BAB II TINJAUAN PUSTAKA - sinta.unud.ac.id II.pdf · fisika, kimia, dan biologi. Secara fisik, air...

26
8 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Limbah Cair Limbah cair merupakan hasil kegiatan yang sengaja dibuang dalam bentuk cair. Limbah cair merupakan campuran antara air dengan bahan-bahan lainnya baik yang larut maupun tersuspensi dalam campuran tersebut (Soeparman dan Suparmin. 2002). Limbah cair ditentukan berdasarkan kandungan cairan yang akan mengikuti aliran air ketika berada pada suhu di bawah 60 o C (Department of Environment and Conservation (NSW) Australia. 1999). Limbah cair memiliki karakteristik secara fisika, kimia, dan biologi. Secara fisik, air limbah memiliki karakteristik yang diamati dari suhu, warna, bau, dan kekeruhan. Suhu air limbah umumnya lebih tinggi dari suhu air pada umumnya. Hal tersebut dikarenakan pada air limbah terjadi akivitas mikroorganisme, aktivitas pelarutan gas-gas dalam air limbah, serta aktivitas pelekatan bahan-bahan dalam air limbah yang meningkatkan suhu di dalam air limbah. Warna air limbah umumnya berwarna abu-abu (grey water) atau berwarna hitam (black water). Warna abu-abu air limbah berasal dari campuran berbagai residu bahan organik dan anorganik yang menghasilkan perubahan warna pada air. Jika air limbah berwarna abu-abu (grey water) tercampur dengan sampah bahan makanan, urin, dan feses akan menghasilkan air limbah berwarna hitam (black water). Bau dari air limbah bervariasi sesuai dengan komposisinya. Bau air limbah abu-abu (grey water) umumnya berbau tengik, bau air limbah hitam (black water) berbau busuk dikarenakan adanya proses dekomposi dari urin dan feses dalam air limbah,

Transcript of BAB II TINJAUAN PUSTAKA - sinta.unud.ac.id II.pdf · fisika, kimia, dan biologi. Secara fisik, air...

8

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Limbah Cair

Limbah cair merupakan hasil kegiatan yang sengaja dibuang dalam bentuk

cair. Limbah cair merupakan campuran antara air dengan bahan-bahan lainnya baik

yang larut maupun tersuspensi dalam campuran tersebut (Soeparman dan Suparmin.

2002). Limbah cair ditentukan berdasarkan kandungan cairan yang akan mengikuti

aliran air ketika berada pada suhu di bawah 60oC (Department of Environment and

Conservation (NSW) Australia. 1999). Limbah cair memiliki karakteristik secara

fisika, kimia, dan biologi.

Secara fisik, air limbah memiliki karakteristik yang diamati dari suhu, warna,

bau, dan kekeruhan. Suhu air limbah umumnya lebih tinggi dari suhu air pada

umumnya. Hal tersebut dikarenakan pada air limbah terjadi akivitas mikroorganisme,

aktivitas pelarutan gas-gas dalam air limbah, serta aktivitas pelekatan bahan-bahan

dalam air limbah yang meningkatkan suhu di dalam air limbah. Warna air limbah

umumnya berwarna abu-abu (grey water) atau berwarna hitam (black water). Warna

abu-abu air limbah berasal dari campuran berbagai residu bahan organik dan

anorganik yang menghasilkan perubahan warna pada air. Jika air limbah berwarna

abu-abu (grey water) tercampur dengan sampah bahan makanan, urin, dan feses akan

menghasilkan air limbah berwarna hitam (black water). Bau dari air limbah

bervariasi sesuai dengan komposisinya. Bau air limbah abu-abu (grey water)

umumnya berbau tengik, bau air limbah hitam (black water) berbau busuk

dikarenakan adanya proses dekomposi dari urin dan feses dalam air limbah,

9

sedangkan bau dari air limbah industri memiliki bau spesifik yang berbeda dari air

limbah lainnya. Air limbah lebih keruh dari air biasa. Kekeruhan air limbah

dipengaruhi oleh padatan yang terlarut maupun padatan yang tersuspensi dalam air

limbah. Air limbah abu-abu (grey water) umumnya memiliki tingkat kekeruhan yang

lebih rendah dibandingkan dengan air limbah hitam (black water) dan air limbah

industri (Sperling. 2007).

Karakteristik Kimia dari air limbah adalah kandungan berbagai macam bahan

organik dan anorganik yang ada di dalam air limbah. Kandungan bahan-bahan

tersebut mempengaruhi kualitas parameter kimia dalam air limbah yang mencakup

pH, BOD, COD, serta penentuan tingkat kandungan bahan kimia yang berbahaya

seperti fosfor, nitrogen, dan klorida. Karakteristik Biologi dari air limbah umumnya

mengandung berbagai jenis organisme yang tumbuh akibat adanya kandungan bahan

organik dalam limbah sebagai bahan makanan. Jenis organisme yang umum ada di

dalam air limbah yaitu bakteri, jamur, virus, maupun organisme air sejenis (Sperling.

2007).

Berdasarkan sumber penghasilnya, limbah cair dibagi menjadi dua jenis yaitu

air limbah industri dan air limbah domestik (Helmer dan Hespanhol (eds). 1997).

2.1.1 Air Limbah Industri

Air limbah industri merupakan air limbah dari berbagai kegiatan industri

yang mencakup proses produksi hingga proses penunjang kegiatan industri

(Spellman. 2008). Terdapat banyak tipe air limbah industri sesuai dengan jenis

industrinya. Beberapa jenis industri memiliki jeins polutan yang berbeda-beda dalam

limbahnya, seperti dalam tabel berikut (Hanchang. 2009):

10

Tabel 2.1 Tabel Jenis Polutan pada Sektor Industri

Sektor Industri Polutan

Besi dan Logam BOD, COD, Minyak, logam,

asam, fenol, dan sianida

Tekstil BOD, padatan, sulfat, dan

kromium

Kertas dan bahan sejenis BOD, COD, padatan, bahan

organik terklorinasi

Minyak dan Bahan Bakar lainnya BOD, COD, minyak, fenol, dan

Kromium

Kimia COD, bahan kimia organik,

logam berat, sianida

Logam non-besi Fluor

Mikroelektronik COD, dan bahan kimia organik

Pertambangan Logam, asam, dan garam

Sumber: Hanchang, Shi. (2009). Industrial Wastewater-Types, Amounts

and Effects

Berdasarkan tabel tersebut, air limbah industri memiliki beberapa kandungan

polutan yang umum sesuai dengan karakteristik air limbah yaitu; BOD, COD, bahan

kimia organik, bahan kimia anorganik berupa limbah logam, padatan, dan minyak

(Sperling. 2007). Air limbah industri digolongkan menjadi dua jenis yaitu air limbah

organik industri dan air limbah anorganik industri.

11

2.1.1.1 Air limbah organik industri

Air limbah organik industri merupakan air limbah dengan kandungan bahan-

bahan residu berupa senyawa organik yang berasal dari proses produksi industri yang

membutuhkan penggunaan bahan kimia organik sebagai pereaksi. Beberapa industri

penghasil air limbah organik industri meliputi industri obat, kosmetik, bahan

pembersih, tekstil, kertas, dan industri kulit. Pada industri tersebut, proses produksi

menggunakan berbagai campuran bahan-bahan alami dan sintetis untuk

memproduksi berbagai jenis produk yang dipasarkan. Proses tersebut menghasilkan

air limbah yang memiliki kualitas yang buruk dengan kisaran COD 5.000-15.000

mg/L sehingga memerlukan metode pengolahan yang efektif untuk mengolah limbah

tersebut sebelum dibuang ke perairan (Hanchang. 2009).

2.1.1.2 Air limbah anorganik industri

Air Limbah anorganik industri merupakan air limbah yang mengandung

residu berupa senyawa anorganik yang berasal dari proses produksi. Air limbah

anorganik tersebut umumnya dihasilkan oleh industri logam dan industri mineral

bukan logam. Air limbah yang dihasilkan industri tersebut banyak mengandung

padatan terutama padatan tersuspensi. Selain padatan, air limbah tersebut juga

mengandung polutan sianida, asam, dan flourida. Polutan sianida dan asam yang

berasal dari proses pembakaran logam dan proses pendinginan logam, sedangkan

flourida dihasilkan pada proses pemurnian logam khususnya aluminium. Oleh karena

itu, air limbah anorganik memerlukan pengolahan sebelum dibuang dikarenakan

sifatnya yang berbahaya dan toksik (Hanchang. 2009).

12

2.1.2 Air Limbah Domestik

Menurut Mara (2004), air limbah domestik merupakan air yang telah

digunakan dalam berbagai aktivitas di masyarakat dan tercampur dengan berbagai

bahan yang digunakan dalam aktivitas-aktivitas tersebut. Bahan-bahan yang

dimaksud berupa buangan dari tubuh manusia atau hasil ekskresi berupa urin dan

feses serta hasil aktivitas lainnya seperti mandi, laundry, pencucian bahan makanan,

dan pencucian alat-alat rumah tangga. Sumber dari air limbah domestik beragam

sesuai dengan aktivitas-aktivitas yang dilakukan manusia. Sumber-sumber air limbah

domestik berasal dari kegiatan rumah tangga, industri dan perkantoran, pertanian,

fasilitas rekreasi, serta akuakultur (Helmer dan Hespanhol. 1997). Berdasarkan

bahan-bahan residu yang terkandung dalam air limbah, air limbah domestik dibagi

menjadi dua yaitu air limbah domestik abu-abu (grey water) dan air limbah domestik

hitam (black water) (Stevens. 2008).

2.1.2.1 Air limbah domestik abu-abu (grey water)

Grey water merupakan air limbah yang berasal dari aktivitas mandi, laundry,

pencucian alat-alat, pencucian bahan makanan. Grey water mengandung berbagai

bahan residu yang memiliki risiko bahaya bagi kesehatan dan lingkungan.

Kandungan bahan-bahan dalam grey water berupa minyak dan lemak, sodium,

fosfor, nitrogen, garam, serta senyawa kimia yang terdapat pada deterjen, sabun, dan

bahan pembersih rumah tangga lainnya. Selain bahan-bahan tersebut, grey water

juga mengandung organisme penyebab penyakit seperti bakteri, protozoa, dan virus.

Grey water dapat dimanfaatkan untuk penyiraman tanaman, namun jika penggunaan

grey water dilakukan terus menerus akan menyebakan kelebihan bahan organik pada

tanah yang berdampak pada kejenuhan bahan organik dalam tanah sehingga tanah

13

sulit untuk ditumbuhi tanaman. Selain itu, grey water berlebih dalam tanah berisiko

merusak kualitas tanah dan berisiko mencemari air tanah (Stevens. 2008).

Kualitas grey water ditentukan dari kontribusi aktivitas yang menghasilkan

grey water. Semakin banyak aktivitas yang berkontribusi menghasilkan grey water

semakin tinggi nilai BOD, COD, total padatan, kandungan fosfor, dan kandungan

nitrogen yang mengakibatkan air limbah memiliki tingkat cemaran yang tinggi dan

meningkatkan risiko grey water dalam mencemari lingkungan dan berisiko

memberikan dampak buruk bagi kesehatan. Aktivitas yang banyak berkontribusi

meningkatkan nilai parameter tersebut adalah aktivitas mencuci yang menggunakan

berbagai macam bahan pembersih seperti deterjen, sabun mandi, sabun cuci, serta

produk perawatan tubuh yang mengandung berbagai jenis zat kimia (Stevens. 2008).

2.1.2.2 Air Limbah domestik hitam (black water)

Black water merupakan air limbah yang berasal dari campuran antara

buangan air dengan ekskresi manusia seperti urin dan tinja serta sampah organik

dapur. Black water yang mengandung campuran tinja dan urin mengandung nitrogen,

fosfor, potassium, karbon, dan kalsium. Tinja sebelum tercampur dalam air terdiri

dari air sampai 80% sedangkan sisanya adalah padatan bahan-bahan organik,

sedangkan urin terdiri dari air sampai 96% dan sisanya merupakan padatan bahan-

bahan organik (Gotaas. 1956 dalam Soeparman dan Suparmin. 2002). Black water

juga mengandung organisme penyebab penyakit, hormone, serta residu bahan kimia

yang diekskresikan tubuh (Graaff dkk. 2010). Organisme tersebut meliputi bakteri,

protozoa, virus, cacing, serta parasite lainnya yang ada dalam tinja. Bakteri yang

banyak ditemukan dalam black water berupa jenis bakteri Coliform dengan dominasi

bakteri Escherichia coli dan Fecal streptococci (Soeparman dan Suparmin. 2002).

14

Kualitas black water ditentukan dari proporsi penyusun black water. Urin dan

feses pada umumnya merupakan hasil buangan yang mengandung residu bahan

kimia dan bahan toksik lainnya yang tidak diperlukan tubuh. Residu tersebut berasal

dari konsumsi zat kimia dalam berbagai jenis seperti obat maupun jenis suplemen

lainnya. Semakin banyak residu yang dihasilkan tubuh dan dibuang dalam bentuk

urin dan feses maka semakin berbahaya black water yang dihasilkan

(Tjandraatmadja dan Diaper. 2006).

2.1.3 Air Limbah Laundry

Air limbah Laundry digolongkan ke dalam kategori grey water. Menurut

Tjandraatmadja dan Diaper (2006), perkembangan selama 10 tahun terakhir

menunjukan bahwa salah satu pengaruh yang merubah kualitas grey water adalah

perubahan formula pada produk laundry seperti deterjen, softener, pemutih, dan jenis

produk laundry lainya.

Deterjen merupakan salah satu bahan yang berkontribusi paling banyak

dalam kegiatan laundry. Surfaktan dan Builder merupakan bahan utama dalam

deterjen meski terdapat bahan lain yang berperan dalam meningkatkan kinerja dari

deterjen yang meliputi; enzim, bahan pemutih, dan bahan tambahan lainnya.

Surfaktan dalam deterjen dikelompokan menjadi empat kelompok yaitu; anionik,

nonionik, kationik, and zwitterionik (Yu dkk. 2008).

Surfaktan jenis anionik merupakan jenis surfaktan yang paling banyak

digunakan dalam industri laundry dikarenakan biaya pembuatannya yang mudah dan

murah. Dalam kelompok ini, jenis yang umum adalah jenis Alkyl Benzene

Sulfonates (ABS), Linear Alkyl Benzene Sulfonates (LAS), Alpha Olefin Sulfonate

(AOS), Alkyl Ethoxy Ether Sulfate (AES), dan jenis lainnya. Pada beberapa produk

15

deterjen juga terdapat jenis surfaktan dalam kelompok lain seperti Nonylphenol dan

Sodium Lauryl Ether Sulphate dari kelompok nonionik (Yu dkk. 2008). Penggunaan

surfaktan bertujuan untuk mengangkat kotoran dan noda pada serat pakaian dengan

cara membasahi kotoran dengan gugus hidrofilik (suka air) dan mengendorkannya,

lalu gugus hidrofobik (tidak suka air) mengangkat kotoran keluar dari serat kain dan

mengikatnya sehingga tidak menempel lagi di serat kain (Sopiah. 2004; Kohler

2006).

Builder merupakan bahan pendukung efektivitas surfaktan yang berbasis

sodium. Jenis builder dalam deterjen umumnya dalam bentuk sodium tripolifosfat

(Tjandraatmadja dan Diaper. 2006). Sodium tripolifosfat dalam deterjen merupakan

bahan yang bereaksi dengan ion magnesium dan ion kalsium yang terdapat dalam air

dengan tujuan untuk mengurangi keberadaan ion magnesium dan ion kalsium bebas

dalam air yang dapat mengurangi efektivitas surfaktan. Reaksi antara sodium

tripolifosfat dan ion-ion tersebut membentuk padatan dan senyawa lain yang

mengandung fosfat. Penggunaan deterjen dipengaruhi oleh tingkat kesadahan air

yang digunakan untuk mencuci dikarenakan tingkat kesadahan air dipengaruhi oleh

kandungan kalsium dan magnesium dalam air. Jika air yang digunakan untuk

mencuci memiliki tingkat kesadahan yang tinggi maka padatan yang terbentuk akibat

pengikatan kalsium dan magnesium oleh builder lebih tinggi dibandingkan dengan

mencuci menggunakan air dengan tingkat kesadahan yang rendah (Kohler. 2006; Yu

dkk. 2008). Selain takaran penggunaan deterjen, jenis deterjen yang digunakan juga

memberikan pengaruh terhadap kualitas air limbah laundry. Berdasarkan penelitian

Patterson (2000), deterjen bubuk menghasilkan kualitas air limbah yang lebih buruk

dibandingkan dengan deterjen cair dilihat dari jumlah sodium, fosfor, dan kadar

garam (salinitas) yang terdapat pada air limbah yang dihasilkan.

16

Softener dan pemutih merupakan jenis produk yang digunakan dalam

kegiatan laundry dengan tujuan untuk melengkapi dan memaksimalkan pembersihan

dan perawatan pada serat pakaian. Softener dan pemutih mengandung bahan-bahan

berupa senyawa berbasis sodium. Keunggulan dari sodium menurut Patterson (2000)

adalah kemampuannya yang mudah melarutkan partikel-partikel dalam air, namun

sodium sulit dipisahkan dari air kecuali menggunakan metode pembalikan osmosis.

Kandungan sodium tersebut akan mempengaruhi kadar garam dalam air (salinitas)

dan akan berdampak pada penurunan kualitas air apabila langsung dibuang ke

perairan.

Kombinasi penggunaan bahan-bahan tersebut menghasilkan air limbah

laundry yang memiliki kualitas air limbah yang tidak sesuai baku mutu salah satunya

baku yang terdapat pada Peraturan Gubernur Bali nomor 8 tahun 2007 tentang Baku

Mutu Lingkungan Hidup. Hal tersebut ditunjukkan oleh studi yang dilakukan oleh

Suwerda (2013). Berdasarkan tudi tersebut, rata-rata kualitas air limbah laundry di

salah satu industri laundry di Bantul Yogyakarta memiliki nilai parameter COD

sebesar 1.817,67 mg/L, TSS sebesar 564,29 mg/L, dan Total Fosfat sebesar 50,84

mg/L.

2.2 Parameter Air Limbah

Parameter air limbah menentukan kualitas air limbah. Parameter yang sesuai

dengan baku mutu yang ditentukan dinyatakan aman untuk dibuang ke perairan

dibagi menjadi 3 kategori yaitu parameter fisika, kimia, dan biologi (Sperling. 2007).

Dari ketiga jenis parameter tersebut, parameter yang umum digunakan dalam

pengujian kualitas air limbah adalah parameter fisika meliputi Total Suspended

Solids (TSS), Total Dissolved Solids (TDS), dan parameter kimia yang meliputi

17

Biochemical Oxygen Demand (BOD), Chemical Oxygen Demand (COD), nilai pH,

kadar Fosfor, serta kadar Nitrogen (Carty dkk. 1997; Sperling. 2007).

2.2.1 Parameter Fisika

Parameter fisika merupakan parameter pengukuran kualitas air yang

dilakukan melalui pengukuran secara fisika. Parameter fisika yang dapat diukur

adalah suhu, Total Suspended Solids (TSS), dan Total Dissolved Solids (TDS).

2.2.1.1 Suhu

Suhu merupakan derajat atau intensitas panas yang ada dalam suatu benda

dengan menggunakan skala perbandingan pada thermometer. Parameter suhu dalam

penentuan kualitas air limbah digunakan untuk menentukan adanya perubahan

intensitas panas pada air limbah akibat adanya reaksi biologi dan atau kimia yang

menghasilkan panas pada badan air (Sperling. 2007). Berdasarkan Peraturan

Gubernur Bali nomor 8 tahun 2007 tentang baku mutu lingkungan hidup, standar

baku mutu suhu pada air adalah suhu dengan deviasi 3 dari suhu air normal untuk

baku mutu air kelas III ke atas.

2.2.1.2 Total Suspended Solids (TSS)

Total Suspended Solids (TSS) merupakan keseluruhan padatan organik dan

anorganik yang tersuspensi di dalam air. Umumnya TSS terdiri dari 70% padatan

organik dan 30% padatan anorganik (Carty, dkk. 1997). Padatan tersuspensi terbagi

sesuai dengan karakteristik padatan yang ada dalam air. Padatan tersuspensi terdiri

dari padatan yang dapat menguap (volatile solids), padatan yang tetap dan tidak

berubah meskipun mengalami pemanasan (fixed solids), padatan yang dapat

18

diendapkan (settleable solids) dan padatan yang tidak dapat diendapkan (non-

settleable solids). Volatile solids merupakan padatan yang bersifat organik dan dapat

dihilangkan melalui proses degradasi biologis, sedangkan non-settleable solids

memerlukan tambahan bahan khusus agar mudah mengendap sehingga proses

pemisahan antara padatan dengan air mudah dilakukan (Soeparman dan Suparmin.

2002). Pengukuran TSS pada air dilakukan dengan proses filtrasi kemudian filtrat

dikeringkan sehingga didapat jumlah total padatan yang tersuspensi (Carty, dkk.

1997; Effendi. 2003). Berdasarkan Peraturan Gubernur Bali nomor 8 tahun 2007

tentang baku mutu lingkungan hidup, standar baku mutu TSS untuk air limbah

adalah 60 mg/L.

2.2.1.3 Total Dissolved Solids (TDS)

Total Dissolved Solids (TDS) merupakan keseluruhan padatan terlarut dan

koloid yang tidak dapat tersaring pada kertas saring (Effendi. 2003). TDS terdiri dari

garam anorganik seperti sodium, karbonat, bikarbonat, kalsium, magnesium,

potasium, sulfat, nitrat, dan klorin (Csuros. 1994). TDS merupakan kontaminan

utama dalam air limbah karena berkaitan dengan kadar garam dalam air (salinitas).

Kadar garam yang tinggi dalam air apabila dibuang ke tanah akan menyebabkan

kelebihan mineral garam dalam tanah sehingga mencemari dan merusak kualitas

tanah. Padatan terlarut dalam air memiliki karakteristik tingkat kelarutan yang

berbeda-beda. Sodium merupakan jenis garam dominan yang ada dalam air limbah

dengan tingkat kelarutan yang tinggi sehingga diperlukan metode khusus untuk

memisahkan sodium dalam air (Tjandraatmaja dan Diaper. 2006). Berdasarkan

Peraturan Gubernur Bali nomor 8 tahun 2007 tentang baku mutu lingkungan hidup,

standar baku mutu TDS untuk air limbah adalah 2000 mg/L.

19

2.2.2 Parameter Kimia

Parameter kimia merupakan parameter pengukuran kualitas air yang

mengukur kandungan kimia dalam air serta reaksi yang terjadi dalam air tersebut.

Parameter kimia yang dapat diukur adalah Biochemical Oxygen Demand (BOD),

Chemical oxygen Demand (COD), nilai pH, Total Fosfat, dan Total Nitrogen (Carty

dkk. 1997).

2.2.2.1 Biochemical Oxygen Demand (BOD)

BOD merupakan jumlah oksigen yang dimanfaatkan organisme yang berada

di dalam air untuk menguraikan bahan organik yang ada melalui proses oksidasi

biokimia (Carty dkk. 1997; Fardiaz. 1992). BOD merupakan parameter yang

menunjukan perkiraan pengaruh yang terjadi dalam air akibat adanya pengurangan

kadar oksigen dalam air (Soeparman dan Suparmin. 2002). Pengukuran BOD

dilakukan dengan inkubasi sampel air dan mengoksidasi air selama 5 hari dengan

suhu 20o C kemudian setelah 5 hari diamati dibandingkan kandungan oksigen dalam

air sebelum dan sesudah inkubasi (Fardiaz. 1992). Berdasarkan Peraturan Gubernur

Bali nomor 8 tahun 2007 tentang baku mutu lingkungan hidup, standar baku mutu

BOD untuk air limbah adalah 60 mg/L.

2.2.2.2 Chemical Oxygen Demand (COD)

COD merupakan jumlah oksigen yang dibutuhkan bahan-bahan kimia

oksidan dalam air untuk mengoksidasi bahan-bahan organik dalam air (Fardiaz.

1992). Oksidasi bahan organik tersebut meliputi bahan-bahan organik yang

mengandung unsur karbon, kemudian dilakukan penyeimbangan terhadap bahan-

20

bahan karbon tersebut. Pengukuran COD memerlukan waktu yang singkat sekitar

dua hingga tiga jam sehingga COD menjadi parameter dengan respon yang cepat

dibandingkan dengan BOD namun tidak melihat respon penguraian bahan organik

oleh organisme dalam air (Sperling. 2007). Berdasarkan Peraturan Gubernur Bali

nomor 8 tahun 2007 tentang baku mutu lingkungan hidup, standar baku mutu BOD

untuk air limbah adalah 150 mg/ L.

2.2.2.3 Derajat Keasaman (pH)

pH merupakan nilai yang menyatakan konsentrasi ion H+ dalam cairan. pH

menentukan sifat cairan yang terdiri dari asam dengan pH kurang dari 7, netral

dengan nilai pH 7, dan basa dengan pH lebih dari 7 dan nilai pH maksimal 14. Air

dengan pH kurang dari 4 dapat menyebabkan kematian pada organisme air akibat

ketidakmampuan beradaptasi dengan kondisi air yang sangat asam. Selain itu, pH

memiliki pengaruh terhadap toksisitas zat. Amonium yang sifatnya non-toksik pada

pH rendah akan menjadi toksik pada pH yang tinggi akibat tidak terionisasi dalam air

dengan pH yang tinggi. Metode pengukuran pH dapat dilakukan dengan berbagai

metode salah satunya dengan menggunakan pH meter (Carty dkk. 1997 dan Effendi.

2003). Berdasarkan Peraturan Gubernur Bali nomor 8 tahun 2007 tentang baku mutu

lingkungan hidup, standar baku mutu pH untuk air kelas III ke atas adalah 6 sampai

9.

2.2.2.4 Total Fosfat

Total fosfat merupakan parameter yang mengukur keseluruhan fosfat dalam

air. Fosfat merupakan senyawa yang tersusun atas unsur P (Fosfor) dan O (Oksigen).

Kandungan unsur fosfor murni dalam air jarang ditemui, namun fosfor dalam bentuk

21

senyawa lain ditemukan bervariasi. Senyawa fosfor tersebut terbagi menjadi senyawa

organik dan anorganik. Senyawa fosfor organik umumnya berupa padatan yang telah

bereaksi dengan bahan-bahan organik, sedangkan bentuk fosfor anorganik yang ada

dalam air terutama dalam air limbah berupa polifosfat dan ortofosfat yang menjadi

bahan utama pada deterjen maupun bahan pembersih lainnya. Ortofosfat merupakan

senyawa fosfor sederhana yang mudah untuk dipisahkan dari air sedangkan

polifosfat merupakan senyawa fosfor kompleks sehingga memerlukan hidrolisis

untuk mengubah senyawa tersebut menjadi ortofosfat (Carty dkk. 1997; Sperling.

2007).

Fosfor merupakan bahan yang menjadi nutrisi esensial bagi mikroorganisme

dalam menyeimbangkan bahan organik serta menjadi nutrisi bagi pertumbuhan

tanaman air. Jumlah fosfor yang berlebih dalam air berdampak pada pertumbuhan

tanaman air yang tidak terkendali serta menyebabkan proses eutrofikasi (Carty dkk.

1997; Sperling. 2007). Berdasarkan Peraturan Gubernur Bali nomor 8 tahun 2007

tentang baku mutu lingkungan hidup, standar baku mutu Total fosfat untuk air

limbah adalah 5 mg/ L.

2.2.2.5 Total Nitrogen

Total nitrogen merupakan parameter yang mengukur total nitrogen dalam air.

Kandungan nitrogen dalam air bervariasi menjadi berbagai jenis senyawa. Senyawa

tersebut terdiri dari ammonia, nitrit, nitrat, serta senyawa nitrogen organik lainnya.

Nitrogen bersama dengan fosfor merupakan bahan yang menjadi nutrisi esensial bagi

mikroorganisme dalam menyeimbangkan bahan organik serta menjadi nutrisi bagi

pertumbuhan tanaman air. Jumlah nitrogen yang berlebih dalam air berdampak pada

pertumbuhan tanaman air yang tidak terkendali serta menyebabkan proses

22

eutrofikasi. Selain itu, nitrogen berupa ammonia bebas dalam air bersifat toksik bagi

biota air seperti ikan (Sperling. 2007). Berdasarkan Peraturan Gubernur Bali nomor 8

tahun 2007 tentang baku mutu lingkungan hidup, standar baku mutu total nitrogen

untuk air limbah 20 mg/ L.

2.2.3 Parameter Biologi

Parameter biologi merupakan parameter pengukuran kualitas air yang

mengukur jumlah organisme yang ada dalam air terutama organisme yang bersifat

pathogen. Parameter Biologi yang menentukan kualitas air secara umum adalah

jumlah bakteri Coliform yang ada dalam air. Mengacu pada Peraturan Gubernur Bali

nomor 8 tahun 2007 tentang baku mutu lingkungan hidup, parameter biologi

Coliform dibagi menjadi dua parameter yaitu parameter fecal coliform dan parameter

total coliform. Parameter fecal coliform mengacu pada keberadaan bakteri

Escherichia coli dan Fecal streptococci yang merupakan bakteri yang berasal dari

sistem pencernaan (Soeparman dan Suparmin. 2002). Parameter total coliform

mengacu pada keseluruhan jumlah bakteri Coliform yang ada dalam air. Standar

baku mutu parameter fecal coliform untuk air limbah adalah 2.000 koloni per 100

mL, sedangkan standar baku mutu total coliform untuk air limbah adalah 10.000

koloni per 100 mL.

2.3 Constructed Wetland (CW)

CW merupakan jenis lahan basah atau rawa buatan yang pembuatan dan

fungsinya menyerupai lahan basah (Wetland) pada umumnya. CW tersusun atas

tanaman air seperti jenis makrophyta, air, serta lapisan tanah dan batuan (Mara.

2004; Gauss dkk. 2008). Wetland alami maupun CW digunakan dalam mengolah air

23

limbah dikarenakan dalam sistem Wetland terdapat proses pengolahan limbah yang

terintegrasi antara proses pengolahan limbah dengan filtrasi, sedimentasi serta

degradasi secara biologi untuk memisahkan berbagai polutan yang ada dalam air

limbah (Moshiri dkk. 1993; Gauss dkk. 2008).

Pada CW ditanami tanaman air atau jenis makrophyta yang mampu hidup

dan toleran terhadap berbagai kandungan organik dan anorganik yang diterima dalam

sistem pengolahan limbah (DuPoldt dkk. 1998). Peran tanaman air dan makrophyta

dalam CW adalah sebagai penyedia oksigen dan karbon untuk mengubah senyawa

ammonia dalam air limbah menjadi senyawa nitrit (nitrifikasi) melalui reaksi

oksidasi. Selain itu, tanaman air dan makrophyta melakukan penyerapan nutrisi serta

polutan terlarut kemudian digunakan untuk proses biologis tanaman dan disimpan

pada bagian-bagian tertentu pada makrophyta (Cattin. 2012). Pada beberapa

penelitian, jenis tanaman yang digunakan dalam CW seperti tanaman Lembang atau

Narrowleaf Cattail (Thypa angustifilia), Enceng gondok (Eichornia crasspes),

Rumput Gajah atau Bulrush (Scirpus), Alang-alang atau Reed (Phragmites),

Tanaman Kana (Canna sp.), serta jenis tanaman air lainnya (DuPoldt dkk. 1998; Yan

dkk. 2009; Abdulgani dkk. 2013; Kurniawan dkk. 2013).

Selain jenis tanaman air dan makrophyta, filter yang digunakan dalam CW

juga menentukan hasil pengolahan air limbah. Filter dalam CW berperan sebagai

penyimpan berbagai bahan yang terkandung pada air limbah kemudian

ditransformasi secara kimia dan biologi menjadi bahan yang tidak bersifat polutan

serta sebagai nutrisi bagi keberlansungan tanaman air dan mikroorganisme yang ada

dalam sistem CW. Pengunaan jenis filter terbaik adalah batu vulkanik karena pori-

pori batuan yang besar dan banyak dalam batu vulkanik memaksimalkan pemisahan

senyawa kimia anorganik seperti fosfor dan nitrogen dari air melaui aktivitas

24

mikrobiologis dalam pori batuan yang kemudian disimpan dalam pori batuan

tersebut (DuPoldt dkk. 1998; Cattin. 2012). Selain itu, kandungan senyawa

aluminium dalam bentuk alumina (Fe2O3) dan silica dalam batu vulkanik merupakan

senyawa yang mampu menyerap fosfor dan memisahkannya dari air limbah dalam

jumlah yang besar (Ballantine dan Tanner. 2011). Selain batu vulkanik, jenis batu

lain juga dapat digunakan seperti batu kapur, batuan sungai, dan jenis batuan lainnya

sesuai dengan kondisi geografis masing-masing lokasi instalasi. Penggunaan filter

dalam CW harus dalam keadaan bersih sehingga tidak menggangu proses

pengolahan (Cattin. 2012).

Berdasarkan metode penyusunannya, CW terbagi menjadi 3 jenis yaitu

Surface Flow Constructed Wetland (SFCW), Horizontal Flow Sub-surface Flow

Constructed Wetland (HFSFCW), dan Vertical Sub-surface Flow Constructed

Wetland (VFSFCW).

2.3.1 Surface Flow Constructed Wetland (SFCW)

SFCW merupakan jenis CW yang memiliki konsep pembuatan yang hampir

sama dengan wetland alami. Pembuatan SFCW menggunakan luas tertentu dengan

komposisi tanah, air, serta berbagai jenis tanaman air dan makrophyta dengan

berbagai sifatnya di dalam air baik itu jenis tanaman air yang mengapung, tidak

muncul ke atas permukaan air, maupun yang muncul ke atas permukaan air (Gauss.

2008; Cattin. 2012). Pada gambar 2.1 disajikan gambaran SFCW.

25

Tanah Tempat

Media

Keluaran limbah

(effluent)

Permukaan

air

Berbagai Jenis

Tanaman Air

dan

Makrophyta

Saluran Masuk

air Limbah

(Influent)

Gambar 2.1 Surface Flow Constructed Wetland (Terjemahan dari Gauss. 2008)

Berdasarkan gambar di atas, alur pengolahan limbah dengan SFCW diawali

dengan masuknya air limbah melalui saluran influent kemudian mengalir pada

permukaan air. Pada saat pengaliran air, tejadi proses pengolahan air limbah pada

sistem hingga air mengalir mencapai saluran effluent. Pada SFCW digunakan

berbagai jenis tanaman air dan makrophyta yang bertujuan untuk memaksimalkan

proses pengolahan air limbah sehingga menghasilkan air dengan kualitas yang

diharapkan.

2.3.2 Horizontal Flow Sub-surface Flow Constructed Wetland (HFSFCW)

HFSFCW merupakan jenis constructed wetland yang memanfaatkan kerikil

halus atau pasir sebagai bahan untuk menyaring air limbah yang masuk. Alur masuk

air limbah pada HFSFCW sama dengan SFCW yaitu mengalir secara horizontal.

Jenis tanaman yang digunakan untuk HFSFCW hanya berupa jenis tanaman air yang

26

Bahan Penyaring

(Kerikil Halus)

Zona

pengumpulan

(Kerikil Kasar)

Permukaan

Air

Tanaman

Air

Aliran Masuk

Air Limbah

(Influent)

Zona distribusi

(Kerikil Kasar)

Saluran

Keluaran

muncul ke atas permukaan air dikarenakan terdapat lapisan kerikil halus atau pasir

pada CW yang tidak memungkinkan tumbuhnya tanaman air yang mengapung dan

yang tidak muncul ke permukaan air (Gauss. 2008; Vymazal dan Kropfelova. 2008).

Penelitian Hidayah dan Aditya menunjukkan bahwa pengolahan air limbah domestik

dengan HFSFCW menggunakan tanaman Lembang atau Narrowleaf Cattail (Thypa

angustifilia) dalam 15 hari mampu menurunkan nilai COD sebesar 91,8%, BOD

91,6%, dan TSS 83,3%. Pada gambar 2.2 disajikan gambaran HFSFCW.

Gambar 2.2 Horizontal Flow Sub-surface Flow Constructed Wetland (Terjemahan dari

Gauss. 2008)

Berdasarkan gambar 2.2, alur pengolahan limbah dengan HFSFCW diawali

dengan masuknya air limbah melalui aliran influent kemudian terkumpul pada zona

distribusi yang terdiri dari kerikil kasar. Selanjutnya air dari zona distribusi mengalir

secara horizontal menuju kerikil halus atau pasir untuk difiltrasi dan diolah oleh

tanaman air. Setelah proses tersebuut, air hasil pengolahan mengalir dan terkumpul

27

pada zona pengumpulan sebelum air secara perlahan keluar melalui saluran keluaran

(effluent).

2.3.3 Vertical Flow Sub-surface Flow Constructed Wetland (VFSFCW)

VFSFCW merupakan jenis constructed wetland yang mengolah air limbah

dengan aliran vertikal. VFSFCW terdiri dari tanaman air dengan jenis yang sama

yang digunakan pada HFSFCW, air, kemudian bahan filter yang terdiri dari berbagai

macam bahan mulai dari pasir, kerikil, maupun bebatuan. Pada instalasi ini,

Tanaman air berfungsi sebagai pendukung proses penyerapan air limbah. Pada

susunan lapisan penyaring, terjadi proses pengolahan serta adanya penambahan

hidrolik yang berselang-seling sehingga lapisan filter terisi dengan air yang

meningkatkan proses nitrifikasi air limbah (Gauss. 2008). Berdasarkan hasil

penelitian Abdulgani dkk. (2013), VFSFCW dengan menggunakan tanaman

Lembang atau Narrowleaf Cattail (Thypa angustifilia) mampu menurunkan nilai TSS

sebesar 79,9%, ammonia sebesar 33,9%, dan sulfida 54,5%. Gambaran VFSFCW

tersaji pada gambar 2.3.

28

Tanaman

Air Aliran masuk

Air limbah

(Influent)

Pipa

Aerasi

Lapisan

penyaring/filtrasi

Saluran Keluaran

(Effluent)

Tempat

Media

Gambar 2.3 Vertical Flow Sub-surface Flow Constructed Wetland (Terjemahan dari Gauss.

2008)

Berdasarkan gambar di atas, alur pengolahan limbah dengan VFSFCW

diawali dengan masuknya air limbah melalui aliran influent kemudian masuk ke

dalam lapisan filter dengan bantuan tanaman air. Selanjutnya air mengalami proses

pengolahan dari lapisan filter pertama hingga lapisan filter terakhir. Setelah proses

tersebut, air hasil pengolahan mengalir secara perlahan keluar melalui saluran

keluaran (effluent).

2.4 Batu Vulkanik

Batu vulkanik merupakan jenis batuan yang berasal dari magma atau lava

yang mengalami pendinginan dan pengerasan yang membentuk berbagai jenis

29

kristalisasi batuan. Batu vulkanik merupakan jenis batuan yang mengandung silika

dalam bentuk siliki dioksida (SiO2) serta mineral lainnya yang terdiri dari jenis

mineral seperti alumina (Al3O2), senyawa kalsium (CaO), besi (FeO dan Fe2O3),

magnesium (MgO) dan jenis senyawa lainnya. Beberapa jenis batu vulkanik yang

berasal dari pembekuan lava antara lain, Batu Rhiolit, Batu Dasit, Batu Andesit, dan

Batu Basalt (McBirney. 2007).

2.4.1 Batu Rhiolit (Rhyolite)

Merupakan jenis batuan yang berasal dari pengerasan lava dengan dominasi

kandungan Silikon dioksida dan alumina. Kandungan silikon dioksida pada batu

rhiolit sebesar 73,2 % dan kandungan alumina sebesar 14,0 % (McBirney. 2007).

Permukaan Batu Rhiolit umumnya halus dengan tekstur mirip seperti kaca (glassy

texture) dengan warna yang terang umumnya mengandung senyawa besi dan

magnesium yang kurang dalam batuan (Gill. 2010).

Gambar 2.4 Batu Rhiolit

30

2.4.2 Batu Dasit (Dacite)

Batu Dasit merupakan jenis batuan yang berasal dari pembekuan lava dengan

dominasi kandungan mineral yang sama dengan Batu Rhiolit yaitu silica dioksida

dan alumina. Tekstur batu Dasit kasar namun tersusun atas partikel-partikel halus

(Fine-grained) dengan sifat warna terang dengan kandungan mineral pemberi warna

yang hampir sama dengan Batu Rhiolik. Kandungan Silikon dioksida dalam Batu

Dasit sebesar 69,2 % dan kandungan alumina sebesar 15,2 % (McBirney. 2007; Gill.

2010).

Gambar 2.5 Batu Dasit

2.4.3 Batu Andesit (Andesite)

Batu Andesit merupakan jenis batuan yang berasal dari pembekuan lava

dengan dominasi kandungan mineral yang sama dengan Batu Rhiolit yaitu silica

dioksida dan alumina. Warna Batu Andesit bervariasi dengan dominasi warna abu-

abu dikarenakan mineral pemberi warna dalam Batu Andesit yaitu mineral pemberi

warna terang dan mineral pemberi warna gelap berada pada komposisi yang

mendekati keseimbangan. Struktur Batu Andesit Halus dengan titik-titik hitam atau

31

putih yang terbentuk karena persebaran mineral-mineral di dalam batu. Kandungan

Silika dioksida dalam batu Andesit sebesar 60%, sedangkan kandungan alumina

dalam Batu Andesit Sebesar 16% (McBirney. 2007; Gill. 2010).

Gambar 2.6 Batu Andesit

2.4.4 Batu Basalt

Batu Basalt merupakan jenis batuan yang berasal dari pembekuan lava.

Struktur batu basalt halus sehingga sulit mengidentifikasi secara tepat kandungan

berbagai jenis kandungan mineral yang ada terutama jenis mineral yang berukuran

sangat kecil dengan identifikasi mikroskopik (Gill. 2010). Batu Basalt secara umum

berwarna hitam ataupun abu-abu gelap sesuai dengan kandungan mineral yang

menyusun batu tersebut. Batu Basalt terutama jenis basalt tinggi alumina

mengandung 49,2% silika dioksida dan 17,7% alumina (McBirney. 2007).

32

Gambar 2.7 Batu Basalt