BAB II TINJAUAN PUSTAKA - UMS
Transcript of BAB II TINJAUAN PUSTAKA - UMS
7
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
A. Kemampuan Literasi Dasar
1. Pengertian
Kata literasi berasal dari bahasa Inggris Literacy yang diartikan sebagai
kemampuan baca tulis, selanjutnya menurut Kuder dan Hasit (2002) pengertian literasi
berkembang meliputi proses membaca, menulis, berbicara, mendengar,
membayangkan, melihat. Dalam proses membaca terjadi proses yang rumit yaitu
proses kognitif, linguistik, dan aktivitas sosial. Pembaca harus secara aktif melibatkan
pengalaman sebelumnya, proses berpikir, sikap, emosi dan minat untuk memahami
bacaan. Menurut Snow (dalam Mc Cartney & Philips, 2008) konsep literasi dan
perkembangan literasi bervariasi dalam sejumlah Aspek dan variasi ini bersifat implisit
saat membahas literasi. Variasi ini kemudian memunculkan pandangan yang
kontraversi. Untuk membantu mengeksplisitkan hakikat kontraversi dalam bidang
literasi, maka Snow menguraikan beberapa Aspek dari literasi, yaitu :
a. Komponen versus holistik
Literasi dapat dipandang sebagai hasil dari berbagai komponen keterampilan yang
penting seperti kesadaran fonologis, pengetahuan huruf, kecepatan membaca
urutan huruf. Holistik memfokuskan literasi sebagai aktivitas sosial yang bermakna
dalam rutinitas sehari-hari sehingga kurang memperhatikan komponen dalam
pengajaran dan pengukuran membaca.
b. Solitari versus sosial
Literasi dapat dipandang sebagai kemampuan kognitif individual, tetapi juga dapat
dilihat sebagai aktivitas penting yang bersifat interaktif, kolaboratif yang dilakukan
dalam tujuan sosial meski tindakan membaca itu sendiri bersifat solitari.
Pandangan solitari menganggap membaca sebagai proses psikolinguistik dalam
kepala yang melibatkan perkembangan alur dan organisasi syaraf. Pandangan
8
sosial menganggap keterampilan membaca memberi akses pada berbagi kekuatan
dan pengetahuan.
c. Diajarkan versus natural
Literasi dapat dilihat sebagai proses pengajaran sehingga kualitas pengajaran
menjadi sangat penting. Sebaliknya dapat dilihat juga sebagai hasil dari proses
natural dari tumbuh dalam masyarakat literasi, mudah untuk menguasai literasi
tanpa pengajaran asalkan ada motivasi dan kesempatan untuk melatih.
d. Fungsional/teknikal versus transformasional/kultural
Literasi dipandang sebagai keahlian teknis/fungsional yang dapat mempermudah
penyelesaian tugas seperti menerima informasi, bekerja, memasuki lingkungan
baru. Literasi juga dipandang sebagai sebuah faktor dalam identitas diri dan sosial,
sumber pembentukan jati diri, serta sebuah kekuatan untuk transfer aktivitas,
aturan dan hubungan yang mempertahankan budaya.
e. Tunggal/koheren versus multipel/bervariasi
Literasi didefinisikan sederhana sebagai apa yang dilakukan seseorang dengan
buku atau koran, tetapi terdapat pandangan kontras yang memandang literasi
sebagai proses membaca buku agama untuk lebih difahami, sebagai aktivitas
membaca kontrak dengan kritis, atau sebagai upaya mencari informasi dari jadual
kereta. Dalam pandangan multipel, tugas literasi sangat bervariasi.
f. Berfokus sekolah versus berfokus rumah atau komunitas
Bagi sebagian orang kegiatan terkait literasi dilakukan di sekolah, sebagian lain
menganggap kebanyakan aktivitas literasi dan belajar literasi terjadi di luar sekolah
seperti di rumah, dalam konteks beragama, melakukan tugas sehari-hari dan
terlibat dalam komunitas.
Dalam kaitannya dengan definisi di atas, penulis berpendapat bahwa
perbedaan di atas muncul karena literasi dilihat dari sudut pandang yang berbeda.
Sudut pandang itu dapat diletakkan dalam suatu rentang kontinum yang masing-
masing berada di posisi ekstrim. Hal ini berarti bahwa kedua pandangan di atas dapat
9
diintegrasikan dan dapat diterima sebagai pandangan yang saling melengkapi. Oleh
karena itu penulis tidak membatasi literasi hanya pada definisi yang diberikan salah
satu sudut pandang, tetapi memahami kedua sudut pandang agar mampu menemukan
kontribusi masing-masing pandangan sebagai suatu konsep yang efektif dalam
pengembangan literasi.
Selanjutnya dalam perkembangan konsep literasi, muncul konsep literasi dasar
sejak Marie Clay memperkenalkan konsep emergent literacy, yang merupakan perilaku
pura-pura meniru membaca dan menulis pada anak prasekolah. Literasi dasar juga
banyak disebut dengan istilah early literacy, yang menggambarkan bahwa kemampuan
ini merupakan kemampuan awal yang mendasari kemampuan membaca dan menulis
yang sesungguhnya.
Kata emergent literacy merupakan istilah yang memiliki dua konotasi arti yaitu
terkait suatu pandangan tentang perkembangan literasi anak dan suatu bentuk
kemampuan literasi yang dimiliki anak. Sebagai pandangan emergent literacy
menganggap terjadi perkembangan secara berkelanjutan dalam anak memperoleh
kemampuan baca tulis, perkembangan ini tidak dimulai sejak masuk sekolah tetapi
dimulai sejak usia dini (Rosenberg dkk., 2010). Sebagai kemampuan, emergent
literacy merupakan dasar-dasar literasi yang berkembang pada usia prasekolah
sebagai landasan untuk dapat menguasai kemampuan literasi sebenarnya di sekolah
dasar.
Whitehurst dan Lonigen (1998 dalam Bjorklund, 2005) menjelaskan emergent
literacy merupakan kemampuan literasi dasar yang terdiri dari pengetahuan, sikap dan
ketarampilan yang menjadi penentu perkembangan perilaku literasi selanjutnya yang
lebih baik. Menurut mereka emergent literacy (literasi dasar) terdiri dari sembilan
komponen, yaitu bahasa, aturan/ketentuan/kebiasaan, pengetahuan tentang huruf,
kesadaran terhadap unsur-unsur bahasa, kesesuaian fonem-grafem, pura-pura
membaca (Emergent reading), pura-pura menulis (Emergent writing), motivasi dan
keterampilan kognitif.
10
Menurut Purcell-Gates (2001), komponen literasi dasar termasuk kesadaran
fonemik, konsep tulisan dan cerita, gaya membaca, dan literasi sebagai aktivitas sosial
budaya. Menurut Snow, (dalam Mc Cartney & Philips, 2008) pada anak prasekolah,
kemampuan literasi dasar merupakan kapasitas untuk menyebutkan nama huruf dan
menuliskannya, mengeja kata sederhana, mengenal huruf dan tanda-tanda di sekitar,
mengidentifikasi buku dari judul serta melakukan aktivitas yang berkaitan dengan buku.
Green dkk. (2006), menyatakan kemampuan literasi anak prasekolah dapat
dikelompokkan menjadi 6 macam yaitu keterampilan menceritakan, motivasi untuk
membaca tulisan, kosa kata, kesadaran fonologis (bunyi huruf), pengetahuan tentang
huruf, dan kesadaran terhadap tulisan. Weigel dkk (2010) memilah kemampuan literasi
dasar menjadi tiga: pengetahuan tulisan (print knowledge), dasar-dasar menulis
(emergent writing), dan minat membaca (reading interest).
Penelitian menunjukkan dengan jelas bahwa kemampuan literasi dasar yang
baik membantu anak untuk lebih mudah belajar menbaca dan meningkatkan tingkat
kesuksesan anak di sekolah (Senechal & LeFreve, 2002). Hasil meta analisis yang
dilakukan oleh National Early Literacy Panel (NELP) pada tahun 2008 diperoleh bahwa
kemampuan dasar literasi memprediksi kemampuan literasi selanjutnya pada tingkat
sedang sampai tinggi. Terdapat 11 variabel yang dapat memprediksi secara konsisten
prestasi membaca selanjutnya. Adapun 11 variabel kemampuan literasi dasar ini
adalah: pengetahuan huruf, kesadaran fonolofis, mengenali dengan cepat huruf dan
objek (rapid automatic naming), menulis huruf dan nama sendiri, daya ingat fonologis,
selain itu juga konsep tulisan, pengetahuan tulisan, kesiapan membaca, bahasa lisan,
dan proses visual.
Dari uraian di atas penulis mendefinisikan literasi dasar sebagai kemampuan
yang dimiliki anak prasekolah untuk melandasi dan menyiapkan diri belajar membaca
dan menulis di sekolah dasar. Selanjutnya dari beberapa peneliti yang mengidentifikasi
komponen kemampuan dasar literasi di atas, penulis dapat merangkum komponen
tersebut menjadi 5 komponen yang berbeda, yaitu: a) kemampuan bahasa, yang
11
mencakup kosa kata dan pemahaman bahasa lisan, b) kesadaran fonologis, yaiut
kemampuan mendeteksi, memanipulasi dan menganalisis bahasa lisan (membedakan
fonem, suku kata, kata), c) keterampilan membaca yang mencakup pengenalan aturan
membaca, pengetahuan huruf dan bunyi huruf, mengeja kata, d) keterampilan menulis,
yang mencakup kemampuan menuliskan bentuk huruf, nama sendiri dan kata, e)
minat/motivasi membaca, yaitu keinginan dalam diri anak untuk membaca.
2. Perspektif Tentang Perkembangan Literasi Dasar
Terdapat dua perspektif yang berbeda dalam memandang proses dan kapan
kemampuan baca tulis (literasi) pada anak diperoleh. Pertama adalah pandangan
tradisional yang lebih dikenal dengan konsep kesiapan membaca (reading readiness).
Kedua adalah pandangan kontemporer yang menekankan pada perkembangan
berkelanjutan (developmental continuum) atau disebut juga pandangan emergent
literacy. Berikut karakteristik utama dari kedua pandangan tersebut:
a. Perspektif Kesiapan Membaca
Perspektif ini menyatakan bahwa untuk belajar membaca dan menulis anak
harus mencapai level kematangan tertentu secara fisik dan neurologis sehingga anak
siap untuk menerima instruksi/pengajaran membaca dan menulis. Dengan demikian
pengajaran yang dilakukan sebelum anak mencapai tingkat kematangan tertentu
hanya membuang-buang waktu dan berpotensi merusak anak. Terdapat periode waktu
tertentu ketika anak siap belajar baca tulis. Kemampuan membaca dan menulis
seharusnya diajarkan di taman kanak-kanak agar dapat mempersiapkan diri anak
untuk mengikuti pelajaran di kelas satu. (www.ncrl.org/sdrs/areas/issues).
Teale, 1995 (dalam Kuder dan Hasit, 2002) merangkum prinsip utama
perspektif ini yaitu a) belajar membaca hanya dimulai setelah serangkaian
keterampilan prasyarat membaca sudah siap dikuasai anak, b) anak lancar dalam
bahasa lisan dulu baru kemudian belajar membaca kemudian belajar menulis setelah
lancar membaca, c) membaca dan menulis dipelajari oleh anak secara abstrak,
12
dengan keterampilan yang terpisah dengan konteks, d) selama periode pramembaca
keterampilan membedakan stimulus secara visual dan auditori dan pengetahuan huruf
dan bunyi huruf sangat penting sebagai dasar kemampuan membaca, e) anak
mengikuti jenjang keterampilan yang sama dalam mencapai membaca, dan
perkembangannya harus dimonitor secara hati-hati dengan tes secara periodik.
b. Perspektif Emergent Literacy
Perspektif ini menyatakan bahwa kemampuan literasi mulai berkembang pada
usia sangat dini, jauh sebelum anak diajarkan membaca secara formal di sekolah. Hal
ini terbukti dari perilaku anak dini usia yang dikenal dengan emergent literacy yaitu
berpura-pura/meniru membaca-menulis atau membaca dengan melihat gambar,
menulis walau masih berbentuk benang kusut. Literasi berkembang secara
berkelanjutan (continuum) dengan berbagai cara dan pada umur yang berbeda. Hal ini
dipupuk oleh interaksi sosial antara anak dengan orangtua atau pengasuh dan
dirangsang oleh materi literasi seperti buku cerita. Dengan demikian penting sekali
mengarahkan anak berkembang dari pura-pura membaca (emergent literacy) menuju
mampu membaca sesungguhnya. Dibutuhkan peran dan dukungan dari prangtua dan
pendidik untuk mengarahkannya (www.ncrl.org/sdrs/areas/issues).
Teale, pada tahun 1995 (dalam Kuder dan Hasit, 2002) merangkum prinsip
utama perspektif emergent literacy yaitu a) belajar membaca dan menulis mulai sejak
sangat dini pada hampir semua anak di masyarakat literasi. Anak menunjukkan
perilaku mirip baca tulis dalam situasi informal di rumah dan masyarakat serta dalam
situasi sekolah, b) perkembangan literasi adalah istilah yang lebih sesuai daripada
kesiapan membaca, karena proses belajar tidak berurutan membaca dulu baru menulis
tetapi kemampuan bahasa, membaca dan menulis berkembang secara saling tumpang
tindih dan berhubungan sejak dari awal, c) literasi berkembang dalam situasi nyata
dalam aktivitas sehari-hari untuk menyelesaikan suatu pekerjaan. Makna dan fungsi
serta tujuan literasi sangat penting agar anak mempelajari strategi dalam kaitannya
13
dengan konteks bukan terpisah dari konteks, d) anak belajar bahasa tertulis melalui
keterlibatan aktif dengan dunia sekitarnya. Anak berinteraksi dengan orang dewasa
dalam situasi baca tulis, meniru orang signifikan terutama orangtua, e) untuk meguasai
baca tulis terlibat banyak pengetahuan, potensi, dan strategi seperti fungsi bahasa dan
literasi, pengetahuan tentang cerita, konsep tulisan serta kesadaran fonemik dan
mengenali huruf-bunyi, f) dalam perkembangan literasi terdapat tahapan secara umum
tetapi anak menguasai literasi dalam kecepatan dan bentuk yang berbeda-beda, hal ini
harus dipertimbangakan dalam proses pembelajaran.
Perspektif emergent literacy saat ini lebih banyak diacu oleh penelitian-
penelitian terakhir. Hal ini tampak dari berkembangnya literasi dalam keluarga (family
literacy) sebagai bidang kajian baru (Anderson dkk., 2010). Berdasarkan temuan
penelitian-penelitian terakhir perkembangan literasi dimulai sejak usia dini, meskipun
aktivitas anak tampak seperti tidak berhubungan dengan menulis dan membaca tetapi
tingkah laku menirukan menulis dengan coretan, pura-pura membaca dari gambar
ternyata merupakan perkembangan literasi dasar (emergent literacy) yang sangat
penting. Dengan dukungan dari orangtua, pengasuh, guru dan lingkungan yang
kondusif maka anak akan berhasil mencapai kemampuan literasi sesungguhnya.
Membaca dan menulis berkembang jauh sebelum anak mendapat pembelajaran
formal, hal ini dipupuk oleh proses interaksi dengan orangtua serta bahan literasi yang
digunakan. Pemahaman anak tentang membaca dan menulis dibangun dengan cara
terlibat aktif dalam aktivitas literasi. Terlibat aktif mengalami, mengambil peran dalam
aktivitas dan tugas yang bermakna sehingga anak memiliki pemahaman dan rasa
tanggung jawab, meningkatkan rasa ingin tahu dan bertanya, memunculkan
ketertarikan baru dan termotivasi dari dalam diri (www.ncrel.org, diunduh 9 Mei 2010).
Perkembangan kemampuan literasi dari berpura-pura atau meniru baca-tulis
(emergent literacy) menuju kemampuan literasi sesungguhnya, dipengaruhi oleh tiga
hal yaitu: perkembangan literasi yang berkelanjutan dari anak, konsep literasi anak,
dan usaha yang dilakukan orangtua dan pendidik. Sebelum belajar tentang menulis
14
dan membaca, anak harus mengerti konsep penting seperti: tulisan adalah
representasi dari pemikiran seseorang, menulis dan membaca dimaksudkan untuk
mengkomunikasikan sesuatu yang berarti, bahasa di buku dan bahasa percakapan
berbeda, cara membaca dari kiri ke kanan, buku terdiri dari gambar dan tulisan dengan
tulisan sebagai sumber informasi terbanyak. Sementara itu upaya pengembangan
kemampuan literasi harus dimulai dengan langkah menyiapkan keterampilan kognitif
seperti perhatian, daya ingat, berpikir simbolik, dan pengaturan diri. Menurut teori
Piaget, dalam proses pengembangan kemampuan literasi, anak aktif membangun
pengetahuan mereka sendiri melalui tindakan, sedangkan menurut Vygotsky anak
membutuhkan interaksi sosial untuk dapat mengembangkan konsep yang dimililiki dan
mengembangkan kemampuan literasi dengan cara menggunakannya (Jhonson,
Sulzby,1999).
Bila kedua perspektif di atas dikaji maka dipeoleh kesimpulan bahwa perspektif
reading readiness lebih menekankan pentingnya kematangan secara biologis sebelum
anak belajar membaca dan menulis. Hal ini berarti bahwa berkembangnya literasi lebih
ditentukan oleh peran faktor biologis anak (nature) dan tidak menganggap penting
peran lingkungan (nurture). Sebenarnya ditinjau dari hakikat perkembangan, faktor
yang berpengaruh tidak hanya biologis anak tetapi juga lingkungan yang berlangsung
secara interaktif. Dengan demikian kematangan biologis dapat lebih berkembang
dengan adanya stimulasi dari lingkungan. Stimulasi lingkungan yang kurang beresiko
menimbulkan keterlambatan atau kesulitan dalam belajar baca tulis. Perspektif
emergent literacy lebih sesuai dengan prinsip perkembangan, bahwa literasi
berkembang sejak dini dan sifatnya berkelanjutan. Perkembangan berkelanjutan
menjadikan kemampuan literasi dasar meningkat menjadi kemampuan literasi
sebenarnya karena dipupuk oleh interaksi sosial. Oleh karena itu stimulasi penting
dilakukan sejak dini dengan berbagai cara pada umur yang berbeda.
15
3. Pengembangan Literasi Dasar
Selain perspektif tentang perkembangan baca tulis, terdapat pula dua
perspektif yang berbeda tentang bagaimana cara mengajarkan anak baca tulis oleh
orangtua maupun guru. Pandangan pertama adalah holistik atau disebut juga top-down
approach/big book/whole language/contemporer. Pandangan kedua adalah komponen
atau disebut juga bottom-up approach atau code base approach atau fonik atau
tradisional.
a. Holistik
Pandangan pertama mengajarkan baca tulis secara natural yang dilakukan
dalam konteks aktivitas sosial dan budaya yang bermakna. Dalam aplikasinya,
orangtua atau guru yang berpandangan holistik akan menunjukkan perilaku
mendukung, memfasiliatasi, dan memberi contoh bagaimana membaca dan menulis
dalam konteks aktivitas sehari-hari yang bertujuan dan bermakna. Dengan demikian
anak lebih diarahkan untuk diajak berbicara, berdiskusi, dibacakan buku cerita.
b. Komponen
Pandangan kedua lebih menekankan pada pengajaran yang menghasilkan
keterampilan tertentu yang dengan keterampilan ini anak terbantu dalam baca-
tulis.Orangtua atau guru yang berpandangan tradisional lebih menunjukkan perilaku
fokus pada pengajaran mengenalkan kata itu sendiri melalui pengajaran alfabet, kata,
kalimat dan cerita secara berurut. Dalam hal ini anak membutuhkan buku latihan dan
contoh bagaimana cara membaca (Lynch dkk., 2006).
c. Integrasi Holistik dan Komponen
Menghadapi dua pandangan yang berbeda di atas, Snow (2008) menilai bahwa
tidak ada pandangan yang seluruhnya benar atau seluruhnya salah. Ia menganggap
bahwa dari dua pandangan itu dapat diperoleh insight yang dapat dijadikan panduan
16
untuk menciptakan lingkungan yang menstimulasi secara optimal perkembangan
literasi anak.
Penulis menilai bahwa baik pandangan holistik maupun komponen masing-
masing memiliki kontribusi untuk meningkatkan literasi anak. Oleh karena itu dalam
peneltian ini kedua pandangan dikombinasikan, agar tercapai integrasi yang saling
melengkapi untuk membuat peningkatan literasi anak lebih efektif, yaitu dengan
melakukan: a) pembelajaran yang menekankan pada aspek arti/makna literasi dalam
konteks sosial sekaligus juga mengajarkan skill dasar literasi, b) aktivitas literasi dilihat
sebagai proses yang dilakukan individu tetapi mendapat motivasi/dorongan dari orang
lain (lingkungan), c) stimulasi secara natural penting dilakukan untuk mendukung anak
yang mampu membaca tulis secara sendirinya, namun bagi anak yang tidak mampu
melakukannya sendiri perlu mendapat pengajaran terstruktur. Libatkan secara natural
dalam aktivitas literasi sejak dini kemudian di sekolah secara formal diajarkan skill
untuk menyempurnakan, d) stimulasi di luar sekolah bermanfaat besar untuk
mendukung proses literasi di sekolah, e) Stimulasi di lakukan sejak dini dengan tujuan
untuk merangsang dan mengoptimalkan perkembangan sel-sel otak, agar 100 juta
nuran yang dimiliki sejak lahir dapat berfungsi dan tidak mati. Hal ini akan melejitkan
kapasitas otak anak.
Stimulasi harus disesuaikan dengan karakteristik anak, kebutuhan anak dalam
hal cara dan materinya. Cara yang dilakukan harus menyenangkan dan membuat anak
tidak terbebani serta mengoptimalkan semua sensoris yang dimiliki anak
(multisensory). Materi yang diberikan tidak hanya berkaitan dengan keterampilan
literasi tetapi juga membentuk minat dan kebiasaan menyukai, memaknai aktivitas
literasi sbg sesuatu yang positif dan menyemangati. Mulai dengan materi literasi yang
bersifat natural di rumah baru kemudian literasi yang bersifat formal di sekolah.
stimulasi dilakukan berkelanjutan dari sejak di rumah sampai di sekolah.
17
4. Tahapan Perkembangan Literasi Dasar
Aktivitas pengembangan kemampuan dasar literasi harus disesuiakan dengan
kebutuhan perkembangan anak usia dini (developmental appropriate), karena
perkembangan literasi terjadi secara bertahap dan tahapan ini sejalan dengan
pertambahan usia kronologisnya. Debra Jhonson dan Sulzby (1999) memberi ilustrasi
perkembangan literasi dasar terjadi dalam 4 tahap, yaitu:
a. Pada tahap satu, anak usia 1-24 bulan mengalami perkembangan bahasa lisan
yang merupakan dasar bagi perkembangan literasi di usia selanjutnya.
b. Tahap kedua, anak usia 2-3 tahun mulai mampu berbicara untuk berespon
terhadap buku atau tanda/gambar yang dibuatnya, mulai mengenal dan memberi
nama bagian dari logo, gambar, tanda serta menulis coretan.
c. Tahap ketiga, pada usia 3-4 tahun anak menunjukkan perkembangan pesat dalam
kemampuan literasi dasar. Pada tahap ini anak mampu mengenali huruf, tertarik
menulis dan membaca, dan memperhatikan bunyi kata.
d. Tahap terakhir, usia 5 tahun anak membaca buku cerita berulang-ulang,
menerapkan intonasi dan bahasa dalam buku, menguasai arah membaca,
kesesuaian kata demi kata, dan konsep tulisan. Perkembangan menulis juga
berjalan paralel dengan membaca, pada usia ini anak mampu menuliskan kata
tetapi baru menggunakan huruf-huruf yang dominan bunyinya seperti huruf awal
dan akhir.
Menurut Snow dkk.. (1998 dalam Hoff, 2005) perkembangan perolehan
kemampuan literasi dapat digambarkan menurut usia sebagai berikut:
a. Lahir sampai 3 tahun
Anak sudah mampu mengenal buku khusus dari cover, pura-pura membaca,
menikmati permainan kata dan lagu, mendengarkan cerita, mulai untuk menulis
bentuk yang mirip huruf.
b. 3 tahun – 4 tahun
18
Anak mengetahui bahwa huruf alfabet memiliki nama dan berbeda dengan gambar,
memahami beberapa tanda tertulis (tanda masuk/keluar). Mereka juga memberikan
perhatian pada bunyi bahasa yang berbeda-beda, menunjukkan ketertarikan
terhadap buku dan membaca, menghubungkan kejadian dalam cerita dengan
pengalaman hidup, dapat menuliskan pesan sendiri, terkadang dalam bentuk
coretan.
c. usia TK ( 5 tahun)
Pada usia ini anak mampu mengenal huruf besar dan kecil, mengerti bahwa urutan
huruf dalam tulisan menggambarkan urutan bunyi dalam ucapan. Mereka juga
dapat menyebutkan judul dan pengarang buku, membuat prediksi yang didasarkan
pada ilustrasi cerita, menggunakan invented spelling untuk menulis pesannya
sendiri, menulis namanya sendiri, dapat menulis huruf atau kata dengan dikte.
d. usia SD ( 6 tahun)
Pada usia ini anak dapat membaca suku kata, dapat mengenali kata-kata iregular
dengan melihatnya, memprediksi apa yang akan terjadi dalam cerita, memantau
pemahamannya ketika membaca, mengenali saat ada kata yang tidak masuk akal.
Selain itu dapat membuat tulisan untuk dibaca orang lain.
5. Kondisi yang Mempengaruhi Kemampuan Literasi Dasar
Kemampuan literasi dasar anak dapat berkembang karena interaksi antara
kondisi internal anak dan kondisi eksternal anak. Kondisi internal anak berkaitan
dengan potensi Individu secara kognitif, fisik, dan emosi. Kondisi eksternal berkaitan
dengan lingkungan mikrosistem yang ada di sekitar anak, yaitu kondisi rumah, sekolah,
masyarakat dan teknologi atau media masa.
a. Pengembangan Literasi dasar di rumah
Konteks keluarga di rumah adalah sebuah lingkungan yang paling signifikan
bagi anak dalam pengembangan literasi dasar mengingat keluarga adalah orang yang
paling dekat bagi anak. Di rumah keluarga juga beraktivitas yang menciptakan
19
dinamika keluarga yaitu dengan siapa dan bagaimana keluarga melakukan
aktivitasnya. Dalam aktivitas bersama ini terjadi Interaksi timbal balik secara
berkelanjutan. Pola asuh orangtua berpengaruh pada anak, anak juga berpengaruh
pada pola asuh. Selain itu interaksi anak-orangtua mempengaruhi anak dalam hal
kelekatan, pengendalian diri, prososial, kompetensi dan motivasi berprestasi.
Dalam interaksinya dengan anak, orangtua dapat melakukan pola asuh yang
sesuai dengan tuntutan perkembangan anak tetapi tidak jarang juga orangtua
melakukan pola asuh yang tidak sesuai dengan perkembangan anak. Aktivitas
pengasuhan anak yang sesuai dengan kebutuhan anak adalah orangtua memiliki
pengetahuan tentang perkembangan anak, tentang bagaimana memandu (guidance)
dan mendisiplinkan (discipline) perilaku anak. Panduan berupa mengarahkan,
menunjukkan, mensupervisi, dan mempengaruhi. Disiplin berupa menghukum,
mengoreksi, dan melatih untuk mengembangkan kontrol diri. Pengasuhan anak yang
kurang sesuai perkembangan anak ditandai dengan keterlibatan orangtua yang kurang
dan perlakuan salah (maltreatment), seperti tidak sensitive, tidak tanggap, dan ada
jarak psikologis. Anak-anak dari orangtua yang keterlibatannya kurang menunjukkan
perilaku agresif, tempertantrum, prestasi akademik rendah, dan terlibat kenakalan.
Lingkungan rumah sebagai konteks yang signifikan berpengaruh terhadap
perkembangan literasi dasar anak, telah banyak diteliti. Beberapa hasil penelitian
tersebut adalah:
a. keterlibatan anak di rumah dalam aktivitas aktif terkait membaca dan menulis
menjadi prediktor bagi perkembangan keterampilan literasi dasar (Levy dkk., 2006).
b. aktivitas literasi di rumah menjadi prediktor perkembangan bahasa ekspresif dan
reseptif, sedangkan penjelasan (metalingual utterances) tentang objek yang
diberikan ibu berhubungan kuat dengan minat anak membaca (Deckner dkk.,
2006)
c. aktivitas anak dibacakan buku oleh orang tua di rumah berhubungan signifikan
dengan kemampuan bahasa lisan dan sensitifitas fonologis (Burgess, 2002)
20
d. lingkungan rumah yang membiasakan aktivitas literasi (membaca, menonton)
berhubungan signifikan dengan kemampuan anak dalam bahasa lisan,
pengetahuan huruf dan sensitivitas fonologis (Burgess dkk., 2002)
e. lingkungan rumah yang responsif dan mendukung adalah prediktor terkuat dari
kemampuan bahasa dan literasi anak (Roberts dkk., 2005)
f. lingkungan rumah yang teratur berhubungan positif dan signifikan dengan
kemampuan bahasa ekspresif, kemampuan membaca dan keterampilan fonologis
pada keluarga yang ibunya memiliki kemampuan membaca di atas rata-rata
(Johnson dkk., 2008)
g. Fungsi keluarga sebagai pendidik berhubungan signifikan dengan kemampuan
bahasa dan literasi anak (Bennett dkk,, 2002)
h. Terdapat hubungan antara pengetahuan/keyakinan tentang literasi yang dimiliki ibu
dengan lingkungan rumah dan kemampuan literasi anak prasekolah. Ibu yang lebih
fasilitatif menunjukkan perilaku lebih terlibat dalam stimulasi literasi anak,
menciptakan lingkungan rumah yang kaya literasi dan membuat minat anak dan
pengetahuan tulisan anak mereka lebih tinggi. Ibu yang lebih konvensional
menganggap sekolah lebih bertanggung jawab dalam pengajaran literasi sehingga
mengalamai banyak tantangan untuk menstimulasi literasi, dan anak mereka lebih
rendah dalam minat membaca dan pengetahuan (Weigel dkk., 2006)
i. Semakin teratur kondisi keluarga di rumah, semakin besar kemungkinan orangtua
terlibat dalam aktivitas merangsang literasi anak dan semakin tinggi minat
membaca dan pengetahuan tulisan yang dimiliki anak (Weigel dkk., 2010)
j. Aktivitas anak bersama orangtua dalam bentuk bermain dan belajar nama, bunyi,
dan menuliskan huruf memprediksi pengetahuan nama huruf, bunyi huruf dan
sensitivitas fonologis. Aktivitas membacakan anak buku hanya berkorelasi dengan
perkembangan bahasa tetapi tidak berkorelasi dengan pengetahuan nama huruf,
bunyi huruf. Aktivitas membacakan anak buku, ternyata kurang aktif memfokuskan
21
anak pada pengenalan nama dan bunyi huruf sedangkan aktivitas terkait nama dan
bunyi huruf lebih membuat anak fokus pada komponen huruf (Evans dkk., 2000)
k. Aktivitas literasi di rumah lebih berpengaruh besar terhadap kemampuan membaca
dan matematika, pengaruh ini lebih besar dari pada faktor pendidikan orangtua dan
status ekonomi. Selain itu pengaruh lingkungan literasi di rumah lebih kuat
dibandingkan pengaruh program prasekolah (Mulhuish dkk., 2008).
l. Sumberdaya keluarga (pendidikan, pekerjaan dan penghasilan orangtua)
memprediksi aktivitas literasi di rumah dan kemudian memprediksi penguasaan
bahasa Inggris dan Spanyol (Lopez, 2007)
m. Pada konteks budaya Cina, aktivitas literasi di rumah terbukti memprediksi
kemampuan literasi Cina anak prasekolah di negara Hong Kong, Singapura dan
Beijing (Li & Rao, 2000).
n. Aktivitas ibu yang membacakan anak buku cerita berhubungan dengan
perkembangan keterampilan bahasa dan aktivitas membantu anak belajar menulis
berhubungan dengan keterampilan alfabet (.Aram dkk., 2006)
o. Frekuensi membaca buku berkorelasi dengan keterampilan literasi dasar anak,
tetapi kualitas interaksi afektif saat membaca buku menjadi prediktor paling kuat
bagi motivasi anak untuk membaca (Sonnenshein & Munsterman, 2002)
p. Kedekatan anak dengan buku berhubungan dengan perkembangan kosa kata dan
pemahaman bahasa lisan, keterampilan bahasa ini kemudian berhubungan
langsung dengan kemampuan anak membaca di kelas 3 . Keterlibatan orangtua
dalam mengajarkan baca tulis kata, berhubungan dengan perkembangan literasi
dasar anak (Senechal & LeFevre, 2002).
q. Aktivitas literasi dasar di rumah, sikap orangtua terhadap membaca, dan jumlah
buku yang dimiliki di rumah semuanya berhubungan positif dengan prestasi
membaca anak kelas 4. Selain itu pengaruh pendidikan orangtua terhadap
kemampuan anak membaca dimediatori oleh kondisi literasi di rumah. Hal ini
berlaku di 25 negara., dengan ciri khas bahwa aktivitas literasi dasar di rumah dan
22
sikap orangtua terhadap membaca bervariasi tergantung pada perkembangan
ekonomi negara (Park, 2008).
r. Anak yang ibunya lebih sering membacakan buku cerita, terutama dengan
frekuensi tiap hari, menunjukkan peningkatan kosa kata, pemahaman dan
perkembangan kognitif (Raikes dkk., 2006)
s. Pengajaran orangtua tentang bunyi, nama huruf dan kata berkorelasi dengan
kemampuan literasi dasar. Frekuensi membacakan anak buku cerita berkorelasi
signigikan dengan pengetahuan huruf dan membaca kata. Sedangkan jumlah buku
di rumah tidak berhubungan dengan kemampuan literasi dasar (Stephenson dkk.,
2008).
t. Pengaruh nilai-nilai atau keyakinan orangtua (parent beliefs) menjadi area yang
diteliti oleh Susan Sonneschein dan Linda Baker (2005) yang membuktikan dalam
penelitiannya bahwa nilai/keyakinan orangtua berhubungan dengan bagaimana
mereka berinteraski sepanjang aktivitas literasi dengan anak dan aktivitas seperti
apa yang orangtua sediakan untuk anak. Menurut Lynch, Anderson, dan Shapiro
(2006) orangtua cenderung bertindak dan berperilaku sesuai dengan
nilai/keyakinannya tentang bagaimana membantu anak menguasai literasi dasar.
Keyakinan orangtua yang lebih tradisional akan berorientasi pada hasil
belajar/keterampilan menguasai kemampuan baca tulis. Keyakinan yang lebih
menyeluruh memandang belajar literasi sebagai perkembangan kontinum sehingga
stimulasi perlu dilakukan sedini mungkin (holistic, emergent literacy). Terdapat
hubungan antara nilai/keyakinan orangtua dengan perilaku menolong anak mereka
untuk belajar literasi dasar. Orangtua yang memiliki keyakinan belajar menyeluruh
(holistic, emergent literacy) lebih banyak melakukan dukungan dan stimulasi
(encouragement) dalam membantu anak belajar literasi, sedangkan orangtua yang
memiliki keyakinan tradisional lebih banyak melakukan pembelajaran yang
lengsung mengajarkan keterampilan baca-tulis. Keyakinan yang lebih menyeluruh
mendorong orangtua untuk menganggap penting proses belajar dan membuat
23
mereka terlibat dalam aktivitas literasi yang bervariasi dengan anak mereka.
Kondisi ini membuat orangtua dengan keyakinan holistik memiliki anak yang lebih
sukses dalam menguasai kemampuan akademis di sekolah. Selain itu pendidikan
orangtua berpengaruh terhadap keyakinan orangtua, orangtua dengan pendidikan
lebih tinggi dari sekolah menengah (secondary school) lebih berkeyakinan
menyeluruh dan orangtua yang pendidikannya kurang dari sekolah menengah lebih
berkeyakinan tradisional.
u. Rutinitas keluarga yang merupakan pola kegiatan yang bersifat berulang-ulang dan
bisa diperkirakan dalam kehidupan sehari-hari keluarga merupakan prediktor
perkembangan literasi dasar anak (Churchill and Stoneman, 2004). Rutinitas ini
dapat berupa kegiatan makan, tidur, jadual kegiatan harian, komunikasi dan waktu
untuk mengurus diri sendiri. Rutinitas yang ada dalam keluarga dapat membuat
anak merasakan situasi stabil, berkelanjutan dan dapat diperkirakan yang akan
mengembangkan perilaku positif dari anak. Lebih lanjut Serpell dkk. (2002)
membuktikan dalam penelitiannya bahwa rutinitas yang teratur berkaitan dengan
kegiatan literasi (pembicaraan saat makan bersama, membacakan buku cerita,
mengerjakan rumah) berhubungan dengan kemampuan dasar membaca dan
pemahaman pada anak taman kanak-kanak sampai anak kelas 3. Kekuatan
prediksi dari faktor rutinitas ini lebih tinggi dari pada kekuatan prediksi pendapatan
keluarga dan etnis. Oleh karena terciptanya rutinitas dalam keluarga merupakan
faktor yang penting untuk perkembangan literasi dasar anak.
Dari hasil penelitian di atas, dapat disimpulkan bahwa kemampuan literasi
dasar dapat dikembangkan di rumah melalui aktivitas literasi yang berbentuk anak aktif
berpartisipasi dalam membaca dan menulis, orangtua membacakan anak buku,
orangtua bermain sambil mengajarkan nama dan bunyi huruf. Selanjutnya lingkungan
rumah menjadi kondusif untuk perkembangan literasi dasar anak bila kondisi keluarga
teratur, sumber daya keluarga (pendidikan, pekerjaan dan pendapatan orangtua)
memadai. Karakteristik orangtua juga berpengaruh pada perkembangan literasi dasar
24
anak, pengetahuan/keyakinan orangtua tentang literasi dasar berpengaruh pada
besarnya keterlibatan mereka dalam aktivitas literasi bersama anak. Aktivitas literasi
orangtua-anak merupakan mediator bagi hubungan lingkungan rumah dengan
kemampuan literasi dasar, serta memiliki pengaruh lebih besar daripada pendidikan
orangtua dan status ekonomi keluarga. Dalam aktivitas literasi bersama anak, orangtua
dapat berperan sebagai pendidik dan melakukan stimulasi dengan cara bersikap
responsif terhadap anak, menjalin interaksi afektif, memberikan penjelasan
(metalingual utterance).
b. Pengembangan Literasi dasar melalui program prasekolah (child care)
Berns (2007) mendefinisikan child care sebagai pengasuhan dan perawatan
anak oleh orang selain orang tuanya sepanjang hari atau setengah hari, yang dapat
dilakukan di rumah orang lain atau di pusat pengasuhan. Di Indonesia child care
berupa program prasekolah seperti kelompok bermain atau taman kanak-kanak.
Program yang berkualitas dilihat dari apakah guru memberikan cinta, kehangatan dan
bekerja sama dengan orangtua untuk mencapai perkembangan terbaik, apakah
lingkungan aman, nyaman dan sehat, apakah menyediakan aktivitas yang
mengembangkan fisik, emosi, sosial dan mental. Program prasekolah memiliki
pengaruh berbeda-beda tergantung pada kesempatan interaksi dengan guru, teman
dan material yang tersedia. Interaksi anak dan guru dengan aman dan teratur serta
lingkungan yang memberi stimulasi berkorelasi dengan peningkatan kompetensi
intelektual dan sosial. Guru seharusnya menerapkan pembelajaran yang sesuai
dengan perkembangan anak sehingga guru harus menguasai pengetahuan tentang
perkembangan anak dan bagaimana menerapkan kurikulum yang sesuai kebutuhan
anak.
Penelitian telah dilakukan untuk mengungkap peran program prasekolah dalam
pengembangan kemampuan bahasa dan literasi dasar, diantaranya adalah:
25
a) penelitian Green & Peterson,(2006), menunjukkan bahwa program prasekolah
berupaya agar anak terlibat dalam aktivitas yang penting untuk mengembangkan
bahasa dan literasi. Karakteristik guru dan program berkorelasi positif dengan
frekuensi aktivitas peningkatan kemampuan bahasa dan literasi.
b) penelitian Melhuish dkk. (2008), menghasilkan kesimpulan bahwa program
prasekolah yang efektif memberi kontribusi signifikan terhadap pencapaian
kemampuan membaca dan matematika. Meskipun demikian pengaruh program
prasekolah lebih kecil daripada pengaruh lingkungan literasi di rumah.
Program prasekolah dapat berperan untuk menstimulasi perkembangan literasi
dasar bila anak terlibat dalam aktivitas literasi dan program berjalan efektif serta guru
memiliki karakteristik yang sesuai kebutuhan perkembangan anak.
c. Pengembangan Literasi Anak Dalam Konteks Masyarakat.
Konsep tentang aktivitas literasi di rumah merupakan aktivitas sosial yang
bervariasi, berbeda-beda dalam hal aktivitas apa yang dipilih dan dan bagaimana cara
belajar dan mengajar dalam mengembangkan kemampuan literasi anak (Anderson,
2004). Aktivitas yang berasal dari budaya yang dominan seringkali dianggap sebagai
norma yang berlaku dan penyimpangan dari hal ini sering dianggap kekurangan.
Menurut pandangan sosiokultural hal seperti ini bukan kekurangan karena aktivitas
literasi diartikan bergantung budaya dan berkaitan dengan keyakinan dan nilai
orangtua tentang anaknya (Hammer et al., 2005).
Masa anak dipandang sebagai masa latihan, anak belajar dan berlaltih
keterampilan yang akan dapat mengembangkan mereka menjadi orang dewasa yang
kompeten dalam komunitas mereka sendiri. Dalam hal ini selama interaksi anak dan
orangtua, orangtua berperan sebagai pemberi arahan dan bimbingan. Dalam beberapa
budaya bimbingan ini difokuskan pada keterampilan praktis yang memberi kontribusi
secara ekonomi seperti beternak atau mengasuh anak. Namun demikian pada
beberapa negara barat seperti Amerika Serikat, bimbingan orangtua difokuskan pada
26
mempersiapkan anak untuk mengikuti sekolah formal dengan mencapai
perkembangan kognitif dan keterampilan sosial (Rogoff, 1990, 2003 dalam
Vandermaas-Peeler, 2009). Interaksi orangtua dan anak yang terjadi selama bermain
juga berbeda-beda tergantung pada budaya dan keyakinan orang tua tentang
pentingnya bermain dalam perkembangan anak. Orangtua dari Eropa-Amerika
memandang bermain sebagai hal penting untuk pengembangan sosial dan kognitif
anak dan seringkali terlbat bermain dengan anak mereka. Interaksi selama bermain
juga merupakan konteks yang dipergunakan oleh orangtua dengan tingkat pendapatan
menengah untuk mengajar/mendidik. (Vandermaas-Peeler, 2009).
Hasil penelitian Vandermaas-Peeler (2009) di Amerika Serikat menunjukkan
bahwa membaca buku dan bermain adalah dua konteks sosial yang banyak
dipergunakan oleh orangtua dari latar belakang pendapatan rendah maupun
menengah untuk memberikan bimbingan. Disamping itu baik orangtua maupun anak
dari kedua kelompok itu sama-sama terlibat mendalam dalam aktivitas membaca dan
bermain. Meskipun demikian orangtua dengan pendapatan rendah melakukan
membaca buku lebih jarang dengan frekuensi hanya tiap minggu, kurang terlibat dalam
proses mengajar anak (bertanya, meminta anak membuat perkiraan, mengaitkan buku
cerita dengan bermain) selama membacakan buku. Mereka menilai dirinya menikmati
saat membacakan buku, serta membuat banyak koneksi sosial saat membaca buku
(melalui humor dan menjadikan pengalamannya sebagai referensi anak) agar anak
tetap mempertahankan keterlibatannya. Saat bermain orangtua lebih banyak
memberikan perintah untuk mengarahkan perilaku anak, dan sedikit memberi anak
pilihan. Sementara itu orangtua dengan tingkat pendapatan menengah, membacakan
buku cerita lebih sering yaitu tiap hari, dan lebih terlibat dalam mengajar anak,
memberi anak pilihan dan anak didorong untuk berpartisipasi dalam diskusi dan
menceritakan pengalamannya.
Uraian di atas memberi informasi bahwa aktivitas literasi di rumah yang dipilih
oleh orangtua dipengaruhi oleh budaya. Pada budaya barat membaca buku dan
27
bermain adalah dua konteks sosial yang banyak dipergunakan orangtua untuk
mengembangkan literasi dasar.
6. Program Pengembangan Literasi Dasar
Intervensi khusus banyak dibuat dalam upaya untuk menjamin tercapainya
kemampuan literasi bagi anak-anak yang belajar membaca dan menulis permulaan,
juga intervensi bagi anak-anak yang tergolong lamban atau mengalami hambatan
untuk mengikuti pelajaran baca-tulis. Penelitian berikut menguji pengaruh atau
efektivitas program atau intervensi yang telah dilakukan:
Penelitian terhadap anak usia 3-4 tahun yang dilakukan oleh Yaden dkk. (1999)
menunjukan bahwa anak yang mendapat rangsangan membaca buku, aktif dalam
aktivitas literasi memiliki kemampuan emergent literacy yang lebih tinggi.
Anak tidak mudah membedakan apakah dua kata mulai dengan fonem yang
sama atau fonem yang berbeda (misalnya pig dan peak), sehingga anak perlu
diajarkan kemampuan kesadaran fonemik (phonemic awareness). Padahal menurut
Hoff (2005) kesadaran fonemik ini merupakan prediktor kuat bagi kemampuan
membaca. Kesadaran fonemik diajarkan dengan melatih anak mengenali fonem (awal,
tengah, akhir) dari kata yang disebutkan dalam tulisan, nyanyian, puisi. Pelatihan
kesadaran fonemik yang disebut Sound Foundation, terbukti berpengaruh pada
kemampuan membaca. Anak yang mendapat pelatihan kesadaran fonemik memiliki
kemampuan membaca lebih tinggi dibandingkan anak yang tidak mendapat pelatihan.
Pelatihan ini juga membuat anak mampu membaca dengan baik pseudowords yaitu
kata-kata tak bermakna (Byrne dkk., 2000). Dengan demikian proses pengajaran
membaca menulis yang efektif harus meningkatkan kemampuan kesadaran fonemik.
Kesadaran fonemik (phonemic awareness) dapat ditingkatkan melalui invented
spelling, yaitu suatu cara merangsang anak menemukan sendiri cara pengucapan
(spelling) yang tepat dengan membandingkan pengucapannya sendiri dengan
pengucapan anak lain yang lebih mampu. Dalam invented spelling, tugas anak adalah
28
membaca 2 kata kemudian anak diminta untuk menuliskan kembali dua kata tersebut.
Dalam hal ini mereka harus memperkirakan jumlah dan tipe huruf dari kata yang
dibaca, membandingkan pengucapannya dengan pengucapan anak lain,
mengevaluasi mana spelling yang paling tepat, dan menjelaskan cara pengucapan.
Tugas ini menciptakan konflik kognitif yang meminta anak memilih cara pengucapan
yang memunculkan zona of proximal development (Martins & Silva, 2006).
Menurut Hoff (2005) pengalaman anak menyanyi, permainan suku kata dan
kata meningkatkan kesadaran fonologis dalam hal mengidentifikasi bunyi awal dan
akhir dan membuat anak membaca lebih baik di usia 6 tahun. Program pengajaran
membaca dan menulis yang melatih phonemic awareness dan letter sound knowledge,
mampu meningkatkan kemampuan membaca anak agar standar rata-rata tercapai.
(Hetcher dkk., 2006).
Melihat masih banyak anak yang mengalami kesulitan untuk menulis dengan
tangan, maka dibuat program pengajaran tambahan yang melatihkan cara menulis
huruf-huruf dengan tepat. Pengajaran menulis disusun secara sistimatis dan hirarkhis,
sehingga penyampaian materi mempertimbangkan tingkat kesulitan dan frekuensi
pemakaian huruf. Latihan dimulai dengan 3 huruf yang paling mudah dan paling sering
digunakan, selanjutnya meningkat pada 3 huruf yang lebih sulit. Efektivitas program ini
terbukti efektif meningkatkan pengetahuan tentang huruf dan kemampuan menulis.
Program ini merupakan prediktor paling kuat bagi kemampuan menulis tangan
(Graham dkk., 2000).
Menyadari pentingnya peran dan kontribusi lingkungan rumah dan orangtua,
maka Burgess dkk. (2002) menyatakan bahwa dibutuhkan penelitian lebih lanjut untuk
mengidentifikasi cara terbaik interaksi orangtua dan anak agar memaksimalkan
keterampilan literasi anak. Program-program intervensi yang bertujuan untuk
mengoptimalkan fungsi orangtua agar dapat berperan seperti seharusnya telah
berkembang. Hal ini tentu dipicu oleh fakta bahwa tidak semua orangtua mengerti
bagaimana cara memberikan stimulasi untuk pengembangan literasi dasar anak.
29
Begitu banyak program intervensi yang sudah diteliti efektifitasnya beberapa
diantaranya adalah; a) program intervensi dari Cronan dkk. (1996) yang memberikan
intervensi intensif 18 kali pertemuan untuk dapat memberi pengaruh signifikan
terhadap peningkatan kemampuan orangtua membimbing anaknya, b) workshop bagi
orangtua untuk meningkatkan keterlibatan orangtua dalam aktivitas literasi di rumah
(Saint-Laurant, Giasson, 2005), c) program words to go, melatih orangtua dalam hal
kemampuan membuat kata, mengeja, dan membaca, d) fast start reading, melatih
orang tua dan anak untuk membaca lancer (Rasinski, 2005).
Penelitian di atas menunjukkan bahwa tidak hanya anak yang membutuhkan
pembelajaran literasi dasar, orangtua juga perlu belajar untuk dapat membantu anak
mereka mengembangkan kemampuan literasi dasar.
B. Keluarga Sebagai Konteks Pengembangan Literasi Dasar Anak.
1. Keluarga
Menurut Berns (2007) keluraga diartikan sebagai dua atau lebih orang yang
memiliki ikatan dan menyatu dalam suatu rumah tangga. Secara struktur keluarga bisa
dibedakan menjadi keluarga inti dan keluarga besar, keluarga inti hanya terdiri dari
orangtua dan anak sengkan keluarga besar adalah keluarga inti yang tinggal bersama
sanak saudaranya. Keluarga memiliki fungsi sebagai penghasil keturunan,
sosialisasi/pendidikan, tugas peran sosial, dukungan ekonomi dan emosional.
Keluarga yang dapat menjalankan fungsinya akan menciptakan lingkungan yang
sehat, sebaliknya keluarga yang kurang berfungsi beresiko memunculkan masalah.
Dalam keluarga terdapat pola kebiasaan yang merupakan hasil dari interaksi antar
individu di dalamnya, juga interaksi keluarga dengan lingkungan sosial di sekitarnya.
Kebiasaan atau aktivitas literasi akan berbeda-beda tergantung pada latar belakang
budaya.
30
2. Faktor-Faktor Keluarga
Penelitian tentang literasi dasar yang sudah dilakukan secara umum mengkaji
pengaruh kondisi lingkungan rumah dan efektivitas program pendidikan di prasekolah
(kelompok bermain atau taman kanak-kanak) terhadap perkembangan literasi dasar.
Dari penelitian-penelitian itu dapat disimpulkan bahwa terdapat beberapa faktor yang
pengaruhnya tergolong besar, yaitu:
a. Aktivitas Literasi; merupakan mediator diantara stimulasi di rumah dan program
prasekolah dengan perkembangan literasi dasar anak. Adapun bentuk aktivitas
literasi dapat berupa:
i. membaca buku cerita : merupakan prediktor perkembangan bahasa (ekspresif
dan reseptif) bila pembaca cerita melakukan metalingual utterences (Deckner
dkk, 2006). Anak yang mendapat rangsangan membaca buku, aktif dalam
aktivitas literasi memiliki kemampuan emergent literacy yang lebih tinggi
(Yaden dkk.,1999; Levy dkk., 2006; Burgess, 2002; Raikes dkk., 2006,
Stephenson dkk., 2008, Aram dkk., 2006; Sonnenshein & Munsterman, 2002).
ii. mengajak anak bercakap-cakap : memberikan verbal scaffolding (Dieterich
dkk., 2006)
iii. bermain terkait huruf, kata (Evans dkk., 2000; Stephenson dkk., 2008)
iv. mengajari pengetahuan tulisan; mengenalkan bunyi huruf, nama alphabet
(Senechal & LeFevre, 2002)
v. mengajari anak menulis (Graham dkk., 2000).
b. Interaksi orangtua-anak saat aktivitas literasi; bagaimana perilaku orangtua dalam
menciptakan pola interaksi menentukan efektif tidaknya proses aktivitas literasi.
Beberapa pola interaksi yang berpengaruh positif adalah sikap responsif (Roberts
dkk., 2005), interaksi afektif, metalingual utterence (Deckner dkk., 2006; Kang dkk.,
2009), verbal scafolding (Diertrich dkk., 2006), strategi membaca buku dan
sensitivitas terhadap kebutuhan anak (Roberts dkk., 2005).
31
c. Keteraturan rutinitas keluarga; rutinitas yang teratur mengembangkan perilaku positif
(Churchill & Stoneman, 2004) dan berkaitan dengan kegiatan literasi di rumah
(Serpell, 2002; Johnson dkk., 2008). Semakin teratur kondisi keluarga di rumah
semakin besar kemungkinan orangtua terlibat dalam aktivitas literasi bersama anak
dan semakin tinggi kemampuan literasi dasar anak (Weigel dkk., 2010)
d. Karakteristik Orangtua; orangtua membantu anak dalam mencapai kemampuan
literasi dasar dengan bermacam-macam cara dan tingkat keterlibatan yang
bervariasi. Hal ini dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu:
i. Nilaii/keyakinan; bagaimana orangtua memandang pentingnya dan cara yang
tepat mengembangkan literasi dasar merupakan nilai yang difahami dan
diyakininya dan mempengaruhi perilaku orangtua dalam mengembangkan
kemampuan literasi dasar anak (Sonneschein & Baker, 2005; Lynch dkk., 2006;
Weigel dkk., 2006).
ii. Sikap; bagaimana orangtua memiliki sikap terhadap membaca berpengaruh
terhadap prestasi anak membaca (Park, 2008).
iii. Pendidikan, pekerjaan, pendapatan; pengaruh pendidikan orangtua terhadap
kemampuan anak membaca dimediatori oleh kondisi literasi di rumah (Park,
2008), sedangkan ketiga faktor itu sebagai sumberdaya keluarga memprediksi
aktivitas literasi di rumah (Lopez, 2007). Namun pengaruh pendidikan dan
status ekonomi lebih kecil daripada pengaruh aktivitas literasi di rumah
(Melhuish dkk., 2008).e. Media Massa dan Teknologi; perkembangan teknologi
yang pesat menempatkan media dan alat komunikasi canggih semakin
memasyarakat. Hal ini memunculkan besarnya pengaruh media dan teknologi
terhadap literasi sehingga era sekarang lebih dikenal dengan era literasi baru
atau multi literasi. Review yang dilakukan Moses (2008) terhadap 14 penelitian
tentang pengaruh menonton televise terhadap kemampuan literasi dasar
menunjukkan bahwa menonton televisi berpengaruh moderat dalam
meningkatkan kemampuan membaca pada anak. Lebih lanjut Kamil, Intrator,
32
dan Kim (dalam Langkshear & Knobel, 2003) dalam reviewnya terhadap 350
artikel menyimpulkan bahwa pengaruh penggunaan multimedia memfasilitasi
terjadinya pembentukan kemampuan kognitif dan tercapainya hasil belajar.
3. Keterlibatan Orangtua
a. Pentingnya Peran Orangtua dalam Perkembangan Literasi Dasar
Penelitian beberapa dekade menunjukkan bahwa anak memperoleh manfaat
dari dukungan dan dorongan orangtua terhadap pendidikan anak. Keterlibatan
orangtua dalam bentuk aktivitas terbukti lebih penting untuk menolong anak mencapai
keberhasilan sekolah daripada struktur keluarga seperti status ekonomi, pendidikan
orangtua, ukuran keluarga, umur anak, suku. Hal ini mengingat berbagai keluarga
mengkompensasikan kekurangan secara ekonomi dengan memperkuat dalam hal
sikap dan energi untuk memberikan dukungan dan pemantauan terhadap pendidikan
anak (Banks, 2004)
Orangtua adalah orang signifikan pertama bagi anak dan merupakan pendidik
yang memberi kontribusi sejak sangat dini terhadap perkembangan anak. Paratore
(2003, dalam Reutzel dkk., 2006) menyatakan bahwa orangtua memberi kontribusi
yang sangat kuat terhadap kesuksesan anak dalam belajar literasi. Melhuish dkk.
(2008) menambahkan bahwa pola asuh orangtua dan lingkungan rumah berpengaruh
signifikan terhadap perkembangan anak, mengingat orangtua berperan besar
terciptanya proses belajar dan mengajar suatu skill tertentu. Anak diajarkan misalnya
hubungan bunyi dan bentuk huruf, anak juga dimotivasi orangtua misalnya belajar cara
belajar serta anak menginternalisasikan nilai dan harapan orang tua melalui aktivitas
literasi di rumah. Pengaruh lingkungan rumah yang responsif terhadap anak
berpengaruh signifikan dalam meningkatkan kemampuan bahasa (reseptif maupun
ekspresif) dan kemampuan literasi (Roberts, J. dkk., 2005). Sejalan dengan pendapat
ini adalah pendapatnya Li, H. dan Rao, N (2000) yang penelitiannya menyimpulkan
bahwa di Negara yang berbahasa ibu China (Beijing, Hongkong dan Singapura) peran
33
dan pengaruh orang tua terhadap pengembangan literasi bahasa China sangat
signifikan. Literasi China yang tergolong sulit, membuat orangtua berusaha
mengajarkannya sejak dari rumah dan sejak prasekolah.
b. Aktivitas Literasi Orangtua-anak
Dalam rangka pengembangan kemampuan literasi dasar di rumah, berbagai
macam aktivitas dapat dilakukan oleh orangtua. Contohnya berupa membacakan buku
cerita dan mengeksplorasi materi bacaan dengan anak, memberi anak kesempatan
untuk menceritakan kembali cerita yang dibaca, meniru cara membaca orangtua serta
mengeksplorasi cara menggambar dan menulis. Selain itu mengajak bernyanyi dan
berpuisi, bermain peran serta menciptakan lingkungan yang kondusif dengan material
dan instruksi yang memadai. Reese dkk. (2010) dalam penelitiannya membagi
keterampilan orang tua yang dapat diberi intervensi menjadi tiga, yaitu intervensi untuk
mengembangkan keterampilan dalam konteks membacakan anak buku cerita,
mengajak anak bercakap-cakap, dan mengajari anak menulis. Sementara itu Green
dkk. (2006), beberapa strategi untuk meningkatkan kemampuan literasi dasar anak
adalah membacakan buku dengan keras dan bersifat interaktif, meningkatkan
pemahaman anak terhadap konsep tulisan, memberi anak kesempatan untuk
mencorat-coret/menulis, mengenalkan dengan huruf, nama alfabetnya, bunyinya serta
meningkatkan keterampilan fonologis.
Hasil penelitian PIRLS 2006 di 45 negara yang diteliti menunjukkan bahwa
anak yang berasal dari keluarga yang menstimulasi literasi dasar memiliki kemampuan
literasi yang lebih tinggi. Lingkungan rumah yang kondusif memiliki karakteristik
orangtua mempunyai kebiasaan membaca, memiliki banyak buku bacaan, terlibat
dalam aktivitas literasi di rumah sejak dini. Selain itu kemampuan literasi dasar anak
menjadi prediktor bagi kemampuan literasi anak di kelas 4
(www.iea.nl/pirls20060.html). Penelitian Hwa Wei Ko dan Yi Ling Chan (2009),
menunjukkan bahwa kemampuan dasar literasi anak dan jumlah buku yang dimiliki di
34
rumah merupakan prediktor paling penting bagi pencapaian kemampuan membaca di
usia 9-10 tahun (sekolah dasar).Sementara itu Barbara Bush (2009) menyatakan
pendapatnya bahwa bagi anak rumah adalah sekolah pertama, orangtua adalah guru
pertama dan membaca adalah pelajaran pertama. (www.barbarabushfoundation.com).
Dengan demikian bila kemampuan literasi dasar distimulasi sejak dini maka dapat
dipastikan anak mampu menguasai literasi selanjutnya dengan lebih mudah. Stimulasi
dini literasi dasar adalah solusi bagi masalah rendahnya kemampuan literasi anak di
sekolah dasar.
Keterlibatan orangtua dalam aktivitas literasi memberi pengaruh yang signifikan
dalam pengembangan literasi dasar anak. Beberapa penelitian berikut menunjukkan
hal ini:
1. Anak belajar dengan lebih baik bila dalam konteks relasi orangtua-anak. Orang
yang berbagi emosi positif dalam keseharian seperti halnya orang tua, akan
memberi panduan dalam aktivitas anak. Orangtua yang memiliki keterlibatan
terhadap aktivitas leterasi anak akan aktif memberi arahan pada anak, sehingga
selanjutnya akan berlanjut meski tanpa arahan (Mullis dkk., 2004).
2. Penelitian menunjukkan bahwa rangsangan berupa membacakan cerita dan
memberi penjelasan arti kata-kata dalam cerita, tidak berpengaruh signifikan
terhadap peningkatan kosa kata pana anak usia 5-7 tahun (Penno dkk., 2002).
Pengalaman literasi di rumah yang menjadi prediktor kemampuan membaca
adalah kegiatan yang bersifat aktif melakukan eksplorasi atau berpartisipasi
misalnya membaca sendiri, menulis sendiri sedangkan kegiatan literasi di rumah
yang pasif seperti dibacakan cerita tidak menjadi prediktor langsung kemampuan
membaca. Selain itu diperoleh juga pola perkembangan kemampuan membaca
sesuai dengan perkembangan usia, pada usia 4 tahun anak membaca huruf-huruf,
usia 5 tahun membaca satu atau dua kata, dan pada usia 6 tahun membaca
sebenarnya (Levy dkk., 2006).
35
3. Pengalaman dibacakan cerita dapat menjadi prediktor bagi perkembangan bahasa
(ekspresif dan reseptif). Bila pembaca cerita (orangtua) memberikan metalingual
utterances (ungkapan dalam percakapan yang mengarahkan anak untuk
memperhatikan bahasa itu sendiri) perkembangan bahasa anak lebih meningkat
dan minat anak terhadap membaca menjadi lebih tinggi, untuk kemudian
mendukungnya untuk menguasai kemampuan membaca (Deckner dkk., 2006).
4. Penelitian lain menunjukkan bahwa orangtua yang memberikan verbal scaffolding
(bertanya, mengarahkan, mendemonstrasikan sesuatu untuk mengembangkan
konsep objek, orang, aktivitas dan fungsi) terbukti mempengaruhi secara signifikan
perkembangan bahasa. Kemudian verbal scaffolding ( pada usia 3 tahun) dan
bahasa (pada usia 4 tahun) menjadi prediktor signifikan untuk kemampuan
decoding (pada usia 8 tahun). Selanjutnya kemampuan decoding menjadi prediktor
yang signifikan kemampuan memahami bacaan pada usia 10 tahun. Dengan
demikian verbal scaffolding yang diberikan seorang ibu terhadap anaknya terbukti
meningkatkan kemampuan bahasa, kemampuan bahasa ini minginkatkan
kemampuan decoding, selanjutnya kemampuan decoding meningkatkan
kemampuan memahami bacaan. (Dieterich dkk., 2006).
5. Keterlibatan orang tua dalam program pengembangan literasi dasar yang dilakukan
terhadap anak usia kelas satu, menunjukkan bahwa kelompok anak yang
orangtuanya terlibat dalam program mendapat skor kemampuan dasar literasi lebih
tinggi daripada kelompok anak yang orangtuanya tidak terlibat (Reutzel dkk, 2006).
Orang tua yang mendapat pelatihan dan pendampingan tentang metode
membacakan buku pada anak mereka, terbukti berpengaruh terhadap peningkatan
kemampuan bahasa dan perkembangan konseptual anak. Semakin meningkat
frekuensi pelatihan dan pendampingan terhadap orang tua semakin tinggi
peningkatan kemampuan bahasa dan perkembangan konseptual anak (Cronan
dkk., 1996).
36
6. Peran ibu lebih banyak diteliti daripada peran ayah terhadap pengembangan
literasi anak mengingat pada mayoritas komunitas hubungan ibu dengan anak
lebih dekat dibandingkan hubungan dengan ayah. Weigel dkk.(2006)
membandingkan bahwa ibu yang tergolong fasilitatif memiliki keterlibatan dalam
aktivitas literasi seperti membacakan buku, menulis dan juga menjadi contoh
sebagai yang menyukai membaca, lebih berpengaruh dalam meningkatkan
kemampuan literasi anak. Sedangkan ibu yang tergolong konvensional kurang
memiliki keterlibatan dalam aktivitas literasi yang bervariasi, lebih banyak
melakukan pengembangan literasi melalui rutinitas sehari-hari seperti mengerjakan
pekerjaan rumah, berbelanja. Beberapa penelitian menelaah peran ibu sebagai
pemberi stimulasi berupa ungkapan atau sering disebut metalingual utterences.
Ungkapan dalam percakapan yang mengarahkan anak untuk memperhatikan
bahasa itu sendiri terbukti meningkatkan perkembangan bahasa anak dan minat
terhadap membaca untuk kemudian mendukungnya untuk menguasai kemampuan
membaca (Deckner dkk, 2006). Pengaruh ungkapan ibu saat membaca buku
berpengaruh terhadap kemampuan anak memberi respon dan menceritakan
kembali isi buku, dalam hal ini ibu menjadi model bagi anak (Kang, J.Y dkk., 2009).
Selain itu ibu juga pemberi arahan lewat pertanyaan atau demonstrasi untuk
menembangkan konsep tentang objek, orang, aktivitas dan fungsi yang biasanya
disebut verbal scaffolding (Dietrich, 2006). Ibu juga menggunakan komunikasi
scaffolding sebagai strategi membaca (Kang, J.Y dkk., 2009). Peran ibu yang lain
adalah dalam hal sensitivitas terhadap kebutuhan anak (maternal sensitivity) dan
strategi membaca buku (reading strategy) untuk mempertahankan keterlibatan dan
fokus anak pada membaca buku. Kedua peran ini berhubungan sedang dengan
perkembangan kosakata bahasa anak (Roberts dkk., 2005). Kemampuan ibu
dalam membaca ternyata juga berhubungan dengan kosakata bahasa ekspresif
dan kesadaran fonologis (Johnson, A.D. dkk, 2008).
37
Dengan besarnya pengaruh lingkungan rumah dan orangtua, tidak berarti
kondisi anak sendiri tidak punya peran dalam pengembangan literasi dasar mereka.
Minat dari dalam diri menentukan kualitas interaksi dengan orangtua saat membaca,
perolehan kemampuan bahasa serta perkembangan literasi dasar (Deckner dkk.,
2006). Inisiatif anak usia 5-6 tahun untuk terlibat dalam aktivitas literasi lebih meningkat
dibandingkan saat usia 4 tahun, namun dibandingkan inisiatif anak, dukungan dan
arahan orangtua lebih berpengaruh terhadap peningkatan kemampuan literasi dasar
anak. Aktivitas literasi di rumah yang memberikan pengaruh signifikan adalah yang
bersifat aktif melakukan, seperti membaca dan menulis sendiri, sedangkan aktivitas
yang pasif seperti dibacakan cerita tidak memiliki pengaruh signifikan (Levy, 2006).
Senada dengan hal ini Burgess (2002) menyatakan bahwa efek signifikan dapat
diperoleh bila anak aktif memanipulasi objek media belajar.
Dari penelitian-penelitian di atas dapat disimpulkan bahwa orangtua adalah
orang signifikan bagi anak, yang memberi kontribusi besar bagi kesuksesan anak
belajar literasi dasar. Keterlibatan orangtua dalam bentuk aktivitas bersama anak
sangat penting untuk mendukung pendidikan anak. Pengaruh dukungan orangtua lebih
besar daripada minat dan inisiatif anak sendiri. Perilaku orangtua yang memberi
kesempatan pada anak untuk aktif berpartisipasi saat melakukan aktivitas literasi
bersama berpengaruh signifikan terhadap perkembangan literasi dasar anak. Bentuk
keterlibatan orangtua dapat berupa menstimulasi perkembangan bahasa,
membiasakan membaca buku, mengajak anak menggambar dan menulis.
C. Landasan Teori Pencapaian Literasi Dasar dalam Konteks Keluarga
Dalam menjelaskan bagaimana konteks keluarga berpengaruh terhadap
pengembangan literasi dasar anak prasekolah, digunakan teori ekologi dan sosio-
kultural sebagai kerangka teori. Sedangkan untuk menjelaskan proses yang terjadi
dalam internal anak secara kognitif digunakan teori perkembangan kognitif dari Piaget.
38
1. Teori Perkembangan dan Pemerolehan Bahasa
Anak dini usia memperolah kemampuan bahasa dengan sangat cepat dan
hampir tanpa usaha keras selama tiga atau empat tahun pertama (Gleason, 1998).
Pada bayi baru lahir sampai usia 2 bulan anak baru dapat menangis. Kemudian usia
2–4 bulan mulai mengoceh, dan pada usia menjelang 1 tahun dapat mengatakan kata
pertama. Pada usia 18–24 bulan anak mulai mengetahui beberapa lusin kata dan
merangkainya dalam kalimat yang pendek atau frase. Dalam usia 2–5 tahun bahasa
anak berkembang dari bahasa ucapan bayi menuju bahasa komunikasi orang dewasa.
Menurut Bjorklund (2005) perkembangan bahasa berkaitan dengan
perkembangan bicara, semakin mampu berbicara semakin kaya bahasanya, juga
semakin kaya bahasanya membuat anak semakin percaya diri untuk banyak berbicara.
Pada masa prasekolah kemampuan bahasa berkembang pesat, seiring dengan
kebutuhan untuk bersosialisasi dan rasa ingin tahunya. Bahkan mereka juga lebih
mudah untuk belajar bahasa selain bahasa ibu, daripada orang dewasa. Dengan
demikian mengajarkan bahasa Inggris sebagai bahasa asing yang penting, lebih tepat
bila dilakukan sedini mungkin. Periode kritis/sensitif untuk belajar bahasa adalah saat
dini usia, dimana fleksibilitas otak masih sangat baik. Perkembangan bahasa akan
mendasari kemampuan membaca, semakin kaya kosakata yang dimiliki maka semakin
mudah anak memaknai tulisan, dan mengerti artinya, pada akhirnya semakin cepat
anak belajar membaca.
Para ahli belum mencapai kesepakatan bagaimana terjadinya perkembangan
bahasa, sehingga memunculkan beberapa macam teori perkembangan bahasa.
Masing-masing memiliki kelebihan namun tidak ada yang merupakan teori yang sudah
lengkap. Perkembangan bahasa tergantung pada faktor kognitif individu dan juga pada
pengaruh lingkungan (Gleason, 1998). Teori nperkembangan bahasa yang digunakan
dalam penelitian ini adalah:
a. Cognitive Theory
39
Menurut teori ini bahasa adalah bagian dari perkembangan kognitif, bergantung
pada perolehan berbagai konsep. Anak belajar dunia sekitar kemudian memberikan
peta bahasa pada pengalaman sebelumnya tentang sekitar tersebut. Misalnya anak
mengenal kucing sebagai binatang yang mengeong, berbulu lembut, dan makan di
dapun; anak membuat konsep kucing lalu memetakan anak kucing pada konsep
kucing. Ahli teori ini meyakini bahwa bahasa hanya salah satu aspek dari kognisi
manusia. Dalam pandangan Piaget bahasa dipetakan ke dalam struktur kognitif
individu, dan prinsip bahasa tidak berbeda dengan prinsip kognitif. Tahapan
perkembangan Piaget dihubungkan dengan munculnya keterampilan bahasa pada
anak. Perkembangan bahasa berjalan paralel dengan perkembangan kognitif,
misalnya perkembangan kemampuan menggunakan satu kata sejalan dengan
perkembangan sensorimotorik pada akhir usia 4 tahun atau awal 5 tahun.
b. Social Interactionist Theory
Dalam teori ini menekankan bahwa perolehan bahasa ditentukan oleh
lingkungan belajar. Bahasa yang didengar anak bayi seringkali berbeda dengan
bahasa untuk orang dewasa. Misalnya untuk bayi, bahasa yang digunakan lebih
sederhana, lebih perlahan, dengan intonasi lebih hidup. Teori ini tidak mengabaikan
adanya faktor neuropsikologis khusus. Faktor biologis, meski diperlukan tetapi belum
cukup untuk meyakinkan bahwa bahasa berkembang. Bahasa adalah alat komunikasi
yang berkembang melalui interaksi dengan manusia lain, sehingga dikenal language
acquisition socialization system (LASS). Teori ini menyatakan bahwa tidak ada periode
kritis untuk pemerolehan bahasa. Beberapa hal dalam bahasa memang lebih mudah
diperlajari pada usia anak daripada dewasa, tetapi ini membuktikan bahwa orang
dewasa adalah pembelajar yang lebih buruk daripada anak.
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa perkembangan bahasa pada anak
usia dini berjalan sangat pesat. Bagaimana perkembangan ini terjadi dapat dijelaskan
dengan tinjauan secara kognitif pada tataran individu dan secara interaksi sosial pada
tataran sosial.
40
2. Teori Perkembangan Kognitif Piaget
Piaget memiliki beberapa asumsi tentang perkembangan kognitif, yang dapat
menjelaskan bagaimana kognitif berkembang dari mulai bayi sampai dewasa serta
bagaimana proses belajar berlangsung (Bjorklund, 2005). Asumsi-asumsi itu adalah:
a. Scheme/Structure
Setiap individu memiliki skema (scheme), yang merupakan struktur kognitif
yang terorganisir sebagai representasi dari pengalaman atau realitas. Skema ini
terbentuk melalui proses manipulasi objek sekitar yang disebut dengan behavioral
scheme, misalnya melempar, memegang, membuka-tutup mainan pada bayi. Proses
ini membuat kognitif memiliki symbolic scheme, yaitu hasil abstraksi dari pengalaman
menjadi suatu image dan verbal code. Setelah anak memasuki usia sekolah, skema
anak menjadi operasional yaitu melakukan aktivitas mental yang bersifat internal
seperti menjumlah dan mengurangi. Kemampuan operasional ini memungkinkan anak
untuk memanipulasi informasi (berbentuk image dan verbal code) dan berpikir logis
tentang hal-hal yang terjadi di lingkungan dan masalah yang dihadapinya.
b. Intrinsic Activity
Anak bukanlah organisme yang pasif dan menunggu stimulasi lingkungan untuk
berperilaku. Anak adalah organisme aktif yang mencari stimulant dan memiliki rasa
ingin tahu dan melakukan eksplorasi. Anak memiliki Intrinsic Activity, yaitu rasa ingin
tahu yang membuatnya selalu mencari tahu untuk memahami sesuatu lebih baik.
c. The Constructive Nature of kognitif
Anak adalah constructivist yang secara aktif membentuk pemahaman baru
tentang dunianya berdasarkan pengalaman yang dialaminya sendiri. Kognisi selalu
berkembang karena proses konstruktif.
d. Functional Invariant
Anak dapat mengkonstruk skema baru karena mereka memiliki dua fungsi
intelektual bawaan berupa organisasi dan adaptasi (organization and adaptation).
Organisasi adalah mengkombinasikan skema yang dimiliki dengan pengalaman baru
41
untuk membentuk skema baru yang lebih kompleks. Adaptasi adalah proses
penyesuaian skema dengan tuntutan lingkungan melalui asimilasi dan akomodasi.
Asimilasi terjadi bila skema yang dimiliki dijadikan sebagai dasar untuk memahami
suatu pengalaman atau masalah. Namun bila skema yang ada tidak berhasil
memahami pengalaman atau masalah dengan tepat maka terjadilah akomodasi yaitu
membentuk pemahaman yang baru yang lebih tepat.
e. Equilibration
Anak selalu mempertahankan kognitifnya dalam keadaan seimbang,
equilibrium. Bila informasi baru tidak sesuai dengan skema yang dimiliki maka terjadi
disequilibrium, yang membuat organisme tidak puas dan melakukan tindakan untuk
mengubah skema yang ada. Dengan demikian kognitif menjadi berubah dan kembali
melakukan organisasi skemanya yang baru dan lebih adaptif/tepat, kognitifpun
kemudian terus berkembang.
Selain asumsi di atas Piaget juga menyatakan usia prasekolah berada pada
tahap praoperasional (2-7 tahun), tahap ini terdiri dari dua fase usia 2-4 tahun dan 4-7.
Pada usia 2-4 tahun dicirikan dengan adanya fungsi semiotik (simbol), yang dapat
dilihat pada beberapa gejala :
a. Membuat imitasi yang secara tidak langsung dari bendanya sendiri, contoh: anak
bermain kue-kuean sendiri, pasar-pasaran.
b. Permainan simbolis, seperti menjadikan mobil-mobilan dengan balok-balok kecil.
Permainan simbolis dapat merupakan ungkapan diri anak.
c. Menggambar. Anak dapat menggambar realistis tetapi tidak proporsional. Contoh:
gambar rumah dan pepohonan tegak lurus di lereng pegunungan.
d. Mengetahui bentuk-bentuk dasar geometris: bulat, bundar, persegi.
e. Bahasa ucapan. Anak mulai menggunakan suara sebagai representasi benda atau
kejadian. Perkembangan bahasa sangat memperlancar perkembangan konseptual
anak dan juga perkembangan kognitif anak. Menurut Piaget: perkembangan
bahasa merupakan transisi dari sifat egosentris ke interkomunikasi sosial.
42
Pada usia 4-7 tahun dicirikan dengan berkembangnya pemikiran intuitif.
a. Pemikiran anak berkembang pesat secara bertahap ke arah tahap konseptualisasi.
b. Belum dapat berpikir multiAspek.
Selain pemikiran semiotic dan pemikiran intuitif, terdapat pula ciri-ciri pemikiran
lain berupa:
a. Reversibilitas belum terbentuk. Anak belum mampu untuk meniadakan suatu
tindakan dengan memikirkan tindakan tersebut dalam arah yang sebaliknya.
b. Pengertian kekekalan belum lengkap.
c. Klasifikasi figuratif.
d. Relasi ordinal/serial. Anak masih kesulitan mengurutkan suatu seri.
e. Kausalitas, banyak bertanya “mengapa?”
Menurut Piaget (dalam Shaffer, 1994) aspek perkembangan kognisi anak
prasekolah berada pada tahap praoperation artinya belum mampu melakukan operasi
mental yang memungkinkannya untuk berpikir logis. Mereka baru belajar
menggunakan bahasa dan menggambarkan objek dengan imajinasi dan kata-kata,
mengklasifikasikan objek menurut tanda tertentu, cara berpikirnya masih egosentris
dan belum dapat menerima pandangan orang lain. Mampu mengklasifikasikan objek
menurut bentuk, warna, ukuran dan tanda. Konsep mereka berkembang dari konkrit ke
abstrak, dari sederhana ke kompleks, dari spesifik ke umum.
Pengertian anak tentang orang, benda, situasi meningkat pesat seiring
perkembangan kemampuan bertanya, menjelajah, melihat hubungan, berbicara.
Pengertian baru muncul dari arti-arti baru yang diasosiasikan dengan arti-arti yang
sudah dipelajari
Perkembangan kognitif anak prasekolah yang berada pada tahap praoperation
(belum mampu berpikir logis) membutuhkan kesempatan dan kebebasan untuk
mengembangkan daya nalar dan logika. Oleh karena itu agar kemampuan logika anak
berkembang, maka anak perlu lebih dulu menguasai konsep-konsep yang hanya akan
dapat mereka bangun melalui eksplorasi sensoris. Melalui eksplorasi dan interaksi
43
dengan dunianya ini akan membuat anak belajar dengan cara yang terbaik. Anak akan
belajar tentang volume ketika menuangkan pasir ke dalam ember atau gelas. Mereka
akan menarik kesimpulan dan membangun suatu konsep dari pengalamannya dan
eksperimennya.
Dengan mempertimbangkan karakteristik perkembangan anak, dan bagaimana
anak belajar di atas maka dapat disimpulkan bahwa proses anak belajar harus
merupakan belajar aktif, dengan melibatkan multi sensoris, menggunakan multi
metode dan multi media, serta menyenangkan bagi anak.
3. Teori Sosiokultural (Vygotsky)
Teori ini dirumuskan pertama kali oleh Lev Vygotsky (1978) yang menekankan
lingkungan sosial sebagai fasilitator proses belajar dan perkembangan. Lingkungan
sosial mempengaruhi kognisi melalui alat berupa objek budaya, bahasa, symbol dan
institusi sosial. interaksi sosial, kultural-historikal dan faktor individu adalah faktor kunci
untuk perkembangan manusia. Interaksi dengan orang lain dalam lingkungan
(kolaborasi, apprientice) merangsang proses perkembangan dan meningkatkan
pertumbuhan kognitif. Tetapi interaksi bukan bersifat tradisional yang memberikan
anak informasi, tetapi anak mentransfer pengalamannya didasarkan pada
pengetahuan dan karakteristiknya dan pengenalan struktur mental mereka. Aspek
Kulturan historis penting karena ini merupakan konteks dimana proses belajar dan
perkembangan terjadi. Sedangkan aspek individu merupakan faktor bawaan yang
mempengaruhi perkembangan. anak yang mengalami disability mental dan fisik akan
menghasilkan cara belajar yang berbeda dengan anak normal. Menurut Vygotsky,
pada dasarnya fungsi mental luhur semuanya terjadi dalam konteks lingkungan sosial,
termasuk yang paling berpengaruh adalah bahasa. Sangat penting untuk menguasai
proses menurunkan pemikiran dan perkembangan budaya melalui symbol seperti
bahasa, angka dan tulisan. Penguasaan terhadap siimbol ini kemudian mempengaruhi
dan mengelola (self regulation) pemikiran dan tindakan.
44
Menurut Vygotsky (1978) perkembangan harus dievaluasi dari perspektif
interaksi anak dan lingkungan dalam empat level yang saling berkaitan, yaitu level
ontogeny, microgeny, philogeny, sociohistorical. Ontogeny melihat perkembangan
pada level individu sepanjang hidupnya. Microgeny melihat perubahan pada periode
waktu tertentu. Phylogeny melihat perubahan pada level species secara evolusi dalam
waktu ribuan atau jutaan tahun. Sociohistorical melihat perkembangan dengan
mengacu pada perubahan pada nilai-nilai, norma, dan teknologi suatu budaya.
Vygotsky menekankan pentingnya memahami bagaimana perkembangan organisme
berubah dalam lingkungan yang berubah. Bila hanya menekankan salah satu dari
organisme atau lingkungan yang mempengaruhi perkembangan anak, maka tidak
dapat diperoleh penjelasan yang adekuat.
Vygotsky mengklaim bahwa bayi dilahirkan dengan beberapa fungsi mental
dasar seperti atensi, sensasi, persepsi dan memori yang dengan pengaruh budaya
secara perlahan meningkat menjadi fungsi mental yang lebih tinggi, lebih baru, dan
lebih memadai. Sebagai contoh, kemampuan memori anak yang awalnya terbatas
menjadi meningkat dengan menginternalisasikan cara atau metode berpikir dan
strategi menyelesaikan masalah seperti membuat catatan. Cara-cara ini akan berbeda-
beda tergantung budaya.
Perspektif sosio-kultural memandang perkembangan kognitif sangat berbeda
dengan perspektif tradisional seperti teori Piaget yang menekankan pola
perkembangan berlaku sama pada semua anak (cognitive universal). Lingkungan
berperan dalam memunculukan perbedaan individual dalam hal lingkungan
mempengaruhi bagaimana anak memandang dunianya, tetapi Piaget tidak
menganggap bahwa lingkungan mempengaruhi perkembangan kognitif anak dalam
area yang besar. Menurutnya, anak yang dibesarkan dalam era informasi akan
memiliki pemikiran yang berbeda dengan anak yang dibesarkan pada jaman berburu,
tetapi masing-masing anak akan menyelesaikan masalah yang dihadapi dalam
kehidupan sehari-harinya dengan menggunakan mekanisme kognitif yang merupakan
45
tipikal spesiesnya. Mekanisme kognitif ini juga berkembang sesuai dengan skedul
tipikal spesiesnya. Sementara itu Vygotsky menganggap bahwa anak berkembang,
khususnya bagaimana belajar berpikir, sebagai fungsi dari sosial budaya dimana anak
dibesarkan.
ZPD (zone of proximal development) adalah perbedaan antara tingkat
perkembangan yang ditentukan oleh pemecahan masalah sendiri dan tingkat
perkembangan yang potensial dicapai oleh pemecahan masalah dibawah bimbingan
orang dewasa atau teman sebaya yang lebih mampu (Vygotsky, 1978, h 86).
Perubahan kognitif terjadi dalam ZPD ketika guru dan murid berinteraksi yang
dimediasi oleh kultur ini menghasilkan perubahan kognitif ketika murid
menginternalisasikannya. Dengan internalisasi maka murid memiliki kesadaran lebih
dari hasil interaksi dengan lingkungan, institusi sosial (Schunk, 2008).
Menurut Siegler (2005) dalam tulisan Vygotsky terdapat dua tema besar yang
mendasari teori perkembangan sosiokultural
1. Perkembangan kognitif berlangsung dalam proses interaksi sosial
interaksi sosial tidak hanya sebagai kekuatan luar yang menimbulkan perubahan
pada individu tetapi sebagai mekanisme integral dari perubahan perkembangan itu
sendiri. Lingkungan tidak hanya memberikan informasi untuk terjadinya
perkembangan dalam diri anak, seperti teori Piaget, tetapi lingkungan sebagai
bagian integral dari perilaku dan pemikiran anak sehingga kognisi anak dan
perilaku anak tidak terpisahkan dari konteks dimana perkembangan berlangsung.
Dengan demikian yang menjadi unit analisis dalam teori Vygotsky adalah anak
dalam konteks, sedangkan dalam teori Piaget adalah individu anak. Perubahan
dalam perkembangan terjadi melalui proses internalisasi berbagi secara sosial.
Terjadi perubahan dan perkembangan fungsi psikologis dua kali dalam tataran
intermental dan intramental, anak melakukan tugas kognitif diawali dengan
bantuan/bimbingan orang lain sampai anak bisa melakukannya sendiri. Dalam
kerangka ini menekankan transfer tanggung jawab kognisi dari orang yang lebih
46
terampil kepada yang kurang terampil. Anak dapat melakukan perilaku yang lebih
rumit jika mendapat bimbingan dari orang dewasa daripada hanya melakukannya
sendiri. Dengan demikian akan terjadi ZPD, yaitu perbedaan hasil yang dicapai bila
anak melakukannya sendiri dan bila terjadi interaksi dengan orang dewasa atau
sebaya yang lebih mampu.
2. Perilaku manusia dimediasi oleh alat budaya (cultural tools), terutama bahasa. Alat
budaya ini terdiri dari peralatan teknik yaitu alat untuk melakukan tindakan di
lingkungan: palu, cangkul, perkakas dll. serta peralatan psikologis yaitu alat untuk
berpikir: bahasa, peta, diagram, system angka, calculator, computer software,
calendar, jam. Peralatan psikologi (Psychological tool) mempengaruhi cara kita
mengorganisasikan dan mengingat informasi, misalnya penggunaan abacus untuk
menghitung. Bahasa tidak hanya alat untuk komunikasi tetapi juga alat untuk
mengendalikan dan mengatur tindakan sendiri; bahasa digunakan merencanakan
tindakan, mengingat informasi, memecahkan masalah dan mengelola perilaku. Hal
ini terbukti dalam fenomena berbicara pada diri sendiri (private speech); berbicara
keras pada diri sendiri ketika eksplorasi dan memecahkan masalah. Dengan
demikian perilaku dimediasi oleh bahasa.
Teori sosiokultural modern telah mengembangkan tema ini dalam berbagai
cara, dua fokus utama adalah dalam hal :
1. Norma kultural dan orang lain mempengaruhi kesempatan yang dimiliki anak untuk
belajar dan berpartisipasi dalam aktivitas.
norma budaya mempengaruhi berbagai aspek dari aktivitas anak sehari-hari
termasuk cara membesarkan, harapan tentang kerja, belajar dan bermain. Selain
itu budaya menentukan bagaimana orangtua, guru memilih dan mengatur aktivitas
dan interaksi sosial yang sesuai dengan anak
2. Kemampuan kognitif yang diperlukan untuk belajar secara sosial dan kultural,
termasuk kemampuan untuk membangun pandangan intersubjektif dan
kemampuan untuk memahami orang lain seperti diri sendiri dalam hal memiliki
47
tujuan, intensi dan mental states. Intersubjectivity memungkinkan untuk berbagi
pemahaman melalui proses atensi dan komunikasi mutual sehingga kemampuan
intersubjectivity yang lebih tinggi menghasilkan belajar lebih baik dibandingkan
intersubjectivity yang lebih rendah. Dengan kemampuan intersubjectivity maka
terdapat 3 bentuk belajar (Tomasello, 1999 dalam Siegler, 2005) yaitu:
a. Belajar meniru (imitative learning); meniru perilaku orang untuk mencapai
tujuan yang sama
b. Belajar dengan instruksi (instructed learning); transfer informasi secara
langsung dan sengaja agar anak mengerti apa yang diajarkan, bisa formal (di
sekolah) bisa informal (di rumah). Anak kemudian menginternalisasikan apa
yang diajarkan untuk kemudian menggunakannya untuk mengatur perilakunya
sendiri.
c. Belajar bersama (cooperative learning); yaitu belajar dengan kerjasama dan
bertujuan memcahkan masalah
4. Teori Ekologi Perkembangan Manusia (Bronfenbrenner)
Menurut teori ini (Bronfenbrenner, 1994) manusia berkembang mengikuti
karakteristik sebagai berikut:
a. Pada fase awal kehidupan secara umum, perkembangan manusia berlangsung
melalui proses yang secara progresif lebih kompleks dalam interaksi timbal balik
antara organism biopsikologis yang bersifat aktif dan berkembang dengan orang-
orang, objek dan symbol-simbol yang ada di lingkungan sekitarnya. Agar menjadi
efektif interaksi harus berlangsung secara teratur pada periode yang lama. Suatu
upaya interaksi secara langsung yang terjadi dalam lingkungan sekitar merupakan
proses meningkatkan (proximal process). Contoh dari proses proksimal ini
ditemukan dalam aktivitas anak-orangtua dan anak-anak, bermain kelompok atau
48
sendiri, membaca, belajar keterampilan baru, kegiatan atletik, dan melakukan
tugas kompleks.
b. Proses proksimal tidak bisa terstruktur, terarah dan terpelihara dengan sendirinya.
Bentuk, kekuatan dan arah dari proses proksimal bervariasi secara sistimatis
sebagai fungsi bersama dari karakteristik orang yang berkembang, lingkungan
tempat proses proksimal terjadi dan hakikat hasil perkembangan.
Manusia hidup mempengaruhi dan dipengaruhi oleh berbagai lingkungan yang
berbeda, sehingga dapat dijelaskan secara sistimatis keterkaitan lingkungan ini satu
dengan lainnya. Terdapat lima lingkungan berbeda yang berpengaruh pada manusia
yaitu:
a. mikrosistem; merupakan lingkungan dimana terjadi pola aktivitas, peran sosial dan
relasi interpersonal yang dialami individu yang berkembang secara langsung
dengan lingkungan sekitar yang dihadapinya. Lingkungan ini contohnya rumah,
sekolah, tempat kerja termasuk di dalamnya keluarga, teman sebaya, komunitas
dan aktivitas yang dilakukan bersama.
b. mesosistem; merupakan keterkaitan dan interelasi antara dua atau lebih
mikrosistem dimana individu berada seperti misalnya rumah dan sekolah, sekolah
dan komunitas. Dengan kata lain mesosistem adalah sebuah system dari
mikrosistem yang menggambarkan bagaimana konteks anak yang signifikan bagi
perkembangan individu terkait satu dengan lainnya.
c. eksosistem; lingkungan dimana individu tidak langsung berpartisipasi tetapi
lingkungan ini berpengaruh terhadap salah satu mikrosistem individu, contohnya
pekerjaan orangtua, jejaring sosial keluarga, dan konteks tetangga-komunitas.
d. makrosistem; merupakan golongan dan subkultur dimana individu berada yang
berpengaruh terhadap system nilai, khasanah ilmu pengetahuan, sumberdaya
material, adat istiadat, gaya hidup, peluang, hambatan.
e. kronosistem; adalah perubahan sementara dalam system ekologi atau dalam diri
individu yang menghasilkan kondisi baru yang berpengaruh pada perkembangan.
49
Perkembangan individu berada dalam konteks perubahan waktu, bagaimana
lingkungan berpengaruh pada anak juga ditentukan oleh peran waktu atau jaman.
D. Pencapaian Kemampuan Literasi Dasar dalam Konteks Keluarga.
Perspektif emergent literacy telah menggantikan perspektif reading readiness
dalam memandang kemampuan literasi anak dewasa ini. Dengan demikian maka
orangtua sudah dapat mulai memberikan rangsangan dan pembelajaran terkait
kemampuan literasi dasar sejak dini usia. Perkembangan kemampuan ini terjadi
secara berkelanjutan yang dapat dijelaskan dengan tinjauan kognitif, sosial-kultural,
serta integrasi keduanya.
Tinjauan kognitif menjelaskan proses peningkatan kemampuan bahasa dan
literasi dasar sebagai faktor internal anak. Perkembangan bahasa mendasari
kemampuan literasi, semakin kaya kosa kata bahasa semakin mudah anak memaknai
tulisan, mengerti artinya, dan semakin cepat belajar membaca. Kosa kata pada anak
berkembang sebagai hasil interaksi potensi biologis dan proses belajar. Proses belajar
terjadi melalui pengalaman belajar atau pembelajaran sehingga anak memiliki
kesempatan melakukan koneksi syaraf. Pada sistem otak terjadi asosiasi antara kata
dan makna yang dipelajarinya.
Setiap anak memiliki potensi bawaan untuk menguasai kemampuan ini namun
potensi ini tetap memerlukan peran lingkungan untuk mendukung optimalisasi
perkembangannya. Anak membutuhkan pengalaman belajar yang diciptakan dalam
interaksi dengan lingkungan agar memungkinkan terjadi proses konstruktif membentuk
pemahaman baru untuk membangun skema kognitifnya. Dalam kognitif anak terjadi
koneksi atau asosiasi antara beberapa objek atau pengalaman.
Tinjauan kognitif lebih menekankan kemampuan literasi dasar sebagai hasil
dari berbagai komponen keterampilan/skill kognitif seperti kesadaran fonologis,
pengetahuan huruf, kecepatan membaca urutan huruf. Keterampilan ini dapat
50
diperoleh dengan pengajaran oleh orangtua atau guru. Oleh karena itu sangat penting
proses pengajaran bagi anak. Pemahaman dengan dasar kognitif ini memberi implikasi
pada cara pandang atau keyakinan orangtua tentang bagaimana cara yang benar
mengembangkan kemampuan literasi anak. Mereka menjadi lebih berorientasi pada
mengajarkan langsung komponen keterampilan, lebih berperan akitif sebagai pemberi
pengetahuan dan anak lebih berperan sebagai penerima pengetahuan. Selanjutnya
anak diarahkan untuk melatih keterampilan ini dengan aktivitas terkait baca-tulis sambil
duduk di meja menghadapi buku dan alat tulis.
Tinjauan sosial-kultural menjelaskan perolehan kemampuan bahasa dan
literasi dasar terjadi dalam konteks kehidupan sehari-hari yang bermakna melalui
keterlibatan aktif dalam aktivitas yang nyata dalam lingkungan mikrosistem yaitu
keluarga. Aktivitas ini diarahkan oleh orang dewasa di rumah terutama orangtua
sehingga tercipta interaksi sosial yang merangsang potensi kognitif, bahasa, dan
literasi dasar anak. Melalui percakapan dengan anak orangtua meningkatkan
kemampuan pengucapan kata dan menambah kosa kata anak kemudian
mengembangkan keterampilan berkomunikasi. Kemampuan bahasa ini mendasari
kemampuan membaca, semakin kaya kosakata yang dimiliki semakin mudah
memaknai tulisan dan semakin cepat belajar membaca. Melalui kegiatan bermain
terkait buku dan tulisan seperti bermain huruf, kata dan membaca buku anak
dikenalkan pada pengetahuan tulisan serta tata cara membaca. Bentuk aktivitas dan
interaksi yang bervariasi merupakan strategi yang dapat disesuaikan dengan kondisi
dan kebutuhan unik masing-masing anak.
Rangsangan kemampuan literasi dasar yang diberikan kepada anak akan lebih
efektif bila terjadi interelasi antara lingkungan primer anak atau lingkungan
mesosistem. MIsalnya interelasi antara keluarga dengan sekolah anak, keluarga
dengan masyarakat sekitar, keluarga dengan teman sebaya anak serta keluarga
dengan media. Hal ini dapat terjadi dalam bentuk aktivitas literasi yang melibatkan
51
kerja sama orangtua dan guru di sekolah taman bermain atau taman kanak-kanak.
Upaya orangtua dapat didukung oleh adanya fasilitas umum di masyarakat yang
memungkinkan orangtua mengajak anak ke perpustakaan atau ke toko buku. Selain itu
dalam keluarga aktivitas literasi dasar juga dapat melibatkan teman sebaya selain
orangtua, untuk meningkatkan ketertarikan anak. Penggunaan media informasi atau
teknologi multimedia juga merupakan cara yang dapat dilakukan orangtua untuk
merangsang perkembangan literasi dasar anak.
Tinjauan sosial-kultural menjelaskan bahwa kemampuan literasi dasar
diperoleh sebagai hasil interaksi dan komunikasi dengan lingkungan sosial. Dalam hal
ini proses belajar terjadi dalam aktivitas interaksi sehari-hari yang bermakna dan
sesuai dengan konteks sosial yang dialami anak. Selanjutnya orangtua adalah orang
yang memberikan arahan dan panduan agar aktivitas menjadi lebih terstruktur dan
sesuai dengan kemampuan dan kebutuhan anak. Dengan demikian anak lebih banyak
diajak dan difasilitasi untuk melakukan aktivitas literasi yang bermakna dan berfungsi
sebagai aktivitas sosial sehari-hari tanpa harus menekankan pada pengajaran
langsung komponen keterampilan kognitif. Selanjutnya orangtua lebih berperan
sebagai fasilitator yang menyemangati dan mengarahkan perkembangan kemampuan
literasi anak.
Tinjauan kognitif dan sosial-kultural secara terintegrasi menjelaskan
bahwa pengembangan literasi dasar anak akan lebih optimal dengan cara yang
terintegrasi antara pendekatan komponen dan pendekatan holistik. Anak dibimbing
untuk mengenali huruf, kata, dan kalimat serta diasah keterampilan dalam hal
kesadaran fonologis, mengeja dan pemahaman. Hal ini dilakukan dalam konteks
sehari-hari yang bermakna seperti membaca buku untuk mengetahui cerita/informasi,
membaca tulisan nama jalan, toko, menu makanan, daftar belanja dll. Anak juga
dibiasakan untuk pergi ke perpustakaan atau ke toko buku untuk memilih sendiri buku
yang disukainya. Dalam merangsang kemampuan menulis anak dapat dibiasakan
52
untuk menuliskan nama sendiri pada benda miliknya, menulis pesan atau mengetik
menggunakan komputer atau telepon genggam. Dengan cara seperti ini anak dapat
memaknai bahwa kegiatan membaca dan menulis adalah kegiatan yang
menyenangkan dan bermanfaat untuk mencapai tujuan sehari-hari. Kemudian anak
termotivasi untuk berlatih meningkatkan keterampilan terkait literasi dan meningkatkan
kemampuannya dalam membaca dan menulis.
Tinjauan terintegrasi kognitif dan sosial-kultural merupakan penjelasan
komprehensif yang memandang proses kognitif dalam tataran individu sebagai proses
yang memberi kontribusi bagi pemerolehan kemampuan literasi dasar sama
pentingnya dengan proses interaksi dan komunikasi dalam tataran sosial. Oleh karena
itu digunakan penjelasan dari teori kognitif Piaget dan teori interaksi sosial dari
Vygotsky untuk saling melengkapi dengan dipayungi oleh teori ekologi Braunfenbrener.
Teori ekologi (Brounfenbrenner, 1994) diaplikasikan sebagai kerangka teori
yang menjelaskan bagaimana perkembangan literasi dasar berlangsung dalam
konteks lingkungan. Menurut teori ini perkembangan kemampuan literasi dasar yang
dimiliki anak sangat dipengaruhi oleh konteks dimana anak berada. Konteks yang
terdekat sampai yang terjauh, yaitu mulai dari keluarga sekolah, teman sebaya dan
komunitas sampai pada budaya. Pengaruh lebih besar diberikan oleh lingkungan
mikrosistem anak yaitu keluarga dan sekolah. Meski demikian pengaruh keluarga
sebagai lingkungan pertama lebih besar dari pada pengaruh sekolah seperti hasil
penelitian Melhuish dkk. (2008). Konteks keluarga potensial untuk menjadi solusi bagi
permasalahan rendahnya kemampuan literasi, menangani anak yang beresiko
mengalami kesulitan belajar, serta mencegah terjadinya kesulitan belajar. Dengan
menciptakan lingkungan yang kaya dengan pengalaman yang mengembangkan
kemampuan literasi anak sedini mungkin maka lingkungan keluarga sudah
menjalankan fungsinya sebagai agen pendidik. Perkembangan literasi dasar anak
berlangsung secara progresif melalui proses interaksi timbal balik antara anak dengan
orang, objek, dan symbol di lingkungan sekitar anak. Oleh karena itu interaksi timbal
53
balik ini merupakan kunci bagi terjadinya proses belajar anak. Interaksi anak dengan
orangtua dalam rutinitas sehari-hari melalui aktivitas bermain dan membaca yang
berlangsung secara terus menerus dalam jangka waktu lama, mendukung terjadinya
proses peningkatan (proximal process) literasi dasar anak. Proses peningkatan
menjadi lebih terstruktur dengan adanya peran dan keterlibatan orangtua yang
mengarahkan dan mengkondisikan lingkungan rumah agar menstimulasi potensi anak.
Karakteristik anak dan kondisi lingkungan mikro, meso, ekso dan makro serta
kronosistem akan menentukan bentuk, arah dan besarnya kemampuan literasi dasar
yang dicapai. Di dalam keluarga sebagai lingkungan mikrosistem, terdapat rutinitas
keluarga yang dapat menciptakan keteraturan dan situasi yang terstruktur yang
mendorong munculnya kebiasaan orangtua melakukan aktivitas literasi bersama
anaknya. Lingkungan mesosistem yang merupakan keterkaitan keluarga dengan
komunitas menciptakan kebiasaan penggunaan fasilitas dan teknologi multimedia
dalam aktivitas literasi anak di rumah. Lingkungan makrosistem yang merupakan
subkultural dimana orangtua berada, berpengaruh besar terhadap pengetahuan yang
diyakininya benar dalam mengembangkan kemampuan literasi anak. Faktor-faktor
rutinitas keluarga, fasilitas dan teknologi multimedia serta keyakinan orangtua tentang
pengembangan literasi anak, berpengaruh pada perkembangan anak juga ditentukan
oleh peran waktu dan jaman. Pada era modern literasi merupakan kemampuan yang
sangat penting, menuntut anak untuk mampu menguasai literasi dengan baik.
Pada tataran kognitif individu proses belajar literasi dasar terjadi karena potensi
memori, perhatian, pemahaman dirangsang untuk dapat berfungsi dengan adanya
pengalaman belajar dengan orangtua. Pengalaman ini dapat berupa pengajaran
langsung seperti diajarkan cara baca-tulis maupun tidak langsung seperti melalui
bermain, membaca buku atau bercakap-cakap. Pengalaman interaksi memungkinkan
potensi anak lebih berkembang yang menumbuhkan rasa ingin tahu yang lebih besar
terhadap objek-objek di sekitarnya. Kondisi ini mendorong anak untuk memiliki minat
terhadap hal baru.yang ada di lingkungannya. Anak menjadi tahu nama objek yang
54
memperkaya kosa kata bahasanya, anak memiliki skema tentang objek dan
pengalamannya. Selanjutnya setiap anak mendapatkan hal baru maka terjadi proses
organisasi dan adaptasi sehingga kondisi kognitifnya selalu seimbang (equilibration).
Dengan demikian skema yang dimiliki anak selalu berkembang terus menerus
mencapai kemampuan yang lebih kompleks. Sesuai karakteristik perkembangan
kognitif anak yang berada pada masa praoperasional, maka proses belajar dimulai dari
tahapan semiotik yaitu berupa permainan simbolis, meniru kemudian menuju tahapan
intuitif yang berupa berpikir hal-hal konsep seperti bahasa. Selain itu juga cara
berpikirnya berkembang dari egosentris menuju pandangan intersubjektif
Teori sosio-kultural (Vygotsky, 1978) digunakan untuk menjelaskan dinamika
hubungan bagaimana lingkungan keluarga sebagai faktor eksternal berpengaruh pada
terciptanya pengalaman belajar dalam diri anak. Perspektif kontemporer sosiokultural,
memandang pengembangan literasi dasar sebagai suatu proses yang bersifat interaktif
antara individu anak dengan lingkungan sosial dan dalam konteks kulturnya.
Bagaimana anak berkembang khususnya bagaimana anak belajar untuk berpikir,
adalah fungsi dari lingkungan sosial dan kultural dimana anak berada. Cara pandang
ini menekankan pada apa yang membuat anak berpikir dengan caranya yang berbeda
dengan orang lain. Perkembangan kognitif anak tak terpisahkan dari konteks kultural.
Nilai-nilai budaya diturunkan pada anak melalui orang tua dan anggota masyarakat
lainnya. Melalui interaksi anak dan orang lain dalam kesehariannya, intelektual anak
berproses untuk mengembangkan kemampuan melakukan tugas dan menyelesaikan
masalah sesuai dengan kekhususan lingkungan sekitar mereka. Orang tua seringkali
tidak menyadari teknik memberi instruksi, tetapi praktek membesarkan anak yang
dipengaruhi nilai-nilai budaya biasanya sesuai dengan bagaimana anak akan hidup di
masa dewasanya (Bjorklund, 2005). Perspektif sosiokultural ini menekankan bahwa
perkembangan dipandu oleh interaksi orang dewasa dengan anak dalam konteks
kultural yang menentukan bagaimana, dimana dan kapan interaksi ini berlangsung.
Menurutnya perkembangan kognitif berlangsung dalam situasi di mana anak
55
memecahkan masalah dengan panduan orang dewasa. Dalam hal ini perkembangan
kognitif berlangsung melalui kolaborasi antara anggota suatu generasi dengan anggota
lainnya.
Lingkungan rumah dan aktivitas orangtua bersama anak memberi kontribusi
yang penting dalam mengembangkan literasi dasar anak. Bagaimana hal ini terjadi
dapat dijelaskan melalui teori sosio-kultural. Vigotsky (1978) menyatakan bahwa
proses belajar lebih merupakan aktivitas sosial, dalam hal ini hadir seseorang yang
memiliki kemampuan, pengetahuan lebih dari anak seperti orangtua atau pengasuh
yang memberikan panduan secara verbal untuk mengembangkan kemampuan aktual
anak menjadi lebih baik (zona of proximal). Orang dewasa menstrukturkan aktivitas
untuk memungkinkan anak terlibat dalam perilaku yang lebih kompleks dari yang bisa
mereka lakukan sendiri. Dalam aktivitas ini tercipta kesempatan anak untuk belajar
melalui imitasi, instruksi dari orangtua, serta kooperatif.
Proses belajar dimediasi oleh bahasa, oleh karena itu kemampuan literasi
selalu diawali oleh perkembangan bahasa. Orang dewasa memberikan pertanyaan,
ungkapan/pernyataan, dan memberi dukungan sehingga terjadi proses belajar dan
kemampuan anak kemudian meningkat. Dengan demikian dalam belajar literasi terjadi
proses dalam dua tataran yaitu tataran sosial dan individual. Tataran sosial merupakan
proses dimana terjadi interaksi dan komunikasi dari orangtua kepada anak. Tataran
individual terjadi saat anak memproses informasi yang disampaikan kepadanya dalam
kognitif, yang membuatnya mampu mengembangkan kemampuan yang dimiliki, dalam
hal ini kemampuan literasi.
Peran interaksi sosial sangat besar dalam perkembangan kognisi anak
sehingga komunitas memegang peran penting dalam proses anak membuat/memberi
makna terhadap apa yang dipelajarinya. Proses belajar yang penting umumnya terjadi
melalui interaksi sosial dengan tutor yang lebih terampil yang menjadi model atau
memberi instruksi verbal bagi anak. Anak berusaha memahami instruksi tutor
(seringkali adalah orangtua atau guru) kemudian menginternalisasikan informasi dan
56
menggunakannya untuk mengarahkan perilakunya sendiri. Meskipun anak terlahir
dengan potensi dasar (atensi, sensasi, persepsi dan memori), secara berangsur
potensi ini berkembang melalui interaksi dalam konteks sosial-kultural sehingga fungsi
mental lebih berkembang menjadi proses mental yang lebih efektif. Oleh karena itu
meski dalam tataran individual terjadi proses kognitif namun tetap dipengaruhi oleh
nilai-nilai dan budaya dimana anak tumbuh seperti halnya cara mengembangkan
memori dapat dilakukan dengan menulis catatan, membuat singkatan menemonic dll.
Sebagai anak mereka adalah individu yang memiliki rasa ingin tahu dan terlibat aktif
dalam proses belajarnya sendiri untuk membangun pemahaman/skema, namun proses
ini tetap diawali oleh interaksi sosial.
Aktivitas literasi orangtua dan anak di rumah merupakan prediktor bagi
perkembangan kemampuan literasi dasar anak prasekolah (Yaden dkk.,1999; Levy
dkk., 2006; Burgess, 2002; Raikes dkk., 2006, Stephenson dkk., 2008, Aram dkk.,
2006; Sonnenshein & Munsterman, 2002). Kegiatan literasi yang dapat menjadi
prediktor adalah yang bersifat aktif melakukan eksplorasi dan berpartisipasi (Burgess,
2002; Levy, 2006). Aktivitas ini dapat berupa membaca buku bersama, mengajak
bercakap-cakap, bermain terkait huruf, kata, mengajari pengetahuan tulisan, mengajari
cara menulis. Keterlibatan orangtua dalam aktivitas literasi berpengaruh signifikan
terhadap pengembangan literasi dasar anak. Hal ini karena dukungan dan arahan
orangtua lebih berpengaruh daripada inisiatif anak (Levy dkk., 2006), anak belajar lebih
baik dalam konteks relasi afektif orangtua-anak (Mullis dkk., 2004) atau dalam inteaksi
afektif yang berkualitas (Sonnenshine & Munsterman, 2002). Selain itu keterampilan
orangtua memberikan penjelasan dan berkomunikasi (metalingual utterance, verbal
scaffolding), strategi orangtua dalam membaca, serta kemamuan orangtua membaca
juga menentukan kemampuan literasi anak (Deckner 2006; Dietrich dkk., 2006; Kang
dkk., 2009; Roberts dkk., 2005; Johnson dkk., 2008).
Lingkungan rumah dan aktivitas orangtua bersama anak memberi kontribusi
yang penting dalam mengembangkan literasi dasar anak. Bagaimana hal ini terjadi
57
dapat dijelaskan melalui teori sosio-kultural. Vigotsky (1978) menyatakan bahwa
proses belajar lebih merupakan aktivitas sosial, dalam hal ini hadir seseorang yang
memiliki kemampuan, pengetahuan lebih dari anak seperti orangtua atau pengasuh
yang memberikan panduan secara verbal untuk mengembangkan kemampuan aktual
anak menjadi lebih baik (zona of proximal). Orang dewasa menstrukturkan aktivitas
untuk memungkinkan anak terlibat dalam perilaku yang lebih kompleks dari yang bisa
mereka lakukan sendiri. Orang dewasa memberikan pertanyaan,
ungkapan/pernyataan, dan memberi dukungan sehingga terjadi proses belajar dan
kemampuan anak kemudian meningkat. Dengan demikian dalam belajar literasi terjadi
proses dalam dua tataran yaitu tataran sosial dan individual. Peran interaksi sosial
sangat besar dalam perkembangan kognisi anak sehingga komunitas memegang
peran penting dalam proses anak membuat/memberi makna terhadap apa yang
dipelajarinya. Proses belajar yang penting umumnya terjadi melalui interaksi sosial
dengan tutor yang lebih terampil yang menjadi model atau memberi instruksi verbal
bagi anak. Anak berusaha memahami instruksi tutor (seringkali adalah orangtua atau
guru) kemudian menginternalisasikan informasi dan menggunakannya untuk
mengarahkan perilakunya sendiri. Meskipun anak terlahir dengan potensi dasar
(atensi, sensasi, persepsi dan memori), secara berangsur potensi ini berkembang
melalui interaksi dalam konteks sosial-kultural sehingga fungsi mental lebih
berkembang menjadi proses mental yang lebih efektif. Oleh karena itu meski dalam
tataran individual terjadi proses kognitif namun tetap dipengaruhi oleh nilai-nilai dan
budaya dimana anak tumbuh seperti halnya cara mengembangkan memori dapat
dilakukan dengan menulis catatan, membuat singkatan menemonic dll. Sebagai anak
mereka adalah individu yang memiliki rasa ingin tahu dan terlibat aktif dalam proses
belajarnya sendiri untuk membangun pemahaman/skema, namun proses ini tetap
diawali oleh interaksi sosial.
Nilai/keyakinan orangtua berpengaruh terhadap bagaimana mereka
berinteraski sepanjang aktivitas literasi dengan anak dan aktivitas seperti apa yang
58
orangtua sediakan untuk anak. Nilai seperti apa yang dipegang oleh orangtua
merupakan makrosistem yang berpengaruh pada anak melalui interaksi orangtua
dengan anak. Menurut Lynch, Anderson, dan Shapiro (2006) orangtua cenderung
bertindak dan berperilaku sesuai dengan nilai/keyakinannya tentang bagaimana
membantu anak menguasai literasi dasar. Keyakinan orangtua yang lebih tradisional
akan berorientasi pada hasil belajar/keterampilan menguasai kemampuan baca tulis.
Keyakinan yang lebih menyeluruh memandang belajar literasi sebagai perkembangan
kontinum sehingga stimulasi perlu dilakukan sedini mungkin (holistic, emergent
literacy). Terdapat hubungan antara nilai/keyakinan orangtua dengan perilaku
menolong anak mereka untuk belajar literasi dasar. Orangtua yang memiliki keyakinan
belajar menyeluruh (holistic, emergent literacy) lebih banyak melakukan dukungan dan
stimulasi (encouragement) dalam membantu anak belajar literasi, sedangkan orangtua
yang memiliki keyakinan tradisional lebih banyak melakukan pembelajaran yang
lengsung mengajarkan keterampilan baca-tulis. Keyakinan yang lebih menyeluruh
mendorong orangtua untuk menganggap penting proses belajar dan membuat mereka
terlibat dalam aktivitas literasi yang bervariasi dengan anak mereka. Kondisi ini
membuat orangtua dengan keyakinan holistik memiliki anak yang lebih sukses dalam
menguasai kemampuan akademis di sekolah. Selain itu pendidikan orangtua
berpengaruh terhadap keyakinan orangtua, orangtua dengan pendidikan lebih tinggi
dari sekolah menengah (secondary school) lebih berkeyakinan menyeluruh dan
orangtua yang pendidikannya kurang dari sekolah menengah lebih berkeyakinan
tradisional.
Sonnenschein dkk. (1997) menyimpulkan bahwa terdapat hubungan antara
keyakinan orangtua tentang bagaimana cara mengajarkan literasi pada anak dengan
aktivitas literasi yang diciptakan orangtua dan kemampuan literasi anak. Dalam
penelitian ini keyakinan orangtua tentang literasi dibedakan menjadi berorientasi pada
kesenangan (entertaintment approach) dan berorientasi pada keterampilan (skill
approach). Orangtua yang berorientasi pada kesenangan lebih sering terlibat dalam
59
aktivitas literasi yang menyenangkan bersama anak seperti bermain kata, membaca
buku. Orangtua yang berorientasi pada keteramilan lebih jarang melakukan aktivitas
literasi yang menyenangkan. Selanjutnya diperoleh hubungan positif pula antara
orangtua yang berorientasi kesenangan dengan kemampuan anak dalam kesadaran
fonologis dan pengetahuan tulisan. Anak yang sering terlibat dalam aktivitas literasi
yang menyenangkan memiliki kemampuan literasi yang lebih tinggi.
Weigel dkk. (2006) membuktikan bahwa terdapat hubungan antara keyakinan
orangtua tentang perkembangan literasi dan lingkungan keluarga yang tercipta di
rumah serta kemampuan literasi anak. Pada kelompok orangtua yang lebih fasilitatif,
orangtua memperkaya kesempatan anak terlibat dalam kegiatan literasi dan orangtua
lebih sering terlibat. Pada kelompok orangtua yang lebih konvensional, mereka kurang
terlibat dan menganggap sekolah lebih bertanggung jawab terhadap perkembangan
literasi dasar.
Interaksi anak dengan orangtua dalam rutinitas sehari-hari melalui aktivitas
bermain dan membaca yang berlangsung secara terus menerus dalam jangka waktu
lama, mendukung terjadinya proses peningkatan (proximal process) literasi dasar
anak. Semakin dini interaksi dan rutinitas terkait literasi dasar dilakukan maka semakin
banyak frekuensi dan pengalaman anak yang merangsang peningkatan kemampuan
literasi dasar anak. Hal ini seperti yang ditekankan oleh perspektif emergent literacy.
Rutinitas keluarga merupakan pola kegiatan yang bersifat berulang-ulang dan
bisa diperkirakan dalam kehidupan sehari-hari keluarga (Churchill and Stoneman,
2004). Rutinitas ini dapat berupa kegiatan makan, tidur, jadual kegiatan harian,
komunikasi dan waktu untuk mengurus diri sendiri. Rutinitas yang ada dalam keluarga
dapat membuat anak merasakan situasi stabil, berkelanjutan dan dapat diperkirakan
yang akan mengembangkan perilaku positif dari anak. Lebih lanjut Serpell dkk. (2002)
membuktikan dalam penelitiannya bahwa rutinitas yang teratur berkaitan dengan
kegiatan literasi (pembicaraan saat makan bersama, membacakan buku cerita,
menyelesaikan pekerjaan rumah) berhubungan dengan kemampuan dasar membaca
60
dan pemahaman pada anak taman kanak-kanak sampai anak kelas 3. Kekuatan
prediksi dari faktor rutinitas ini lebih tinggi dari pada kekuatan prediksi pendapatan
keluarga dan etnis. Oleh karena terciptanya rutinitas dalam keluarga merupakan faktor
yang penting untuk perkembangan literasi dasar anak.
Rutinitas keluarga memungkinkan interaksi sosial serta mengoptimalkan
pengaruh proses proximal melalui terciptanya kebiasaan di rumah. Dalam kondisi ini
penggunaan bahasa sebagai alat budaya lebih sering dan selanjutnya dapat
meningkatkan efektivitas interaksi anak dan keluarga. Efektivitas interaksi anak dan
keluarga ini merupakan stimulasi kemampuan kognitif sehingga beberapa fungsi
mental dasar (atensi, sensasi, persepsi, dan memori) berkembang menjadi fungsi
mental yang lebih tinggi, lebih baru dan lebih memadai.
Aktivitas literasi yang memanfaatkan teknologi multimedia, terbukti lebih
mendukung proses belajar literasi karena mengintegrasikan tulisan dengan gambar,
animasi, dan suara. Hal ini sangat menarik bagi anak karena mereka mendapat
stimulasi melalui banyak indra sensorisnya, tidak hanya melihat atau mendengar saja.
Multimedia yang bersifat multisensorik mampu memfungsikan lebih banyak reseptor
sehingga input yang masuk ke otak menjadi lebih kuat dan memudahkan otak untuk
memproses informasi yang masuk. Selain itu muldimedia sangat memungkinkan anak
memahami lebih cepat hal-hal yang bersifat abstrak karena dapat disajikan dengan
lebih konkrit.
Saat anak belajar tentang huruf melalui multimedia seperti CD interaktif, anak
dapat lebih menikmati proses belajar karena dengan alat ini anak memungkinkan
mengenali nama dan bentuk huruf serta contoh-contoh objek yang mengandung huruf
tersebut. Selanjutnya anak diberikan latihan atau aktivitas interaktif dengan cara
memijit tombol atau mengklik untuk menyelesaikan soal-soal tentang huruf tersebut.
Latihan ini merupakan proses belajar yang dikemas dalam bentuk permainan yang
menarik dan menyenangkan sehingga anak tidak merasa terbebani untuk belajar.
Dengan penjelasan ini maka tidak heran jika beberapa penelitian menunjukkan hasil
61
bahwa anak belajar lebih baik bila menggunakan teknologi multimedia dibandingkan
tidak.
Dari beberapa model hasil penelitian sebelumnya dengan kerangka teoretis
seperti di atas, penulis merumuskan model baru. Model ini memberikan penjelasan
kemampuan literasi dasar secara terintegrasi mulai dari kognitif individu sampai sosial
kultural dengan komprehensif. Model ini terdiri dari beberapa variabel yang secara
empiris sudah terbukti berpengaruh signifikan terhadap kemampuan literasi anak.
Mempertimbangkan pentingnya pengaruh keyakinan orangtua tentang bagaimana cara
yang benar merangsang kemampuan literasi dasar anak, maka peneliti tertarik untuk
mengkajinya. Selain itu faktor penggunaan fasilitas dan teknologi multimedia yang ada
di rumah juga merupakan faktor yang tidak bisa diabaikan sebagai bagian lingkungan
keluarga yang berperan dalam proses merangsang literasi dasar anak. Oleh karena itu
peneliti menetapkan bahwa model Weigel yang terbukti secara empirik perlu
dimodifikasi dengan menambahkan dua faktor baru yaitu keyakinan orangtua tentang
cara membantu anak belajar baca tulis juga penggunaan fasilitas dan teknologi
multimedia di rumah.
Pemilihan variabel aktivitas literasi orangtua dan anak, rutinitas di rumah serta
keyakinan orangtua dalam model terintegrasi ini didasarkan pada besarnya pengaruh
variabel tersebut sudah terbukti secara empiris dalam penelitian yang terpisah.
Kemudian penulis sendiri menilai bahwa aktivitas literasi saat ini ternyata juga sudah
banyak melibatkan teknologi seperti televisi, komputer, internet, telepon genggam dll.
Review penelitian yang dilakukan oleh Moses (2008) dan Lankshear & Knobel (2003)
membuktikan hal ini.
E. Hasil Yang Sudah Dicapai dari Penelitian Pendahuluan
Penelitian pendahuluan dimulai tahun 2006 dengan studi kasus terhadap dua
anak Indonesia yang mulai belajar baca tulis bahasa Inggris di sekolah Bradley Stock
Primary School yang menggunakan pendekatan multisensoris. Hasil menunjukkan
62
bahwa pendekatan ini sangat efektif membantu anak belajar baca tulis bahasa Inggris
meski bahasa ibunya bahasa Indonesia.
Selanjutnya dalam penelitian tahun 2008 penulis memodifikasi metode
pengajaran baca tulis Jolly Phonics yang pendekatannya multisensoris untuk
disesuaikan dengan aplikasi pada pengajaran baca tulis bahasa Indonesia. Aplikasi
dilakukan pada subjek anak taman kanak-kanak sebanyak 60 orang. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa pendekatan ini secara empirik terbukti efektif untuk meningkatkan
kemampuan baca tulis bahasa Indonesia. Temuan lain adalah bahwa anak lebih
mudah dan menikmati proses belajar karena merasa seperti bermain.
Pada tahun 2009 diuji kembali apakah pengaruh pembelajaran metode Jolly
Phonics masih dirasakan setelah setahun kemudian. Ternyata hasil menunjukkan
bahwa peningkatan terjadi secara konsisten, artinya pembelajaran dengan pendekatan
multisensoris memberi keuntungan pada anak untuk menguasai dasar-dasar baca tulis
dengan lebih baik.
Tahun 2010, penulis melakukan telaah pada pengembangan kemampuan
dasar baca-tulis di rumah oleh orangtua, bukan di sekolah. Melalui review jurnal dibuat
meta analisis yang menghasilkan kesimpulan bahwa peran orangtua sangat signifikan
terhadap pengembangan literasi dasar anak, hubungan aktivitas literasi orangtua-anak
dan peningkatan kemampuan literasi dasar anak selalu positif.
Tahun 2011, penulis mengidentifikasi masalah yang dihadapi orangtua dan
anak dalam meningkatkan kemampuan literasi dasar dan merumuskan model stimulasi
dini kemampuan literasi dasar yang dapat dilakukan oleh orangtua di rumah.
Rekomendasi dari penelitian ini adalah bahwa orangtua membutuhkan pelatihan
tentang bagaimana cara yang efektif dan efisien dalam mengembangkan kemampuan
literasi dasar anak. Anak juga perlu arahan dari orangtua agar minatnya terhadap
literasi lebih meningkat.
63
Dengan dasar hasil penelitian sebelumnya yang sudah diperoleh, penulis
kemudian merencanakan penelitian selanjutnya dengan memfokuskan pada eksplorasi
dan analisa fenomena proses pencapaian kemampuan literasi dasar anak di rumah.
Tabel 3 Roadmap Penelitian Terdahulu
No. Penelitian terdahulu Temuan Penelitian
1. Model stimulasi dini Kemampuan
dasar baca tulis anak prasekolah
oleh orangtua (Penelitian Reguler
Kompetitif, 2011)
61,9% dari subjek penelitian orangtua
membantu anak belajar membaca dan menulis
dengan cara mengajarkan langsung
keterampilan baca tulis (skill based atau
komponen approach). Hal ini menimbulkan
masalah anak kurang berminat dan kurang
tertarik belajar baca tulis. Dirumuskan model
pengembangan kemampuan dasar baca tulis
dengan pelatihan pada orangtua dan
optimalisasi pemanfaatan media teknologi.
2, Meta analisis tentang hubungan
aktivitas literasi orangtua-anak
dengan kemampuan dasar baca
tulis anak prasekolah (Meta
analisis 2010)
Peran dan pengaruh orang tua sebagai guru
pertama sangat penting dalam
mengembangkan kemampuan dasar baca tulis
anak prasekolah.
Pengembangan kemampuan dasar baca tulis
anak prasekolah penting dilakukan sedini
mungkin
3. Pengembangan Kemampuan baca
tulis anak prasekolah dengan
metode pembelajaran Jolly Phonics
(Penelitian Dosen muda 2008)
Pembelajaran dengan metode Jolly Phonics
yang multisensoris berpengaruh meningkatkan
kemampuan baca tulis anak satu tahun
kemudian
4. Efektivitas pengaruh pembelajaran
metode Jolly Phonics terhadap
Kemampuan awal baca tulis anak
Penggunaan metode belajar baca tulis dengan
pendekatan multisensoris memudahkan anak
untuk menikmati dan mengikuti aktivitas belajar
64
prasekolah (Penelitian Dosen Muda
2007)
baca tulis
5. Studi kasus tentang Proses belajar
Baca Tulis Bahasa Inggris pada
anak Indonesia usia 5 tahun
(Penelitian Reguler 2006)
Metode pembelajaran baca tulis Jolly Phonics
bersifat multisensoris dengan tahapan yang
sistimatis.
F. Pertanyaan Penelitian
Setelah melakukan tinjauan pustaka, maka dirumuskan pertanyaan penelitian
sebagai berikut:
a. Bagaimana deskripsi tahapan, metode, media, materi yang digunakan orangtua
di rumah dalam proses pencapaian kemampuan literasi dasar anak?
b. Bagaimana rutinitas keluarga, penggunaan multimedia, keyakinan orngtua,
dan aktivitas literasi orangtua-anak mendukung proses pencapaian
kemampuan literasi dasar anak?
c. Bagaimana pola yang menunjukkan keunikan dan kesamaan dalam
pencapaian kemampuan literasi dasar dalam keluarga?