Bab II Tinjauan Pustaka_11

11
TINJAUAN PUSTAKA Karakteristik Puyuh Puyuh merupakan salah satu komoditi unggas sebagai penghasil telur dan daging yang mendukung ketersediaan protein hewani yang murah serta mudah didapat (Permentan, 2008). Klasifikasi Coturnix-coturnix japonica menurut Vali (2008) adalah sebagai berikut: Ordo : Galformes Famili : Phasidae Genus : Coturnix-coturnix Spesies : Coturnix-coturnix japonica Secara ilmiah puyuh dikenal dengan nama Coturnix-coturnix japonica berbeda dengan nama yang umumnya digunakan yaitu Coturnix coturnix . C. japonica pada awalnya disebut burung jepang liar yang ditemukan pada abad ke- delapan di Jepang. Burung puyuh tipe liar memiliki bulu dengan warna dominan coklat cinnamon dan gelap. Akan tetapi, puyuh betina dewasa memiliki bulu dengan warna yang pucat dengan bintik bintik gelap. Berbeda dengan puyuh betina, puyuh jantan dewasa memiliki warna bulu yang gelap dan seragam pada bagian dada dan pipi (Vali, 2008). C. japonica didomestikasi dan dijadikan sebagai burung kicau peliharaan sekitar abad ke-sebelas (Vali, 2008). Manfaat umum dari puyuh C. japonica yaitu (1) sebagai unggas penghasil telur dan daging dengan cita rasa yang unik, (2) biaya pemeliharaan murah yang diasosiasikan dengan ukuran tubuh yang kecil (80 300 gram), (3) memiliki selang generasi yang pendek (3-4 generasi per tahun) sehingga memungkinkan memiliki generasi yang lebih banyak dalam setahun, (4) tahan (resisten) terhadap wabah dan penyakit unggas, (5) memiliki produksi telur yang tinggi, (6) dapat digunakan sebagai hewan percobaan, dan (7) merupakan unggas dengan ukuran tubuh terkecil yang diternakkan untuk menghasilkan telur dan daging (Vali, 2008). Periode pertumbuhan puyuh dapat dibagi menjadi tiga, yaitu (1) periode starter (0-3 minggu), (2) periode grower (3-5 minggu), dan (3) periode layer (>6 minggu) (Nugroho dan Mayun, 1986). Menurut Woodard et al. (1973) puyuh mencapai dewasa kelamin pada umur 6 minggu.

Transcript of Bab II Tinjauan Pustaka_11

  • TINJAUAN PUSTAKA

    Karakteristik Puyuh

    Puyuh merupakan salah satu komoditi unggas sebagai penghasil telur dan

    daging yang mendukung ketersediaan protein hewani yang murah serta mudah

    didapat (Permentan, 2008). Klasifikasi Coturnix-coturnix japonica menurut Vali

    (2008) adalah sebagai berikut:

    Ordo : Galformes

    Famili : Phasidae

    Genus : Coturnix-coturnix

    Spesies : Coturnix-coturnix japonica

    Secara ilmiah puyuh dikenal dengan nama Coturnix-coturnix japonica

    berbeda dengan nama yang umumnya digunakan yaitu Coturnix coturnix . C.

    japonica pada awalnya disebut burung jepang liar yang ditemukan pada abad ke-

    delapan di Jepang. Burung puyuh tipe liar memiliki bulu dengan warna dominan

    coklat cinnamon dan gelap. Akan tetapi, puyuh betina dewasa memiliki bulu dengan

    warna yang pucat dengan bintik bintik gelap. Berbeda dengan puyuh betina, puyuh

    jantan dewasa memiliki warna bulu yang gelap dan seragam pada bagian dada dan

    pipi (Vali, 2008).

    C. japonica didomestikasi dan dijadikan sebagai burung kicau peliharaan

    sekitar abad ke-sebelas (Vali, 2008). Manfaat umum dari puyuh C. japonica yaitu (1)

    sebagai unggas penghasil telur dan daging dengan cita rasa yang unik, (2) biaya

    pemeliharaan murah yang diasosiasikan dengan ukuran tubuh yang kecil (80 300

    gram), (3) memiliki selang generasi yang pendek (3-4 generasi per tahun) sehingga

    memungkinkan memiliki generasi yang lebih banyak dalam setahun, (4) tahan

    (resisten) terhadap wabah dan penyakit unggas, (5) memiliki produksi telur yang

    tinggi, (6) dapat digunakan sebagai hewan percobaan, dan (7) merupakan unggas

    dengan ukuran tubuh terkecil yang diternakkan untuk menghasilkan telur dan daging

    (Vali, 2008).

    Periode pertumbuhan puyuh dapat dibagi menjadi tiga, yaitu (1) periode

    starter (0-3 minggu), (2) periode grower (3-5 minggu), dan (3) periode layer (>6

    minggu) (Nugroho dan Mayun, 1986). Menurut Woodard et al. (1973) puyuh

    mencapai dewasa kelamin pada umur 6 minggu.

  • Puyuh merupakan ternak berdarah panas. Woodard et al. (1973) menyatakan

    bahwa rataan suhu tubuh puyuh betina dewasa adalah antara 41,8-42,4 oC. Suhu

    lingkungan yang optimal untuk puyuh fully feathered adalah 24 oC dan untuk anak

    puyuh (day old quail) adalah 35 oC. Kelembapan lingkungan yang optimal untuk

    puyuh adalah antara 30%-80%.

    Anak puyuh yang baru menetas memiliki bobot tubuh sekitar 7 g, setelah

    mencapai dewasa kelamin bobot tubuh puyuh betina adalah sekitar 143 g, dan puyuh

    jantan adalah 117 g (Nugroho dan Mayun, 1986).

    Gambar 1. Puyuh Betina

    Performa Produksi Puyuh

    Konsumsi Pakan

    Konsumsi pakan dipengaruhi oleh berat badan, ukuran tubuh, tahapan

    produksi, keadaan energi pakan, dan suhu lingkungan (North dan Bell, 1992).

    Menurut Ferket dan Gernet (2006) konsumsi pakan dipengaruhi oleh kualitas pakan

    (komposisi nutrisi dalam ransum, kualitas pelet, dan formulasi ransum) dan

    manajemen (manajemen lingkungan, kepadatan kandang, ketersediaan pakan dan air

    minum, dan kontrol terhadap penyakit).

    Puyuh yang diberikan pakan dengan kandungan protein 24% selama periode

    pertumbuhan dan diberikan ransum dengan kandungan protein 20% pada periode

    bertelur, maka produksi telur terbaik adalah 80,2% (Nugroho dan Mayun, 1986).

    Menurut Woodard et al. (1973) kebutuhan protein puyuh dewasa adalah 20%-25%

    dan kebutuhan energi metabolisme adalah 2200-3400 kcal/kg. Puyuh yang

    memperoleh ransum dengan kandungan protein 20% mampu menunjukkan

  • persentase produksi telur dan massa telur yang lebih tinggi dengan konversi ransum

    yang lebih rendah dibandingkan puyuh yang memperoleh ransum protein 18%.

    Konsumsi protein yang rendah mengakibatkan laju produksi yang rendah (Suprijatna

    et al., 2008).

    Tiwari dan Panda (1978) menyatakan bahwa konsumsi pakan puyuh berumur

    31-51 hari yaitu 17,5 g/ekor/hari, kemudian meningkat pada umur 51-100 hari

    menjadi 22,1 g/ekor/hari, dan tidak meningkat lagi setelah berumur 100 hari. Tingkat

    konsumsi pakan puyuh dipengaruhi oleh tingkat energi dan palatabilitas pakan.

    Suprijatna et al. (2008) mengukur tingkat konsumsi pakan pada puyuh yang diberi

    pakan dengan kandungan protein kasar 20% adalah sebesar 17,27 g/ekor.

    Kepadatan kandang mempengaruhi konsumsi pakan puyuh karena

    berpengaruh terhadap suhu. Suhu lingkungan yang tinggi menyebabkan naiknya

    suhu tubuh ayam. Peningkatan fungsi organ tubuh dan alat pernafasan merupakan

    gambaran dari aktifitas metabolisme basal pada suhu lingkungan tinggi menjadi naik.

    Meningkatnya laju metabolisme basal menurut Fuller dan Rendon (1977) disebabkan

    bertambahnya penggunaan energi akibat bertambahnya frekuensi pernafasan, kerja

    jantung, serta bertambahnya sirkulasi darah periferi. Pada suhu lingkungan yang

    tinggi diatas thermoneutral zone akan mengakibatkan kebutuhan energi lebih tinggi.

    Namun demikian, dengan adanya heat increment sebagai akibat pencernaan makanan

    dan metabolisme zat-zat makanan, akan menimbulkan beban panas bagi ayam dan

    akhirnya aktifitas metabolisme menjadi berkurang. Berkurangnya aktifitas

    metabolisme karena suhu lingkungan yang tinggi, dapat dilihat manifestasinya

    berupa menurunnya aktifitas makan dan minum sehingga konsumsi pakan puyuh

    rendah.

    Konversi Pakan

    Konversi pakan untuk produksi telur merupakan perbandingan antara jumlah

    pakan yang dikonsumsi (g) dengan produksi telur (butir) yang dihasilkan. Nilai

    konversi pakan dapat digunakan untuk mengetahui efisiensi penggunaan pakan.

    Semakin rendah nilai konversi pakan maka efisiensi penggunaan pakan semakin

    tinggi. Konversi pakan puyuh dipengaruhi oleh pakan yang diberikan, penyakit,

    manajemen pemeliharaan, dan bangsa puyuh (Ensminger, 1992).

  • Kepadatan kandang merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi

    konversi pakan. Pada kepadatan yang tinggi terjadi peningkatan suhu sehingga puyuh

    mengalami cekaman panas. Suhu lingkungan yang terlalu tinggi yaitu berada diatas

    suhu nyaman puyuh akan menyebabkan stress. Puyuh yang stres membutuhkan

    banyak energi untuk menanggulangi stres akibat cekaman panas sehingga semakin

    banyak pakan yang dikonsumsi untuk memenuhi kebutuhan basal dan untuk

    menghasilkan telur. Akibatnya, nilai konversi pakan menjadi lebih besar dan

    efisiensi penggunaan pakan rendah. Sedangkan pada kandang dengan kepadatan

    yang lebih rendah, suhu lingkungan lebih rendah sehingga ternak merasa nyaman

    dan tingkat stres rendah. Oleh karena itu, nutrisi dari pakan yang digunakan untuk

    produksi telur lebih besar sehingga menghasilkan nilai konversi pakan yang lebih

    rendah dengan nilai efisiensi penggunaan ransum yang tinggi. Namun puyuh yang

    dipelihara pada kandang dengan tingkat kepadatan yang terlalu kecil belum tentu

    menghasilkan konversi pakan yang rendah. Kepadatan yang terlalu rendah

    memungkinkan puyuh melakukan aktivitas gerak yang lebih besar sehingga energi

    banyak digunakan untuk melakukan aktivitas. Akibatnya, energi yang yang tersedia

    untuk produksi telur sedikit sehingga produksi telur puyuh menjadi rendah.

    Penurunan produksi telur telur mengakibatkan nilai konversi pakan tinggi dan

    efisiensi penggunaan pakan menjadi turun.

    Konversi pakan untuk produksi telur merupakan perbandingan antara jumlah

    pakan yang dikonsumsi (g) dengan produksi telur (butir) yang dihasilkan. Nilai

    konversi pakan digunakan untuk mengetahui efisiensi penggunaan pakan

    (Ensminger, 1992). Semakin tinggi nilai konversi pakan maka efisiensi penggunaan

    pakan semakin rendah (Ensminger, 1992). Konversi pakan puyuh dipengaruhi oleh

    pakan yang diberikan, penyakit, manajemen pemeliharaan, dan bangsa puyuh

    (Ensminger, 1992).

    Puyuh yang diberi ransum dengan kandungan protein kasar 20%

    menghasilkan konversi pakan sebesar 5,65. Konversi pakan puyuh yang diberi

    ransum dengan kandungan protein 20% lebih rendah dibandingkan puyuh yang

    memperoleh ransum protein 18% (Suprijatna et al., 2008).

  • Produksi Telur

    Produksi telur ditentukan oleh strain unggas, umur pertama bertelur,

    lingkungan, konsumsi pakan, dan kandungan protein pakan (North dan Bell, 1992).

    Menurut Woodard et al. (1973) puyuh betina mulai bertelur pada umur 35 hari dan

    rata-rata pada umur 40 hari. Puncak produksi telur pada puyuh adalah pada umur 4-5

    bulan (120-150 hari). Produksi telur pada permulaan masa bertelur sedikit dan

    semakin meningkat sesuai dengan pertambahan umur puyuh. Telur yang dihasilkan

    pada permulaan bertelur berukuran kecil dan akan semakin besar sesuai dengan

    pertambahan umur sampai mencapai ukuran yang stabil. Induk yang mulai bertelur

    terlalu muda akan menghasilkan telur yang lebih kecil bila dibandingkan dengan

    telur yang dihasilkan oleh induk yang lambat mulai bertelur (Nugroho dan Mayun,

    1986).

    Puyuh pada umumnya bertelur pada sore hari antara pukul 15.00-18.00 dan

    sebagian kecil bertelur pada malam hari. Puyuh yang dipelihara pada lingkungan

    yang nyaman dapat menghasilkan rata-rata 250 butir telur per tahun (Woodard et al.,

    1973).

    Kepadatan kandang dapat mempengaruhi produksi telur puyuh. Kepadatan

    yang tinggi menyebabkan peningkatan suhu . Temperatur lingkungan yang terlalu

    tinggi diatas zona nyaman (thermoneutral zone) puyuh akan menyebabkan cekaman

    panas. Produksi telur puyuh yang maksimal dapat dicapai apabila puyuh dipelihara

    pada kondisi thermoneutral zone yaitu suhu lingkungan yang nyaman. Dalam kisaran

    suhu lingkungan yang optimal, puyuh dapat menggunakan pakan lebih efisien,

    karena puyuh tidak mengeluarkan energi yang besar untuk mengatasi temperatur

    lingkungan yang tidak normal. Pada lingkungan dengan temperatur yang tinggi,

    puyuh berusaha menjaga suhu tubuhnya dengan cara menyeimbangkan produksi

    panas dengan hilangnya panas.

    Suhu lingkungan yang tinggi menyebabkan peningkatan suhu tubuh puyuh.

    Peningkatan fungsi organ tubuh dan alat pernafasan merupakan gambaran dari

    aktifitas metabolisme basal pada suhu lingkungan tinggi menjadi naik. Meningkatnya

    laju metabolisme basal disebabkan bertambahnya penggunaan energi akibat

    bertambahnya frekuensi pernafasan, kerja jantung, dan bertambahnya sirkulasi darah

    periferi. Pada suhu tinggi diperlukan energi yang lebih banyak untuk pengaturan

  • suhu tubuh dan mencegah stres, sehingga mengurangi penyediaan energi untuk

    produksi telur. Hal ini menyebabkan produksi telur puyuh rendah (Fuller dan

    Rendon, 1977). Kepadatan kandang yang optimal sangat penting untuk menghasilkan

    produksi telur puyuh yang maksimal.

    Mortalitas

    Menurut Wilson et al. (1978) mortalitas (kematian) yang tinggi terjadi pada

    puyuh berumur 2-5 minggu. Setelah umur tersebut jumlah kematian puyuh menurun.

    Kematian puyuh sangat dipengaruhi oleh bibit dan faktor lingkungan, antara lain

    manajemen pemeliharaan, pakan dan teknik pemberian pakan, sanitasi, temperatur,

    dan kelembapan lingkungan. Manajemen pemeliharaan sangat mempengaruhi tingkat

    kematian puyuh, terutama konstruksi kandang. Kandang yang tidak sesuai dengan

    kebutuhan puyuh akan menyebabkan puyuh stres, produksi telur turun, dan

    kecelakaan serta mortalitas meningkat.

    Kualitas Telur Puyuh

    Kualitas telur sangat mempengaruhi daya terima konsumen, seperti

    kebersihan, kesegaran, berat telur, kualitas kerabang, indeks kuning telur (yolk

    index), Haugh Unit (HU), dan komposisi kimianya (Stadelman, 1977; Song et al.,

    2000). Menurut North dan Bell (1992) kualitas telur ditentukan berdasarkan kualitas

    secara interior dan eksterior. Kualitas interior telur meliputi indeks kuning telur (yolk

    index), yolk ratio, albumen ratio, albumen index, dan Haugh Unit. Kualitas eksterior

    meliputi indeks telur, bobot telur, dan bobot kerabang telur.

    Kualitas telur dipengaruhi oleh berbagai faktor, diantaranya faktor genetik

    dan lingkungan (Bednarczyk, 1991), kandungan zat makanan, temperatur

    lingkungan, genetik, penyakit, umur unggas (Wahju, 1997), dan sistem pemeliharaan

    (Romanoff dan Romanoff, 1963). Temperatur lingkungan yang tinggi dapat

    menyebabkan menurunnya aktivitas hormonal dalam merangsang alat-alat

    reproduksi unggas dan mengakibatkan penurunan kualitas putih dan kuning telur

    (North, 1972).

    Woodard et al. (1973) menyatakan bahwa warna kerabang telur puyuh

    dipengaruhi oleh faktor genetik. Telur puyuh memiliki pola warna yaitu bercorak

    coklat, hitam, dan biru yang membedakannya dengan telur unggas lain. Pigmen yang

  • mempengaruhi warna kerabang telur puyuh adalah ooporphyrin and biliverdin.

    Pigmentasi kulit telur puyuh terjadi kurang lebih 3,5 jam di dalam uterus sebelum

    oviposition.

    Anatomi susunan telur dari luar ke dalam adalah kerabang telur, kerabang

    tipis, putih telur, dan kuning telur. Persentase berat dan komposisi isi telur secara

    umum tidak sama untuk segala jenis telur unggas. Komposisi dan proporsi telur ini

    bervariasi tergantung dari beberapa faktor, antara lain genetik, umur puyuh, pakan,

    temperatur lingkungan, dan cara pemeliharaan. Komposisi telur puyuh terdiri dari

    kuning telur (30%-33%), putih telur (52%-60%), dan kerabang telur (7%-9% dari

    berat telur utuh) (Yuwanta, 2010).

    HU Telur

    Nilai HU (Haugh Unit) digunakan untuk mengetahui kekentalan telur yang

    ditentukan berdasarkan hubungan logaritma tinggi albumen (mm) dengan berat telur

    (g). Nilai rataan HU telur puyuh adalah 87,12,39 (Tiwari dan Panda, 1978).

    Menurut Parizadian et al. (2011) nilai HU telur puyuh adalah 92,88.

    Yuwanta (2010) menyatakan bahwa ada beberapa ketentuan untuk mengukur

    nilai HU telur, yaitu (1) telur disimpan pada temperatur lebih dari 12 oC, (2) putih

    telur tidak rusak saat telur dipecahkan, (3) pengukuran tinggi putih telur kental

    dilakukan segera setelah telur dipecahkan, (4) pengukuran dilakukan dengan

    menggunakan alat tripod micrometer, dan (5) untuk mendapatkan hasil yang lebih

    akurat dapat dilakukan pengukuran lebih dari satu kali.

    Bobot Telur

    Rataan bobot telur dipengaruhi oleh jenis atau tipe puyuh (Santos et al.,

    2011). Temperatur lingkungan dan konsumsi pakan juga dapat mempengaruhi bobot

    telur. Peningkatan temperatur lingkungan dapat menurunkan ukuran telur dan

    kualitas kerabang telur (North dan Bell, 1992). Telur puyuh memiliki bobot sekitar

    10 g (sekitar 8% dari bobot badan induk) (Woodard et al.,1973) atau mendekati

    11,91 g (Parizadian et al., 2011). Yuwanta (2010) menyatakan bahwa berat telur

    puyuh adalah antara 8-10 g. Berat kuning telur puyuh adalah 2,4-3,3 g, putih telur

    4,16-6 g, dan kerabang telur 0,56-0,9 g/butir telur.

  • Bobot telur semakin meningkat secara gradual seiring pertambahan umur

    puyuh. Bobot telur puyuh tidak dipengaruhi oleh kepadatan kandang (Nagarajan et

    al., 1991). Puyuh yang berumur 8-9 minggu pada lingkungan dengan temperatur

    22,5-32 oC dengan pemberian pakan mengandung protein 22%, menghasilkan telur

    dengan bobot 9,2 g. Puyuh berumur 20-21 minggu dan 31-32 minggu dengan

    pemberian pakan mengandung protein 22% menghasilkan telur dengan bobot 10,1 g

    dan 11,0 g (Eishu et al., 2005).

    Warna Kuning Telur

    Puyuh yang dipelihara pada kandang dengan kepadatan yang rendah

    menghasilkan telur dengan kualitas warna kuning telur yang lebih baik namun

    pengaruhnya tidak langsung (Nagarajan et al., 1991). Warna kuning telur

    dipengaruhi oleh pigmen karoten (Kang et al., 2003). Menurut Yuwanta (2010)

    warna kuning telur ditentukan oleh kandungan -karoten yang terdapat pada kuning

    telur. Warna kuning telur unggas adalah kuning orange yang disebabkan adanya

    karotenoid yang mengandung banyak zeaxantin, kriptoxantin, dan lutein (xantofil).

    Setiap unggas memiliki kemampuan yang berbeda untuk mengubah pigmen karoten

    tersebut menjadi warna kuning telur (North dan Bell, 1992).

    Unggas yang mengkonsumsi pigmen karotenoid lebih tinggi akan

    menghasilkan intensitas warna kuning telur yang lebih tinggi. Kang et al. (2003)

    melaporkan bahwa penambahan likopen sebagai sumber karoten memberikan

    pengaruh yang nyata terhadap peningkatan warna kuning telur. Faktor penyebab

    warna kuning telur bervariasi, diantaranya bangsa unggas, genetik, kondisi kandang,

    penyakit, cekaman, oksidasi santofil, dan angka produksi telur (North dan Bell,

    1992).

    Indeks Kuning Telur

    Nilai atau kualitas kuning telur dapat diketahui dengan mengukur indeks

    kuning telur yaitu perbandingan antara tinggi dengan diameter kuning telur.

    Pengukuran indeks kuning telur relatif lebih sederhana dan mudah dibanding dengan

    putih telur karena bentuk kuning telur lebih stabil dibanding putih telur (Yuwanta,

    2010). Suprijatna et al. (2008) menyatakan nilai indeks kuning telur digunakan untuk

    mengetahui kekentalan kuning telur.

  • Puyuh yang dipelihara pada kandang dengan kepadatan yang rendah

    menghasilkan telur dengan nilai indeks kuning telur yang lebih besar (Nagarajan et

    al., 1991). Nilai indeks kuning telur juga dipengaruhi oleh suhu dan lama

    penyimpanan telur. Yuwanta (2010) menyatakan bahwa pada telur ayam, indeks

    kuning telur pada saat oviposition adalah 0,45 kemudian menurun menjadi 0,30

    apabila telur disimpan selama 25 hari pada suhu 25 oC. Penyimpanan telur pada suhu

    0 oC selama 5,5 bulan mampu memberikan daya tahan indeks kuning telur sebesar

    0,45. Menurut Suprijatna et al. (2008) nilai indeks kuning telur puyuh yang diberi

    pakan dengan kandungan protein kasar sebesar 20,1% adalah 0,422. Puyuh yang

    diberi pakan dengan kandungan protein kasar 18% menghasilkan telur dengan nilai

    indeks kuning telur sebesar 0,406.

    Bobot dan Tebal Kerabang Telur

    Kualitas kerabang telur dipengaruhi oleh umur puyuh dan pakan yang

    diberikan (Stadelman dan Cotterill, 1977). Temperatur lingkungan memiliki peranan

    penting terhadap kualitas kerabang telur puyuh. Temperatur lingkungan mulai

    mempengaruhi kualitas kerabang telur jika temperatur lebih dari 30 oC. Kualitas

    kerabang telur optimal jika temperatur lingkungan antara 16-21 oC. Peningkatan

    temperatur lingkungan akan menurunkan soliditas kerabang telur puyuh (Yuwanta,

    2010).

    Bobot kerabang telur puyuh adalah 0,7590,010 g (Woodard dan Wilson,

    1972) atau sekitar 0,56-0,9 g (Yuwanta, 2010). Berat kerabang telur berkisar antara

    7%-9% dari bobot telur. Bobot kerabang telur dipengaruhi oleh tebal kerabang dan

    membran telur.

    Tebal kerabang telur dipengaruhi oleh jenis puyuh, umur, pakan yang

    diberikan, konsumsi pakan, dan penggunaan cahaya penerangan (Yuwanta, 2010).

    Menurut Suprijatna et al. (2008) puyuh yang diberikan pakan dengan kandungan

    protein kasar 20% menghasilkan telur dengan ketebalan kerabang telur yaitu 0,298

    mm. Vilchez et al. (1992) menambahkan, tebal kerabang ditambah selaput telur

    berkisar antara 0,176-0,184 mm. Menurut Yuwanta (2010) pengukuran tebal

    kerabang telur dilakukan pada bagian ujung tumpul, tengah (ekuator), dan ujung

    lancip telur kemudian dibuat rata-rata.

  • Kepadatan Kandang

    Karakteristik produksi ternak ditentukan oleh faktor genetik dan faktor

    lingkungan. Manajemen pemeliharaan, pakan, dan tipe perkandangan merupakan

    faktor lingkungan yang memiliki peranan yang sangat penting terhadap pertumbuhan

    dan produktivitas puyuh. Bentuk dan tipe kandang, pencahayaan, serta kepadatan

    kandang merupakan faktor lingkungan yang penting pada produksi unggas (Esen et

    al., 2006).

    Kepadatan kandang merupakan luas kandang yang tersedia untuk setiap ekor

    puyuh atau jumlah puyuh yang dapat dipelihara pada luasan lantai kandang tertentu

    tanpa mengganggu aktivitas gerak dari unggas. Besarnya kepadatan kandang

    dipengaruhi oleh ukuran tubuh unggas, sistem kandang, temperatur lingkungan, dan

    ventilasi (Creswell dan Hardjosworo, 1979).

    Kandang berukuran sedang dengan panjang 100 cm, lebar 45 cm, dan tinggi

    27 cm dapat menampung 20-25 ekor puyuh dewasa (Peraturan Menteri Pertanian,

    2008). Luas lantai yang semakin besar cenderung mengakibatkan konsumsi ransum

    lebih rendah dan konversi ransum yang lebih baik. Dalam kisaran suhu lingkungan

    optimum, unggas dapat menggunakan pakan lebih efisien, karena puyuh tidak

    mengeluarkan energi untuk mengatasi suhu lingkungan yang tidak sesuai dengan

    kebutuhan tubuh puyuh. Luas lantai yang semakin sempit akan menurunkan

    pertumbuhan puyuh dan dapat juga meningkatkan mortalitas. Mortalitas yang tinggi

    pada kandang yang padat disebabkan oleh faktor stres dan persaingan di dalam

    kandang (Wilson et al.,1978).

    Stres panas pada puyuh akan menurunkan performa produksi. Menurut Bird

    et al. (2003) suhu lingkungan yang tinggi dapat menurunkan produksi telur. Produksi

    telur puyuh yang dipelihara pada suhu lingkungan tinggi lebih rendah dibandingkan

    dengan yang dipelihara pada suhu lingkungan rendah. Hal ini berkaitan dengan

    adanya perubahan-perubahan fisiologis dan biokimiawi dalam tubuh puyuh selama

    stres panas akibat suhu lingkungan yang tinggi tersebut. Pada suhu lingkungan tinggi

    diperlukan energi lebih banyak untuk pengaturan suhu tubuh, sehingga mengurangi

    penyediaan energi untuk produksi telur. Pada suhu lingkungan tinggi konsumsi

    pakan dan efisiensi penggunaan pakan turun, ini berarti berkurangnya nutrisi dalam

    tubuh dan akhirnya menurunkan produksi telur. Pada puyuh petelur dapat

  • menyebabkan penurunan produksi telur, berat, dan ukuran telur serta kualitas

    kerabang yang berupa tipisnya ketebalan kerabang.

    Pada puyuh betina dewasa, makanan yang dikonsumsi digunakan untuk

    kebutuhan hidup pokok dan kebutuhan produksi telur. Dengan terjadinya penurunan

    konsumsi pakan, maka yang lebih dahulu dipenuhi adalah kebutuhan hidup pokok,

    sehingga penurunan konsumsi pakan berakibat langsung terhadap penurunan

    produksi telur (Bird et al., 2003).