BAB II TINJAUAN TEORITIS...tidak menerima calon siswa prestasi tertentu karena tidak tersedianya...
Transcript of BAB II TINJAUAN TEORITIS...tidak menerima calon siswa prestasi tertentu karena tidak tersedianya...
-
6
BAB II
TINJAUAN TEORITIS
Teori merupakan generalisasi yang abstrak mengenai beberapa fenomena
(Budiardjo, 2008). Dalam menyusun generalisasi, teori selalu memakai konsep-
konsep. Konsep lahir dalam pikiran manusia, karena bersifat abstrak, sekalipun
menggunakan fakta sebagai pijakan (Hadiwijoyo, 2011 dalam skripsi Novia
Christiana Tolla).
2.1 Pelayanan Publik
Pelayanan pubik sebagaimana tertuang dalam UU 25 tahun 2009, dimaknai
sebagai kegiatan atau rangkaian dalam rangka pemenuhan kebutuhan pelayanan
barang, jasa dan administratif yang disediakan penyelenggara pelayanan publik. Ini
berarti, negara berkewajiban dan bertanggungjawab atas pemenuhan hak dan
kebutuhan dasar masyarakat demi memajukan kesejahteraan umum dan
mencerdaskan kehidupan bangsa sesuai dengan amanat Pembukaan UUD 1945.
Pada Peraturan Pemerintah Nomor 96 tahun 2012 ruang lingkup pelayanan
publik meliputi pelayanan barang, jasa dan administratif. Pelayanan barang dan jasa
di maknai sebagai pengadaan dan penyaluran barang dan jasa publik oleh
penyelenggara yang sebagian dan seluruh dananya bersumber dari anggaran negara.
Sementara pelayanan administratif dipahami sebagai pelayanan oleh penyelenggara
yang menghasilkan berbagai bentuk dokumen resmi yang diperlukan oleh
masyarakat. Dokumen resmi tersebut berupa dokumen perizinan maupun non
perizinan. Inilah jenis pelayanan yang paling banyak di akses masyarakat pada
umunya.2
Pengawasan yang dilakukan dalam Ombudsman ada 2 yaitu pengawasan
internal dan eksternal. Pengawasan internal dilakukan atas pelaksana pada unit
pelayanan publik yang melakukan pemantauan atas kerja-kerja pelayanannya.
Sementara pengawasan eksternal diampu oleh masyarakat luas, DPR dan
2 Standar Pelayanan Publik untuk Republik, Ombudsman RI, 2015 : vi. Konsep standar dalam
pelayanan publik.
-
7
Ombudsman RI, yang terakhir adalah lembaga negara yang di bentuk khusus
mengawasi penyelenggaraan pelayanan publik khususnya berbagai perilaku
maladministratif.
Dalam menjalankan tugasnya sesuai UU nomor 37 tahun 2008 Ombudsman
RI tidak hanya menyelesaiakan aneka laporan/ aduan masyarakat terkait praktik
maladministratif pada penyelenggara pelayanan publik. Upaya pencegahan
maladministrasi juga dilakukan lembaga Ombudsman RI, salah satunya adalah
dengan mendorong kepatuhan penyelenggara pelayanan dalam memenuhi standar
pelayanan publik, sesuai dengan UU 25 tahun 2009, guna menjamin kepastian
hukum masyarakat pengguna. 3
2.2 Maladministrasi
Maladministrasi adalah suatu perbuatan yang menyimpang dari etika
administrasi, atau suatu perbuatan administrasi yang menjauhkan dari pencapaian
tujuan administrasi. Selama ini banyak kalangan yang terjebak dalam memahami
maladministrasi, yaitu semata-mata hanya dianggap sebagai penyimpangan
administrasi secara arti sempit, penyimpangan yang hanya berkaitan dengan
ketatabukuan dan tulis-menulis. Bentuk-bentuk penyimpangan diluar hal-hal yang
bersifat ketatabukuan tidak dianggap sebagai perbuatan maladministrasi. Padahal
terminologi maladministrasi dipahami lebih luas dari sekedar penyimpangan yang
bersifat ketatabukuan sebagaimana selama ini dipahami banyak orang.
Secara leksikal, administrasi mengandung 4 arti, yaitu: 1).Usaha dan
kegiatan yang meliputi penetapan tujuan serta cara penyelenggaraan dan pembinaan
organisasi. 2) Usaha maupun kegiatan sangat berkaitan dengan penyelenggaraan
kebijakan untuk mencapai tujuan. 3) Kegiatan yang berkaitan dengan
penyelengaraan pemerintahan. 4) Kegiatan kantor dan tata usaha.
Secara umum maladministrasi diartikan sebagai perilaku atau perbuatan
melawan hukum dan etika dalam suatu proses administrasi pelayanan publik, yakni
meliputi penyalahgunaan wewenang/jabatan, kelalaian dalam tindakan dan
pengambilan keputusan, pengabaian kewajiban hukum, melakukan penundaan
3 ibid
-
8
berlarut, tindakan diskriminatif, permintaan imbalan, dan lain-lain yang dapat
dinilai sekualitas dengan kesalahan tersebut. Adapun pengertian maladministrasi
menurut Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2008 tentang
Ombudsman RI menyatakan: perilaku atau perbuatan melawan hukum, melampaui
wewenang, menggunakan wewenang tersebut untuk tujuan lain dari yang menjadi
wewenang tersebut, termasuk kelalaian atau pengabaian kewajiban hukum dalam
penyelenggaraan pelayanan publik yang dilakukan oleh penyelenggara negara dan
pemerintah, termasuk perseorangan yang membantu pemerintah memberikan
pelayanan publik yang menimbulkan kerugian materil dan atau imateril bagi
masyarakat dan orang persorangan.
Adapun bentuk-bentuk maladministrasi yang paling umum yaitu
penundaan berlarut, penyalahgunaan wewenang, penyimpangan prosedur,
pengabaian kewajiban hukum, tidak transparan, kelalaian, diskriminasi, tidak
professional, ketidak jelasan informasi, tindakan sewenang-wenang, ketidak puasan
hukum, salah pengelolaan. Prinsip penegakan hukum dalam good governance tidak
dalam arti sempit yang hanya meliputi hukum tertulis (peraturan perundang-
undangan) saja, akan tetapi meliputi hukum adat dan etika masyarakat yang
terkemas dalam bentuk norma kepatutan. Secara umum, sebenarnya ketentuan
tentang maladministrasi sudah ada dan tersebar disejumlah besar peraturan
perundang-undangan yang dibuat pemerintah dan DPR. Ketentuan perundangan
yang memuat tentang berbagai bentuk maladministrasi itu khususnya yang
mengatur tentang tindakan, perilaku, pembuatan kebijakan, dan peristiwa yang
menyalahi hukum dan etika administrasi yang dilakukan oleh penyelenggara negara
dan pemerintahan, pegawai negeri, pengurus perusahaan milik swasta dan
pemerintah, termasuk perseorangan yang membantu pemerintah memberikan
pelayanan publik.
Adapun landasan hukum yang langsung menyebut tentang pencegahan dan
penyelesaian maladministrasi adalah sebagai berikut : 1. Undang-undang Republik
Indonesia Nomor 37 tahun 2008 tentang Ombudsman Republik Indonesia. 2.
Undang-undang Republik Indonesia Nomor 25 tahun 2009 tentang Pelayanan
Publik.
-
9
Jenis Maladmnistrasi Komisi Ombudsman Nasional memberikan indikator
bentuk-bentuk maladministrasi, antara lain melakukan tindakan yang janggal atau
inappropriate, menyimpang atau deviate, sewenang-wenang atau arbitrary,
melanggar ketentuan atau irregular/illegimate, penyalahgunaan wewenang abuse
of power, atau keterlambatan yang tidak perlu atau undue delay, dan maupun
pelanggaran kepatutan atau equity.4
2.3 Penerimaan Peserta Didik Baru ( PPDB)
Pendidikan merupakan salah satu Hak Asasi Manusia (HAM) untuk setiap
warga Negara Indonesia. Pendidikan merupakan hak bagi seluruh warga Negara
Indonesia yang wajib dipenuhi oleh Pemerintah, seperti yang tercantum dalam
Undang- Undang Dasar 1945 ”kemudian dari pada itu untuk membentuk suatu
pemerintahan Negara Indonesia yang melindungi segenap Bangsa dan seluruh
tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan
kehidupan Bangsa dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan
kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial”.
Penerimaan Pesera Didik Baru (PPDB) merupakan pintu awal dimulainya
proses pendidikan sebagai salah satu bentuk pelayanan publik di bidang pendidikan
yang diselenggarakan oleh Pemerintah. Pada tahun 2017 Pemerintah telah
mengeluarkan Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 17 Tahun
2017 tentang Penerimaan Pesera Didik Baru pada Taman Kanak- Kanak, Sekolah
Dasar, Sekolah Menengah Pertama, Sekolah Menengah Atas, Sekolah Menengah
Kejuruan, atau bentuk lain yang sederajat yang menjadi pedoman bagi Pemerintah
Daerah dalam melaksanakan proses PPDB. 5
Berikut adalah hasil pemantauan Ombudsman dalam pelaksanaan PPDB
tahun 2017, Ada 5 modus maladministrasi yang sudah di kategorikan oleh
Ombudsman RI seperti: pertama, penyalahgunaan Wewenang yang meliputi
menyisakan sejumlah kuota sehingga terjadi pengalihan kuota jalur tertentu,
memberikan perlakuan khusus berupa penyederhanaan persyaratan bagi calon didik
tertentu, terjadi penyalahgunaan dalam penggunaan MoU kepada instansi atau
4 http://erepo.unud.ac.id/11966/3/bb085e3774f3efaa2b318555b68038a7.pdf 5 kutipan pemantauan hasil laporan PPDB Tahun Ajaran Juli 2017 lihat hal 10-11.
http://erepo.unud.ac.id/11966/3/bb085e3774f3efaa2b318555b68038a7.pdf
-
10
kelompok masyarakat tertentu. Kedua, penyimpangan prosedur seperti adanya
persyaratan lain yang tidak diatur dalam juknis PPDB setempat, tidak
memberlakukan aturan zonasi, menerima siswa jalaur MoU tanpa disertai MoU
secara tertulis, terjadi penahanan KK pada proses PPDB, menyediakan jumlah
Rombel di luar ketentuan Permendikbud No. 17 Tahun 2017, tidak menyediakan
pos pengaduan, tidak melaksanakan sertifikasi guru pada PPDB jalur UU. Ketiga,
permintaan uang, barang, dan jasa seperti terjadi permintaan sejumlah uang untuk
biaya administrasi selama proses PPDB. Keempat, tidak kompeten seperti kurang
memahami PPDB jalur MoU/ UU sehingga banyak calon siswa yang masuk dengan
surat rekomendasi dari pihak/ instansi tertentu (kejaksaan, kepolisian, DPRD), tidak
melaksanakan sosialisasi secara maksimal (melalui media tertentu) kepada
masyarakat terkait mekanisme PPDB, penyelahgunaan SKTM dalam pelaksanaan
PDB yang diakukan oleh Orang tua calon siswa, sekolah tidak melakukan
verifikasi/ melakukan pengabaian terhadap tindakan penyalahgunaan SKTM yang
dilakukan oleh orang tua calon siswa, sistem online (server) yang bermasalah
sehingga mengganggu proses pendaftaran, verifikasi, seleksi, dan pengumuman
kelulusan. Kelima, tidak menerima calon siswa berkebutuhan khusus (difabel),
tidak menerima calon siswa prestasi tertentu karena tidak tersedianya guru
pembimbing dengan keahlian tersebut (sumber: laporan hasil pemantauan
pelaksanaan PPDB tahun ajaran 2017).
2.4 Peran
“struktur” dan “agensi” . Menurut Anthony Giddens yang dimaksud dengan
“struktur” adalah “rules and resources” yang dipakai pada produksi dan reproduksi
sistem. Sedangkan “agensi” (terjemahan harfiah Inggris: agency) adalah individu.
Segala sesuatu tidak mungkin terjadi lewat intervensi individu.
Giddens dipandang sebagai orang pertama yang berhasil menghasilkan teori
yang menghubungkan struktur dan agensi. Teorinya disebut “Teori Strukturasi” 6.
6 Selain Giddens, Piere Bourdieu juga melihat bahwa pandangan yang memisahkan agen dan
struktur adalah semu. Kontradiksi antara keduanya semu, karena keduanya tidak terpisah dalam
praktik sosial. Lewat konsepsi yang hampir mirip, Bourdieu menamakan ‘struktur mental’ untuk
apa yang disebut Giddens sebagai ‘skemata’, dan menyebut ‘habitus’ untuk apa yang disebut
Giddens sebagai ‘kesadaran praktis’. Lihat B. Herry-Priyono, 86
-
11
Dalam teori ini, struktur dan agensi tidak dipandang sebagai dua hal yang terpisah,
karena jika demikian akan muncul dualisme struktur-agensi. Struktur dan agensi,
menurut Giddens, harus dipandang sebagai dualitas (duality), dua sisi mata uang
yang sama. Hubungan antara keduanya bersifat dialektik, dalam arti struktur dan
agensi saling mempengaruhi dan hal ini berlangsung terus menerus, tanpa henti.
Teori Giddens tentang strukturasi didasarkan pada premis bahwa (Giddens,1984
dalam Hidayat, 2000:440):
“[….] the constitution of agents and structures are not two independently given
sets of phenomena, a dualism, but represent a duality…the structureal
properties of social systems are both medium and outcome of the practices they
recursively organize…the moment of the production of action is also one of
reproduction in the contexts of the day-to-day enactment of social life”
Struktur mempengaruhi agensi dalam dua arti: memampukan (enabling) dan
menghambat (constraining).7 Terjadinya paradoks dalam pengertian struktur ini
karena Giddens melihat struktur merupakan hasil (outcome) sekaligus sarana
(medium) praktik sosial. Bukanlah merupakan totalitas gejala, bukan kode
tersembunyi seperti dalam strukturalisme, dan bukan pula kerangka keterkaitan
bagian-bagian dari suatu totalitas seperti yang dipahami para fungsionalis. Dalam
pengertian Giddens, agensi dapat meninggalkan struktur, ia tidak selalu tunduk
pada struktur. Ia dapat mencari kesempatan maupun kemungkinan untuk keluar dari
peraturan dan ketentuan yang ada. Situasi ini disebut dialectic of control. Agensi
dapat melawan struktur yang berupa kontrol: “The more tightly-knit and inflexible
7 Giddens mengambil bahasa sebagai contoh. Bahasa harus dipelajari dengan susah payah, baik
kosa kata maupun tata bahasanya. Keduanya adalah struktur (rules) yang benar-benar
menghambat. Tetapi dengan menguasai kosa kata dan tata bahasa, orang mampu untuk
berkomunikasi dengan lawan bicaranya tanpa batas. Dalam hal ini, struktur justru memampukan
agensi. Seandainya ia tidak pernah mempelajari kosa kata dan tata bahasanya, ia akan tetap
membisu. Pengertian struktur disini, sama sekali berbeda dengan yang dikemukakan oleh Levi-
Strauss. Bahkan dalam pengertian Giddens, struktur sekaligus juga medium. Giddens mengkritik
analisis sosial yang semata-mata mengutamakan struktur, sebagaimana yang lazim dalam
pemikiran structuralisme (de Saussure dan Levi-Straus) dan fungsionalisme (Parson), ataupun
pemikiran sosial yang semata-mata mengutamakan agensi atau tindakan sosial individu
sebagaimana lazim dalam pemikiran interaksionisme simbolik (Mead, Blumer, Goffman, dll).
Menurutnya bukanlah dualisme antara struktur dan agensi, tetapi timbal balik antara keduanya
(dualitas).
-
12
the formal relations of authority within an organization, in fact, the more the
possible openings for circumventing them”
Maka dalam teori strukturasi yang menjadi pusat perhatian bukan struktur,
bukan pula agensi, melainkan apa yang oleh Giddens disebut “social practices”.8
Memang orang tidak boleh melupakan struktur dan agensi, bahkan seharusnya
memahami secara detil struktur dan agensi. Namun fokus utama harus diletakkan
pada social practice, yaitu bagaimana manusia-manusia menjalani hidup sehari-
hari, baik dalam hubungannya dengan anak-istri/suami, sahabat, maupun dengan
birokrat, pelayan bank, dan lain-lain.
Kata production dan reproduction barangkali harus diuraikan secara eksplisit.
Masyarakat manusia tidak sekali jadi dan diteruskan begitu saja sebagaimana
diandaikan oleh teori-teori yang menganut strukturalisme/fungsionalisme. Dari
sudut teori strukturasi, masyarakat manusia itu diproduksi dan terus menerus
direproduksi setiap hari dalam ruang dan waktu.
Dalam proses ini, agensi tidak boleh dibayangkan sebagai manusia yang tolol,
yang pasrah menerima nasib, melainkan sebagai manusia yang tahu dan paham
akan liku-liku kehidupan. Semua tingkah lakunya selalu dimonitor agar cocok
dengan norma dan kaidah. Tetapi tidak semua tingkah laku tersebut selalu harus
disadari sepenuhnya. Giddens membedakan 3 (tiga) dimensi internal pelaku, yaitu
motivasi tak sadar (unconscious motives), kesadaran praktis (practical
consciousness), dan kesadaran diskursif (discursive consciousness) (Priyono, 2002
:28-31). Motivasi tak sadar (unconscious motives) menyangkut keinginan atau
kebutuhan yang berpotensi mengarahkan tindakan, tapi bukan tindakan itu sendiri.
Diilustrasikan misalnya sangat jarang ‘tindakan’ kita pergi ke tempat kerja
digerakkan oleh motif mencari uang, kecuali mungkin pada hari gajian. Begitu pula
sangat jarang pegawai negeri memakai seragam KORPRI karena digerakkan oleh
motivasi memperkuat korporatisme Orde Baru. Berbeda dengan motivasi tak sadar,
kesadaran diskursif (discursive consciousness) mengacu pada kapasitas kita
8 Menurut Giddens “The basic domain of study of the social science, according to the theory of
structuration, is neither the experience of the individual actors nor the existence of any form of
societal totality, but social practice ordered across space and time”. Lihat Wibowo, Opcit: 21
-
13
merefleksikan dan memberikan penjelasan rinci serta eksplisit atas tindakan kita.
Dengan kata lain terdapat sejumlah alasan bagi semua tindakan kita. Sedangkan
kesadaran praktis (practical consciousness) menunjuk pada gugus pengetahuan
yang tidak selalu bisa diurai. Tahu bahwa setiap tanggal 17 Agustus PNS memakai
pakaian KORPRI, atau tidak berisik bila sedang di tempat ibadah. Ini merupakan
kesadaran praktis. Dalam fenomenologi, inilah wilayah kepribadian yang berisi
gugus pengetahuan yang sudah diandaikan (taken for granted knowledge). Gugus
pengetahuan yang sudah diandaikan ini merupakan sumber “rasa aman ontologis”
(ontological security). Melalui gugus pengetahuan praktis ini, kita tahu bagaimana
melangsungkan hidup sehari-hari tanpa harus terus menerus mempertanyakan apa
yang terjadi atau yang mesti dilakukan. Kita tidak harus bertanya mengapa
menyalakan kompor ketika hendak memasak. Demikian pula kita hampir tidak
pernah bertanya mengapa kita menghentikan kendaraan ketika lampu lalu lintas
sedang berwarna merah. Rutinisasi hidup personal dan sosial terbentuk melalui
kinerja gugus kesadaran praktis ini (Priyono,ibid).
Sejalan dengan tesis Berger yaitu eksternalisasi, kesadaran praktis merupakan
kunci untuk memahami proses bagaimana berbagai tindakan dan praktik sosial kita
(dalam bahasa Berger: pencurahan diri) lambat laun menjadi struktur, dan
bagaimana struktur itu mengekang atau memampukan tindakan atau praktik sosial
(Berger menyebutnya internalisasi).9 Reproduksi sosial berlangsung lewat
keterulangan praktik sosial yang jarang dipertanyakan oleh aktor pelaku. Tapi
apakah yang terjadi hanyalah reproduksi sosial dan tanpa perubahan?
Dalam refleksi Giddens, perubahan selalu terlibat dalam proses strukturasi,
betapapun kecilnya perubahan itu. Batas antara kesadaran praktis dan kesadaran
diskursif sangatlah tipis, tidak seperti jarak antara kesadaran diskursif dengan
9 Gagasan Giddens sesungguhnya mirip dengan pemikiran Berger. Menurut Berger terjadi proses
dialektis antara struktur dan individu. Proses tersebut terjadi dalam tiga momen yaitu objektivasi,
internalisasi, dan eksternalisasi. Giddens menyebut proses dialektis ini sebagai hubungan timbal
balik yang terjadi dalam praktik sosial antara struktur dan agency, atau dualitas (duality). Uraian
tentang dialektika dalam pembentukan realitas yang melibatkan modus objektivasi, internalisasi,
dan eksternalisasi, lihat Peter L. Berger & Thomas Luckmann, Tafsir Sosial atas Kenyataan,
LP3ES, Jakarta, 1990; dan Peter L. Berger, Langit Suci: Agama sebagai Realitas Sosial, LP3ES,
Jakarta, 1994
-
14
motivasi tak sadar yang sedemikian jauh. Dengan meminjam gagasan
interaksionisme simbolik Goffman, Giddens mengajukan argumen bahwa sebagai
pelaku, kita punya kemampuan untuk introspeksi dan mawas diri (reflexive
monitoring of conduct). Perubahan terjadi ketika kapasitas memonitor (mengambil
jarak) ini meluas sehingga berlangsung ‘de-rutinisasi’. Derutinisasi menyangkut
gejala bahwa skemata yang selama ini menjadi aturan (rules) dan sumber daya
(resources) tindakan serta praktik sosial kita tidak lagi memadai untuk dipakai
sebagai prinsip pemaknaan dan pengorganisasian berbagai praktik sosial yang
sedang berlangsung ataupun yang sedang diperjuangkan agar menjadi praktik sosial
yang baru.
Apa yang kemudian terjadi adalah keusangan (obsolence, obsoleteness)
struktur. Perubahan struktur berarti perubahan skemata agar lebih sesuai dengan
praktik sosial yang terus berkembang secara baru .10
Dan Istilah peran juga di katakan oleh Bourdieu, peran pada awalnya
merupakan terjemahan dari kata “function”, “job”, atau “work”. Adapun makna
dari kata “peran” dapat dijelaskan lewat beberapa cara. Pertama, suatu penjelasan
historis menyebutkan, konsep peran semula dipinjam dari keluarga drama atau
teater yang hidup subur pada jaman Yunani Kuno. Dalam arti ini, peran
menunjukan pada karakteristik yang disandang untuk dibawakan oleh seseorang
aktor dalam sebuah pentas drama. Kedua, suatu penjelasan yang menunjukan pada
konotasi ilmu sosial, yang mengartikan peran sebagai suatu fungsi yang dibawakan
seseorang ketika menduduki suatu karakteristik (posisi) dalam struktur sosial.
Ketiga, suatu penjelasan yang lebih bersifat operasional, menyebutkan bahwa
peran seorang aktor dalah suatu batasan yang dirancang oleh aktor lain, yang
kebetulan sama-sama berada dalam satu “penampilan/ unjuk peran (role
performance)”.11
10 Ketidakpuasan yang berujung pada runtuhnya bangunan politik dan ekonomi Orde Baru
menunjukkan bahwa bangunan tersebut telah tidak mampu lagi menjadi mediasi praktik-praktik
sosial-politik dari para agen pelaku. 11 Konsep tentang “peran” di sarikan dari teks tentang functional Theory of stratification dan
functinalism, Bryan S. Turner (Editor). 2006. The Cambridge Dictionary Of Sosiology. New
York: Cambridge University Press. Hal 217-220. Diambil dari judul skripsi Peran Aktor Dalam
Penyusunan RPJMDES, oleh Fredy Umbu Bewa Guty.
-
15
Pada dasarnya ada 2 paham yang dipergunakan dalam mengkaji teori peran
yakni dengan pendekatan paham strukturalis dan paham interaksionis. Paham
strukturalis lebih mengaitkan antara peran-peran sebagai unit kultural, serta
mengacu ke perangkat hak dan kewajiban yang secara normatif telah dikelola oleh
sistem budaya. Sistem budaya tersebut menyediakan suatu sistem posisional, yang
menunjukan pada suatu unit dari strutur sosial. Pada intinya, konsep struktur
menonjolkan suatu kondisi pasif-statis, baik pada aspek permanen maupun aspek
saling-kait antara posisi satu dengan lainnya.12
Paham interaksionis, lebih memperlihatkan konotasi aktif-dinamis dari
fenomena peran, terutama setelah peran tersebut merupakan suatu perwujudan
peran yang bersifat lebih organis, sebagai unsur dari sistem sosial yang telah
diinternalisasi oleh self dari individu pelaku peran. Dalam hal ini, pelaku peran
menjadi sadar akan strutur sosial yang didudukinya. Oleh karena itu, ia berusaha
untuk selalu kelihatan “mumpuni” dan dipersepsi oleh pelaku lainnya sebagai “tak
menyimpang” dari sistem harapan yang ada dalam masyarakatnya.
Istilah peran yang sudah di paparkan di atas, sangat berkaitan dengan istilah
praktik dalam pengertian Pierre Bourdieu (dalam Adib, 2012) praktik (secara
sosial) merupakan hubungan relasional yakni struktur objektif dan representasi
subjektif, agen dan pelaku terjalin secara dialektik. Fenomena sosial apa pun
merupakan produk dari tindakan-tindakan individual. Oleh karena itu, logika
tindakan harus dilihat (dicari) pada sisi rasionalitas pelakunya (Haryatmoko, 2003).
Bourdieu juga menambahkan praktek merupakan integrasi antara habitus di
kalikan modal dan ditambahkan ranah, yang dapat dirumuskan sebagai berikut
(Habitus x Modal) + Ranah = Praktik. Secara dialektis, Habitus dalah “produk dari
internalisasi struktur” dunia sosial. Habitus diperoleh sebagai akibat dari
ditempatinya posisi di dunia sosial dalam waktu yang panjang. Menurut Bourdieu,
habitus adalah struktur mental atau kognitif yang dengannya orang berhubungan
dengan dunia sosial. Orang dibekali dengan serangkaian skema internalisasi yang
12 Smelser, Neil J.,dkk. (Editor). 2001. International Encylopedia of the Social & Behavioral
Science. Hal 5838-5852. Diambil dari judul skripsi Peran Aktor Dalam Penyusunan RPJMDES,
oleh Fredy Umbu Bewa Guty.
-
16
mereka gunakan untuk mempersepsi, memahami, mengapresiasi, dan mengevaluasi
dunia sosial. Melalui skema ini, orang menghasilkan praktik mereka, mempersepsi
dan mengevaluasinya (Ritzer dan Goodman, 2010, hal: 581).
Habitus adalah pada waktu tertentu merupakan hasil ciptaan (produksi)
sejarah, dari praktik individu-individu kolektif yang selama periode historis yang
panjang. Disisi lain, habitus justru menjadi suatu yang memadu individu dalam
memproduksi praktek, di berbagai kontes, yang tidak sepenuh disadari (Bourdieu,
1977 :8). Habitus merupakan hasil ketrampilan yang menjadi tindakan praktis
(tidak harus selalu disadari) yang kemudian diterjemahkan menjadi suatu
kemampuan yang kelihatan alamiah dan berkembang dalam lingkungan sosial
tertentu (Bourdieu, 1994: dalam Haryatmoko, 2003). Habitus juga digunakan
sebagai kerangka untuk memahami dan menilai realitas sekaligus penghasil praktik
kehidupan yang sesuai dengan struktur-struktur objektif.
Menurut Bourdieu (1980: dalam Haryatmoko, 2003) habitus merupakan
sistem-sistem disposisi yag tahan waktu dan dapat diwariskan, strutur-struktur yang
membentuk, artinya menjadi prinsip penggerak dan pengatur praktek-praktek hidup
dan representasi-representasi, yang dapat disesuaikan dengan tujuan tanpa
mengandaikan pengarahan tujuan secara sadar dan penguasaan secara sengaja
upaya-upaya yang perlu untuk mencapainya, secara objektif diatur dan teratur tanpa
harus menjadi buah dari kepatuhan-kepatuhan akan aturan-aturan dan secara
kolektif diselaraskan tanpa harus menjadi hasil dari pengaturan seorang dirigen.
Pada titik ini, disposisi dimaknai sikap, kecenderungan dalam mempersepsi,
merasakan, melakukan dan berfikir, yang diinternalisasikan oleh individu berkat
kondisi objektif eksistensi seseorang.
Teori modal dicetuskan pertama kali oleh Piere Bourdieu. Disebutkan
bahwa teori ini mempunyai ikatan erat dengan persoalan kekuasaan. Oleh
karenanya pemikiran Bourdieu terkonstruk atas persoalan dominasi. Dalam
masyarakat politik tentu persoalan dominasi adalah persoalan utama sebagai salah
satu bentuk aktualisasi kekuasaan. Pada hakikatnya dominasi dimaksud tergantung
atas situasi, sumber daya (kapital) dan strategi pelaku. Bourdieu sebagai teoritisi
sosial memiliki pengalaman yang luar biasa. Dari apa yang menjadi latar belakang
-
17
hidupnya menjadikan Bourdieu menolak paradigma objektivisme dan
subjektivisme walaupun tidak keseluruhan. Tetap ada elemen paradigma tersebut
yang diilhami sebagai pembentuk atas teorinya. Namun bukan berarti teori yang
dibangun berangkat atas paradigma dualisme antara struktur dengan agen seperti
apa yang disebutkan dalam pandangan Anthony Giddens, Margaret Archer, dan
Peter L. Berger. Tetapi lebih dari itu, Bourdieu membangun teorinya berdasarkan
paradigma strukturalisme genetik. Paradigma ini mempunyai ciri khas internalisasi
eksternalitas dan eksternalisasi internalitas dalam pandangan struktur dan agen.
Konsepsi atas teori modal Bourdieu tidak bisa dilepaskan dari konsep dominasi
lainnya. Sehingga pemikiran Bourdieu ini ada keterkaitan dengan konsep
kekuasaan yang lain, yakni habitus & ranah (Arena).
Ranah (field) lebih di pandang Bourdieu, secara relasional dari secara
struktural (Ritzer dan Goodman, 2010: 582-590). Ranah adalah jaringan relasi
antarposisi objektif di dalamnya. Keberadaan relasi-relasi ini terpisah dari
kesadaran dan kehendak individu. Ranah merupakan: 1. Arena kekuatan sebagai
upaya perjuangan untuk memperebutkan sumber daya atau modal dan juga untuk
memperoleh akses tertentu yang dekat dengan hirarki kekuasaan. 2. Semacam
hubungan yang terstruktur dan tanpa disadari mengatur posisi-posisi individu dan
kelompok dalam tatanan masyarakat yang terbentuk secara spontan (Bourdieu
dalam Ritzer dan Goodman, 2010 : 582).
Ranah (field) merupakan arena politik (kekuasaan) yang sangat penting,
dimana terdapat hirarki kekuasan yang didalamnya ada relasi/ hubungan kekuasan
dalam arena pihak yang memiliki daya untuk membantu menata, menstruktur
(membangun) arena-arena yang lain (Ritzer dan Goodman, 2010 : 583).
Fungsi modal, bagi Bourdieu adalah relasi sosial dalam sebuah sistem
pertukaran, yang mempresentasikan dirinya sebagai sesuatu yang langka, yang
layak dicari dalam bentuk sosial tertentu. Beragam jenis modal dapat dipertukarkan
dengan jenis modal-modal lainnya. Penukaran yang paling dramatis adalah
penukaran dalam bentuk simbolik. Sebab dalam bentuk simbolik inilah bentuk
modal-modal yang berbeda dipersepsi dan dikenali sebagai sesuatu yang menjadi
mudah dilegitimasi (Halim, 2014: 109).
-
18
Demikian penjelasan atas kategorisasi dari modal yang disebutkan searah
dengan pemikiran Bourdieu:
1. Modal Ekonomi
Modal ekonomi adalah sumber daya yang bisa menjadi sarana produksi dan
sarana finansial. Modal ekonomi ini merupakan jenis modal yang mudah
dikonversikan ke dalam bentuk-bentuk modal lainnya. Modal ekonomi ini
mencakup alat-alat produksi (mesin, tanah, buruh), materi (pendapatan dan benda-
benda), dan uang. Semua jenis modal ini mudah digunakan untuk segala tujuan
serta diwariskan dari generasi ke generasi selanjutnya (Halim, 2014: 109).
Lebih lanjut terkait modal ekonomi, Firmanzah mengkategorisasikan lebih
jelas bahwa modal ekonomi yang nampak adalah uang. Modal uang digunakan
untuk membiayai kampanye. Masing-masing partai/ politisi berusaha untuk
meyakinkan publik bahwa partai/politisi tersebut adalah partai/politisi yang lebih
peduli, empati, memahami benar persoalan bangsa dan memperjuangkan aspirasi
rakyat. Salurannya adalah melalui media promosi, seperti TV, lobi ke ormas, koran,
radio, baliho, spanduk, sewa konsultan politik dan pengumpulan massa, semuanya
itu membutuhkan dana yang besar. Sebenarnya modal ekonomi ini adalah tradisi
Marxian (Firmanzah: 2010).
2. Modal Kultural
Modal kultural adalah keseluruhan kualifikasi intelektual yang bisa
diproduksi melalui pendidikan formal maupun warisan keluarga, seperti
kemampuan menampilkan diri di depan publik, kepemilikan benda-benda budaya
bernilai tinggi, pengetahuan dan keahlian tertentu hasil pendidikan formal, sertifikat
(termasuk gelar sarjana) (Halim 2014: 110).
Contoh lain modal kultural adalah kemampuan menulis, cara pembawaan
dan cara bergaul yang berperan dalam penentukan kedudukan sosial. Dengan
demikian modal kultural merupakan representasi kemampuan intelektual yang
berkaitan dengan aspek logika, etika, maupun estetika (Halim 2014: 110). Atau
dalam bahasa lainnya disebut sebagai modal yang berdasar pada pengetahuan yang
dilegitimasi (George Ritzer 2008: 583).
-
19
Modal kultural pada dasarnya berupa keyakinan akan nilai-nilai (values)
mengenai segala sesuatu yang dipandang benar dan senantiasa diikuti dengan upaya
untuk mengaktualisasikannya. Modal kultural tidak dengan sendirinya
teraktualisasikan dalam realita yang bermanfaat bagi orang yang meyakininya, dan
atau masyarakat pada umumnya. Mirip dengan kemanfaatan modal sosial, modal
kultural dapat berhenti sebagai mutiara terpendam yang tidak memberikan manfaat
apapun. Kemampuan dan komitmen tinggi sangat dibutuhkan untuk memelihara,
melestarikan, memperbaharui, dan memanfaatkannya.13
3. Modal Sosial
Modal sosial adalah segala jenis hubungan sebagai sumber daya untuk
penentuan kedudukan sosial (Halim 2014:110). Menurut Bourdieu modal sosial ini
sejatinya merupakan hubungan sosial bernilai antar orang. Hal tersebut bisa
dicontohkan sebagian masyarakat yang berinteraksi antar kelas dalam lapisan sosial
masyarakat (George Ritzer 2008: 583).
Dalam ulasan buku yang berbeda, modal sosial memiliki kecenderungan
fokus agar menghindari pembiasan makna. Pengenaan fokus tersebut terletak pada
tiga hal pokok penting. Pertama, modal sosial yang dimiliki menyangkut institusi-
institusi, norma, nilai, konvensi, konsep hidup, codes of condust, dan sejenisnya.
Kedua, pola pengelolaan modal sosial yang menjadi bagian analisis adalah bernilai
produktif bagi terciptanya kepaduan sosial (social cobesiveness). Ketiga,
kebermaknaan modal sosial tersebut hanya dalam konteks interaksi dengan dunia
luar yang sewajarnya harus terlibat proses-proses negosiasi dan adaptasi. Sehingga
pada gilirannya menggiring individu-individu lain melangsungkan tindakan
reinterpretatif terhadap modal sosial yang dimiliki.14
Di lain hal dalam mendefinisikan modal sosial diukur dalam tiga cara.
Dukungan kelompok kolektif calon diukur dengan jumlah dukungan kandidat lain
menerima. Pengukuran ini juga akan menyertakan dukungan dari individu, dengan
asumsi bahwa dukungan individu membawa pada dukungan kolektif, bukan hanya
13 Sumarno, dkk, “Orientasi Modal Sosial dan Modal Kultural di Fakultas Ilmu Pendidikan
U.N.Y.”, Jurnal Ilmu Pendidikan, Vol. 6 No. 2 (September, 2013), 70 14 Fawaizul Umam, dkk., Membangun Resistensi Merawat Tradisi Modal Sosial Komunitas Wetu
Telu (Mataram: Lembaga Kajian Islam dan Masyarakat, 2006), 5
-
20
mewakili individu memberikan dukungan tersebut. Pengukuran kedua
menunjukkan ikatan pribadi calon kelompok- kelompok di mana kandidat langsung
berpartisipasi di luar partai politik. Kelompok tersebut misalnya, akan kelompok-
kelompok sipil lokal, keanggotaan gereja, asosiasi profesional, dan klub.
Pengukuran ketiga dari modal sosial adalah pengakuan nama. Pengukuran ini
menunjukkan seberapa dikenal calon dalam asosiasi-nya.15
Artinya pun diungkapkan Field menjelaskan bahwa pusat perhatian
utamanya dalam modal sosial adalah tentang pengertian “tataran sosial”.
Menurutnya bahwa modal sosial berhubungan dengan modal-modal lainnya,
seperti modal ekonomi dan modal budaya. Ketiga modal tersebut akan berfungsi
efektif jika kesemuanya memiliki hubungan. Modal sosial dapat digunakan untuk
segala kepentingan dengan dukungan sumberdaya fisik dan pengetahuan budaya
yang dimiliki, begitu pula sebaliknya. Dalam konteks huibungan sosial, eksistensi
dari ketiga modal (modal sosial, modal ekonomi dan budaya) tersebut merupakan
garansi dari kuatnya ikatan hubungan sosial ( John 2010: 16).
Modal sosial atau Social Capital merupakan sumber daya yang dipandang
sebagai investasi untuk mendapatkan sumber daya baru. Sumber daya yang
digunakan untuk investasi, disebut dengan modal. Modal sosial cukup luas dan
kompleks. Modal sosial disini tidak diartikan dengan materi, tetapi merupakan
modal sosial yang terdapat pada seseorang. Misalnya pada kelompok institusi
keluarga, organisasi, dan semua hal yang dapat mengarah pada kerjasama. Modal
sosial lebih menekankan pada potensi kelompok dan pola-pola hubungan antar
individu dalam suatu kelompok dan antar kelompok, dengan ruang perhatian pada
kepercayaan, jaringan, norma dan nilai yang lahir dari anggota kelompok dan
menjadi norma kelompok (Halim 2014: 17-18).
15 Kimberly L Casey, Defining Political Capital: A Reconsideration of Bourdieu’s
Interconvertibility Theory, (dalam: Yovaldri Riki Putra, Executive Summary; Optimalisasi Modal
Politik Pasangan Ismet Amzis – Harma Zaldi pada Pemilihan Umum Kepala Daerah Kota
Bukittinggi Tahun 2010 (Padang: Fisip Univ. Andalas, 2012), 19
-
21
4. Modal Simbolik
Modal simbolik adalah jenis sumber daya yang dioptimalkan dalam meraih
kekuasaan simbolik. Kekuasaan simbolik sering membutuhkan simbol-simbol
kekuasaan seperti jabatan, mobil mewah, kantor, prestise, gelar, satus tinggi, dan
keluarga ternama. Artinya modal simbolik di sini dimaksudkan sebagai semua
bentuk pengakuan oleh kelompok, baik secara institusional atau non-institusional.
Simbol itu sendiri memiliki kekuatan untuk mengkonstruksi realitas, yang mampu
menggiring orang untuk mempercayai, mengakui dan mengubah pandangan
mereka tentang realitas seseorang, sekelompok orang, sebuah partai politik, atau
sebuah bangsa (Halim 2014: 110-111).
Modal simbolik mengacu pada derajat akumulasi prestise, ketersohoran,
konsekrasi atau kehormatan, dan dibangun di atas dialektika pengetahuan
(connaissance) dan pengenalan (reconnaissance). Modal simbolik tidak lepas dari
kekuasaan simbolik, yaitu kekuasaan yang memungkinkan untuk mendapatkan
setara dengan apa yang diperoleh melalui kekuasaan fisik dan ekonomi, berkat
akibat khusus suatu mobilisasi.16
Dari penjelasan di atas dapat penulis simpulkan bahwa peran Ombudsman
RI sebagai lembaga Negara Pengawas Pelayanan Publik bisa di katakan bagus.
Karena Ombudsman mampu membangun ruang Habitus, dimana Ombudsman
telah mendapatkan modal sosial untuk membangun Habitus yaitu kepercayaan dari
masyarakat, dan kepercayaan dari lembaga pemerintahan. Dapat di buktikan
dengan adanya kepercayaan masyarakat untuk melaporkan permasalahannya ke
Ombudsman, meningkatnya laporan Ombudsman setiap tahunnya, di tahun 2010
jumlah 1.137 aduan, 2011 jumlah 1.867 aduan, 2012 jumlah 2.209 aduan, 2013
jumlah 5.173 aduan, 2014 jumlah 6.667 aduan, 2015 jumlah 6.854 aduan, 2016
jumlah 10.158 aduan, dan 2017 jumlah 7.999 aduan. Dari data aduan tersebut
masyarakat memberikan kepercayaan atau modal sosial untuk Ombudsman.
16 Haryatmoko, “Landasan Teoritis Gerakan Sosial Menurut Pierre Bourdieu: Menyingkap
Kepalsuan Budaya Penguasa”, Jurnal/ Majalah BASIS, No. 11-12 (November-Desember 2003),
43-45
-
22
Dalam perannya Ombudsman dapat membangun Modal Budaya atau
kebudayann baru yaitu pelayanan publik prima, yang bertujuan untuk memberikan
pelayanan publik yang lebih baik untuk masyarakat, dan menciptakan lembaga
yang bersih.
2.5 Penelitian Sebelumnya
Penelitian yang dibuat oleh penulis ini harus ada pembanding dengan
penelitian-penelitian yang sebelumnya, maka dari itu untuk menjaga keaslian
penelitian penulis mengumpulkan beberapa penelitian yang mengenai Ombudsman
RI terhadap kasus yang sudah pernah di teliti Penelitian tentang Ombudsman RI
sebelumnya telah banyak dilakukan, seperti penelitian dari Abi Ma’fur Radjab yang
berjudul “Kekuatan Mengikat putusan Adjudikasi Ombudsman dalam Proses
penyelesaian sengketa pelayanan publik, dengan hasil penelitian nya Ombudsman
melaksanakan mediasi dalam persengketaan pelayanan publik, hal ini bukanlah
sesuatu yang luar biasa, karena secara prinsip mediasi dapat dilakukan, tetapi proses
ajudikasi yang kemudian menghasilkan putusan, hal ini menjadi suatu kontradiksi
karena Ombudsman bukanlah lembaga peradilan dan juga bukan suatu proses
peradilan semu administrasi (administratief quasi rechtspraak), karena hasil
pemeriksaan Ombudsman berbentuk rekomendasi, dan rekomendasi ini bukan
sebagai putusan hakim, sebagaimana ketentuan pasal 1 angka 7 Undang-Undang
Ombudsman.
Penelitian yang lain telah dilakukan oleh Setiajeng Kadarsih dengan judul
“Tugas dan wewenang Ombudsaman RI dalam pelayanan publik menurut UU No.
37 tahun 2008” Universitas Jendral Soedirman Purwokerto Jawa tengah, tahun
2010, Fakultas Hukum Ombudsman Republik Indonesia adalah lembaga yang
memiliki kemandirian, tidak memiliki hubungan organik dengan negara dan
lembaga-lembaga pemerintahan lain dan juga saat menjalankan tugas bebas dari
keterlibatan lembaga lainnya. Lembaga ini memiliki hak untuk mengontrol
pelayanan publik. hak Ombudsman terdapat dalam Pasal 8 Undang-Undang Nomor
37 Tahun 2008 tentang Ombudsman Republik Indonesia. Selain itu, Ombudsman
diperbolehkan untuk memberikan nasihat kepada pemerintah untuk melakukan
-
23
perbaikan dan penyempurnaan organisasi dan prosedur pelayanan publik dalam
rangka untuk menghindari masalah administrasi.
Penelitian dari Nurhayati dengan judul “Peran Lembaga Ombudsman RI
Perwakilan Prov. Jawa Tengah Dalam Upaya Pencegahan Terjadinya
Maladministrasi” Universitas Negeri Semarang, Fakultas Hukumm Tahun 2015.
Dengan hasil penelitiannya adalah Peran Lembaga Ombudsman Perwakilan
Provinsi Jawa Tengah dalam melaksanakan tugasnya sudah cukup baik, Pelayanan
kepada masyarakat terutama pelayanan publik serta penegakkan hukum yang
dilakukan dalam rangka penyelenggaraan negara dan pemerintahan merupakan
bagian yang tidak terpisahkan dari upaya untuk menciptakan suatu pemerintahan
yang baik, bersih, dan efisien guna meningkatkan kesejahteraan serta menciptakan
keadilan dan kepastian hukum bagi seluruh warga negara sebagai mana dimaksud
dalam Undang-Undang dasar negara republik indonesia tahun 1945 . Bentuk
pencegahan yang telah dilakukan Ombudsman Republik Indonesia Perwakilan
Provinsi Jawa Tengah selain melakukan sosialisasi diberbagai lembaga daerah
Ombudsman Republik Indonesia Perwakilan Provinsi Jawa Tengah selain
menerima laporan secara langsung dari masyarakat juga melakukan investigasi atas
prakarsa sendiri hal ini merupakan bagian dari strategi Ombudsman untuk
mencegah maladministrasi di Jawa Tengah dengan melakukan serangkaian
sosialisasi, melakukan rapat dengan pemerintahan daerah terkait pemerintah daerah
menyangkut pelayanan publik.
Penelitian dari Ghozali Puruhito dengan Judul “Peran Ombudsman
Republik Indonesia Perwakilan Provinsi Jawa Tengah Dalam Peningkatan dan
Perbaikan Pelayanan Publik” Jurusan Ilmu Pemerintah, Fakultas Ilmu Sosial dan
Ilmu Komunikasi Universitas Diponegoro. Dengan hasil penelitiannya
Ombudsman RI Perwakilan Provinsi Jawa Tengah membangun kerja sama dengan
seluruh instansi pelayanan publik di Jawa Tengah dan lembaga swasta LSM Pattiro
Semarang. Pola kerja sama yang dibangun adalah sosialisasi dan partisipasi.
Ombudsman melakukan sosialisasi tentang tugas dan fungsinya melalui forum
konsolidasi seluruh pemangku pelayanan publik, instansi pelayanan publik
berkewajiban memberikan partisipasi dan tindak lanjut terhadap 14 apapun produk
-
24
atau temuan Ombudsman. Kerja sama dengan lembaga swasta LSM Pattiro
Semarang juga memiliki pola yang sama, Ombudsman melakukan sosialisasi
terkait tugas dan fungsinya kemudian LSM Pattiro ikut berpartisipasi dalam
mengedukasi masyarakat terkait keberadaan Ombudsman RI Perwakilan Provinsi
Jawa Tengah. Produk penanganan Ombudsman melalui mediasi antara PDAM
Kota Semarang, PT Pos Indonesia Semarang, dan Pelapor Sdr. Jumadi telah
disepakati dan ditindaklanjuti. Pihak terlapor bersedia memberikan ganti rugi dan
memperbaiki layanan. Produk Ombudsman diwujudkan dalam perbaikan
pelayanan publik dengan mewajibkan suatu instansi yang melakukan
maladministrasi untuk memberikan ganti rugi kepada masyarakat/penerima
layanan yang dirugikan, serta pemberian jaminan perbaikan pelayanan untuk ke
depannya. Ombudsman bertugas memonitoring pelaksanaan pelayanan publik agar
ke depannya tidak terjadi kesalahan berulang.
Penelitian dari Ni Putu Anik Prabawati, Ni Nyoman Dewi Pascarani dan Ni
Wayan Supriliyani. Dengan judul “Peran Perwakilan Ombudsman Republik
Indonesia Provinsi Bali Dalam Pengawasan Penyelenggaraan Pelayanan Publik
(Studi Kasus : Pelayanan Publik Bidang Pendidikan di Kota Denpasar)” Fakultas
Ilmu Sosial Politik Universitas Udayana. Dengan hasil Pengawasan yang
dilaksanakan oleh Perwakilan Ombudsman Republik Indonesia Provinsi Bali telah
dapat meminimalisir terjadinya kecurangan dalam pelaksanaan pelayanan publik
khususnya pada bidang pendidikan terkait pelaksanaan PPDB. Namun, dalam
pelaksanaan UN masih perlu dikaji lebih dalam untuk menemukan solusi dari
penyimpangan yang terjadi. Dalam melaksanakan pengawasan pihak Ombudsman
menjalin kerjasama dan koordinasi dengan beberapa pihak yaitu Inspektorat Kota
Denpasar, Lembaga Perlindungan Konsumen dan Lembaga Kantor Berita Nasional
Antara Biro Bali. Hambatan yang dihadapi oleh Perwakilan Ombudsman Republik
Indonesia Provinsi Bali dalam melaksanakan pengawasan ialah hambatan terkait
jumlah sumber daya manusia, sarana prasarana yang kurang memadai dan
masyarakat pelapor yang tidak memberikan identitas secara jelas. Pengaruh
pengawasan Perwakilan Ombudsman Republik Indonesia Provinsi Bali terhadap
pihak-pihak terkait. Secara umum semua pihak mengakui bahwa kehadiran
-
25
Ombudsman memberikan dampak yang baik dalam terciptanya penyelenggaraan
pelayanan publik yang bersih dan transparan. Berkaitan dengan keefektifan
pengawasan, dalam melaksanakan pengawasan, Perwakilan Ombudsman Republik
Indonesia Provinsi Bali telah memenuhi beberapa kriteria dalam pelaksanaan
pengawasan yang efektif. Secara umum pelaksanan peran Perwakilan Ombudsman
Republik Indonesia dalam mengawasi penyelenggaraan pelayanan publik terkait
bidang pendidikan di Kota Denpasar sudah berjalan cukup baik, namun masih perlu
untuk meningkatkan ketegasan dalam kinerja.
Penelitian yang mengenai Peran Ombudsman RI sebagai Lembaga Negara
Pengawas Pelayanan Publik dalam melakukan pengawasan dalam Penerimaan
Peserta Didik Baru (PPDB) belum pernah di teliti sehingga penulis meneliti hal
tersebut.
-
26
2.6 Kerangka Pikir Penelitian
Kerangka Pikir
Gambar1
kerangka pikir
Pencapaian Negara adalah menjadikan pemerintahan yang bersih, tanpa
korupsi, kolusi dan nepotisme. Ombudsman mendorong pemerintah, agar
pemerintah untuk dapat melakukan pelayanan yang efektif dan efisien, jujur,
terbuka, bersih serta bebas dari korupsi kolusi dan nepotisme. Salah satu persoalan
yang dilihat oleh Ombudsman adalah maladministrasi, maladministrasi dilakukan
oleh pemerintah sehingga masyarakat merespon. Seperti contoh maladministrasi
dalam implementasi Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB). Pada pelaksanaan
PPDB tahun 2017 banyak masyarakat yang melakukan Maladministrasi, sekolah
sekolah yang melakukan maladministrasi dan banyak juga masyarakat yang
mengadu atau melaporkan ke Ombudsman tentang maladministrasi Pelaksanaan
PPDB tersebut. Sehingga masyarakat merespon agar masyarakat mendapatkan
pelayanan pubik yang jauh lebih baik. Peran Ombudsman adalah sebagai lembaga
Pelayanan Publik
(Maladministrasi PPDB)
Pemerintah dan
satuan pendidikan
Ombudsman RI (struktur)
Masyarakat
(Agen)
Menciptakan Pelayanan
Publik Yang Lebih Baik
Tim 7 (Aktor)
-
27
pengawas. Ombudsman melakukan pengawasan Penerimaan Peserta Didik Baru
(PPDB). Dengan harapan masyarakat, agar pemerintah melakukan pelayanan
publik yang lebih baik Ombudsman melakukan pengawasan dan dorongan agar
pemerintah melakukan kebiasaan yang baik dalam proses pelayanan publik.
Sehingga Ombudsman melakukan proses pengawasan. Anggota Ombudsman
bekerja untuk mencapai fungsi dan tujuan Ombudsman. Ombudsman merupakan
sebuah struktur, dimana Ombudsman bertujuan agar pelayanan publik berjalan
lebih baik lagi, dan bertujuan untuk mencegah adanya maladministrasi. Sebuah
struktur tidak akan lepas dengan agen, agen yang digambarkan disini adalah
masyarakat dimana hubungan antara keduanya bersifat dialektik, dalam arti
struktur dan agensi saling mempengaruhi dan hal ini berlangsung terus menerus,
tanpa henti.