BAB II TINJAUAN PUSTAKA - UMS

58
7 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kemampuan Literasi Dasar 1. Pengertian Kata literasi berasal dari bahasa Inggris Literacy yang diartikan sebagai kemampuan baca tulis, selanjutnya menurut Kuder dan Hasit (2002) pengertian literasi berkembang meliputi proses membaca, menulis, berbicara, mendengar, membayangkan, melihat. Dalam proses membaca terjadi proses yang rumit yaitu proses kognitif, linguistik, dan aktivitas sosial. Pembaca harus secara aktif melibatkan pengalaman sebelumnya, proses berpikir, sikap, emosi dan minat untuk memahami bacaan. Menurut Snow (dalam Mc Cartney & Philips, 2008) konsep literasi dan perkembangan literasi bervariasi dalam sejumlah Aspek dan variasi ini bersifat implisit saat membahas literasi. Variasi ini kemudian memunculkan pandangan yang kontraversi. Untuk membantu mengeksplisitkan hakikat kontraversi dalam bidang literasi, maka Snow menguraikan beberapa Aspek dari literasi, yaitu : a. Komponen versus holistik Literasi dapat dipandang sebagai hasil dari berbagai komponen keterampilan yang penting seperti kesadaran fonologis, pengetahuan huruf, kecepatan membaca urutan huruf. Holistik memfokuskan literasi sebagai aktivitas sosial yang bermakna dalam rutinitas sehari-hari sehingga kurang memperhatikan komponen dalam pengajaran dan pengukuran membaca. b. Solitari versus sosial Literasi dapat dipandang sebagai kemampuan kognitif individual, tetapi juga dapat dilihat sebagai aktivitas penting yang bersifat interaktif, kolaboratif yang dilakukan dalam tujuan sosial meski tindakan membaca itu sendiri bersifat solitari. Pandangan solitari menganggap membaca sebagai proses psikolinguistik dalam kepala yang melibatkan perkembangan alur dan organisasi syaraf. Pandangan

Transcript of BAB II TINJAUAN PUSTAKA - UMS

Page 1: BAB II TINJAUAN PUSTAKA - UMS

7

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

A. Kemampuan Literasi Dasar

1. Pengertian

Kata literasi berasal dari bahasa Inggris Literacy yang diartikan sebagai

kemampuan baca tulis, selanjutnya menurut Kuder dan Hasit (2002) pengertian literasi

berkembang meliputi proses membaca, menulis, berbicara, mendengar,

membayangkan, melihat. Dalam proses membaca terjadi proses yang rumit yaitu

proses kognitif, linguistik, dan aktivitas sosial. Pembaca harus secara aktif melibatkan

pengalaman sebelumnya, proses berpikir, sikap, emosi dan minat untuk memahami

bacaan. Menurut Snow (dalam Mc Cartney & Philips, 2008) konsep literasi dan

perkembangan literasi bervariasi dalam sejumlah Aspek dan variasi ini bersifat implisit

saat membahas literasi. Variasi ini kemudian memunculkan pandangan yang

kontraversi. Untuk membantu mengeksplisitkan hakikat kontraversi dalam bidang

literasi, maka Snow menguraikan beberapa Aspek dari literasi, yaitu :

a. Komponen versus holistik

Literasi dapat dipandang sebagai hasil dari berbagai komponen keterampilan yang

penting seperti kesadaran fonologis, pengetahuan huruf, kecepatan membaca

urutan huruf. Holistik memfokuskan literasi sebagai aktivitas sosial yang bermakna

dalam rutinitas sehari-hari sehingga kurang memperhatikan komponen dalam

pengajaran dan pengukuran membaca.

b. Solitari versus sosial

Literasi dapat dipandang sebagai kemampuan kognitif individual, tetapi juga dapat

dilihat sebagai aktivitas penting yang bersifat interaktif, kolaboratif yang dilakukan

dalam tujuan sosial meski tindakan membaca itu sendiri bersifat solitari.

Pandangan solitari menganggap membaca sebagai proses psikolinguistik dalam

kepala yang melibatkan perkembangan alur dan organisasi syaraf. Pandangan

Page 2: BAB II TINJAUAN PUSTAKA - UMS

8

sosial menganggap keterampilan membaca memberi akses pada berbagi kekuatan

dan pengetahuan.

c. Diajarkan versus natural

Literasi dapat dilihat sebagai proses pengajaran sehingga kualitas pengajaran

menjadi sangat penting. Sebaliknya dapat dilihat juga sebagai hasil dari proses

natural dari tumbuh dalam masyarakat literasi, mudah untuk menguasai literasi

tanpa pengajaran asalkan ada motivasi dan kesempatan untuk melatih.

d. Fungsional/teknikal versus transformasional/kultural

Literasi dipandang sebagai keahlian teknis/fungsional yang dapat mempermudah

penyelesaian tugas seperti menerima informasi, bekerja, memasuki lingkungan

baru. Literasi juga dipandang sebagai sebuah faktor dalam identitas diri dan sosial,

sumber pembentukan jati diri, serta sebuah kekuatan untuk transfer aktivitas,

aturan dan hubungan yang mempertahankan budaya.

e. Tunggal/koheren versus multipel/bervariasi

Literasi didefinisikan sederhana sebagai apa yang dilakukan seseorang dengan

buku atau koran, tetapi terdapat pandangan kontras yang memandang literasi

sebagai proses membaca buku agama untuk lebih difahami, sebagai aktivitas

membaca kontrak dengan kritis, atau sebagai upaya mencari informasi dari jadual

kereta. Dalam pandangan multipel, tugas literasi sangat bervariasi.

f. Berfokus sekolah versus berfokus rumah atau komunitas

Bagi sebagian orang kegiatan terkait literasi dilakukan di sekolah, sebagian lain

menganggap kebanyakan aktivitas literasi dan belajar literasi terjadi di luar sekolah

seperti di rumah, dalam konteks beragama, melakukan tugas sehari-hari dan

terlibat dalam komunitas.

Dalam kaitannya dengan definisi di atas, penulis berpendapat bahwa

perbedaan di atas muncul karena literasi dilihat dari sudut pandang yang berbeda.

Sudut pandang itu dapat diletakkan dalam suatu rentang kontinum yang masing-

masing berada di posisi ekstrim. Hal ini berarti bahwa kedua pandangan di atas dapat

Page 3: BAB II TINJAUAN PUSTAKA - UMS

9

diintegrasikan dan dapat diterima sebagai pandangan yang saling melengkapi. Oleh

karena itu penulis tidak membatasi literasi hanya pada definisi yang diberikan salah

satu sudut pandang, tetapi memahami kedua sudut pandang agar mampu menemukan

kontribusi masing-masing pandangan sebagai suatu konsep yang efektif dalam

pengembangan literasi.

Selanjutnya dalam perkembangan konsep literasi, muncul konsep literasi dasar

sejak Marie Clay memperkenalkan konsep emergent literacy, yang merupakan perilaku

pura-pura meniru membaca dan menulis pada anak prasekolah. Literasi dasar juga

banyak disebut dengan istilah early literacy, yang menggambarkan bahwa kemampuan

ini merupakan kemampuan awal yang mendasari kemampuan membaca dan menulis

yang sesungguhnya.

Kata emergent literacy merupakan istilah yang memiliki dua konotasi arti yaitu

terkait suatu pandangan tentang perkembangan literasi anak dan suatu bentuk

kemampuan literasi yang dimiliki anak. Sebagai pandangan emergent literacy

menganggap terjadi perkembangan secara berkelanjutan dalam anak memperoleh

kemampuan baca tulis, perkembangan ini tidak dimulai sejak masuk sekolah tetapi

dimulai sejak usia dini (Rosenberg dkk., 2010). Sebagai kemampuan, emergent

literacy merupakan dasar-dasar literasi yang berkembang pada usia prasekolah

sebagai landasan untuk dapat menguasai kemampuan literasi sebenarnya di sekolah

dasar.

Whitehurst dan Lonigen (1998 dalam Bjorklund, 2005) menjelaskan emergent

literacy merupakan kemampuan literasi dasar yang terdiri dari pengetahuan, sikap dan

ketarampilan yang menjadi penentu perkembangan perilaku literasi selanjutnya yang

lebih baik. Menurut mereka emergent literacy (literasi dasar) terdiri dari sembilan

komponen, yaitu bahasa, aturan/ketentuan/kebiasaan, pengetahuan tentang huruf,

kesadaran terhadap unsur-unsur bahasa, kesesuaian fonem-grafem, pura-pura

membaca (Emergent reading), pura-pura menulis (Emergent writing), motivasi dan

keterampilan kognitif.

Page 4: BAB II TINJAUAN PUSTAKA - UMS

10

Menurut Purcell-Gates (2001), komponen literasi dasar termasuk kesadaran

fonemik, konsep tulisan dan cerita, gaya membaca, dan literasi sebagai aktivitas sosial

budaya. Menurut Snow, (dalam Mc Cartney & Philips, 2008) pada anak prasekolah,

kemampuan literasi dasar merupakan kapasitas untuk menyebutkan nama huruf dan

menuliskannya, mengeja kata sederhana, mengenal huruf dan tanda-tanda di sekitar,

mengidentifikasi buku dari judul serta melakukan aktivitas yang berkaitan dengan buku.

Green dkk. (2006), menyatakan kemampuan literasi anak prasekolah dapat

dikelompokkan menjadi 6 macam yaitu keterampilan menceritakan, motivasi untuk

membaca tulisan, kosa kata, kesadaran fonologis (bunyi huruf), pengetahuan tentang

huruf, dan kesadaran terhadap tulisan. Weigel dkk (2010) memilah kemampuan literasi

dasar menjadi tiga: pengetahuan tulisan (print knowledge), dasar-dasar menulis

(emergent writing), dan minat membaca (reading interest).

Penelitian menunjukkan dengan jelas bahwa kemampuan literasi dasar yang

baik membantu anak untuk lebih mudah belajar menbaca dan meningkatkan tingkat

kesuksesan anak di sekolah (Senechal & LeFreve, 2002). Hasil meta analisis yang

dilakukan oleh National Early Literacy Panel (NELP) pada tahun 2008 diperoleh bahwa

kemampuan dasar literasi memprediksi kemampuan literasi selanjutnya pada tingkat

sedang sampai tinggi. Terdapat 11 variabel yang dapat memprediksi secara konsisten

prestasi membaca selanjutnya. Adapun 11 variabel kemampuan literasi dasar ini

adalah: pengetahuan huruf, kesadaran fonolofis, mengenali dengan cepat huruf dan

objek (rapid automatic naming), menulis huruf dan nama sendiri, daya ingat fonologis,

selain itu juga konsep tulisan, pengetahuan tulisan, kesiapan membaca, bahasa lisan,

dan proses visual.

Dari uraian di atas penulis mendefinisikan literasi dasar sebagai kemampuan

yang dimiliki anak prasekolah untuk melandasi dan menyiapkan diri belajar membaca

dan menulis di sekolah dasar. Selanjutnya dari beberapa peneliti yang mengidentifikasi

komponen kemampuan dasar literasi di atas, penulis dapat merangkum komponen

tersebut menjadi 5 komponen yang berbeda, yaitu: a) kemampuan bahasa, yang

Page 5: BAB II TINJAUAN PUSTAKA - UMS

11

mencakup kosa kata dan pemahaman bahasa lisan, b) kesadaran fonologis, yaiut

kemampuan mendeteksi, memanipulasi dan menganalisis bahasa lisan (membedakan

fonem, suku kata, kata), c) keterampilan membaca yang mencakup pengenalan aturan

membaca, pengetahuan huruf dan bunyi huruf, mengeja kata, d) keterampilan menulis,

yang mencakup kemampuan menuliskan bentuk huruf, nama sendiri dan kata, e)

minat/motivasi membaca, yaitu keinginan dalam diri anak untuk membaca.

2. Perspektif Tentang Perkembangan Literasi Dasar

Terdapat dua perspektif yang berbeda dalam memandang proses dan kapan

kemampuan baca tulis (literasi) pada anak diperoleh. Pertama adalah pandangan

tradisional yang lebih dikenal dengan konsep kesiapan membaca (reading readiness).

Kedua adalah pandangan kontemporer yang menekankan pada perkembangan

berkelanjutan (developmental continuum) atau disebut juga pandangan emergent

literacy. Berikut karakteristik utama dari kedua pandangan tersebut:

a. Perspektif Kesiapan Membaca

Perspektif ini menyatakan bahwa untuk belajar membaca dan menulis anak

harus mencapai level kematangan tertentu secara fisik dan neurologis sehingga anak

siap untuk menerima instruksi/pengajaran membaca dan menulis. Dengan demikian

pengajaran yang dilakukan sebelum anak mencapai tingkat kematangan tertentu

hanya membuang-buang waktu dan berpotensi merusak anak. Terdapat periode waktu

tertentu ketika anak siap belajar baca tulis. Kemampuan membaca dan menulis

seharusnya diajarkan di taman kanak-kanak agar dapat mempersiapkan diri anak

untuk mengikuti pelajaran di kelas satu. (www.ncrl.org/sdrs/areas/issues).

Teale, 1995 (dalam Kuder dan Hasit, 2002) merangkum prinsip utama

perspektif ini yaitu a) belajar membaca hanya dimulai setelah serangkaian

keterampilan prasyarat membaca sudah siap dikuasai anak, b) anak lancar dalam

bahasa lisan dulu baru kemudian belajar membaca kemudian belajar menulis setelah

lancar membaca, c) membaca dan menulis dipelajari oleh anak secara abstrak,

Page 6: BAB II TINJAUAN PUSTAKA - UMS

12

dengan keterampilan yang terpisah dengan konteks, d) selama periode pramembaca

keterampilan membedakan stimulus secara visual dan auditori dan pengetahuan huruf

dan bunyi huruf sangat penting sebagai dasar kemampuan membaca, e) anak

mengikuti jenjang keterampilan yang sama dalam mencapai membaca, dan

perkembangannya harus dimonitor secara hati-hati dengan tes secara periodik.

b. Perspektif Emergent Literacy

Perspektif ini menyatakan bahwa kemampuan literasi mulai berkembang pada

usia sangat dini, jauh sebelum anak diajarkan membaca secara formal di sekolah. Hal

ini terbukti dari perilaku anak dini usia yang dikenal dengan emergent literacy yaitu

berpura-pura/meniru membaca-menulis atau membaca dengan melihat gambar,

menulis walau masih berbentuk benang kusut. Literasi berkembang secara

berkelanjutan (continuum) dengan berbagai cara dan pada umur yang berbeda. Hal ini

dipupuk oleh interaksi sosial antara anak dengan orangtua atau pengasuh dan

dirangsang oleh materi literasi seperti buku cerita. Dengan demikian penting sekali

mengarahkan anak berkembang dari pura-pura membaca (emergent literacy) menuju

mampu membaca sesungguhnya. Dibutuhkan peran dan dukungan dari prangtua dan

pendidik untuk mengarahkannya (www.ncrl.org/sdrs/areas/issues).

Teale, pada tahun 1995 (dalam Kuder dan Hasit, 2002) merangkum prinsip

utama perspektif emergent literacy yaitu a) belajar membaca dan menulis mulai sejak

sangat dini pada hampir semua anak di masyarakat literasi. Anak menunjukkan

perilaku mirip baca tulis dalam situasi informal di rumah dan masyarakat serta dalam

situasi sekolah, b) perkembangan literasi adalah istilah yang lebih sesuai daripada

kesiapan membaca, karena proses belajar tidak berurutan membaca dulu baru menulis

tetapi kemampuan bahasa, membaca dan menulis berkembang secara saling tumpang

tindih dan berhubungan sejak dari awal, c) literasi berkembang dalam situasi nyata

dalam aktivitas sehari-hari untuk menyelesaikan suatu pekerjaan. Makna dan fungsi

serta tujuan literasi sangat penting agar anak mempelajari strategi dalam kaitannya

Page 7: BAB II TINJAUAN PUSTAKA - UMS

13

dengan konteks bukan terpisah dari konteks, d) anak belajar bahasa tertulis melalui

keterlibatan aktif dengan dunia sekitarnya. Anak berinteraksi dengan orang dewasa

dalam situasi baca tulis, meniru orang signifikan terutama orangtua, e) untuk meguasai

baca tulis terlibat banyak pengetahuan, potensi, dan strategi seperti fungsi bahasa dan

literasi, pengetahuan tentang cerita, konsep tulisan serta kesadaran fonemik dan

mengenali huruf-bunyi, f) dalam perkembangan literasi terdapat tahapan secara umum

tetapi anak menguasai literasi dalam kecepatan dan bentuk yang berbeda-beda, hal ini

harus dipertimbangakan dalam proses pembelajaran.

Perspektif emergent literacy saat ini lebih banyak diacu oleh penelitian-

penelitian terakhir. Hal ini tampak dari berkembangnya literasi dalam keluarga (family

literacy) sebagai bidang kajian baru (Anderson dkk., 2010). Berdasarkan temuan

penelitian-penelitian terakhir perkembangan literasi dimulai sejak usia dini, meskipun

aktivitas anak tampak seperti tidak berhubungan dengan menulis dan membaca tetapi

tingkah laku menirukan menulis dengan coretan, pura-pura membaca dari gambar

ternyata merupakan perkembangan literasi dasar (emergent literacy) yang sangat

penting. Dengan dukungan dari orangtua, pengasuh, guru dan lingkungan yang

kondusif maka anak akan berhasil mencapai kemampuan literasi sesungguhnya.

Membaca dan menulis berkembang jauh sebelum anak mendapat pembelajaran

formal, hal ini dipupuk oleh proses interaksi dengan orangtua serta bahan literasi yang

digunakan. Pemahaman anak tentang membaca dan menulis dibangun dengan cara

terlibat aktif dalam aktivitas literasi. Terlibat aktif mengalami, mengambil peran dalam

aktivitas dan tugas yang bermakna sehingga anak memiliki pemahaman dan rasa

tanggung jawab, meningkatkan rasa ingin tahu dan bertanya, memunculkan

ketertarikan baru dan termotivasi dari dalam diri (www.ncrel.org, diunduh 9 Mei 2010).

Perkembangan kemampuan literasi dari berpura-pura atau meniru baca-tulis

(emergent literacy) menuju kemampuan literasi sesungguhnya, dipengaruhi oleh tiga

hal yaitu: perkembangan literasi yang berkelanjutan dari anak, konsep literasi anak,

dan usaha yang dilakukan orangtua dan pendidik. Sebelum belajar tentang menulis

Page 8: BAB II TINJAUAN PUSTAKA - UMS

14

dan membaca, anak harus mengerti konsep penting seperti: tulisan adalah

representasi dari pemikiran seseorang, menulis dan membaca dimaksudkan untuk

mengkomunikasikan sesuatu yang berarti, bahasa di buku dan bahasa percakapan

berbeda, cara membaca dari kiri ke kanan, buku terdiri dari gambar dan tulisan dengan

tulisan sebagai sumber informasi terbanyak. Sementara itu upaya pengembangan

kemampuan literasi harus dimulai dengan langkah menyiapkan keterampilan kognitif

seperti perhatian, daya ingat, berpikir simbolik, dan pengaturan diri. Menurut teori

Piaget, dalam proses pengembangan kemampuan literasi, anak aktif membangun

pengetahuan mereka sendiri melalui tindakan, sedangkan menurut Vygotsky anak

membutuhkan interaksi sosial untuk dapat mengembangkan konsep yang dimililiki dan

mengembangkan kemampuan literasi dengan cara menggunakannya (Jhonson,

Sulzby,1999).

Bila kedua perspektif di atas dikaji maka dipeoleh kesimpulan bahwa perspektif

reading readiness lebih menekankan pentingnya kematangan secara biologis sebelum

anak belajar membaca dan menulis. Hal ini berarti bahwa berkembangnya literasi lebih

ditentukan oleh peran faktor biologis anak (nature) dan tidak menganggap penting

peran lingkungan (nurture). Sebenarnya ditinjau dari hakikat perkembangan, faktor

yang berpengaruh tidak hanya biologis anak tetapi juga lingkungan yang berlangsung

secara interaktif. Dengan demikian kematangan biologis dapat lebih berkembang

dengan adanya stimulasi dari lingkungan. Stimulasi lingkungan yang kurang beresiko

menimbulkan keterlambatan atau kesulitan dalam belajar baca tulis. Perspektif

emergent literacy lebih sesuai dengan prinsip perkembangan, bahwa literasi

berkembang sejak dini dan sifatnya berkelanjutan. Perkembangan berkelanjutan

menjadikan kemampuan literasi dasar meningkat menjadi kemampuan literasi

sebenarnya karena dipupuk oleh interaksi sosial. Oleh karena itu stimulasi penting

dilakukan sejak dini dengan berbagai cara pada umur yang berbeda.

Page 9: BAB II TINJAUAN PUSTAKA - UMS

15

3. Pengembangan Literasi Dasar

Selain perspektif tentang perkembangan baca tulis, terdapat pula dua

perspektif yang berbeda tentang bagaimana cara mengajarkan anak baca tulis oleh

orangtua maupun guru. Pandangan pertama adalah holistik atau disebut juga top-down

approach/big book/whole language/contemporer. Pandangan kedua adalah komponen

atau disebut juga bottom-up approach atau code base approach atau fonik atau

tradisional.

a. Holistik

Pandangan pertama mengajarkan baca tulis secara natural yang dilakukan

dalam konteks aktivitas sosial dan budaya yang bermakna. Dalam aplikasinya,

orangtua atau guru yang berpandangan holistik akan menunjukkan perilaku

mendukung, memfasiliatasi, dan memberi contoh bagaimana membaca dan menulis

dalam konteks aktivitas sehari-hari yang bertujuan dan bermakna. Dengan demikian

anak lebih diarahkan untuk diajak berbicara, berdiskusi, dibacakan buku cerita.

b. Komponen

Pandangan kedua lebih menekankan pada pengajaran yang menghasilkan

keterampilan tertentu yang dengan keterampilan ini anak terbantu dalam baca-

tulis.Orangtua atau guru yang berpandangan tradisional lebih menunjukkan perilaku

fokus pada pengajaran mengenalkan kata itu sendiri melalui pengajaran alfabet, kata,

kalimat dan cerita secara berurut. Dalam hal ini anak membutuhkan buku latihan dan

contoh bagaimana cara membaca (Lynch dkk., 2006).

c. Integrasi Holistik dan Komponen

Menghadapi dua pandangan yang berbeda di atas, Snow (2008) menilai bahwa

tidak ada pandangan yang seluruhnya benar atau seluruhnya salah. Ia menganggap

bahwa dari dua pandangan itu dapat diperoleh insight yang dapat dijadikan panduan

Page 10: BAB II TINJAUAN PUSTAKA - UMS

16

untuk menciptakan lingkungan yang menstimulasi secara optimal perkembangan

literasi anak.

Penulis menilai bahwa baik pandangan holistik maupun komponen masing-

masing memiliki kontribusi untuk meningkatkan literasi anak. Oleh karena itu dalam

peneltian ini kedua pandangan dikombinasikan, agar tercapai integrasi yang saling

melengkapi untuk membuat peningkatan literasi anak lebih efektif, yaitu dengan

melakukan: a) pembelajaran yang menekankan pada aspek arti/makna literasi dalam

konteks sosial sekaligus juga mengajarkan skill dasar literasi, b) aktivitas literasi dilihat

sebagai proses yang dilakukan individu tetapi mendapat motivasi/dorongan dari orang

lain (lingkungan), c) stimulasi secara natural penting dilakukan untuk mendukung anak

yang mampu membaca tulis secara sendirinya, namun bagi anak yang tidak mampu

melakukannya sendiri perlu mendapat pengajaran terstruktur. Libatkan secara natural

dalam aktivitas literasi sejak dini kemudian di sekolah secara formal diajarkan skill

untuk menyempurnakan, d) stimulasi di luar sekolah bermanfaat besar untuk

mendukung proses literasi di sekolah, e) Stimulasi di lakukan sejak dini dengan tujuan

untuk merangsang dan mengoptimalkan perkembangan sel-sel otak, agar 100 juta

nuran yang dimiliki sejak lahir dapat berfungsi dan tidak mati. Hal ini akan melejitkan

kapasitas otak anak.

Stimulasi harus disesuaikan dengan karakteristik anak, kebutuhan anak dalam

hal cara dan materinya. Cara yang dilakukan harus menyenangkan dan membuat anak

tidak terbebani serta mengoptimalkan semua sensoris yang dimiliki anak

(multisensory). Materi yang diberikan tidak hanya berkaitan dengan keterampilan

literasi tetapi juga membentuk minat dan kebiasaan menyukai, memaknai aktivitas

literasi sbg sesuatu yang positif dan menyemangati. Mulai dengan materi literasi yang

bersifat natural di rumah baru kemudian literasi yang bersifat formal di sekolah.

stimulasi dilakukan berkelanjutan dari sejak di rumah sampai di sekolah.

Page 11: BAB II TINJAUAN PUSTAKA - UMS

17

4. Tahapan Perkembangan Literasi Dasar

Aktivitas pengembangan kemampuan dasar literasi harus disesuiakan dengan

kebutuhan perkembangan anak usia dini (developmental appropriate), karena

perkembangan literasi terjadi secara bertahap dan tahapan ini sejalan dengan

pertambahan usia kronologisnya. Debra Jhonson dan Sulzby (1999) memberi ilustrasi

perkembangan literasi dasar terjadi dalam 4 tahap, yaitu:

a. Pada tahap satu, anak usia 1-24 bulan mengalami perkembangan bahasa lisan

yang merupakan dasar bagi perkembangan literasi di usia selanjutnya.

b. Tahap kedua, anak usia 2-3 tahun mulai mampu berbicara untuk berespon

terhadap buku atau tanda/gambar yang dibuatnya, mulai mengenal dan memberi

nama bagian dari logo, gambar, tanda serta menulis coretan.

c. Tahap ketiga, pada usia 3-4 tahun anak menunjukkan perkembangan pesat dalam

kemampuan literasi dasar. Pada tahap ini anak mampu mengenali huruf, tertarik

menulis dan membaca, dan memperhatikan bunyi kata.

d. Tahap terakhir, usia 5 tahun anak membaca buku cerita berulang-ulang,

menerapkan intonasi dan bahasa dalam buku, menguasai arah membaca,

kesesuaian kata demi kata, dan konsep tulisan. Perkembangan menulis juga

berjalan paralel dengan membaca, pada usia ini anak mampu menuliskan kata

tetapi baru menggunakan huruf-huruf yang dominan bunyinya seperti huruf awal

dan akhir.

Menurut Snow dkk.. (1998 dalam Hoff, 2005) perkembangan perolehan

kemampuan literasi dapat digambarkan menurut usia sebagai berikut:

a. Lahir sampai 3 tahun

Anak sudah mampu mengenal buku khusus dari cover, pura-pura membaca,

menikmati permainan kata dan lagu, mendengarkan cerita, mulai untuk menulis

bentuk yang mirip huruf.

b. 3 tahun – 4 tahun

Page 12: BAB II TINJAUAN PUSTAKA - UMS

18

Anak mengetahui bahwa huruf alfabet memiliki nama dan berbeda dengan gambar,

memahami beberapa tanda tertulis (tanda masuk/keluar). Mereka juga memberikan

perhatian pada bunyi bahasa yang berbeda-beda, menunjukkan ketertarikan

terhadap buku dan membaca, menghubungkan kejadian dalam cerita dengan

pengalaman hidup, dapat menuliskan pesan sendiri, terkadang dalam bentuk

coretan.

c. usia TK ( 5 tahun)

Pada usia ini anak mampu mengenal huruf besar dan kecil, mengerti bahwa urutan

huruf dalam tulisan menggambarkan urutan bunyi dalam ucapan. Mereka juga

dapat menyebutkan judul dan pengarang buku, membuat prediksi yang didasarkan

pada ilustrasi cerita, menggunakan invented spelling untuk menulis pesannya

sendiri, menulis namanya sendiri, dapat menulis huruf atau kata dengan dikte.

d. usia SD ( 6 tahun)

Pada usia ini anak dapat membaca suku kata, dapat mengenali kata-kata iregular

dengan melihatnya, memprediksi apa yang akan terjadi dalam cerita, memantau

pemahamannya ketika membaca, mengenali saat ada kata yang tidak masuk akal.

Selain itu dapat membuat tulisan untuk dibaca orang lain.

5. Kondisi yang Mempengaruhi Kemampuan Literasi Dasar

Kemampuan literasi dasar anak dapat berkembang karena interaksi antara

kondisi internal anak dan kondisi eksternal anak. Kondisi internal anak berkaitan

dengan potensi Individu secara kognitif, fisik, dan emosi. Kondisi eksternal berkaitan

dengan lingkungan mikrosistem yang ada di sekitar anak, yaitu kondisi rumah, sekolah,

masyarakat dan teknologi atau media masa.

a. Pengembangan Literasi dasar di rumah

Konteks keluarga di rumah adalah sebuah lingkungan yang paling signifikan

bagi anak dalam pengembangan literasi dasar mengingat keluarga adalah orang yang

paling dekat bagi anak. Di rumah keluarga juga beraktivitas yang menciptakan

Page 13: BAB II TINJAUAN PUSTAKA - UMS

19

dinamika keluarga yaitu dengan siapa dan bagaimana keluarga melakukan

aktivitasnya. Dalam aktivitas bersama ini terjadi Interaksi timbal balik secara

berkelanjutan. Pola asuh orangtua berpengaruh pada anak, anak juga berpengaruh

pada pola asuh. Selain itu interaksi anak-orangtua mempengaruhi anak dalam hal

kelekatan, pengendalian diri, prososial, kompetensi dan motivasi berprestasi.

Dalam interaksinya dengan anak, orangtua dapat melakukan pola asuh yang

sesuai dengan tuntutan perkembangan anak tetapi tidak jarang juga orangtua

melakukan pola asuh yang tidak sesuai dengan perkembangan anak. Aktivitas

pengasuhan anak yang sesuai dengan kebutuhan anak adalah orangtua memiliki

pengetahuan tentang perkembangan anak, tentang bagaimana memandu (guidance)

dan mendisiplinkan (discipline) perilaku anak. Panduan berupa mengarahkan,

menunjukkan, mensupervisi, dan mempengaruhi. Disiplin berupa menghukum,

mengoreksi, dan melatih untuk mengembangkan kontrol diri. Pengasuhan anak yang

kurang sesuai perkembangan anak ditandai dengan keterlibatan orangtua yang kurang

dan perlakuan salah (maltreatment), seperti tidak sensitive, tidak tanggap, dan ada

jarak psikologis. Anak-anak dari orangtua yang keterlibatannya kurang menunjukkan

perilaku agresif, tempertantrum, prestasi akademik rendah, dan terlibat kenakalan.

Lingkungan rumah sebagai konteks yang signifikan berpengaruh terhadap

perkembangan literasi dasar anak, telah banyak diteliti. Beberapa hasil penelitian

tersebut adalah:

a. keterlibatan anak di rumah dalam aktivitas aktif terkait membaca dan menulis

menjadi prediktor bagi perkembangan keterampilan literasi dasar (Levy dkk., 2006).

b. aktivitas literasi di rumah menjadi prediktor perkembangan bahasa ekspresif dan

reseptif, sedangkan penjelasan (metalingual utterances) tentang objek yang

diberikan ibu berhubungan kuat dengan minat anak membaca (Deckner dkk.,

2006)

c. aktivitas anak dibacakan buku oleh orang tua di rumah berhubungan signifikan

dengan kemampuan bahasa lisan dan sensitifitas fonologis (Burgess, 2002)

Page 14: BAB II TINJAUAN PUSTAKA - UMS

20

d. lingkungan rumah yang membiasakan aktivitas literasi (membaca, menonton)

berhubungan signifikan dengan kemampuan anak dalam bahasa lisan,

pengetahuan huruf dan sensitivitas fonologis (Burgess dkk., 2002)

e. lingkungan rumah yang responsif dan mendukung adalah prediktor terkuat dari

kemampuan bahasa dan literasi anak (Roberts dkk., 2005)

f. lingkungan rumah yang teratur berhubungan positif dan signifikan dengan

kemampuan bahasa ekspresif, kemampuan membaca dan keterampilan fonologis

pada keluarga yang ibunya memiliki kemampuan membaca di atas rata-rata

(Johnson dkk., 2008)

g. Fungsi keluarga sebagai pendidik berhubungan signifikan dengan kemampuan

bahasa dan literasi anak (Bennett dkk,, 2002)

h. Terdapat hubungan antara pengetahuan/keyakinan tentang literasi yang dimiliki ibu

dengan lingkungan rumah dan kemampuan literasi anak prasekolah. Ibu yang lebih

fasilitatif menunjukkan perilaku lebih terlibat dalam stimulasi literasi anak,

menciptakan lingkungan rumah yang kaya literasi dan membuat minat anak dan

pengetahuan tulisan anak mereka lebih tinggi. Ibu yang lebih konvensional

menganggap sekolah lebih bertanggung jawab dalam pengajaran literasi sehingga

mengalamai banyak tantangan untuk menstimulasi literasi, dan anak mereka lebih

rendah dalam minat membaca dan pengetahuan (Weigel dkk., 2006)

i. Semakin teratur kondisi keluarga di rumah, semakin besar kemungkinan orangtua

terlibat dalam aktivitas merangsang literasi anak dan semakin tinggi minat

membaca dan pengetahuan tulisan yang dimiliki anak (Weigel dkk., 2010)

j. Aktivitas anak bersama orangtua dalam bentuk bermain dan belajar nama, bunyi,

dan menuliskan huruf memprediksi pengetahuan nama huruf, bunyi huruf dan

sensitivitas fonologis. Aktivitas membacakan anak buku hanya berkorelasi dengan

perkembangan bahasa tetapi tidak berkorelasi dengan pengetahuan nama huruf,

bunyi huruf. Aktivitas membacakan anak buku, ternyata kurang aktif memfokuskan

Page 15: BAB II TINJAUAN PUSTAKA - UMS

21

anak pada pengenalan nama dan bunyi huruf sedangkan aktivitas terkait nama dan

bunyi huruf lebih membuat anak fokus pada komponen huruf (Evans dkk., 2000)

k. Aktivitas literasi di rumah lebih berpengaruh besar terhadap kemampuan membaca

dan matematika, pengaruh ini lebih besar dari pada faktor pendidikan orangtua dan

status ekonomi. Selain itu pengaruh lingkungan literasi di rumah lebih kuat

dibandingkan pengaruh program prasekolah (Mulhuish dkk., 2008).

l. Sumberdaya keluarga (pendidikan, pekerjaan dan penghasilan orangtua)

memprediksi aktivitas literasi di rumah dan kemudian memprediksi penguasaan

bahasa Inggris dan Spanyol (Lopez, 2007)

m. Pada konteks budaya Cina, aktivitas literasi di rumah terbukti memprediksi

kemampuan literasi Cina anak prasekolah di negara Hong Kong, Singapura dan

Beijing (Li & Rao, 2000).

n. Aktivitas ibu yang membacakan anak buku cerita berhubungan dengan

perkembangan keterampilan bahasa dan aktivitas membantu anak belajar menulis

berhubungan dengan keterampilan alfabet (.Aram dkk., 2006)

o. Frekuensi membaca buku berkorelasi dengan keterampilan literasi dasar anak,

tetapi kualitas interaksi afektif saat membaca buku menjadi prediktor paling kuat

bagi motivasi anak untuk membaca (Sonnenshein & Munsterman, 2002)

p. Kedekatan anak dengan buku berhubungan dengan perkembangan kosa kata dan

pemahaman bahasa lisan, keterampilan bahasa ini kemudian berhubungan

langsung dengan kemampuan anak membaca di kelas 3 . Keterlibatan orangtua

dalam mengajarkan baca tulis kata, berhubungan dengan perkembangan literasi

dasar anak (Senechal & LeFevre, 2002).

q. Aktivitas literasi dasar di rumah, sikap orangtua terhadap membaca, dan jumlah

buku yang dimiliki di rumah semuanya berhubungan positif dengan prestasi

membaca anak kelas 4. Selain itu pengaruh pendidikan orangtua terhadap

kemampuan anak membaca dimediatori oleh kondisi literasi di rumah. Hal ini

berlaku di 25 negara., dengan ciri khas bahwa aktivitas literasi dasar di rumah dan

Page 16: BAB II TINJAUAN PUSTAKA - UMS

22

sikap orangtua terhadap membaca bervariasi tergantung pada perkembangan

ekonomi negara (Park, 2008).

r. Anak yang ibunya lebih sering membacakan buku cerita, terutama dengan

frekuensi tiap hari, menunjukkan peningkatan kosa kata, pemahaman dan

perkembangan kognitif (Raikes dkk., 2006)

s. Pengajaran orangtua tentang bunyi, nama huruf dan kata berkorelasi dengan

kemampuan literasi dasar. Frekuensi membacakan anak buku cerita berkorelasi

signigikan dengan pengetahuan huruf dan membaca kata. Sedangkan jumlah buku

di rumah tidak berhubungan dengan kemampuan literasi dasar (Stephenson dkk.,

2008).

t. Pengaruh nilai-nilai atau keyakinan orangtua (parent beliefs) menjadi area yang

diteliti oleh Susan Sonneschein dan Linda Baker (2005) yang membuktikan dalam

penelitiannya bahwa nilai/keyakinan orangtua berhubungan dengan bagaimana

mereka berinteraski sepanjang aktivitas literasi dengan anak dan aktivitas seperti

apa yang orangtua sediakan untuk anak. Menurut Lynch, Anderson, dan Shapiro

(2006) orangtua cenderung bertindak dan berperilaku sesuai dengan

nilai/keyakinannya tentang bagaimana membantu anak menguasai literasi dasar.

Keyakinan orangtua yang lebih tradisional akan berorientasi pada hasil

belajar/keterampilan menguasai kemampuan baca tulis. Keyakinan yang lebih

menyeluruh memandang belajar literasi sebagai perkembangan kontinum sehingga

stimulasi perlu dilakukan sedini mungkin (holistic, emergent literacy). Terdapat

hubungan antara nilai/keyakinan orangtua dengan perilaku menolong anak mereka

untuk belajar literasi dasar. Orangtua yang memiliki keyakinan belajar menyeluruh

(holistic, emergent literacy) lebih banyak melakukan dukungan dan stimulasi

(encouragement) dalam membantu anak belajar literasi, sedangkan orangtua yang

memiliki keyakinan tradisional lebih banyak melakukan pembelajaran yang

lengsung mengajarkan keterampilan baca-tulis. Keyakinan yang lebih menyeluruh

mendorong orangtua untuk menganggap penting proses belajar dan membuat

Page 17: BAB II TINJAUAN PUSTAKA - UMS

23

mereka terlibat dalam aktivitas literasi yang bervariasi dengan anak mereka.

Kondisi ini membuat orangtua dengan keyakinan holistik memiliki anak yang lebih

sukses dalam menguasai kemampuan akademis di sekolah. Selain itu pendidikan

orangtua berpengaruh terhadap keyakinan orangtua, orangtua dengan pendidikan

lebih tinggi dari sekolah menengah (secondary school) lebih berkeyakinan

menyeluruh dan orangtua yang pendidikannya kurang dari sekolah menengah lebih

berkeyakinan tradisional.

u. Rutinitas keluarga yang merupakan pola kegiatan yang bersifat berulang-ulang dan

bisa diperkirakan dalam kehidupan sehari-hari keluarga merupakan prediktor

perkembangan literasi dasar anak (Churchill and Stoneman, 2004). Rutinitas ini

dapat berupa kegiatan makan, tidur, jadual kegiatan harian, komunikasi dan waktu

untuk mengurus diri sendiri. Rutinitas yang ada dalam keluarga dapat membuat

anak merasakan situasi stabil, berkelanjutan dan dapat diperkirakan yang akan

mengembangkan perilaku positif dari anak. Lebih lanjut Serpell dkk. (2002)

membuktikan dalam penelitiannya bahwa rutinitas yang teratur berkaitan dengan

kegiatan literasi (pembicaraan saat makan bersama, membacakan buku cerita,

mengerjakan rumah) berhubungan dengan kemampuan dasar membaca dan

pemahaman pada anak taman kanak-kanak sampai anak kelas 3. Kekuatan

prediksi dari faktor rutinitas ini lebih tinggi dari pada kekuatan prediksi pendapatan

keluarga dan etnis. Oleh karena terciptanya rutinitas dalam keluarga merupakan

faktor yang penting untuk perkembangan literasi dasar anak.

Dari hasil penelitian di atas, dapat disimpulkan bahwa kemampuan literasi

dasar dapat dikembangkan di rumah melalui aktivitas literasi yang berbentuk anak aktif

berpartisipasi dalam membaca dan menulis, orangtua membacakan anak buku,

orangtua bermain sambil mengajarkan nama dan bunyi huruf. Selanjutnya lingkungan

rumah menjadi kondusif untuk perkembangan literasi dasar anak bila kondisi keluarga

teratur, sumber daya keluarga (pendidikan, pekerjaan dan pendapatan orangtua)

memadai. Karakteristik orangtua juga berpengaruh pada perkembangan literasi dasar

Page 18: BAB II TINJAUAN PUSTAKA - UMS

24

anak, pengetahuan/keyakinan orangtua tentang literasi dasar berpengaruh pada

besarnya keterlibatan mereka dalam aktivitas literasi bersama anak. Aktivitas literasi

orangtua-anak merupakan mediator bagi hubungan lingkungan rumah dengan

kemampuan literasi dasar, serta memiliki pengaruh lebih besar daripada pendidikan

orangtua dan status ekonomi keluarga. Dalam aktivitas literasi bersama anak, orangtua

dapat berperan sebagai pendidik dan melakukan stimulasi dengan cara bersikap

responsif terhadap anak, menjalin interaksi afektif, memberikan penjelasan

(metalingual utterance).

b. Pengembangan Literasi dasar melalui program prasekolah (child care)

Berns (2007) mendefinisikan child care sebagai pengasuhan dan perawatan

anak oleh orang selain orang tuanya sepanjang hari atau setengah hari, yang dapat

dilakukan di rumah orang lain atau di pusat pengasuhan. Di Indonesia child care

berupa program prasekolah seperti kelompok bermain atau taman kanak-kanak.

Program yang berkualitas dilihat dari apakah guru memberikan cinta, kehangatan dan

bekerja sama dengan orangtua untuk mencapai perkembangan terbaik, apakah

lingkungan aman, nyaman dan sehat, apakah menyediakan aktivitas yang

mengembangkan fisik, emosi, sosial dan mental. Program prasekolah memiliki

pengaruh berbeda-beda tergantung pada kesempatan interaksi dengan guru, teman

dan material yang tersedia. Interaksi anak dan guru dengan aman dan teratur serta

lingkungan yang memberi stimulasi berkorelasi dengan peningkatan kompetensi

intelektual dan sosial. Guru seharusnya menerapkan pembelajaran yang sesuai

dengan perkembangan anak sehingga guru harus menguasai pengetahuan tentang

perkembangan anak dan bagaimana menerapkan kurikulum yang sesuai kebutuhan

anak.

Penelitian telah dilakukan untuk mengungkap peran program prasekolah dalam

pengembangan kemampuan bahasa dan literasi dasar, diantaranya adalah:

Page 19: BAB II TINJAUAN PUSTAKA - UMS

25

a) penelitian Green & Peterson,(2006), menunjukkan bahwa program prasekolah

berupaya agar anak terlibat dalam aktivitas yang penting untuk mengembangkan

bahasa dan literasi. Karakteristik guru dan program berkorelasi positif dengan

frekuensi aktivitas peningkatan kemampuan bahasa dan literasi.

b) penelitian Melhuish dkk. (2008), menghasilkan kesimpulan bahwa program

prasekolah yang efektif memberi kontribusi signifikan terhadap pencapaian

kemampuan membaca dan matematika. Meskipun demikian pengaruh program

prasekolah lebih kecil daripada pengaruh lingkungan literasi di rumah.

Program prasekolah dapat berperan untuk menstimulasi perkembangan literasi

dasar bila anak terlibat dalam aktivitas literasi dan program berjalan efektif serta guru

memiliki karakteristik yang sesuai kebutuhan perkembangan anak.

c. Pengembangan Literasi Anak Dalam Konteks Masyarakat.

Konsep tentang aktivitas literasi di rumah merupakan aktivitas sosial yang

bervariasi, berbeda-beda dalam hal aktivitas apa yang dipilih dan dan bagaimana cara

belajar dan mengajar dalam mengembangkan kemampuan literasi anak (Anderson,

2004). Aktivitas yang berasal dari budaya yang dominan seringkali dianggap sebagai

norma yang berlaku dan penyimpangan dari hal ini sering dianggap kekurangan.

Menurut pandangan sosiokultural hal seperti ini bukan kekurangan karena aktivitas

literasi diartikan bergantung budaya dan berkaitan dengan keyakinan dan nilai

orangtua tentang anaknya (Hammer et al., 2005).

Masa anak dipandang sebagai masa latihan, anak belajar dan berlaltih

keterampilan yang akan dapat mengembangkan mereka menjadi orang dewasa yang

kompeten dalam komunitas mereka sendiri. Dalam hal ini selama interaksi anak dan

orangtua, orangtua berperan sebagai pemberi arahan dan bimbingan. Dalam beberapa

budaya bimbingan ini difokuskan pada keterampilan praktis yang memberi kontribusi

secara ekonomi seperti beternak atau mengasuh anak. Namun demikian pada

beberapa negara barat seperti Amerika Serikat, bimbingan orangtua difokuskan pada

Page 20: BAB II TINJAUAN PUSTAKA - UMS

26

mempersiapkan anak untuk mengikuti sekolah formal dengan mencapai

perkembangan kognitif dan keterampilan sosial (Rogoff, 1990, 2003 dalam

Vandermaas-Peeler, 2009). Interaksi orangtua dan anak yang terjadi selama bermain

juga berbeda-beda tergantung pada budaya dan keyakinan orang tua tentang

pentingnya bermain dalam perkembangan anak. Orangtua dari Eropa-Amerika

memandang bermain sebagai hal penting untuk pengembangan sosial dan kognitif

anak dan seringkali terlbat bermain dengan anak mereka. Interaksi selama bermain

juga merupakan konteks yang dipergunakan oleh orangtua dengan tingkat pendapatan

menengah untuk mengajar/mendidik. (Vandermaas-Peeler, 2009).

Hasil penelitian Vandermaas-Peeler (2009) di Amerika Serikat menunjukkan

bahwa membaca buku dan bermain adalah dua konteks sosial yang banyak

dipergunakan oleh orangtua dari latar belakang pendapatan rendah maupun

menengah untuk memberikan bimbingan. Disamping itu baik orangtua maupun anak

dari kedua kelompok itu sama-sama terlibat mendalam dalam aktivitas membaca dan

bermain. Meskipun demikian orangtua dengan pendapatan rendah melakukan

membaca buku lebih jarang dengan frekuensi hanya tiap minggu, kurang terlibat dalam

proses mengajar anak (bertanya, meminta anak membuat perkiraan, mengaitkan buku

cerita dengan bermain) selama membacakan buku. Mereka menilai dirinya menikmati

saat membacakan buku, serta membuat banyak koneksi sosial saat membaca buku

(melalui humor dan menjadikan pengalamannya sebagai referensi anak) agar anak

tetap mempertahankan keterlibatannya. Saat bermain orangtua lebih banyak

memberikan perintah untuk mengarahkan perilaku anak, dan sedikit memberi anak

pilihan. Sementara itu orangtua dengan tingkat pendapatan menengah, membacakan

buku cerita lebih sering yaitu tiap hari, dan lebih terlibat dalam mengajar anak,

memberi anak pilihan dan anak didorong untuk berpartisipasi dalam diskusi dan

menceritakan pengalamannya.

Uraian di atas memberi informasi bahwa aktivitas literasi di rumah yang dipilih

oleh orangtua dipengaruhi oleh budaya. Pada budaya barat membaca buku dan

Page 21: BAB II TINJAUAN PUSTAKA - UMS

27

bermain adalah dua konteks sosial yang banyak dipergunakan orangtua untuk

mengembangkan literasi dasar.

6. Program Pengembangan Literasi Dasar

Intervensi khusus banyak dibuat dalam upaya untuk menjamin tercapainya

kemampuan literasi bagi anak-anak yang belajar membaca dan menulis permulaan,

juga intervensi bagi anak-anak yang tergolong lamban atau mengalami hambatan

untuk mengikuti pelajaran baca-tulis. Penelitian berikut menguji pengaruh atau

efektivitas program atau intervensi yang telah dilakukan:

Penelitian terhadap anak usia 3-4 tahun yang dilakukan oleh Yaden dkk. (1999)

menunjukan bahwa anak yang mendapat rangsangan membaca buku, aktif dalam

aktivitas literasi memiliki kemampuan emergent literacy yang lebih tinggi.

Anak tidak mudah membedakan apakah dua kata mulai dengan fonem yang

sama atau fonem yang berbeda (misalnya pig dan peak), sehingga anak perlu

diajarkan kemampuan kesadaran fonemik (phonemic awareness). Padahal menurut

Hoff (2005) kesadaran fonemik ini merupakan prediktor kuat bagi kemampuan

membaca. Kesadaran fonemik diajarkan dengan melatih anak mengenali fonem (awal,

tengah, akhir) dari kata yang disebutkan dalam tulisan, nyanyian, puisi. Pelatihan

kesadaran fonemik yang disebut Sound Foundation, terbukti berpengaruh pada

kemampuan membaca. Anak yang mendapat pelatihan kesadaran fonemik memiliki

kemampuan membaca lebih tinggi dibandingkan anak yang tidak mendapat pelatihan.

Pelatihan ini juga membuat anak mampu membaca dengan baik pseudowords yaitu

kata-kata tak bermakna (Byrne dkk., 2000). Dengan demikian proses pengajaran

membaca menulis yang efektif harus meningkatkan kemampuan kesadaran fonemik.

Kesadaran fonemik (phonemic awareness) dapat ditingkatkan melalui invented

spelling, yaitu suatu cara merangsang anak menemukan sendiri cara pengucapan

(spelling) yang tepat dengan membandingkan pengucapannya sendiri dengan

pengucapan anak lain yang lebih mampu. Dalam invented spelling, tugas anak adalah

Page 22: BAB II TINJAUAN PUSTAKA - UMS

28

membaca 2 kata kemudian anak diminta untuk menuliskan kembali dua kata tersebut.

Dalam hal ini mereka harus memperkirakan jumlah dan tipe huruf dari kata yang

dibaca, membandingkan pengucapannya dengan pengucapan anak lain,

mengevaluasi mana spelling yang paling tepat, dan menjelaskan cara pengucapan.

Tugas ini menciptakan konflik kognitif yang meminta anak memilih cara pengucapan

yang memunculkan zona of proximal development (Martins & Silva, 2006).

Menurut Hoff (2005) pengalaman anak menyanyi, permainan suku kata dan

kata meningkatkan kesadaran fonologis dalam hal mengidentifikasi bunyi awal dan

akhir dan membuat anak membaca lebih baik di usia 6 tahun. Program pengajaran

membaca dan menulis yang melatih phonemic awareness dan letter sound knowledge,

mampu meningkatkan kemampuan membaca anak agar standar rata-rata tercapai.

(Hetcher dkk., 2006).

Melihat masih banyak anak yang mengalami kesulitan untuk menulis dengan

tangan, maka dibuat program pengajaran tambahan yang melatihkan cara menulis

huruf-huruf dengan tepat. Pengajaran menulis disusun secara sistimatis dan hirarkhis,

sehingga penyampaian materi mempertimbangkan tingkat kesulitan dan frekuensi

pemakaian huruf. Latihan dimulai dengan 3 huruf yang paling mudah dan paling sering

digunakan, selanjutnya meningkat pada 3 huruf yang lebih sulit. Efektivitas program ini

terbukti efektif meningkatkan pengetahuan tentang huruf dan kemampuan menulis.

Program ini merupakan prediktor paling kuat bagi kemampuan menulis tangan

(Graham dkk., 2000).

Menyadari pentingnya peran dan kontribusi lingkungan rumah dan orangtua,

maka Burgess dkk. (2002) menyatakan bahwa dibutuhkan penelitian lebih lanjut untuk

mengidentifikasi cara terbaik interaksi orangtua dan anak agar memaksimalkan

keterampilan literasi anak. Program-program intervensi yang bertujuan untuk

mengoptimalkan fungsi orangtua agar dapat berperan seperti seharusnya telah

berkembang. Hal ini tentu dipicu oleh fakta bahwa tidak semua orangtua mengerti

bagaimana cara memberikan stimulasi untuk pengembangan literasi dasar anak.

Page 23: BAB II TINJAUAN PUSTAKA - UMS

29

Begitu banyak program intervensi yang sudah diteliti efektifitasnya beberapa

diantaranya adalah; a) program intervensi dari Cronan dkk. (1996) yang memberikan

intervensi intensif 18 kali pertemuan untuk dapat memberi pengaruh signifikan

terhadap peningkatan kemampuan orangtua membimbing anaknya, b) workshop bagi

orangtua untuk meningkatkan keterlibatan orangtua dalam aktivitas literasi di rumah

(Saint-Laurant, Giasson, 2005), c) program words to go, melatih orangtua dalam hal

kemampuan membuat kata, mengeja, dan membaca, d) fast start reading, melatih

orang tua dan anak untuk membaca lancer (Rasinski, 2005).

Penelitian di atas menunjukkan bahwa tidak hanya anak yang membutuhkan

pembelajaran literasi dasar, orangtua juga perlu belajar untuk dapat membantu anak

mereka mengembangkan kemampuan literasi dasar.

B. Keluarga Sebagai Konteks Pengembangan Literasi Dasar Anak.

1. Keluarga

Menurut Berns (2007) keluraga diartikan sebagai dua atau lebih orang yang

memiliki ikatan dan menyatu dalam suatu rumah tangga. Secara struktur keluarga bisa

dibedakan menjadi keluarga inti dan keluarga besar, keluarga inti hanya terdiri dari

orangtua dan anak sengkan keluarga besar adalah keluarga inti yang tinggal bersama

sanak saudaranya. Keluarga memiliki fungsi sebagai penghasil keturunan,

sosialisasi/pendidikan, tugas peran sosial, dukungan ekonomi dan emosional.

Keluarga yang dapat menjalankan fungsinya akan menciptakan lingkungan yang

sehat, sebaliknya keluarga yang kurang berfungsi beresiko memunculkan masalah.

Dalam keluarga terdapat pola kebiasaan yang merupakan hasil dari interaksi antar

individu di dalamnya, juga interaksi keluarga dengan lingkungan sosial di sekitarnya.

Kebiasaan atau aktivitas literasi akan berbeda-beda tergantung pada latar belakang

budaya.

Page 24: BAB II TINJAUAN PUSTAKA - UMS

30

2. Faktor-Faktor Keluarga

Penelitian tentang literasi dasar yang sudah dilakukan secara umum mengkaji

pengaruh kondisi lingkungan rumah dan efektivitas program pendidikan di prasekolah

(kelompok bermain atau taman kanak-kanak) terhadap perkembangan literasi dasar.

Dari penelitian-penelitian itu dapat disimpulkan bahwa terdapat beberapa faktor yang

pengaruhnya tergolong besar, yaitu:

a. Aktivitas Literasi; merupakan mediator diantara stimulasi di rumah dan program

prasekolah dengan perkembangan literasi dasar anak. Adapun bentuk aktivitas

literasi dapat berupa:

i. membaca buku cerita : merupakan prediktor perkembangan bahasa (ekspresif

dan reseptif) bila pembaca cerita melakukan metalingual utterences (Deckner

dkk, 2006). Anak yang mendapat rangsangan membaca buku, aktif dalam

aktivitas literasi memiliki kemampuan emergent literacy yang lebih tinggi

(Yaden dkk.,1999; Levy dkk., 2006; Burgess, 2002; Raikes dkk., 2006,

Stephenson dkk., 2008, Aram dkk., 2006; Sonnenshein & Munsterman, 2002).

ii. mengajak anak bercakap-cakap : memberikan verbal scaffolding (Dieterich

dkk., 2006)

iii. bermain terkait huruf, kata (Evans dkk., 2000; Stephenson dkk., 2008)

iv. mengajari pengetahuan tulisan; mengenalkan bunyi huruf, nama alphabet

(Senechal & LeFevre, 2002)

v. mengajari anak menulis (Graham dkk., 2000).

b. Interaksi orangtua-anak saat aktivitas literasi; bagaimana perilaku orangtua dalam

menciptakan pola interaksi menentukan efektif tidaknya proses aktivitas literasi.

Beberapa pola interaksi yang berpengaruh positif adalah sikap responsif (Roberts

dkk., 2005), interaksi afektif, metalingual utterence (Deckner dkk., 2006; Kang dkk.,

2009), verbal scafolding (Diertrich dkk., 2006), strategi membaca buku dan

sensitivitas terhadap kebutuhan anak (Roberts dkk., 2005).

Page 25: BAB II TINJAUAN PUSTAKA - UMS

31

c. Keteraturan rutinitas keluarga; rutinitas yang teratur mengembangkan perilaku positif

(Churchill & Stoneman, 2004) dan berkaitan dengan kegiatan literasi di rumah

(Serpell, 2002; Johnson dkk., 2008). Semakin teratur kondisi keluarga di rumah

semakin besar kemungkinan orangtua terlibat dalam aktivitas literasi bersama anak

dan semakin tinggi kemampuan literasi dasar anak (Weigel dkk., 2010)

d. Karakteristik Orangtua; orangtua membantu anak dalam mencapai kemampuan

literasi dasar dengan bermacam-macam cara dan tingkat keterlibatan yang

bervariasi. Hal ini dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu:

i. Nilaii/keyakinan; bagaimana orangtua memandang pentingnya dan cara yang

tepat mengembangkan literasi dasar merupakan nilai yang difahami dan

diyakininya dan mempengaruhi perilaku orangtua dalam mengembangkan

kemampuan literasi dasar anak (Sonneschein & Baker, 2005; Lynch dkk., 2006;

Weigel dkk., 2006).

ii. Sikap; bagaimana orangtua memiliki sikap terhadap membaca berpengaruh

terhadap prestasi anak membaca (Park, 2008).

iii. Pendidikan, pekerjaan, pendapatan; pengaruh pendidikan orangtua terhadap

kemampuan anak membaca dimediatori oleh kondisi literasi di rumah (Park,

2008), sedangkan ketiga faktor itu sebagai sumberdaya keluarga memprediksi

aktivitas literasi di rumah (Lopez, 2007). Namun pengaruh pendidikan dan

status ekonomi lebih kecil daripada pengaruh aktivitas literasi di rumah

(Melhuish dkk., 2008).e. Media Massa dan Teknologi; perkembangan teknologi

yang pesat menempatkan media dan alat komunikasi canggih semakin

memasyarakat. Hal ini memunculkan besarnya pengaruh media dan teknologi

terhadap literasi sehingga era sekarang lebih dikenal dengan era literasi baru

atau multi literasi. Review yang dilakukan Moses (2008) terhadap 14 penelitian

tentang pengaruh menonton televise terhadap kemampuan literasi dasar

menunjukkan bahwa menonton televisi berpengaruh moderat dalam

meningkatkan kemampuan membaca pada anak. Lebih lanjut Kamil, Intrator,

Page 26: BAB II TINJAUAN PUSTAKA - UMS

32

dan Kim (dalam Langkshear & Knobel, 2003) dalam reviewnya terhadap 350

artikel menyimpulkan bahwa pengaruh penggunaan multimedia memfasilitasi

terjadinya pembentukan kemampuan kognitif dan tercapainya hasil belajar.

3. Keterlibatan Orangtua

a. Pentingnya Peran Orangtua dalam Perkembangan Literasi Dasar

Penelitian beberapa dekade menunjukkan bahwa anak memperoleh manfaat

dari dukungan dan dorongan orangtua terhadap pendidikan anak. Keterlibatan

orangtua dalam bentuk aktivitas terbukti lebih penting untuk menolong anak mencapai

keberhasilan sekolah daripada struktur keluarga seperti status ekonomi, pendidikan

orangtua, ukuran keluarga, umur anak, suku. Hal ini mengingat berbagai keluarga

mengkompensasikan kekurangan secara ekonomi dengan memperkuat dalam hal

sikap dan energi untuk memberikan dukungan dan pemantauan terhadap pendidikan

anak (Banks, 2004)

Orangtua adalah orang signifikan pertama bagi anak dan merupakan pendidik

yang memberi kontribusi sejak sangat dini terhadap perkembangan anak. Paratore

(2003, dalam Reutzel dkk., 2006) menyatakan bahwa orangtua memberi kontribusi

yang sangat kuat terhadap kesuksesan anak dalam belajar literasi. Melhuish dkk.

(2008) menambahkan bahwa pola asuh orangtua dan lingkungan rumah berpengaruh

signifikan terhadap perkembangan anak, mengingat orangtua berperan besar

terciptanya proses belajar dan mengajar suatu skill tertentu. Anak diajarkan misalnya

hubungan bunyi dan bentuk huruf, anak juga dimotivasi orangtua misalnya belajar cara

belajar serta anak menginternalisasikan nilai dan harapan orang tua melalui aktivitas

literasi di rumah. Pengaruh lingkungan rumah yang responsif terhadap anak

berpengaruh signifikan dalam meningkatkan kemampuan bahasa (reseptif maupun

ekspresif) dan kemampuan literasi (Roberts, J. dkk., 2005). Sejalan dengan pendapat

ini adalah pendapatnya Li, H. dan Rao, N (2000) yang penelitiannya menyimpulkan

bahwa di Negara yang berbahasa ibu China (Beijing, Hongkong dan Singapura) peran

Page 27: BAB II TINJAUAN PUSTAKA - UMS

33

dan pengaruh orang tua terhadap pengembangan literasi bahasa China sangat

signifikan. Literasi China yang tergolong sulit, membuat orangtua berusaha

mengajarkannya sejak dari rumah dan sejak prasekolah.

b. Aktivitas Literasi Orangtua-anak

Dalam rangka pengembangan kemampuan literasi dasar di rumah, berbagai

macam aktivitas dapat dilakukan oleh orangtua. Contohnya berupa membacakan buku

cerita dan mengeksplorasi materi bacaan dengan anak, memberi anak kesempatan

untuk menceritakan kembali cerita yang dibaca, meniru cara membaca orangtua serta

mengeksplorasi cara menggambar dan menulis. Selain itu mengajak bernyanyi dan

berpuisi, bermain peran serta menciptakan lingkungan yang kondusif dengan material

dan instruksi yang memadai. Reese dkk. (2010) dalam penelitiannya membagi

keterampilan orang tua yang dapat diberi intervensi menjadi tiga, yaitu intervensi untuk

mengembangkan keterampilan dalam konteks membacakan anak buku cerita,

mengajak anak bercakap-cakap, dan mengajari anak menulis. Sementara itu Green

dkk. (2006), beberapa strategi untuk meningkatkan kemampuan literasi dasar anak

adalah membacakan buku dengan keras dan bersifat interaktif, meningkatkan

pemahaman anak terhadap konsep tulisan, memberi anak kesempatan untuk

mencorat-coret/menulis, mengenalkan dengan huruf, nama alfabetnya, bunyinya serta

meningkatkan keterampilan fonologis.

Hasil penelitian PIRLS 2006 di 45 negara yang diteliti menunjukkan bahwa

anak yang berasal dari keluarga yang menstimulasi literasi dasar memiliki kemampuan

literasi yang lebih tinggi. Lingkungan rumah yang kondusif memiliki karakteristik

orangtua mempunyai kebiasaan membaca, memiliki banyak buku bacaan, terlibat

dalam aktivitas literasi di rumah sejak dini. Selain itu kemampuan literasi dasar anak

menjadi prediktor bagi kemampuan literasi anak di kelas 4

(www.iea.nl/pirls20060.html). Penelitian Hwa Wei Ko dan Yi Ling Chan (2009),

menunjukkan bahwa kemampuan dasar literasi anak dan jumlah buku yang dimiliki di

Page 28: BAB II TINJAUAN PUSTAKA - UMS

34

rumah merupakan prediktor paling penting bagi pencapaian kemampuan membaca di

usia 9-10 tahun (sekolah dasar).Sementara itu Barbara Bush (2009) menyatakan

pendapatnya bahwa bagi anak rumah adalah sekolah pertama, orangtua adalah guru

pertama dan membaca adalah pelajaran pertama. (www.barbarabushfoundation.com).

Dengan demikian bila kemampuan literasi dasar distimulasi sejak dini maka dapat

dipastikan anak mampu menguasai literasi selanjutnya dengan lebih mudah. Stimulasi

dini literasi dasar adalah solusi bagi masalah rendahnya kemampuan literasi anak di

sekolah dasar.

Keterlibatan orangtua dalam aktivitas literasi memberi pengaruh yang signifikan

dalam pengembangan literasi dasar anak. Beberapa penelitian berikut menunjukkan

hal ini:

1. Anak belajar dengan lebih baik bila dalam konteks relasi orangtua-anak. Orang

yang berbagi emosi positif dalam keseharian seperti halnya orang tua, akan

memberi panduan dalam aktivitas anak. Orangtua yang memiliki keterlibatan

terhadap aktivitas leterasi anak akan aktif memberi arahan pada anak, sehingga

selanjutnya akan berlanjut meski tanpa arahan (Mullis dkk., 2004).

2. Penelitian menunjukkan bahwa rangsangan berupa membacakan cerita dan

memberi penjelasan arti kata-kata dalam cerita, tidak berpengaruh signifikan

terhadap peningkatan kosa kata pana anak usia 5-7 tahun (Penno dkk., 2002).

Pengalaman literasi di rumah yang menjadi prediktor kemampuan membaca

adalah kegiatan yang bersifat aktif melakukan eksplorasi atau berpartisipasi

misalnya membaca sendiri, menulis sendiri sedangkan kegiatan literasi di rumah

yang pasif seperti dibacakan cerita tidak menjadi prediktor langsung kemampuan

membaca. Selain itu diperoleh juga pola perkembangan kemampuan membaca

sesuai dengan perkembangan usia, pada usia 4 tahun anak membaca huruf-huruf,

usia 5 tahun membaca satu atau dua kata, dan pada usia 6 tahun membaca

sebenarnya (Levy dkk., 2006).

Page 29: BAB II TINJAUAN PUSTAKA - UMS

35

3. Pengalaman dibacakan cerita dapat menjadi prediktor bagi perkembangan bahasa

(ekspresif dan reseptif). Bila pembaca cerita (orangtua) memberikan metalingual

utterances (ungkapan dalam percakapan yang mengarahkan anak untuk

memperhatikan bahasa itu sendiri) perkembangan bahasa anak lebih meningkat

dan minat anak terhadap membaca menjadi lebih tinggi, untuk kemudian

mendukungnya untuk menguasai kemampuan membaca (Deckner dkk., 2006).

4. Penelitian lain menunjukkan bahwa orangtua yang memberikan verbal scaffolding

(bertanya, mengarahkan, mendemonstrasikan sesuatu untuk mengembangkan

konsep objek, orang, aktivitas dan fungsi) terbukti mempengaruhi secara signifikan

perkembangan bahasa. Kemudian verbal scaffolding ( pada usia 3 tahun) dan

bahasa (pada usia 4 tahun) menjadi prediktor signifikan untuk kemampuan

decoding (pada usia 8 tahun). Selanjutnya kemampuan decoding menjadi prediktor

yang signifikan kemampuan memahami bacaan pada usia 10 tahun. Dengan

demikian verbal scaffolding yang diberikan seorang ibu terhadap anaknya terbukti

meningkatkan kemampuan bahasa, kemampuan bahasa ini minginkatkan

kemampuan decoding, selanjutnya kemampuan decoding meningkatkan

kemampuan memahami bacaan. (Dieterich dkk., 2006).

5. Keterlibatan orang tua dalam program pengembangan literasi dasar yang dilakukan

terhadap anak usia kelas satu, menunjukkan bahwa kelompok anak yang

orangtuanya terlibat dalam program mendapat skor kemampuan dasar literasi lebih

tinggi daripada kelompok anak yang orangtuanya tidak terlibat (Reutzel dkk, 2006).

Orang tua yang mendapat pelatihan dan pendampingan tentang metode

membacakan buku pada anak mereka, terbukti berpengaruh terhadap peningkatan

kemampuan bahasa dan perkembangan konseptual anak. Semakin meningkat

frekuensi pelatihan dan pendampingan terhadap orang tua semakin tinggi

peningkatan kemampuan bahasa dan perkembangan konseptual anak (Cronan

dkk., 1996).

Page 30: BAB II TINJAUAN PUSTAKA - UMS

36

6. Peran ibu lebih banyak diteliti daripada peran ayah terhadap pengembangan

literasi anak mengingat pada mayoritas komunitas hubungan ibu dengan anak

lebih dekat dibandingkan hubungan dengan ayah. Weigel dkk.(2006)

membandingkan bahwa ibu yang tergolong fasilitatif memiliki keterlibatan dalam

aktivitas literasi seperti membacakan buku, menulis dan juga menjadi contoh

sebagai yang menyukai membaca, lebih berpengaruh dalam meningkatkan

kemampuan literasi anak. Sedangkan ibu yang tergolong konvensional kurang

memiliki keterlibatan dalam aktivitas literasi yang bervariasi, lebih banyak

melakukan pengembangan literasi melalui rutinitas sehari-hari seperti mengerjakan

pekerjaan rumah, berbelanja. Beberapa penelitian menelaah peran ibu sebagai

pemberi stimulasi berupa ungkapan atau sering disebut metalingual utterences.

Ungkapan dalam percakapan yang mengarahkan anak untuk memperhatikan

bahasa itu sendiri terbukti meningkatkan perkembangan bahasa anak dan minat

terhadap membaca untuk kemudian mendukungnya untuk menguasai kemampuan

membaca (Deckner dkk, 2006). Pengaruh ungkapan ibu saat membaca buku

berpengaruh terhadap kemampuan anak memberi respon dan menceritakan

kembali isi buku, dalam hal ini ibu menjadi model bagi anak (Kang, J.Y dkk., 2009).

Selain itu ibu juga pemberi arahan lewat pertanyaan atau demonstrasi untuk

menembangkan konsep tentang objek, orang, aktivitas dan fungsi yang biasanya

disebut verbal scaffolding (Dietrich, 2006). Ibu juga menggunakan komunikasi

scaffolding sebagai strategi membaca (Kang, J.Y dkk., 2009). Peran ibu yang lain

adalah dalam hal sensitivitas terhadap kebutuhan anak (maternal sensitivity) dan

strategi membaca buku (reading strategy) untuk mempertahankan keterlibatan dan

fokus anak pada membaca buku. Kedua peran ini berhubungan sedang dengan

perkembangan kosakata bahasa anak (Roberts dkk., 2005). Kemampuan ibu

dalam membaca ternyata juga berhubungan dengan kosakata bahasa ekspresif

dan kesadaran fonologis (Johnson, A.D. dkk, 2008).

Page 31: BAB II TINJAUAN PUSTAKA - UMS

37

Dengan besarnya pengaruh lingkungan rumah dan orangtua, tidak berarti

kondisi anak sendiri tidak punya peran dalam pengembangan literasi dasar mereka.

Minat dari dalam diri menentukan kualitas interaksi dengan orangtua saat membaca,

perolehan kemampuan bahasa serta perkembangan literasi dasar (Deckner dkk.,

2006). Inisiatif anak usia 5-6 tahun untuk terlibat dalam aktivitas literasi lebih meningkat

dibandingkan saat usia 4 tahun, namun dibandingkan inisiatif anak, dukungan dan

arahan orangtua lebih berpengaruh terhadap peningkatan kemampuan literasi dasar

anak. Aktivitas literasi di rumah yang memberikan pengaruh signifikan adalah yang

bersifat aktif melakukan, seperti membaca dan menulis sendiri, sedangkan aktivitas

yang pasif seperti dibacakan cerita tidak memiliki pengaruh signifikan (Levy, 2006).

Senada dengan hal ini Burgess (2002) menyatakan bahwa efek signifikan dapat

diperoleh bila anak aktif memanipulasi objek media belajar.

Dari penelitian-penelitian di atas dapat disimpulkan bahwa orangtua adalah

orang signifikan bagi anak, yang memberi kontribusi besar bagi kesuksesan anak

belajar literasi dasar. Keterlibatan orangtua dalam bentuk aktivitas bersama anak

sangat penting untuk mendukung pendidikan anak. Pengaruh dukungan orangtua lebih

besar daripada minat dan inisiatif anak sendiri. Perilaku orangtua yang memberi

kesempatan pada anak untuk aktif berpartisipasi saat melakukan aktivitas literasi

bersama berpengaruh signifikan terhadap perkembangan literasi dasar anak. Bentuk

keterlibatan orangtua dapat berupa menstimulasi perkembangan bahasa,

membiasakan membaca buku, mengajak anak menggambar dan menulis.

C. Landasan Teori Pencapaian Literasi Dasar dalam Konteks Keluarga

Dalam menjelaskan bagaimana konteks keluarga berpengaruh terhadap

pengembangan literasi dasar anak prasekolah, digunakan teori ekologi dan sosio-

kultural sebagai kerangka teori. Sedangkan untuk menjelaskan proses yang terjadi

dalam internal anak secara kognitif digunakan teori perkembangan kognitif dari Piaget.

Page 32: BAB II TINJAUAN PUSTAKA - UMS

38

1. Teori Perkembangan dan Pemerolehan Bahasa

Anak dini usia memperolah kemampuan bahasa dengan sangat cepat dan

hampir tanpa usaha keras selama tiga atau empat tahun pertama (Gleason, 1998).

Pada bayi baru lahir sampai usia 2 bulan anak baru dapat menangis. Kemudian usia

2–4 bulan mulai mengoceh, dan pada usia menjelang 1 tahun dapat mengatakan kata

pertama. Pada usia 18–24 bulan anak mulai mengetahui beberapa lusin kata dan

merangkainya dalam kalimat yang pendek atau frase. Dalam usia 2–5 tahun bahasa

anak berkembang dari bahasa ucapan bayi menuju bahasa komunikasi orang dewasa.

Menurut Bjorklund (2005) perkembangan bahasa berkaitan dengan

perkembangan bicara, semakin mampu berbicara semakin kaya bahasanya, juga

semakin kaya bahasanya membuat anak semakin percaya diri untuk banyak berbicara.

Pada masa prasekolah kemampuan bahasa berkembang pesat, seiring dengan

kebutuhan untuk bersosialisasi dan rasa ingin tahunya. Bahkan mereka juga lebih

mudah untuk belajar bahasa selain bahasa ibu, daripada orang dewasa. Dengan

demikian mengajarkan bahasa Inggris sebagai bahasa asing yang penting, lebih tepat

bila dilakukan sedini mungkin. Periode kritis/sensitif untuk belajar bahasa adalah saat

dini usia, dimana fleksibilitas otak masih sangat baik. Perkembangan bahasa akan

mendasari kemampuan membaca, semakin kaya kosakata yang dimiliki maka semakin

mudah anak memaknai tulisan, dan mengerti artinya, pada akhirnya semakin cepat

anak belajar membaca.

Para ahli belum mencapai kesepakatan bagaimana terjadinya perkembangan

bahasa, sehingga memunculkan beberapa macam teori perkembangan bahasa.

Masing-masing memiliki kelebihan namun tidak ada yang merupakan teori yang sudah

lengkap. Perkembangan bahasa tergantung pada faktor kognitif individu dan juga pada

pengaruh lingkungan (Gleason, 1998). Teori nperkembangan bahasa yang digunakan

dalam penelitian ini adalah:

a. Cognitive Theory

Page 33: BAB II TINJAUAN PUSTAKA - UMS

39

Menurut teori ini bahasa adalah bagian dari perkembangan kognitif, bergantung

pada perolehan berbagai konsep. Anak belajar dunia sekitar kemudian memberikan

peta bahasa pada pengalaman sebelumnya tentang sekitar tersebut. Misalnya anak

mengenal kucing sebagai binatang yang mengeong, berbulu lembut, dan makan di

dapun; anak membuat konsep kucing lalu memetakan anak kucing pada konsep

kucing. Ahli teori ini meyakini bahwa bahasa hanya salah satu aspek dari kognisi

manusia. Dalam pandangan Piaget bahasa dipetakan ke dalam struktur kognitif

individu, dan prinsip bahasa tidak berbeda dengan prinsip kognitif. Tahapan

perkembangan Piaget dihubungkan dengan munculnya keterampilan bahasa pada

anak. Perkembangan bahasa berjalan paralel dengan perkembangan kognitif,

misalnya perkembangan kemampuan menggunakan satu kata sejalan dengan

perkembangan sensorimotorik pada akhir usia 4 tahun atau awal 5 tahun.

b. Social Interactionist Theory

Dalam teori ini menekankan bahwa perolehan bahasa ditentukan oleh

lingkungan belajar. Bahasa yang didengar anak bayi seringkali berbeda dengan

bahasa untuk orang dewasa. Misalnya untuk bayi, bahasa yang digunakan lebih

sederhana, lebih perlahan, dengan intonasi lebih hidup. Teori ini tidak mengabaikan

adanya faktor neuropsikologis khusus. Faktor biologis, meski diperlukan tetapi belum

cukup untuk meyakinkan bahwa bahasa berkembang. Bahasa adalah alat komunikasi

yang berkembang melalui interaksi dengan manusia lain, sehingga dikenal language

acquisition socialization system (LASS). Teori ini menyatakan bahwa tidak ada periode

kritis untuk pemerolehan bahasa. Beberapa hal dalam bahasa memang lebih mudah

diperlajari pada usia anak daripada dewasa, tetapi ini membuktikan bahwa orang

dewasa adalah pembelajar yang lebih buruk daripada anak.

Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa perkembangan bahasa pada anak

usia dini berjalan sangat pesat. Bagaimana perkembangan ini terjadi dapat dijelaskan

dengan tinjauan secara kognitif pada tataran individu dan secara interaksi sosial pada

tataran sosial.

Page 34: BAB II TINJAUAN PUSTAKA - UMS

40

2. Teori Perkembangan Kognitif Piaget

Piaget memiliki beberapa asumsi tentang perkembangan kognitif, yang dapat

menjelaskan bagaimana kognitif berkembang dari mulai bayi sampai dewasa serta

bagaimana proses belajar berlangsung (Bjorklund, 2005). Asumsi-asumsi itu adalah:

a. Scheme/Structure

Setiap individu memiliki skema (scheme), yang merupakan struktur kognitif

yang terorganisir sebagai representasi dari pengalaman atau realitas. Skema ini

terbentuk melalui proses manipulasi objek sekitar yang disebut dengan behavioral

scheme, misalnya melempar, memegang, membuka-tutup mainan pada bayi. Proses

ini membuat kognitif memiliki symbolic scheme, yaitu hasil abstraksi dari pengalaman

menjadi suatu image dan verbal code. Setelah anak memasuki usia sekolah, skema

anak menjadi operasional yaitu melakukan aktivitas mental yang bersifat internal

seperti menjumlah dan mengurangi. Kemampuan operasional ini memungkinkan anak

untuk memanipulasi informasi (berbentuk image dan verbal code) dan berpikir logis

tentang hal-hal yang terjadi di lingkungan dan masalah yang dihadapinya.

b. Intrinsic Activity

Anak bukanlah organisme yang pasif dan menunggu stimulasi lingkungan untuk

berperilaku. Anak adalah organisme aktif yang mencari stimulant dan memiliki rasa

ingin tahu dan melakukan eksplorasi. Anak memiliki Intrinsic Activity, yaitu rasa ingin

tahu yang membuatnya selalu mencari tahu untuk memahami sesuatu lebih baik.

c. The Constructive Nature of kognitif

Anak adalah constructivist yang secara aktif membentuk pemahaman baru

tentang dunianya berdasarkan pengalaman yang dialaminya sendiri. Kognisi selalu

berkembang karena proses konstruktif.

d. Functional Invariant

Anak dapat mengkonstruk skema baru karena mereka memiliki dua fungsi

intelektual bawaan berupa organisasi dan adaptasi (organization and adaptation).

Organisasi adalah mengkombinasikan skema yang dimiliki dengan pengalaman baru

Page 35: BAB II TINJAUAN PUSTAKA - UMS

41

untuk membentuk skema baru yang lebih kompleks. Adaptasi adalah proses

penyesuaian skema dengan tuntutan lingkungan melalui asimilasi dan akomodasi.

Asimilasi terjadi bila skema yang dimiliki dijadikan sebagai dasar untuk memahami

suatu pengalaman atau masalah. Namun bila skema yang ada tidak berhasil

memahami pengalaman atau masalah dengan tepat maka terjadilah akomodasi yaitu

membentuk pemahaman yang baru yang lebih tepat.

e. Equilibration

Anak selalu mempertahankan kognitifnya dalam keadaan seimbang,

equilibrium. Bila informasi baru tidak sesuai dengan skema yang dimiliki maka terjadi

disequilibrium, yang membuat organisme tidak puas dan melakukan tindakan untuk

mengubah skema yang ada. Dengan demikian kognitif menjadi berubah dan kembali

melakukan organisasi skemanya yang baru dan lebih adaptif/tepat, kognitifpun

kemudian terus berkembang.

Selain asumsi di atas Piaget juga menyatakan usia prasekolah berada pada

tahap praoperasional (2-7 tahun), tahap ini terdiri dari dua fase usia 2-4 tahun dan 4-7.

Pada usia 2-4 tahun dicirikan dengan adanya fungsi semiotik (simbol), yang dapat

dilihat pada beberapa gejala :

a. Membuat imitasi yang secara tidak langsung dari bendanya sendiri, contoh: anak

bermain kue-kuean sendiri, pasar-pasaran.

b. Permainan simbolis, seperti menjadikan mobil-mobilan dengan balok-balok kecil.

Permainan simbolis dapat merupakan ungkapan diri anak.

c. Menggambar. Anak dapat menggambar realistis tetapi tidak proporsional. Contoh:

gambar rumah dan pepohonan tegak lurus di lereng pegunungan.

d. Mengetahui bentuk-bentuk dasar geometris: bulat, bundar, persegi.

e. Bahasa ucapan. Anak mulai menggunakan suara sebagai representasi benda atau

kejadian. Perkembangan bahasa sangat memperlancar perkembangan konseptual

anak dan juga perkembangan kognitif anak. Menurut Piaget: perkembangan

bahasa merupakan transisi dari sifat egosentris ke interkomunikasi sosial.

Page 36: BAB II TINJAUAN PUSTAKA - UMS

42

Pada usia 4-7 tahun dicirikan dengan berkembangnya pemikiran intuitif.

a. Pemikiran anak berkembang pesat secara bertahap ke arah tahap konseptualisasi.

b. Belum dapat berpikir multiAspek.

Selain pemikiran semiotic dan pemikiran intuitif, terdapat pula ciri-ciri pemikiran

lain berupa:

a. Reversibilitas belum terbentuk. Anak belum mampu untuk meniadakan suatu

tindakan dengan memikirkan tindakan tersebut dalam arah yang sebaliknya.

b. Pengertian kekekalan belum lengkap.

c. Klasifikasi figuratif.

d. Relasi ordinal/serial. Anak masih kesulitan mengurutkan suatu seri.

e. Kausalitas, banyak bertanya “mengapa?”

Menurut Piaget (dalam Shaffer, 1994) aspek perkembangan kognisi anak

prasekolah berada pada tahap praoperation artinya belum mampu melakukan operasi

mental yang memungkinkannya untuk berpikir logis. Mereka baru belajar

menggunakan bahasa dan menggambarkan objek dengan imajinasi dan kata-kata,

mengklasifikasikan objek menurut tanda tertentu, cara berpikirnya masih egosentris

dan belum dapat menerima pandangan orang lain. Mampu mengklasifikasikan objek

menurut bentuk, warna, ukuran dan tanda. Konsep mereka berkembang dari konkrit ke

abstrak, dari sederhana ke kompleks, dari spesifik ke umum.

Pengertian anak tentang orang, benda, situasi meningkat pesat seiring

perkembangan kemampuan bertanya, menjelajah, melihat hubungan, berbicara.

Pengertian baru muncul dari arti-arti baru yang diasosiasikan dengan arti-arti yang

sudah dipelajari

Perkembangan kognitif anak prasekolah yang berada pada tahap praoperation

(belum mampu berpikir logis) membutuhkan kesempatan dan kebebasan untuk

mengembangkan daya nalar dan logika. Oleh karena itu agar kemampuan logika anak

berkembang, maka anak perlu lebih dulu menguasai konsep-konsep yang hanya akan

dapat mereka bangun melalui eksplorasi sensoris. Melalui eksplorasi dan interaksi

Page 37: BAB II TINJAUAN PUSTAKA - UMS

43

dengan dunianya ini akan membuat anak belajar dengan cara yang terbaik. Anak akan

belajar tentang volume ketika menuangkan pasir ke dalam ember atau gelas. Mereka

akan menarik kesimpulan dan membangun suatu konsep dari pengalamannya dan

eksperimennya.

Dengan mempertimbangkan karakteristik perkembangan anak, dan bagaimana

anak belajar di atas maka dapat disimpulkan bahwa proses anak belajar harus

merupakan belajar aktif, dengan melibatkan multi sensoris, menggunakan multi

metode dan multi media, serta menyenangkan bagi anak.

3. Teori Sosiokultural (Vygotsky)

Teori ini dirumuskan pertama kali oleh Lev Vygotsky (1978) yang menekankan

lingkungan sosial sebagai fasilitator proses belajar dan perkembangan. Lingkungan

sosial mempengaruhi kognisi melalui alat berupa objek budaya, bahasa, symbol dan

institusi sosial. interaksi sosial, kultural-historikal dan faktor individu adalah faktor kunci

untuk perkembangan manusia. Interaksi dengan orang lain dalam lingkungan

(kolaborasi, apprientice) merangsang proses perkembangan dan meningkatkan

pertumbuhan kognitif. Tetapi interaksi bukan bersifat tradisional yang memberikan

anak informasi, tetapi anak mentransfer pengalamannya didasarkan pada

pengetahuan dan karakteristiknya dan pengenalan struktur mental mereka. Aspek

Kulturan historis penting karena ini merupakan konteks dimana proses belajar dan

perkembangan terjadi. Sedangkan aspek individu merupakan faktor bawaan yang

mempengaruhi perkembangan. anak yang mengalami disability mental dan fisik akan

menghasilkan cara belajar yang berbeda dengan anak normal. Menurut Vygotsky,

pada dasarnya fungsi mental luhur semuanya terjadi dalam konteks lingkungan sosial,

termasuk yang paling berpengaruh adalah bahasa. Sangat penting untuk menguasai

proses menurunkan pemikiran dan perkembangan budaya melalui symbol seperti

bahasa, angka dan tulisan. Penguasaan terhadap siimbol ini kemudian mempengaruhi

dan mengelola (self regulation) pemikiran dan tindakan.

Page 38: BAB II TINJAUAN PUSTAKA - UMS

44

Menurut Vygotsky (1978) perkembangan harus dievaluasi dari perspektif

interaksi anak dan lingkungan dalam empat level yang saling berkaitan, yaitu level

ontogeny, microgeny, philogeny, sociohistorical. Ontogeny melihat perkembangan

pada level individu sepanjang hidupnya. Microgeny melihat perubahan pada periode

waktu tertentu. Phylogeny melihat perubahan pada level species secara evolusi dalam

waktu ribuan atau jutaan tahun. Sociohistorical melihat perkembangan dengan

mengacu pada perubahan pada nilai-nilai, norma, dan teknologi suatu budaya.

Vygotsky menekankan pentingnya memahami bagaimana perkembangan organisme

berubah dalam lingkungan yang berubah. Bila hanya menekankan salah satu dari

organisme atau lingkungan yang mempengaruhi perkembangan anak, maka tidak

dapat diperoleh penjelasan yang adekuat.

Vygotsky mengklaim bahwa bayi dilahirkan dengan beberapa fungsi mental

dasar seperti atensi, sensasi, persepsi dan memori yang dengan pengaruh budaya

secara perlahan meningkat menjadi fungsi mental yang lebih tinggi, lebih baru, dan

lebih memadai. Sebagai contoh, kemampuan memori anak yang awalnya terbatas

menjadi meningkat dengan menginternalisasikan cara atau metode berpikir dan

strategi menyelesaikan masalah seperti membuat catatan. Cara-cara ini akan berbeda-

beda tergantung budaya.

Perspektif sosio-kultural memandang perkembangan kognitif sangat berbeda

dengan perspektif tradisional seperti teori Piaget yang menekankan pola

perkembangan berlaku sama pada semua anak (cognitive universal). Lingkungan

berperan dalam memunculukan perbedaan individual dalam hal lingkungan

mempengaruhi bagaimana anak memandang dunianya, tetapi Piaget tidak

menganggap bahwa lingkungan mempengaruhi perkembangan kognitif anak dalam

area yang besar. Menurutnya, anak yang dibesarkan dalam era informasi akan

memiliki pemikiran yang berbeda dengan anak yang dibesarkan pada jaman berburu,

tetapi masing-masing anak akan menyelesaikan masalah yang dihadapi dalam

kehidupan sehari-harinya dengan menggunakan mekanisme kognitif yang merupakan

Page 39: BAB II TINJAUAN PUSTAKA - UMS

45

tipikal spesiesnya. Mekanisme kognitif ini juga berkembang sesuai dengan skedul

tipikal spesiesnya. Sementara itu Vygotsky menganggap bahwa anak berkembang,

khususnya bagaimana belajar berpikir, sebagai fungsi dari sosial budaya dimana anak

dibesarkan.

ZPD (zone of proximal development) adalah perbedaan antara tingkat

perkembangan yang ditentukan oleh pemecahan masalah sendiri dan tingkat

perkembangan yang potensial dicapai oleh pemecahan masalah dibawah bimbingan

orang dewasa atau teman sebaya yang lebih mampu (Vygotsky, 1978, h 86).

Perubahan kognitif terjadi dalam ZPD ketika guru dan murid berinteraksi yang

dimediasi oleh kultur ini menghasilkan perubahan kognitif ketika murid

menginternalisasikannya. Dengan internalisasi maka murid memiliki kesadaran lebih

dari hasil interaksi dengan lingkungan, institusi sosial (Schunk, 2008).

Menurut Siegler (2005) dalam tulisan Vygotsky terdapat dua tema besar yang

mendasari teori perkembangan sosiokultural

1. Perkembangan kognitif berlangsung dalam proses interaksi sosial

interaksi sosial tidak hanya sebagai kekuatan luar yang menimbulkan perubahan

pada individu tetapi sebagai mekanisme integral dari perubahan perkembangan itu

sendiri. Lingkungan tidak hanya memberikan informasi untuk terjadinya

perkembangan dalam diri anak, seperti teori Piaget, tetapi lingkungan sebagai

bagian integral dari perilaku dan pemikiran anak sehingga kognisi anak dan

perilaku anak tidak terpisahkan dari konteks dimana perkembangan berlangsung.

Dengan demikian yang menjadi unit analisis dalam teori Vygotsky adalah anak

dalam konteks, sedangkan dalam teori Piaget adalah individu anak. Perubahan

dalam perkembangan terjadi melalui proses internalisasi berbagi secara sosial.

Terjadi perubahan dan perkembangan fungsi psikologis dua kali dalam tataran

intermental dan intramental, anak melakukan tugas kognitif diawali dengan

bantuan/bimbingan orang lain sampai anak bisa melakukannya sendiri. Dalam

kerangka ini menekankan transfer tanggung jawab kognisi dari orang yang lebih

Page 40: BAB II TINJAUAN PUSTAKA - UMS

46

terampil kepada yang kurang terampil. Anak dapat melakukan perilaku yang lebih

rumit jika mendapat bimbingan dari orang dewasa daripada hanya melakukannya

sendiri. Dengan demikian akan terjadi ZPD, yaitu perbedaan hasil yang dicapai bila

anak melakukannya sendiri dan bila terjadi interaksi dengan orang dewasa atau

sebaya yang lebih mampu.

2. Perilaku manusia dimediasi oleh alat budaya (cultural tools), terutama bahasa. Alat

budaya ini terdiri dari peralatan teknik yaitu alat untuk melakukan tindakan di

lingkungan: palu, cangkul, perkakas dll. serta peralatan psikologis yaitu alat untuk

berpikir: bahasa, peta, diagram, system angka, calculator, computer software,

calendar, jam. Peralatan psikologi (Psychological tool) mempengaruhi cara kita

mengorganisasikan dan mengingat informasi, misalnya penggunaan abacus untuk

menghitung. Bahasa tidak hanya alat untuk komunikasi tetapi juga alat untuk

mengendalikan dan mengatur tindakan sendiri; bahasa digunakan merencanakan

tindakan, mengingat informasi, memecahkan masalah dan mengelola perilaku. Hal

ini terbukti dalam fenomena berbicara pada diri sendiri (private speech); berbicara

keras pada diri sendiri ketika eksplorasi dan memecahkan masalah. Dengan

demikian perilaku dimediasi oleh bahasa.

Teori sosiokultural modern telah mengembangkan tema ini dalam berbagai

cara, dua fokus utama adalah dalam hal :

1. Norma kultural dan orang lain mempengaruhi kesempatan yang dimiliki anak untuk

belajar dan berpartisipasi dalam aktivitas.

norma budaya mempengaruhi berbagai aspek dari aktivitas anak sehari-hari

termasuk cara membesarkan, harapan tentang kerja, belajar dan bermain. Selain

itu budaya menentukan bagaimana orangtua, guru memilih dan mengatur aktivitas

dan interaksi sosial yang sesuai dengan anak

2. Kemampuan kognitif yang diperlukan untuk belajar secara sosial dan kultural,

termasuk kemampuan untuk membangun pandangan intersubjektif dan

kemampuan untuk memahami orang lain seperti diri sendiri dalam hal memiliki

Page 41: BAB II TINJAUAN PUSTAKA - UMS

47

tujuan, intensi dan mental states. Intersubjectivity memungkinkan untuk berbagi

pemahaman melalui proses atensi dan komunikasi mutual sehingga kemampuan

intersubjectivity yang lebih tinggi menghasilkan belajar lebih baik dibandingkan

intersubjectivity yang lebih rendah. Dengan kemampuan intersubjectivity maka

terdapat 3 bentuk belajar (Tomasello, 1999 dalam Siegler, 2005) yaitu:

a. Belajar meniru (imitative learning); meniru perilaku orang untuk mencapai

tujuan yang sama

b. Belajar dengan instruksi (instructed learning); transfer informasi secara

langsung dan sengaja agar anak mengerti apa yang diajarkan, bisa formal (di

sekolah) bisa informal (di rumah). Anak kemudian menginternalisasikan apa

yang diajarkan untuk kemudian menggunakannya untuk mengatur perilakunya

sendiri.

c. Belajar bersama (cooperative learning); yaitu belajar dengan kerjasama dan

bertujuan memcahkan masalah

4. Teori Ekologi Perkembangan Manusia (Bronfenbrenner)

Menurut teori ini (Bronfenbrenner, 1994) manusia berkembang mengikuti

karakteristik sebagai berikut:

a. Pada fase awal kehidupan secara umum, perkembangan manusia berlangsung

melalui proses yang secara progresif lebih kompleks dalam interaksi timbal balik

antara organism biopsikologis yang bersifat aktif dan berkembang dengan orang-

orang, objek dan symbol-simbol yang ada di lingkungan sekitarnya. Agar menjadi

efektif interaksi harus berlangsung secara teratur pada periode yang lama. Suatu

upaya interaksi secara langsung yang terjadi dalam lingkungan sekitar merupakan

proses meningkatkan (proximal process). Contoh dari proses proksimal ini

ditemukan dalam aktivitas anak-orangtua dan anak-anak, bermain kelompok atau

Page 42: BAB II TINJAUAN PUSTAKA - UMS

48

sendiri, membaca, belajar keterampilan baru, kegiatan atletik, dan melakukan

tugas kompleks.

b. Proses proksimal tidak bisa terstruktur, terarah dan terpelihara dengan sendirinya.

Bentuk, kekuatan dan arah dari proses proksimal bervariasi secara sistimatis

sebagai fungsi bersama dari karakteristik orang yang berkembang, lingkungan

tempat proses proksimal terjadi dan hakikat hasil perkembangan.

Manusia hidup mempengaruhi dan dipengaruhi oleh berbagai lingkungan yang

berbeda, sehingga dapat dijelaskan secara sistimatis keterkaitan lingkungan ini satu

dengan lainnya. Terdapat lima lingkungan berbeda yang berpengaruh pada manusia

yaitu:

a. mikrosistem; merupakan lingkungan dimana terjadi pola aktivitas, peran sosial dan

relasi interpersonal yang dialami individu yang berkembang secara langsung

dengan lingkungan sekitar yang dihadapinya. Lingkungan ini contohnya rumah,

sekolah, tempat kerja termasuk di dalamnya keluarga, teman sebaya, komunitas

dan aktivitas yang dilakukan bersama.

b. mesosistem; merupakan keterkaitan dan interelasi antara dua atau lebih

mikrosistem dimana individu berada seperti misalnya rumah dan sekolah, sekolah

dan komunitas. Dengan kata lain mesosistem adalah sebuah system dari

mikrosistem yang menggambarkan bagaimana konteks anak yang signifikan bagi

perkembangan individu terkait satu dengan lainnya.

c. eksosistem; lingkungan dimana individu tidak langsung berpartisipasi tetapi

lingkungan ini berpengaruh terhadap salah satu mikrosistem individu, contohnya

pekerjaan orangtua, jejaring sosial keluarga, dan konteks tetangga-komunitas.

d. makrosistem; merupakan golongan dan subkultur dimana individu berada yang

berpengaruh terhadap system nilai, khasanah ilmu pengetahuan, sumberdaya

material, adat istiadat, gaya hidup, peluang, hambatan.

e. kronosistem; adalah perubahan sementara dalam system ekologi atau dalam diri

individu yang menghasilkan kondisi baru yang berpengaruh pada perkembangan.

Page 43: BAB II TINJAUAN PUSTAKA - UMS

49

Perkembangan individu berada dalam konteks perubahan waktu, bagaimana

lingkungan berpengaruh pada anak juga ditentukan oleh peran waktu atau jaman.

D. Pencapaian Kemampuan Literasi Dasar dalam Konteks Keluarga.

Perspektif emergent literacy telah menggantikan perspektif reading readiness

dalam memandang kemampuan literasi anak dewasa ini. Dengan demikian maka

orangtua sudah dapat mulai memberikan rangsangan dan pembelajaran terkait

kemampuan literasi dasar sejak dini usia. Perkembangan kemampuan ini terjadi

secara berkelanjutan yang dapat dijelaskan dengan tinjauan kognitif, sosial-kultural,

serta integrasi keduanya.

Tinjauan kognitif menjelaskan proses peningkatan kemampuan bahasa dan

literasi dasar sebagai faktor internal anak. Perkembangan bahasa mendasari

kemampuan literasi, semakin kaya kosa kata bahasa semakin mudah anak memaknai

tulisan, mengerti artinya, dan semakin cepat belajar membaca. Kosa kata pada anak

berkembang sebagai hasil interaksi potensi biologis dan proses belajar. Proses belajar

terjadi melalui pengalaman belajar atau pembelajaran sehingga anak memiliki

kesempatan melakukan koneksi syaraf. Pada sistem otak terjadi asosiasi antara kata

dan makna yang dipelajarinya.

Setiap anak memiliki potensi bawaan untuk menguasai kemampuan ini namun

potensi ini tetap memerlukan peran lingkungan untuk mendukung optimalisasi

perkembangannya. Anak membutuhkan pengalaman belajar yang diciptakan dalam

interaksi dengan lingkungan agar memungkinkan terjadi proses konstruktif membentuk

pemahaman baru untuk membangun skema kognitifnya. Dalam kognitif anak terjadi

koneksi atau asosiasi antara beberapa objek atau pengalaman.

Tinjauan kognitif lebih menekankan kemampuan literasi dasar sebagai hasil

dari berbagai komponen keterampilan/skill kognitif seperti kesadaran fonologis,

pengetahuan huruf, kecepatan membaca urutan huruf. Keterampilan ini dapat

Page 44: BAB II TINJAUAN PUSTAKA - UMS

50

diperoleh dengan pengajaran oleh orangtua atau guru. Oleh karena itu sangat penting

proses pengajaran bagi anak. Pemahaman dengan dasar kognitif ini memberi implikasi

pada cara pandang atau keyakinan orangtua tentang bagaimana cara yang benar

mengembangkan kemampuan literasi anak. Mereka menjadi lebih berorientasi pada

mengajarkan langsung komponen keterampilan, lebih berperan akitif sebagai pemberi

pengetahuan dan anak lebih berperan sebagai penerima pengetahuan. Selanjutnya

anak diarahkan untuk melatih keterampilan ini dengan aktivitas terkait baca-tulis sambil

duduk di meja menghadapi buku dan alat tulis.

Tinjauan sosial-kultural menjelaskan perolehan kemampuan bahasa dan

literasi dasar terjadi dalam konteks kehidupan sehari-hari yang bermakna melalui

keterlibatan aktif dalam aktivitas yang nyata dalam lingkungan mikrosistem yaitu

keluarga. Aktivitas ini diarahkan oleh orang dewasa di rumah terutama orangtua

sehingga tercipta interaksi sosial yang merangsang potensi kognitif, bahasa, dan

literasi dasar anak. Melalui percakapan dengan anak orangtua meningkatkan

kemampuan pengucapan kata dan menambah kosa kata anak kemudian

mengembangkan keterampilan berkomunikasi. Kemampuan bahasa ini mendasari

kemampuan membaca, semakin kaya kosakata yang dimiliki semakin mudah

memaknai tulisan dan semakin cepat belajar membaca. Melalui kegiatan bermain

terkait buku dan tulisan seperti bermain huruf, kata dan membaca buku anak

dikenalkan pada pengetahuan tulisan serta tata cara membaca. Bentuk aktivitas dan

interaksi yang bervariasi merupakan strategi yang dapat disesuaikan dengan kondisi

dan kebutuhan unik masing-masing anak.

Rangsangan kemampuan literasi dasar yang diberikan kepada anak akan lebih

efektif bila terjadi interelasi antara lingkungan primer anak atau lingkungan

mesosistem. MIsalnya interelasi antara keluarga dengan sekolah anak, keluarga

dengan masyarakat sekitar, keluarga dengan teman sebaya anak serta keluarga

dengan media. Hal ini dapat terjadi dalam bentuk aktivitas literasi yang melibatkan

Page 45: BAB II TINJAUAN PUSTAKA - UMS

51

kerja sama orangtua dan guru di sekolah taman bermain atau taman kanak-kanak.

Upaya orangtua dapat didukung oleh adanya fasilitas umum di masyarakat yang

memungkinkan orangtua mengajak anak ke perpustakaan atau ke toko buku. Selain itu

dalam keluarga aktivitas literasi dasar juga dapat melibatkan teman sebaya selain

orangtua, untuk meningkatkan ketertarikan anak. Penggunaan media informasi atau

teknologi multimedia juga merupakan cara yang dapat dilakukan orangtua untuk

merangsang perkembangan literasi dasar anak.

Tinjauan sosial-kultural menjelaskan bahwa kemampuan literasi dasar

diperoleh sebagai hasil interaksi dan komunikasi dengan lingkungan sosial. Dalam hal

ini proses belajar terjadi dalam aktivitas interaksi sehari-hari yang bermakna dan

sesuai dengan konteks sosial yang dialami anak. Selanjutnya orangtua adalah orang

yang memberikan arahan dan panduan agar aktivitas menjadi lebih terstruktur dan

sesuai dengan kemampuan dan kebutuhan anak. Dengan demikian anak lebih banyak

diajak dan difasilitasi untuk melakukan aktivitas literasi yang bermakna dan berfungsi

sebagai aktivitas sosial sehari-hari tanpa harus menekankan pada pengajaran

langsung komponen keterampilan kognitif. Selanjutnya orangtua lebih berperan

sebagai fasilitator yang menyemangati dan mengarahkan perkembangan kemampuan

literasi anak.

Tinjauan kognitif dan sosial-kultural secara terintegrasi menjelaskan

bahwa pengembangan literasi dasar anak akan lebih optimal dengan cara yang

terintegrasi antara pendekatan komponen dan pendekatan holistik. Anak dibimbing

untuk mengenali huruf, kata, dan kalimat serta diasah keterampilan dalam hal

kesadaran fonologis, mengeja dan pemahaman. Hal ini dilakukan dalam konteks

sehari-hari yang bermakna seperti membaca buku untuk mengetahui cerita/informasi,

membaca tulisan nama jalan, toko, menu makanan, daftar belanja dll. Anak juga

dibiasakan untuk pergi ke perpustakaan atau ke toko buku untuk memilih sendiri buku

yang disukainya. Dalam merangsang kemampuan menulis anak dapat dibiasakan

Page 46: BAB II TINJAUAN PUSTAKA - UMS

52

untuk menuliskan nama sendiri pada benda miliknya, menulis pesan atau mengetik

menggunakan komputer atau telepon genggam. Dengan cara seperti ini anak dapat

memaknai bahwa kegiatan membaca dan menulis adalah kegiatan yang

menyenangkan dan bermanfaat untuk mencapai tujuan sehari-hari. Kemudian anak

termotivasi untuk berlatih meningkatkan keterampilan terkait literasi dan meningkatkan

kemampuannya dalam membaca dan menulis.

Tinjauan terintegrasi kognitif dan sosial-kultural merupakan penjelasan

komprehensif yang memandang proses kognitif dalam tataran individu sebagai proses

yang memberi kontribusi bagi pemerolehan kemampuan literasi dasar sama

pentingnya dengan proses interaksi dan komunikasi dalam tataran sosial. Oleh karena

itu digunakan penjelasan dari teori kognitif Piaget dan teori interaksi sosial dari

Vygotsky untuk saling melengkapi dengan dipayungi oleh teori ekologi Braunfenbrener.

Teori ekologi (Brounfenbrenner, 1994) diaplikasikan sebagai kerangka teori

yang menjelaskan bagaimana perkembangan literasi dasar berlangsung dalam

konteks lingkungan. Menurut teori ini perkembangan kemampuan literasi dasar yang

dimiliki anak sangat dipengaruhi oleh konteks dimana anak berada. Konteks yang

terdekat sampai yang terjauh, yaitu mulai dari keluarga sekolah, teman sebaya dan

komunitas sampai pada budaya. Pengaruh lebih besar diberikan oleh lingkungan

mikrosistem anak yaitu keluarga dan sekolah. Meski demikian pengaruh keluarga

sebagai lingkungan pertama lebih besar dari pada pengaruh sekolah seperti hasil

penelitian Melhuish dkk. (2008). Konteks keluarga potensial untuk menjadi solusi bagi

permasalahan rendahnya kemampuan literasi, menangani anak yang beresiko

mengalami kesulitan belajar, serta mencegah terjadinya kesulitan belajar. Dengan

menciptakan lingkungan yang kaya dengan pengalaman yang mengembangkan

kemampuan literasi anak sedini mungkin maka lingkungan keluarga sudah

menjalankan fungsinya sebagai agen pendidik. Perkembangan literasi dasar anak

berlangsung secara progresif melalui proses interaksi timbal balik antara anak dengan

orang, objek, dan symbol di lingkungan sekitar anak. Oleh karena itu interaksi timbal

Page 47: BAB II TINJAUAN PUSTAKA - UMS

53

balik ini merupakan kunci bagi terjadinya proses belajar anak. Interaksi anak dengan

orangtua dalam rutinitas sehari-hari melalui aktivitas bermain dan membaca yang

berlangsung secara terus menerus dalam jangka waktu lama, mendukung terjadinya

proses peningkatan (proximal process) literasi dasar anak. Proses peningkatan

menjadi lebih terstruktur dengan adanya peran dan keterlibatan orangtua yang

mengarahkan dan mengkondisikan lingkungan rumah agar menstimulasi potensi anak.

Karakteristik anak dan kondisi lingkungan mikro, meso, ekso dan makro serta

kronosistem akan menentukan bentuk, arah dan besarnya kemampuan literasi dasar

yang dicapai. Di dalam keluarga sebagai lingkungan mikrosistem, terdapat rutinitas

keluarga yang dapat menciptakan keteraturan dan situasi yang terstruktur yang

mendorong munculnya kebiasaan orangtua melakukan aktivitas literasi bersama

anaknya. Lingkungan mesosistem yang merupakan keterkaitan keluarga dengan

komunitas menciptakan kebiasaan penggunaan fasilitas dan teknologi multimedia

dalam aktivitas literasi anak di rumah. Lingkungan makrosistem yang merupakan

subkultural dimana orangtua berada, berpengaruh besar terhadap pengetahuan yang

diyakininya benar dalam mengembangkan kemampuan literasi anak. Faktor-faktor

rutinitas keluarga, fasilitas dan teknologi multimedia serta keyakinan orangtua tentang

pengembangan literasi anak, berpengaruh pada perkembangan anak juga ditentukan

oleh peran waktu dan jaman. Pada era modern literasi merupakan kemampuan yang

sangat penting, menuntut anak untuk mampu menguasai literasi dengan baik.

Pada tataran kognitif individu proses belajar literasi dasar terjadi karena potensi

memori, perhatian, pemahaman dirangsang untuk dapat berfungsi dengan adanya

pengalaman belajar dengan orangtua. Pengalaman ini dapat berupa pengajaran

langsung seperti diajarkan cara baca-tulis maupun tidak langsung seperti melalui

bermain, membaca buku atau bercakap-cakap. Pengalaman interaksi memungkinkan

potensi anak lebih berkembang yang menumbuhkan rasa ingin tahu yang lebih besar

terhadap objek-objek di sekitarnya. Kondisi ini mendorong anak untuk memiliki minat

terhadap hal baru.yang ada di lingkungannya. Anak menjadi tahu nama objek yang

Page 48: BAB II TINJAUAN PUSTAKA - UMS

54

memperkaya kosa kata bahasanya, anak memiliki skema tentang objek dan

pengalamannya. Selanjutnya setiap anak mendapatkan hal baru maka terjadi proses

organisasi dan adaptasi sehingga kondisi kognitifnya selalu seimbang (equilibration).

Dengan demikian skema yang dimiliki anak selalu berkembang terus menerus

mencapai kemampuan yang lebih kompleks. Sesuai karakteristik perkembangan

kognitif anak yang berada pada masa praoperasional, maka proses belajar dimulai dari

tahapan semiotik yaitu berupa permainan simbolis, meniru kemudian menuju tahapan

intuitif yang berupa berpikir hal-hal konsep seperti bahasa. Selain itu juga cara

berpikirnya berkembang dari egosentris menuju pandangan intersubjektif

Teori sosio-kultural (Vygotsky, 1978) digunakan untuk menjelaskan dinamika

hubungan bagaimana lingkungan keluarga sebagai faktor eksternal berpengaruh pada

terciptanya pengalaman belajar dalam diri anak. Perspektif kontemporer sosiokultural,

memandang pengembangan literasi dasar sebagai suatu proses yang bersifat interaktif

antara individu anak dengan lingkungan sosial dan dalam konteks kulturnya.

Bagaimana anak berkembang khususnya bagaimana anak belajar untuk berpikir,

adalah fungsi dari lingkungan sosial dan kultural dimana anak berada. Cara pandang

ini menekankan pada apa yang membuat anak berpikir dengan caranya yang berbeda

dengan orang lain. Perkembangan kognitif anak tak terpisahkan dari konteks kultural.

Nilai-nilai budaya diturunkan pada anak melalui orang tua dan anggota masyarakat

lainnya. Melalui interaksi anak dan orang lain dalam kesehariannya, intelektual anak

berproses untuk mengembangkan kemampuan melakukan tugas dan menyelesaikan

masalah sesuai dengan kekhususan lingkungan sekitar mereka. Orang tua seringkali

tidak menyadari teknik memberi instruksi, tetapi praktek membesarkan anak yang

dipengaruhi nilai-nilai budaya biasanya sesuai dengan bagaimana anak akan hidup di

masa dewasanya (Bjorklund, 2005). Perspektif sosiokultural ini menekankan bahwa

perkembangan dipandu oleh interaksi orang dewasa dengan anak dalam konteks

kultural yang menentukan bagaimana, dimana dan kapan interaksi ini berlangsung.

Menurutnya perkembangan kognitif berlangsung dalam situasi di mana anak

Page 49: BAB II TINJAUAN PUSTAKA - UMS

55

memecahkan masalah dengan panduan orang dewasa. Dalam hal ini perkembangan

kognitif berlangsung melalui kolaborasi antara anggota suatu generasi dengan anggota

lainnya.

Lingkungan rumah dan aktivitas orangtua bersama anak memberi kontribusi

yang penting dalam mengembangkan literasi dasar anak. Bagaimana hal ini terjadi

dapat dijelaskan melalui teori sosio-kultural. Vigotsky (1978) menyatakan bahwa

proses belajar lebih merupakan aktivitas sosial, dalam hal ini hadir seseorang yang

memiliki kemampuan, pengetahuan lebih dari anak seperti orangtua atau pengasuh

yang memberikan panduan secara verbal untuk mengembangkan kemampuan aktual

anak menjadi lebih baik (zona of proximal). Orang dewasa menstrukturkan aktivitas

untuk memungkinkan anak terlibat dalam perilaku yang lebih kompleks dari yang bisa

mereka lakukan sendiri. Dalam aktivitas ini tercipta kesempatan anak untuk belajar

melalui imitasi, instruksi dari orangtua, serta kooperatif.

Proses belajar dimediasi oleh bahasa, oleh karena itu kemampuan literasi

selalu diawali oleh perkembangan bahasa. Orang dewasa memberikan pertanyaan,

ungkapan/pernyataan, dan memberi dukungan sehingga terjadi proses belajar dan

kemampuan anak kemudian meningkat. Dengan demikian dalam belajar literasi terjadi

proses dalam dua tataran yaitu tataran sosial dan individual. Tataran sosial merupakan

proses dimana terjadi interaksi dan komunikasi dari orangtua kepada anak. Tataran

individual terjadi saat anak memproses informasi yang disampaikan kepadanya dalam

kognitif, yang membuatnya mampu mengembangkan kemampuan yang dimiliki, dalam

hal ini kemampuan literasi.

Peran interaksi sosial sangat besar dalam perkembangan kognisi anak

sehingga komunitas memegang peran penting dalam proses anak membuat/memberi

makna terhadap apa yang dipelajarinya. Proses belajar yang penting umumnya terjadi

melalui interaksi sosial dengan tutor yang lebih terampil yang menjadi model atau

memberi instruksi verbal bagi anak. Anak berusaha memahami instruksi tutor

(seringkali adalah orangtua atau guru) kemudian menginternalisasikan informasi dan

Page 50: BAB II TINJAUAN PUSTAKA - UMS

56

menggunakannya untuk mengarahkan perilakunya sendiri. Meskipun anak terlahir

dengan potensi dasar (atensi, sensasi, persepsi dan memori), secara berangsur

potensi ini berkembang melalui interaksi dalam konteks sosial-kultural sehingga fungsi

mental lebih berkembang menjadi proses mental yang lebih efektif. Oleh karena itu

meski dalam tataran individual terjadi proses kognitif namun tetap dipengaruhi oleh

nilai-nilai dan budaya dimana anak tumbuh seperti halnya cara mengembangkan

memori dapat dilakukan dengan menulis catatan, membuat singkatan menemonic dll.

Sebagai anak mereka adalah individu yang memiliki rasa ingin tahu dan terlibat aktif

dalam proses belajarnya sendiri untuk membangun pemahaman/skema, namun proses

ini tetap diawali oleh interaksi sosial.

Aktivitas literasi orangtua dan anak di rumah merupakan prediktor bagi

perkembangan kemampuan literasi dasar anak prasekolah (Yaden dkk.,1999; Levy

dkk., 2006; Burgess, 2002; Raikes dkk., 2006, Stephenson dkk., 2008, Aram dkk.,

2006; Sonnenshein & Munsterman, 2002). Kegiatan literasi yang dapat menjadi

prediktor adalah yang bersifat aktif melakukan eksplorasi dan berpartisipasi (Burgess,

2002; Levy, 2006). Aktivitas ini dapat berupa membaca buku bersama, mengajak

bercakap-cakap, bermain terkait huruf, kata, mengajari pengetahuan tulisan, mengajari

cara menulis. Keterlibatan orangtua dalam aktivitas literasi berpengaruh signifikan

terhadap pengembangan literasi dasar anak. Hal ini karena dukungan dan arahan

orangtua lebih berpengaruh daripada inisiatif anak (Levy dkk., 2006), anak belajar lebih

baik dalam konteks relasi afektif orangtua-anak (Mullis dkk., 2004) atau dalam inteaksi

afektif yang berkualitas (Sonnenshine & Munsterman, 2002). Selain itu keterampilan

orangtua memberikan penjelasan dan berkomunikasi (metalingual utterance, verbal

scaffolding), strategi orangtua dalam membaca, serta kemamuan orangtua membaca

juga menentukan kemampuan literasi anak (Deckner 2006; Dietrich dkk., 2006; Kang

dkk., 2009; Roberts dkk., 2005; Johnson dkk., 2008).

Lingkungan rumah dan aktivitas orangtua bersama anak memberi kontribusi

yang penting dalam mengembangkan literasi dasar anak. Bagaimana hal ini terjadi

Page 51: BAB II TINJAUAN PUSTAKA - UMS

57

dapat dijelaskan melalui teori sosio-kultural. Vigotsky (1978) menyatakan bahwa

proses belajar lebih merupakan aktivitas sosial, dalam hal ini hadir seseorang yang

memiliki kemampuan, pengetahuan lebih dari anak seperti orangtua atau pengasuh

yang memberikan panduan secara verbal untuk mengembangkan kemampuan aktual

anak menjadi lebih baik (zona of proximal). Orang dewasa menstrukturkan aktivitas

untuk memungkinkan anak terlibat dalam perilaku yang lebih kompleks dari yang bisa

mereka lakukan sendiri. Orang dewasa memberikan pertanyaan,

ungkapan/pernyataan, dan memberi dukungan sehingga terjadi proses belajar dan

kemampuan anak kemudian meningkat. Dengan demikian dalam belajar literasi terjadi

proses dalam dua tataran yaitu tataran sosial dan individual. Peran interaksi sosial

sangat besar dalam perkembangan kognisi anak sehingga komunitas memegang

peran penting dalam proses anak membuat/memberi makna terhadap apa yang

dipelajarinya. Proses belajar yang penting umumnya terjadi melalui interaksi sosial

dengan tutor yang lebih terampil yang menjadi model atau memberi instruksi verbal

bagi anak. Anak berusaha memahami instruksi tutor (seringkali adalah orangtua atau

guru) kemudian menginternalisasikan informasi dan menggunakannya untuk

mengarahkan perilakunya sendiri. Meskipun anak terlahir dengan potensi dasar

(atensi, sensasi, persepsi dan memori), secara berangsur potensi ini berkembang

melalui interaksi dalam konteks sosial-kultural sehingga fungsi mental lebih

berkembang menjadi proses mental yang lebih efektif. Oleh karena itu meski dalam

tataran individual terjadi proses kognitif namun tetap dipengaruhi oleh nilai-nilai dan

budaya dimana anak tumbuh seperti halnya cara mengembangkan memori dapat

dilakukan dengan menulis catatan, membuat singkatan menemonic dll. Sebagai anak

mereka adalah individu yang memiliki rasa ingin tahu dan terlibat aktif dalam proses

belajarnya sendiri untuk membangun pemahaman/skema, namun proses ini tetap

diawali oleh interaksi sosial.

Nilai/keyakinan orangtua berpengaruh terhadap bagaimana mereka

berinteraski sepanjang aktivitas literasi dengan anak dan aktivitas seperti apa yang

Page 52: BAB II TINJAUAN PUSTAKA - UMS

58

orangtua sediakan untuk anak. Nilai seperti apa yang dipegang oleh orangtua

merupakan makrosistem yang berpengaruh pada anak melalui interaksi orangtua

dengan anak. Menurut Lynch, Anderson, dan Shapiro (2006) orangtua cenderung

bertindak dan berperilaku sesuai dengan nilai/keyakinannya tentang bagaimana

membantu anak menguasai literasi dasar. Keyakinan orangtua yang lebih tradisional

akan berorientasi pada hasil belajar/keterampilan menguasai kemampuan baca tulis.

Keyakinan yang lebih menyeluruh memandang belajar literasi sebagai perkembangan

kontinum sehingga stimulasi perlu dilakukan sedini mungkin (holistic, emergent

literacy). Terdapat hubungan antara nilai/keyakinan orangtua dengan perilaku

menolong anak mereka untuk belajar literasi dasar. Orangtua yang memiliki keyakinan

belajar menyeluruh (holistic, emergent literacy) lebih banyak melakukan dukungan dan

stimulasi (encouragement) dalam membantu anak belajar literasi, sedangkan orangtua

yang memiliki keyakinan tradisional lebih banyak melakukan pembelajaran yang

lengsung mengajarkan keterampilan baca-tulis. Keyakinan yang lebih menyeluruh

mendorong orangtua untuk menganggap penting proses belajar dan membuat mereka

terlibat dalam aktivitas literasi yang bervariasi dengan anak mereka. Kondisi ini

membuat orangtua dengan keyakinan holistik memiliki anak yang lebih sukses dalam

menguasai kemampuan akademis di sekolah. Selain itu pendidikan orangtua

berpengaruh terhadap keyakinan orangtua, orangtua dengan pendidikan lebih tinggi

dari sekolah menengah (secondary school) lebih berkeyakinan menyeluruh dan

orangtua yang pendidikannya kurang dari sekolah menengah lebih berkeyakinan

tradisional.

Sonnenschein dkk. (1997) menyimpulkan bahwa terdapat hubungan antara

keyakinan orangtua tentang bagaimana cara mengajarkan literasi pada anak dengan

aktivitas literasi yang diciptakan orangtua dan kemampuan literasi anak. Dalam

penelitian ini keyakinan orangtua tentang literasi dibedakan menjadi berorientasi pada

kesenangan (entertaintment approach) dan berorientasi pada keterampilan (skill

approach). Orangtua yang berorientasi pada kesenangan lebih sering terlibat dalam

Page 53: BAB II TINJAUAN PUSTAKA - UMS

59

aktivitas literasi yang menyenangkan bersama anak seperti bermain kata, membaca

buku. Orangtua yang berorientasi pada keteramilan lebih jarang melakukan aktivitas

literasi yang menyenangkan. Selanjutnya diperoleh hubungan positif pula antara

orangtua yang berorientasi kesenangan dengan kemampuan anak dalam kesadaran

fonologis dan pengetahuan tulisan. Anak yang sering terlibat dalam aktivitas literasi

yang menyenangkan memiliki kemampuan literasi yang lebih tinggi.

Weigel dkk. (2006) membuktikan bahwa terdapat hubungan antara keyakinan

orangtua tentang perkembangan literasi dan lingkungan keluarga yang tercipta di

rumah serta kemampuan literasi anak. Pada kelompok orangtua yang lebih fasilitatif,

orangtua memperkaya kesempatan anak terlibat dalam kegiatan literasi dan orangtua

lebih sering terlibat. Pada kelompok orangtua yang lebih konvensional, mereka kurang

terlibat dan menganggap sekolah lebih bertanggung jawab terhadap perkembangan

literasi dasar.

Interaksi anak dengan orangtua dalam rutinitas sehari-hari melalui aktivitas

bermain dan membaca yang berlangsung secara terus menerus dalam jangka waktu

lama, mendukung terjadinya proses peningkatan (proximal process) literasi dasar

anak. Semakin dini interaksi dan rutinitas terkait literasi dasar dilakukan maka semakin

banyak frekuensi dan pengalaman anak yang merangsang peningkatan kemampuan

literasi dasar anak. Hal ini seperti yang ditekankan oleh perspektif emergent literacy.

Rutinitas keluarga merupakan pola kegiatan yang bersifat berulang-ulang dan

bisa diperkirakan dalam kehidupan sehari-hari keluarga (Churchill and Stoneman,

2004). Rutinitas ini dapat berupa kegiatan makan, tidur, jadual kegiatan harian,

komunikasi dan waktu untuk mengurus diri sendiri. Rutinitas yang ada dalam keluarga

dapat membuat anak merasakan situasi stabil, berkelanjutan dan dapat diperkirakan

yang akan mengembangkan perilaku positif dari anak. Lebih lanjut Serpell dkk. (2002)

membuktikan dalam penelitiannya bahwa rutinitas yang teratur berkaitan dengan

kegiatan literasi (pembicaraan saat makan bersama, membacakan buku cerita,

menyelesaikan pekerjaan rumah) berhubungan dengan kemampuan dasar membaca

Page 54: BAB II TINJAUAN PUSTAKA - UMS

60

dan pemahaman pada anak taman kanak-kanak sampai anak kelas 3. Kekuatan

prediksi dari faktor rutinitas ini lebih tinggi dari pada kekuatan prediksi pendapatan

keluarga dan etnis. Oleh karena terciptanya rutinitas dalam keluarga merupakan faktor

yang penting untuk perkembangan literasi dasar anak.

Rutinitas keluarga memungkinkan interaksi sosial serta mengoptimalkan

pengaruh proses proximal melalui terciptanya kebiasaan di rumah. Dalam kondisi ini

penggunaan bahasa sebagai alat budaya lebih sering dan selanjutnya dapat

meningkatkan efektivitas interaksi anak dan keluarga. Efektivitas interaksi anak dan

keluarga ini merupakan stimulasi kemampuan kognitif sehingga beberapa fungsi

mental dasar (atensi, sensasi, persepsi, dan memori) berkembang menjadi fungsi

mental yang lebih tinggi, lebih baru dan lebih memadai.

Aktivitas literasi yang memanfaatkan teknologi multimedia, terbukti lebih

mendukung proses belajar literasi karena mengintegrasikan tulisan dengan gambar,

animasi, dan suara. Hal ini sangat menarik bagi anak karena mereka mendapat

stimulasi melalui banyak indra sensorisnya, tidak hanya melihat atau mendengar saja.

Multimedia yang bersifat multisensorik mampu memfungsikan lebih banyak reseptor

sehingga input yang masuk ke otak menjadi lebih kuat dan memudahkan otak untuk

memproses informasi yang masuk. Selain itu muldimedia sangat memungkinkan anak

memahami lebih cepat hal-hal yang bersifat abstrak karena dapat disajikan dengan

lebih konkrit.

Saat anak belajar tentang huruf melalui multimedia seperti CD interaktif, anak

dapat lebih menikmati proses belajar karena dengan alat ini anak memungkinkan

mengenali nama dan bentuk huruf serta contoh-contoh objek yang mengandung huruf

tersebut. Selanjutnya anak diberikan latihan atau aktivitas interaktif dengan cara

memijit tombol atau mengklik untuk menyelesaikan soal-soal tentang huruf tersebut.

Latihan ini merupakan proses belajar yang dikemas dalam bentuk permainan yang

menarik dan menyenangkan sehingga anak tidak merasa terbebani untuk belajar.

Dengan penjelasan ini maka tidak heran jika beberapa penelitian menunjukkan hasil

Page 55: BAB II TINJAUAN PUSTAKA - UMS

61

bahwa anak belajar lebih baik bila menggunakan teknologi multimedia dibandingkan

tidak.

Dari beberapa model hasil penelitian sebelumnya dengan kerangka teoretis

seperti di atas, penulis merumuskan model baru. Model ini memberikan penjelasan

kemampuan literasi dasar secara terintegrasi mulai dari kognitif individu sampai sosial

kultural dengan komprehensif. Model ini terdiri dari beberapa variabel yang secara

empiris sudah terbukti berpengaruh signifikan terhadap kemampuan literasi anak.

Mempertimbangkan pentingnya pengaruh keyakinan orangtua tentang bagaimana cara

yang benar merangsang kemampuan literasi dasar anak, maka peneliti tertarik untuk

mengkajinya. Selain itu faktor penggunaan fasilitas dan teknologi multimedia yang ada

di rumah juga merupakan faktor yang tidak bisa diabaikan sebagai bagian lingkungan

keluarga yang berperan dalam proses merangsang literasi dasar anak. Oleh karena itu

peneliti menetapkan bahwa model Weigel yang terbukti secara empirik perlu

dimodifikasi dengan menambahkan dua faktor baru yaitu keyakinan orangtua tentang

cara membantu anak belajar baca tulis juga penggunaan fasilitas dan teknologi

multimedia di rumah.

Pemilihan variabel aktivitas literasi orangtua dan anak, rutinitas di rumah serta

keyakinan orangtua dalam model terintegrasi ini didasarkan pada besarnya pengaruh

variabel tersebut sudah terbukti secara empiris dalam penelitian yang terpisah.

Kemudian penulis sendiri menilai bahwa aktivitas literasi saat ini ternyata juga sudah

banyak melibatkan teknologi seperti televisi, komputer, internet, telepon genggam dll.

Review penelitian yang dilakukan oleh Moses (2008) dan Lankshear & Knobel (2003)

membuktikan hal ini.

E. Hasil Yang Sudah Dicapai dari Penelitian Pendahuluan

Penelitian pendahuluan dimulai tahun 2006 dengan studi kasus terhadap dua

anak Indonesia yang mulai belajar baca tulis bahasa Inggris di sekolah Bradley Stock

Primary School yang menggunakan pendekatan multisensoris. Hasil menunjukkan

Page 56: BAB II TINJAUAN PUSTAKA - UMS

62

bahwa pendekatan ini sangat efektif membantu anak belajar baca tulis bahasa Inggris

meski bahasa ibunya bahasa Indonesia.

Selanjutnya dalam penelitian tahun 2008 penulis memodifikasi metode

pengajaran baca tulis Jolly Phonics yang pendekatannya multisensoris untuk

disesuaikan dengan aplikasi pada pengajaran baca tulis bahasa Indonesia. Aplikasi

dilakukan pada subjek anak taman kanak-kanak sebanyak 60 orang. Hasil penelitian

menunjukkan bahwa pendekatan ini secara empirik terbukti efektif untuk meningkatkan

kemampuan baca tulis bahasa Indonesia. Temuan lain adalah bahwa anak lebih

mudah dan menikmati proses belajar karena merasa seperti bermain.

Pada tahun 2009 diuji kembali apakah pengaruh pembelajaran metode Jolly

Phonics masih dirasakan setelah setahun kemudian. Ternyata hasil menunjukkan

bahwa peningkatan terjadi secara konsisten, artinya pembelajaran dengan pendekatan

multisensoris memberi keuntungan pada anak untuk menguasai dasar-dasar baca tulis

dengan lebih baik.

Tahun 2010, penulis melakukan telaah pada pengembangan kemampuan

dasar baca-tulis di rumah oleh orangtua, bukan di sekolah. Melalui review jurnal dibuat

meta analisis yang menghasilkan kesimpulan bahwa peran orangtua sangat signifikan

terhadap pengembangan literasi dasar anak, hubungan aktivitas literasi orangtua-anak

dan peningkatan kemampuan literasi dasar anak selalu positif.

Tahun 2011, penulis mengidentifikasi masalah yang dihadapi orangtua dan

anak dalam meningkatkan kemampuan literasi dasar dan merumuskan model stimulasi

dini kemampuan literasi dasar yang dapat dilakukan oleh orangtua di rumah.

Rekomendasi dari penelitian ini adalah bahwa orangtua membutuhkan pelatihan

tentang bagaimana cara yang efektif dan efisien dalam mengembangkan kemampuan

literasi dasar anak. Anak juga perlu arahan dari orangtua agar minatnya terhadap

literasi lebih meningkat.

Page 57: BAB II TINJAUAN PUSTAKA - UMS

63

Dengan dasar hasil penelitian sebelumnya yang sudah diperoleh, penulis

kemudian merencanakan penelitian selanjutnya dengan memfokuskan pada eksplorasi

dan analisa fenomena proses pencapaian kemampuan literasi dasar anak di rumah.

Tabel 3 Roadmap Penelitian Terdahulu

No. Penelitian terdahulu Temuan Penelitian

1. Model stimulasi dini Kemampuan

dasar baca tulis anak prasekolah

oleh orangtua (Penelitian Reguler

Kompetitif, 2011)

61,9% dari subjek penelitian orangtua

membantu anak belajar membaca dan menulis

dengan cara mengajarkan langsung

keterampilan baca tulis (skill based atau

komponen approach). Hal ini menimbulkan

masalah anak kurang berminat dan kurang

tertarik belajar baca tulis. Dirumuskan model

pengembangan kemampuan dasar baca tulis

dengan pelatihan pada orangtua dan

optimalisasi pemanfaatan media teknologi.

2, Meta analisis tentang hubungan

aktivitas literasi orangtua-anak

dengan kemampuan dasar baca

tulis anak prasekolah (Meta

analisis 2010)

Peran dan pengaruh orang tua sebagai guru

pertama sangat penting dalam

mengembangkan kemampuan dasar baca tulis

anak prasekolah.

Pengembangan kemampuan dasar baca tulis

anak prasekolah penting dilakukan sedini

mungkin

3. Pengembangan Kemampuan baca

tulis anak prasekolah dengan

metode pembelajaran Jolly Phonics

(Penelitian Dosen muda 2008)

Pembelajaran dengan metode Jolly Phonics

yang multisensoris berpengaruh meningkatkan

kemampuan baca tulis anak satu tahun

kemudian

4. Efektivitas pengaruh pembelajaran

metode Jolly Phonics terhadap

Kemampuan awal baca tulis anak

Penggunaan metode belajar baca tulis dengan

pendekatan multisensoris memudahkan anak

untuk menikmati dan mengikuti aktivitas belajar

Page 58: BAB II TINJAUAN PUSTAKA - UMS

64

prasekolah (Penelitian Dosen Muda

2007)

baca tulis

5. Studi kasus tentang Proses belajar

Baca Tulis Bahasa Inggris pada

anak Indonesia usia 5 tahun

(Penelitian Reguler 2006)

Metode pembelajaran baca tulis Jolly Phonics

bersifat multisensoris dengan tahapan yang

sistimatis.

F. Pertanyaan Penelitian

Setelah melakukan tinjauan pustaka, maka dirumuskan pertanyaan penelitian

sebagai berikut:

a. Bagaimana deskripsi tahapan, metode, media, materi yang digunakan orangtua

di rumah dalam proses pencapaian kemampuan literasi dasar anak?

b. Bagaimana rutinitas keluarga, penggunaan multimedia, keyakinan orngtua,

dan aktivitas literasi orangtua-anak mendukung proses pencapaian

kemampuan literasi dasar anak?

c. Bagaimana pola yang menunjukkan keunikan dan kesamaan dalam

pencapaian kemampuan literasi dasar dalam keluarga?