BAB II TINJAUAN PUSTAKA -...

24
14 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Akuntansi Lingkungan dan Pengungkapan Lingkungan (Environmental Disclosure) Akuntansi lingkungan adalah metodologi untuk mengidentifikasi dan mengukur biaya dan manfaat dari sebuah kegiatan lingkungan untuk mengurangi dampak lingkungan (Chrismawati, 2007). Akuntansi lingkungan bertujuan mengukur biaya (cost) dan manfaat (benefit) sosial sebagai akibat kegiatan perusahaan dan pelaporan prestasi perusahaan sebagai akibat dari kerusakan lingkungan, maka muncullah biaya lingkungan (Anggraini, 2008). Biaya lingkungan (environmental cost) adalah dampak baik finansial maupun non finansial yang menjadi beban sebagai akibat dari kegiatan yang mempengaruhi kualitas lingkungan (Djogo, dalam Kartikasari, 2012). Hasil akuntansi lingkungan ini digunakan oleh para pimpinan perusahaan untuk membuat keputusan yang berkaitan dengan perbaikan lingkungan. Bethelot (dalam Al Tuwaijri, 2004) mendefinisikan environmental disclosure sebagai kumpulan informasi yang berhubungan dengan aktivitas pengelolaan lingkungan oleh perusahaan di masa lalu, sekarang dan yang akan datang. Informasi ini dapat diperoleh

Transcript of BAB II TINJAUAN PUSTAKA -...

14

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Akuntansi Lingkungan dan Pengungkapan

Lingkungan (Environmental Disclosure)

Akuntansi lingkungan adalah metodologi untuk

mengidentifikasi dan mengukur biaya dan manfaat dari

sebuah kegiatan lingkungan untuk mengurangi

dampak lingkungan (Chrismawati, 2007). Akuntansi

lingkungan bertujuan mengukur biaya (cost) dan

manfaat (benefit) sosial sebagai akibat kegiatan

perusahaan dan pelaporan prestasi perusahaan sebagai

akibat dari kerusakan lingkungan, maka muncullah

biaya lingkungan (Anggraini, 2008). Biaya lingkungan

(environmental cost) adalah dampak baik finansial

maupun non finansial yang menjadi beban sebagai

akibat dari kegiatan yang mempengaruhi kualitas

lingkungan (Djogo, dalam Kartikasari, 2012). Hasil

akuntansi lingkungan ini digunakan oleh para

pimpinan perusahaan untuk membuat keputusan yang

berkaitan dengan perbaikan lingkungan.

Bethelot (dalam Al Tuwaijri, 2004) mendefinisikan

environmental disclosure sebagai kumpulan informasi

yang berhubungan dengan aktivitas pengelolaan

lingkungan oleh perusahaan di masa lalu, sekarang

dan yang akan datang. Informasi ini dapat diperoleh

15

dengan banyak cara, seperti pernyataan kualitatif,

asersi atau fakta kuantitatif, bentuk laporan keuangan

atau catatan kaki. Sejalan dengan ini, menurut

Wilmshurst dan Frost (2000) environmental disclosure

adalah pengungkapan perusahaan yang terkait dengan

dampak aktivitas-aktivitas perusahaan pada

lingkungan fisik atau alam, di mana perusahaan

tersebut beroperasi.

Zhegal dan Ahmed (1990) mengidentifkasi bahwa

pelaporan lingkungan hidup meliputi antara lain

pengendalian terhadap polusi, pencegahan atau

perbaikan kerusakan lingkungan, konservasi alam dan

pengungkapan lain yang berhubungan dengan

lingkungan. Pengungkapan lingkungan hidup juga

merupakan respon terhadap kebutuhan informasi dari

berbagai kelompok yang berkepentingan (interest

groups) seperti serikat pekerja, aktivis lingkungan

hidup, kalangan religius dan kelompok lain (Guthrie

dan Parker, 1990).

Dari beberapa definisi pengungkapan lingkungan

(environmental disclosure) di atas maka dapat

disimpulkan bahwa environmental disclosure adalah

pengungkapan perusahaan yang terkait dengan

dampak aktivitas-aktivitas perusahaan pada

lingkungan fisik atau alam, di mana perusahaan

tersebut beroperasi. Atau secara singkat, environmental

16

disclosure adalah pengungkapan informasi yang

berkaitan dengan lingkungan didalam laporan tahunan

perusahaan.

Environmental disclosure merupakan wujud

pertanggungjawaban sosial perusahaan. Mengingat

environmental disclosure ini banyak menimbulkan biaya

maka tentunya harus ada manfaat yang dapat

diperoleh dari pengungkapan tersebut. Adapun manfaat

dari adanya environmental disclosure menurut Parsons

(dalam Suhardjanto, 2010) adalah bahwa stakeholder

perusahaan dapat memantau aktivitas yang dilakukan

oleh perusahaan dalam rangka memenuhi tanggung

jawab sosialnya. Dengan cara demikian, perusahaan

akan memperoleh perhatian, kepercayaan dan

dukungan dari stakeholder sehingga perusahaan dapat

tetap eksis.

Corporate environmental disclosure (CED) dapat

mempengaruhi tuntutan dan ketersediaan atas

pelaporan keuangan yang bermutu melalui salah satu

dari dua cara, yaitu entrenchment effect dan

alignment effect. Entrenchment effect memotivasi

perusahaan sebagai penyedia laporan keuangan untuk

mengelola laba secara oportunistik. Manajemen

mungkin memiliki insentif untuk mengejar keuntungan

pribadinya dan mengambil alih kekayaan dari

pemegang saham lainnya (Prior et al., 2010). Hal ini

17

dikarenakan kurang efektifnya pengawasan yang

dilakukan oleh dewan komisaris. Pandangan lain

adalah alignment effect, yang didasarkan pada argumen

bahwa perusahaan memiliki insentif untuk melaporkan

dengan itikad baik dan dengan demikian memiliki laba

yang berkualitas. Perusahaan dapat membuat

keputusan lebih cepat dan memiliki insentif untuk

menciptakan kesetiaan karyawan dalam jangka

panjang (Wang, 2006).

Pengukuran pengungkapan lingkungan

perusahaan dapat menggunakan indeks social

responsibility disclosure yang dikembangkan dari

Hackson and Milne (1996); Deegan, Rankin and Tobin

(2002); Branco, Eugénio and Ribeiro (2008); William

and Pei (1999); dan Gray, et al (1995) seperti dikutip

oleh Eugenio (2009). Dalam indeks social responsibility

disclosure mencakup aspek pengungkapan lingkungan,

pengungkapan sumber daya manusia, pengungkapan

produk dan konsumen, serta pengungkapan

keterlibatan terhadap masyarakat, Namun dalam

penelitian ini pengukuran hanya difokuskan pada

pengungkapan lingkungan. Untuk setiap item yang

diungkap dalam daftar pernyataan pengungkapan

lingkungan dinilai 1, sedangkan untuk item yang tidak

diungkap dalam daftar pernyataan pengungkapan

lingkungan dinilai 0. Pengungkapan lingkungan

18

perusahaan dilakukan dengan perhitungan sebagai

berikut:

Jumlah item yang diungkapkan perusahaan

CED = Jumlah item pengungkapan lingkungan

2.2 Good Corporate Governance

Komit Cadbury mendefinisikan Good Corporate

Governance yaitu prinsip yang mengarahkan dan

mengendalikan perusahaan agar mencapai

keseimbangan antara kekuatan serta kewenangan

perusahaan dalam memberikan pertanggungjawaban

kepada para shareholders khususnya dan stakeholders

pada umumnya (Daniri, 2005). Dalam konteks di

Indonesia, Good Corporate Governance didefinisikan

sebagai suatu pola hubungan, sistem dan proses yang

digunakan oleh organ perusahaan guna memberikan

nilai tambah kepada pemegang saham secara

berkesinambungan dalam jangka panjang, dengan

tetap memperhatikan kepentingan stakeholder lainnya,

berlandaskan peraturan perundangan dan norma yang

berlaku (Daniri, 2005). Dari beberapa definisi di atas

maka dapat disimpulkan bahwa Good Corporate

Governance adalah adalah suatu praktik pengelolaan

perusahaan secara baik dengan mempertimbangkan

keseimbangan pemenuhan kepentingan seluruh

stakeholders sehingga dengan demikian maka

19

pengelolaan sumberdaya perusahaan diharapkan

menjadi efisien, efektif, ekonomis dan produktif dengan

selalu berorientasi pada tujuan perusahaan.

Kebutuhan good corporate governance timbul

berkaitan dengan agency theory, yaitu untuk

menghindari konflik antara principal dan agentnya.

Konflik muncul karena perbedaan kepentingan tersebut

haruslah dikelola sehingga tidak menimbulkan

kerugian pada para pihak. Hal ini sebagaimana

dikemukakan oleh Setyawan dan Zhulaikha (2012)

bahwa Good Corporate Governance sebagai sistem

yang mengatur dan mengendalikan perusahaan

diharapkan dapat memberikan kepercayaan terhadap

manajemen dalam mengelola kekayaan pemilik

(pemegang saham), sehingga dapat meminimalkan

konflik kepentingan dan meminimumkan biaya

keagenan.

Sebagaimana diketahui bahwa agency theory

menjelaskan hubungan kerja antara pihak pemberi

wewenang (prinsipal) dengan pihak penerima wewenang

(agen). Jensen dan Meckling (1976) menjelaskan bahwa

dalam hubungan keagenan terdapat adanya konflik

kepentingan anatara prinsipal dan agen. Konflik

kepentingan tersebut terjadi karena kemungkinan agen

bertindak tidak sesuai dengan kepentingan prinsipal.

Selain itu, dalam agensi teori juga terdapat masalah

20

asimetris informasi. Manajer sebagai pengelola

perusahaan lebih banyak mengetahui informasi

internal dal prospek perusahaan di masa yang akan

datang dibandingkan pemilik (pemegang saham). Oleh

karena itu sebagai pengelola, manajer berkewajiban

untuk memberikan informasi kondisi perusahaan yang

sebenarnya kepada pemilik. Akan tetapi, informasi

yang disampaikan terkadang tidak sesuai dengan

kondisi perusahaan yang sebenarnya (Hendriksen &

Van Breda, 2000). Adanya masalah keagenan yang

disebabkan karena konflik kepentingan dan informasi

asimetris mengakibatkan munculnya biaya keagenan

(agency cost) yang ditanggung perusahaan.

Sehubungan dengan adanya masalah keagenan

tersebutlah maka muncul pemikiran mengenai Good

Corporate Governance dimana pengelolaan perusahaan

harus diawasi dan dikendalikan untuk memastikan

bahwa pengelolaan dilakukan dengan penuh

kepatuhan kepada berbagai peraturan dan ketentuan

yang berlaku (Daniri, 2005). Good Corporate Governance

diharapkan mampu untuk mengatasi konflik

kepentingan dan informasi asimetris sehingga dapat

menekan biaya keagenan.

Pengimplementasian Good Corporate Governance

memerlukan komitmen dari seluruh elemen organisasi

dan kepatuhan terhadap aturan-aturan yang mengikat

21

di dalamnya. Setidaknya ada dua elemen organisasi

yang berperan dalam implementasi good corporate

governance tersebut yaitu dewan komisaris dan komite

audit. Kedua elemen tersebut dipilih karena mekanisme

Corporate Governance diarahkan untuk menjamin dan

mengawasi jalannya sistem governance dalam sebuah

organisasi (Walsh dan Schward, dalam Sabeni, 2005).

Fungsi pengawasan itu sendiri dilakukan oleh dewan

komisaris, dan dewan komisaris dapat membentuk

suatu komite audit untuk membantu menjalankan

fungsi mereka. Dalam penelitian ini, dewan komisaris

dan komite audit dilihat berdasarkan ukurannya

(jumlah anggota yang dimiliki) karena dengan

banyaknya jumlah anggota yang memadai diharapkan

pelaksanaan fungsi pengawasan akan menjadi efektif.

Dewan komisaris dipilih oleh dan bertanggung

jawab kepada Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS).

Dewan komisaris sebagai organ perusahaan bertugas

dan bertanggung jawab secara kolektif untuk

melakukan pengawasan dan memberikan nasihat

kepada direksi serta memastikan bahwa perusahaan

selalu melaksanakan tanggung jawab sosialnya dan

memantau efektifitas penerapan GCG yang

dilaksanakan perusahaan (Daniri, 2005).

Ukuran dewan komisaris merupakan jumlah

anggota dewan komisaris yang diangkat, bertugas, dan

22

bertanggung jawab untuk mengawasi dan memberi

nasehat kepada direksi. Ukuran dewan komisaris

dalam penelitian ini dihitung dari banyaknya jumlah

anggota dewan komisaris dalam perusahaan yang

informasinya dapat dilihat dari laporan tahunan

perusahaan.

Dalam menjalankan tugasnya, dewan komisaris

dapat membentuk komite-komite yang dapat

membantu pelaksanaan tugasnya. Salah satu komite

yang dibentuk adalah komite audit, yang berfungsi

memberikan suatu pandangan tentang masalah

akuntansi, laporan keuangan dan penjelasannya,

sistem pengawasan internal serta auditor independen

(FCGI, 2002).

Sehubungan dengan komite audit ini, Badan

Pengawas Pasar Modal (Bapepam) telah mengeluarkan

keputusan ketua Bapepam nomor: Kep-29/PM/2004

mengenai Peraturan Nomor IX.1.5 tentang

Pembentukan dan Pedoman Pelaksanaan Kerja Komite

Audit. Beberapa hal penting dalam peraturan tersebut

yang dapat dikemukakan disini antara lain bahwa:

komite audit wajib dimiliki oleh setiap perusahaan

publik; selain itu pedoman kerja komite audit (audit

committee charter) juga wajib diperlukan oleh

perusahaan publik; dalam pembentukan komite audit

disebutkan dalam peraturan tersebut bahwa komite

23

audit terdiri dari sekurang-kurangnya satu orang

komisaris independen dan sekurang-kurangnya dua

orang anggota lainnya berasal dari luar emiten atau

perusahaan publik; dan mengingat bahwa komite audit

dibentuk oleh dewan komisaris maka komite tersebut

nantinya harus mempertanggung jawabkan

pekerjaannya kepada dewan komisaris.

Ukuran komite audit merupakan jumlah anggota

komite audit dalam perusahaan. Ukuran komite audit

diukur dengan menghitung jumlah anggota komite

audit dalam suatu perusahaan berdasarkan jumlah

keseluruhan anggota komite audit baik yang berasal

dari internal perusahaan maupun anggota komite audit

independen. Jumlah komite audit dalam penelitian ini

dapat dilihat dari laporan tahunan perusahaan.

2.3 Ukuran Perusahaan

Ukuran perusahaan (size) merupakan skala yang

digunakan dalam menentukan besar kecilnya suatu

perusahaan (Sari, 2012). Perusahaan yang skalanya

besar biasanya cenderung lebih banyak

mengungkapkan tanggung jawab sosial dan lingkungan

daripada perusahaan yang mempunyai skala kecil.

Dikaitkan dengan teori agensi seperti yang dinyatakan

Sembiring (2005), bahwa semakin besar suatu

perusahaan maka biaya keagenan yang muncul juga

24

semakin besar, untuk mengurangi biaya keagenan

tersebut, perusahaan cenderung mengungkapkan

informasi yang lebih luas.

Ukuran perusahaan diukur berdasarkan total aset

yang dimiliki oleh perusahaan yang informasinya dapat

dilihat dari laporan tahunan perusahaan. Ukuran

perusahaan yang diukur dari total aset akan

ditransformasikan dalam bentuk logaritma dengan

tujuan untuk menyamakan dengan variabel lain,

karena nilai total aset perusahaan relatif lebih besar

dibandingkan dengan variabel-variabel lain dalam

penelitian ini.

2.4 Profitabilitas

Profitabilitas adalah ukuran mengenai

kemampuan perusahaan dalam menghasilkan

keuntungan selama periode tertentu (Hanafi dan Halim,

1996). Profitabilitas merupakan suatu indikator kinerja

yang dilakukan manajemen dalam mengelola kekayaan

perusahaan yang ditunjukan oleh laba yang dihasilkan.

Secara garis besar laba yang dihasilkan perusahaan

berasal dari penjualan dan investasi yang dilakukan

oleh perusahaan. Ukuran profitabilitas dapat berbagai

macam seperti laba operasi, laba bersih, tingkat

pengembalian investasi/aktiva, dan tingkat

pengembalian ekuitas pemilik.

25

Profitabilitas merupakan kemampuan perusahaan

untuk menghasilkan laba atau profit dalam upaya

meningkatkan nilai pemegang saham. Dalam penelitian

ini profitabilitas perusahaan diukur dengan Return on

Equity (ROE) yang merupakan ukuran efektifitas

perusahaan di dalam menghasilkan keuntungan

dengan memanfaatkan modal yang dimilikinya. ROE

dihitung dengan menggunakan rumus :

Laba bersih setelah pajak (EAT) ROE = X 100%

Total ekuitas

2.5 Leverage

Leverage merupakan alat untuk mengukur

seberapa besar perusahaan tergantung pada kreditur

dalam membiayai aset perusahaan. Perusahaan yang

mempunyai tingkat leverage yang tinggi berarti

perusahaan sangat tergantung pada pinjaman luar

untuk membiayai asetnya. Sedangkan perusahaan

yang mempunyai tingkat leverage rendah berarti

perusahaan lebih banyak membiayai asetnya dengan

modal sendiri. Dengan demikian tingkat leverage

menggambarkan resiko keuangan perusahaan

(Sembiring, 2005).

Dalam penelitian ini leverage perusahaan diukur

dengan Debt to Equity Ratio (DER) yang merupakan

ukuran kemampuan perusahaan dalam menyelesaikan

26

semua kewajibannya dengan menggunakan modal yang

dimilikinya. DER dihitung dengan menggunakan

rumus :

Total Kewajiban

DER = X 100% Total ekuitas

2.6 Kepemilikan Saham Publik

Kepemilikan saham oleh publik adalah jumlah

saham yang dimiliki oleh publik. Pengertian publik

disini adalah pihak individu di luar manajemen dan

tidak memiliki hubungan istimewa dengan perusahaan

(Mulyono, 2010).

2.7 Pengembangan Hipotesis

2.7.1 Pengaruh Karakteristik Good Corporate

Governance terhadap Pengungkapan

Lingkungan

Pengaruh Dewan Komisaris terhadap Pengungkapan

Lingkungan

Dewan komisaris merupakan salah satu elemen

penting bagi tata kelola perusahaan. Mengacu pada

pasal 108 UU No. 40 Th. 2007 disebutkan bahwa

dewan komisaris mempunyai tugas untuk melakukan

pengawasan atas kebijakan pengurusan, jalannya

pengurusan pada umumnya, baik mengenai Perseroan

maupun usaha Perseroan, dan memberi nasihat

27

kepada Direksi. Pengawasan dan pemberian nasihat

sebagaimana dimaksud di atas, dilakukan untuk

kepentingan Perseroan dan sesuai dengan maksud dan

tujuan Perseroan.

Dalam kaitannya dengan pengungkapan informasi

lingkungan oleh perusahaan, ukuran dewan komisaris

dapat memberi efek positif ataupun negatif. Jika

memberi efek positif berarti semakin besar ukuran

dewan komisaris maka komposisi pengalaman dan

keahlian yang dimiliki oleh anggota dewan komisaris

semakin meningkat sehingga dapat melakukan

aktivitas monitoring dengan lebih baik (Akhtaruddin et

al, 2009). Dengan proses monitoring yang lebih baik,

maka diharapkan pengungkapan informasi lingkungan

semakin luas dikarenakan kemungkinan manajer

untuk menyembunyikan informasi dapat dikurangi.

Sementara itu jika memberi efek negatif, maka ukuran

dewan komisaris yang berjumlah kecil akan memiliki

efektivitas yang baik terhadap pengawasan manajemen

perusahaan. Sebaliknya, dewan komisaris yang

berjumlah terlalu besar menjadi kurang efektif karena

dominasi anggota dewan komisaris yang mementingkan

kepentingan pribadi atau kepentingan kelompoknya

sehingga mengesampingkan kepentingan perusahaan

(Muntoro, dalam Nur dan Priantinah, 2012). Selain

itu, jumlah dewan komisaris yang tidak terlalu banyak

28

akan menimbulkan kesepakatan mengenai

pengungkapan tanggungwajab sosial akan lebih mudah

didapat (Permana dan Raharja, 2012).

Hasil penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh

Sembiring (2005) menemukan adanya pengaruh

ukuran dewan komisaris dalam perusahaan terhadap

pengungkapan tanggung jawab sosial pada perusahaan

yang tercatat (go-public) di Bursa Efek Jakarta (BEJ)

seperti yang tercantum dalam Indonesian Capital

Market Directory 2002. Penelitian oleh Akhtaruddin et

al. (2009), menunjukan bahwa ukuran dewan

komisaris berpengaruh positif dan signifikan terhadap

luas pengungkapan sukarela pada perusahaan-

perusahaan yang tercatat di Malaysia.

Berdasarkan uraian dan temuan penelitian

sebelumnya di atas, maka diajukan hipotesis sebagai

berikut:

H1 : Terdapat pengaruh positif yang signifikan dari

ukuran dewan komisaris terhadap

pengungkapan lingkungan.

Pengaruh Komite Audit terhadap Pengungkapan

Lingkungan

Komite audit merupakan komite yang bertugas

membantu dewan komisaris dalam melakukan

mekanisme pengawasan terhadap manajemen. FCGI

29

(2002) menyatakan bahwa komite audit harus terdiri

dari individu-individu yang mandiri dan tidak terlibat

dengan manajemen dalam melakukan tugas

operasional, dan harus memiliki pengalaman dalam

melasanakan fungsi pengawasan secara efektif. Focker

(dalam Said et al., 2009) menyebutkan bahwa komite

audit dianggap sebagai alat yang efektif untuk

melakukan mekanisme pengawasan, sehingga dapat

mengurangi biaya agensi dan meningkatkan kualitas

pengungkapan informasi perusahaan. Hal senada

dikemukakan oleh Ho dan Wong (dalam Akhtaruddin et

al., 2009) bahwa keberadaan komite audit dapat

mempengaruhi pengungkapan yang dilakukan

perusahaan secara signifikan. Jumlah komite audit

sangat penting bagi pengawasan dan pengendalian

perusahaan sehingga dengan adanya komite audit pada

suatu perusahaan maka akan menambah efektifitas

pengawasan termasuk praktik pengungkapn

lingkungan perusahaan. Dengan demikian, diharapkan

dengan ukuran komite audit yang semakin besar maka

pengawasan yang dilakukan akan semakin baik

sehingga kualitas pengungkapan lingkungan akan

semakin meningkat atau semakin luas.

Namun, tidak selalu ukuran komite audit yang

semakin besar akan semakin baik juga fungsi

pengawasannya. Hal ini dikarenakan besarnya ukuran

30

Komite Audit yang dimiliki oleh perusahaan tidak

mampu menjalankan fungsinya sebagai pengawas

internal perusahaan dengan baik, dalam hal ini untuk

mendorong corporate environmental disclosure.

Menurut Sommer (dalam Effendi, 2005), Komite Audit

di banyak perusahaan masih belum melakukan

tugasnya dengan baik. Banyak komite audit yang

hanya sekedar melakukan tugas-tugas rutin, seperti

review laporan dan seleksi auditor eksternal, dan tidak

mempertanyakan secara kritis dan menganalisis secara

mendalam kondisi pengendalian dan pelaksanaan

tanggung jawab oleh manajemen.

Penelitian yang dilakukan oleh Said et.al. (2009)

menemukan bahwa ukuran komite audit berpengaruh

positif terhadap pengungkapan tanggung jawab sosial.

Demikian halnya pada penelitian yang dilakukan oleh

Kamaliah dkk. (2011) yang menyatakan bahwa ukuran

komite audit berpengaruh positif luas pengungkapan

tanggung jawab sosial dalam laporan tahunan

perusahaan manufaktur di Indonesia.

Berdasarkan uraian dan temuan penelitian

sebelumnya di atas, maka diajukan hipotesis sebagai

berikut:

H2 : Terdapat pengaruh positif yang signifikan dari

ukuran komite audit terhadap pengungkapan

lingkungan.

31

2.7.2 Pengaruh Ukuran Perusahaan terhadap

Pengungkapan Lingkungan

Ukuran perusahaan merupakan variabel penduga

yang paling banyak digunakan untuk menjelaskan

pengungkapan tanggung jawab sosial perusahaan.

Secara umum perusahaan besar memiliki kelengkapan

informasi yang lebih luas dibandingkan dengan

perusahaan kecil. Semakin besar ukuran perusahaan

maka semakin besar kemungkinan perusahaan

tersebut untuk melaksanakan aktivitas tanggung jawab

sosial dan lingkungan. Dengan kata lain semakin besar

aset perusahaan maka semakin besar tanggung jawab

sosialnya, dan hal ini akan dilaporkan dalam laporan

tahunan, sehingga pengungkapannya juga semakin

luas (Lerner, dalam Siregar, 2001).

Suripto (1999) menyebutkan bahwa perusahaan

besar umumnya memiliki jumlah aktiva yang besar,

penjualan besar, sistem informasi yang canggih, jenis

produk yang banyak, struktur kepemilikan lengkap,

sehingga membutuhkan tingkat pengungkapan secara

luas. Di samping itu perusahaan besar merupakan

emiten yang banyak disoroti, pengungkapan yang lebih

besar merupakan pengurangan biaya politis sebagai

wujud tanggung jawab sosial (Yulfaida dan Zhulaikha,

2012).

32

Hasil penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh

Galani et al (2011) menyatakan bahwa ukuran

perusahaan mempunyai pengaruh positif terhadap

pengungkapan lingkungan dalam laporan tahunan

perusahaan. Penelitian yang dilakukan oleh Sembiring

(2005) menemukan adanya pengaruh positif ukuran

perusahaan terhadap pengungkapan tanggung jawab

sosial perusahaan pada perusahaan yang tercatat (go-

public) di Bursa Efek Jakarta (BEJ) seperti yang

tercantum dalam Indonesian Capital Market Directory

2002.

Berdasarkan uraian dan temuan penelitian

sebelumnya di atas, maka diajukan hipotesis sebagai

berikut:

H3 : Terdapat pengaruh positif yang signifikan dari

ukuran perusahaan terhadap pengungkapan

lingkungan.

2.7.3 Pengaruh Profitabilitas terhadap

Pengungkapan Lingkungan

Profitabilitas merupakan faktor yang digunakan

oleh manajemen untuk lebih bebas dan fleksibel dalam

mengungkapkan tanggung jawab sosial dan lingkungan

kepada pemgang saham. Belkaoui & Karpik (dalam

Darlis et al, 2009) mengatakan bahwa dengan

kepeduliannya terhadap masyarakat (sosial)

33

menghendaki manajemen untuk membuat perusahaan

menjadi profitable. Preston (dalam Anggraini, 2006)

menyatakan bahwa semakin tinggi tingkat profitabilitas

perusahaan maka semakin besar pengungkapan

informasi sosial lingkungan. Bowman & Haire (dalam

Darlis et al, 2009) juga menyatakan hal yang sama

bahwa semakin tinggi tingkat profitabilitas maka

semakin tinggi juga pengungkapan informasi

lingkungan hidup suatu perusahaan.

Penelitian yang dilakukan oleh Fatayatiningrum

(2011) menyatakan bahwa profitabilitas mempunyai

pengaruh positif terhadap pengungkapan lingkungan

dalam laporan tahunan perusahaan. Penelitian yang

dilakukan oleh Kokobu dkk (dalam Anggono dan Jesica,

2009) menyatakan bahwa semakin besar profitabilitas

akan membuat perusahaan mengungkapkan tanggung

jawab sosialnya.

Berdasarkan uraian dan temuan penelitian

sebelumnya di atas, maka diajukan hipotesis sebagai

berikut:

H4 : Terdapat pengaruh positif yang signifikan dari

profitabilitas terhadap pengungkapan

lingkungan.

34

2.7.4 Pengaruh Leverage terhadap Pengungkapan

Lingkungan

Leverage memberikan gambaran mengenai

struktur modal yang dimiliki perusahaan, sehingga

dapat dilihat tingkat resiko tak tertagihnya suatu utang

(Wijaya, 2012). Rasio leverage yang tinggi menunjukkan

bahwa perusahaan banyak dibiayai oleh investor atau

kreditur luar. Semakin tinggi rasio leverage berarti

semakin besar pula proporsi pendanaan perusahaan

yang dibiayai dari hutang (Waryanto,2010).

Dalam kaitannya dengan luas pengungkapan

informasi, teori keagenan memprediksi bahwa

perusahaan dengan rasio leverage yang lebih tinggi

akan mengungkapkan lebih banyak informasi, karena

biaya keagenan perusahaan dengan struktur modal

seperti itu lebih tinggi (Jensen & Meckling, 1976).

Tambahan informasi diperlukan untuk menghilangkan

keraguan pemegang obligasi terhadap dipenuhinya

hak-hak mereka sebagai kreditur (Schipper dalam

Marwata, 2001). Oleh karena itu perusahaan dengan

rasio leverage yang tinggi memiliki kewajiban untuk

melakukan pengungkapan yang lebih luas daripada

perusahaan dengan rasio leverage yang rendah.

Sementara itu, pendapat berbeda dikemukakan

oleh Scott (dalam Wijaya, 2012) yang menyampaikan

pendapat bahwa semakin tinggi leverage kemungkinan

35

besar perusahaan akan mengalami pelanggaran

terhadap kontrak utang, maka manajer akan berusaha

untuk melaporkan laba sekarang lebih tinggi

dibandingkan laba di masa depan. Perusahaan yang

memiliki rasio leverage tinggi akan lebih sedikit

mengungkapkan informasi tanggung jawab sosial,

supaya dapat melaporkan laba sekarang yang lebih

tinggi (mengurangi biaya pengungkapan).

Penelitian yang dilakukan oleh Hossain et al (2006)

menyatakan bahwa leverage mempunyai pengaruh

negatif terhadap pengungkapan tanggung jawab sosial

perusahaan. Penelitian yang dilakukan oleh Effendi dkk

(2012) menyatakan bahwa leverage perusahaan

berpengaruh negatif terhadap environmental disclosure.

Berdasarkan uraian dan temuan penelitian

sebelumnya di atas, maka diajukan hipotesis sebagai

berikut:

H5 : Terdapat pengaruh negatif yang signifikan

dari leverage terhadap pengungkapan

lingkungan.

2.7.5 Pengaruh Kepemilikan Saham Publik

terhadap Pengungkapan Lingkungan

Semua peerusahaan yang go public dan telah

terdaftar dalam BEI adalah perusahaan-perusahaan

yang memiliki proporsi kepemilikan saham oleh publik,

36

yang artinya bahwa semua aktivitas dan keadaan

perusahaan harus dilaporkan dan diketahui oleh publik

sebagai salah satu bagian pemegang saham. Akan

tetapi tingkat kepemilikan sahamnya berbeda-beda

satu sama lain (Putra dan Rahardjo, 2011).

Perusahaan yang memiliki pemegang saham

publik akan terdorong untuk mengungkapkan aktivitas

corporate social responsibility lebih banyak (Cahyono,

2010). Semakin besar saham yang dimiliki oleh publik,

akan semakin banyak informasi yang diiungkapkan

dalam laporan tahunan, investor ingin memperoleh

informasi seluas-luasnya tentang tempat berinvestasi

serta dapat mengawasi kegiatan manajemen, sehingga

kepentingan dalam perusahaan terpenuhi (Rahajeng,

2010).

Penelitian oleh Hasibuan (2001) menjelaskan

bahwa semakin tinggi rasio/tingkat kepemilikan publik

dalam perusahaan diprediksi akan melakukan tingkat

pengungkapan yang lebih luas. Hal tersebut dikaitkan

dengan tekanan dari pemegang saham, agar

perusahaan lebih memperhatikan tanggung jawab

sosialnya terhadap masyarakat.

Berdasarkan uraian dan temuan penelitian

sebelumnya di atas, maka diajukan hipotesis sebagai

berikut:

37

H5 –

f

H6 +

f

H6 : Terdapat pengaruh positif yang signifikan dari

kepemilikan saham publik terhadap

pengungkapan lingkungan.

2.8 Model Hipotesis Penelitian

Berdasarkan pengembangan hipotesis seperti yang

telah diuraikan sebelumnya, maka dapat dibuat sebuah

model hipotesis seperti tampak pada Gambar 2.1.

berikut ini :

Gambar 2.1 Model Hipotesis Penelitian

H1 +

H2 +

H3 +

H4 +

Dewan Komisaris

(X1)

Komite Audit

(X2)

Ukuran Perusahaan

(X3)

Profitabilitas

(X4)

Leverage

(X5)

Kepemilikan Saham

Publik (X6)

Pengungkapan Lingkungan

(Y)