BAB II TINJAUAN TEORITIS...tidak menerima calon siswa prestasi tertentu karena tidak tersedianya...

22
6 BAB II TINJAUAN TEORITIS Teori merupakan generalisasi yang abstrak mengenai beberapa fenomena (Budiardjo, 2008). Dalam menyusun generalisasi, teori selalu memakai konsep- konsep. Konsep lahir dalam pikiran manusia, karena bersifat abstrak, sekalipun menggunakan fakta sebagai pijakan (Hadiwijoyo, 2011 dalam skripsi Novia Christiana Tolla). 2.1 Pelayanan Publik Pelayanan pubik sebagaimana tertuang dalam UU 25 tahun 2009, dimaknai sebagai kegiatan atau rangkaian dalam rangka pemenuhan kebutuhan pelayanan barang, jasa dan administratif yang disediakan penyelenggara pelayanan publik. Ini berarti, negara berkewajiban dan bertanggungjawab atas pemenuhan hak dan kebutuhan dasar masyarakat demi memajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa sesuai dengan amanat Pembukaan UUD 1945. Pada Peraturan Pemerintah Nomor 96 tahun 2012 ruang lingkup pelayanan publik meliputi pelayanan barang, jasa dan administratif. Pelayanan barang dan jasa di maknai sebagai pengadaan dan penyaluran barang dan jasa publik oleh penyelenggara yang sebagian dan seluruh dananya bersumber dari anggaran negara. Sementara pelayanan administratif dipahami sebagai pelayanan oleh penyelenggara yang menghasilkan berbagai bentuk dokumen resmi yang diperlukan oleh masyarakat. Dokumen resmi tersebut berupa dokumen perizinan maupun non perizinan. Inilah jenis pelayanan yang paling banyak di akses masyarakat pada umunya. 2 Pengawasan yang dilakukan dalam Ombudsman ada 2 yaitu pengawasan internal dan eksternal. Pengawasan internal dilakukan atas pelaksana pada unit pelayanan publik yang melakukan pemantauan atas kerja-kerja pelayanannya. Sementara pengawasan eksternal diampu oleh masyarakat luas, DPR dan 2 Standar Pelayanan Publik untuk Republik, Ombudsman RI, 2015 : vi. Konsep standar dalam pelayanan publik.

Transcript of BAB II TINJAUAN TEORITIS...tidak menerima calon siswa prestasi tertentu karena tidak tersedianya...

  • 6

    BAB II

    TINJAUAN TEORITIS

    Teori merupakan generalisasi yang abstrak mengenai beberapa fenomena

    (Budiardjo, 2008). Dalam menyusun generalisasi, teori selalu memakai konsep-

    konsep. Konsep lahir dalam pikiran manusia, karena bersifat abstrak, sekalipun

    menggunakan fakta sebagai pijakan (Hadiwijoyo, 2011 dalam skripsi Novia

    Christiana Tolla).

    2.1 Pelayanan Publik

    Pelayanan pubik sebagaimana tertuang dalam UU 25 tahun 2009, dimaknai

    sebagai kegiatan atau rangkaian dalam rangka pemenuhan kebutuhan pelayanan

    barang, jasa dan administratif yang disediakan penyelenggara pelayanan publik. Ini

    berarti, negara berkewajiban dan bertanggungjawab atas pemenuhan hak dan

    kebutuhan dasar masyarakat demi memajukan kesejahteraan umum dan

    mencerdaskan kehidupan bangsa sesuai dengan amanat Pembukaan UUD 1945.

    Pada Peraturan Pemerintah Nomor 96 tahun 2012 ruang lingkup pelayanan

    publik meliputi pelayanan barang, jasa dan administratif. Pelayanan barang dan jasa

    di maknai sebagai pengadaan dan penyaluran barang dan jasa publik oleh

    penyelenggara yang sebagian dan seluruh dananya bersumber dari anggaran negara.

    Sementara pelayanan administratif dipahami sebagai pelayanan oleh penyelenggara

    yang menghasilkan berbagai bentuk dokumen resmi yang diperlukan oleh

    masyarakat. Dokumen resmi tersebut berupa dokumen perizinan maupun non

    perizinan. Inilah jenis pelayanan yang paling banyak di akses masyarakat pada

    umunya.2

    Pengawasan yang dilakukan dalam Ombudsman ada 2 yaitu pengawasan

    internal dan eksternal. Pengawasan internal dilakukan atas pelaksana pada unit

    pelayanan publik yang melakukan pemantauan atas kerja-kerja pelayanannya.

    Sementara pengawasan eksternal diampu oleh masyarakat luas, DPR dan

    2 Standar Pelayanan Publik untuk Republik, Ombudsman RI, 2015 : vi. Konsep standar dalam

    pelayanan publik.

  • 7

    Ombudsman RI, yang terakhir adalah lembaga negara yang di bentuk khusus

    mengawasi penyelenggaraan pelayanan publik khususnya berbagai perilaku

    maladministratif.

    Dalam menjalankan tugasnya sesuai UU nomor 37 tahun 2008 Ombudsman

    RI tidak hanya menyelesaiakan aneka laporan/ aduan masyarakat terkait praktik

    maladministratif pada penyelenggara pelayanan publik. Upaya pencegahan

    maladministrasi juga dilakukan lembaga Ombudsman RI, salah satunya adalah

    dengan mendorong kepatuhan penyelenggara pelayanan dalam memenuhi standar

    pelayanan publik, sesuai dengan UU 25 tahun 2009, guna menjamin kepastian

    hukum masyarakat pengguna. 3

    2.2 Maladministrasi

    Maladministrasi adalah suatu perbuatan yang menyimpang dari etika

    administrasi, atau suatu perbuatan administrasi yang menjauhkan dari pencapaian

    tujuan administrasi. Selama ini banyak kalangan yang terjebak dalam memahami

    maladministrasi, yaitu semata-mata hanya dianggap sebagai penyimpangan

    administrasi secara arti sempit, penyimpangan yang hanya berkaitan dengan

    ketatabukuan dan tulis-menulis. Bentuk-bentuk penyimpangan diluar hal-hal yang

    bersifat ketatabukuan tidak dianggap sebagai perbuatan maladministrasi. Padahal

    terminologi maladministrasi dipahami lebih luas dari sekedar penyimpangan yang

    bersifat ketatabukuan sebagaimana selama ini dipahami banyak orang.

    Secara leksikal, administrasi mengandung 4 arti, yaitu: 1).Usaha dan

    kegiatan yang meliputi penetapan tujuan serta cara penyelenggaraan dan pembinaan

    organisasi. 2) Usaha maupun kegiatan sangat berkaitan dengan penyelenggaraan

    kebijakan untuk mencapai tujuan. 3) Kegiatan yang berkaitan dengan

    penyelengaraan pemerintahan. 4) Kegiatan kantor dan tata usaha.

    Secara umum maladministrasi diartikan sebagai perilaku atau perbuatan

    melawan hukum dan etika dalam suatu proses administrasi pelayanan publik, yakni

    meliputi penyalahgunaan wewenang/jabatan, kelalaian dalam tindakan dan

    pengambilan keputusan, pengabaian kewajiban hukum, melakukan penundaan

    3 ibid

  • 8

    berlarut, tindakan diskriminatif, permintaan imbalan, dan lain-lain yang dapat

    dinilai sekualitas dengan kesalahan tersebut. Adapun pengertian maladministrasi

    menurut Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2008 tentang

    Ombudsman RI menyatakan: perilaku atau perbuatan melawan hukum, melampaui

    wewenang, menggunakan wewenang tersebut untuk tujuan lain dari yang menjadi

    wewenang tersebut, termasuk kelalaian atau pengabaian kewajiban hukum dalam

    penyelenggaraan pelayanan publik yang dilakukan oleh penyelenggara negara dan

    pemerintah, termasuk perseorangan yang membantu pemerintah memberikan

    pelayanan publik yang menimbulkan kerugian materil dan atau imateril bagi

    masyarakat dan orang persorangan.

    Adapun bentuk-bentuk maladministrasi yang paling umum yaitu

    penundaan berlarut, penyalahgunaan wewenang, penyimpangan prosedur,

    pengabaian kewajiban hukum, tidak transparan, kelalaian, diskriminasi, tidak

    professional, ketidak jelasan informasi, tindakan sewenang-wenang, ketidak puasan

    hukum, salah pengelolaan. Prinsip penegakan hukum dalam good governance tidak

    dalam arti sempit yang hanya meliputi hukum tertulis (peraturan perundang-

    undangan) saja, akan tetapi meliputi hukum adat dan etika masyarakat yang

    terkemas dalam bentuk norma kepatutan. Secara umum, sebenarnya ketentuan

    tentang maladministrasi sudah ada dan tersebar disejumlah besar peraturan

    perundang-undangan yang dibuat pemerintah dan DPR. Ketentuan perundangan

    yang memuat tentang berbagai bentuk maladministrasi itu khususnya yang

    mengatur tentang tindakan, perilaku, pembuatan kebijakan, dan peristiwa yang

    menyalahi hukum dan etika administrasi yang dilakukan oleh penyelenggara negara

    dan pemerintahan, pegawai negeri, pengurus perusahaan milik swasta dan

    pemerintah, termasuk perseorangan yang membantu pemerintah memberikan

    pelayanan publik.

    Adapun landasan hukum yang langsung menyebut tentang pencegahan dan

    penyelesaian maladministrasi adalah sebagai berikut : 1. Undang-undang Republik

    Indonesia Nomor 37 tahun 2008 tentang Ombudsman Republik Indonesia. 2.

    Undang-undang Republik Indonesia Nomor 25 tahun 2009 tentang Pelayanan

    Publik.

  • 9

    Jenis Maladmnistrasi Komisi Ombudsman Nasional memberikan indikator

    bentuk-bentuk maladministrasi, antara lain melakukan tindakan yang janggal atau

    inappropriate, menyimpang atau deviate, sewenang-wenang atau arbitrary,

    melanggar ketentuan atau irregular/illegimate, penyalahgunaan wewenang abuse

    of power, atau keterlambatan yang tidak perlu atau undue delay, dan maupun

    pelanggaran kepatutan atau equity.4

    2.3 Penerimaan Peserta Didik Baru ( PPDB)

    Pendidikan merupakan salah satu Hak Asasi Manusia (HAM) untuk setiap

    warga Negara Indonesia. Pendidikan merupakan hak bagi seluruh warga Negara

    Indonesia yang wajib dipenuhi oleh Pemerintah, seperti yang tercantum dalam

    Undang- Undang Dasar 1945 ”kemudian dari pada itu untuk membentuk suatu

    pemerintahan Negara Indonesia yang melindungi segenap Bangsa dan seluruh

    tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan

    kehidupan Bangsa dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan

    kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial”.

    Penerimaan Pesera Didik Baru (PPDB) merupakan pintu awal dimulainya

    proses pendidikan sebagai salah satu bentuk pelayanan publik di bidang pendidikan

    yang diselenggarakan oleh Pemerintah. Pada tahun 2017 Pemerintah telah

    mengeluarkan Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 17 Tahun

    2017 tentang Penerimaan Pesera Didik Baru pada Taman Kanak- Kanak, Sekolah

    Dasar, Sekolah Menengah Pertama, Sekolah Menengah Atas, Sekolah Menengah

    Kejuruan, atau bentuk lain yang sederajat yang menjadi pedoman bagi Pemerintah

    Daerah dalam melaksanakan proses PPDB. 5

    Berikut adalah hasil pemantauan Ombudsman dalam pelaksanaan PPDB

    tahun 2017, Ada 5 modus maladministrasi yang sudah di kategorikan oleh

    Ombudsman RI seperti: pertama, penyalahgunaan Wewenang yang meliputi

    menyisakan sejumlah kuota sehingga terjadi pengalihan kuota jalur tertentu,

    memberikan perlakuan khusus berupa penyederhanaan persyaratan bagi calon didik

    tertentu, terjadi penyalahgunaan dalam penggunaan MoU kepada instansi atau

    4 http://erepo.unud.ac.id/11966/3/bb085e3774f3efaa2b318555b68038a7.pdf 5 kutipan pemantauan hasil laporan PPDB Tahun Ajaran Juli 2017 lihat hal 10-11.

    http://erepo.unud.ac.id/11966/3/bb085e3774f3efaa2b318555b68038a7.pdf

  • 10

    kelompok masyarakat tertentu. Kedua, penyimpangan prosedur seperti adanya

    persyaratan lain yang tidak diatur dalam juknis PPDB setempat, tidak

    memberlakukan aturan zonasi, menerima siswa jalaur MoU tanpa disertai MoU

    secara tertulis, terjadi penahanan KK pada proses PPDB, menyediakan jumlah

    Rombel di luar ketentuan Permendikbud No. 17 Tahun 2017, tidak menyediakan

    pos pengaduan, tidak melaksanakan sertifikasi guru pada PPDB jalur UU. Ketiga,

    permintaan uang, barang, dan jasa seperti terjadi permintaan sejumlah uang untuk

    biaya administrasi selama proses PPDB. Keempat, tidak kompeten seperti kurang

    memahami PPDB jalur MoU/ UU sehingga banyak calon siswa yang masuk dengan

    surat rekomendasi dari pihak/ instansi tertentu (kejaksaan, kepolisian, DPRD), tidak

    melaksanakan sosialisasi secara maksimal (melalui media tertentu) kepada

    masyarakat terkait mekanisme PPDB, penyelahgunaan SKTM dalam pelaksanaan

    PDB yang diakukan oleh Orang tua calon siswa, sekolah tidak melakukan

    verifikasi/ melakukan pengabaian terhadap tindakan penyalahgunaan SKTM yang

    dilakukan oleh orang tua calon siswa, sistem online (server) yang bermasalah

    sehingga mengganggu proses pendaftaran, verifikasi, seleksi, dan pengumuman

    kelulusan. Kelima, tidak menerima calon siswa berkebutuhan khusus (difabel),

    tidak menerima calon siswa prestasi tertentu karena tidak tersedianya guru

    pembimbing dengan keahlian tersebut (sumber: laporan hasil pemantauan

    pelaksanaan PPDB tahun ajaran 2017).

    2.4 Peran

    “struktur” dan “agensi” . Menurut Anthony Giddens yang dimaksud dengan

    “struktur” adalah “rules and resources” yang dipakai pada produksi dan reproduksi

    sistem. Sedangkan “agensi” (terjemahan harfiah Inggris: agency) adalah individu.

    Segala sesuatu tidak mungkin terjadi lewat intervensi individu.

    Giddens dipandang sebagai orang pertama yang berhasil menghasilkan teori

    yang menghubungkan struktur dan agensi. Teorinya disebut “Teori Strukturasi” 6.

    6 Selain Giddens, Piere Bourdieu juga melihat bahwa pandangan yang memisahkan agen dan

    struktur adalah semu. Kontradiksi antara keduanya semu, karena keduanya tidak terpisah dalam

    praktik sosial. Lewat konsepsi yang hampir mirip, Bourdieu menamakan ‘struktur mental’ untuk

    apa yang disebut Giddens sebagai ‘skemata’, dan menyebut ‘habitus’ untuk apa yang disebut

    Giddens sebagai ‘kesadaran praktis’. Lihat B. Herry-Priyono, 86

  • 11

    Dalam teori ini, struktur dan agensi tidak dipandang sebagai dua hal yang terpisah,

    karena jika demikian akan muncul dualisme struktur-agensi. Struktur dan agensi,

    menurut Giddens, harus dipandang sebagai dualitas (duality), dua sisi mata uang

    yang sama. Hubungan antara keduanya bersifat dialektik, dalam arti struktur dan

    agensi saling mempengaruhi dan hal ini berlangsung terus menerus, tanpa henti.

    Teori Giddens tentang strukturasi didasarkan pada premis bahwa (Giddens,1984

    dalam Hidayat, 2000:440):

    “[….] the constitution of agents and structures are not two independently given

    sets of phenomena, a dualism, but represent a duality…the structureal

    properties of social systems are both medium and outcome of the practices they

    recursively organize…the moment of the production of action is also one of

    reproduction in the contexts of the day-to-day enactment of social life”

    Struktur mempengaruhi agensi dalam dua arti: memampukan (enabling) dan

    menghambat (constraining).7 Terjadinya paradoks dalam pengertian struktur ini

    karena Giddens melihat struktur merupakan hasil (outcome) sekaligus sarana

    (medium) praktik sosial. Bukanlah merupakan totalitas gejala, bukan kode

    tersembunyi seperti dalam strukturalisme, dan bukan pula kerangka keterkaitan

    bagian-bagian dari suatu totalitas seperti yang dipahami para fungsionalis. Dalam

    pengertian Giddens, agensi dapat meninggalkan struktur, ia tidak selalu tunduk

    pada struktur. Ia dapat mencari kesempatan maupun kemungkinan untuk keluar dari

    peraturan dan ketentuan yang ada. Situasi ini disebut dialectic of control. Agensi

    dapat melawan struktur yang berupa kontrol: “The more tightly-knit and inflexible

    7 Giddens mengambil bahasa sebagai contoh. Bahasa harus dipelajari dengan susah payah, baik

    kosa kata maupun tata bahasanya. Keduanya adalah struktur (rules) yang benar-benar

    menghambat. Tetapi dengan menguasai kosa kata dan tata bahasa, orang mampu untuk

    berkomunikasi dengan lawan bicaranya tanpa batas. Dalam hal ini, struktur justru memampukan

    agensi. Seandainya ia tidak pernah mempelajari kosa kata dan tata bahasanya, ia akan tetap

    membisu. Pengertian struktur disini, sama sekali berbeda dengan yang dikemukakan oleh Levi-

    Strauss. Bahkan dalam pengertian Giddens, struktur sekaligus juga medium. Giddens mengkritik

    analisis sosial yang semata-mata mengutamakan struktur, sebagaimana yang lazim dalam

    pemikiran structuralisme (de Saussure dan Levi-Straus) dan fungsionalisme (Parson), ataupun

    pemikiran sosial yang semata-mata mengutamakan agensi atau tindakan sosial individu

    sebagaimana lazim dalam pemikiran interaksionisme simbolik (Mead, Blumer, Goffman, dll).

    Menurutnya bukanlah dualisme antara struktur dan agensi, tetapi timbal balik antara keduanya

    (dualitas).

  • 12

    the formal relations of authority within an organization, in fact, the more the

    possible openings for circumventing them”

    Maka dalam teori strukturasi yang menjadi pusat perhatian bukan struktur,

    bukan pula agensi, melainkan apa yang oleh Giddens disebut “social practices”.8

    Memang orang tidak boleh melupakan struktur dan agensi, bahkan seharusnya

    memahami secara detil struktur dan agensi. Namun fokus utama harus diletakkan

    pada social practice, yaitu bagaimana manusia-manusia menjalani hidup sehari-

    hari, baik dalam hubungannya dengan anak-istri/suami, sahabat, maupun dengan

    birokrat, pelayan bank, dan lain-lain.

    Kata production dan reproduction barangkali harus diuraikan secara eksplisit.

    Masyarakat manusia tidak sekali jadi dan diteruskan begitu saja sebagaimana

    diandaikan oleh teori-teori yang menganut strukturalisme/fungsionalisme. Dari

    sudut teori strukturasi, masyarakat manusia itu diproduksi dan terus menerus

    direproduksi setiap hari dalam ruang dan waktu.

    Dalam proses ini, agensi tidak boleh dibayangkan sebagai manusia yang tolol,

    yang pasrah menerima nasib, melainkan sebagai manusia yang tahu dan paham

    akan liku-liku kehidupan. Semua tingkah lakunya selalu dimonitor agar cocok

    dengan norma dan kaidah. Tetapi tidak semua tingkah laku tersebut selalu harus

    disadari sepenuhnya. Giddens membedakan 3 (tiga) dimensi internal pelaku, yaitu

    motivasi tak sadar (unconscious motives), kesadaran praktis (practical

    consciousness), dan kesadaran diskursif (discursive consciousness) (Priyono, 2002

    :28-31). Motivasi tak sadar (unconscious motives) menyangkut keinginan atau

    kebutuhan yang berpotensi mengarahkan tindakan, tapi bukan tindakan itu sendiri.

    Diilustrasikan misalnya sangat jarang ‘tindakan’ kita pergi ke tempat kerja

    digerakkan oleh motif mencari uang, kecuali mungkin pada hari gajian. Begitu pula

    sangat jarang pegawai negeri memakai seragam KORPRI karena digerakkan oleh

    motivasi memperkuat korporatisme Orde Baru. Berbeda dengan motivasi tak sadar,

    kesadaran diskursif (discursive consciousness) mengacu pada kapasitas kita

    8 Menurut Giddens “The basic domain of study of the social science, according to the theory of

    structuration, is neither the experience of the individual actors nor the existence of any form of

    societal totality, but social practice ordered across space and time”. Lihat Wibowo, Opcit: 21

  • 13

    merefleksikan dan memberikan penjelasan rinci serta eksplisit atas tindakan kita.

    Dengan kata lain terdapat sejumlah alasan bagi semua tindakan kita. Sedangkan

    kesadaran praktis (practical consciousness) menunjuk pada gugus pengetahuan

    yang tidak selalu bisa diurai. Tahu bahwa setiap tanggal 17 Agustus PNS memakai

    pakaian KORPRI, atau tidak berisik bila sedang di tempat ibadah. Ini merupakan

    kesadaran praktis. Dalam fenomenologi, inilah wilayah kepribadian yang berisi

    gugus pengetahuan yang sudah diandaikan (taken for granted knowledge). Gugus

    pengetahuan yang sudah diandaikan ini merupakan sumber “rasa aman ontologis”

    (ontological security). Melalui gugus pengetahuan praktis ini, kita tahu bagaimana

    melangsungkan hidup sehari-hari tanpa harus terus menerus mempertanyakan apa

    yang terjadi atau yang mesti dilakukan. Kita tidak harus bertanya mengapa

    menyalakan kompor ketika hendak memasak. Demikian pula kita hampir tidak

    pernah bertanya mengapa kita menghentikan kendaraan ketika lampu lalu lintas

    sedang berwarna merah. Rutinisasi hidup personal dan sosial terbentuk melalui

    kinerja gugus kesadaran praktis ini (Priyono,ibid).

    Sejalan dengan tesis Berger yaitu eksternalisasi, kesadaran praktis merupakan

    kunci untuk memahami proses bagaimana berbagai tindakan dan praktik sosial kita

    (dalam bahasa Berger: pencurahan diri) lambat laun menjadi struktur, dan

    bagaimana struktur itu mengekang atau memampukan tindakan atau praktik sosial

    (Berger menyebutnya internalisasi).9 Reproduksi sosial berlangsung lewat

    keterulangan praktik sosial yang jarang dipertanyakan oleh aktor pelaku. Tapi

    apakah yang terjadi hanyalah reproduksi sosial dan tanpa perubahan?

    Dalam refleksi Giddens, perubahan selalu terlibat dalam proses strukturasi,

    betapapun kecilnya perubahan itu. Batas antara kesadaran praktis dan kesadaran

    diskursif sangatlah tipis, tidak seperti jarak antara kesadaran diskursif dengan

    9 Gagasan Giddens sesungguhnya mirip dengan pemikiran Berger. Menurut Berger terjadi proses

    dialektis antara struktur dan individu. Proses tersebut terjadi dalam tiga momen yaitu objektivasi,

    internalisasi, dan eksternalisasi. Giddens menyebut proses dialektis ini sebagai hubungan timbal

    balik yang terjadi dalam praktik sosial antara struktur dan agency, atau dualitas (duality). Uraian

    tentang dialektika dalam pembentukan realitas yang melibatkan modus objektivasi, internalisasi,

    dan eksternalisasi, lihat Peter L. Berger & Thomas Luckmann, Tafsir Sosial atas Kenyataan,

    LP3ES, Jakarta, 1990; dan Peter L. Berger, Langit Suci: Agama sebagai Realitas Sosial, LP3ES,

    Jakarta, 1994

  • 14

    motivasi tak sadar yang sedemikian jauh. Dengan meminjam gagasan

    interaksionisme simbolik Goffman, Giddens mengajukan argumen bahwa sebagai

    pelaku, kita punya kemampuan untuk introspeksi dan mawas diri (reflexive

    monitoring of conduct). Perubahan terjadi ketika kapasitas memonitor (mengambil

    jarak) ini meluas sehingga berlangsung ‘de-rutinisasi’. Derutinisasi menyangkut

    gejala bahwa skemata yang selama ini menjadi aturan (rules) dan sumber daya

    (resources) tindakan serta praktik sosial kita tidak lagi memadai untuk dipakai

    sebagai prinsip pemaknaan dan pengorganisasian berbagai praktik sosial yang

    sedang berlangsung ataupun yang sedang diperjuangkan agar menjadi praktik sosial

    yang baru.

    Apa yang kemudian terjadi adalah keusangan (obsolence, obsoleteness)

    struktur. Perubahan struktur berarti perubahan skemata agar lebih sesuai dengan

    praktik sosial yang terus berkembang secara baru .10

    Dan Istilah peran juga di katakan oleh Bourdieu, peran pada awalnya

    merupakan terjemahan dari kata “function”, “job”, atau “work”. Adapun makna

    dari kata “peran” dapat dijelaskan lewat beberapa cara. Pertama, suatu penjelasan

    historis menyebutkan, konsep peran semula dipinjam dari keluarga drama atau

    teater yang hidup subur pada jaman Yunani Kuno. Dalam arti ini, peran

    menunjukan pada karakteristik yang disandang untuk dibawakan oleh seseorang

    aktor dalam sebuah pentas drama. Kedua, suatu penjelasan yang menunjukan pada

    konotasi ilmu sosial, yang mengartikan peran sebagai suatu fungsi yang dibawakan

    seseorang ketika menduduki suatu karakteristik (posisi) dalam struktur sosial.

    Ketiga, suatu penjelasan yang lebih bersifat operasional, menyebutkan bahwa

    peran seorang aktor dalah suatu batasan yang dirancang oleh aktor lain, yang

    kebetulan sama-sama berada dalam satu “penampilan/ unjuk peran (role

    performance)”.11

    10 Ketidakpuasan yang berujung pada runtuhnya bangunan politik dan ekonomi Orde Baru

    menunjukkan bahwa bangunan tersebut telah tidak mampu lagi menjadi mediasi praktik-praktik

    sosial-politik dari para agen pelaku. 11 Konsep tentang “peran” di sarikan dari teks tentang functional Theory of stratification dan

    functinalism, Bryan S. Turner (Editor). 2006. The Cambridge Dictionary Of Sosiology. New

    York: Cambridge University Press. Hal 217-220. Diambil dari judul skripsi Peran Aktor Dalam

    Penyusunan RPJMDES, oleh Fredy Umbu Bewa Guty.

  • 15

    Pada dasarnya ada 2 paham yang dipergunakan dalam mengkaji teori peran

    yakni dengan pendekatan paham strukturalis dan paham interaksionis. Paham

    strukturalis lebih mengaitkan antara peran-peran sebagai unit kultural, serta

    mengacu ke perangkat hak dan kewajiban yang secara normatif telah dikelola oleh

    sistem budaya. Sistem budaya tersebut menyediakan suatu sistem posisional, yang

    menunjukan pada suatu unit dari strutur sosial. Pada intinya, konsep struktur

    menonjolkan suatu kondisi pasif-statis, baik pada aspek permanen maupun aspek

    saling-kait antara posisi satu dengan lainnya.12

    Paham interaksionis, lebih memperlihatkan konotasi aktif-dinamis dari

    fenomena peran, terutama setelah peran tersebut merupakan suatu perwujudan

    peran yang bersifat lebih organis, sebagai unsur dari sistem sosial yang telah

    diinternalisasi oleh self dari individu pelaku peran. Dalam hal ini, pelaku peran

    menjadi sadar akan strutur sosial yang didudukinya. Oleh karena itu, ia berusaha

    untuk selalu kelihatan “mumpuni” dan dipersepsi oleh pelaku lainnya sebagai “tak

    menyimpang” dari sistem harapan yang ada dalam masyarakatnya.

    Istilah peran yang sudah di paparkan di atas, sangat berkaitan dengan istilah

    praktik dalam pengertian Pierre Bourdieu (dalam Adib, 2012) praktik (secara

    sosial) merupakan hubungan relasional yakni struktur objektif dan representasi

    subjektif, agen dan pelaku terjalin secara dialektik. Fenomena sosial apa pun

    merupakan produk dari tindakan-tindakan individual. Oleh karena itu, logika

    tindakan harus dilihat (dicari) pada sisi rasionalitas pelakunya (Haryatmoko, 2003).

    Bourdieu juga menambahkan praktek merupakan integrasi antara habitus di

    kalikan modal dan ditambahkan ranah, yang dapat dirumuskan sebagai berikut

    (Habitus x Modal) + Ranah = Praktik. Secara dialektis, Habitus dalah “produk dari

    internalisasi struktur” dunia sosial. Habitus diperoleh sebagai akibat dari

    ditempatinya posisi di dunia sosial dalam waktu yang panjang. Menurut Bourdieu,

    habitus adalah struktur mental atau kognitif yang dengannya orang berhubungan

    dengan dunia sosial. Orang dibekali dengan serangkaian skema internalisasi yang

    12 Smelser, Neil J.,dkk. (Editor). 2001. International Encylopedia of the Social & Behavioral

    Science. Hal 5838-5852. Diambil dari judul skripsi Peran Aktor Dalam Penyusunan RPJMDES,

    oleh Fredy Umbu Bewa Guty.

  • 16

    mereka gunakan untuk mempersepsi, memahami, mengapresiasi, dan mengevaluasi

    dunia sosial. Melalui skema ini, orang menghasilkan praktik mereka, mempersepsi

    dan mengevaluasinya (Ritzer dan Goodman, 2010, hal: 581).

    Habitus adalah pada waktu tertentu merupakan hasil ciptaan (produksi)

    sejarah, dari praktik individu-individu kolektif yang selama periode historis yang

    panjang. Disisi lain, habitus justru menjadi suatu yang memadu individu dalam

    memproduksi praktek, di berbagai kontes, yang tidak sepenuh disadari (Bourdieu,

    1977 :8). Habitus merupakan hasil ketrampilan yang menjadi tindakan praktis

    (tidak harus selalu disadari) yang kemudian diterjemahkan menjadi suatu

    kemampuan yang kelihatan alamiah dan berkembang dalam lingkungan sosial

    tertentu (Bourdieu, 1994: dalam Haryatmoko, 2003). Habitus juga digunakan

    sebagai kerangka untuk memahami dan menilai realitas sekaligus penghasil praktik

    kehidupan yang sesuai dengan struktur-struktur objektif.

    Menurut Bourdieu (1980: dalam Haryatmoko, 2003) habitus merupakan

    sistem-sistem disposisi yag tahan waktu dan dapat diwariskan, strutur-struktur yang

    membentuk, artinya menjadi prinsip penggerak dan pengatur praktek-praktek hidup

    dan representasi-representasi, yang dapat disesuaikan dengan tujuan tanpa

    mengandaikan pengarahan tujuan secara sadar dan penguasaan secara sengaja

    upaya-upaya yang perlu untuk mencapainya, secara objektif diatur dan teratur tanpa

    harus menjadi buah dari kepatuhan-kepatuhan akan aturan-aturan dan secara

    kolektif diselaraskan tanpa harus menjadi hasil dari pengaturan seorang dirigen.

    Pada titik ini, disposisi dimaknai sikap, kecenderungan dalam mempersepsi,

    merasakan, melakukan dan berfikir, yang diinternalisasikan oleh individu berkat

    kondisi objektif eksistensi seseorang.

    Teori modal dicetuskan pertama kali oleh Piere Bourdieu. Disebutkan

    bahwa teori ini mempunyai ikatan erat dengan persoalan kekuasaan. Oleh

    karenanya pemikiran Bourdieu terkonstruk atas persoalan dominasi. Dalam

    masyarakat politik tentu persoalan dominasi adalah persoalan utama sebagai salah

    satu bentuk aktualisasi kekuasaan. Pada hakikatnya dominasi dimaksud tergantung

    atas situasi, sumber daya (kapital) dan strategi pelaku. Bourdieu sebagai teoritisi

    sosial memiliki pengalaman yang luar biasa. Dari apa yang menjadi latar belakang

  • 17

    hidupnya menjadikan Bourdieu menolak paradigma objektivisme dan

    subjektivisme walaupun tidak keseluruhan. Tetap ada elemen paradigma tersebut

    yang diilhami sebagai pembentuk atas teorinya. Namun bukan berarti teori yang

    dibangun berangkat atas paradigma dualisme antara struktur dengan agen seperti

    apa yang disebutkan dalam pandangan Anthony Giddens, Margaret Archer, dan

    Peter L. Berger. Tetapi lebih dari itu, Bourdieu membangun teorinya berdasarkan

    paradigma strukturalisme genetik. Paradigma ini mempunyai ciri khas internalisasi

    eksternalitas dan eksternalisasi internalitas dalam pandangan struktur dan agen.

    Konsepsi atas teori modal Bourdieu tidak bisa dilepaskan dari konsep dominasi

    lainnya. Sehingga pemikiran Bourdieu ini ada keterkaitan dengan konsep

    kekuasaan yang lain, yakni habitus & ranah (Arena).

    Ranah (field) lebih di pandang Bourdieu, secara relasional dari secara

    struktural (Ritzer dan Goodman, 2010: 582-590). Ranah adalah jaringan relasi

    antarposisi objektif di dalamnya. Keberadaan relasi-relasi ini terpisah dari

    kesadaran dan kehendak individu. Ranah merupakan: 1. Arena kekuatan sebagai

    upaya perjuangan untuk memperebutkan sumber daya atau modal dan juga untuk

    memperoleh akses tertentu yang dekat dengan hirarki kekuasaan. 2. Semacam

    hubungan yang terstruktur dan tanpa disadari mengatur posisi-posisi individu dan

    kelompok dalam tatanan masyarakat yang terbentuk secara spontan (Bourdieu

    dalam Ritzer dan Goodman, 2010 : 582).

    Ranah (field) merupakan arena politik (kekuasaan) yang sangat penting,

    dimana terdapat hirarki kekuasan yang didalamnya ada relasi/ hubungan kekuasan

    dalam arena pihak yang memiliki daya untuk membantu menata, menstruktur

    (membangun) arena-arena yang lain (Ritzer dan Goodman, 2010 : 583).

    Fungsi modal, bagi Bourdieu adalah relasi sosial dalam sebuah sistem

    pertukaran, yang mempresentasikan dirinya sebagai sesuatu yang langka, yang

    layak dicari dalam bentuk sosial tertentu. Beragam jenis modal dapat dipertukarkan

    dengan jenis modal-modal lainnya. Penukaran yang paling dramatis adalah

    penukaran dalam bentuk simbolik. Sebab dalam bentuk simbolik inilah bentuk

    modal-modal yang berbeda dipersepsi dan dikenali sebagai sesuatu yang menjadi

    mudah dilegitimasi (Halim, 2014: 109).

  • 18

    Demikian penjelasan atas kategorisasi dari modal yang disebutkan searah

    dengan pemikiran Bourdieu:

    1. Modal Ekonomi

    Modal ekonomi adalah sumber daya yang bisa menjadi sarana produksi dan

    sarana finansial. Modal ekonomi ini merupakan jenis modal yang mudah

    dikonversikan ke dalam bentuk-bentuk modal lainnya. Modal ekonomi ini

    mencakup alat-alat produksi (mesin, tanah, buruh), materi (pendapatan dan benda-

    benda), dan uang. Semua jenis modal ini mudah digunakan untuk segala tujuan

    serta diwariskan dari generasi ke generasi selanjutnya (Halim, 2014: 109).

    Lebih lanjut terkait modal ekonomi, Firmanzah mengkategorisasikan lebih

    jelas bahwa modal ekonomi yang nampak adalah uang. Modal uang digunakan

    untuk membiayai kampanye. Masing-masing partai/ politisi berusaha untuk

    meyakinkan publik bahwa partai/politisi tersebut adalah partai/politisi yang lebih

    peduli, empati, memahami benar persoalan bangsa dan memperjuangkan aspirasi

    rakyat. Salurannya adalah melalui media promosi, seperti TV, lobi ke ormas, koran,

    radio, baliho, spanduk, sewa konsultan politik dan pengumpulan massa, semuanya

    itu membutuhkan dana yang besar. Sebenarnya modal ekonomi ini adalah tradisi

    Marxian (Firmanzah: 2010).

    2. Modal Kultural

    Modal kultural adalah keseluruhan kualifikasi intelektual yang bisa

    diproduksi melalui pendidikan formal maupun warisan keluarga, seperti

    kemampuan menampilkan diri di depan publik, kepemilikan benda-benda budaya

    bernilai tinggi, pengetahuan dan keahlian tertentu hasil pendidikan formal, sertifikat

    (termasuk gelar sarjana) (Halim 2014: 110).

    Contoh lain modal kultural adalah kemampuan menulis, cara pembawaan

    dan cara bergaul yang berperan dalam penentukan kedudukan sosial. Dengan

    demikian modal kultural merupakan representasi kemampuan intelektual yang

    berkaitan dengan aspek logika, etika, maupun estetika (Halim 2014: 110). Atau

    dalam bahasa lainnya disebut sebagai modal yang berdasar pada pengetahuan yang

    dilegitimasi (George Ritzer 2008: 583).

  • 19

    Modal kultural pada dasarnya berupa keyakinan akan nilai-nilai (values)

    mengenai segala sesuatu yang dipandang benar dan senantiasa diikuti dengan upaya

    untuk mengaktualisasikannya. Modal kultural tidak dengan sendirinya

    teraktualisasikan dalam realita yang bermanfaat bagi orang yang meyakininya, dan

    atau masyarakat pada umumnya. Mirip dengan kemanfaatan modal sosial, modal

    kultural dapat berhenti sebagai mutiara terpendam yang tidak memberikan manfaat

    apapun. Kemampuan dan komitmen tinggi sangat dibutuhkan untuk memelihara,

    melestarikan, memperbaharui, dan memanfaatkannya.13

    3. Modal Sosial

    Modal sosial adalah segala jenis hubungan sebagai sumber daya untuk

    penentuan kedudukan sosial (Halim 2014:110). Menurut Bourdieu modal sosial ini

    sejatinya merupakan hubungan sosial bernilai antar orang. Hal tersebut bisa

    dicontohkan sebagian masyarakat yang berinteraksi antar kelas dalam lapisan sosial

    masyarakat (George Ritzer 2008: 583).

    Dalam ulasan buku yang berbeda, modal sosial memiliki kecenderungan

    fokus agar menghindari pembiasan makna. Pengenaan fokus tersebut terletak pada

    tiga hal pokok penting. Pertama, modal sosial yang dimiliki menyangkut institusi-

    institusi, norma, nilai, konvensi, konsep hidup, codes of condust, dan sejenisnya.

    Kedua, pola pengelolaan modal sosial yang menjadi bagian analisis adalah bernilai

    produktif bagi terciptanya kepaduan sosial (social cobesiveness). Ketiga,

    kebermaknaan modal sosial tersebut hanya dalam konteks interaksi dengan dunia

    luar yang sewajarnya harus terlibat proses-proses negosiasi dan adaptasi. Sehingga

    pada gilirannya menggiring individu-individu lain melangsungkan tindakan

    reinterpretatif terhadap modal sosial yang dimiliki.14

    Di lain hal dalam mendefinisikan modal sosial diukur dalam tiga cara.

    Dukungan kelompok kolektif calon diukur dengan jumlah dukungan kandidat lain

    menerima. Pengukuran ini juga akan menyertakan dukungan dari individu, dengan

    asumsi bahwa dukungan individu membawa pada dukungan kolektif, bukan hanya

    13 Sumarno, dkk, “Orientasi Modal Sosial dan Modal Kultural di Fakultas Ilmu Pendidikan

    U.N.Y.”, Jurnal Ilmu Pendidikan, Vol. 6 No. 2 (September, 2013), 70 14 Fawaizul Umam, dkk., Membangun Resistensi Merawat Tradisi Modal Sosial Komunitas Wetu

    Telu (Mataram: Lembaga Kajian Islam dan Masyarakat, 2006), 5

  • 20

    mewakili individu memberikan dukungan tersebut. Pengukuran kedua

    menunjukkan ikatan pribadi calon kelompok- kelompok di mana kandidat langsung

    berpartisipasi di luar partai politik. Kelompok tersebut misalnya, akan kelompok-

    kelompok sipil lokal, keanggotaan gereja, asosiasi profesional, dan klub.

    Pengukuran ketiga dari modal sosial adalah pengakuan nama. Pengukuran ini

    menunjukkan seberapa dikenal calon dalam asosiasi-nya.15

    Artinya pun diungkapkan Field menjelaskan bahwa pusat perhatian

    utamanya dalam modal sosial adalah tentang pengertian “tataran sosial”.

    Menurutnya bahwa modal sosial berhubungan dengan modal-modal lainnya,

    seperti modal ekonomi dan modal budaya. Ketiga modal tersebut akan berfungsi

    efektif jika kesemuanya memiliki hubungan. Modal sosial dapat digunakan untuk

    segala kepentingan dengan dukungan sumberdaya fisik dan pengetahuan budaya

    yang dimiliki, begitu pula sebaliknya. Dalam konteks huibungan sosial, eksistensi

    dari ketiga modal (modal sosial, modal ekonomi dan budaya) tersebut merupakan

    garansi dari kuatnya ikatan hubungan sosial ( John 2010: 16).

    Modal sosial atau Social Capital merupakan sumber daya yang dipandang

    sebagai investasi untuk mendapatkan sumber daya baru. Sumber daya yang

    digunakan untuk investasi, disebut dengan modal. Modal sosial cukup luas dan

    kompleks. Modal sosial disini tidak diartikan dengan materi, tetapi merupakan

    modal sosial yang terdapat pada seseorang. Misalnya pada kelompok institusi

    keluarga, organisasi, dan semua hal yang dapat mengarah pada kerjasama. Modal

    sosial lebih menekankan pada potensi kelompok dan pola-pola hubungan antar

    individu dalam suatu kelompok dan antar kelompok, dengan ruang perhatian pada

    kepercayaan, jaringan, norma dan nilai yang lahir dari anggota kelompok dan

    menjadi norma kelompok (Halim 2014: 17-18).

    15 Kimberly L Casey, Defining Political Capital: A Reconsideration of Bourdieu’s

    Interconvertibility Theory, (dalam: Yovaldri Riki Putra, Executive Summary; Optimalisasi Modal

    Politik Pasangan Ismet Amzis – Harma Zaldi pada Pemilihan Umum Kepala Daerah Kota

    Bukittinggi Tahun 2010 (Padang: Fisip Univ. Andalas, 2012), 19

  • 21

    4. Modal Simbolik

    Modal simbolik adalah jenis sumber daya yang dioptimalkan dalam meraih

    kekuasaan simbolik. Kekuasaan simbolik sering membutuhkan simbol-simbol

    kekuasaan seperti jabatan, mobil mewah, kantor, prestise, gelar, satus tinggi, dan

    keluarga ternama. Artinya modal simbolik di sini dimaksudkan sebagai semua

    bentuk pengakuan oleh kelompok, baik secara institusional atau non-institusional.

    Simbol itu sendiri memiliki kekuatan untuk mengkonstruksi realitas, yang mampu

    menggiring orang untuk mempercayai, mengakui dan mengubah pandangan

    mereka tentang realitas seseorang, sekelompok orang, sebuah partai politik, atau

    sebuah bangsa (Halim 2014: 110-111).

    Modal simbolik mengacu pada derajat akumulasi prestise, ketersohoran,

    konsekrasi atau kehormatan, dan dibangun di atas dialektika pengetahuan

    (connaissance) dan pengenalan (reconnaissance). Modal simbolik tidak lepas dari

    kekuasaan simbolik, yaitu kekuasaan yang memungkinkan untuk mendapatkan

    setara dengan apa yang diperoleh melalui kekuasaan fisik dan ekonomi, berkat

    akibat khusus suatu mobilisasi.16

    Dari penjelasan di atas dapat penulis simpulkan bahwa peran Ombudsman

    RI sebagai lembaga Negara Pengawas Pelayanan Publik bisa di katakan bagus.

    Karena Ombudsman mampu membangun ruang Habitus, dimana Ombudsman

    telah mendapatkan modal sosial untuk membangun Habitus yaitu kepercayaan dari

    masyarakat, dan kepercayaan dari lembaga pemerintahan. Dapat di buktikan

    dengan adanya kepercayaan masyarakat untuk melaporkan permasalahannya ke

    Ombudsman, meningkatnya laporan Ombudsman setiap tahunnya, di tahun 2010

    jumlah 1.137 aduan, 2011 jumlah 1.867 aduan, 2012 jumlah 2.209 aduan, 2013

    jumlah 5.173 aduan, 2014 jumlah 6.667 aduan, 2015 jumlah 6.854 aduan, 2016

    jumlah 10.158 aduan, dan 2017 jumlah 7.999 aduan. Dari data aduan tersebut

    masyarakat memberikan kepercayaan atau modal sosial untuk Ombudsman.

    16 Haryatmoko, “Landasan Teoritis Gerakan Sosial Menurut Pierre Bourdieu: Menyingkap

    Kepalsuan Budaya Penguasa”, Jurnal/ Majalah BASIS, No. 11-12 (November-Desember 2003),

    43-45

  • 22

    Dalam perannya Ombudsman dapat membangun Modal Budaya atau

    kebudayann baru yaitu pelayanan publik prima, yang bertujuan untuk memberikan

    pelayanan publik yang lebih baik untuk masyarakat, dan menciptakan lembaga

    yang bersih.

    2.5 Penelitian Sebelumnya

    Penelitian yang dibuat oleh penulis ini harus ada pembanding dengan

    penelitian-penelitian yang sebelumnya, maka dari itu untuk menjaga keaslian

    penelitian penulis mengumpulkan beberapa penelitian yang mengenai Ombudsman

    RI terhadap kasus yang sudah pernah di teliti Penelitian tentang Ombudsman RI

    sebelumnya telah banyak dilakukan, seperti penelitian dari Abi Ma’fur Radjab yang

    berjudul “Kekuatan Mengikat putusan Adjudikasi Ombudsman dalam Proses

    penyelesaian sengketa pelayanan publik, dengan hasil penelitian nya Ombudsman

    melaksanakan mediasi dalam persengketaan pelayanan publik, hal ini bukanlah

    sesuatu yang luar biasa, karena secara prinsip mediasi dapat dilakukan, tetapi proses

    ajudikasi yang kemudian menghasilkan putusan, hal ini menjadi suatu kontradiksi

    karena Ombudsman bukanlah lembaga peradilan dan juga bukan suatu proses

    peradilan semu administrasi (administratief quasi rechtspraak), karena hasil

    pemeriksaan Ombudsman berbentuk rekomendasi, dan rekomendasi ini bukan

    sebagai putusan hakim, sebagaimana ketentuan pasal 1 angka 7 Undang-Undang

    Ombudsman.

    Penelitian yang lain telah dilakukan oleh Setiajeng Kadarsih dengan judul

    “Tugas dan wewenang Ombudsaman RI dalam pelayanan publik menurut UU No.

    37 tahun 2008” Universitas Jendral Soedirman Purwokerto Jawa tengah, tahun

    2010, Fakultas Hukum Ombudsman Republik Indonesia adalah lembaga yang

    memiliki kemandirian, tidak memiliki hubungan organik dengan negara dan

    lembaga-lembaga pemerintahan lain dan juga saat menjalankan tugas bebas dari

    keterlibatan lembaga lainnya. Lembaga ini memiliki hak untuk mengontrol

    pelayanan publik. hak Ombudsman terdapat dalam Pasal 8 Undang-Undang Nomor

    37 Tahun 2008 tentang Ombudsman Republik Indonesia. Selain itu, Ombudsman

    diperbolehkan untuk memberikan nasihat kepada pemerintah untuk melakukan

  • 23

    perbaikan dan penyempurnaan organisasi dan prosedur pelayanan publik dalam

    rangka untuk menghindari masalah administrasi.

    Penelitian dari Nurhayati dengan judul “Peran Lembaga Ombudsman RI

    Perwakilan Prov. Jawa Tengah Dalam Upaya Pencegahan Terjadinya

    Maladministrasi” Universitas Negeri Semarang, Fakultas Hukumm Tahun 2015.

    Dengan hasil penelitiannya adalah Peran Lembaga Ombudsman Perwakilan

    Provinsi Jawa Tengah dalam melaksanakan tugasnya sudah cukup baik, Pelayanan

    kepada masyarakat terutama pelayanan publik serta penegakkan hukum yang

    dilakukan dalam rangka penyelenggaraan negara dan pemerintahan merupakan

    bagian yang tidak terpisahkan dari upaya untuk menciptakan suatu pemerintahan

    yang baik, bersih, dan efisien guna meningkatkan kesejahteraan serta menciptakan

    keadilan dan kepastian hukum bagi seluruh warga negara sebagai mana dimaksud

    dalam Undang-Undang dasar negara republik indonesia tahun 1945 . Bentuk

    pencegahan yang telah dilakukan Ombudsman Republik Indonesia Perwakilan

    Provinsi Jawa Tengah selain melakukan sosialisasi diberbagai lembaga daerah

    Ombudsman Republik Indonesia Perwakilan Provinsi Jawa Tengah selain

    menerima laporan secara langsung dari masyarakat juga melakukan investigasi atas

    prakarsa sendiri hal ini merupakan bagian dari strategi Ombudsman untuk

    mencegah maladministrasi di Jawa Tengah dengan melakukan serangkaian

    sosialisasi, melakukan rapat dengan pemerintahan daerah terkait pemerintah daerah

    menyangkut pelayanan publik.

    Penelitian dari Ghozali Puruhito dengan Judul “Peran Ombudsman

    Republik Indonesia Perwakilan Provinsi Jawa Tengah Dalam Peningkatan dan

    Perbaikan Pelayanan Publik” Jurusan Ilmu Pemerintah, Fakultas Ilmu Sosial dan

    Ilmu Komunikasi Universitas Diponegoro. Dengan hasil penelitiannya

    Ombudsman RI Perwakilan Provinsi Jawa Tengah membangun kerja sama dengan

    seluruh instansi pelayanan publik di Jawa Tengah dan lembaga swasta LSM Pattiro

    Semarang. Pola kerja sama yang dibangun adalah sosialisasi dan partisipasi.

    Ombudsman melakukan sosialisasi tentang tugas dan fungsinya melalui forum

    konsolidasi seluruh pemangku pelayanan publik, instansi pelayanan publik

    berkewajiban memberikan partisipasi dan tindak lanjut terhadap 14 apapun produk

  • 24

    atau temuan Ombudsman. Kerja sama dengan lembaga swasta LSM Pattiro

    Semarang juga memiliki pola yang sama, Ombudsman melakukan sosialisasi

    terkait tugas dan fungsinya kemudian LSM Pattiro ikut berpartisipasi dalam

    mengedukasi masyarakat terkait keberadaan Ombudsman RI Perwakilan Provinsi

    Jawa Tengah. Produk penanganan Ombudsman melalui mediasi antara PDAM

    Kota Semarang, PT Pos Indonesia Semarang, dan Pelapor Sdr. Jumadi telah

    disepakati dan ditindaklanjuti. Pihak terlapor bersedia memberikan ganti rugi dan

    memperbaiki layanan. Produk Ombudsman diwujudkan dalam perbaikan

    pelayanan publik dengan mewajibkan suatu instansi yang melakukan

    maladministrasi untuk memberikan ganti rugi kepada masyarakat/penerima

    layanan yang dirugikan, serta pemberian jaminan perbaikan pelayanan untuk ke

    depannya. Ombudsman bertugas memonitoring pelaksanaan pelayanan publik agar

    ke depannya tidak terjadi kesalahan berulang.

    Penelitian dari Ni Putu Anik Prabawati, Ni Nyoman Dewi Pascarani dan Ni

    Wayan Supriliyani. Dengan judul “Peran Perwakilan Ombudsman Republik

    Indonesia Provinsi Bali Dalam Pengawasan Penyelenggaraan Pelayanan Publik

    (Studi Kasus : Pelayanan Publik Bidang Pendidikan di Kota Denpasar)” Fakultas

    Ilmu Sosial Politik Universitas Udayana. Dengan hasil Pengawasan yang

    dilaksanakan oleh Perwakilan Ombudsman Republik Indonesia Provinsi Bali telah

    dapat meminimalisir terjadinya kecurangan dalam pelaksanaan pelayanan publik

    khususnya pada bidang pendidikan terkait pelaksanaan PPDB. Namun, dalam

    pelaksanaan UN masih perlu dikaji lebih dalam untuk menemukan solusi dari

    penyimpangan yang terjadi. Dalam melaksanakan pengawasan pihak Ombudsman

    menjalin kerjasama dan koordinasi dengan beberapa pihak yaitu Inspektorat Kota

    Denpasar, Lembaga Perlindungan Konsumen dan Lembaga Kantor Berita Nasional

    Antara Biro Bali. Hambatan yang dihadapi oleh Perwakilan Ombudsman Republik

    Indonesia Provinsi Bali dalam melaksanakan pengawasan ialah hambatan terkait

    jumlah sumber daya manusia, sarana prasarana yang kurang memadai dan

    masyarakat pelapor yang tidak memberikan identitas secara jelas. Pengaruh

    pengawasan Perwakilan Ombudsman Republik Indonesia Provinsi Bali terhadap

    pihak-pihak terkait. Secara umum semua pihak mengakui bahwa kehadiran

  • 25

    Ombudsman memberikan dampak yang baik dalam terciptanya penyelenggaraan

    pelayanan publik yang bersih dan transparan. Berkaitan dengan keefektifan

    pengawasan, dalam melaksanakan pengawasan, Perwakilan Ombudsman Republik

    Indonesia Provinsi Bali telah memenuhi beberapa kriteria dalam pelaksanaan

    pengawasan yang efektif. Secara umum pelaksanan peran Perwakilan Ombudsman

    Republik Indonesia dalam mengawasi penyelenggaraan pelayanan publik terkait

    bidang pendidikan di Kota Denpasar sudah berjalan cukup baik, namun masih perlu

    untuk meningkatkan ketegasan dalam kinerja.

    Penelitian yang mengenai Peran Ombudsman RI sebagai Lembaga Negara

    Pengawas Pelayanan Publik dalam melakukan pengawasan dalam Penerimaan

    Peserta Didik Baru (PPDB) belum pernah di teliti sehingga penulis meneliti hal

    tersebut.

  • 26

    2.6 Kerangka Pikir Penelitian

    Kerangka Pikir

    Gambar1

    kerangka pikir

    Pencapaian Negara adalah menjadikan pemerintahan yang bersih, tanpa

    korupsi, kolusi dan nepotisme. Ombudsman mendorong pemerintah, agar

    pemerintah untuk dapat melakukan pelayanan yang efektif dan efisien, jujur,

    terbuka, bersih serta bebas dari korupsi kolusi dan nepotisme. Salah satu persoalan

    yang dilihat oleh Ombudsman adalah maladministrasi, maladministrasi dilakukan

    oleh pemerintah sehingga masyarakat merespon. Seperti contoh maladministrasi

    dalam implementasi Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB). Pada pelaksanaan

    PPDB tahun 2017 banyak masyarakat yang melakukan Maladministrasi, sekolah

    sekolah yang melakukan maladministrasi dan banyak juga masyarakat yang

    mengadu atau melaporkan ke Ombudsman tentang maladministrasi Pelaksanaan

    PPDB tersebut. Sehingga masyarakat merespon agar masyarakat mendapatkan

    pelayanan pubik yang jauh lebih baik. Peran Ombudsman adalah sebagai lembaga

    Pelayanan Publik

    (Maladministrasi PPDB)

    Pemerintah dan

    satuan pendidikan

    Ombudsman RI (struktur)

    Masyarakat

    (Agen)

    Menciptakan Pelayanan

    Publik Yang Lebih Baik

    Tim 7 (Aktor)

  • 27

    pengawas. Ombudsman melakukan pengawasan Penerimaan Peserta Didik Baru

    (PPDB). Dengan harapan masyarakat, agar pemerintah melakukan pelayanan

    publik yang lebih baik Ombudsman melakukan pengawasan dan dorongan agar

    pemerintah melakukan kebiasaan yang baik dalam proses pelayanan publik.

    Sehingga Ombudsman melakukan proses pengawasan. Anggota Ombudsman

    bekerja untuk mencapai fungsi dan tujuan Ombudsman. Ombudsman merupakan

    sebuah struktur, dimana Ombudsman bertujuan agar pelayanan publik berjalan

    lebih baik lagi, dan bertujuan untuk mencegah adanya maladministrasi. Sebuah

    struktur tidak akan lepas dengan agen, agen yang digambarkan disini adalah

    masyarakat dimana hubungan antara keduanya bersifat dialektik, dalam arti

    struktur dan agensi saling mempengaruhi dan hal ini berlangsung terus menerus,

    tanpa henti.