BAB II TINJAUAN PUSTAKA II.pdfberubah-ubah pada suatu sungai alamiah, maupun dengan cara memenuhi...

16
5 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Umum Hidrologi adalah ilmu yang menjelaskan tentang kehadiran dan gerakan air di alam, yang meliputi bentuk berbagai bentuk air, yang menyangkut perubahan-perubahannya antara keadaan cair, padat, dan gas dalam atmosfir, diatas dan bawah permukaan tanah. (Soemarto. 1995) 2.1.1 Siklus Hidrologi Air dibumi antara lain meliputi air yang ada di atmosfir, di atas permukaan tanah dan di bawah permukaan tanah. Jumlah air di bumi kurang lebih berjumlah 1400 x 10 6 km 3 = 1400 x 10 4 yang terdiri dari (Montarcih. 2010) 1. Air laut : 97 % 2. Air tawar : 3 %, yang meliputi : a. Salju,es, gletser 75% b. Air tanah (jenuh) 24% c. Air danau 0.3% d. Butir-butir daerah tak jenuh 0.065% e. Awan, kabut, embun, hujan 0.035% f. Air sungai 0.030% Siklus hidrologi merupakan pergerakan air laut ke udara, kemudian jatuh ke permukaan bumi lagi sebagai hujan atau bentuk presipitasi yang lain, dan akhirnya mengalir ke laut. Hal-hal penting yang perlu di ketahui berkaitan dengan siklus hidrologi : (1). Dapat berupa siklus pendek, yaitu dari hujan menuju danau/sungai kemudian menuju laut lagi; (2). Terjadinya tidak ada keseragaman waktu; (3). Intensitas dan frekuensi bergantung pada geografi dan iklim (hal ini

Transcript of BAB II TINJAUAN PUSTAKA II.pdfberubah-ubah pada suatu sungai alamiah, maupun dengan cara memenuhi...

5

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Umum

Hidrologi adalah ilmu yang menjelaskan tentang kehadiran dan gerakan

air di alam, yang meliputi bentuk berbagai bentuk air, yang menyangkut

perubahan-perubahannya antara keadaan cair, padat, dan gas dalam atmosfir,

diatas dan bawah permukaan tanah. (Soemarto. 1995)

2.1.1 Siklus Hidrologi

Air dibumi antara lain meliputi air yang ada di atmosfir, di atas permukaan

tanah dan di bawah permukaan tanah. Jumlah air di bumi kurang lebih berjumlah

1400 x 106 km

3 = 1400 x 10

4 yang terdiri dari (Montarcih. 2010)

1. Air laut : 97 %

2. Air tawar : 3 %, yang meliputi :

a. Salju,es, gletser 75%

b. Air tanah (jenuh) 24%

c. Air danau 0.3%

d. Butir-butir daerah tak jenuh 0.065%

e. Awan, kabut, embun, hujan 0.035%

f. Air sungai 0.030%

Siklus hidrologi merupakan pergerakan air laut ke udara, kemudian jatuh

ke permukaan bumi lagi sebagai hujan atau bentuk presipitasi yang lain, dan

akhirnya mengalir ke laut. Hal-hal penting yang perlu di ketahui berkaitan dengan

siklus hidrologi : (1). Dapat berupa siklus pendek, yaitu dari hujan menuju

danau/sungai kemudian menuju laut lagi; (2). Terjadinya tidak ada keseragaman

waktu; (3). Intensitas dan frekuensi bergantung pada geografi dan iklim (hal ini

6

berkaitan dengan letak matahari yang berubah sepanjang tahun); dan (4). Berbagai

bagian siklus sangat kompleks.

sedangkan siklus hidrologi panjang dimulai dari air laut menguap menjadi

awan yang didesak oleh angin hingga terjadi hujan atau salju kemudian terjadi

limpasan. sebagian terinfiltrasi lalu mengalami perkolasi kemudian kembali ke

sungai / laut lagi. Dengan demikian ada 4 proses dalam siklus hidrologi, yaitu

presipitasi, evaporasi, infiltrasi, dan limpasan permukaan dan air tanah.

(Montarcih, 2010).

2.1.2 Iklim dan Meteorologi

Karakteristik hidrologi suatu daerah sangat bergantung pada kondisi

geologi dan geografis daerah tersebut. Faktor iklim merupakan ciri-ciri hidrologi,

seperti (1). Jumlah dan distribusi presipitasi; (2). Proses terjadinya es; dan (3).

Pengaruh suhu, kelembaban, yang sangat berpengaruh pada evapotranspirasi.

Sedangkan peranan meteorologi antara lain untuk (1). meramal hujan, yang

berhubungan dengan pengoperasian waduk; dan (2). Angin, yang berhubungan

dengan evaluasi gelombang. (Montarcih, 2010).

2.1.3 Infiltrasi dan Perkolasi

Infiltrasi merupakan bagian dari air hujan (limpasan) yang masuk ke

dalam tanah. Kebalikan infiltrasi adalah rembesan. Sedangkan perkolasi

merupakan gerakan air ke bawah dari daerah tidak jenuh ke dalam daerah jenuh.

Daya infiltrasi merupakan besarnya laju infiltrasi maksimum yang di mungkinkan.

Daya perkolasi adalah laju perkolasi maksimum yang dimungkinkan.

(Montarcih.2010).

2.2 Embung

Dam atau bendungan merupakan konstruksi yang di bangun secara

membentang pada aliran sungai untuk menampung genangan air. Waduk

merupakan salah satu sarana pemanfaatan sumber daya air yang mempunyai

fungsi sebagai penyimpan dan penyedia air, baik sebagai bahan baku air bersih

maupun untuk irigasi. Suatu waduk penampung atau konservasi dapat menahan

7

air pada kelebihan pada masa-masa aliran air tinggi untuk digunakan selama

masa kekeringan. Fungsi utama dari suatu waduk ialah untuk

menstabilkan aliran air, baik dengan arah pengaturan persediaan air yang

berubah-ubah pada suatu sungai alamiah, maupun dengan cara memenuhi

kebutuhan yang berubah-ubah dari para konsumen. Dengan kata lain

waduk tidaklah menghasilkan air melainkan hanya memungkinkan pengaturan

kembali distribusinya terhadap waktu.

Embung merupakan waduk dengan skala kecil untuk menampung air

hujan untuk persediaan suatu desa di musim kering. Selama musim kering air

akan dimanfaatkan oleh desa untuk memenuhi kebutuhan penduduk, ternak, dan

kebun. Di musim hujan embung tidak beroperasi karena air di luar sudah tersedia

cukup banyak untuk memenuhi ketiga kebutuhan tersebut di atas. Oleh karena itu

pada setiap akhir musim hujan sangat di harapkan kolam embung dapat terisi

penuh air sesuai dengan desain. Untuk menjamin fungsi dan keamanannya

embung mempunyai beberapa bagian yaitu (Kasiro, dkk. 1997) :

1. Tubuh embung berfungsi menutup lembah atau cekungan ( depresi )

sehingga air dapat tertahaan di udiknya.

2. Kolam embung berfungsi untuk menampung air hujan.

3. Alat sadap berfungsi mengeluarkan air kolam bila di perlukan.

4. Jaringan distribusi, berupa rangkaian pipa, berfungsi untuk membawa air

dari kolam ke bak tandon air harian atau dekat pemukiman secara gravitasi

dan bertekanan, sehingga pemberian air tidak menerus.

5. Pelimpah berfungsi mengalirkan banjir dari kolam ke lembah untuk

mengamankan tubuh embung atau dinding kolam terhadap peluapan.

Dengan dibangunnya embung di bagian hulu sungai maka

kemungkinan terjadinya banjir pada musim hujan dapat dikurangi dan pada

musim kemarau air yang tertampung tersebut dapat dimanfaatkan untuk berbagai

keperluan, antara lain untuk pembangkit listrik tenaga air, untuk irigasi lahan

pertanian, dan sebagainya. Adanya waduk akan meningkatkan ketersediaan air di

8

musim kemarau yang akan digunakan bagi memenuhi kebutuhan hidup manusia.

Selain itu, kehadiran embung juga akan mempengaruhi iklim mikro dan

keseimbangan ekosistem di sekitarnya. Sedangkan ditinjau dari sudut

keseimbangan tata air, embung berperan sebagai reservoir yang dapat

dimanfaatkan airnya untuk keperluan sistem irigasi dan perikanan, sebagai

sumber air baku, sebagai tangkapan air untuk pengendalian banjir,serta penyuplai

air tanah. (Kasiro, dkk. 1997)

2.3 Daerah Tangkapan Air Embung

Daerah tangkapan air (catchment area) embung merupakan suatu wilayah

daratan yang merupakan satu kesatuan dengan sungai dan anak-anak sungainya,

yang berfungsi menampung, menyimpan, dan mengalirkan air yang berasal dari

curah hujan ke embung tersebut secara alami. Daerah tangkapan air ini dibatasi

oleh topografis yang berupa punggung-punggung bukit atau gunung. Daerah

tangkapan air dapat dikatakan menjadi satu ekosistem dimana terdapat banyak

aliran sungai, daerah hutan dan komponen penyusun ekosistem lainnya termasuk

sumber daya alam, dan komponen yang terpenting adalah air, yang merupakan zat

cair yang terdapat di atas ataupun di bawah permukaan tanah. Catchment area erat

kaitannya dengan Daerah Aliran Sungai ( DAS ). Ukuran dan besar kecilnya

daerah tangkapan air yang memberi kontribusi terhadap aliran sungai di dalam

DAS berpengaruh langsung terhadap total volume aliran yang keluar dari DAS.

(Indarto. 2010)

Daerah Aliran Sungai merupakan daerah yang di batasi oleh punggung-

punggung gunung/pegunungan dimana air hujan yang jatuh di daerah tersebut

akan mengalir menuju sungai utama. Dalam mempelajari ekosistem DAS,

dapat diklasifikasikan menjadi daerah hulu, tengah dan hilir. DAS bagian hulu

dicirikan sebagai daerah konservasi, DAS bagian hilir merupakan daerah

pemanfaatan. DAS bagian hulu mempunyai arti penting terutama dari segi

perlindungan fungsi tata air, karena itu setiap terjadinya kegiatan di daerah hulu

akan menimbulkan dampak di daerah hilir dalam bentuk perubahan fluktuasi

debit dan transport sedimen serta material terlarut dalam sistem aliran airnya.

Dengan kata lain ekosistem DAS, bagian hulu mempunyai fungsi perlindungan

9

terhadap keseluruhan DAS. Perlindungan ini antara lain dari segi fungsi tata air,

dan oleh karenanya pengelolaan DAS hulu seringkali menjadi fokus perhatian

mengingat dalam suatu DAS, bagian hulu dan hilir mempunyai keterkaitan

biofisik melalui siklus hidrologi. ( Triatmodjo. 2008)

2.4 Analisis Hidrologi

2.4.1 Curah Hujan Rata – Rata

Curah hujan rata–rata adalah tinggi air hujan yang jatuh pada suatu

wilayah, dihitung setiap periode waktu (perbulan atau pertahun). Data hujan yang

tercatat di setiap stasiun penakar hujan adalah tinggi hujan di sekitar

stasiun tersebut. Untuk menghitung hujan rata-rata daearah aliran bisa dilakukan

dengan tiga cara, yaitu (Montarcih.2010) :

1. Metode Rata-rata Hitung

Biasanya cara ini digunakan pada daerah datar dan banyak stasiun penakar

hujannya dan dengan anggapan bahwa di daerah tersebut sifat curah hujannya

adalah merata.

d = d1 + d2 + d3 + ......dn

n

dimana :

d = tinggi curah hujan rata-rata daerah → mm

d1,d2,....dn = tinggi curah hujan pada pos penakar 1,2...n → mm

n = banyak pos penakar

Gambar 2.1 Perhitungan dengan cara rata-rata hitung

(Montarcih. 2010)

10

2. Metode Poligon Thiessen

Cara ini memasukkan faktor pengaruh daerah yang diwakili oleh stasiun

penakar hujan yang disebut weighting factor atau disebut juga Koefisien

Thiessen. Cara ini biasanya digunakan apabila titik-titik pengamatan di dalam

daerah studi tidak tersebar secara merata. Metode Theissen akan memberikan

hasil yang lebih teliti daripada cara aljabar tetapi untuk penentuan titik

pengamatannya dan pemilihan ketinggian akan mempengaruhi ketelitian yang

akan didapat juga seandainya untuk penentuan kembali jaringan segitiga jika

terdapat kekurangan pengamatan pada salah satu titik pengamatan.

Luas masing-masing daerah tersebut diperoleh dengan cara berikut:

Semua stasiun yang di dalam (atau di luar) DAS dihubungkan

dengan garis, sehingga terbentuk jaringan segitiga-segitiga.

Hendaknya dihindari terbentuknya segitiga dengan sudut sangat

tumpul.

Pada masing-masing segitiga ditarik garis sumbunya, dan semua

garis sumbu tersebut membentuk poligon.

Luas daerah yang hujannya dianggap diwakili oleh salah satu

stasiun yang bersangkutan adalah daerah yang dibatasi oleh

garis-garis poligon tersebut (atau dengan batas DAS).

Luas relatif daerah ini dengan luas DAS merupakan faktor koreksinya.

D = A1.d1 + A2.d2 / A1 + A2

dimana :

D = tinggi curah hujan rata-rata daerah (mm)

A = Luas daerah (km2)

d1, d2 = Tinggi curah hujan pos 1 dan 2; mm

A1, A2 = Luas daerah Pengaruh pos 1 dan 2; mm

11

Gambar 2.2. Cara Poligon Thiessen

(Sumber : Bebas banjir 2015.wordpress, 2008)

Cara di atas dipandang cukup baik karena memberikan koreksi terhadap

kedalaman hujan sebagai fungsi luas daerah yang (dianggap) diwakili. Akan tetapi

cara ini dipandang belum memuaskan karena pengaruh topografi tidak tampak.

Demikian pula apabila salah satu stasiun tidak berfungsi, misalnya rusak atau data

tidak benar, maka poligon harus diubah. Contoh pembuatan poligon

Thiessen dapat dilihat pada Gambar 2.2

3. Metode Isohyet

Cara ini dilakukan dengan pos-pos penakarnya ditempatkan secara merata di

areal tersebut, dan hasil penakaran masing-masing pos penakar tidak menyimpang

jauh dari nilai rata-rata seluruh pos di seluruh areal. Rumus yang digunakan

adalah :

R = Curah hujan maksimum rata-rata (mm)

R1, R2, ..., Rn = curah hujan pada stasiun 1, 2, ..., n (mm)

A1, A2, ..., Rn = Luas bagian yang dibatasi oleh isohyet-isohyet (km2)

12

Gambar 2.3 Perhitungan dengan cara Isohyet

(Sumber : Insinyurpengairan.wordpress, 2011)

2.4.2 Uji Konsistensi Data

Pemeriksaan uji Konsistensi data ini dimaksudkan untuk menentukan

apakah data curah hujan tersebut benar-benar sesuai dengan distribusi teoritis

yang dipakai. Uji konsistensi data dapat dihitung dengan metode RAPS (

Rescaled Adjusted Partial Sums) atau dengan metode lengkung massa

(lengkung D). (Montarcih.2010)

a. Metode RAPS

Uji konsistensi dilakukan terhadap data curah hujan tahunan dengan

tujuan untuk mengetahui adanya penyimpangan data hujan, sehingga dapat

disimpulkan apakah data tersebut dapat digunakan dalam analisa hidrologi

atau tidak.

Uji konsistensi metode raps dapat dilihat pada rumus (Anonim, 2004 ;16):

S*0 = 0

S*k = dengan k = 1,2,3,...,n

Sk**

= Sk* / Dy

Dy2 = n

13

Nilai statistik Q dan R

Q = maks Sk**

untuk 0 ≤ k ≤ n

R = maks Sk**

- min Sk**

b. Metode Lengkung Massa

Menurut (Montarcih.2010) dalam Hidrologi Praktis, lengkung masa

(lengkung D) merupakan diagram luas dari lengkung t, dengan batasan sebagai

berikut : (1) Lengkung massa tidak mengenal garis turun; dan (2) Lengkung d

adalah lengkung massa suatu garis di mana luasnya = luas lengkung i. Hal

tersebut bisa di jelaskan sebagai berikut:

d = = i rata – rata . t

dengan

d = tinggi hujan (mm)

i = intensitas hujan (mm)

LENGKUNG MASSA

14

2.4.3 Ketersediaan Air

Ketersediaan air adalah jumlah air (debit) yang diperkirakan terus menerus

ada di suatu lokasi (bendung atau di bangunan air lainnya) dengan jumlah tertentu

dan dalam jangka waktu (periode) tertentu.

Air yang masuk ke dalam embung terdiri atas dua kelompok, yaitu

1) Air permukaan dari seluruh daerah tadah hujan

2) Air hujan effektif yang langsung jatuh di atas permukaan kolam.

Dengan demikian jumlah air yang masuk kedalam embung dapat dinyatakan

sebagai berikut :

Vh = Σ Vj + 10. Akt. ΣRj

Dimana :

Vh = Volume air hujan yang dapat mengisi air embung selama musim hujan

(m3)

ΣVj = Jumlah aliran total selama musim hujan (m3)

ΣRj = Curah hujan total selama musim hujan (mm)

Akt = Luas permukaan kolam embung (ha)

Untuk pemanfaatan air, perlu diketahui informasi ketersediaan air andalan.

Debit andalan adalah debit minimum dengan besaran tertentu yang mempunyai

kemungkinan terpenuhi yang dapat digunakan untuk berbagai keperluan.

( Kasiro, dkk. 1997 )

2.4.3.1 Debit Andalan

Debit andalan adalah debit yang tersedia sepanjang tahun dengan

besarnya resiko kegagalan tertentu. ( Montarcih. 2010 )

Dalam perhitungan debit andalan ditetapkan debit andalan 80%, berarti

akan ada resiko debit yang lebih kecil dari debit andalan yaitu sebesar 20%.

Ada berbagai cara yang dapat dipakai dalam menganalisis debit andalan.

Masing-masing cara mempunyai ciri khas sendiri, pemilihan metode yang sesuai

umumnya didasarkan atas pertimbangan-pertimbangan sebagai berikut :

15

Data yang tersedia

Jenis kepentingan

Pengalaman

Perhitungan debit bulanan pada studi ini menggunakan metode NRECA,

dimana untuk memperkirakan aliran masuk ke kolam embung Pusat Litbang

Pengairan telah menyederhanakan cara analisisnya berdasarkan model NRECA.

Debit aliran masuk kedalam embung berasal dari hujan yang turun di

dalam daerah cekungan. Sebagian dari hujan tersebut menguap, sebagian lagi

turun mencapai permukaan tanah. Hujan yang turun mencapai tanah sebagian

masuk ke dalam tanah ( resapan ), yang akan mengisi pori-pori tanah sebagian

mengalir menuju embung sebagai aliran bawah permukaan, sedangkan sisanya

mengalir diatas tanah ( aliran permukaan ). Jika pori tanah sudah mengalami

kejenuhan air akan mengalir masuk ke dalam tampungan air tanah. Gerak air ini

dosebut perkolasi. Sedikit demi sedikit air dari tampungan air tanah mengalir

keluar sebagai mata air menuju alur dan disebut aliran dasar. Sisa dari curah

hujan yang mengalir diatas permukaan, disebut aliran permukan, bersama aliran

dasar bergerak masuk menuju embung. Penguapan peluh (Evapotranspirasi) tidak

hanya terjadi di atas permukaan tetapi juga di bawah permukaan tanah dimana

akar-akar tanaman berada. Skema siklus hidrologi dapat dilihat pada gambar 2.3.

Peredaran air di atmosfer (atas permukaan), permukaan, dan bawah permukaan

dapat digambarkan secara skematik seperti gamabar 2.4. Skema ini merupakan

konsep struktur Model NRECA. (Kasiro,dkk. 1997)

. Gambar. 2.4 Siklus Hidrologi

(Kasiro,dkk. 1997)

16

Gambar 2.5 Skema Model NRECA

(Kasiro,dkk. 1997)

2.4.3.2 Analisis Evapotranspirasi

Evaporasi merupakan peristiwa berubahnya air menjadi uap dan

bergerak dari permukaan tanah dan permukaan air ke udara.

Faktor meteorologi yang mempengaruhi besarnya evaporasi

adalah sebagai berikut (Triatmodjo, 2008):

1. Radiasi matahari.

2. Angin.

3. Kelembaban (humiditas) relatif.

4. Suhu (temperatur).

Transpirasi adalah suatu proses yang air di dalam tumbuh–

tumbuhan dilimpahkan dalam atmosfer sebagai uap air. Umumnya

transpirasi sulit diukur secara langsung, oleh karena itu untuk tujuan

praktis digabungkan dengan penguapan di permukaan bumi sehingga

dinyatakan sebagai evapotranspirasi. (Indarto. 2010)

Gabungan dari dua peristiwa yakni evaporasi dan transpirasi yang

terjadi secara bersamaan disebut juga peristiwa evapotranspirasi. Kedua

proses ini sulit untuk dibedakan karena keduanya terjadi secara

simultan. Di dalam perhitungan dikenal ada dua istilah evapotranspirasi

yaitu (Montarcih. 2010):

17

Evapotranspirasi potensial, terjadi apabila tersedia

cukup air untuk memenuhi pertumbuhan optimum.

Evapotranspirasi aktual, terjadi dengan kondisi

pemberian air seadanya untuk memenuhi pertumbuhan.

Faktor iklim yang sangat mempengaruhi peristiwa ini,

diantaranya adalah suhu udara, kelembaban, kecepatan angin, tekanan

udara, dan sinar matahari.

a. Evapotranspirasi Potensial ( ETO )

Evapotranspirasi Potensial dapat dihitung dengan menggunakan

Metoda Penman modifikasi sebagai berikut (Triatmodjo, 2008) :

ETo = c [ w Rn + (1 – w) f(u) (ea – ed)]

Dimana :

ETO = Evapotranspirasi acuan (mm/hari)

w = Faktor koreksi terhadap temperatur

Rn = Radiasi netto (mm/hari)

F(u) = Fungsi Angin

(ea – ed) = Perbedaan tekanan uap air jenuh dengan tekanan uap air nyata

(mbar)

c = Faktor pergantian cuaca akibat siang dan malam

b. Evapotranspirasi Aktual (ETa)

Evapotranspirasi aktual adalah evapotranspirasi yang terjadi

sesungguhnya sesuai dengan keadaan persediaan air dan kelembaban

tanah yang tersedia. Dengan persamaan menggunakan data di Indonesia

sebagai berikut (Anonim, 2004;12 ):

ETa = ETo - ETo (m/20)(18 - Nr)

Dimana :

Eta = evapotranspirasi aktual (mm/bulan)

Eto = evapotranspirasi potensial (mm/bulan)

m = luas kawasan tidak bervegetasi (%)

Nr = jumlah hari hujan/bulan

18

2.4.4 Kebutuhan Air Untuk Tanaman

Kebutuhan air tanaman didefinisikan sebagai jumlah air yang dibutuhkan

oleh tanaman pada suatu periode untuk dapat tumbuh dan produksi secara normal.

Faktor – faktor yang mempengaruhi kebutuhan air tanaman (Triatmodjo. 2008):

a. Topografi

Keadaan topografi mempengaruhi kebutuhan air tanaman. Untuk lahan

yang miring membutuhkan air lebih banyak daripada lahan yang datar,

karena air akan lebih cepat mengalir menjadi aliran permukaan dan hanya

sedikit yang mengalami infiltrasi, dengan kata lainn kehilangan air di

lahan miring akan lebih besar.

b. Hidrologi

Jumlah curah hujan mempengaruhi kebutuhan air makin banyak curah

hujannya, maka makin sedikit kebutuhan tanaman, hal ini di karenakan

hujan efektif akan menjadi besar.

c. Klimatologi

Keadaan cuaca adalah salah satu syarat yang penting untuk pengelolaan

tanaman. Tanaman tidak dapat bertahan dalam keadaan cuaca buruk.

Dengan memperhatikan keadaan cuaca dan cara pemanfaatannya, maka

dapat dilaksanakan penanaman tanaman yang tepat untuk periode yang

tepat dan sesuai dengan keadaan tanah. Cuaca dapat di gunakan untuk

rasionalisasi penentuan laju evapotranspirasi, hal ini sangat bergantung

pada jumlah jam penyinaran matahari dan radiasi matahari.

d. Tekstur tanah

Selain membutuhkan air, tanaman juga membutuhkan tempat untuk

tumbuh, yang dalam teknik irigasi dinamakan tanah. Tanah yang baik

adalah tanah yang bersifat produktif dan subur. Tanah yang baik tersebut

memberi kesempatan pada akar tanaman untuk tumbuh dengan mudah,

menjamin sirkulasi air dan udara serta baik pada zona perakaran dan

19

secara relatif memiliki persediaan hara dan kelembaban tanah yang cukup.

Tanaman membutuhkan air. Oleh karena itu, pada zone perakaran perlu

tersedia lengas tanah yang cukup. Tetapi walaupun kelembaban tanah perlu

dipelihara, air yang diberikan tidak boleh berlebih. Pemberian air harus sesuai

dengan kebutuhan dan sifat tanah serta tanaman.

2.5 Simulasi Keseimbangan Air Embung

Proses siklus air pada suatu daerah untuk periode tertentu terdapat

hubungan keseimbangan antara aliran masuk (inflow) dan aliran keluar

(outflow). Hubungan antara ketersediaan air untuk berbagai macam sektor harus

terjadi keseimbangan, hubungan keseimbangan disebut “Neraca kebutuhan dan

ketersediaan air” sering disebut juga dengan water balance. ( Triatmodjo. 2008)

Konsep neraca air pada dasarnya menunjukkan keseimbangan antara

jumlah air yang masuk ke, yang tersedia di, dan yang keluar dari sistim

(sub-sistem) tertentu, seperti yang ditunjukkan dalam Gambar 2.6. berikut ini :

Gambar 2.6. Skema Neraca Air

(Sumber : Triatmodjo, 2008)

20

Perumusan dari neraca air ketersediaan dan kebutuhan adalah ( Triatmodjo. 2008):

E = P + Q – O – I – ∆S

dimana :

E = Volume evaporasi dari embung

P = Hujan yang jatuh di embung

Q = Aliran permukaan yang masuk ke embung

O = Aliran keluar dari embung

ΔS = perubahan tampungan