BAB II TINJAUAN PUSTAKA - Perpustakaan Digital...
Transcript of BAB II TINJAUAN PUSTAKA - Perpustakaan Digital...
D3 TEKNIK SIPIL POLITEKNIK NEGERI BANDUNG
Dian Aulia, Sindy Dwi Yuliani, Perancangan Peningkatan Struktur …. II-1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 UMUM
2.1.1 Pengertian Jalan Tol
Menurut UUD No. 38 (2004) tentang jalan, jalan merupakan :
prasarana transportasi darat yang meliputi segala bagian jalan, termasuk bangunan pelengkap dan perlengkapannya yang diperuntukkan bagi lalu lintas, yang berada pada permukaan tanah, di atas permukaan tanah, di bawah permukaan tanah dan/atau air, serta di atas permukaan air, kecuali jalan kereta api, jalan lori, dan jalan kabel.
Berdasarkan peruntukannya terdapat beberapa jenis jalan, salah satunya adalah
jalan tol. Jalan tol adalah jalan umum yang merupakan bagian sistem jaringan
jalan, dan sebagai jalan nasional untuk lalu lintas menerus dengan pengendalian
jalan masuk secara penuh dan tanpa adanya persimpangan sebidang serta
dilengkapi dengan pagar ruang milik jalan yang penggunanya diwajibkan
membayar tol.
Berdasarkan PP No.15 (2005) dalam mendesain jalan tol terdapat beberapa
syarat perencanaan, diantaranya :
1. Jalan tol mempunyai tingkat pelayanan keamanan dan kenyamanan yang lebih tinggi dibandingkan dengan jalan umum.
2. Jalan tol yang digunakan untuk lalu lintas antar kota didesain berdasarkan kecepatan rencana minimum 80 km/jam dan untuk jalan tol dalam kota 60 km/jam.
3. Jalan tol didesain untuk mampu menahan muatan sumbu terberat (MST) paling rendah 8 ton.
Selain syarat dalam perencanaan jalan tol, jalan tol juga harus mempunyai
spesifikasi teknis. Spesifikasi teknis dalam perencanaan jalan tol diantaranya :
1. Tidak ada persimpangan sebidang dengan ruas jalan lain atau dengan
prasarana transportasi lainnya.
2. Jarak antar simpang susun, paling rendah 5 km untuk jalan tol luar perkotaan
dan paling rendah 2 km untuk jalan tol dalam perkotaan.
3. Jumlah lajur sekurang-kurangnya 2 lajur per arah.
D3 TEKNIK SIPIL POLITEKNIK NEGERI BANDUNG
Dian Aulia, Sindy Dwi Yuliani, Perancangan Peningkatan Struktur …. II-2
4. harus dapat dipergunakan sebagai jalan lalu lintas sementara dalam keadaan
darurat. Menggunakan pemisah tengah atau median dan lebar bahu jalan
sebelah luar
2.1.2 Pelayanan Jalan Tol
Pemeliharaan jalan tol merupakan upaya yang dilakukan BPJT (Badan
Pengelola Jalan Tol) guna mempertahankan, memulihkan atau meningkatkan
kondisi jalan agar tetap dalam batas-batas standar pelayanan minimal jalan tol.
Berdasarkan Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor 392 (2005) Standar
Pelayanan Minimal (SMP) jalan tol adalah ukuran yang harus dicapai dalam
pelaksanaan penyelenggaraan jalan tol yang meliputi substansi pelayanan:
1. Kondisi jalan tol; 2. Kecepatan tempuh rata-rata, untuk jalan tol dalam kota kecepatan tempuh
rata-rata yaitu ≥ 1,6 kali kecepatan tempuh rata-rata jalan non tol, dan untuk jalan tol luar kota kecepatan tempuh rata-rata ≥ 1,8 kali kecepatan tempuh rata-rata jalan non tol.
3. Aksessibilitas; 4. Mobilitas; 5. Keselamatan; 6. Unit pertolongan/penyelamatan dan bantuan pelayanan.
Dalam penambahan sebuah lajur pada jalan tol, dapat mempertimbangkan standar
pelayanan minimal dengan substansi kecepatan tempuh rata-rata. Apabila dari
kecepatan tempuh rata-rata sebuah ruas tidak memenuhi standar minimal maka
perlu dilakukan pengkajian ulang terhadap kinerja ruas jalan tersebut agar dapat
memenuhi standar pelayanan minimal jalan tol.
2.2 LALU LINTAS
Arus lalu lintas sangat diperlukan baik dalam menghitung kinerja sebuah
jalan atau menghitung perkerasan sebuah jalan. Analisis arus lalu lintas diperlukan
agar memperoleh data-data penunjang dalam menghitung kinerja sebuah jalan dan
tebal perkerasan jalan. Data-data penunjang yang dimaksud adalah sebagai
berikut:
D3 TEKNIK SIPIL POLITEKNIK NEGERI BANDUNG
Dian Aulia, Sindy Dwi Yuliani, Perancangan Peningkatan Struktur …. II-3
Jumlah kendaraan yang memakai jalan
Jumlah tiap jenis kendaraan
Konfigurasi sumbu dari tiap kendaraan
Beban tiap sumbu kendaraan
Faktor pertumbuhan lalu lintas
Jenis kendaraan yang melintasi sebuah jalan sangat beraneka ragam dan
bervariasi baik dari ukuran kendaraan, berat total kendaraan, konfigurasi dan
beban sumbu kendaraan. Dalam menganalisis arus lalu lintas yang melintas di
jalan tol, data arus yang diperoleh dari PT Jasa Marga berupa data arus yang
digolongkan berdasarkan tarif tol. Berikut merupakan golongan kendaraan
menurut PT Jasa Marga :
Sumber : www.jasamarga.com
Gambar 2.1 Golongan Jenis Kendaraan Berdasarkan PT.Jasa Marga
Keterangan:
Golongan I : Sedan, Jip, Pick up, Bus
Golongan II : 1,2 Heavy Truck dan 1,2 Large Truck
Golongan II : 1,22 Truck
Golongan IV : 1.2+2.2 Truck gandeng dan 1,2-22 Trailer
Golongan V : 1,22+222 Trailer
Berdasarkan standar Bina Marga, terdapat 3 jenis konfigurasi dan nilai
ekuivalen sumbu roda kendaraan berdasarkan Muatan Sumbu Terberat (MST)
diantaranya MST 8, MST 10 dan MST 12 (Lampiran 1) . Tabel dibawah ini akan
menjelaskan mengenai pergolongan jenis kendaraan dan beban sumbu tiap
golongan kendaraan.
GOLONGAN
D3 TEKNIK SIPIL POLITEKNIK NEGERI BANDUNG
Dian Aulia, Sindy Dwi Yuliani, Perancangan Peningkatan Struktur …. II-4
Tabel 2.1 Pergolongan Jenis Kendaraan Dan Beban Sumbu Tiap Golongan
Sumber : Jasa Marga, Bina Marga dan MKJI 1997
D3 TEKNIK SIPIL POLITEKNIK NEGERI BANDUNG
Dian Aulia, Sindy Dwi Yuliani, Perancangan Peningkatan Struktur …. II-5
Akibat dari semakin berkembangnya sebuah daerah, maka tingkat
pertumbuhan kendaraan di daerah tersebut semakin lama semakin meningkat.
Sehingga angka pertumbuhan kendaraan perlu dihitung untuk mengetahui
pertumbuhan volume lalu lintas yang melewati jalan tersebut dimasa yang akan
datang. Angka pertumbuhan dapat dihitung dengan menggunakan persamaan
dibawah ini :
–
.....................Persamaan 2.1
Dimana :
= angka pertumbuhan (%)
LHR1 = LHR tahun sesudah
LHR2 = LHR tahun sebelum
2.3 KINERJA JALAN
Tingkat kinerja jalan berdasarkan Manual Kapasitas Jalan Indonesia/MKJI
(1997) adalah ”ukuran kuantitatif yang menerangkan kondisi operasional”. Nilai
kuantitatif dinyatakan dalam kapasitas, derajat kejenuhan dan lain-lain. Ukuran
kualitatif yang menerangkan kondisi operasional dalam arus lalu lintas dan
persepsi pengemudi tentang kualitas berkendaraan dinyatakan dengan tingkat
pelayanan jalan.
2.3.1 Arus Lalu Lintas
Manual Kapasitas Jalan Indonesia (1997) menjelaskan “nilai arus lalu
lintas (Q) mencerminkan komposisi lalu lintas”. Perhitungan arus total kendaraan
didasarkan rumus dibawah ini :
Q = Qkend x emp .....................Persamaan 2.2
dimana:
Qkend = Arus (kendaraan/jam)
emp = Faktor untuk mengubah arus dari kendaraan/jam menjadi smp/jam
Data arus kendaraan yang digunakan dalam perhitungan arus lalu lintas
(Q) dapat berupa nilai Lalu Lintas Harian Rata-rata (LHR) atau data arus lalu
D3 TEKNIK SIPIL POLITEKNIK NEGERI BANDUNG
Dian Aulia, Sindy Dwi Yuliani, Perancangan Peningkatan Struktur …. II-6
lintas berdasarkan hasil traffic counting di lapangan. Apabila data masukan yang
didapat yaitu berupa LHR, maka untuk mengkonversi dari LHR menjadi
kendaraan perjam, dapat menggunakan rumus dibawah ini :
.....................Persamaan 2.3
dimana :
LHR = jumlah lalu lintas kendaraan perhari
k = rasio antara arus jam rencana dan LHR;
“nilai k berkisar antara 6-15%“ (Iskandar,TT)
Dalam jurnal Surandono (2011) menjelaskan “ekuivalen mobil penumpang
(emp) adalah suatu angka yang digunakan untuk mengkonversi kendaraan berat
dan sepeda motor ke suatu kendaraan penumpang standar (kendaraan ringan)”.
Nilai konversi atau emp untuk kendaraan Menengah Berat (MHV), Bus Besar
(LB), Truk Besar (LT) pada jalan bebas hambatan ke dalam kendaraan
penumpang standar, dapat menggunakan tabel dibawah ini :
Tabel 2.2 Emp untuk Jalan Bebas Hambatan Terbagi Dua-Arah-Empat-Lajur (MW 4/2 UD)
Tipe Alinyemen
Total Arus emp (kend/jam) MHV LB LT
Datar
0 1,2 1,2 1,6 1.250 1,4 1,4 2,0 2.250 1,6 1,7 2,5
≥ 2800 1,3 1,5 2,0
Bukit
0 1,5 1,6 4,8 900 2,0 2,0 4,6
1.700 2,2 2,0 4,3 ≥ 2.250 1,8 1,9 3,5
Gunung
0 3,2 2,2 5,5 700 2,0 2,6 5,1
1.450 2,0 2,9 4,8 ≥ 2.000 2,0 2,4 3,8
Sumber : MKJI Jalan Bebas Hambatan 1997 hal.7-33
D3 TEKNIK SIPIL POLITEKNIK NEGERI BANDUNG
Dian Aulia, Sindy Dwi Yuliani, Perancangan Peningkatan Struktur …. II-7
Tabel 2.3 Emp untuk Jalan Bebas Hambatan Terbagi Dua-Arah-Enam-Lajur (MW 6/2 UD)
Tipe Alinyemen
Total Arus emp (kend/jam) MHV LB LT
Datar
0 1,2 1,2 1,6 1.900 1,4 1,4 2,0 3.400 1,6 1,7 2,5
≥ 4.150 1,3 1,5 2,0
Bukit
0 1,8 1,6 4,8 1.450 2,0 2,0 4,6 2.600 2,2 2,3 4,3
≥ 3.300 1,8 1,9 3,5
Gunung
0 3,2 2,2 5,5 1.150 2,9 2,6 5,1 2.150 2,6 2,9 4,8
≥ 3.000 2,0 2,4 3,8 Sumber : MKJI Jalan Bebas Hambatan 1997 hal 7-36
2.3.2 Kapasitas Jalan
Menurut Leihitu (2012) kapasitas merupakan “arus lalu lintas maksimum
yang melewati suatu titik jalan yang dapat dipertahankan pada suatu bagian jalan
dalam kondisi tertentu”. Sedangkan MKJI (1997) mendefinisikan “kapasitas jalan
bebas hambatan sebagai arus maksimum yang melewati suatu titik pada jalan
bebas hambatan yang dapat dipertahankan persatuan jam dalam kondisi yang
berlaku”. Jadi kapasitas merupakan keadaan dimana arus lalu lintas pada kondisi
maksimum yang melalui suatu titik jalan. Ada beberapa faktor yang
mempengaruhi kapasitas jalan antara lain:
1. Faktor jalan, seperti lebar lajur, kebebasan lateral, bahu jalan, ada median atau
tidak, kondisi permukaan jalan, alinyemen, kelandaian jalan, trotoar dan lain-
lain.
2. Faktor lalu lintas, seperti komposisi lalu lintas, volume, distribusi lajur, dan
gangguan lalu lintas, adanya kendaraan tidak bermotor, gangguan samping, dan
lain - lain.
3. Faktor lingkungan, seperti misalnya pejalan kaki, pengendara sepeda, binatang
yang menyeberang, dan lain-lain.
D3 TEKNIK SIPIL POLITEKNIK NEGERI BANDUNG
Dian Aulia, Sindy Dwi Yuliani, Perancangan Peningkatan Struktur …. II-8
Persamaan umum untuk menghitung Kapasitas berdasarkan MKJI (1997)
untuk jalan bebas hambatan adalah sebagai berikut :
C = Co x FCW x FCSP .....................Persamaan 2.4
dimana :
C = kapasitas ruas jalan (smp/jam)
Co = kapasitas dasar (smp/jam), berdasarkan tipe jalan.
FCw = faktor penyesuaian lebar jalan bebas hambatan, berdasarkan pada lebar
efektif jalur lalu lintas.
FCSP = faktor penyesuaian pemisahan arah.
Parameter-parameter dalam menghitung kapasitas jalan didasarkan berdasarkan
Manual Kapasitas Jalan Indonesia Jalan Bebas Hambatan tahun 1997. Kapasitas
dasar (Co) dapat ditentukan berdasarkan tipe alinyemen jalan bebas hambatan
yang ada pada Tabel 2.4. Tabel 2.4 Kapasitas Jalan Bebas Hambatan Terbagi
Tipe jalan bebas hambatan/ Kapasitas Dasar Tipe Alinyemen (smp/jam/lajur)
Empat dan enam-lajur terbagi - Datar 2300 - Bukit 2250 - Gunung 2150
Sumber : MKJI Jalan Bebas Hambatan 1997 hal 7-47
Faktor koreksi dalam menghitung kapasitas sebuah jalan bebas hambatan
terdiri dari Faktor Penyesuaian Kapasitas Akibat Lebar Jalur Lalu Lintas (FCW)
dan Faktor Penyesuaian Kapasitasas Akibat Pemisah Arah (FCSP). Dalam
menentukan faktor koreksi FCW lebar efektif jalur lalu lintas yaitu lebar badan
jalan atau lebar jalan tanpa bahu. Maka setelah diketahui hal-hal tersebut faktor-
faktor koreksi tersebut dapat ditentukan berdasarka Tabel 2.5 dan Tabel 2.6.
D3 TEKNIK SIPIL POLITEKNIK NEGERI BANDUNG
Dian Aulia, Sindy Dwi Yuliani, Perancangan Peningkatan Struktur …. II-9
Tabel 2.5 Faktor Penyesuaian Kapasitas Akibat Lebar Jalur Lalu Lintas Jalan Tol (FCW)
Tipe jalan bebas hambatan
Lebar efektif jalur lalu lintas FCw
Wc (m) Empat lajur terbai Perlajur Enam lajur terbagi 3,25 0,96 3,50 1,00 3,75 1,03 Dua lajur tak terbagi Total kedua arah
6,5 0,96 7,0 1,00 7,5 1,04
Sumber : MKJI Jalan Bebas Hambatan 1997 hal 7-48
Tabel 2.6 Faktor Penyesuaian Kapasitas Akibat Pemisah Arah (FCSP)
untuk Jalan Bebas Hambatan Tak Terbagi Pemisah arah SP %-% 50-50 55-45 60-40 65-35 70-30 FCSP 1 0,97 0,94 0,91 0,88
Sumber : MKJI Jalan Bebas Hambatan 1997 hal 7-49
Khusus untuk faktor koreksi FCSP untuk jalan terbagi atau jalan yang
terdapat median maka faktor pemisah arah adalah 1 (satu). (MKJI, 1997)
2.3.3 Derajat Kejenuhan
Derajat kejenuhan atau Degree of Saturation (DS) didefinisikan sebagai
rasio arus terhadap kapasitas, yang digunakan sebagai faktor utama dalam
penentuan tingkat kinerja ruas jalan (MKJI, 1997). Persamaan yang digunakan
untuk menghitung nilai derajat kejenuhan adalah :
DS = Q/C .....................Persamaan 2.5
dimana :
DS = Derajat kejenuhan
Q = Arus lalu lintas (smp/jam)
C = Kapasitas (smp/jam)
“Nilai derajat kejenuhan dapat menunjukkan apakah segmen jalan tersebut
mempunyai masalah kapasitas atau tidak” (Leihitu, 2012). Nilai batas atas derajat
kejenuhan adalah 0,75 sampai 0,8 (MKJI, 1997). Sedangkan berdasarkan
D3 TEKNIK SIPIL POLITEKNIK NEGERI BANDUNG
Dian Aulia, Sindy Dwi Yuliani, Perancangan Peningkatan Struktur …. II-10
Highway Capacity Manual (2000) nilai tingkat pelayanan sebuah jalan dapat di
nilai berdasarkan derajat kejenuhannya, nilai pelayanan tersebut dapat dilihat pada
Tabel 2.7 dibawah ini : Tabel 2.7 Nilai Tingkat Pelayanan
No Tingkat
D = V/C Kecepatan
Ideal Kondisi/Keadaan Lalu Lintas Pelayanan (km/jam)
1 A < 0,04 > 60 Lalu Lintas lengang, kecepatan bebas
2 B 0,04 - 0,24 50 - 60 Lalu Lintas agak ramai, kecepatan menurun
3 C 0,25 - 0,54 40 - 50 Lalu lintas ramai, kecepatan terbatas
4 D 0,55 - 0,80 35 - 40 Lalu lintas jenuh, kecepatan mulai rendah
5 E 0,81 - 1,00 30 - 35 Lalu lintas mulai macet, kecepatan rendah
6 F > 1,00 < 30 Lalu Lintas macet, kecepatan rendah sekali
Sumber : Highway Capacity Manual (2000)
2.4 PERKERASAN JALAN
“Perkerasan jalan adalah kontruksi yang dibangun di atas lapisan tanah
dasar (subgrade), yang berfungsi untuk menopang beban lalu lintas” (Hendarsin,
2000). Umumnya terdapat dua jenis perkerasan jalan yaitu perkerasan lentur
(flexible pavement) dan perkerasan kaku (rigid pavement).
2.4.1 Perkerasan Lentur
Hendarsin (2000) menjelaskan terdapat beberapa karakteristik yang
dimiliki perkerasan lentur, diantaranya :
Bersifat elastis jika menerima beban, sehingga memberi kenyamanan bagi pengguna jalan.
Menggunakan bahan pengikat aspal Seluruh lapisan ikut menanggung beban. Penyebaran tegangan ke tanah dasar sedemikian, sehingga tidak merusak
lapisan tanah subgrade.
D3 TEKNIK SIPIL POLITEKNIK NEGERI BANDUNG
Dian Aulia, Sindy Dwi Yuliani, Perancangan Peningkatan Struktur …. II-11
Berikut lapisan-lapisan yang menyusun perkerasan lentur :
Gambar 2.2 Susunan lapisan perkerasan lentur
2.4.2 Perkerasan Kaku
Terdapat dua jenis perkarasan kaku diantaranya perkerasan beton semen
dan perkerasan kaku dengan permukaan aspal (Hendarsin, 2000).
1. Perkerasan Beton Semen
Perkerasan beton semen didefinisikan sebagai perkerasan yang memiliki
lapisan dasar beton dari portland cement. Komposisi perkerasan beton semen
adalah sebagai berikut :
Gambar 2.3 Susunan lapisan perkerasan kaku
2. Perkerasan Kaku Dengan Permukaan Aspal (Komposit)
Perkerasan kaku dengan permukaan aspal adalah salah satu dari
perkerasan komposit. Perkerasan kaku memiliki kelebihan dari segi kekuatannya
sedangkan perkerasan lentur memiliki kelebihan dari segi kenyamanan pengguna
jalan. Sehingga saat ini penggunaan perkerasan komposit lebih banyak digunakan
khususnya pada jalan tol. Hal ini dikarenakan, dengan perkerasan komposit maka
struktur perkerasan dapat lebih kuat dan tingkat kenyamanan pengguna jalan tol
pun dapat tercapai.
D3 TEKNIK SIPIL POLITEKNIK NEGERI BANDUNG
Dian Aulia, Sindy Dwi Yuliani, Perancangan Peningkatan Struktur …. II-12
Susunan lapisan perkerasan komposit dapat dilihat pada gambar berikut
ini:
Gambar 2.4 Susunan lapisan perkerasan komposit
2.5 PERENCANAAN PERKERASAN
Dalam merencanakan sebuah kontruksi atau tebal lapis perkerasan jalan,
banyak metode yang dapat digunakan salah satunya yaitu metode AASHTO
Guide for Design of Pavement Structures 1993. Hendarsin (2000) menjelaskan :
pertimbangan yang harus diperhitungkan dalam perencanaan sebuah tebal perkerasan antara lain meliputi hal-hal sebagai berikut : 1. Pertimbangan kontruksi dan pemeliharaannya. 2. Pertimbangan lingkungan. 3. Evaluasi terhadap tanah dasar. 4. Material perkerasan. 5. Lalu lintas rencana.
2.5.1 Perencanaan Perkerasan Beton Semen
Dalam menghitung tebal perkerasan beton semen berdasarkan AASHTO
Guide for Design of Pavement Structures (1993) dapat menggunakan formula
sebagai berikut :
.....................Persamaan 2.6
dimana :
W18 : Perkiraan nilai kumulatif ekuivalen beban kendaraan dari aplikasi ESAL
(Equivalent Single Axle Load )
ZR : Deviasi normal yang mewakili reliabilitas (R)
SO : Gabungan kesalahan baku dari perkiraan beban lalu lintas dan
D3 TEKNIK SIPIL POLITEKNIK NEGERI BANDUNG
Dian Aulia, Sindy Dwi Yuliani, Perancangan Peningkatan Struktur …. II-13
kinerja perkerasan
ΔPSI : Selisih indeks permukaan awal dan akhir
S’c : Modulus of Ruture (psi)
Cd : Faktor drainase
Ec : Modulus elastisitas beton (psi)
J : Load transfer coefficient
k : Modulus Reaksi Tanah (psi)
DF : Tebal perkerasan beton semen (inchi)
Parameter-parameter yang dibutuhkan dalam perencanaan tebal perkerasan
beton semen (DF ) adalah sebagai berikut :
2.5.1.1 Beban Lalu Lintas
Rosyidi (2007) menjelaskan “prosedur perencanaan untuk parameter lalu
lintas didasarkan pada kumulatif beban gandar standar ekuivalen”.
Perhitungan untuk komulatif beban sumbu standar selama umur
rencana ini didasarkan pada konversi lalu lintas yang lewat terhadap beban gandar
standar 8,16 kN dan mempertimbangkan umur rencana, volume lalu lintas,
faktor distribusi lajur, serta faktor bangkitan lalu lintas (growth factor).
.....................Persamaan 2.7
dimana :
w18 = Komulatif beban sumbu standar selama umur rencana
m = Jumlah masing-masing jenis kendaraan.
365 = Jumlah hari dalam satu tahun.
LEF = Faktor ESAL (Angka Ekuivalen )
GF = Faktor pertumbuhan
C = Koefisien Distribusi Kendaraan.
D3 TEKNIK SIPIL POLITEKNIK NEGERI BANDUNG
Dian Aulia, Sindy Dwi Yuliani, Perancangan Peningkatan Struktur …. II-14
1. Faktor ESAL (LEF)
Banyak metode dalam menghitung faktor ESAL atau angka ekuivalen
sumbu kendaraan baik dengan menggunakan metode AASHTO ataupun dengan
metode NASRAA.
Dalam menghitung angka ekuivalen, AASHTO menjadikan perbandingan
umur perkerasan akibat beban lalu lintas standar sebasar 18 kips terhadap umur
perkerasan akibat beban lalu lintas non standar. Besarnya angka ekuivalen
tergantung dari jenis sumbu, pelayanan akhir (pt), serta besarnya angka Structural
Number (SN) untuk perkerasan lentur dan tebal perkerasan (D) untuk perkerasan
beton semen. Untuk menghitung faktor ESAL berdasarkan AASHTO (1993)
maka dapat menggunakan rumus dibawah ini :
.....................Persamaan 2.8
Sebelum menghitung faktor ESAL pada perkerasan beton semen nilai
Wtx/Wt dihitung terlebih dahulu dengan menggunakan Persamaan 2.9
[
]
[
] [ ] .....................Persamaan 2.9
dimana :
Wt = ekuivalen beban sumbu standar (selalu 18 kips)
Wtx = ekuivalen beban sumbu yang di konversi hingga akhir waktu pelayanan.
Gt = faktor perbandingan kehilangan tingkat pelayanan
L1 = beban sumbu standar (18 kips)
L2 = notasi konfigurasi sumbu standar (biasanya 1)
L1x = beban sumbu yang akan dievaluasi
L2x = notasi konfigurasi sumbu
1 : sumbu tunggal, 2 : sumbu ganda, 3 : sumbu tripel
β = faktor desain dan variasi beban sumbu
Nilai Gt merupakan fungsi logaritma dari perbandingan antara kehilangan
tingkat pelayanan dari po sampai pt. Nilai Gt untuk perkerasan beton semen dapat
dihitung dengan persamaan sebagai berikut :
.....................Persamaan 2.10
D3 TEKNIK SIPIL POLITEKNIK NEGERI BANDUNG
Dian Aulia, Sindy Dwi Yuliani, Perancangan Peningkatan Struktur …. II-15
dimana :
G = faktor perbandingan kehilangan pelayanan
pt = indeks pelayanan (serviceability index) akhir (pt)
“Fungsi dari desain dan variasi beban sumbu kendaraan yang menyatakan
jumlah perkiraan banyaknya sumbu kendaran yang diperlukan sehingga
perkerasan mencapai tingkat pelayanan dinyatakan dengan β” (Sutrisno,2011) .
Faktor desain dan variasi beban sumbu dihitung berdasarkan jenis perkerasannya
untuk perkerasan beton semen dapat digunakan persamaan dibawah ini :
.....................Persamaan 2.11
Metode lain untuk menghitung angka ekuivalen beban sumbu kendaraan
salah satunya yaitu dengan metode NASRAA persamaan untuk mencari angka
ekuivalen kendaraan dapat menggunakan persamaan-persamaan berikut ini :
a. Angka ekuivalen sumbu tunggal roda tunggal.
.....................Persamaan 2.12
b. Angka ekuivalen sumbu tunggal roda ganda.
.....................Persamaan 2.13
c. Angka ekuivalen sumbu ganda roda ganda.
.....................Persamaan 2.14
d. Angka ekuivalen sumbu triple roda ganda.
.....................Persamaan 2.15
2. Koefisien Distribusi Kendaraan
“Besarnya koefisien distribusi kendaraan (C) didasarkan pada jenis
kendaraan, jumlah arah dan jumlah lajur” (Sutrisno, 2011). Besarnya koefisien
distribusi kendaraan (DA) berdasarkan arah dapat dilihat berdasarkan Tabel 2.8
dibawah ini.
D3 TEKNIK SIPIL POLITEKNIK NEGERI BANDUNG
Dian Aulia, Sindy Dwi Yuliani, Perancangan Peningkatan Struktur …. II-16
Tabel 2.8 Koefisien Distribusi Arah (DA) Jumlah Lajur
Kendaraan Ringan *) Kendaraan Berat **) 1 Arah 2 Arah 1 Arah 2 Arah
1 1 1 1 1 2 0,6 1,5 0,7 0,5 3 0,4 0,4 0,5 0,475 4 0,3 0,45 5 0,2 0,425 6 0,1 0,4
Sumber : SNI 1732-1989-F, 1987 *) Berat Total < 5 ton **) Berat Total ≥ 5 ton
Sedangkan untuk nilai distribusi kendaraan berdasarkan jumlah lajur dapat
menggunakan tabel berikut ini : Tabel 2.9 Koefisien Distribusi Lajur (DL)
Jumlah Lajur Tiap Arah
% 18-kips ESAL Desain
1 100 2 80-100 3 60-80
4 atau lebih 50-75 Sumber : AASHTO, 1993
3. Faktor Pertumbuhan
Untuk mengetahui pertumbuhan kendaraan yang akan datang, maka
diperlukan perhitungan dalam menentukan faktor pertumbuhan yang diuraikan
pada persamaan 2.16.
.....................Persamaan 2.16
dimana :
g = angka pertumbuhan (%)
n = umur rencana (tahun)
2.5.1.2 Reliability dan Standard Normal Deviate
Faktor penentu nilai Standart Normal Deviate (Zr) merupakan reliabilitas.
Reliabilitas merupakan upaya untuk menyertakan derajat kepastian (degree of
certainty) ke dalam proses perencanaan untuk menjamin bermacam-macam
D3 TEKNIK SIPIL POLITEKNIK NEGERI BANDUNG
Dian Aulia, Sindy Dwi Yuliani, Perancangan Peningkatan Struktur …. II-17
alternatif perencanaan akan bertahan selama selang waktu yang direncanakan
(umur rencana). Dalam kata lain reliabilitas menggambarkan “Faktor Keamanan“,
dengan reliability yang tinggi menunjukkan bahwa struktur pavement akan
memberikan kemungkinan perubahan atau kegagalan sedikit, namun reliabilitas
yang tinggi akan menghasilkan tebal perkerasan beton akan lebih tebal. Nilai
reliabilitas didasarkan berdasarkan fungsi jalan seperti terlihat pada tabel dibawah
ini : Tabel 2.10 Tingkat Reliabilitas Berdasarkan Fungsi Jalan
Fungsi Jalan Tingkat Keandalan (R) Dalam Persen
Urban Rural Jalan Tol 85-99,9 80-99,9
Arteri 80-99 75-95 Kolektor 80-95 75-75
Lokal 50-80 50-80 Sumber : AASHTO, 1993 hal II-9
Dalam persamaan desain perkerasan, level of reliabity (R) diakomodasi
dengan parameter penyimpangan Standard Normal Deviate (Zr). Berdasarkan
AASHTO Guide for Design of Pavement Structures 1993 nilai korelasi angka
reliabilitas dengan Standard Normal Deviate dapat dilihat pada Tabel pada
Lampiran 2.
2.5.1.3 Combine Standar Error (So)
So adalah gabungan kesalahan baku dari perkiraan beban lalu lintas dn
kinerja perkerasan jalan. Nilai Overall Standard Deviation (So) untuk perkerasan
beton semen yang disarankan pada buku AASHTO guide for Design of Pavement
Structures 1993, hal I-62 adalah berkisar antara 0,3 – 0,4. (AASHTO, 1993)
2.5.1.4 Innitial dan Terminal Serviceability Index (Po, Pt)
Serviceability jalan didefinisikan sebagai kemampuan jalan untuk
melayani lalu lintas yang memakai fasilitas tersebut. AASHTO (1993) dengan
Road Testnya menyarankan “awal serviceability (Po) untuk perkerasan beton
semen adalah sebesar 4,5”. Sedangkan untuk akhir serviceability (Pt) ditentukan
berdasarkan :
D3 TEKNIK SIPIL POLITEKNIK NEGERI BANDUNG
Dian Aulia, Sindy Dwi Yuliani, Perancangan Peningkatan Struktur …. II-18
Pt = 2,5 jalan utama
Pt = 2,0 jalan dengan lalu lintas rendah
Sehingga selisih indeks permukaan awal dan akhir dapat menggunakan rumus :
∆ PSI = po - pt .....................Persamaan 2.17
2.5.1.5 Load Transfer Coefficient
Load Transfer Coefficient (J) merupakan faktor yang digunakan dalam
desain perkerasan kaku untuk menghitung kemampuan pelat beton
mendistribusikan beban yang melintas secara tidak menerus, seperti pada joint
atau crack. Nilai J dapat ditentukan berdasarkan tabel dibawah ini : Tabel 2.11 Koefisien Penyaluran Beban (J)
Bahu Aspal Tied P.C.C Penyaluran Beban Ya Tidak Ya Tidak
1. Beban bersambung tak 3,2 3,8 - 4,4 2,5 - 3,1 3,6 - 4,2
bertulang dan bertulang 2. CRCP 2,9 - 3,2 N/A 2,3 - 2,9 N/A
Sumber : AASHTO, 1993 hal II – 26 Apabila dalam suatu perencanaan perkerasan jalan akan diadakan lapis
tambah bila sudah mencapai ESAL sesuai umur rencana, maka AASHTO 1993
menyarankan nilai J yang digunakan berkisar antara 2,2 - 2,6. (AASHTO, 1993 :
III-132)
2.5.1.6 Drainage Coefficient
Koefisien drainase merupakan karakteristik dari kualitas sistem drainase
dari lapisan subbase di bawah perkerasan beton. Semakin besar kofisien drainase
menunjukkan bahwa sistem drainase makin baik.
Sebelum menentukan nilai koefisien drainase menggunakan tabel yang
tersedia pada AASHTO Guide for Design of Pavement Structures 1993,
diperlukan perhitungan persentase hari efektif hujan dalam setahun yang akan
berpengaruh terkenanya perkerasan, dengan bersamaan dibawah ini :
.....................Persamaan 2.18
dimana :
Tjam = rata-rata hujan perhari (jam)
D3 TEKNIK SIPIL POLITEKNIK NEGERI BANDUNG
Dian Aulia, Sindy Dwi Yuliani, Perancangan Peningkatan Struktur …. II-19
Thari = rata-rata jumlah hari hujan pertahun (hari)
WI = faktor air hujan yang akan masuk ke pondasi jalan (%)
Apabila persentase hari efektif hujan dalam setahun telah diketahui, maka
nilai koefisien drainase dapat ditentukan berdasarkan Tabel 2.12 dan Tabel 2.13. Tabel 2.12 Kualitas Drainase
Kualitas Drainase Waktu yang dibutuhkan
waktu mengeringkan Baik Sekali 2 jam
Baik 1 hari Cukup 1 minggu Buruk 1 bulan
Buruk Sekali air tidak terbebaskan Sumber : AASHTO, 1993 hal II – 22
Tabel 2.13 Nilai Koefisien Drainase (Cd) untuk Desain Perkerasan Kaku
Kualitas Drainase
Persentase waktu perkerasan dalam kedaan lembab hingga jenuh
< 1% 1-5% 5-25% 25% Baik Sekali 1,25 - 1,20 1,2 - 1,15 1,15 -1,10 1,2
Baik 1,20 - 1,15 1,15 - 1,10 1,10 - 1,00 1 Cukup 1,15 - 1,10 1,10 - 1,00 1,00 - 0,90 0,9 Buruk 1,10 - 1,00 1,00 - 0,90 0,90 - 0,80 0,8
Buruk Sekali 1,00-0,90 0,90 -,80 0,80 - 0,70 0,7 Sumber : AASHTO, 1993 hal II – 26
2.5.1.7 Concrete Elastic Modulus
Persamaan desain AASHTO (1993) memerlukan harga dari modulus
elastisitas beton, harga ini tergantung kepada jenis kekasarannya agregat. Harga
Ec dapat dihitung dengan rumus :
Ec = 57000 x (f’c )0.5 .....................Persamaan 2.19
dimana :
Ec = Modulus elastisitas beton (psi)
f’c = kuat tekan beton (psi)
D3 TEKNIK SIPIL POLITEKNIK NEGERI BANDUNG
Dian Aulia, Sindy Dwi Yuliani, Perancangan Peningkatan Struktur …. II-20
2.5.1.8 Concrete Modulus of Rupture, Sc’
Sc’ beton merupakan ukuran terhadap flexural strength dari beton yang
ditentukan berdasarkan tegangan tarik pada saat beton mulai retak. Nilai S’c dapat
ditentukan berdasarkan persamaan berikut :
.....................Persamaan 2.20
2.5.1.9 Modulus Reaksi Tanah (k) untuk Perkerasan Kaku
Modulus ini merupakan ukuran kekakuan tanah dasar yang dinyatakan
dengan beban dalam pounds per cubic inch (pci). Dalam menghitung modulus
reaksi tanah dapat menggunakan rumus :
k = (1500 x CBR) / 19,4 .....................Persamaan 2.21
dimana :
k = Modulus reaksi tanah
CBR = California Bearing Ratio
Harga k yang diperoleh harus dikoreksi terlebih dahulu terhadap
kehilangan daya dukung (Lose of Support, LS) akibat wet lean concrete (LC)
yang berada diatas tanah dasar yang nantinya berfungsi sebagai lantai kerja dan
struktur perkerasan.
D3 TEKNIK SIPIL POLITEKNIK NEGERI BANDUNG
Dian Aulia, Sindy Dwi Yuliani, Perancangan Peningkatan Struktur …. II-21
Tabel 2.14 Nilai Loss of Support Berdasarkan Tipe Material
Tipe Material Loss of Support
(LS) Cement Treated Granular Base
0,0 - 1,0 (E = 1,000,000 - 2,000,000 psi) Cement Aggregate Mixture
0,0 - 1,0 (E = 500,000 - 1,000,000 psi) Asphalt Tretaed Base
0,0 - 1,0 (E = 350,000 - 1,000,000 psi) Bituminous Stabilized Mixture
0,0 - 1,0 (E = 40,000 - 300,000 psi) Lime Stabilized
1,0 - 3,0 (E = 20,000 - 70,000 psi) Unbound Granular Materials
1,0 - 3,0 (E = 15,000 - 45,000 psi) Fine Grained or Natural Subgrade Material 2,0 -3,0 (E = 3,000 - 40,000 psi)
Sumber : AASHTO, 1993 hal II-27
Pengoreksian harga k dilakukan dengan memplotkan nilai LS dan k yang
diperoleh dari Persamaan 2.21 pada Gambar 2.5.
Sumber : AASHTO, 1993 hal II-42
Gambar 2.5 Grafik Hubungan Modulus of Subgrade dengan LS
D3 TEKNIK SIPIL POLITEKNIK NEGERI BANDUNG
Dian Aulia, Sindy Dwi Yuliani, Perancangan Peningkatan Struktur …. II-22
2.5.2 Perencanaan Perkerasan Lentur
Dalam menghitung tebal lapisan perkerasan lentur dapat digunakan
persamaan AASHTO Guide for Design of Pavement Structures (1993) sebagai
berikut :
.....................Persamaan 2.22
dimana :
SN : Structural Number, nilai korelasi total suatu tebal perkerasan yang
dibutuhkan.
MR : Resilient modulus (psi)
Untuk mengetahui tebal tiap lapisan dari perkerasan lentur, maka nilai
Structural Number (SN) yang diperoleh berdasarkan persamaan 2.22 kemudian
dimasukan kedalam persamaan bertingkat berikut ini :
SN = a1.D1 + a2.D2.m2 + a3.D3.m3 .....................Persamaan 2.23
dimana :
i = 1,2,3 = lapisan permukaan, lapisan pondasi, lapisan pondasi bawah. ai = koefisien kekuatan relatif dari bahan lapisan perkerasan
Di = tebal lapisan perkerasan
mi = koefisien drainase
Nilai koefisien kekuatan relatif (a) untuk masing-masing lapisan dapat
menggunakan tabel pada Lampiran 3.
Parameter perencanaan pada perkerasan lentur sebagian besar sama
dengan parameter perencanaan pada perkerasan kaku, berikut ini merupakan
parameter-parameter yang berbeda dalam merencanakan perkerasan lentur adalah
sebagai berikut :
2.5.2.1 Faktor ESAL (Angka Ekuivalen)
Dalam menghitung Faktor ESAL pada perencanaan perkerasan lentur
dapat menggunakan rumus pada Persamaan 2.8, dengan nilai Wtx/Wt dihitung
berdasarkan persamaan dbawah ini.
D3 TEKNIK SIPIL POLITEKNIK NEGERI BANDUNG
Dian Aulia, Sindy Dwi Yuliani, Perancangan Peningkatan Struktur …. II-23
[
]
[
] [ ] .....................Persamaan 2.23
Dan untuk nilai Gt dan β dapat dihitung dengan persamaan sebagai berikut :
....................Persamaan 2.24
....................Persamaan 2.25
2.5.2.2 Combine Standar Error (So)
Nilai Overall Standard Deviation So disarankan pada buku AASHTO
Guide for Design of Pavement Structures (1993) untuk perkerasan lentur adalah
0,4 – 0,5. (AASHTO, 1993 : I-62)
2.5.2.3 Innitial dan Terminal Serviceability Index (Po)
AASHTO dengan Road Testnya menyarankan awal serviceability (Po)
untuk perkerasan lentur sebesar 4,2. Dan akhir serviceability (Pt) ditentukan
berdasarkan (ASSHTO,1993) :
Pt = 2,5 jalan utama
Pt = 2,0 jalan dengan lalu lintas rendah
2.5.2.4 Drainage Coefficient
Untuk perkerasan lentur koefisien drainase dinyatakan dengan nilai m,
dapat dilihat pada tabel dibawah ini : Tabel 2.15 Koefisien Drainase (M) untuk Memodifikasi Koefisien Kekuatan Relatif Material
Untreated Base dan Subbase Pada Perkerasan Lentur.
Kualitas Drainase
Persentase waktu struktur perkerasan dipengaruhioleh kadar air yang mendekati jenuh
< 1% 1-5% 5-25% >25% Baik Sekali 1,40 - 1,30 1,35 -1,30 1,30 - 1,20 1,20
Baik 1,35 - 1,25 1,25 - 1,15 1,15 - 1,00 1,00 Cukup 1,25 - 1,15 1,15 - 1,05 1,00 -0,80 0,80 Buruk 1,15 - 1,05 1,05 - 0,80 0,80 - 0,60 0,60
Buruk Sekali 1,05 - 0,95 0,80 - 0,75 0,60 - 0,40 0,40 Sumber : AASHTO, 1993 hal II – 25
D3 TEKNIK SIPIL POLITEKNIK NEGERI BANDUNG
Dian Aulia, Sindy Dwi Yuliani, Perancangan Peningkatan Struktur …. II-24
2.5.2.5 Modulus Resilient ( MR )
Resilien Modulus adalah nilai hubungan dinamis antara tegangan dan
regangan. Dengan menggunakan persamaan dari Heukelom and Klomp (1962)
korelasi antara nilai CBR Corps of Engineer dan nilai resilient modulus (MR)
dihitung seperti berikut :
MR = 1500 x CBR .....................Persamaan 2.26
dimana :
MR = Modulus Resilient
CBR = California Bearing Ratio
2.5.3 Perencanaan Perkerasan Komposit
Dalam merencanakan perkerasan komposit digunakan pendekatan desain
lapis tambah perkerasan lentur diatas perkerasan beton semen (AASTHO,1993).
Sehingga langkah awal yang dilakukan yaitu menghitung tebal perkerasan beton
semen (DF) dengan menggunakan Persamaan 2.6. Kemudian setelah tebal
perkerasan beton semen (DF) diperoleh, maka dapat dilakukan perhitungan tebal
lapis tambah hotmix diatas perkerasan beton semen dengan menggunakan
persamaan berikut ini:
DOL = A (DF – DEFF) .....................Persamaan 2.27
A = 2,2233 + 0,0099 (DF - DEFF)2 – 0,1534 (DF – DEFF) .........Persamaan 2.28
dimana :
DOL = Tebal lapis tambah (perkerasan lentur) (inchi)
DF = Tebal perkerasan beton semen rencana (inchi)
DEFF = Tebal perkerasan beton semen efektif (inchi)
A = Faktor konversi perkerasan beton semen ke perkerasan lentur
Berdasarkan AASHTO (1993) tebal pelat beton semen efektif dapat dicari
berdasarkan persamaan.
DEFF = Fjc x Fjur x Ffat x DF .....................Persamaan 2.29
dimana :
DF = Tebal lapis pelat beton rencana.
Fjc = faktor retakan pada sambungan
D3 TEKNIK SIPIL POLITEKNIK NEGERI BANDUNG
Dian Aulia, Sindy Dwi Yuliani, Perancangan Peningkatan Struktur …. II-25
Fdur = faktor durabilitas
Ffat = faktor akibat fatik
Desain perkerasan komposit baru mempunyai DEFF sama dengan DF,
dengan asumsi bahwa perkerasan belum mengalami kerusakan sehingga nilai
faktor-faktor diatas adalah 1.
2.5.4 Perencanaan Lapis Tambah Perkerasan Beton Semen
Untuk menghitung tebal lapis tambah berupa perkerasan aspal beton di
atas perkerasan beton semen, maka tebal perkerasan beton semen tersebut harus
dievaluasi terlebih dahulu untuk menentukan tebal perkerasan beton semen
efektif. Tebal efektif tersebut akan sangat tergantung pada kondisi perkerasannya,
Tebal efektif beton dapat dihitung menggunakan Persamaan 2.29,
dimana :
DF = Tebal lapis pelat beton eksisiting
Fjc = faktor retakan pada sambungan
Fdur = faktor durabilitas
Ffat = faktor akibat fatik
Untuk menentukan nilai Fjc dapat menggunakan Gambar 2.5. (jika
memperbaiki semua daerah yang memburuk sebelum lapis tambah nilai Fjc = 1)
Gambar 2.6 Faktor Retakan Pada Sambungan
D3 TEKNIK SIPIL POLITEKNIK NEGERI BANDUNG
Dian Aulia, Sindy Dwi Yuliani, Perancangan Peningkatan Struktur …. II-26
Sedangkan untuk faktor durabilitas (Fdur) dan faktor akibat fatik (Ffat )
dapat ditentukan berdasarkan Tabel 2.16 dan Tabel 2.17. Tabel 2.16 Faktor Durabilitas
Kondisi perkerasan Fdur
Jika tidak ada masalah durabiitas retak 1
Sedikit retak tetapi tidak palling exists 0,96-0,99
Sedikit retak cracking dan beberapa serpihan terjadi 0,88-0,95
Retak Banyak dan cracking dan banyak serpihan yang terjadi 0,80-0,88 Sumber : AASHTO 1993, hal III-126
Tabel 2.17 Faktor Akibat Fatik Kondisi perkerasan Ffat
Jika sangat sedikit terjadi retak melintang 0,97-1,00 Jika agak banyak terjadi retak melintang 0,94-0,96 Jika sangat banyak terjadi retak melintang 0,90-0,93
Sumber : AASHTO 1993, hal III-126
Tebal efektif perkerasan beton semen yang didapat kemudian dikonversi
kedalam tebal perkerasan aspal beton. Nilai konversi dari perkerasan beton semen
kedalam perkerasan aspal beton dapat dihitung berdasarkan pada Persamaan 2.28.
Tebal perkerasan aspal beton tersebut akan digunakan untuk menentukan
nilai kekuatan struktur dari perkerasan tersebut yang dinyatakan oleh nilai
Structural Number. Penentuan nilai Structural Number dapat menggunakan
persamaan dasar SN (Persamaan 2.23), sedangkan untuk menentukan besarnya
koefisien kekuatan relatif dapat ditentukan berdasarkan tingkat kerusakan pada
perkerasan aspal beton yang terpasang dengan menggunakan Tabel pada
Lampiran 4. Nilai SN eksisiting jalan digunakan untuk mengetahui selisih antara
SN eksisiting dengan nilai SN yang dibutuhkan saat umur rencana. Selisih
tersebut digunakan untuk mengetahui nilai tebal lapis tambah yang diperlukan.
2.5.5 Nilai Structural Number Perkerasan Komposit
Nilai Structural Number untuk perkerasan komposit (SNk) merupakan
penjumlahan dari ketebalan lapisan dikalikan dengan koefisien kekuatan yang
sesuai. Berdasarkan hasil studi Bureau of Design and Environtment persamaan
D3 TEKNIK SIPIL POLITEKNIK NEGERI BANDUNG
Dian Aulia, Sindy Dwi Yuliani, Perancangan Peningkatan Struktur …. II-27
berikut dapat digunakan untuk mengetahui Structural Number pada perkerasan
komposit baru (Illinois, 2011).
SNk = 0.40 DS + 0,33 Df .....................Persamaan 2.30
dimana:
SNk = Structural Number perkerasan komposit
Ds = ketebalan HMA (inchi)
Df = ketebalan lapis pondasi PCC baru (inchi)
2.6 ANALISIS SENSITIFITAS
Analisis sensitivitas merupakan “suatu analisis untuk dapat melihat
pengaruh-pengaruh yang akan terjadi akibat keadaan yang berubah-ubah”
(Departemen Agribisnis, 2011). Analisis ini membantu dalam menemukan unsur
yang sangat menentukan hasil (critical elements), sehingga membantu perhatian
orang pada variabel-variabel yang penting untuk memperbaiki perkiraan-perkiraan
dan memperkecil ketidakpastian. Tujuan analisis sensitivitas diantaranya :
a. menilai apa yang akan terjadi dengan hasil analisis kelayakan suatu kegiatan
investasi atau bisnis apabila terjadi perubahan di dalam perhitungan.
b. Analisis kelayakan suatu perhitungan umumnya didasarkan pada proyeksi-
proyeksi yang mengandung ketidakpastian tentang apa yg akan terjadi di waktu
yang akan dating.
c. Analisis yang digunakan untuk melihat apa yang akan terjadi dengan kondisi
hasil analisa jika terjadi perubahan atau ketidaktepatan dalam perhitungan.
Dalam analisis sensitivitas, “jika suatu perubahan kecil dalam parameter
menyebabkan perubahan drastis dalam solusi, dikatakan bahwa solusi sangat
sensitif terhadap nilai parameter tersebut. Sebaliknya, jika perubahan parameter
tidak mempunyai pengaruh besar terhadap solusi dikatakan solusi relatif insensitif
terhadap nilai parameter itu” (Hamid, 2012).
Kadariah dkk, (1976) menyatakan :
bahwa analisis sensitivitas dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu: a. Mengubah besarnya variabel-variabel penting, masing-masing terpisah,
atau beberapa dalam kombinasi, dengan suatu persentase, dan
D3 TEKNIK SIPIL POLITEKNIK NEGERI BANDUNG
Dian Aulia, Sindy Dwi Yuliani, Perancangan Peningkatan Struktur …. II-28
menentukan berapa pekanya hasil perhitungan terhadap perubahan-perubahan tersebut.
b. Menentukan dengan berapa suatu variabel harus berubah untuk sampai ke hasil perhitungan yang membuktikan analisis tidak dapat diterima.
2.7 DRAINASE
Perencanaan sistem drainase jalan didasarkan kepada keberadaan air
permukaan dan bawah permukaan, sehingga perencanaan drainase jalan dibagi
menjadi dua yaitu drainase permukaan (surface drainage) dan drainase bawah
permukaan (sub surface drainage).
Menurut Pd. T-02-2006-B (2006) “sistem drainase permukaan berfungsi
untuk mengendalikan limpahan air hujan di permukaan jalan dan daerah
sekitarnya agar tidak merusak konstruksi jalan”. Suatu sistem drainase permukaan
jalan terdiri atas kemiringan melintang perkerasan dan bahu jalan, saluran
samping jalan, draninase lereng dan gorong-gorong, sedangkan Hendarsin
(2000:266) mengemukakan bahwa sarana drainase permukaan terdiri dari tiga
jenis, yaitu:
Saluran:
o Saluran penangkap (catch ditch)
o Saluran samping (side ditch)
Gorong-gorong (culvert)
Saluran alam (sungai) yang memotong jalan
Menurut Pd. T-02-2006-B (2006) bahwa “drainase bawah permukaan
(subdrain) merupakan sarana untuk mengalirkan air yang berada di bawah
permukaan dari suatu tempat ke tempat lain, dengan tujuan melindungi bangunan
yang berada diatasnya, seperti subgrade dan base agar tetap memiliki kandungan
air yang diinginkan”. Bangunan drainase bawah permukaan terdiri atas saluran
drainase samping jalan, saluran drainase bawah permukaan melintang, dan lapisan
lulus air di bawah base.
D3 TEKNIK SIPIL POLITEKNIK NEGERI BANDUNG
Dian Aulia, Sindy Dwi Yuliani, Perancangan Peningkatan Struktur …. II-29
2.7.1 Saluran Samping (Side Ditch)
Saluran samping pada konstruksi perkerasan jalan berfungsi untuk
mengalirkan air limpasan yang berasal dari daerah tangkapan hujan, menuju
bagian sistem drainase permukaan lainnya seperti gorong-gorong.
Dimensi saluran samping ditentukan berdasarkan kapasitas yang
diperlukan (debit saluran, Qs), yaitu harus dapat menampung besarnya debit aliran
rencana (Qr) yang timbul akibat hujan pada daerah aliran, dengan melalui proses
perhitungan sehingga diperoleh nilai Qs ∞ Qr.
2.7.2 Parameter Perencanaan
Dalam merencanakan saluran samping diperlukan parameter perencanaan
yang berhubungan langsung dengan kondisi di lapangan, adapun parameter yang
dimaksud seperti dibahas berikut ini.
2.7.2.1 Gambaran Topografi
Gambaran topografi atau kondisi sepanjang trase jalan pada daerah
layanan diperlukan untuk menentukan bentuk dan kemiringan yang akan
mempengaruhi pola aliran seperti kemiringan melintang perkerasan jalan dan
bahu jalan (Tabel 18), serta kemiringan saluran memanjang berdasarkan jenis
material (Tabel 19). Tabel 2.18 Kemiringan Melintang Perkerasan dan Bahu Jalan (Ix)
No. Jenis Lapisan Perkerasan Jalan Kemiringan melintang ix (%)
1 Aspal, beton 2-3 2 Jalan yang dipadatkan 2-4 3 Kerikil 3-6 4 Tanah 4-6
Sumber: Pd. T-02-2006-B Perencanaan Sistem Drainase Jalan
Tabel 2.19 Kemiringan Saluran Memanjang (is)
No. Jenis Material Kemiringan saluran is (%)
1 Tanah asli 0-5 2 Kerikil 5-7,5 3 Pasangan 7,5
Sumber: Pd. T-02-2006-B Perencanaan Sistem Drainase Jalan
D3 TEKNIK SIPIL POLITEKNIK NEGERI BANDUNG
Dian Aulia, Sindy Dwi Yuliani, Perancangan Peningkatan Struktur …. II-30
2.7.2.2 Data Eksisting
Data eksisting sistem drainase yang telah ada meliputi lokasi, dimensi,
arah aliran pembuangan dan kondisi. Data ini perlu diketahui agar dapat
menyesuaikan perencanaan dengan sistem drainase yang telah ada. Untuk
mengetahui kemiringan rute jalan atau lahan eksisting dapat dihitung dengan cara
dibawah ini.
.....................Persamaan 2.31
dimana :
ix = Kemiringan lahan eksisting (%)
t1 = Tinggi tanah dibagian tertinggi (m).
t2 = Tinggi tanah dibagian terendah (m).
L = Panjang saluran (m)
Gambar 2.7 Kemiringan Lahan Eksisting
2.7.2.3 Panjang Segmen Saluran (L)
Panjang segmen saluran (L) yang didasarkan pada kemiringan rute jalan
dan tempat buangan air.
2.7.2.4 Luas Daerah Layanan (A)
Luas daerah layanan atau daerah tangkapan (A) didasarkan pada panjang
segmen jalan yang ditinjau. Luas daerah layanan terdiri atas luas setengah badan
jalan (A1), luas bahu jalan (A2) dan luas daerah disekitar (A3).
2.7.2.5 Koefisien Pengaliran (C)
Koefisien pengaliran (C) dipengaruhi kondisi permukaan tanah pada
daerah layanan dan kemungkinan perubahan tata guna lahan. Angka ini seperti
ix %
t1(m)
L (m) A
t2 (m)
D3 TEKNIK SIPIL POLITEKNIK NEGERI BANDUNG
Dian Aulia, Sindy Dwi Yuliani, Perancangan Peningkatan Struktur …. II-31
terlihat pada Tabel 2.20 dibawah, akan mempengaruhi debit yang mengalir,
sehingga dapat diperkirakan daya tampung saluran. Tabel 2.20 Harga Koefisien Pengaliran C dan Harga Faktor Limpasan fk
No. Kondisi Permukaan Tanah Koefosien Pengaliran (C)
Faktor Limpasan (fk)
Bahan 1 Jalan beton & jalan aspal 0,70-0,95 - 2 Jalan kerikil & jalan tanah 0,40-0,70 -
3
Bahu jalan - Tanah berbutir halus - Tanah berbutir kasar - Batuan masif keras - Bantuan masif lunak
0,40 - 0,65 0,10 - 0,20 0,70 - 0,85 0,60 - 0,75
- - - -
Tata Guna Lahan 1 Daerah perkotaan 0,70 - 0,95 2,0 2 Daerah pinggir kota 0,60 - 0,70 1,5 3 Daerah industry 0,60 - 0,90 1,2 4 Permukiman padat 0,40 - 0,60 2,0 5 Permukiman tidak padat 0,40 - 0,60 1,5 6 Taman dan kebun 0,20 - 0,40 0,2 7 Persawahan 0,45 - 0,60 0,5 8 Perbukitan 0,70 - 0,80 0,4 9 Pegunungan 0,75 - 0,90 0,3
Sumber: Pd. T-02-2006-B Perencanaan Sistem Drainase Jalan Keterangan:
- Harga koefisien pengalian (C) untuk daerah datar diambil nilai C yang terkecil
dan untuk daerah lereng diambil nilai C yang besar.
- Harga Faktor limpasan (fk) hanya digunakan untuk tata guna lahan sekitar
saluran selain bagian jalan.
2.7.2.6 Faktor Limpasan
Faktor limpasan (fk) seperti pada Tabel 2.22 diatas merupakan faktor yang
dikalikan dengan koefisien run off biasa dengan tujuan agar kinerja saluran tidak
melebihi kapasitasnya akibat daerah pengaliran yang terlalu luas. Bila daerah
pengaliran terdiri dari beberapa tipe kondisi permukaan yang mempunyai nilai C
berbeda-beda maka diambil nilai rata-rata seperti pada persamaan di bawah ini:
.....................Persamaan 2.32
D3 TEKNIK SIPIL POLITEKNIK NEGERI BANDUNG
Dian Aulia, Sindy Dwi Yuliani, Perancangan Peningkatan Struktur …. II-32
dimana:
C1, C2, C3,C4 = koefisien pengaliran yang sesuai dengan tipe kondisi permukaan
A1, A2, A3,A4 = luas daerah permukaan yang diperhitungkan sesuai dengan
kondisi permukaan
fk = faktor limpasan sesuai tata guna lahan (Tabel 2.20)
2.7.2.7 Waktu Konsentrasi (Tc)
Waktu konsentrasi (Tc) adalah waktu terpanjang yang diperlukan oleh
seluruh daerah layanan untuk menyalurkan aliran air secara simultan. Intensitas
curah hujan maksimum (I) dapat diperkirakan dari besarnya waktu konsentrasi
yang terjadi. Untuk menetukan waktu konsentrasi dapat digunakan beberapa
persamaan di bawah ini.
Tc = t1 +t2 .....................Persamaan 2.33
√
.......................Persamaan 2.34
.......................Persamaan 2.35
dimana :
Tc = waktu konsentrasi (menit)
t1 = waktu untuk mencapai awal saluran dari titik terjauh (menit)
t2 = waktu aliran dalam saluran sepanjang L dari ujung saluran (menit)
lo = jarak terjauh ke fasilitas drainase (m)
nd = koefisien hambatan
is = kemiringan saluran memanjang
V = kecepatan air rata-rata pada saluran drainase (m/detik)
Untuk nilai koefisien hambatan (nd) dapat dilihat pada tabel dibawah ini:
D3 TEKNIK SIPIL POLITEKNIK NEGERI BANDUNG
Dian Aulia, Sindy Dwi Yuliani, Perancangan Peningkatan Struktur …. II-33
Tabel 2.21 Harga Koefisien Hambatan No Kondisi lapis permukaan nd 1 Lapisan semen dan aspal beton 0,013 2 Permukaan licin dan kedap air 0,020 3 Permukaan licin dan kokoh 0,100 4 Tanah dgn rumput dan gundul dengan permukaan sedikit kasar 0,200 5 Padang rumput dan rerumputan 0,400 6 Hutan gundul 0,600
7 Hutan rimbun dan hutan gundul rapat dengan hamparan rumput jarang sampai rapat 0,800
Sumber: Pd. T-02-2006-B Perencanaan Sistem Drainase Jalan
2.7.2.8 Analisis Hidrologi
Dalam mendesain drainase diperlukan analisis hidrologi dan hidrolika
sehingga diperoleh dimensi yang sesuai. Kapasitas penyaluran dihitung
berdasarkan debit banjir dan periode ulang yang telah ditentukan. Faktor-faktor
penentu dalam mendesain drainase adalah analisis hidrologi dan hidrolis saluran.
Dalam analisis hidrologi langkah-langkah yang menentukan antara lain:
Data Curah Hujan
Perhitungan Hujan Rencana
Periode Ulang Hujan (PUH)
Intensitas Curah Hujan
Pemilihan Rumus Intensitas Hujan
Limpasan Air Hujan.
2.7.2.9 Data Curah Hujan
Data curah hujan merupakan curah hujan harian maksimum dalam setahun
dinyatakan dalam mm/hari. Data curah hujan ini diperoleh dari Badan
Meteorologi Klimatologi dan Geofisika, yaitu stasiun curah hujan yang terletak
pada daerah layanan saluran samping jalan.
Dalam perencanaan saluran drainase data curah hujan yang diperlukan
adalah data curah hujan wilayah/daerah yang dinyatakan dalam mm. Jika daerah
layanan tidak memiliki data curah hujan, maka dapat digunakan data dari stasiun
D3 TEKNIK SIPIL POLITEKNIK NEGERI BANDUNG
Dian Aulia, Sindy Dwi Yuliani, Perancangan Peningkatan Struktur …. II-34
di luar daerah layanan yang dianggap masih dapat mewakili. Jumlah data curah
hujan yang diperlukan minimal 10 tahun terakhir.
2.7.2.10 Analisis Frekuensi Curah Hujan
Perhitungan curah hujan rencana digunakan untuk meramal besarnya
hujan dengan periode ulang tertentu. Berdasarkan curah hujan rencana tersebut
kemudian dicari intensitas hujan yang digunakan untuk mencari debit banjir
rencana. Untuk meramal curah hujan rencana dilakukan dengan analisis frekuensi
data hujan. Ada beberapa metode analisis frekuensi yang dapat digunakan, salah
satunya ialah metode Gumbel. Rumus-rumus yang digunakan untuk menentukan
curah hujan rencana menurut Metode Gumbel (Soemarto, 1999) adalah sebagai
berikut:
.....................Persamaan 2.36
√∑
.....................Persamaan 2.37
dimana:
R24 = Curah hujan maksimum 24 jam
Ra = Curah hujan rata–rata
K = Faktor frekuensi sesuai lama pengamatan (Tabel 2.22)
Sx = Standar deviasi
Ri = Curah hujan tahun ke-i
n = lama pengamatan
Tabel 2.22 Nilai K Sesuai Lama Pengamatan 10 Tahun PUH (tahun) K
2 -0,1355 5 1,0580 10 1,8482 20 2,6064 25 2,8468 50 3,5875 100 4,3228
Sumber: Hendarsin, 270
D3 TEKNIK SIPIL POLITEKNIK NEGERI BANDUNG
Dian Aulia, Sindy Dwi Yuliani, Perancangan Peningkatan Struktur …. II-35
2.7.2.11 Periode Ulang Hujan (PUH)
Karakteristik hujan menunjukan bahwa hujan yang besar tertentu
mempunyai periode ulang tertentu. Periode ulang untuk pembangunan saluran
drainase disesuaikan dengan peruntukannya yang dapat dilihat pada Lampiran 5.
2.7.2.12 Intensitas Curah Hujan
Menurut Pd.T-02-2006-B (2006) intensitas hujan adalah ketinggian curah
hujan yang terjadi pada suatu kurun waktu dimana air tersebut berkonsentrasi.
Intensitas curah hujan mempunyai satuan mm/jam, berarti tinggi air persatuan
waktu,misalnya mm dalam kurun waktu menit, jam, atau hari.
Untuk mengolah data curah hujan menjadi intensitas curah hujan
digunakan cara statistik dari data pengamatan durasi hujan yang terjadi. Apabila
data untuk setiap data curah hujan tidak ada, maka diperlukan pendekatan secara
empiris dengan berpedoman pada durasi 60 menit (1 jam) dan pada curah hujan
harian maksimum yang terjadi setiap tahun.
Perhitungan intensitas curah hujan dapat menggunakan metode Van Breen.
Metode ini menggunakan pendekatan besarnya atau lama durasi hujan harian
adalah terpusat selama 4 (empat) jam dengan hujan efektif sebesar 90% (sembilan
puluh persen) dari hujan selama 4 (empat) jam. Untuk menentukan intensitas
curah hujan digunakan rumus :
424%90 xRI
.....................Persamaan 2.38
dimana :
I = Intensitas hujan (mm/jam)
R24 = Curah hujan harian maksimum (mm/24jam)
Untuk mendapatkan durasi Intensitas digunakan tabel lengkung Jakarta
(Tabel 2.23). Tabel ini digunakan sebagai asumsi yang umumnya digunakan di
Indonesia.
D3 TEKNIK SIPIL POLITEKNIK NEGERI BANDUNG
Dian Aulia, Sindy Dwi Yuliani, Perancangan Peningkatan Struktur …. II-36
Tabel 2.23 Intensity Duration Frequensi (IDF) Hujan Jakarta Durasi (menit)
Intensitas Hujan (mm/jam) untuk PUH (tahun)
2 5 10 25 50 5 126 148 155 180 191 10 114 126 138 156 168 20 102 114 123 135 144 40 76 87 96 105 144 60 61 73 81 91 100 120 36 45 51 58 63 240 21 27 30 35 40
Sumber : BUDP. Drainage Design for Bandung.
2.7.2.13 Pemilihan Rumus Intensitas Hujan
Persamaan Intersitas terhadap variabel t (waktu) untuk perhitungan debit
air hujan menggunakan bentuk persamaan yang sederhana, yang umumnya
memakai bentuk persamaan Talbot, Sherman dan Ishiguro. Dari hasil analisis
curah hujan menurut rumus Van Breen disubstitusikan ke dalam rumus Talbot,
Sherman dan Ishoguro dengan metode kuadrat terkecil (Least Square). Persamaan
yang mempunyai beda terkecil yang akan dipakai. Perhitungan rumus Talbot,
Sherman dan Ishoguro dapat dilihat pada rumus berikut (Sosrodarsono dan
Takada, 1987: 32):
1. Rumus Talbot
I = bt
a
.....................Persamaan 2.39
2. Rumus Sherman:
I = nta
.....................Persamaan 2.40
3. Rumus Ishiguro:
I = bt
a
.....................Persamaan 2.41
dimana :
I = Intensitas curah hujan (mm/jam) ; a,b & n = Konstanta
t = Waktu konsentrasi (menit)
D3 TEKNIK SIPIL POLITEKNIK NEGERI BANDUNG
Dian Aulia, Sindy Dwi Yuliani, Perancangan Peningkatan Struktur …. II-37
2.7.2.14 Debit Banjir Rencana
Debit banjir rencana adalah debit limpasan rencana akibat curah hujan
pada daerah tangkapan pada waktu tertentu. Untuk mendapatkan nilai Qr, maka
harus diketahui besarnya intensitas hujan dalam waktu konsentrasi (I), waktu
konsentrasi (Tc), luas daerah tangkapan (A) dan koefisien limpasan atau
pengaliran.
Banyak metoda yang digunakan untuk menghitung Qr akibat hujan, salah
satunya yaitu metoda Rasional yang merupakan rumus empiris dari hubungan
antara curah hujan dengan besarnya debit limpasan, seperti dibawah ini (Pd. T-02-
2006-B, 2006) :
.....................Persamaan 2.42
dimana :
Qr = Debit limpasan atau debit rencana (m3/detik)
C = Koefisien limpasan atau pengaliran
I = Intensitas hujan selama waktu konsentrasi (mm/jam)
A= Luas daerah tangkapan hujan (km2)
Penggunaan rumus ini menurut AASHTO (1993), disarankan untuk A ≤
0,8 km3, dengan asumsi intensitas hujan dianggap seragam untuk daerah seluas ∞
0,8 km3.
2.7.3 Analisis Hidrolis Saluran
Dimensi saluran samping ditentukan berdasarkan kapasitas yang
diperlukan (debit saluran, Qs). Debit saluran merupakan fungsi dari luas
penampang saluran dan kecepatan aliran yang melewati saluran. Besarnya debit
saluran harus mendekati atau lebih besar daripada debit banjir rencana. Dalam
analisis hidrolis saluran yang diperlukan dapat dihitung dengan menggunakan
rumus Manning sebagai berikut :
ASRn
Q ...1 21
32
.....................Persamaan 2.43
AVQ . .....................Persamaan 2.44
D3 TEKNIK SIPIL POLITEKNIK NEGERI BANDUNG
Dian Aulia, Sindy Dwi Yuliani, Perancangan Peningkatan Struktur …. II-38
21
32
..1 SRn
V
.....................Persamaan 2.45
dimana :
Q = Debit aliran dalam saluran (m3/ detik)
n = Koefisien kekasaran Manning
R = Jari- jari hidrolis = A/P (m)
A = Luas penampang basah saluran (m2)
P = Keliling basah saluran (m)
S = Kemiringan dasar saluran.
V = Kecepatan rata-rata aliran (m/detik)
Nilai kekasaran Manning dapat menjadi nilai kekasaran Manning
gabungan apabila dalam satu saluran ada lebih dari satu jenis bahan yang
menyusun saluran tersebut, misalnya bahan yang terbuat dari pasangan batu kali
pada dinding sisi miringnya (Ven Te Chow, 1997: 189). Untuk menentukan nilai
kekasaran Manning (n) dapat dilihat pada tabel yang tersedia pada Lampiran 6.
2.7.3.1 Kemiringan Saluran (is)
Kemiringan saluran dalam perencanaan adalah kemiringan dari dasar
saluran. Kemiringan dasar saluran direncanakan sedemikian rupa, sehingga dapat
terjadi pengaliran secara sendiri atau gravitasi dengan batas kecepatan minimum
tidak mengakibatkan terjadinya batas kecepatan, minimum tidak mengakibatkan
terjadinya endapan. Selain itu kecepatan aliran maksimum tidak boleh merusak
dasar dan dinding saluran dengan arti bahwa daya aliran mampu membersihkan
endapan sendiri.
Kemiringan saluran rata-rata dalam perencanaan ini dipakai untuk
memperhitungkan waktu konsentrasi. Dengan kemiringan rata-rata dari panjang
jalur saluran yang mempunyai bagian-bagian panjang dengan kemiringan berbeda
maka dapat diperoleh kecepatan rata-rata sehingga dengan kecepatan rata-rata dan
panjang total dapat ditentukan waktu pencapaian aliran puncak suatu profil
saluran tertentu. Untuk menghitung kemiringan (is) saluran dapat menggunakan
persamaan dibawah ini :
D3 TEKNIK SIPIL POLITEKNIK NEGERI BANDUNG
Dian Aulia, Sindy Dwi Yuliani, Perancangan Peningkatan Struktur …. II-39
is =
.....................Persamaan 2.46
dimana :
V = kecepatan aliran (m/detik)
n = koefisien kekasaran Manning
R = jari-jari hidrolis = F/P .....................Persamaan 2.47
dimana:
F = luas penampang basah (m2)
P = keliling basah (m)
2.7.3.2 Kecepatan Pengaliran
Penentuan kecepatan aliran air di dalam saluran yang direncanakan
didasarkan pada kecepatan maksimum yang diizinkan. Sesuai bentuk dan jenis
konstruksi saluran yang direncanakan (Tabel 2.24). Tabel 2.24 Kecepatan Aliran Air yang Diijinkan Berdasarkan Jenis Material
No. Jenis Bahan Kecepatan aliran air yang diijinkan (m/detik)
1 Pasir halus 0,45 2 Lempung kepasiran 0,5 3 Lanau Aluvial 0,6 4 Kerikil halus 0,75 5 Lempung kokoh 0,75 6 Lempung padat 1,10 7 Kerikil kasar 1,20 8 Batu-batu besar 1,50 9 Pasangan batu 1,50 10 Beton 1,50 11 Beton bertulang 1,50
Sumber: Pd. T-02-2006-B Perencanaan Sistem Drainase Jalan
2.7.3.3 Bentuk dan Jenis saluran
Secara hidrolika jenis aliran yang terjadi pada saluran samping ialah aliran
terbuka (open chanel), yaitu pengaliran dengan permukaan bebas. Bahan
bangunan saluran ditentukan oleh besarnya kecepatan rencana aliran air yang
mengalir di saluran samping jalan tersebut.
Saluran samping dengan bahan pasangan batu biasanya berbentuk
trapesium dengan dimensi hidrolis sebagai berikut :
D3 TEKNIK SIPIL POLITEKNIK NEGERI BANDUNG
Dian Aulia, Sindy Dwi Yuliani, Perancangan Peningkatan Struktur …. II-40
Tabel 2.25 Dimensi Hidrolis Trapesium
No. Dimensi Trapesium
1 Lebar atas b Persamaan 2.48 bbawah = batas + 2 x z
2 Tinggi muka air h Asumsi
3 Faktor kemiringan z Persamaan 2.49 z = 1/2 x h
4 Luas penampang basah F Persamaan 2.50 F = (b+z) x h
5 Keliling penampang basah P Persamaan 2.51 P = b + 2 x h (1+z2)1/2
6 Jari-jari hidrolis R Persamaan 2.52 R = (b+z) x h/[b+2h(1+z2)1/2]
7 Kecepatan V Persamaan 2.53 V = 1/n x R2/3 x is
1/2
8 Debit Qs Persamaan 2.54 Qs = F x V
9 Tinggi Jagaan W Persamaan 2.56 W = (0,5 x h)1/2
Sumber: Pd. T-02-2006-B Perencanaan Sistem Drainase Jalan