Bab II Tinjauan Pustaka_11
Transcript of Bab II Tinjauan Pustaka_11
-
TINJAUAN PUSTAKA
Karakteristik Puyuh
Puyuh merupakan salah satu komoditi unggas sebagai penghasil telur dan
daging yang mendukung ketersediaan protein hewani yang murah serta mudah
didapat (Permentan, 2008). Klasifikasi Coturnix-coturnix japonica menurut Vali
(2008) adalah sebagai berikut:
Ordo : Galformes
Famili : Phasidae
Genus : Coturnix-coturnix
Spesies : Coturnix-coturnix japonica
Secara ilmiah puyuh dikenal dengan nama Coturnix-coturnix japonica
berbeda dengan nama yang umumnya digunakan yaitu Coturnix coturnix . C.
japonica pada awalnya disebut burung jepang liar yang ditemukan pada abad ke-
delapan di Jepang. Burung puyuh tipe liar memiliki bulu dengan warna dominan
coklat cinnamon dan gelap. Akan tetapi, puyuh betina dewasa memiliki bulu dengan
warna yang pucat dengan bintik bintik gelap. Berbeda dengan puyuh betina, puyuh
jantan dewasa memiliki warna bulu yang gelap dan seragam pada bagian dada dan
pipi (Vali, 2008).
C. japonica didomestikasi dan dijadikan sebagai burung kicau peliharaan
sekitar abad ke-sebelas (Vali, 2008). Manfaat umum dari puyuh C. japonica yaitu (1)
sebagai unggas penghasil telur dan daging dengan cita rasa yang unik, (2) biaya
pemeliharaan murah yang diasosiasikan dengan ukuran tubuh yang kecil (80 300
gram), (3) memiliki selang generasi yang pendek (3-4 generasi per tahun) sehingga
memungkinkan memiliki generasi yang lebih banyak dalam setahun, (4) tahan
(resisten) terhadap wabah dan penyakit unggas, (5) memiliki produksi telur yang
tinggi, (6) dapat digunakan sebagai hewan percobaan, dan (7) merupakan unggas
dengan ukuran tubuh terkecil yang diternakkan untuk menghasilkan telur dan daging
(Vali, 2008).
Periode pertumbuhan puyuh dapat dibagi menjadi tiga, yaitu (1) periode
starter (0-3 minggu), (2) periode grower (3-5 minggu), dan (3) periode layer (>6
minggu) (Nugroho dan Mayun, 1986). Menurut Woodard et al. (1973) puyuh
mencapai dewasa kelamin pada umur 6 minggu.
-
Puyuh merupakan ternak berdarah panas. Woodard et al. (1973) menyatakan
bahwa rataan suhu tubuh puyuh betina dewasa adalah antara 41,8-42,4 oC. Suhu
lingkungan yang optimal untuk puyuh fully feathered adalah 24 oC dan untuk anak
puyuh (day old quail) adalah 35 oC. Kelembapan lingkungan yang optimal untuk
puyuh adalah antara 30%-80%.
Anak puyuh yang baru menetas memiliki bobot tubuh sekitar 7 g, setelah
mencapai dewasa kelamin bobot tubuh puyuh betina adalah sekitar 143 g, dan puyuh
jantan adalah 117 g (Nugroho dan Mayun, 1986).
Gambar 1. Puyuh Betina
Performa Produksi Puyuh
Konsumsi Pakan
Konsumsi pakan dipengaruhi oleh berat badan, ukuran tubuh, tahapan
produksi, keadaan energi pakan, dan suhu lingkungan (North dan Bell, 1992).
Menurut Ferket dan Gernet (2006) konsumsi pakan dipengaruhi oleh kualitas pakan
(komposisi nutrisi dalam ransum, kualitas pelet, dan formulasi ransum) dan
manajemen (manajemen lingkungan, kepadatan kandang, ketersediaan pakan dan air
minum, dan kontrol terhadap penyakit).
Puyuh yang diberikan pakan dengan kandungan protein 24% selama periode
pertumbuhan dan diberikan ransum dengan kandungan protein 20% pada periode
bertelur, maka produksi telur terbaik adalah 80,2% (Nugroho dan Mayun, 1986).
Menurut Woodard et al. (1973) kebutuhan protein puyuh dewasa adalah 20%-25%
dan kebutuhan energi metabolisme adalah 2200-3400 kcal/kg. Puyuh yang
memperoleh ransum dengan kandungan protein 20% mampu menunjukkan
-
persentase produksi telur dan massa telur yang lebih tinggi dengan konversi ransum
yang lebih rendah dibandingkan puyuh yang memperoleh ransum protein 18%.
Konsumsi protein yang rendah mengakibatkan laju produksi yang rendah (Suprijatna
et al., 2008).
Tiwari dan Panda (1978) menyatakan bahwa konsumsi pakan puyuh berumur
31-51 hari yaitu 17,5 g/ekor/hari, kemudian meningkat pada umur 51-100 hari
menjadi 22,1 g/ekor/hari, dan tidak meningkat lagi setelah berumur 100 hari. Tingkat
konsumsi pakan puyuh dipengaruhi oleh tingkat energi dan palatabilitas pakan.
Suprijatna et al. (2008) mengukur tingkat konsumsi pakan pada puyuh yang diberi
pakan dengan kandungan protein kasar 20% adalah sebesar 17,27 g/ekor.
Kepadatan kandang mempengaruhi konsumsi pakan puyuh karena
berpengaruh terhadap suhu. Suhu lingkungan yang tinggi menyebabkan naiknya
suhu tubuh ayam. Peningkatan fungsi organ tubuh dan alat pernafasan merupakan
gambaran dari aktifitas metabolisme basal pada suhu lingkungan tinggi menjadi naik.
Meningkatnya laju metabolisme basal menurut Fuller dan Rendon (1977) disebabkan
bertambahnya penggunaan energi akibat bertambahnya frekuensi pernafasan, kerja
jantung, serta bertambahnya sirkulasi darah periferi. Pada suhu lingkungan yang
tinggi diatas thermoneutral zone akan mengakibatkan kebutuhan energi lebih tinggi.
Namun demikian, dengan adanya heat increment sebagai akibat pencernaan makanan
dan metabolisme zat-zat makanan, akan menimbulkan beban panas bagi ayam dan
akhirnya aktifitas metabolisme menjadi berkurang. Berkurangnya aktifitas
metabolisme karena suhu lingkungan yang tinggi, dapat dilihat manifestasinya
berupa menurunnya aktifitas makan dan minum sehingga konsumsi pakan puyuh
rendah.
Konversi Pakan
Konversi pakan untuk produksi telur merupakan perbandingan antara jumlah
pakan yang dikonsumsi (g) dengan produksi telur (butir) yang dihasilkan. Nilai
konversi pakan dapat digunakan untuk mengetahui efisiensi penggunaan pakan.
Semakin rendah nilai konversi pakan maka efisiensi penggunaan pakan semakin
tinggi. Konversi pakan puyuh dipengaruhi oleh pakan yang diberikan, penyakit,
manajemen pemeliharaan, dan bangsa puyuh (Ensminger, 1992).
-
Kepadatan kandang merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi
konversi pakan. Pada kepadatan yang tinggi terjadi peningkatan suhu sehingga puyuh
mengalami cekaman panas. Suhu lingkungan yang terlalu tinggi yaitu berada diatas
suhu nyaman puyuh akan menyebabkan stress. Puyuh yang stres membutuhkan
banyak energi untuk menanggulangi stres akibat cekaman panas sehingga semakin
banyak pakan yang dikonsumsi untuk memenuhi kebutuhan basal dan untuk
menghasilkan telur. Akibatnya, nilai konversi pakan menjadi lebih besar dan
efisiensi penggunaan pakan rendah. Sedangkan pada kandang dengan kepadatan
yang lebih rendah, suhu lingkungan lebih rendah sehingga ternak merasa nyaman
dan tingkat stres rendah. Oleh karena itu, nutrisi dari pakan yang digunakan untuk
produksi telur lebih besar sehingga menghasilkan nilai konversi pakan yang lebih
rendah dengan nilai efisiensi penggunaan ransum yang tinggi. Namun puyuh yang
dipelihara pada kandang dengan tingkat kepadatan yang terlalu kecil belum tentu
menghasilkan konversi pakan yang rendah. Kepadatan yang terlalu rendah
memungkinkan puyuh melakukan aktivitas gerak yang lebih besar sehingga energi
banyak digunakan untuk melakukan aktivitas. Akibatnya, energi yang yang tersedia
untuk produksi telur sedikit sehingga produksi telur puyuh menjadi rendah.
Penurunan produksi telur telur mengakibatkan nilai konversi pakan tinggi dan
efisiensi penggunaan pakan menjadi turun.
Konversi pakan untuk produksi telur merupakan perbandingan antara jumlah
pakan yang dikonsumsi (g) dengan produksi telur (butir) yang dihasilkan. Nilai
konversi pakan digunakan untuk mengetahui efisiensi penggunaan pakan
(Ensminger, 1992). Semakin tinggi nilai konversi pakan maka efisiensi penggunaan
pakan semakin rendah (Ensminger, 1992). Konversi pakan puyuh dipengaruhi oleh
pakan yang diberikan, penyakit, manajemen pemeliharaan, dan bangsa puyuh
(Ensminger, 1992).
Puyuh yang diberi ransum dengan kandungan protein kasar 20%
menghasilkan konversi pakan sebesar 5,65. Konversi pakan puyuh yang diberi
ransum dengan kandungan protein 20% lebih rendah dibandingkan puyuh yang
memperoleh ransum protein 18% (Suprijatna et al., 2008).
-
Produksi Telur
Produksi telur ditentukan oleh strain unggas, umur pertama bertelur,
lingkungan, konsumsi pakan, dan kandungan protein pakan (North dan Bell, 1992).
Menurut Woodard et al. (1973) puyuh betina mulai bertelur pada umur 35 hari dan
rata-rata pada umur 40 hari. Puncak produksi telur pada puyuh adalah pada umur 4-5
bulan (120-150 hari). Produksi telur pada permulaan masa bertelur sedikit dan
semakin meningkat sesuai dengan pertambahan umur puyuh. Telur yang dihasilkan
pada permulaan bertelur berukuran kecil dan akan semakin besar sesuai dengan
pertambahan umur sampai mencapai ukuran yang stabil. Induk yang mulai bertelur
terlalu muda akan menghasilkan telur yang lebih kecil bila dibandingkan dengan
telur yang dihasilkan oleh induk yang lambat mulai bertelur (Nugroho dan Mayun,
1986).
Puyuh pada umumnya bertelur pada sore hari antara pukul 15.00-18.00 dan
sebagian kecil bertelur pada malam hari. Puyuh yang dipelihara pada lingkungan
yang nyaman dapat menghasilkan rata-rata 250 butir telur per tahun (Woodard et al.,
1973).
Kepadatan kandang dapat mempengaruhi produksi telur puyuh. Kepadatan
yang tinggi menyebabkan peningkatan suhu . Temperatur lingkungan yang terlalu
tinggi diatas zona nyaman (thermoneutral zone) puyuh akan menyebabkan cekaman
panas. Produksi telur puyuh yang maksimal dapat dicapai apabila puyuh dipelihara
pada kondisi thermoneutral zone yaitu suhu lingkungan yang nyaman. Dalam kisaran
suhu lingkungan yang optimal, puyuh dapat menggunakan pakan lebih efisien,
karena puyuh tidak mengeluarkan energi yang besar untuk mengatasi temperatur
lingkungan yang tidak normal. Pada lingkungan dengan temperatur yang tinggi,
puyuh berusaha menjaga suhu tubuhnya dengan cara menyeimbangkan produksi
panas dengan hilangnya panas.
Suhu lingkungan yang tinggi menyebabkan peningkatan suhu tubuh puyuh.
Peningkatan fungsi organ tubuh dan alat pernafasan merupakan gambaran dari
aktifitas metabolisme basal pada suhu lingkungan tinggi menjadi naik. Meningkatnya
laju metabolisme basal disebabkan bertambahnya penggunaan energi akibat
bertambahnya frekuensi pernafasan, kerja jantung, dan bertambahnya sirkulasi darah
periferi. Pada suhu tinggi diperlukan energi yang lebih banyak untuk pengaturan
-
suhu tubuh dan mencegah stres, sehingga mengurangi penyediaan energi untuk
produksi telur. Hal ini menyebabkan produksi telur puyuh rendah (Fuller dan
Rendon, 1977). Kepadatan kandang yang optimal sangat penting untuk menghasilkan
produksi telur puyuh yang maksimal.
Mortalitas
Menurut Wilson et al. (1978) mortalitas (kematian) yang tinggi terjadi pada
puyuh berumur 2-5 minggu. Setelah umur tersebut jumlah kematian puyuh menurun.
Kematian puyuh sangat dipengaruhi oleh bibit dan faktor lingkungan, antara lain
manajemen pemeliharaan, pakan dan teknik pemberian pakan, sanitasi, temperatur,
dan kelembapan lingkungan. Manajemen pemeliharaan sangat mempengaruhi tingkat
kematian puyuh, terutama konstruksi kandang. Kandang yang tidak sesuai dengan
kebutuhan puyuh akan menyebabkan puyuh stres, produksi telur turun, dan
kecelakaan serta mortalitas meningkat.
Kualitas Telur Puyuh
Kualitas telur sangat mempengaruhi daya terima konsumen, seperti
kebersihan, kesegaran, berat telur, kualitas kerabang, indeks kuning telur (yolk
index), Haugh Unit (HU), dan komposisi kimianya (Stadelman, 1977; Song et al.,
2000). Menurut North dan Bell (1992) kualitas telur ditentukan berdasarkan kualitas
secara interior dan eksterior. Kualitas interior telur meliputi indeks kuning telur (yolk
index), yolk ratio, albumen ratio, albumen index, dan Haugh Unit. Kualitas eksterior
meliputi indeks telur, bobot telur, dan bobot kerabang telur.
Kualitas telur dipengaruhi oleh berbagai faktor, diantaranya faktor genetik
dan lingkungan (Bednarczyk, 1991), kandungan zat makanan, temperatur
lingkungan, genetik, penyakit, umur unggas (Wahju, 1997), dan sistem pemeliharaan
(Romanoff dan Romanoff, 1963). Temperatur lingkungan yang tinggi dapat
menyebabkan menurunnya aktivitas hormonal dalam merangsang alat-alat
reproduksi unggas dan mengakibatkan penurunan kualitas putih dan kuning telur
(North, 1972).
Woodard et al. (1973) menyatakan bahwa warna kerabang telur puyuh
dipengaruhi oleh faktor genetik. Telur puyuh memiliki pola warna yaitu bercorak
coklat, hitam, dan biru yang membedakannya dengan telur unggas lain. Pigmen yang
-
mempengaruhi warna kerabang telur puyuh adalah ooporphyrin and biliverdin.
Pigmentasi kulit telur puyuh terjadi kurang lebih 3,5 jam di dalam uterus sebelum
oviposition.
Anatomi susunan telur dari luar ke dalam adalah kerabang telur, kerabang
tipis, putih telur, dan kuning telur. Persentase berat dan komposisi isi telur secara
umum tidak sama untuk segala jenis telur unggas. Komposisi dan proporsi telur ini
bervariasi tergantung dari beberapa faktor, antara lain genetik, umur puyuh, pakan,
temperatur lingkungan, dan cara pemeliharaan. Komposisi telur puyuh terdiri dari
kuning telur (30%-33%), putih telur (52%-60%), dan kerabang telur (7%-9% dari
berat telur utuh) (Yuwanta, 2010).
HU Telur
Nilai HU (Haugh Unit) digunakan untuk mengetahui kekentalan telur yang
ditentukan berdasarkan hubungan logaritma tinggi albumen (mm) dengan berat telur
(g). Nilai rataan HU telur puyuh adalah 87,12,39 (Tiwari dan Panda, 1978).
Menurut Parizadian et al. (2011) nilai HU telur puyuh adalah 92,88.
Yuwanta (2010) menyatakan bahwa ada beberapa ketentuan untuk mengukur
nilai HU telur, yaitu (1) telur disimpan pada temperatur lebih dari 12 oC, (2) putih
telur tidak rusak saat telur dipecahkan, (3) pengukuran tinggi putih telur kental
dilakukan segera setelah telur dipecahkan, (4) pengukuran dilakukan dengan
menggunakan alat tripod micrometer, dan (5) untuk mendapatkan hasil yang lebih
akurat dapat dilakukan pengukuran lebih dari satu kali.
Bobot Telur
Rataan bobot telur dipengaruhi oleh jenis atau tipe puyuh (Santos et al.,
2011). Temperatur lingkungan dan konsumsi pakan juga dapat mempengaruhi bobot
telur. Peningkatan temperatur lingkungan dapat menurunkan ukuran telur dan
kualitas kerabang telur (North dan Bell, 1992). Telur puyuh memiliki bobot sekitar
10 g (sekitar 8% dari bobot badan induk) (Woodard et al.,1973) atau mendekati
11,91 g (Parizadian et al., 2011). Yuwanta (2010) menyatakan bahwa berat telur
puyuh adalah antara 8-10 g. Berat kuning telur puyuh adalah 2,4-3,3 g, putih telur
4,16-6 g, dan kerabang telur 0,56-0,9 g/butir telur.
-
Bobot telur semakin meningkat secara gradual seiring pertambahan umur
puyuh. Bobot telur puyuh tidak dipengaruhi oleh kepadatan kandang (Nagarajan et
al., 1991). Puyuh yang berumur 8-9 minggu pada lingkungan dengan temperatur
22,5-32 oC dengan pemberian pakan mengandung protein 22%, menghasilkan telur
dengan bobot 9,2 g. Puyuh berumur 20-21 minggu dan 31-32 minggu dengan
pemberian pakan mengandung protein 22% menghasilkan telur dengan bobot 10,1 g
dan 11,0 g (Eishu et al., 2005).
Warna Kuning Telur
Puyuh yang dipelihara pada kandang dengan kepadatan yang rendah
menghasilkan telur dengan kualitas warna kuning telur yang lebih baik namun
pengaruhnya tidak langsung (Nagarajan et al., 1991). Warna kuning telur
dipengaruhi oleh pigmen karoten (Kang et al., 2003). Menurut Yuwanta (2010)
warna kuning telur ditentukan oleh kandungan -karoten yang terdapat pada kuning
telur. Warna kuning telur unggas adalah kuning orange yang disebabkan adanya
karotenoid yang mengandung banyak zeaxantin, kriptoxantin, dan lutein (xantofil).
Setiap unggas memiliki kemampuan yang berbeda untuk mengubah pigmen karoten
tersebut menjadi warna kuning telur (North dan Bell, 1992).
Unggas yang mengkonsumsi pigmen karotenoid lebih tinggi akan
menghasilkan intensitas warna kuning telur yang lebih tinggi. Kang et al. (2003)
melaporkan bahwa penambahan likopen sebagai sumber karoten memberikan
pengaruh yang nyata terhadap peningkatan warna kuning telur. Faktor penyebab
warna kuning telur bervariasi, diantaranya bangsa unggas, genetik, kondisi kandang,
penyakit, cekaman, oksidasi santofil, dan angka produksi telur (North dan Bell,
1992).
Indeks Kuning Telur
Nilai atau kualitas kuning telur dapat diketahui dengan mengukur indeks
kuning telur yaitu perbandingan antara tinggi dengan diameter kuning telur.
Pengukuran indeks kuning telur relatif lebih sederhana dan mudah dibanding dengan
putih telur karena bentuk kuning telur lebih stabil dibanding putih telur (Yuwanta,
2010). Suprijatna et al. (2008) menyatakan nilai indeks kuning telur digunakan untuk
mengetahui kekentalan kuning telur.
-
Puyuh yang dipelihara pada kandang dengan kepadatan yang rendah
menghasilkan telur dengan nilai indeks kuning telur yang lebih besar (Nagarajan et
al., 1991). Nilai indeks kuning telur juga dipengaruhi oleh suhu dan lama
penyimpanan telur. Yuwanta (2010) menyatakan bahwa pada telur ayam, indeks
kuning telur pada saat oviposition adalah 0,45 kemudian menurun menjadi 0,30
apabila telur disimpan selama 25 hari pada suhu 25 oC. Penyimpanan telur pada suhu
0 oC selama 5,5 bulan mampu memberikan daya tahan indeks kuning telur sebesar
0,45. Menurut Suprijatna et al. (2008) nilai indeks kuning telur puyuh yang diberi
pakan dengan kandungan protein kasar sebesar 20,1% adalah 0,422. Puyuh yang
diberi pakan dengan kandungan protein kasar 18% menghasilkan telur dengan nilai
indeks kuning telur sebesar 0,406.
Bobot dan Tebal Kerabang Telur
Kualitas kerabang telur dipengaruhi oleh umur puyuh dan pakan yang
diberikan (Stadelman dan Cotterill, 1977). Temperatur lingkungan memiliki peranan
penting terhadap kualitas kerabang telur puyuh. Temperatur lingkungan mulai
mempengaruhi kualitas kerabang telur jika temperatur lebih dari 30 oC. Kualitas
kerabang telur optimal jika temperatur lingkungan antara 16-21 oC. Peningkatan
temperatur lingkungan akan menurunkan soliditas kerabang telur puyuh (Yuwanta,
2010).
Bobot kerabang telur puyuh adalah 0,7590,010 g (Woodard dan Wilson,
1972) atau sekitar 0,56-0,9 g (Yuwanta, 2010). Berat kerabang telur berkisar antara
7%-9% dari bobot telur. Bobot kerabang telur dipengaruhi oleh tebal kerabang dan
membran telur.
Tebal kerabang telur dipengaruhi oleh jenis puyuh, umur, pakan yang
diberikan, konsumsi pakan, dan penggunaan cahaya penerangan (Yuwanta, 2010).
Menurut Suprijatna et al. (2008) puyuh yang diberikan pakan dengan kandungan
protein kasar 20% menghasilkan telur dengan ketebalan kerabang telur yaitu 0,298
mm. Vilchez et al. (1992) menambahkan, tebal kerabang ditambah selaput telur
berkisar antara 0,176-0,184 mm. Menurut Yuwanta (2010) pengukuran tebal
kerabang telur dilakukan pada bagian ujung tumpul, tengah (ekuator), dan ujung
lancip telur kemudian dibuat rata-rata.
-
Kepadatan Kandang
Karakteristik produksi ternak ditentukan oleh faktor genetik dan faktor
lingkungan. Manajemen pemeliharaan, pakan, dan tipe perkandangan merupakan
faktor lingkungan yang memiliki peranan yang sangat penting terhadap pertumbuhan
dan produktivitas puyuh. Bentuk dan tipe kandang, pencahayaan, serta kepadatan
kandang merupakan faktor lingkungan yang penting pada produksi unggas (Esen et
al., 2006).
Kepadatan kandang merupakan luas kandang yang tersedia untuk setiap ekor
puyuh atau jumlah puyuh yang dapat dipelihara pada luasan lantai kandang tertentu
tanpa mengganggu aktivitas gerak dari unggas. Besarnya kepadatan kandang
dipengaruhi oleh ukuran tubuh unggas, sistem kandang, temperatur lingkungan, dan
ventilasi (Creswell dan Hardjosworo, 1979).
Kandang berukuran sedang dengan panjang 100 cm, lebar 45 cm, dan tinggi
27 cm dapat menampung 20-25 ekor puyuh dewasa (Peraturan Menteri Pertanian,
2008). Luas lantai yang semakin besar cenderung mengakibatkan konsumsi ransum
lebih rendah dan konversi ransum yang lebih baik. Dalam kisaran suhu lingkungan
optimum, unggas dapat menggunakan pakan lebih efisien, karena puyuh tidak
mengeluarkan energi untuk mengatasi suhu lingkungan yang tidak sesuai dengan
kebutuhan tubuh puyuh. Luas lantai yang semakin sempit akan menurunkan
pertumbuhan puyuh dan dapat juga meningkatkan mortalitas. Mortalitas yang tinggi
pada kandang yang padat disebabkan oleh faktor stres dan persaingan di dalam
kandang (Wilson et al.,1978).
Stres panas pada puyuh akan menurunkan performa produksi. Menurut Bird
et al. (2003) suhu lingkungan yang tinggi dapat menurunkan produksi telur. Produksi
telur puyuh yang dipelihara pada suhu lingkungan tinggi lebih rendah dibandingkan
dengan yang dipelihara pada suhu lingkungan rendah. Hal ini berkaitan dengan
adanya perubahan-perubahan fisiologis dan biokimiawi dalam tubuh puyuh selama
stres panas akibat suhu lingkungan yang tinggi tersebut. Pada suhu lingkungan tinggi
diperlukan energi lebih banyak untuk pengaturan suhu tubuh, sehingga mengurangi
penyediaan energi untuk produksi telur. Pada suhu lingkungan tinggi konsumsi
pakan dan efisiensi penggunaan pakan turun, ini berarti berkurangnya nutrisi dalam
tubuh dan akhirnya menurunkan produksi telur. Pada puyuh petelur dapat
-
menyebabkan penurunan produksi telur, berat, dan ukuran telur serta kualitas
kerabang yang berupa tipisnya ketebalan kerabang.
Pada puyuh betina dewasa, makanan yang dikonsumsi digunakan untuk
kebutuhan hidup pokok dan kebutuhan produksi telur. Dengan terjadinya penurunan
konsumsi pakan, maka yang lebih dahulu dipenuhi adalah kebutuhan hidup pokok,
sehingga penurunan konsumsi pakan berakibat langsung terhadap penurunan
produksi telur (Bird et al., 2003).