesejahteraannya. Pemerintah Indonesia telah meratifikasi kovenan Internasional

tentang Hak-hak Ekonomi Sosial dan Budaya (International Covenant on

Economic, social, and Cultural Right) pada bulan Oktober 2005. Ratifikasi ini

ditandai dengan terbitnya Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2005 tentang

Pengesahan International Convenant on Economic, Social and Cultural Right

(Kovenan Internasional tentang Hak-hak Ekonomi, Sosial dan Budaya). Dengan

demikian, negara wajib menghormati, melindungi dan memenuhi Hak-hak

tersebut kepada warganya. Hak-hak ekonomi, sosial dan budaya yang diatur

dalam kovenan tersebut meliputi: Hak atas pekerjaan, Hak mendapatkan program

pelatihan, Hak mendapatkan kenyamanan dan kondisi kerja yang baik, Hak

membentuk serikat buruh, Hak menikmati jaminan sosial, termask asuransi

sosial, Hak menikmati perlindungan pada saat dan setelah melahirkan, Hak

atas standar hidup yang layak termasuk pangan, sandang, dan perumahan, Hak

terbebas dari kelaparan, Hak menikmati standar kesehatan fisik dan mental yang

tinggi, Hak atas pendidikan, termasuk pendidikan dasar secara cuma-cuma, Hak

untuk berperan serta dalam kehidupan budaya menikmati manfaat dari kemajuan

ilmu pengetahuan dan aplikasinya.

Instrumen kebijakan hak asasi manusia dan pembangunan ini juga

Page 14: BAB II TINJAUAN UMUM 2.1 Pengertian dan Konsep …erepo.unud.ac.id/8279/3/1e8c4e03313eee1d3708feb67301e323.pdf · a. Tuna Laras, dikelompokkan dengan anak yang mengalami gangguan

terkandung dalam Konvensi PBB mengenai Hak-Hak Penyandang Disabilitas.

Konvensi ini bersifat lintas jenis disabilitas, lintas sektoral dan mengikat secara

hukum. Tujuannya adalah untuk mempromosikan, melindungi dan memastikan

para penyandang disabilitas dapat menikmati secara penuh dan setara semua hak

asasi manusia dan kebebasan fundamental serta mempromosikan penghargaan

terhadap harkat dan martabat mereka.

Konvensi ini menandai sebuah ‘pergeseran paradigma’ dalam perilaku dan

pendekatan terhadap para penyandang disabilitas. Para penyandang disabilitas tidak

dilihat sebagai obyek kegiatan amal, perlakuan medis, dan perlindungan sosial,

namun dilihat sebagai manusia yang memiliki hak yang mampu mendapatkan hak-

hak itu serta membuat keputusan terhadap hidup mereka sesuai dengan keinginan

dan ijin yang mereka berikan seperti halnya anggota masyarakat lainnya.

Pasal 9 dari UNCRPD menyatakan bahwa aksesibilitas merupakan hal

penting dalam memberikan kesempatan bagi mereka yang memiliki disabilitas

untuk dapat hidup secara mandiri dan berpartisipasi penuh dalam kehidupan.

Aksesibilitas sangatlah berhubungan dengan berbagai hal meliputi aksesibilitas

fisik dan aksesibilitas informasi serta komunikasi.

Aksesibilitas fisik merujuk pada akses-akses ke sarana pendidikan, akses

masuk ke pengadilan, akses masuk ke rumah sakit dan akses ke tempat kerja

merupakan hal penting bagi seseorang sehingga bisa menikmati hak asasi

manusianya. Ini termasuk di dalamnya: ramp (selain atau sebagai tambahan dari

tangga). Sedangkan aksesibilitas informasi dan komunikasi merujuk ke

aksesibilitas pada dunia maya dengan melihat begitu pentingnya internet dalam

Page 15: BAB II TINJAUAN UMUM 2.1 Pengertian dan Konsep …erepo.unud.ac.id/8279/3/1e8c4e03313eee1d3708feb67301e323.pdf · a. Tuna Laras, dikelompokkan dengan anak yang mengalami gangguan

mengakses informasi, namun juga aksesibilitas kepada dokumentasi (braille) atau

informasi aural (bahasa isyarat).

Aksesibilitas bagi penyandang cacat berarti kemudahan yang diberikan atau

disediakan bagi penyandang cacat bukan sebagai pengistimewaan, melainkan

mencoba meminimalisir keterbatasan mereka sebagai akibat hilangnya atau kurang

berfungsinya salah satu atau beberapa fungsi anggota tubuhnya. Aksesibilitas

meliputi aksesibilitas fisik dan aksesibilitas non fisik. Aksesibilitas fisik itu seperti

landaian, handrail (susuran tangan, biasa terdapat di tangga-tangga), lebar pintu

yang memenuhi standar universal disain yang berarti dapat dilalui oleh pemakai

kursi roda secara mandiri, suara atau audio serta huruf braille bagi penyandang

tunanetra, serta bahasa isyarat dan tulisan bagi penyandang tunarungu.

Sedangkan aksesibilitas non fisik itu meliputi terbangunnya persepsi positif

masyarakat terhadap keberadaan penyandang cacat bahwa penyandang cacat adalah

sama dengan warga negara lain dalam hal kebutuhan pemenuhan segala aspek

kehidupan dan penghidupan. Oleh karena itu, masyarakat harus mendorong

penyandang cacat agar berpartisipasi penuh dalam kehidupan bermasyarakat,

berbangsa, dan bernegara termasuk dalam hal ini adalah hak untuk membina

keluarga dan mempunyai keturunan. Para eksekutif dan legislator dapat

memproduk peraturan dan perundang-undangan yang aspiratif, akomodatif, serta

memberi ruang yang cukup bagi penyandang cacat untuk menikmati hasil-hasil

pembangunan.

Dalam penjelasan atas UU Penyandang Cacat, tercantum pada Pasal 10 ayat

(1) bahwa penyediaan aksesibilitas itu dapat berupa fisik dan non fisik, antara lain

Page 16: BAB II TINJAUAN UMUM 2.1 Pengertian dan Konsep …erepo.unud.ac.id/8279/3/1e8c4e03313eee1d3708feb67301e323.pdf · a. Tuna Laras, dikelompokkan dengan anak yang mengalami gangguan

sarana dan prasarana umum; serta informasi dan komunikasi yang diperlukan bagi

penyandang cacat untuk memperoleh kesamaan kesempatan. Hal ini sesuai dengan

Peraturan Standar PBB yang telah diratifikasi oleh Indonesia, dimana isinya adalah

sebagai berikut

1) Akses Terhadap Lingkungan Fisik

a) Negara-negara seyogyanya mengambil langkah-langkah untuk

menghilangkan rintangan-rintangan bagi partisipasi di dalam lingkungan

fisik. Langkah-langkah dimaksud seyogyanya berupa pengembangan

standar dan pedoman serta pertimbangan untuk memberlakukan undang-

undang demi menjamin aksesibilitas terhadap berbagai bidang kehidupan

di masyarakat, misalnya sehubungan dengan perumahan, bangunan,

pelayanan transportasi umum dan alat transportasi lainnya, jalan raya dan

lingkungan luar ruangan lainnya.

b) Negara-negara seyogyanya menjamin agar arsitek, insinyur bangunan dan

pihak-pihak lainnya yang secara profesional terkait dalam perancangan dan

pembangunan lingkungan fisik, mendapatkan akses terhadap informasi

yang memadai tentang kebijaksanaan mengenai kecacatan serta langkah-

langkah untuk menciptakan aksesibilitas.

c) Persyaratan aksesibilitas seyogyanya termuat di dalam desain dan

konstruksi lingkungan fisik dari awal hingga proses perancangannya.

d) Organisasi-organisasi para penyandang cacat seyogyanya dikonsultasi

jika akan mengembangkan standar dan norma-norma bagi aksesibilitas.

Organisasi-organisasi ini juga seyogyanya dilibatkan secara langsung sejak

Page 17: BAB II TINJAUAN UMUM 2.1 Pengertian dan Konsep …erepo.unud.ac.id/8279/3/1e8c4e03313eee1d3708feb67301e323.pdf · a. Tuna Laras, dikelompokkan dengan anak yang mengalami gangguan

tahap perencanaan awal, jika proyek-proyek pembangunan sarana umum

dirancang, sehingga aksesibilitas yang maksimum dapat terjamin adanya.

2) Akses terhadap Informasi dan Komunikasi

a) Para penyandang cacat dan, bilamana perlu, keluarganya serta para

pembelanya seyogyanya memiliki akses terhadap informasi lengkap

tentang diagnosis, hak-hak dan pelayanan serta program yang tersedia,

pada semua tahap. Informasi semacam ini seyogyanya disajikan dalam

bentuk yang dapat diakses oleh para penyandang cacat.

b) Negara-negara seyogyanya mengembangkan strategi-strategi agar

pelayanan informasi dan dokumentasi dapat diakses oleh semua kelompok

penyandang cacat. braille, rekaman dalam kaset, tulisan besar (large print)

dan teknologi lainnya yang sesuai, seyogyanya dipergunakan untuk

memberi akses terhadap informasi dan dokumentasi tertulis bagi para tuna

netra. Demikian pula teknologi yang sesuai seyogyanya dipergunakan

untuk memberi akses terhadap informasi lisan bagi para tuna rungu atau

mereka yang mengalami kesulitan dalam pemahaman.

c) Seyogyanya dipertimbangkan penggunaan bahasa isyarat dalam

pendidikan anak-anak tuna rungu, dalam keluarga dan masyarakatnya.

d) Pelayanan penerjemahan bahasa isyarat seyogyanya juga disediakan untuk

memudahkan komunikasi antara para tunarungu dengan anggota

masyarakat lainnya. Seyogyanya dipertimbangkan pula kebutuhan-

kebutuhan orang yang mengalami hambatan komunikasi lainnya.

Page 18: BAB II TINJAUAN UMUM 2.1 Pengertian dan Konsep …erepo.unud.ac.id/8279/3/1e8c4e03313eee1d3708feb67301e323.pdf · a. Tuna Laras, dikelompokkan dengan anak yang mengalami gangguan

e) Negara-negara seyogyanya mendorong media massa, terutama televisi,

radio dan surat kabar, agar pelayanannya dapat diakses.

f) Negara-negara seyogyanya menjamin komputerisasi informasi dan sistem

pelayanan yang diperuntukkan bagi umum dapat diakses atau

diadaptasikan sehingga dapat diakses oleh para penyandang cacat.

g) Organisasi-organisasi para penyandang cacat seyogyanya dikonsultasi jika

akan mengembangkan langkah-langkah untuk membuat pelayanan

informasi dapat diakses.

Penyediaan aksesibilitas sangat penting bagi penyandang cacat karena

melalui penyediaan aksesibilitas maka kesamaan kesempatan dapat tercapai.

Aksesibilitas dalam memperoleh pekerjaan bagi penyandang cacat dapat ditinjau

dari dua hal, yaitu paradigma positif warga masyarakat mengenai eksistensi

penyandang cacat sebagai individu dan warga negara yang berhak untuk

memperoleh kesamaan kesempatan tanpa diskriminasi dalam memperoleh

pekerjaan. Yang kedua, sejauh mana paradigma positif tersebut dapat dituangkan

ke dalam suatu produk hukum berupa peraturan-perundang-undangan sehingga

penyandang cacat memiliki ruang yang cukup untuk berinteraksi dalam menuntut

hak asasinya untuk mendapatkan suatu pekerjaan, baik di perusahaan swasta

maupun di pemerintahan (Pegawai Negeri Sipil atau disingkat PNS).

2.2 Pengertian dan Konsep Badan Hukum Nirlaba

Badan hukum nirlaba merupakan bagian dari sektor publik yang

kepemilikannya dapat dimiliki pemerintah maupun swasta. Badan hukum nirlaba

Page 19: BAB II TINJAUAN UMUM 2.1 Pengertian dan Konsep …erepo.unud.ac.id/8279/3/1e8c4e03313eee1d3708feb67301e323.pdf · a. Tuna Laras, dikelompokkan dengan anak yang mengalami gangguan

milik pemerintah dapat ditemui seperti perguruan tinggi, rumah sakit dan yayasan

milik pemerintah. Sementara itu organisasi nirlaba milik swasta contohnya adalah

yayasan-yayasan yang dikelola oleh pihak-pihak swasta. Badan hukum nirlaba pada

umumnya bergerak pada bidang-bidang kegiatan publik yang melayani kebutuhan

dasar masyarakat

Badan hukum ini diatur berdasarkan aturan-aturan yang ditetapkan bersama

dan dijalankan dengan penuh komitmen dari seluruh anggotanya untuk mencapai

tujuan bersama yang disepakati dari awal pendirian suatu organisasi. Implemntasi

aturan-aturan tersebut membentuk sistem dan prosedur yang mengatur adanya

ketetapan mengenai tata cara, sistem rekrut dan birokrasi. Ketetapan dan tata cara

yang mengatur badan hukum dapat dibedakan berdasarkan sektornya yaitu badan

hukum sektor komersial dan badan hukum sektor publik.

Suatu badan hukum yang bersifat nirlaba tidak diperbolehkan membagi

keuntungan dari hasil yang diperoleh kegiatan usahanya kepada individu yang ada

di organisasi tersebut. Dalam pengertian ini, bukan berarti kegiatan nirlaba tidak

dapat memperoleh laba atau keuntungan, namun jika ada kelebihan dari hasil

usahanya, maka digunakan kembali untuk kepentingan kegiatan lembaga atau

badan hukum nirlaba tersebut bukan untuk dibagikan kepada organ individunya.10

Adapun ciri-ciri badan hukum nirlaba yaitu:

10 Michael Allison dan Jude Kaye, 2007, Perencanaan Strategis bagi Organisasi Nirlaba,

Yayasan Obor, Jakarta, h.13.

Page 20: BAB II TINJAUAN UMUM 2.1 Pengertian dan Konsep …erepo.unud.ac.id/8279/3/1e8c4e03313eee1d3708feb67301e323.pdf · a. Tuna Laras, dikelompokkan dengan anak yang mengalami gangguan

1) Sumber daya entitas berasal dari para penyumbang yang tidak mengharapakan

pembayaran kembali atas manfaat ekonomi yang sebanding dengan jumlah

sumber daya yang diberikan.

2) Menghasilkan barang dan/ atau jasa tanpa bertujuan memupuk laba, dan kalau

suatu entitas menghasilkan laba, maka jumlahnya tidak pernah dibagikan

kepada para pendiri atau pemilik entitas tersebut.

3) Tidak ada kepemilikan seperti lazimnya pada organisasi bisnis, dalam arti

bahwa kepemilikan dalam badan hukum nirlaba tidak dapat dijual, dialihkan,

atau ditebus kembali, atau kepemilikan tersebut tidak mencerminkan proporsi

pembagian sumber daya entitas pada saat likuiditas atau pembubaran entitas.11

Badan hukum nirlaba dalam perekonomian cukup memegang peranan

penting. Hal ini dikarenakan masyarakat menginginkan barang atau jasa tertentu

yang tidak mungkin diberikan oleh perusahaan bisnis yang disebabkan karena

ketidakmampuan membayar. Selain itu juga karena badan hukum nirlaba

cenderung untuk menerima keuntungan dari masyarakat yang tidak mungkin

diperoleh dari organisasi bisnis misalnya pengurangan pajak atau subsidi donor.12

Keberadaan yayasan di Indonesia telah lama dikenal sejak zaman

pemerintah Hindia Belanda. Yayasan dalam bahasa Belanda dikenal dengan istilah

“stichting” dan dalam bahasa Inggris “foundation”. Stichting berarti lembaga atau

yayasan, berasal dari kata stichten yang berarti membangun atau mendirikan.

Membangun, mendirikan dimaksudkan adalah membentuk suatu pengayuban

11 Ibid, h.16.

12 Jhon M Bryson, Op.cit, h. 32.

Page 21: BAB II TINJAUAN UMUM 2.1 Pengertian dan Konsep …erepo.unud.ac.id/8279/3/1e8c4e03313eee1d3708feb67301e323.pdf · a. Tuna Laras, dikelompokkan dengan anak yang mengalami gangguan

atau badan yang pendiriannya disahkan dengan akte yang dibuat notaris, dimana

aktivitasnya bergerak di bidang sosial.13

Kegiatan-kegiatan yang dilakukan oleh yayasan di Indonesia memang

antara lain memberikan santunan kepada anak yatim piatu, memberikan

kesejahteraan bagi penderita cacat badan, memberikan beasiswa kepada anak

kurang mampu, memberikan bantuan kepada keluarga yang tengah berduka,

membantu memberikan pelayanan kesehatan kepada penderita suatu

penyakit, dan sebagainya. 14

Untuk dapat mengetahui apakah yayasan itu ada beberapa pandangan

para ahli, antara lain :

1. Menurut Poerwadarminta dalam kamus umumnya memberikan

pengertian yayasan sebagai (a) Badan yang didirikan dengan maksud

mengusahakan sesuatu seperti sekolah dan sebagainya (sebagai badan

hukum bermodal, tetapi tidak mempunyai anggota). (b) Gedung-gedung

yang teristimewa untuk sesuatu maksud yang tertentu (seperti : rumah

sakit dsb).15

2. Menurut Achmad Ichsan, Yayasan tidaklah mempunyai anggota, karena

yayasan terjadi dengan memisahkan suatu harta kekayaan berupa uang

atau benda lainnya untuk maksud-maksud idiil yaitu (sosial, keagamaan

13 Abdul Muis, 2011, Yayasan Sebagai Wadah Kegiatan Masyarakat, USU, Medan, h. 6.

14 Gatot Supramono, 2008, Hukum Yayasan Di Indonesia, Rineka Cipta, Jakarta, h.1.

15 WJS. Poerwadarminta, 2005, Kamus Umum Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Cet.

Ke-5, Jakarta, h. 154.

Page 22: BAB II TINJAUAN UMUM 2.1 Pengertian dan Konsep …erepo.unud.ac.id/8279/3/1e8c4e03313eee1d3708feb67301e323.pdf · a. Tuna Laras, dikelompokkan dengan anak yang mengalami gangguan

dan kemanusiaan) itu, sedangkan pendirinya dapat berupa Pemerintah atau

orang sipil sebagai penghibah, dibentuk suatu pengurus untuk mengatur

pelaksanaan tujuan itu.16

3. Menurut Zainul Bahri dalam kamus umumnya memberikan suatu definisi

yayasan sebagai suatu badan hukum yang didirikan untuk memberikan

bantuan untuk tujuan sosial.17

4. Yayasan adalah suatu paguyuban atau badan yang pendiriannya disahkan

dengan akte hukum atau akte yang disahkan oleh notaris, dimana yayasan

itu aktifitasnya bergerak di bidang sosial, misalnya mendirikan sesuatu

atau sekolah.18

Menurut Pasal 1 UU Yayasan, yayasan merupakan badan hukum yang

terdiri atas kekayaan yang dipisahkan dan diperuntukkan untuk mencapai tujuan

tertentu di bidang sosial, keagamaan dan kemanusiaan yang tidak mempunyai

anggota. Yayasan dapat pula dipahami sebagai Badan Hukum yang mempunyai

unsur-unsur :

a) Mempunyai harta kekayaan sendiri yang berasal dari suatu perbuatan

pemisahan yaitu suatu pemisahan kekayaan yang dapat berupa uang dan

barang.

b) Mempunyai tujuan sendiri yaitu suatu tujuan yang bersifat sosial,

16 Achmad Ichsan, 2006, Hukum Dagang, Pradnya Paramitha, Cet. Ke-6, Jakarta, h. 110.

17 Zainul Bahri, 2004, Kamus Umum Khusus Bidang Hukum dan Politik, PT Angkasa, Cet.

Ke-3, Bandung, h.367.

18 Yan Pramadya Puspa,2005, Kamus Hukum, Aneka Ilmu, Semarang, h.925.

Page 23: BAB II TINJAUAN UMUM 2.1 Pengertian dan Konsep …erepo.unud.ac.id/8279/3/1e8c4e03313eee1d3708feb67301e323.pdf · a. Tuna Laras, dikelompokkan dengan anak yang mengalami gangguan

keagamaan dan kemanusiaan.

c) Mempunyai alat perlengkapan yaitu meliputi pengurus, pembina dan

pengawas.19

Definisi yayasan di atas mengandung empat catatan utama yaitu:

1) Yayasan merupakan badan hukum. Artinya yayasan secara hukum dianggap

bisa melakukan tindakan-tindakan yang sah dan mempunyai akibat hukum

walaupun nanti secara nyata yang bertindak adalah organ-organ yayasan, baik

pembina, pengawas maupun pengurusnya.

2) Yayasan memiliki kekayaan yang dipisahkan. Artinya, yayasan mempunyai

aset, baik bergerak maupun tidak, yang pada awalnya diperoleh dari modal

atau kekayaan yang telah dipisahkan. Maka, yayasan secara hukum memiliki

kekayaan sendiri yang terlepas dan mandiri. Pemisahan harta kekayaan

tersebut sebenarnya bertujuan mencegah jangan sampai kekayaan awal

yayasan masih merupakan bagian dari harta pribadi atau harta bersama

pendiri. Jika tidak demikian nantinya harta tersebut masih tetap sebagai

kekayaan milik pendiri yayasan.20

3) Yayasan mempunyai tujuan tertentu yang merupakan pelaksanaan nilai-nilai

, baik keagamaan, sosial, maupun kemanusiaan. Dari hal ini diketahui bahwa

yayasan sejak awal didesain sebagai badan hukum nirlaba yang tidak

bersifat untuk mencapai keuntungan (profit oriented) sebagaimana badan

19 Ali Rido, 2011, Badan Hukum dan Kedudukan Badan Hukum Perseroan,

Perkumpulan, Koperasi, Yayasan dan Wakaf, Aumni, Bandung, h.118.

20 Gatot Supramono, Op.cit, h.37.

Page 24: BAB II TINJAUAN UMUM 2.1 Pengertian dan Konsep …erepo.unud.ac.id/8279/3/1e8c4e03313eee1d3708feb67301e323.pdf · a. Tuna Laras, dikelompokkan dengan anak yang mengalami gangguan

usaha, seperti perseroan terbatas, CV, Firma dan lain-lain.

4) Yayasan tidak mempunyai anggota. Maksudnya, yayasan tidak mempunyai

semacam pemegang saham sebagaimana perseroan terbatas atau sekutu-

sekutu dalam CV atau anggota-anggota dalam badan usaha lainnya. Namun,

yayasan tentu saja digerakkan oleh organ-organ yayasan, baik pembina,

pengawas dan terlebih lagi peran utama pengorganisasian yayasan berada di

tangan pengurus dengan pelaksana hariannya.21

Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2001 tentang Yayasan telah

dikeluarkan dan kemudian diikuti dengan dikeluarkannya Undang-Undang Nomor

28 Tahun 2004 tentang perubahan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2001

tentang yayasan. Perubahan undang-undang yayasan dilakukan bukan untuk

penggantian seluruhnya, dalam arti undang-undang yang lama diganti dengan yang

baru, melainkan hanya beberapa Pasal saja yang diganti dengan tidak merubah

seluruhnya Pasal dalam Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2001.

Beberapa ketentuan dalam Undang-Undang Yayasan Nomor 28 Tahun 2004

lahir setelah ditemukan reaksi dan kegoncangan dalam masyarakat khusus

menyikapi Undang-Undang yayasan ini, terutama mengenai pemberian gaji dari

yayasan terhadap pengurus yayasan dan mengenai pengaturan organ yayasan. Maka

atas dasar perubahan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2001 jo. Undang-

Undang Nomor 28 tahun 2004, diharapkan akan menjadi dasar hukum yang

kuat dalam mengatur kehidupan Yayasan di Indonesia serta menjamin kepastian

dan ketertiban hukum agar yayasan berfungsi sesuai dengan maksud dan tujuannya

21 Adib Bahari, 2011, Prosedur Pendirian Yayasan, Pustaka Yustisia, Yogyakarta, H. 2.

Page 25: BAB II TINJAUAN UMUM 2.1 Pengertian dan Konsep …erepo.unud.ac.id/8279/3/1e8c4e03313eee1d3708feb67301e323.pdf · a. Tuna Laras, dikelompokkan dengan anak yang mengalami gangguan

berdasarkan prinsip keterbukaan dan akuntabilitas.

Yayasan dapat didirikan oleh beberapa orang atau dapat juga oleh

seseorang saja, baik warga negara Indonesia maupun warga negara asing dengan

memisahkan suatu harta dari seseorang atau beberapa orang pendiriannya, dengan

tujuan idiil/sosial yang tidak mencari keuntungan, mempunyai pengurus yang

diwajibkan mengurus dan mengelola segala sesuatu yang bertalian dengan

kelangsungan hidup yayasan.22

Undang-Undang yayasan no. 16 tahun 2001 jo. Undang-Undang No. 28

tahun 2004 menghapus segala kesangsian perihal apakah yayasan merupakan suatu

badan hukum atau bukan. Maka yayasan sebagai badan hukum yang mempunyai

hak dan kewajiban yang disebut sebagai subjek hukum yang dapat dipertanggung

jawabkan mengenai hukum dan peraturan perundang-undangan lainnya.23

Dalam struktur organisasi yayasan sesuai UU Yayasan, terdapat tiga tingkat

kewenangan yang terdiri dari Pembina, Pengurus dan Pengawas.

1. Pembina

Pembina adalah organ yayasan yang mempunyai kewenangan yang tidak

diserahkan kepada pengurus atau pengawas oleh Undang Undang ini atau

Anggaran Dasar. Pembina memiliki kewenangan yang meliputi:

a) Keputusan mengenai perubahan Anggaran Dasar

b) Pengangkatan dan pemberhentian anggota pengurus dan anggota

pengawas.

22 Anwar Borahima, 2010, Kedudukan Yayasan di Indonesia, Kencana Prenada Media

Group, Jakarta, h.87.

23 Chatarrasjid,2006, Badan Hukum Yayasan, Citra Aditya Bakti, Bandung, h. 49.

Page 26: BAB II TINJAUAN UMUM 2.1 Pengertian dan Konsep …erepo.unud.ac.id/8279/3/1e8c4e03313eee1d3708feb67301e323.pdf · a. Tuna Laras, dikelompokkan dengan anak yang mengalami gangguan

c) Penetapan kebijakan umum yayasan berdasarkan Anggaran Dasar

Yayasan.

d) Pengesahan program kerja dan rancangan anggaran tahunan yayasan dan,

e) Penetapan keputusan mengenai penggabungan atau pembubaran yayasan.

Pembina adalah orang perseorangan sebagai pendiri yayasan dan/atau

mereka yang berdasarkan keputusan rapat anggota Pembina dinilai mempunyai

dedikasi yang tinggi untuk mencapai maksud dan tujuan yayasan. Anggota

Pembina tidak dapat merangkap sebagai anggota Pengurus dan/atau anggota

Pengawas. Dalam rapat tahunan, Pembina yang melakukan evaluasi tentang

kekayaan, hak dan kewajiban yayasan tahun yang lampau sebagai dasar

pertimbangan bagi perkiraan mengenai perkembangan yayasan untuk tahun

yang akan datang.

2. Pengurus

Pengurus adalah organ yayasan yang melaksanakan kepengurusan yayasan

dan pihak yang dapat diangkat menjadi Pengurus adalah orang perseorangan

yang mampu melakukan perbuatan hukum. Dalam hal kepengurusan, pengurus

tidak boleh merangkap sebagai Pembina atau Pengawas. Pengurus yayasan

diangkat oleh Pembina berdasarkan keputusan rapat Pembina untuk jangka

waktu lima tahun dan dapat diangkat kembali untuk satu kali masa jabatan.

SusunanPengurus sekurang-kurangnya terdiri atas ketua, sekretaris dan

bendahara.

3. Pengawas

Pengawas adalah organ yayasan yang bertugas melakukan pengawasan

Page 27: BAB II TINJAUAN UMUM 2.1 Pengertian dan Konsep …erepo.unud.ac.id/8279/3/1e8c4e03313eee1d3708feb67301e323.pdf · a. Tuna Laras, dikelompokkan dengan anak yang mengalami gangguan

serta memberi nasihat kepada pengurus dalam menjalankan kegiatan yayasan.

Yayasan harus memiliki pengawas sekurang-kurangnya satu orang pengawas

yang wewenang, tugas dan tanggung jawabnya diatur dalam Anggaran Dasar.

Yang dapat diangkat menjadi Pengawas adalah orang perseorangan yang

mampu melakukan perbuatan hukum. Pengawas tidak boleh merangkap

sebagai Pembina atau Pengurus. Pengawas wajib dengan itikad baik dan penuh

tanggung jawab melaksanakan tugas untuk kepentingan yayasan. Pengawas

dapat memberhentikan sementara anggota pengurus dengan menyebutkan

alasannya. Pengawas yayasan diangkat oleh Pembina berdasarkan keputusan

rapat Pembina untuk jangka waktu selama lima tahun dan dapat diangkat

kembali untuk satu kali masa jabatan.

Dalam hal pertanggungjawaban yayasan, pengelola (pengurus dan

pengawas) bertanggung jawab kepada Pembina yang disampaikan dalam rapat

Pembina yang diadakan setahun sekali. Pola pertanggungjawaban di yayasan

bersifat vertikal dan horizontal. Pertanggungjawaban vertikal adalah

pertanggungjawaban atas pengelolaan dana kepada otoritas yang lebih tinggi

seperti pertanggungjawabn kepada Pembina. Pertanggungjawaban horizontal

adalah pertanggungjawaban kepada masyarakat luas.

2.3 Pengaturan dan Perlakuan terhadap Tenaga Kerja Disabilitas

Definisi mengenai tenaga kerja disebutkan dalam Pasal 1 ayat 2 UU

Ketenagakerjaan yaitu tenaga kerja adalah setiap orang yang mampu melakukan

pekerjaan guna menghasilkan barang dan/atau jasa baik untuk memenuhi

Page 28: BAB II TINJAUAN UMUM 2.1 Pengertian dan Konsep …erepo.unud.ac.id/8279/3/1e8c4e03313eee1d3708feb67301e323.pdf · a. Tuna Laras, dikelompokkan dengan anak yang mengalami gangguan

kebutuhan sendiri maupun untuk masyarakat. Berdasarkan definisi tersebut di atas,

maka terdapat beberapa unsur yang dapat diketahui, yaitu:

1. Tenaga kerja merupakan setiap orang yang dapat melakukan pekerjaan.

2. Tenaga kerja merupakan setiap orang yang mampu menghasilkan barang

dan/atau jasa.

3. Tenaga kerja menghasilkan barang dan/atau jasa untuk kebutuhan sendiri atau

untuk masyarakat.24

Apabila ketiga unsur tersebut di atas terpenuhi, maka seseorang dapat disebut

sebagai seorang tenaga kerja. Menurut Pasal 5 UU Ketenagakerjaan setiap tenaga

kerja berhak memiliki kesempatan yang sama dalam memperoleh pekerjaan.

Berdasarkan ketentuan Pasal 2 UU Ketenagakerjaan pembangunan

ketenagakerjaan berlandaskan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Republik

Indonesia Tahun 1945. Pembangunan ketenagakerjaan dilaksanakan dalam rangka

pembangunan manusia Indonesia seutuhnya. Oleh sebab itu pembangunan

ketenagakerjaan dilaksanakan untuk mewujudkan manusia dan masyarakat

Indonesia yang sejahtera, adil, makmur dan merata baik materiil maupun spiritual.

Selanjutnya, berdasarkan ketentuan Pasal 3 UU Ketenagakerjaan

pembangunan ketenagakerjaan diselenggarakan atas asas keterpaduan dengan

melalui koordinasi fungsional lintas sektoral pusat dan daerah. Hal ini dijelaskan

lebih lanjut dalam penjelasannnya, yaitu :

Asas pembangunan ketenagakerjaan pada dasarnya sesuai dengan asas

pembangunan nasional, khususnya asas demokrasi Pancasila serta asas adil

dan merata. Pembangunan ketenagakerjaan mempunyai banyak dimensi

24 Sjahputra Imam, 2013, Hukum Ketenagakerjaan, Harvarindo, Jakarta, h.32.

Page 29: BAB II TINJAUAN UMUM 2.1 Pengertian dan Konsep …erepo.unud.ac.id/8279/3/1e8c4e03313eee1d3708feb67301e323.pdf · a. Tuna Laras, dikelompokkan dengan anak yang mengalami gangguan

dan keterkaitan dengan berbagai pihak yaitu antara pemerintah, pengusaha

dan pekerja/ buruh. Oleh sebab itu, pembangunan ketenagakerjaan

dilaksanakan secara terpadu dalam bentuk kerja sama yang saling

mendukung.

Tujuan pembangunan ketenagakerjaan berdasarkan ketentuan Pasal 4 UU

Ketenagakerjaan adalah :

a. memberdayakan dan mendayagunakan tenaga kerja secara optimal dan

manusiawi;

b. Mewujudkan pemerataan kesempatan kerja dan penyediaan tenaga kerja

yang sesuai dengan kebutuhan pembangunan nasional dan daerah;

c. memberikan perlindungan kepada tenaga kerja dalam mewujudkan

kesejahteraan dan;

d. meningkatkan kesejahteraan tenaga kerja dan keluarganya

Pemberdayaan dan pendayagunaan tenaga kerja merupakan suatu kegiatan

yang terpadu untuk dapat memberikan kesempatan kerja seluas-luasnya bagi tenaga

kerja Indonesia. Melalui pemberdayaan dan pendayagunaan ini diharapkan tenaga

kerja Indonesia dapat berpartisipasi secara optimal dalam pembangunan nasional,

namun dengan tetap menjunjung nilai-nilai kemanusiaannya.

Di Indonesia, telah dengan tegas dan jelas tertulis pada Pasal 27 ayat (2)

UUD 1945 bahwa tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan

yang layak bagi kemanusiaan. Berbagai Undang-Undang juga telah memperkuat

pemerataan kesempatan bekerja seperti pada UU Penyandang Cacat pada Pasal 13;

UU HAM pada Pasal 38; dan UU Ketenagakerjaan Pasal 5.

Page 30: BAB II TINJAUAN UMUM 2.1 Pengertian dan Konsep …erepo.unud.ac.id/8279/3/1e8c4e03313eee1d3708feb67301e323.pdf · a. Tuna Laras, dikelompokkan dengan anak yang mengalami gangguan

Berbagai peraturan tersebut melarang diskriminasi atas dasar disabilitas

terhadap segala bentuk pekerjaan, mencakup kondisi perekrutan, keterampilan,

pelayanan penempatan dan keahlian serta pelatihan keterampilan dan

berkelanjutan. Namun tidak tersedianya layanan informasi yang lengkap mengenai

potensi dan kemampuan tenaga kerja penyandang disabilitas yang dapat diakses

oleh pelaku usaha, perusahaan dan instansi pemerintah/swasta masih menjadi

hambatan dalam implementasinya.

Perihal hak untuk bekerja bagi tenaga kerja disabilitas dalam UU

Ketenagakerjaan, Pasal 5 menyatakan, “setiap tenaga kerja memiliki kesempatan

yang sama tanpa diskriminasi untuk memperoleh pekerjaan”. Sementara dalam UU

Panyandang Cacat, Pasal 6 butir ke 3 menyatakan bahwa “setiap penyandang cacat

berhak memperoleh pekerjaan dan penghidupan yang layak sesuai dengan jenis dan

derajat kecacatannya”.

Ketentuan Pasal 5 Ketenagakerjaan, mengamanatkan adanya kesempatan

kepada setiap tenaga kerja tanpa terkecuali untuk memperoleh pekerjaan.

Selanjutnya, perihal kesempatan bekerja untuk tenaga kerja penyandang cacat,

pada UU Penyandang Cacat, Pasal 13 menyatakan “setiap penyandang cacat

mempunyai kesamaan kesempatan untuk mendapatkan pekerjaan sesuai dengan

jenis dan derajat kecacatannya”. Kemudian dijelaskan juga dalam Pasal 14

bahwa “perusahaan negara dan swasta memberikan kesempatan dan perlakuan

yang sama kepada penyandang cacat dengan mempekerjakan penyandang cacat

di perusahaannya sesuai dengan jenis dan derajat kecacatan, pendidikan yang

jumlahnya disesuaikan dengan jumlah karyawan dan/atau kualifikasi perusahaan”.

Page 31: BAB II TINJAUAN UMUM 2.1 Pengertian dan Konsep …erepo.unud.ac.id/8279/3/1e8c4e03313eee1d3708feb67301e323.pdf · a. Tuna Laras, dikelompokkan dengan anak yang mengalami gangguan

Mengenai kesempatan bekerja tertuang dalam Pasal 5 UU Ketenagakerjaan

menyatakan bahwa “setiap tenaga kerja memiliki kesempatan yang sama tanpa

diskriminasi untuk memperoleh pekerjaan”.

Dalam kancah internasional, International labour Organization (ILO) juga

telah mempromosikan pengembangan keterampilan dan kesempatan kerja bagi

penyandang disabilitas dengan berdasarkan prinsip kesetaraan kesempatan,

perlakuan yang sama, mengutamakan ke dalam rehabilitasi keterampilan dan

program pelayanan pekerjaan dan pelibatan masyarakat. Prinsip non-diskriminasi

semakin ditekankan karena isu penyandang disabilitas dilihat juga sebagai isu hak

asasi manusia.

Selama beberapa tahun terakhir, wilayah Asia Pasifik termasuk Indonesia

telah menunjukkan upaya yang signifikan dalam mengakui disabilitas sebagai

sebuah isu hak asasi manusia dan dalam menangani tantangan yang dihadapi oleh

para penyandang disabilitas dalam upayanya berkontribusi secara ekonomis, sosial

dan politis kepada masyarakat. Kemajuan yang ditunjukan oleh Indonesia dalam

melibatkan penyandang disabilitas dapat dilihat dalam upaya mereka

menandatangani Konvensi PBB mengenai Hak-Hak Penyandang Disabilitas, dan

membuat Rencana Aksi Nasional untuk Meningkatkan Kesejahteraan Sosial dari

Penyandang disabilitas di indonesia dan meratifikasi Konvensi ILO No. 111

mengenai Diskriminasi (Pekerjaan dan Jabatan). Langkah awal untuk meratifikasi

Konvensi ILO No.159 mengenai Rehabilitasi dan Pelatihan Keterampilan (bagi

penyandang disabilitas) telah juga dilakukan. Indonesia memiliki peraturan

Page 32: BAB II TINJAUAN UMUM 2.1 Pengertian dan Konsep …erepo.unud.ac.id/8279/3/1e8c4e03313eee1d3708feb67301e323.pdf · a. Tuna Laras, dikelompokkan dengan anak yang mengalami gangguan

mengenai kuota (No.43/1998), namun akses terhadap pilihan pekerjaan bagi orang

muda dan penyandang disabilitas masih sangat terbatas.

Salah satu pengakuan internasional paling dini terhadap hak-hak para

penyandang disabilitas untuk mendapatkan peluang kerja telah diberikan oleh ILO

pada tahun 1944. Dalam rekomendasi tersebut ILO menyatakan secara tegas bahwa

para pekerja dengan disabilitas, apapun asal usul disabilitas mereka, haruslah

diberikan peluang sepenuhnya untuk mendapatkan rehabilitas, bimbingan

vokasional khusus, pelatihan dan pelatihan kembali dan melakukan pekerjaan

yang berguna.

ILO menyatakan bahwa mereka dengan disabilitas hendaknya, jika

dimungkinkan, dilatih bersama para pekerja lainnya, dengan kondisi yang

sama, dan pembayaran yang sama, dan menghimbau adanya kesetaraan

peluang kerja untuk pekerja penyandang disabilitas dan adanya tindakan

afirmatif untuk mendorong terwujudnya pekerjaan bagi penyandang

disabilitas serius.

Dalam perkembangan pemerataan hak untuk bekerja bagi semua orang,

termasuk juga para penyandang disabilitas, hal ini kemudian dijadikan

ketentuan yang mengikat oleh PBB. Pasal 23 Deklarasi Hak Asasi Manusia

(diadopsi oleh Sidang Umum pada tanggal 10 Desember 1948) menyatakan:

Setiap orang memiliki hak untuk bekerja, untuk memilih secara bebas

pekerjaannya, untuk kondisi kerja yang adil dan baik dan untuk

dilindungi dari pengangguran. Setiap orang, tanpa ada diskriminasi,

memiliki hak yang bayaran yang sama untuk pekerjaan yang sama.

Page 33: BAB II TINJAUAN UMUM 2.1 Pengertian dan Konsep …erepo.unud.ac.id/8279/3/1e8c4e03313eee1d3708feb67301e323.pdf · a. Tuna Laras, dikelompokkan dengan anak yang mengalami gangguan

Setiap orang yang bekerja memiliki hak untuk remunerasi yang adil

dan baik untuk memastikan keberadaan dirinya dan keluarganya sesuai

dengan martabat manusia, dan didukung, jika dimungkinkan, dengan

cara-cara jaminan sosial lainnya. Setiap orang memiliki hak untuk

membentuk dan bergabung dengan serikat pekerja untuk melindungi

kepentingannya.

Pasal 27 dari UNCRPD mengatur hak bagi penyandang disabilitas untuk

“bekerja, setara dengan orang lain; termasuk hak atas kesempatan mendapatkan

penghidupan dengan bekerja sesuai dengan pilihan sendiri atau diterima di dalam

pasar kerja dan lingkungan kerja yang terbuka, inklusif dan dapat diakses oleh

semua orang termasuk penyandang disabilitas”. Pasal ini pula mempromosikan

kesempatan pekerjaan dan pemajuan karir bagi para penyandang disabilitas di pasar

kerja serta memberikan bantuan dalam mencari, mendapatkan, mempertahankan

dan kembali ke pekerjaan mereka. Juga memastikan bahwa penyandang disabilitas

dapat menjalankan hak tenaga kerja dan serikat pekerja mereka setara dengan yang

lain dan penyesuaian yang sewajarnya diberikan kepada penyandang disabilitas di

tempat kerja.

Seperti yang diatur dalam Rekomendasi ILO No.168, para penyandang

disabilitas harus dapat menikmati kesempatan dan perlakuan terkait dengan akses

terhadap, mempertahankan dan peningkatan karir yang bila dimungkinkan sesuai

dengan pilihan mereka dan mempertanggungjawabkan kesesuaian mereka terhadap

pekerjaan itu. Pekerjaan itu termasuk pekerjaan yang tersedia di pasar kerja yang

Page 34: BAB II TINJAUAN UMUM 2.1 Pengertian dan Konsep …erepo.unud.ac.id/8279/3/1e8c4e03313eee1d3708feb67301e323.pdf · a. Tuna Laras, dikelompokkan dengan anak yang mengalami gangguan

sangat tergantung pada kesediaan seseorang, membuka kesempatannya bagi para

orang yang bukan penyandang disabilitas.

Salah satu hal yang penting dalam perbaikan dan peningkatan

kesejahteraan tenaga kerja adalah pengawasan yang efektif agar norma-norma

keselamatan dan kesehatan kerja dilaksanakan secara wajar. Untuk itu

ditingkatkan pengawasan dan penyuluhan norma-norma perlindungan,

khususnya yang menyangkut hak dan kewajiban buruh dan pengusaha.

Unsur penting di dalam menciptakan kerjasama yang serasi antara buruh

dan pengusaha adalah adanya kebutuhan saling menghormati, saling mengerti

peranan Serta hak dan kewajiban masing-masing dalam proses produksi dan

hubungan kerja. Hubungan kerja adalah hubungan antara pengusaha dengan

pekerja/buruh berdasarkan perjanjian kerja, yang memunyai unsur pekerjaan, upah,

dan perintah (Bab I, Pasal 1 UU Ketenagakerjaan). Semua pekerja/buruh berhak

mendapat perlakuan yang sama di tempat kerja. Hubungan kerja tersebut harus

mempertimbangkan prinsip-prinsip dan hak-hak mendasar dalam bekerja. Dengan

demikian, perlu diperhatikan bahwa kondisi dan lingkungan kerja harus mampu

mendukung upaya terjaminnya hak-hak tersebut diatas dengan memperhatikan

aspek-aspek dalam hubungan kerja antara lain :25

A. Pengupahan

Negara-negara penandatangan Konvenan juga berkomitmen

terhadap pembayaran yang setara untuk pekerjaan dengan nilai yang sama

25 International Labour Office dan Disnakertrans RI, 2005, Kesempatan Dan Perlakuan

Yang Sama Dalam Pekerjaan Di Indonesia, ILO Publication ,Edisi pertama, Jakarta, h.35.

Page 35: BAB II TINJAUAN UMUM 2.1 Pengertian dan Konsep …erepo.unud.ac.id/8279/3/1e8c4e03313eee1d3708feb67301e323.pdf · a. Tuna Laras, dikelompokkan dengan anak yang mengalami gangguan

tanpa adanya perbedaan apapun; kondisi kerja yang aman dan sehat; dan

peluang yang setara untuk setiap orang untuk dipromosikan di dunia kerja

ke posisi yang lebih tinggi, dimana tidak ada lain yang menjadi

pertimbangan kecuali senioritas dan kompetensi. Konvenan Internasional

tentang Hak-Hak Sipil dan Politik (ICCPR), yang juga diadopsi pada tahun

1966, memang tidak secara khusus berbicara tentang dunia kerja, tapi di

dalamnya terdapat ketentuan penting yang melarang diskriminasi karena

alasan apapun, termasuk di dalamnya disabilitas.

B. Jaminan Sosial Tenaga Kerja

Jaminan perlindungan sosial di negara berkembang kawasan Asia dan

Pasifik, termasuk Indonesia, seringkali terbatas hanya pada program asuransi

sosial dan hanya tersedia bagi mereka yang memilik kontrak kerja di sektor

formal, sehingga sebagian besar penduduk, khususnya penyandang disabilitas,

tidak memiliki jaminan yang cukup. Oleh karena itu, sangat penting untuk

memastikan agar penyandang disabilitas memiliki akses terhadap perlindungan

sosial yang setara dengan yang lainnya, dan mendorong lebih lanjut batasan

perlindungan sosial dengan fokus pada layanan kesehatan dan perlindungan

penghasilan dasar bagi semua.26

Terdapat tiga macam perlindungan kerja, yaitu sebagai berikut :

1) Perlindungan ekonomis, yaitu suatu jenis perlindungan yang berkaitan

dengan usaha-usaha untuk memberikan kepada pekerja suatu penghasilan

26 Strategi Incheon untuk “Mewujudkan Hak” Penyandang Disabilitas di Asia dan Pasifik,

diakses pada 20 Desember 2014, tersedia pada

https://inclusivedesign.files.wordpress.com/2014/05/terjemahan-incheon-strategy-feb-2014.doc.

Page 36: BAB II TINJAUAN UMUM 2.1 Pengertian dan Konsep …erepo.unud.ac.id/8279/3/1e8c4e03313eee1d3708feb67301e323.pdf · a. Tuna Laras, dikelompokkan dengan anak yang mengalami gangguan

yang cukup memenuhi keperluan sehari-hari baginya beserta keluarganya,

termasuk dalam hal pekerja tersebut tidak mampu bekerja karena

sesuatu di luar kehendaknya. Perlindungan ini disebut dengan jaminan

sosial.

2) Perlindungan sosial, yaitu suatu perlindungan yang berkaitan dengan usaha

kemasyarakatan, yang tujuannya memungkinkan pekerja itu mengenyam

dan mengembangkan prikehidupannya sebagai manusia pada umumnya dan

sebagai anggota masyarakat dan anggota keluarga, atau yang biasa disebut

kesehatan kerja.

3) Perlindungan teknis, yaitu suatu jenis perlindungan berkaitan dengan usaha-

usaha untuk menjaga pekerja dari bahaya kecelakaan yang dapat

ditimbulkan oleh alat kerja lainnya atau oleh bahan yang diperoleh atau

dikerjakan perusahaan. Perlindungan jenis ini disebut dengan kecelakaan

kerja.

Setiap pekerja pada dasarnya berhak memperoleh perlindungan atas

keselamatan dan kesehatan kerja, moral dan kesusilaan, serta kesejahteraan

yang sesuai dengan harkat dan martabat manusia, serta nilai-nilai agama.

Jaminan atas pemberian perlindungan bagi penyandang cacat pada saat bekerja

tercantum pada Pasal 67 UU Ketenagakerjaan ayat (1) dan ayat (2), yang

menyatakan bahwa :

(1) Pengusaha yang mempekerjakan tenaga kerja penyandang cacat wajib

memberikan perlindungan sesuai dengan jenis dan derajat

kecacatannya.

Page 37: BAB II TINJAUAN UMUM 2.1 Pengertian dan Konsep …erepo.unud.ac.id/8279/3/1e8c4e03313eee1d3708feb67301e323.pdf · a. Tuna Laras, dikelompokkan dengan anak yang mengalami gangguan

(2) Pemberian perlindungan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)

dilaksanakan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang

berlaku.

Sesuai dengan teori keadilan sosial, bahwa dalam bekerja kondisi

penyandang cacat tidak dapat disamakan dengan pekerja yang tidak cacat.

Maka dari itu, harus ada kesesuaian antara perlakuan dari pengusaha dengan

kondisi penyandang cacat. Hal itu bertujuan untuk menunjang kemandirian dan

meningkatkan produktivitasnya dalam bekerja. Perlakuan yang dapat diberikan

kepada pekerja penyandang cacat yaitu dengan adanya penyediaan

aksesibilitas, pemberian alat kerja, serta alat pelindung diri yang disesuaikan

dengan jenis dan derajat kecacatannya. Ketiga hal tersebut merupakan contoh

jaminan perlindungan kerja, sebagai upaya pemberian perlakuan yang sama,

yang diberikan perusahaan bagi penyandang cacat.

Kesamaan kesempatan, perlakuan yang sama tanpa diskriminasi dan

perlindungan kerja adalah kewajiban yang harus dilaksanakan oleh setiap

perusahaan, dengan tujuan agar penyandang cacat dapat menikmati haknya

dalam bekerja, sesuai dengan Pasal 31 Peraturan Pemerintah No. 43 Tahun

1998 tentang Upaya Peningkatan Kesejahteraan Sosial Penyandang Cacat yang

menyatakan bahwa setiap pekerja penyandang cacat mempunyai hak dan

kewajiban yang sama dengan pekerja lainnya.

Ketentuan ini harus dilaksanakan oleh setiap perusahaan karena

berdasarkan Pasal 187 UU Ketenagakerjaan, jikalau terjadi pelanggaran

terhadap ketentuan tersebut maka pengusaha dapat diancam dan dikenakan

Page 38: BAB II TINJAUAN UMUM 2.1 Pengertian dan Konsep …erepo.unud.ac.id/8279/3/1e8c4e03313eee1d3708feb67301e323.pdf · a. Tuna Laras, dikelompokkan dengan anak yang mengalami gangguan

hukuman pidana penjara antara 1 (satu) sampai dengan 12 bulan atau denda

sebesar Rp. 10.000.000 – Rp.100.000.000.

Tindakan diskriminatif yang dilakukan oleh perusahaan dalam

penerimaan tenaga kerja dan perlakuan terhadap pekerja, terutama bagi

penyandang cacat, juga mendapatkan sanksi yaitu berupa sanksi administratif.

Sanksi administratif ini dapat dikenakan berupa surat teguran, peringatan

tertulis, pembatasan kegiatan usaha, pembekuan kegiatan usaha, pembatalan

persetujuan, pembatalan pendaftaran, penghentian sementara sebagian atau

seluruh alat produksi, atau pencabutan izin.

Undang-undang Ketenagakerjaan tidak hanya memberikan

perlindungan bagi penyandang cacat yang pada waktu melamar pekerjaan,

memang sudah cacat, tapi juga bagi karyawan/pekerja yang mengalami

kecacatan sewaktu bekerja. Hal ini dapat dilihat dari ketentuan Pasal 153 UU

Ketenagakerjaan, yang mengatur tentang Pemutusan Hubungan Kerja (PHK).

Adapun di dalam ketentuan tersebut menyatakan larangan bagi pengusaha

untuk melakukan pemutusan hubungan kerja apabila pekerja dalam keadaan

cacat tetap atau sakit akibat kecelakaan kerja atau hubungan kerja. Namun,

jikalau PHK tetap dilakukan maka keputusan tersebut akan batal demi hukum

dan merupakan kewajiban perusahaan untuk mempekerjakan kembali.

C. Kondisi dan Lingkungan Kerja

Integrasi pekerja disabilitas di dalam lingkungan kerja merupakan

tantangan yang cukup sulit bagi para pengusaha karena berdampak pada

produktivitas dan kenyamanan lingkungan kerja baik untuk pekerja dengan

Page 39: BAB II TINJAUAN UMUM 2.1 Pengertian dan Konsep …erepo.unud.ac.id/8279/3/1e8c4e03313eee1d3708feb67301e323.pdf · a. Tuna Laras, dikelompokkan dengan anak yang mengalami gangguan

disabilitas maupun pekerja tanpa disabilitas. Untuk itu, dalam rangka

peningkatan produktivitas dan kenyamanan bagi semua pekerja,

komunikasi dan hubungan antar pekerja dan antara pekerja dengan

pengusaha menjadi poin penting.

Dalam Pasal 2 UNCRPD disebutkan bahwa komunikasi yaitu

termasuk “bahasa, tampilan teks, braille, komunikasi tanda timbul, cetak

ukuran besar, multimedia yang mudah diakses maupun tertulis, audio,

bahasa sederhana, pembaca manusia dan bentuk-bentuk, sarana dan format

komunikasi tambahan maupun alternative lainnya, termasuk teknologi

informasi dan komunikasi yang dapat diakses.

Untuk memastikan pekerja dengan disabilitas terintegrasi dengan

baik di lingkungan kerja, maka perlu dipahami dan diimplementasi hal-hal

sebagai berikut.

a) Memperkenalkan pekerja disabilitas dengan semua staf saat pertama

bekerja.

b) Memberikan kesempatan bagi pekerja dengan disabilitas untuk

berakomodasi dengan tempat kerja mereka yang layak untuk bekerja

dengan efektif dan efisien.

c) Menjauhkan segala bentuk diskriminasi.27

Dalam hal penyesuaian tempat kerja, terdapat beberapa hal yang

perlu dilakukan baik secara fisik maupun non-fisik untuk menciptakan

27 Better work Indonesia, Op.cit, h.8.

Page 40: BAB II TINJAUAN UMUM 2.1 Pengertian dan Konsep …erepo.unud.ac.id/8279/3/1e8c4e03313eee1d3708feb67301e323.pdf · a. Tuna Laras, dikelompokkan dengan anak yang mengalami gangguan

kondisi dan lingkungan kerja yang sesuai dengan penyandang disabilitas.

Yang termasuk dalam akomodasi fisik yang layak meliputi (1) tempat kerja

yang bersih dan rapi, (2) koridor yang luas dan bebas hambatan, (3)

tanda/symbol yang mudah dibaca, (4) fasilitas kamar kecil yang dapat

diakses dengan mudah, (5) jalur melandai (ramps) atau susuran tangan

untuk yang membutuhkan. Sedangkan yang termasuk akomodasi non-fisik

yang layak meliputi (1) jam kerja yang fleksibel), (2) penggunaan bahasa

isyarat dalam berkomunikasi atau cara-cara lain untuk menunjang

komunikasi28

28 Better work Indonesia, Op.cit, h.9.