BAB II TINJAUAN PUSTAKA -...
-
Upload
truongtruc -
Category
Documents
-
view
217 -
download
0
Transcript of BAB II TINJAUAN PUSTAKA -...
21
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Sebagai parameter utama dalam suatu penelitian ilmiah, tinjauan
pustaka merupakan bagian yang penting untuk meletakan dasar pijakan
dalam membangun suatu konstruk teoritik yang bermuara pada
bagaimana membangun kerangka pikir, dan menyusun hipotesis
penelitian. Dengan demikian, dalam bab ini akan diuraikan tentang
teori-teori yang mendasari masing-masing variabel, dan bagaimana
hubungan komitmen organisasi dengan faktor-faktor yang
memengaruhinya yaitu; kepuasan kerja, kecerdasan emosional, dan jenis
kelamin berdasarkan hasil-hasil penelitian sebelumnya.
2.1 Komitmen Organisasi
2.1.1 Pengertian Komitmen Organisasi
Efektifitas dan efisiensi suatu organisasi turut dipengaruhi oleh
peran serta pegawai. Dengan demikian, komitmen pegawai bagi
organisasi merupakan salah satu faktor penting dalam upaya untuk
meningkatkan kinerja dan produktifitas organisasi sesuai dengan visi,
misi dan tujuan organisasi. Ada pendapat yang mengatakan bahwa
komitmen organisasi adalah: keyakinan pegawai dan penerimaan tujuan
dan nilai-nilai organisasi, kesediaan untuk mengerahkan usaha atas
nama organisasi, dan keinginan untuk mempertahankan keanggotaan
dalam organisasi. Pengertian ini ditegaskan oleh Mowday, Steers, dan
Porter (dalam Chhabra, 2013, h.27), komitmen organisasi adalah:
“Employee‟s belief in and acceptance of the organization‟s goals and
22
values, a willingness to exert effort on behalf of the organization, and a
desire to maintain membership in the organization”. Hal yang sama
dinyatakan oleh Luthans (2006) bahwa sebagai sikap, komitmen
organisasi paling sering didefinisikan sebagai: (1) keinginan kuat untuk
tetap sebagai anggota organisasi tertentu; (2) keinginan untuk berusaha
keras sesuai keinginan organisasi; dan (3) keyakinan tertentu, dan
penerimaan nilai dan tujuan organisasi. Dengan kata lain, komitmen
organisasi merupakan sikap yang mereflesikan loyalitas karyawan pada
organisasi dan proses berkelanjutan di mana anggota organisasi
mengekspresikan perhatiannya terhadap organisasi dan keberhasilan
serta kemajuan yang berkelanjutan.
Sementara itu, ada pernyataan yang mengatakan bahwa
komitmen organisasi adalah: suatu keadaan psikologis yang mencirikan
hubungan pegawai dengan organisasi dan implikasinya terhadap
keputusan untuk melanjutkan keanggotaan dalam organisasi. Pengertian
komitmen organisasi ini ditegaskan oleh Meyer dan Allen (dalam
Salami, 2008, h.32), komitmen organisasi adalah: “A psychological state
that characterizes the employee‟s relationship with the organization
with its implications for the decision to continue membership in the
organization”. Pengertian ini sejalan dengan Robbins dan Judge (2008)
yang mendefinisikan komitmen organisasi sebagai suatu keadaan
dimana seorang pegawai memihak organisasi tertentu serta tujuan-tujuan
dan keinginannya untuk mempertahankan keanggotaanya dalam
organisasi tersebut. Demikian halnya Mathis dan Jackson (2006)
menyatakan bahwa komitmen organisasi adalah: derajat yang mana
pegawai yakin dan menerima tujuan organisasional, serta berkeinginan
untuk tinggal atau tidak akan meninggalkan organisasi.
23
Selanjutnya, komitmen organisasi didefinisikan sebagai tingkat
loyalitas dan tanggungjawab terhadap misi bersama dan tingkat
kemauan untuk mengerahkan upaya untuk mencapai misi tersebut.
Definisi ini ditegaskan oleh Camp dan Chen.,et al (dalam Potter, 2012,
h.16) bahwa komitmen organisasi adalah:“The extent of loyalty and
responsibility felt toward a shared mission and the level of willingness
to exert effort to achieve that mission”. Hal ini dipertegas oleh Alwi
(2001) yang mendefinisikan komitmen organisasi sebagai sikap individu
untuk tetap berada dalam organisasi dan terlibat dalam upaya-upaya
mencapai misi, nilai-nilai, dan tujuan organisasi. Lebih lanjut dijelaskan
bahwa komitmen merupakan suatu bentuk loyalitas yang lebih konkrit
yang dapat dilihat dari sejauh mana individu mencurahkan perhatian,
gagasan, dan tanggungjawab dalam upaya mencapai tujuan organisasi.
Berdasarkan beberapa pengertian komitmen organisasi yang
dikemukakan di atas, dapat disimpulkan bahwa komitmen organisasi
adalah: sikap individu yang ditunjukan melalui keyakinan dan
penerimaan terhadap nilai-nilai dan tujuan organisasi, keinginan yang
kuat untuk tetap mempertahankan keanggotaan dalam organisasi, dan
mengerahkan segala upaya untuk mencapai visi, misi dan tujuan
organisasi.
2.1.2 Teori Komitmen Organisasi
Menurut Wutun.,et al (2001), istilah komitmen organisasi sudah
mulai diperkenalkan pada tahun 1961 oleh Etzioni dengan tipologi
keterikatan terhadap organisasi yang meliputi: 1) Moral involvement,
merupakan orientasi positif dan kuat terhadap organisasi karena ada
informasi terhadap tujuan, nilai, dan norma organisasi serta identifikasi
24
pada pemegang otoritas. Individu memiliki komitmen terhadap
organisasi sejauh mana konsistensi identitas pribadi dengan tujuan
organisasi. 2) Calculative involvement, merupakan keinginan individu
untuk tetap menetap pada suatu organisasi karena kepentingan timbal-
balik dengan organisasi tersebut. 3) Alienative involvement, merupakan
orientasi negatif terhadap organisasi, terutama pada situasi saat individu
merasa terpaksa untuk berperilaku tertentu.
Sementara itu, Mowday.,et al (1979) menyatakan bahwa teori
komitmen organisasi berorientasi pada dua bentuk komitmen, yaitu;
komitmen perilaku (behavioral commitment) dan komitmen sikap
(attitudinal commitment). Hal ini dapat dijelaskan sebagai berikut:
1. Komitmen perilaku (behavioral commitment ). Secara khusus,
banyak definisi berfokus pada komitmen yang terkait dengan
perilaku. Sebagai contoh, ketika kita berbicara tentang seseorang
menjadi "terikat oleh perbuatannya" atau "perilaku yang
melebihi harapan yang diinginkan dan/atau baku," kita berada
dalam pengaruh yang berfokus pada manifestasi nyata dari
komitmen. Seperti perilaku yang menggambarkan kesulitan
biaya (kerugian) dalam organisasi sehingga individu melupakan
tujuan sebagai pilihan dari tindakan untuk melibatkan diri pada
organisasi.
Pendekatan komitmen perilaku ini juga ditegaskan oleh Staw dan
Salancik (Wutun.,et al, 2001), bahwa komitmen perilaku (behavioral
commitment) didasarkan pada sejauh mana seseorang menetapkan
keputusan untuk terikat pada organisasi berkaitan dengan adanya
kerugian jika memutuskan melakukan alternatif lain di luar
pekerjaannya saat ini. Berbeda dengan pendekatan sikap, pendekatan
tingkah laku ini lebih menekankan pada proses dimana individu
25
mengembangkan komitmen tidak pada organisasi tetapi pada tingkah
lakunya terhadap organisasi.
2. Kecenderungan kedua yang muncul dari teori komitmen
organisasi adalah komitmen dalam hal sikap (attitudinal
commitment). Artinya, komitmen sikap ada ketika "identitas
orang (terkait) kepada organisasi" atau ketika "tujuan organisasi
dan individu menjadi semakin terintegrasi atau kongruen"
(Sheldon & Balai, dalam Mowday.,et al, 1979). Komitmen sikap
demikian merupakan keadaan di mana seorang individu
mengidentifikasi dengan organisasi tertentu dan tujuan, serta
keinginan untuk mempertahankan keanggotaan dalam rangka
memfasilitasi tujuan tersebut.
Hal ini juga ditegaskan oleh Staw dan Salancik (Wutun.,et al,
2001), bahwa komitmen sikap (attitudinal commitment) merupakan
keadaan dimana individu mempertimbangkan sejauh mana nilai dan
tujuan pribadinya sesuai dengan nilai dan tujuan organisasi, serta sejauh
mana keinginannya mempertahankan keanggotaannya dalam organisasi.
Pendekatan sikap ini memandang komitmen organisasi sebagai
komitmen afektif serta berfokus pada proses bagaimana seseorang
berpikir tentang hubungannya dengan organisasi.
Sementara itu, ada pernyataan bahwa sebagai sikap (attitudinal
commitment), komitmen organisasi dikonseptulisasikan sebagai
kekuatan relatif dari keterlibatan individu dan identifikasi dengan
organisasi. Pernyataan ini ditegaskan oleh Mowday.,et al (1979, h.226),
komitmen organisasi sebagai “The relative strength of an individual‟s
identification with and involvement in a particular organization”.
Definisi ini menunjukkan bahwa komitmen organisasi memiliki arti
lebih dari sekedar loyalitas yang pasif tetapi melibatkan hubungan aktif
26
dan keinginan karyawan untuk memberikan kontribusi yang berarti pada
organisasinya. Hal ini menurut Mowday.,et al setidaknya dapat
digambarkan melalui tiga sikap yang saling berkaitan antara lain:
1). Kepercayaan yang kuat dan penerimaan terhadap tujuan dan nilai-
nilai organisasi; 2). Kemauan untuk mengerahkan usaha yang cukup atas
nama organisasi; dan 3). Keinginan yang kuat untuk mempertahankan
keanggotaan dalam organisasi.
Selanjutnya, teori komitmen organisasi dikembangkan oleh
Allen dan Meyer (1990) ke dalam tiga komponen komitmen organisasi
(A three-component conceptualizational commitment), yakni; komitmen
afektif, komitmen kontinyu, dan komitmen normatif. 1). Komitmen
afektif mengacu pada keterikatan emosional pegawai, identifikasi
pegawai dengan organisasi, dan keterlibatan pegawai pada organisasi.
Pegawai dengan komitmen afektif yang kuat akan tetap berada dalam
organisasi karena mereka ingin (want to). 2). Komitmen kontinyu
mengacu pada komitmen berdasarkan persepsi atas kerugian yang akan
diperoleh pegawai apabila tetap bergabung atau meninggalkan
organisasi. Pegawai dengan komitmen kontinyu yang kuat akan bertahan
dalam organisasi karena mereka butuh (need to). 3). Komitmen normatif
mengacu pada perasaan pegawai terhadap kewajiban untuk tetap bekerja
bagi organisasi. Pegawai yang memiliki komitmen normatif yang kuat
karena merasa wajib (ought to) bertahan dalam organisasi.
Dari berbagai teori komitmen organisasi yang dijelaskan di atas,
maka untuk kepentingan penelitian ini, penulis mengadaptasi teori
komitmen organisasi dari Allen dan Meyer (1990) tentang tiga
komponen komitmen organisasi (A three component conceptualizational
commitment) yang meliputi; komitmen afektif, komitmen kontinyu, dan
komitmen normatif. Alasannya, dalam upaya untuk meningkatkan
27
kinerja dan produktifitas GPM sesuai dengan visi, misi dan tujuannya,
maka diperlukan peran serta pendeta yang ditunjukan melalui
komitmennya bagi GPM. Komitmen pendeta bagi GPM dinyatakan
melalui kelekatan secara emosional terhadap organisasi dan
mengidentifikasi dirinya dengan melibatkan diri dan menikmati
keanggotaannya dalam organisasi (komitmen afektif); persepsi atas
kerugian yang akan diperoleh oleh pendeta apabila tidak melanjutkan
pekerjaanya dalam organisasi sehingga memilih untuk bertahan karena
kebutuhannya (komitmen kontinuan); serta sisi moral yang dimiliki
pendeta berupa kewajiban yang harus dilakukan kepada organisasi
sebagai wujud tanggungjawab (komitmen normatif). Pendeta yang
memiliki komitmen bagi GPM adalah karena mereka ingin (want to)
tetap berada dalam GPM, mereka membutuhkan (need to), dan karena
mereka merasa berkewajiban (ought to) untuk bertahan dalam GPM.
2.1.3 Komponen – Komponen Komitmen Organisasi
Tingkat komitmen individu terhadap organisasi dapat diketahui
melalui komponen-komponen yang berada di dalamnya. Porter.,et al
(Schultz & Schultz, 1990) membahas tiga komponen utama dari
komitmen organisasi sebagai:
1. Keyakinan yang kuat dan penerimaan tujuan organisasi,
2. Kemauan untuk mengerahkan usaha yang cukup atas nama
organisasi,
3. Keinginan yang pasti untuk mempertahankan keanggotaan
organisasi.
28
Hal yang sama juga ditegaskan oleh Yang ( 2012) berdasarkan
tiga komponen komitmen organisasi yang diungkapkan oleh Porter., et
al antara lain:
1. Value Commitmen yaitu, keyakinan kuat dan penerimaan
terhadap nilai dan tujuan organisasi.
2. Effort Commitmen yaitu, kemauan untuk mengerahkan usaha
yang cukup besar untuk mencapai tujuan organisasi.
3. Retention Commitmen yaitu, keinginan yang pasti untuk
mempertahankan keanggotaan organisasi.
Sementara itu, Mowday.,et al (Crosswell, 2006)
mengidentifikasi tiga komponen terkait komitmen organisasi, yakni:
1. Keyakinan yang kuat dalam mencapai tujuan dan nilai
organisasi.
2. Keterlibatan, kemauan untuk mengerahkan usaha bagi organisasi
dan,
3. Loyalitas, yakni keinginan yang kuat untuk mempertahankan
keanggotaan organisasi.
Selanjutnya, Alen dan Meyer (1990) mengajukan konsep
mengenai tiga komponen komitmen organisasi (A three-component
conceptualizational commitment) yaitu: komitmen afektif (affective
commitment), komitmen berkelanjutan (continuance commitment), dan
komitmen normatif (normative commitment). Ketiga komponen tersebut
dapat dijelaskan sebagai berikut:
1. Komitmen afektif (affective commitment), mengacu pada
keterikatan emosional pegawai, identifikasi pegawai dengan
organisasi, dan keterlibatan pegawai pada organisasi. Pegawai
29
dengan komitmen afektif yang kuat akan tetap berada dalam
organisasi karena mereka ingin (want to).
2. Komitmen kontinyu (continuance commitment), mengacu pada
komitmen berdasarkan persepsi atas kerugian yang akan
diperoleh pegawai apabila tetap bergabung atau meninggalkan
organisasi. Pegawai dengan komitmen kontinyu yang kuat akan
bertahan dalam organisasi karena mereka butuh (need to).
3. Komitmen normatif (normative commitment), mengacu pada
perasaan pegawai terhadap kewajiban untuk tetap bekerja bagi
organisasi. Pegawai yang memiliki komitmen normatif yang
kuat karena merasa wajib (ought to) bertahan dalam organisasi.
Berdasarkan beberapa pandangan tentang komponen komitmen
organisasi yang dikemukakan di atas, maka komponen - komponen
komitmen organisasi yang dikemukakan oleh Allen dan Meyer (1990)
akan digunakan penulis untuk mengukur komitmen organisasi pendeta
GPM. Alasannya, karena komponen-komponen tersebut diyakini
memiliki relevansi dengan karakteristik pekerjaan pendeta pada
organisasi GPM. Pendeta yang menyatakan komitmennya bagi GPM
ditentukan oleh adanya keinginan emosional yang kuat untuk terlibat
sebagai anggota organisasi (komitmen afektif), adanya pertimbangan
untung dan rugi jika harus meninggalkan organisasi (komitmen
berkelanjutan), dan kepatuhan untuk setia pada organisasi dengan
melakukan tugas dan kewajibanya (komitmen normatif). Hal ini tentu
berimplikasi pada peningkatan kinerja dan produktifitas GPM sesuai
dengan visi, misi, dan tujuan organisasi. Dengan demikian, ketiga
komponen ini akan digunakan penulis untuk mengukur komitmen
pendeta bagi GPM yang merupakan subjek dari penelitian ini.
30
2.1.4 Faktor-Faktor Yang Memengaruhi Komitmen Organisasi
Komitmen organisasi merupakan variabel yang telah banyak
diteliti oleh para ahli dalam kaitan dengan dunia kerja. Hal ini penting
sebab eksistensi sebuah organisasi tidak terlepas dari peran pegawai
yang memiliki komitmen bagi organisasi tersebut. Komitmen organisasi
pegawai sangat berpengaruh bagi efektifitas dan efisiensi sebuah
organisasi. Dengan demikian, untuk meningkatkan komitmen organisasi
pegawai, penting bagi sebuah organisasi mengetahui berbagai faktor
yang memengaruhinya. Menurut Hodge dan Anthony (Ristaniar, 2010),
beberapa faktor yang memengaruhi komitmen organisasi antara lain:
kepuasan kerja, identifikasi, dan keterlibatan kerja. Hal tersebut dapat
dijelaskan sebagai berikut:
1. Kepuasan kerja. Ketika karyawan memperoleh kepuasan pribadi
pada tugasnya mereka akan lebih toleran dalam mangarahkan
dan mengontrol dirinya jika mengalami kekecewaan.
2. Identifikasi. Ketika karyawan merasa tujuan pribadinya sejalan
dengan tujuan perusahaan, akan timbul identifiksi dan rasa
percaya bahwa perusahaan akan bermanfaat bagi mereka.
3. Keterlibatan kerja. Karyawan yang aktif berpartisipasi dalam
perusahaan dan pekerjaan (khususnya dalam pengambilan
keputusan) juga memiliki rasa komitmen dan lebih tertarik pada
organisasi.
Sementara itu, Johar dan Shah (2013) dalam penelitiannya
menyatakan bahwa kecerdasan emosional merupakan salah satu faktor
yang memengaruhi komitmen pegawai bagi organisasi. Artinya, seorang
pegawai yang memiliki kecerdasan emosional yang baik adalah pegawai
yang mampu mengontrol dan mengelola emosi secara positif dan stabil
31
dalam lingkungan kerja sehingga berdampak pada komitmennya bagi
organisasi dan membuat kualitas pekerjaannya menjadi lebih baik. Hal
yang sama dinyatakan oleh Akomolafe dan Olatomide (2013), kepuasan
kerja dan kecerdasan emosional merupakan faktor yang memengaruhi
komitmen guru terhadap organisasi sekolah.
Manurut Mowday.,et al (Prasetyo.,et al, 2005), faktor-faktor
yang memengaruhi komitmen organisasi antara lain:
1. Karakteristik personal. Karakteristik personal meliputi: usia,
masa kerja, tingkat pendidikan, jenis kelamin, ras, serta faktor
kepribadian.
2. Karakteristik pekerjaan. Karakteristik pekerjaan meliputi:
pekerjaan yang menantang, kejelasan tugas, umpan balik sebagai
sarana evaluasi hasil kerja, interaksi sosial dan suasana kondusif.
3. Karakteristik struktural atau karakteristik organisasi.
Karakteristik organisasi meliputi: desentralisasi dan otonomi
tanggungjawab, kualitas hubungan atasan-bawahan, sifat dan
karakteristik pimpinan.
4. Pengalaman kerja. Meliputi ketergantungan organisasi kerja,
nilai pentingnya individu bagi organisasi keja, sejauh mana
harapan karyawan dapat terpenuhi oleh organisasi kerja, sikap
positif rekan kerja terhadap organisasi kerja, dan tipe
kepemimpinan.
Berdasarkan beberapa faktor yang dikemukakan di atas, maka
dapat disimpulkan bahwa secara umum komitmen organisasi
dipengaruhi oleh faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal
adalah segala sesuatu yang berkaitan dengan individu (pegawai) dan
faktor eksternal berkaitan dengan lingkungan pekerjaan (organisasi)
tersebut. Dalam penelitian ini, penulis menggunakan faktor-faktor yang
32
memengaruhi komitmen organisasi yaitu, faktor internal meliputi:
kecerdasan emosional dan karakteristik personal (jenis kelamin), serta
kepuasan kerja sebagai faktor eksternal.
Ketiga faktor ini digunakan untuk mengetahui seberapa besar
pengaruh interaksinya terhadap komitmen pendeta bagi GPM, dengan
asumsi: (1). Dalam organisasi gereja, pendeta merupakan pegawai
organik yang dipekerjakan sesuai dengan profesinya untuk menjalankan
program - program pelayanan sesuai dengan visi, misi dan tujuan
organisasi. Dengan demikian, kepuasan kerja pendeta juga harus
mendapat perhatian dari gereja dengan mengakomodir berbagai
kebutuhan pendeta. (2). Sebagai pegawai yang memiliki karakteristik
yang pada umumnya berbeda dengan pegawai diperusahan, pendeta
harus mampu merefleksikan perilaku kerjanya berdasarkan pada nilai-
nilai ajaran gereja. Dengan demikian, kecerdasan emosional merupakan
faktor penting yang harus dimiliki oleh pendeta. (3). Dalam organisasi
gereja, baik pendeta laki-laki maupun perempuan memiliki peran dan
tanggungjawab yang sama untuk menjalankan program-program
pelayanan gereja sesuai dengan visi, misi, dan tujuan organisasi sebagai
manifestasi dari sikap komitmennya bagi organisasi
2.2 Kepuasan Kerja
2.2.1 Pengertian Kepuasan Kerja
Mengenai batasan atau definisi kepuasan kerja belum ada
keseragaman, walaupun demikian sebenarnya tidaklah terdapat
perbedaan yang prinsip dari padanya. Ada pendapat yang menyatakan
bahwa kepuasan kerja adalah: keadaan emosional yang menyenangkan
atau positif yang dihasilkan dari penilaian pekerjaan atau pengalaman
33
kerja seseorang. Pengertian kepuasan kerja ini ditegaskan oleh Locke
(dalam Nifadkar & Dongre, 2014, h.2), kepuasan kerja adalah: "A
pleasurable or positive emotional state resulting from the appraisal of
one's job or job experiences". Pengertian ini sejalan dengan Luthans
(2006) dengan memberikan definisi komprehensif dari kepuasan kerja
yang meliputi reaksi atau sikap kognitif, afektif, dan evaluatif dan
menyatakan kepuasan kerja adalah: keadaan emosi yang senang atau
emosi positif yang berasal dari penilaian pekerjaan atau pengalaman
kerja seseorang. Hal yang sama juga ditegaskan oleh Robbins dan Judge
(2008), kepuasan kerja sebagai suatu perasaan positif tentang pekerjaan
seseorang yang merupakan hasil dari sebuah evaluasi karakteristiknya.
Seseorang dengan tingkat kepuasan kerja yang tinggi memiliki
perasaan-perasaan positif tentang pekerjaan tersebut, sebaliknya
seseorang yang tidak puas memiliki perasaan-perasaan yang negatif
tentang pekerjaan tersebut.
Sementara itu, ada pernyataan bahwa kepuasan kerja adalah:
seperangkat perasaan yang menyenangkan atau tidak menyenangkan
serta emosi karyawan terhadap pekerjaan mereka. Ungkapan ini di
tegaskan oleh Newstrom (dalam Srivastava, 2013, h.159), kepuasan
kerja adalah: “A set of favourable or unfavourable feelings and emotions
with which employees view their work.” Kepuasan atau ketidakpuasan
dalam pekerjaan berkaitan dengan aspek-aspek pekerjaan yang disukai
atau tidak disukai. Hal tersebut sebagaimana ditegaskan oleh Spector
(dalam Potter, 2012, h.21), kepuasan kerja adalah: “Overall attitude of
the extent to which a job or facets of a job are liked or disliked”. Hal
yang sama juga diungkapkan oleh Howell dan Robert (Wijono, 2012),
kepuasan kerja sebagai hasil keseluruhan dari derajat rasa suka atau
tidak sukanya karyawan terhadap berbagai aspek dari pekerjaannya. Jika
34
karyawan bersikap positif terhadap pekerjaan yang dikerjakannya, maka
ia akan memperoleh perasaan puas terhadap apa yang dikerjakannya.
Sebaliknya, jika karyawan bersikap negatif (tidak suka), maka ia akan
merasa tidak puas terhadap apa yang dikerjakannya. Perasaan puas atau
tidak puas karyawan terhadap pekerjaannya memerlukan evaluasi secara
menyeluruh dari pekerjaannya, sebab kepuasan kerja adalah suatu
konstruk sikap yang mencerminkan evaluasi dari pekerjaannya.
Ungkapan ini ditegaskan oleh Ilies dan Judge (dalam Maheshwari &
Mehta, 2013, h.6) yang menegaskan bahwa kepuasan kerja karyawan
adalah:“An attitudinal construct reflecting one‟s evaluation of his or her
job”.
Berdasarkan konsep kepuasan dan ketidakpuasan kerja, Herzberg
(Thoha, 2009) menjelaskan bahwa kepuasan kerja berhubungan dengan
isi pekerjaan (job content) dan ketidakpuasan kerja selalu disebabkan
karena hubungan pekerjaan tersebut dengan aspek-aspek disekitar yang
berhubungan dengan konteks pekerjaan (job context). Menurut
Herzberg, kepuasan kerja disebut juga motivator yaitu kebutuhan
psikologis yang berhubungan dengan penghargaan terhadap individu
yang secara langsung berkaitan dengan pekerjaannya (elemen pekerjaan
itu sendiri) dan merupakan sumber kepuasan kerja, sedangkan
ketidakpuasan kerja disebut hygiene yaitu faktor-faktor yang
berhubungan ketidakpuasan kerja dan merupakan suatu faktor
ekstrinsik, yang berkaitan dengan keadaan pekerjaan. Hal ini kemudian
dikenal dengan nama teori dua faktor.
Dengan demikian, dari beberapa definisi yang dikemukakan di
atas, maka dapat disimpulkan bahwa kepuasan kerja adalah: suatu sikap
yang ditunjukan melalui keadaan emosional menyenangkan atau tidak
menyenangkan seseorang terhadap isi pekerjaan (job content) dan
35
konteks pekerjaan (job context) melalui evaluasi serta pengalaman
kerjanya.
2.2.2 Teori Kepuasan Kerja
Menurut Wexley dan Yukl (As‟ad, 1995), ada tiga macam teori
kepuasan kerja yang lazim di kenal yaitu; Discrepancy theory, Equity
theory, dan Two factor theory.
a. Teori kesesuaian (discrepancy theory)
Teori kesesuaian Locke (Siegel & Lane, 1982) menyatakan
bahwa kepuasan atau ketidakpuasan dengan beberapa aspek pekerjaan
mencerminkan pertimbangkan nilai ganda yaitu; pertama, kesesuaian
antara apa yang diinginkan seseorang dengan apa yang diterima, dan
kedua, apa pentingnya pekerjaan yang diinginkan oleh individu.
Kepuasan kerja secara keseluruhan bagi seorang individu adalah jumlah
dari masing-masing aspek kepuasan kerja dikalikan dengan pentingnya
aspek untuk orang tersebut. Menurut Locke seseorang individu akan
merasa puas atau tidak puas merupakan sesuatu yang pribadi, tergantung
bagaimana ia mempersepsikan adanya kesesuaian atau pertentangan
antara keinginan-keinginan dan hasil keluarannya.
b. Teori keadilan (equity theory)
Menurut As‟ad (1995), equity theory dikembangkan oleh Adams
(1963). Adapun pendahulu dari teori ini adalah Zaleznik (1958) dikutip
dari Locke (1969). Prinsip dari teori ini adalah bahwa orang akan
merasa puas atau tidak puas tergantung apakah ia merasakan adanya
keadilan atau tidak atas suatu situasi. Perasaan equity dan inequity atas
36
suatu situasi, diperoleh orang dengan cara membandingkan dirinya
dengan orang lain yang sekelas, sekantor maupun ditempat lain.
Lebih lanjut teori ini mengatakan setiap karyawan akan
membandingkan ratio input-out comes dirinya dengan ratio input-out
comes orang lain (comparison persons). Bila perbandingan itu dianggap
cukup adil (equity), maka ia akan merasa puas. Bila perbandingan itu
tidak seimbang tetapi menguntungkan (over compensation in equity),
bisa menimbulkan kepuasan tetapi bisa pula tidak. Namun bila
perbandingan itu tidak seimbang dan merugikan (under compensation
in-equity), akan timbul ketidakpuasan.
c. Teori dua faktor (two-factor theory)
Menurut Manisera.,et al (2005), Herzberg dalam teori dua faktor
menyatakan, kepuasan kerja dan ketidakpuasan kerja disebabkan oleh
sekumpulan faktor-faktor yang berbeda dan independen. Menurut
Herzberg, ketika seseorang merasa puas, maka kepuasaan mereka
dicirikan melalui pekerjaan itu sendiri. Sedangkan ketika seseorang
merasa tidak puas dengan pekerjaan, mereka menjadi tidak nyaman
dengan lingkungan di mana mereka bekerja. Faktor-faktor yang
menentukan kepuasan dan ketidakpuasan dalam pekerjaan dapat
dijelaskan sebagai berikut:
1. Faktor kepuasan kerja. Menurut Herzberg, faktor kepuasan kerja
disebut sebagai motivator atau intrinsik yang berhubungan
dengan isi pekerjaan (job content) yang meliputi: prestasi
(achievement), pengakuan (recognition), tanggungjawab
(responsibility), kemajuan (advancement), pekerjaan itu sendiri
(the work it self), dan kemungkinan berkembang (the possibility
37
of growth). Faktor-faktor ini diperlukan untuk perbaikan
substansial dan memotivasi seseorang untuk menunjukan kinerja
yang lebih tinggi. Jika kondisi tersebut tidak ada, maka akan
timbul asa ketidakpuasan yang berlebihan (Rowland, 2012).
2. Faktor ketidakpuasan kerja. Menurut Herzberg, faktor
ketidakpuasan kerja disebut sebagai hygiene (kesehatan) atau
ekstrinsik yang berada dalam lingkungan pekerjaan, yang
berhubungan dengan konteks pekerjaan (job context) yang
meliputi: upah/gaji, status, keamanan kerja, kondisi kerja,
kebijakan perusahaan, hubungan rekan kerja, dan pengawasan.
Menurut Herzberg, faktor-faktor ini ada untuk menjaga kepuasan
yang terjadi dan bersifat pencegahan terjadinya ketidakpuasan,
serta mendorong pegawai untuk tetap pada pekerjaannya.
Apabila faktor-faktor ini tidak terpenuhi, maka dapat membuat
ketidakpuasan pegawai, tetapi jika dipenuhi, tidak selalu
meningkatkan kepuasan. Ketidakpuasan kerja merupakan akibat
dari kondisi yang mengelilingi dimana pekerjaan dilakukan
(Rowland, 2012). Dengan demikian, kunci meningkatkan tingkat
kepuasan pegawai menurut teori dua faktor ini adalah dengan
memenuhi faktor hygience dan memaksimalkan motivator.
Dari berbagai teori kepuasan kerja yang dijelaskan di atas, maka
untuk kepentingan penelitian ini, penulis mengadaptasi teori dua faktor
(two-factor theory) dari Herzberg (Manisera.,et al, 2005 & Rowland,
2012). Teori ini menjelaskan bahwa kepuasan kerja selalu dihubungkan
dengan faktor motivator/isi pekerjaan (job content), sedangkan
ketidakpuasan kerja disebabkan karena hubungan pekerjaan tersebut
dengan aspek-aspek disekitar yang berhubungan dengan faktor hygiene
/konteks pekerjaan (job context).
38
Penggunaan teori kepuasan kerja tersebut disesuaikan dengan
tujuan penelitian, yaitu untuk menjelaskan kepuasan kerja pendeta GPM
melalui teori dua faktor tersebut. Alasannya bahwa pendeta sebagai
pegawai organik GPM akan meras puas dalam pekerjaannya apabila ia
mendapatkan apa yang dibutuhkannya. Semakin besar kebutuhan
pendeta terpenuhi, makin puas pula pendeta tersebut. Begitu pula
sebaliknya, makin sedikit kebutuhan pendeta yang terpenuhi, pendeta
tersebut akan merasa tidak puas dalam pekerjaan.
2.2.3 Aspek-Aspek Kepuasan Kerja
Colee (2013) dalam mengukur kepuasan kerja “Church Staff
Members‟ (Majelis Gereja) menggunakan job satisfaction survey (JSS)
berdasarkan sembilan aspek kepuasan kerja yang dikemukakan oleh
Spector (1997) antara lain:
1. Gaji/upah, didefinisikan sebagai kepuasan dengan kompensasi
finansial yang diterima untuk melakukan pekerjaan itu.
2. Promosi, didefinisikan sebagai kepuasan dengan kesempatan
untuk dipromosikan atau maju dalam pekerjaan.
3. Pengawasan, didefinisikan sebagai kepuasan dengan atasan
langsung, atau dalam hal ini, pendeta senior.
4. Tunjangan, didefinisikan sebagai kepuasan dengan manfaat
tambahan atau imbalan yang ditawarkan.
5. Upah tambahan/Bonus, didefinisikan sebagai kepuasan dengan
imbalan tambahan yang ditawarkan untuk kinerja yang baik.
6. Kondisi, didefinisikan sebagai kepuasan dengan aturan dan
prosedur dalam lingkungan kerja.
39
7. Rekan kerja, didefinisikan sebagai kepuasan dengan siapa yang
bekerja.
8. Sifat Kerja, didefinisikan sebagai kepuasan dengan sifat dari
pekerjaan itu sendiri.
9. Komunikasi, didefinisikan sebagai kepuasan dengan komunikasi
dalam organisasi.
Sementara itu, Dhespande (1996) dalam penelitiannya,
mengukur kepuasan kerja dengan Overall Job Satisfaction yang terdiri
atas lima aspek yakni; upah, promosi, kepuasan dengan rekan kerja,
kepuasan dengan pengawasan, dan kepuasan dengan pekerjaan itu
sendiri. Dalam penelitiannya, dijelaskan bahwa: 1). Upah adalah dimana
seseorang meyakini apa yang harus didapatkan; 2). Promosi mengukur
bagaimana perasaan karyawan tentang prosedur administrasi yang sesuai
dengan pemberian promosi. Berbagai faktor yang menciptakan kepuasan
dengan promosi adalah: frekuensi promosi, pentingnya promosi, dan
keinginan untuk promosi. 3). Kepuasan dengan rekan kerja. Kepuasan
dengan rekan kerja untuk melihat seberapa baik karyawan bergaul
dengan karyawan lainnya dan seberapa baik seorang karyawan melihat
ke sesama karyawannya. 4). Kepuasan dengan pengawasan, jika
pengawas dianggap memiliki kompeten dengan pekerjannya.
5). Kepuasan dengan pekerjaan itu sendiri, bagaimana perasaan
karyawan terhadap pekerjaannya, dan segi pekerjaan itu sendiri, yakni
peluang bagi kreativitas dan berbagai tugas, memungkinkan individu
untuk meningkatkan pengetahuannya, dan perubahan tanggung jawab,
jumlah pekerjaan, otonomi, job enrichment, dan kompleksitas pekerjaan.
Aspek-aspek yang digunakan oleh Desphane dalam
penelitiannya, juga digunakan oleh Koh dan Boo (2001) yang
mengembangkan pengukuran kepuasan kerja yang disebut Job
40
Satisfaction Questionnaire (JSQ) berdasarkan lima aspek kepuasan kerja
yang meliputi: kepuasan terhadap gaji, kepuasan terhadap promosi,
kepuasan terhadap rekan kerja, kepuasan terhadap supervisi/atasan, dan
kepuasan terhadap pekerjaan itu sendiri berdasarkan teori yang
dikemukakan oleh Herzberg. Penjelasan kelima aspek sebagai berikut:
1. Kepuasan terhadap gaji, berhubungan dengan gaji yang
diberikan organisasi dibandingkan dengan organisasi lainnya;
mempertimbangkan gaji dengan tanggungjawab dan tunjangan-
tunjangan yang memuaskan di tempat kerja.
2. Kepuasan terhadap promosi, berhubungan dasar atau sistem
promosi di tempat kerja dalam pekerjaannya dan tingkat karir
anggota yang bekerja dalam suatu organisasi.
3. Kepuasan terhadap rekan kerja, berhubungan dengan rekan kerja
dan kerja sama dari rekan kerja.
4. Kepuasan terhadap supervisi, berhubungan dengan dukungan
dari atasan; atasan yang berkompeten di bidangnya; sikap atasan
yang tidak mendengarkan pendapat orang lain; dan perlakuan
yang tidak adil oleh atasan.
5. Kepuasan terhadap pekerjaan itu sendiri, berkaitan dengan
perasaan anggota organisasi yang terkait dengan pekerjaan, rasa
senang dengan jumlah beban pekerjaan dan kirangnya prestasi
anggota dalam mengerjakan tugas dalam pekerjaan.
Dari berbagai aspek kepuasan kerja di atas, maka dalam
penelitian ini penulis menggunakan lima aspek kepuasan kerja yang
dikemukakan oleh Despane (1996), dan dikembangkan oleh Koh dan
Boo (2001). Alasannya, karena aspek-aspek tersebut diyakini memiliki
relevansi dengan karakteristik pekerjaan sebagai pendeta pada organisasi
GPM. Sebagai pegawai (pekerja gereja), kelima aspek kepuasan kerja
41
yang dikemukakan meliputi gaji yang diterima, promosi, rekan kerja,
supervisi/pengawasan, dan pekerjaan itu sendiri diyakini memiliki
pengaruh terhadap kepuasan kerja pendeta GPM. Dengan demikian,
kelima aspek ini akan digunakan penulis untuk mengukur kepuasan
kerja pendeta GPM yang merupakan subjek dari penelitian ini.
2.3 Kecerdasan Emosional
2.3.1 Pengertian Kecerdasan Emosional
Istilah “kecerdasan emosional” secara resmi dicetuskan oleh
psikolog Salovey dan Mayer (1990) yang menghasilkan teori dan
definisi komprehensif pertama mengenai kecerdasan sosial. Bermula
dari dasar teori emosi dan berbagai kecerdasan, maka kecerdasan
emosional didefinisikan sebagai subset kecerdasan sosial yang
mencakup kemampuan untuk memonitor perasaan dan emosi diri sendiri
dan orang lain, membedakan emosi dan perasaan, dan menggunakan
informasi tersebut untuk menuntun pemikiran dan tindakan seseorang.
Definisi kecerdasan emosional tersebut ditegaskan oleh Salovey dan
Mayer (1990, h.189), kecerdasan emosional adalah: “The subset of
social intelligence that involves the ability to monitor one‟s own and
other‟s feeling and emotions, to discriminate among them and to us this
information to quide one‟s thinking and actions”. Definisi ini sejalan
dengan Labbaf (2011, h.537) yang menyimpulkan pemahaman
mengenai kecerdasan emosional dengan menyatakan: “According to
them, emotional intelligence is the ability to monitor one‟s own and
others‟ emotions, to discriminate among them, and use the information
to guide one‟s thinking and actions.” Pendapat ini mengungkapkan
bahwa kecerdasan emosional merupakan kemampuan untuk memahami
42
emosi dirinya sendiri dan emosi orang lain untuk membedakannya dan
menggunakan informasi untuk mengarahkan pemikiran dan tindakan
seseorang.
Lebih lanjut, Mayer dan Salovey mendefinisikan kecerdasan
emosional sebagai kemampuan untuk mempersepsikan emosi, untuk
mengakses dan membangkitkan emosi sehingga dapat membantu pikiran
memahami emosi dan makna emosional, dan untuk merefleksikan
pengaturan emosi untuk mendorong emosi dan pikiran menjadi lebih
baik. Definisi ini ditegaskan oleh Mayer dan Salovey (dalam Oney,
2009, h.25), kecerdasan emosional adalah:“ability to perceive emotions,
to access and generate emotions so as to assist thought, to understand
emotions and emotional meanings, and to reflectively regulate emotions
so as to promote both better emotion and thought”. Pernyataan ini
kemudian didukung oleh Mayer, Salovey, dan Caruso, mendefinisikan
kecerdasan emosional adalah: kemampuan untuk memahami dan
mengekspresikan emosi, mengasimilasi emosi dalam pikiran,
memahami dan memberikan pertimbangan yang sehat dengan emosi,
dan mengatur emosi dalam diri dan orang lain. Ungkapan ini ditegaskan
oleh Mayer, Salovey, dan Caruso (dalam Gowing, 2001, h.85),
kecerdasan emosional adalah: “the ability to perceive and express
emotion, assimilate emotion in thought, understand and reason with
emotion, and regulate emotion in the self and others”.
Sementara itu, ada pernyataan yang menyatakan bahwa
kecerdasan emosional adalah: kemampuan memotivasi diri sendiri dan
bertahan dalam menghadapi frustrasi; untuk mengontrol impuls dan
menunda kepuasan; untuk mengatur suasana hati seseorang dan menjaga
tekanan dari hilangnya kemampuan untuk berpikir. Pengertian
kecerdasan emosional ini ditegaskan oleh Goleman (dalam Oney 2009,
43
h.25), kecerdasan emosional adalah:“being able to motivate oneself and
persist in the face of frustrations; to control impulse and delay
gratification; to regulate one‟s moods and keep distress from swamping
the ability to think”.
Selanjutnya, Goleman menyatakan bahwa kecerdasan emosional
mengarah pada kapasitas pengenalan perasaan diri sendiri dan orang
lain, kapasitas memotivasi diri sendiri dan kapasitas mengelola emosi
diri dengan baik dan dalam hubungan dengan orang lain. Penjelasan ini
di tegaskan oleh Goleman (dalam Labbaf 2011, h.532), “Emotional
intelligence „„refers to the capacity for recognizing our own feelings and
those of others, for motivating ourselves, and for managing emotions
well in ourselves and in our relationships”. Pengertian kecerdasan
emosional tersebut sejalan dengan pernyataan bahwa kecerdasan
emosional adalah: kemampuan seseorang mengetahui apa yang
dirasakan, dan mampu memotivasi diri untuk dapat melakukan tugas-
tugas dengan lebih baik. Kepekaan terhadap perasaan orang lain, dan
mampu menjalin hubungan yang lebih baik. Definisi ini diungkapkan
oleh Dulewicz dan Higgs (dalam John, 2011, h.436), “Emotional
intelligence is about knowing what you are feeling, and being able to
motivate yourself to get jobs done. It is sensing what others are feeling
and handling relationships effectively.”
Dalam satu kesempatan, Goleman (2007) dalam bukunya
“working with emotional intelligence” sebagaimana dikutip oleh
Bakumawa (2012), bahwa kecerdasan emosional adalah: kemampuan
mendengarkan emosi dengan baik dan menjadikan hal tersebut sebagai
sumber informasi penting untuk membangun efektivitas hubungan
intrapersonal dan interpersonal yang diekspresikan melalui kesadaran
diri, pengendalian diri, motivasi diri, empati dan keterampilan sosial.
44
Demikian halnya Covey (2005), menyatakan bahwa kecerdasan
emosional adalah: pengetahuan mengenai diri sendiri, kesadaran diri,
kepekaan sosial, empati, dan kemampuan untuk berkomunikasi dengan
baik dengan orang lain. Selanjutnya, Bar-on (Stein & Howard, 2002)
menjelaskan bahwa kecerdasan emosional merupakan serangkaian
kemampuan, kompetensi, dan kecakapan non kognitif yang
memengaruhi kemampuan seseorang untuk berhasil mengatasi tuntutan
dan tekanan lingkungan.
Sementara itu, ada pendapat yang mengungkapkan bahwa
kecerdasan emosional adalah: kemampuan untuk memahami, menerima
dan mengakui emosi dan perasaan kita sendiri, termasuk dampaknya
terhadap diri kita sendiri dan orang lain dan menggunakan pengetahuan
ini untuk meningkatkan perilaku serta untuk mengelola dan
meningkatkan hubungan kita dengan orang lain. Pendapat tersebut
diperjelas oleh Cartwright dan Solloway (2007, h.1), “Emotional
Intelligence is the ability to understand, accept and recognize our own
emotions and feelings, including their impact on ourselves and other
people and to use this knowledge to improve our own behaviours as well
as to manage and improve our relationship with others”.
Kishan dan Sebastian (2014) mendefinisikan kecerdasan
emosional adalah: kemampuan untuk secara efektif mempersepsikan,
mengungkapkan, memahami, dan mengelola emosi diri dan emosi orang
lain dengan cara yang positif dan produktif. Ada ungkapan yang
menyatakan bahwa kecerdasan emosional berkaitan dengan kapasitas
untuk melihat emosi, memahami informasi dari emosi dan
mengelolanya. Hal tersebut diperjelas oleh Marques (dalam John, 2011,
h.437), “Emotional intelligence is involved in that capacity to perceive
45
emotions, understand the information of those emotions and manage
them”.
Berdasarkan beberapa pengertian kecerdasan emosional yang
dikemukakan di atas, maka dapat disimpulkan bahwa kecerdasan
emosional adalah: kemampuan individu dalam mengelola emosi diri dan
emosi orang lain dengan cara yang positif dan produktif untuk
membangun hubungan intrapersonal dan interpersonal yang efektif di
tempat kerja, yang di implementasikan melalui kesadaran diri,
pengendalian diri, motivasi diri, empati, dan keterampilan sosial dalam
upaya melaksanakan program-progam pelayanan sesuai dengan visi,
misi dan tujuan organisasi.
2.3.2 Teori Kecerdasan Emosional
Dalam bidang Psikologi, akar teori kecerdasan emosional
setidaknya berawal dari gerakan pengujian kecerdasan. E. L. Thorndike
(1920), Profesor Psikologi Pendidikan di Columbia University Teachers
College, yang pertama kali mengidentifikasi aspek kecerdasan
emosional yang ia sebut sebagai kecerdasan sosial (social intelligence).
Menurut Thorndike (Goleman, 2001), kecerdasan sosial adalah:
kemampuan untuk memahami dan mengelola antara pria dan wanita,
anak-anak-untuk bertindak bijaksana dalam hubungan sesama manusia.
Lebih lanjut, Thorndike.,et al (Oney, 2009) menjelaskan, kecerdasan
sosial merupakan faktor yang dapat berkontribusi terhadap persepsi
keadaan internal tentang diri dan orang lain.
Pada tahun 1983, teori kecerdasan emosional menjadi bagian
dari pandangan Garner tentang multiple intelligence yang mencakup dua
jenis kecerdasan pribadi yaitu; kecerdasan interpersonal dan kecerdasan
46
intrapersonal. Salah satu aspek dari kecerdasan pribadi yang berkaitan
dengan perasaan dan cukup dekat dengan apa yang disebut sebagai
kecerdasan emosional (Salovey & Meyer, 1990; Goleman, 2001).
Kecerdasan interpersonal menunjukkan kemampuan seseorang untuk
memahami niat, motivasi, dan keinginan orang lain, dan konsekuensinya
dapat bekerja secara efektif dengan orang lain. Ungkapan ini ditegaskan
oleh Gardner (dalam Perez., et al, 2005, h.124), bahwa: “interpersonal
intelligence denotes a person‟s capacity to understand the intentions,
motivations, and desires of other people and, consequently, to work
effectively with others”. Sebaliknya, kecerdasan intrapersonal
melibatkan kemampuan untuk memahami diri sendiri, untuk memiliki
model kerja yang efektif dari diri termasuk keinginan sendiri, ketakutan,
dan kapasitas untuk menggunakan informasi tersebut secara efektif
dalam mengatur kehidupan diri seseorang. Ungkapan ini juga ditegaskan
oleh Gardner (dalam Perez.,et al, 2005, h.124), bahwa: “intrapersonal
intelligence involves the capacity to understand oneself, to have an
effective working model of oneself—including one‟s own desires, fears,
and capacities —and to use such information effectively in regulating
one‟s own life”.
Berdasarkan konsep kecerdasan Gardner, pada tahun 1990, Peter
Salovey dari Yale dan rekannya John Mayer dari University of New
Hampshire menerbitkan karya artikel "Emotional Intelligence." Artikel
ini kemudian menjadi teori kecerdasan emosional yang paling
berpengaruh dalam berbagai bentuk sekarang ini. Model asli Salovey
dan Mayer (1990), mengidentifikasi kecerdasan emosional sebagai
kemampuan untuk memantau perasaan dan emosi diri sendiri dan orang
lain, untuk membedakan antara mereka, dan menggunakan informasi ini
untuk membimbing pikiran dan tindakan seseorang. Definisi ini
47
ditegaskan oleh Salovey dan Mayer (dalam Aghdasi.,et al, 2011,
h.1966), kecerdasan emosional adalah:“ability to monitor one‟s own and
other‟s feelings and emotions, to discriminate among them, and to use
this information to guide one‟s thinking and action”. Lebih lanjut,
Schutte., et al (1997) menyatakan, teori kecerdasan emosional yang
dicetuskan oleh Salovey dan Meyer (1990) memiliki dasar pikir tentang
tiga aspek kemampuan adaptif kecerdasan emosional yang meliputi: 1).
Penilaian dan ekspresi emosi (appraisal and expression of emotion)
yang terdiri dari aspek penilaian dan ekspresi dalam diri dan orang lain.
Aspek penilaian dan ekspresi emosi dalam diri dibagi lagi ke dalam sub
aspek yaitu, verbal dan non-verbal, dan penerapan pada orang lain
dibagi menjadi sub aspek persepsi non verbal dan empati. 2). Regulasi
emosi (regulation of emotion) yang terdiri dari regulasi emosi dalam diri
dan orang lain, dan 3). Pemanfaatan emosi dalam pemecahan masalah
(utilization of emotions in solving problems) yang terdiri dari aspek-
aspek perencanaan yang fleksibel, berpikir kreatif, mengendalikan
suasana hati, dan motivasi emosi.
Pada tahun 1995, teori kecerdasan emosional dipopulerkan oleh
Goleman melalui bukunya “emotional intelligence” yang banyak
menyajikan hubungan penting kecerdasan emosional dan memperluas
konsep dengan memasukkan sejumlah keterampilan sosial dan
komunikasi tertentu yang dipengaruhi oleh pemahaman dan ekspresi
emosi (Schutte, 1997). Kecerdasan emosional didefinisikan sebagai
kemampuan memotivasi diri sendiri dan bertahan dalam menghadapi
frustrasi; untuk mengontrol impuls dan menunda kepuasan; untuk
mengatur suasana hati seseorang dan menjaga tekanan dari hilangnya
kemampuan untuk berpikir. Ungkapan ini ditegaskan oleh Goleman
(dalam Oney, 2009, h.25), kecerdasan emosional adalah:“being able to
48
motivate oneself and persist in the face of frustrations; to control
impulse and delay gratification; to regulate one‟s moods and keep
distress from swamping the ability to think”.
Selanjutnya pada tahun 1997, Cooper dan Sawaf (Goleman,
2001) menerbitkan buku populer "EQ Eksekutif" yang menguraikan
model kecerdasan emosional yang berhubungan dengan keterampilan
dan sifat khusus untuk empat aspek antara lain: 1). Keterampilan
emosional (emotional literacy), yang mencakup pengetahuan tentang
emosi diri dan fungsinya; 2). Ketahanan emosional (emotional fitness),
yang meliputi daya tahan emosional dan fleksibilitas; 3). Emosional
yang mendalam (emotional depth), yang melibatkan intensitas
emosional dan potensi untuk berkembang, dan 4). Alkimia emosional
(emosional alchemy), yang mencakup kemampuan untuk menggunakan
emosi untuk memicu kreativitas.
Dalam perkembangan teori kecerdasan emosional, Mayer dan
Salovey (1997) merumuskan model revisi kecerdasan emosional yang
memberikan penekanan lebih pada komponen kognitif dengan
mendefinisikan kecerdasan emosional sebagai kemampuan untuk
mempersepsikan emosi, untuk mengakses dan membangkitkan emosi
sehingga dapat membantu pikiran memahami emosi dan makna
emosional, dan untuk merefleksikan pengaturan emosi untuk mendorong
emosi dan pikiran menjadi lebih baik. Definisi ini ditegaskan oleh
Mayer dan Salovey (dalam Oney, 2009, h.25), kecerdasan emosional
adalah:“ability to perceive emotions, to access and generate emotions so
as to assist thought, to understand emotions and emotional meanings,
and to reflectively regulate emotions so as to promote both better
emotion and thought”. Selanjutnya, menurut Mayer dan Salovey
(Schutte.,et al, 1997), model yang direvisi terdiri dari empat kemampuan
49
kecerdasan emosional anatar lain; 1). Persepsi, penilaian dan ekspresi
emosi; 2). Fasilitasi emosional berpikir; 3). Pemahaman, menganalisis
dan menggunakan pengetahuan emosional, dan 4). Regulasi emosi untuk
pertumbuhan emosi dan intelektual lebih lanjut. Persepsi, penilaian dan
ekspresi emosi dipandang sebagai proses yang paling dasar, sedangkan
regulasi emosi membutuhkan proses yang paling kompleks. Penekanan
ini berfokus pada kemampuan mental yang spesifik untuk mengenali
dan mengatur emosi (misalnya, mengetahui apa yang seseorang rasakan
adalah kemampuan mental, sedangkan yang keluar dan yang ditunjukan
adalah perilaku).
Pada tahun 1998, dalam bukunya “Working with Emotional
Intelligence”, Goleman melakukan penyempurnaan pada model
kecerdasan emosional yang digunakan sebelumnya. Ia mengusulkan
teori kinerja yang dibangun di atas model dasar kecerdasan emosional,
beradaptasi untuk memprediksi efektivitas pribadi di tempat kerja dan
dalam kepemimpinan yang diwujudkan dalam kesuksesan kerja. Model
kecerdasan emosional Goleman (1998) berisi empat gagasan/konsep
kecerdasan emosional yang menonjol antara lain; (a) Kesadaran diri
(Self awareness) adalah: kemampuan untuk memahami diri sendiri,
sering disebut sebagai kecerdasan intrapersonal; (b) manajemen diri
(self-management) adalah: kemampuan untuk mengendalikan emosi dan
impuls seseorang dan beradaptasi dengan perubahan situasi; (c)
kesadaran sosial (social awareness) adalah: kecerdasan interpersonal
yang mencerminkan kemampuan untuk merasakan, memahami, dan
bereaksi terhadap emosi orang lain; dan (d) manajemen hubungan
(relationship management) adalah: kemampuan untuk menginspirasi,
mempengaruhi, dan mimbina orang lain untuk mengelola konflik (Oney,
2009; Goleman, 2001).
50
Sementara itu, Goleman (Labbaf, 2011; Goleman, 2001)
menyatakan bahwa kecerdasan emosional mengarah pada kapasitas
pengenalan perasaan diri sendiri dan orang lain, kapasitas memotivasi
diri sendiri dan kapasitas mengelola emosi diri dengan baik dan dalam
hubungan dengan orang lain. Hal ini kemudian diidentifikasi ke dalam
lima domain atau aspek kemampuan kecerdasan emosional yang terdiri
dari dua kompetensi antara lain; 1). Kompetensi pribadi (competencies
personal) yaitu, mengetahui dan mengelola emosi dalam diri yang
meliputi: Kesadaran Diri (self awareness), pengaturan diri (self
regulasi), dan Motivasi (motivation); 2). Kompetensi sosial (social
competencies) yaitu, mengetahui dan mengelola emosi orang lain yang
meliputi: Empati (empathy) dan keterampilan Sosial (social skill).
Pada suatu kesempatan, menurut Huges.,et al (2012), berbagai
teori kecerdasan emosional dapat dibagi menjadi dua model yaitu;
model kemampuan (ability model) dan model campuran (mixed model).
Model kemampuan berfokus pada bagimana emosi memengaruhi cara
para pemimpin berpikir, memutuskan, merencanakan, dan bertindak.
Model ini mendefinisikan kecerdasan emosional sebagai empat
kemampuan terpisah tapi berhubungan, yang meliputi: 1). Kemampuan
memahami diri sendiri dan emosi orang lain secara akurat; 2).
Kemampuan menghasilkan emosi untuk memfasilitasi pikiran dan
tindakan; 3). Kemampuan untuk secara akurat memahami penyebab
emosi dan makna yang mereka sampaikan; 4). Kemampuan mengatur
emosi seseorang. Sedangkan model campuran mendefinisikan
kecerdasan emosional tidak hanya mencakup kemampuan, tetapi juga
sejumlah atribut lain yang jauh lebih luas dan komprehensif.
Hal tersebut di atas juga diungkapkan oleh (Oney, 2009), bahwa
ada dua model kecerdasan emosional yang dominan yaitu model
51
campuran dari Bar-On dan model kemampuan dari Mayer, Salovey, dan
Caruso. Model campuran (mixed model) yang dikemukakan oleh Bar-On
dalam teorinya menyatakan bahwa kecerdasan emosional adalah: suatu
kesatuan kecakapan nonkognitif, kompetensi, dan keterampilan yang
mempengaruhi kemampuan seseorang untuk berhasil dalam mengatasi
tuntutan lingkungan dan tekanan. Pernyataan ini ditegaskan oleh Bar-On
(dalam Oney, 2009, h.25-26), kecerdasan emosional adalah:“an array of
noncognitive capabilities, competencies, and skills that influence one‟s
ability to succeed in coping with environmental demands and
pressures”. Kecerdasan emosional menurut Bar-on meliputi lima aspek
utama antara lain: 1). Intrapersonal, meliputi: penghargaan diri,
kesadaran diri emosional, ketegasan, kebebasan, dan aktualisasi diri;
2). Interpersonal, meliputi: empaty, tanggungjawab sosial, dan hubungan
interpersonal; 3). Adaptasi, meliputi: pengujian kenyataan, fleksibilitas,
dan pemecahan masalah; 4). Manajemen stress, meliputi: daya tahan
terhadap stress, dan Kontrol impuls; dan 5). Suasana hati secara umum,
meliputi: optimisme, dan kebahagiaan.
Dari berbagai teori kecerdasan emosional yang dijelaskan di atas,
maka untuk kepentingan penelitian ini, penulis mengadaptasi teori
kecerdasan emosional dari Goleman (1998) yaitu tentang teori kinerja
yang dibangun di atas model dasar kecerdasan emosional. Hal ini
penting sebab sebagai pegawai (pekerja gereja), pendeta harus memiliki
kecerdasan emosional yang baik untuk meningkatkan efektivitas pribadi
dan kepemimpinan di tempat kerja. Pendeta yang memiliki kecerdasan
emosional yang baik mencerminkan potensi dirinya dalam hal
keterampilan kesadaran diri (self-awareness), manajemen diri (self-
management), kesadaran sosial (social awareness), dan manajemen
52
hubungan (relationship management) yang diwujudkan dalam
kesuksesan kerja.
2.3.3 Aspek - Aspek Kecerdasan Emosional
Ada tiga aspek utama kecerdasan emosional menurut Salovey &
Mayer (1990) yaitu; 1). Penilaian dan ekspresi emosi (appraisal and
expression of emotion) yang terdiri dari aspek penilaian dan ekspresi
dalam diri dan orang lain. Aspek penilaian dan ekspresi emosi dalam
diri dibagi lagi ke dalam sub aspek yaitu, verbal dan non-verbal, dan
penerapan pada orang lain dibagi menjadi sub aspek persepsi non verbal
dan empati. 2). Regulasi emosi (regulation of emotion) yang terdiri dari
regulasi emosi dalam diri dan orang lain, dan 3). Pemanfaatan emosi
dalam pemecahan masalah (utilization of emotions in solving problems)
yang terdiri dari aspek-aspek perencanaan yang fleksibel, berpikir
kreatif, mengendalikan suasana hati, dan motivasi emosi (Schutte, et al,
1997).
Sementara itu, Goleman (Luthans, 2006) menyatakan bahwa
kecerdasan emosional meliputi lima aspek, antara lain:
1. Kesadaran diri, dengan karakteristik pemahaman diri;
pengetahuan tentang perasaan sebenarnya pada satu kejadian.
2. Manjemen diri, dengan karakteristik menangani emosi untuk
memudahkan, bukannya menghalangi tugas; tidak setuju dengan
emosi negatif dan kembali ke jalur konstruktif untuk
penyelesaiaan masalah.
3. Motivasi diri, dengan karakteristik tetap pada tujuan yang
diinginkan mengatasi impuls emosi negatif dan menunda
gratifikasi untuk memperoleh hasil yang diinginkan.
53
4. Empati, dengan karakteristiknya memahami dan sensitive
dengan perasaan orang lain; dapat merasakan apa yang dirasakan
dan diinginkan orang lain.
5. Keterampilan sosial, dengan karakteristiknya kemampuan
membaca situasi sosial, lancar dalam berinteraksi dengan orang
lain dan membentuk jaringan; dapat menuntun emosi dan
tindakan orang lain.
Hal yang sama juga diungkapkan oleh Robbins dan Judge
(2008), bahwa orang - orang yang mengenal emosi mereka sendiri dan
mampu dengan baik membaca emosi orang lain dapat menjadi lebih
efektif dalam pekerjaan mereka. Hal itu dapat dilakukan melalui lima
aspek kecerdasan emosional yakni; 1). Kesadaran diri; sadar atas apa
yang anda rasakan; 2). Manajemen diri; kemampuan mengelola emosi
dan dorongan-dorongan anda sendiri; 3). Motivasi diri; kemampuan
bertahan dalam menghadapi kemunduran dan kegagalan; 4). Empati;
kemampuan merasakan apa yang dirasakan orang lain; dan 5).
Keterampilan sosial; kemampuan menangani emosi-emosi orang lain.
Selanjutnya menurut Yukl (2005), kecerdasan emosional
meliputi empat aspek yang saling berhubungan, yakni:
1. Kesadaran diri merupakan pemahaman atas mood dan emosi
orang itu sendiri, bagaimana berubah seiring waktu, dan
implikasinya pada kinerja tugas dan hubungan antarpribadi.
2. Kemampuan untuk mengekspresikan perasaan seseorang secara
akurat kepada orang lain dengan bahasa dan komunikasi non
verbal.
3. Empati adalah kemampuan untuk mengenali mood dan emosi
pada orang lain dan memahami bagaimana hal itu bereaksi
terhadap emosi dan perilaku anda.
54
4. Pengaturan diri adalah kemampuan untuk menyalurkan emosi ke
dalam perilaku yang tepat untuk situasi itu, bukannya
memberikan respons dengan prilaku yang impulsif atau menarik
diri ke dalam sebuah keadaan depresi setelah mengalami
kekecewan.
Dalam pengembangan dan validasi ukuran baru, Tsaosis (2008)
dalam pengukurannya tentang Self-Repport kecerdasan emosional yang
disebut Greek Emotional Intelligence Scale (GEIS), dikembangkan
untuk mengukur sifat kecerdasan emosional yang terdiri dari empat
aspek keterampilan emosional berdasarkan teori Mayer dan Salovey
(1997), meliputi; ekspresi dan pengenalan emosi (expression and
recognition of emotion); mengelola emosi (control of emotions);
menggunakan emosi untuk memfasilitasi pikiran (use of emotion for
facilitating thinking); dan kepedulian dan empati (caring and empathy).
Penjelasannya sebagai berikut:
1. Ekspresi dan pengenalan emosi (expressioan & recognition of
emotions). Menggunakan hasrat diri yang paling dalam untuk
menggerakan dan menuntun menuju sasaran, membantu diri
dalam mengambil inisiatif dan bertindak sangat efektif, dan
untuk bertahan menghadapi kegagalan dan frustasi.
2. Mengelola emosi (control of emotions). Menangani emosi dalam
diri sedemikian rupa sehingga berdampak positif kepada
pelaksanaan tugas, peka terhadap kata hati dan sanggup menunda
kenikmatan sebelum tercapainya suatu sasaran, dan mampu pulih
kembali dari tekanan emosi.
3. Menggunakan emosi untuk memfasilitasi pikiran (use of
emotional for facilitating thinking). Mengetahui apa yang
55
dirasakan pada suatu dan menggunakannya untuk memandu
dalam pengambilan keputusan serta menjadi tolak ukur yang
realistis atas kemampuan dan kepercayaan diri yang kuat.
4. Kepedulian atau empati (caring & empathy). Merasakan apa
yang dirasakan oleh orang lain, mampu memahami perspektif
orang lain, menumbuhkan hubungan saling percaya dan
menyelaraskan diri dengan bermacam-macam orang.
Sementara itu, Wong dan Law (Libbrecht.,et al, 2010)
mengembangkan skala pengukuran tentang Self-Repport kecerdasan
emosional atau Wong Lau Emotional Intelligence Scale (WLEIS), yang
digunakan untuk penilaian diri dan orang lain. Skala kecerdasan
emosional ini didasarkan pada empat aspek dari definisi kecerdasan
emosional Davies., et al (1998) yaitu; 1). Penilaian emosi diri (self-
emotion appraisal), mengukur kemampuan individu untuk memahami
dan mengekspresikan emosi mereka sendiri; 2). Penilaian emosi orang
lain (others emotion appraisal), mengukur kemampuan seseorang untuk
merasakan dan memahami emosi orang lain; 3). Penggunaan Emosi (use
of emotion), menunjukkan kemampuan individu untuk menggunakan
emosi mereka secara efektif dengan mengarahkan pada kegiatan yang
konstruktif dan kinerja individu. 4). Pengaturan emosi (regulation of
emotion) mengacu pada kemampuan individu untuk mengelola emosi
mereka sendiri.
Lebih lanjut, Boyatzis, Goleman, dan Rhee (dalam Gowing,
2001) mengembangkan Emotional Competence Inventory (ECI) untuk
mengukur 20 kompetensi kecerdasan emosional berdasarkan empat
aspek kecerdasan emosional dari teori Goleman (1998) antara lain;
kesadaran diri (self-awareness); manajemen diri (self-management);
56
kesadaran sosial (social awareness), dan manajemen hubungan
(relationship management). Dalam perkembangan ECI, Sala (2002)
menyederhanakan pengukuran kompetensi kecerdasan emosional
menjadi 18 kompetensi berdasarkan empat aspek kecerdasan emosional
dari teori working with emotional intelligence Goleman (1998), antara
lain:
1. Self-Awareness (Kesadaran Diri) adalah: kemampuan untuk
memahami diri sendiri, preferensi, sumber informasi, dan intuisi.
Aspek kesadaran diri meliputi tiga kompetensi:
a. Kesadaran emosional (emotional awareness). Mengenali
emosi diri dan efeknya.
b. Akurat Penilaian Diri (accurate self-assesment). Mengetahui
kekuatan dan kelemahan diri.
c. Percaya Diri (self-confidance). Perasaan yang kuat tentang
harga diri dan kemampuan diri.
2. Self-Management (Manejemen Diri) adalah: kemampuan untuk
mengelola emosi dalam diri, impuls, dan sumber informasi.
Aspek manajemen diri meliputi enam kompetensi:
a. Pengaturan diri Emosional (Emotional Self-control).
Mengatur emosi dan mengurangi impuls yang menggangu.
b. Transparan (Transparency). Menjaga integritas, bertindak
sesuai dengan nilai-nilai diri.
c. Adaptasi (Adaptability). Fleksibel dalam menangangi sebuah
perubahan.
d. Prestasi (Achievement). Berusaha untuk meningkatkan atau
memenuhi standar keunggulan
e. Inisiatif (Initiative). Kesiapan untuk bertindak mendapatkan
peluang.
57
f. Optimis (Optimisme). Ketekunan dalam mengejar tujuan
walaupun rintangan dan hambatan.
3. Social Awareness (Kesadaran Sosial) adalah: kemampuan untuk
menangani hubungan dan kesadaran terhadap perasaan,
kebutuhan, dan kepentingan orang lain. Aspek kesadaran sosial
terdiri atas tiga kompetensi:
a. Empati (Empathy). Merasakan perasaan dan perspektif orang
lain, dan memberikan perhatian aktif dalam keprihatinan
mereka.
b. Kesadaran Organisasi (Organizational awareness).
Mempelajari situasi emosional kelompok dan hubungan
kekuasaan.
c. Orientasi Pelayanan (Service Orientation). Mengantisipasi,
mengenali, dan memenuhi kebutuhan pelanggan.
4. Relationship Management (Manejemen Hubungan) adalah:
kemampuan untuk menimbulkan respon yang di inginkan pada
orang lain. Dimensi manajemen hubungan terdiri atas enam
kompetensi:
a. Pengembangan orang lain (Developing others). Merasakan
kebutuhan untuk pengembangan diri orang lain, dan
memperkuat kemampuan mereka.
b. Kepemimpinan Inspirasional (Inspirational Leadership).
Menjadi inspirasi dan membimbing individu dan kelompok.
c. Katalis Perubahan (Change Catalyst). Inisitaif atau
mengelola perubahan.
d. Pengaruh (Influence.). Menggunakan taktik yang efektif
untuk mendapat kepercayaan.
58
e. Manajemen Konflik (Conflict Management). Negosiasi dan
menyelesaikan perselisihan.
f. Team Kerja dan Kolaborasi (Teamwork and Collaboration).
Menciptakan visi bersama dan sinergi dalam kerja sama tim,
bekerja dengan orang lain menuju tujuan bersama.
Dari berbagai aspek kecerdasan emosional di atas, maka dalam
penelitian ini penulis menggunakan empat aspek kecerdasan emosional
yang dikemukakan oleh Sala (2002) berdasarkan pengembangan dari
teori Golemen (1998). Alasannya, karena aspek-aspek tersebut sangat
relevan dengan karakteristik pekerjaan pendeta GPM. Pendeta sebagai
pegawai (pekerja gereja) harus memiliki kecerdasan emosional yang
baik untuk meningkatkan efektivitas pribadi dan kepemimpinan di
tempat kerja. Pendeta yang memiliki kecerdasan emosional yang baik
mencerminkan potensi dirinya dalam hal keterampilan kesadaran diri
(self-awareness), manajemen diri (self-management), kesadaran sosial
(social awareness), dan manajemen hubungan (relationship
management) yang diwujudkan dalam kesuksesan kerja. Hal ini
tentunya berimplikasi untuk meminimalisir perilaku yang tidak sesuai
dengan ketentuan dan aturan organisasi, sehingga akan berdampak
positif bagi efektifitas pelaksanaan program-program pelayanan gereja.
Dengan demikian, keempat aspek ini akan digunakan penulis untuk
mengukur kecerdasan emosional pendeta GPM yang merupakan subjek
dari penelitian ini.
59
2.4. Jenis Kelamin
2.4.1. Pengertian Jenis Kelamin
Menurut Wahab (2012), manusia sebagai makhluk ciptaan
Tuhan secara kodrat dibedakan menjadi dua jenis kelamin yaitu laki-laki
dan perempuan. Antara kedua jenis kelamin tersebut terdapat perbedaan
karakteristik khas yang dapat membedakan satu dengan yang lainnya,
baik ditinjau dari segi fisik maupun dari segi psikis. Jenis kelamin dalam
bahasa Inggris disebut dengan „sex‟. Sex berasal dari bahasa Latin
“secare” yang mempunyai arti membagi atau memisahkan. Hal ini
ditegaskan oleh Handayani dan Sugiarti (2002), bahwa seks adalah:
pembagian jenis kelamin yang ditentukan secara biologis melekat pada
jenis kelamin tertentu. Dengan demikian seks mengandung arti
perbedaan jenis kelamin antara laki-laki dan perempuan yang secara
biologis serta memiliki perbedaan dan ciri-ciri sendiri. Seks berarti
perbedaan laki-laki dan perempuan sebagai makhluk yang secara kodrati
memiliki fungsi organisme yang berbeda
Sementara itu, Sasongko (2009) menyatakan bahwa jenis
kelamin atau seks adalah: perbedaan jenis kelamin yang ditentukan
secara biologis. Seks melekat secara fisik sebagai alat reproduksi. Oleh
karena itu, seks merupakan kodrat atau ketentuan Tuhan sehingga
bersifat permanen dan universal. Definisi jenis kelamin kemudian
dipertegas oleh Badudu dan Zain (2001), jenis kelamin adalah:
pembedaan atas laki-laki dan perempuan atau jantan dan betina.
Pembedaan itu berdasarkan perbedaan biologis yang dibawa sejak lahir
dan mempunyai ciri-ciri diantaranya pada genital, bentuk tubuh, kepala,
payudara, pinggul, tangan dan kaki, rambut yang tampak. Seluruh
60
perbedaan yang ada menjadikan perempuan dan laki-laki berbeda satu
dengan yang lain dalam hal biologis maupun psikologis.
Dari beberapa definisi di atas, maka dapat disimpulkan bahwa
jenis kelamin (seks) dapat diartikan sebagai perbedaan antara laki-laki
dan perempuan yang secara biologis memiliki ciri-ciri tersendiri. Secara
kodrati, keduanya (perempuan & laki-laki) memiliki fungsi-fungsi
organisme yang berbeda. Jadi, secara umum jenis kelamin (seks)
digunakan untuk mengidentifikasi perbedaan laki-laki dan perempuan
dari segi anatomi biologis.
2.5. Hasil-Hasil Penelitian Sebelumnya
Komitmen pegawai terhadap organisasi merupakan salah satu
faktor penting dalam suatu organisasi. Semakin baik komitmen
organisasi pegawai maka efektifitas pelaksanaan tugas akan lebih
optimal. Tanpa komitmen yang baik dari pegawai, organisasi akan
mengalami kesulitan mencapai hasil yang maksimal. Komitmen yang
baik dari seorang pegawai terhadap organisasi mencerminkan besarnya
rasa tanggungjawab terhadap tugas-tugas yang diberikan kepadanya. Hal
ini dapat mendorong gairah kerja, semangat kerja dan mendukung
tercapainya tujuan organisasi. Dengan demikian, untuk meningkatkan
komitmen pegawai bagi organisasinya, maka perlu ditelusuri faktor-
faktor apa saja memiliki hubungan dengan peningkatan komitmen
organisasi pegawai. Oleh sebab itu, berbagai penelitian sebelumnya
telah menemukan hasil analisa bahwa, kepuasan kerja, kecerdasan
emosional, dan karakteristik personal (jenis kelamin) menjadi faktor
yang memiliki keterkaitan dengan komitmen organisasi.
61
2.5.1. Hubungan Kepuasan Kerja Dengan Komitmen Organisasi
Untuk mendorong agar pegawai memiliki komitmen yang baik,
maka organisasi perlu berupaya agar para pegawainya memiliki
kepuasan dalam bekerja. Artinya, kepuasan kerja merupakan salah satu
faktor penting yang memiliki keterkaitan terhadap peningkatan
komitmen organisasi.
Ada berbagai temuan yang dilakukan oleh para ahli dalam kaitan
dengan hubungan antara kepuasan kerja dan komitmen organisasi
diantaranya; penelitian Mohammed dan Eleswed (2013) terhadap 156
karyawan Bank Internasional Global di Manama, kerajaan Bahrain.
Hasil penelitian menyatakan bahwa ada hubungan yang positif
signifikan antara kepuasan kerja dengan komitmen organisasi
(r=0.669;p=0.00<0.05). Demikian juga, peneltian yang dilakukan oleh
Ravindranath.,et al (2014) terhadap 117 perawat di rumah sakit India.
Hasil penelitian menunjukan bahwa kepuasan kerja dan komitmen
organisasi perawat secara signifikan berhubungan satu sama lain dengan
koefisien korelasi sebesar 0.54 (p<0.05). Penelitian yang dilakukan oleh
Chan dan Qiu (2011) terhadap 213 buru migrant di kota Shishi, propinsi
Fujian, juga menunjukan hasil yang sama. Hasil penelitian menunjukan
bahwa ada hubungan yang signifikan antara kepuasan kerja dengan
komitmen organisasi dengan nilai koefisien korelasi (r=0.488;
p=0.000<0.01). Hal ini didukung oleh penelitian Azeem (2010),
terhadap 128 karyawan di Industri Jasa yang menemukan bahwa ada
hubungan yang positif signifikan antara kepuasan kerja dan komitmen
organisasi (r=0.56, p = 0.00<0.05).
Sementara itu, penelitian Srivastava (2013), terhadap 247
manajer tingkat menengah milik organisasi sektor swasta. Berdasarkan
62
hasil Korelasi Pearson Product Moment ditemukan bahwa kepuasan
kerja memiliki hubungan positif yang signifikan dengan Komitmen
Organisasi (r=0.72; p<0.01). Demikian juga penelitian dari Al-Aameri
(2000), terhadap 400 perawat di sejumlah rumah sakit di kota Riyadh.
Hasil penelitian menunjukan bahwa, kepuasan kerja berkorelasi positif
signifikan dengan komitmen organisasi dengan koefisien korelasi 0.59
(p<0.01). Penelitian dari Xiao.,et al (2012), terhadap 191 pekerja kerah
putih di perusahan otomotif Jerman di Cina, Shanghai menunjukan
bahwa, ketiga aspek kepuasan kerja (otonomi pekerjaan, kepuasan
penghargaan, dan kepuasan gaji) memiliki hubungan yang signifikan
dengan komitmen organisasi karyawan dengan koefisien korelasi;
koefisien korelasi aspek otonomi pekerjaan sebesar (r=0.543, p<0.01);
kepuasan gaji (r=0.438, p<0.01), dan kepuasan penghargaan (r=0.360.
p<0.01). Temuan ini menunjukkan bahwa karyawan dengan tingkat
kepuasan kerja yang tinggi (tentang otonomi pekerjaan, kepuasan
penghargaan, dan kepuasan gaji) lebih berkomitmen untuk organisasi
mereka. Adanya hubungan antara kepuasan kerja dan komitmen
organisasi mengindikasikan bahwa pegawai akan berkomitmen bagi
organisasi apabila organisasi tersebut dapat mengakomodir apa yang
menjadi kebutuhan pegawai tersebut. Jika kebutuhannya dapat
terpenuhi, maka pegawai akan memperoleh kepuasan dalam bekerja
sehingga menjadi daya dorong untuk tetap berkomitmen bagi organisasi
tersebut. Semakin pegawai merasa puas dalam pekerjaannya, maka
tingkat komitmen pegawai bagi organisasi tersebut akan semakin tinggi.
Demikian halnya, apabila pegawai mengalami ketidakpuasan dalam
pekerjaannya, maka komitmen pegawai bagi organisasi akan semakin
rendah, sehingga berdampak pada kinerja dan produktifitas suatu
organisasi.
63
Sebaliknya, ada beberapa hasil penelitian yang ditemukan
berbeda oleh para peneliti sebelumnya. Penelitian yang dilakukan oleh
Tat dan Rasli (2001), terhadap 103 pegawai di salah satu perguruan
tinggi negeri-Malaysia, menunjukan hasil yang beragam antara aspek
kepuasan kerja (desain pekerjaan, gaji, kesejahteraan, dan manajemen)
dengan tiga komponen komitmen organisasi (afektif, kontinyu dan
normatif). Hasil menunjukkan, ada hubungan lemah yang signifikan
antara aspek kepuasan kerja (desain kerja) dan komitmen afektif
(β=0.21, p<0.05), sedangkan aspek gaji dan kesejahteraan tidak ada
hubungan yang signifikan dengan komitmen afektif. Selain itu,
ditemukan hasil bahwa semua aspek kepuasan kerja tidak berhubungan
secara signifikan dengan komitmen berkelanjutan dan komitmen
normatif. Sementara itu, penelitian dari Suki dan Suki (2011), terhadap
112 pegawai sektor industri di Labuana menemukan hasil bahwa,
kepuasan kerja dan komitmen organisasi memiliki korelasi yang lemah
(tidak kuat) dengan r = 0.575 pada tingkat kepercayaan 90%.
Sedangkan, penelitian Curry.,et al (Malik.,et al, 2010); Mukhyi (Sijabat,
2011); dan William; Mathieu (Muhadi, 2007); Draper, Halliday, Jowett,
Normand, dan O'Brien, (Aghdasi.,et al, 2011) menunjukan, tidak ada
hubungan yang signifikan antara kepuasan kerja dengan komitmen
organisasi. Hal ini mengindikasikan bahwa pada karakteristik organisasi
tertentu, komitmen organisasi tidak selalu berhubungan dengan seberapa
puas atau tidak puas pegawai tersebut dalam pekerjaanya. Orientasi
pegawai terhadap pekerjaan yang dilakukan dalam suatu organisasi tidak
menempatkan aspek-aspek kepuasan kerja sebagai hal yang utama.
Artinya, kepuasan kerja bukan menjadi sebuah hal yang mutlak bagi
pegawai untuk berkomitmen bagi organisasi tersebut.
64
2.5.2. Hubungan Kecerdasan Emosional Dengan Komitmen
Organisasi
Selain kepuasan kerja, beberapa peneliti sebelumnya juga telah
melakukan penelitian terhadap keterkaitan antara kecerdasan emosional
dengan komitmen organisasi. Semakin tinggi kecerdasan emosional
seorang pegawai maka semakin tinggi komitmen pegawai terhadap
organisasi. Pernyataan ini didukung oleh penelitian Sarboland (2012),
terhadap 320 karyawan pada 19 kantor pajak di propinsi Ardebil.
Berdasarkan analisis korelasi pearson diperoleh hasil bahwa ada
hubungan yang signifikan antara kecerdasan emosional dengan
komitmen organisasi (Sig = 0.012<0.05). Demikian halnya penelitian
yang dilakukan oleh Aghabozorgi.,et al (2014), terhadap 175 perawat
rumah sakit umum di Sanandaj. Hasil menunjukan, kecerdasan
emosional memiliki hubungan yang positif dengan komitmen organisasi
perawat RSU Sanandaj (r = 0.76). Korelasi signifikan pada 0,05 dari
tingkat alpha. Sementara itu, penelitian Antony (2013), terhadap 115
pekerja eksekutif di FCI OEN Konektor Cochin, Kerala menunjukan,
ada hubungan positif kecerdasan emosional dengan komitmen organisasi
sebesar 0.39 (p<0.05). Hasil penelitian yang sama juga ditemukan oleh
Sani dan Ghorbani (2012), terhadap 147 pegawai keuangan dan kredit di
Salehieen Institut Iran Timur. Hasil menunjukan, ada hubungan antara
kecerdasan emosional dan komitmen organisasi pegawai nilai koefisien
korelasi sebesar 0,429 (p<0.05). Demikian hal juga penelitian
Amoozadeh., et al (2013), terhadap 200 karyawan bank dan lembaga
keuangan kota Darrehshahr. Hasil menunjukan bahwa ada hubungan
yang positif dan signifikan antara kecerdasan emosional dan komitmen
organisasi (beta=0.459, t=5,110, p=0.000 < 0.05). Dengan demikian,
65
semakin tinggi kecerdasan emosional seorang pegawai, maka semakin
tinggi pula komitmennya terhadap organisasi tersebut.
Berbeda dengan hasil penelitian di atas, beberapa penelitian
sebelumnya menemukan hasil yang berbeda antara lain: Beri dan Beri
(2014) dalam penelitiannya terhadap 300 guru pemerintah dan swasta di
30 Sekolah Menengah Atas di kabupaten Jammu menemukan hasil
bahwa tidak ada hubungan yang signifikan antara kecerdasan emosi dan
komitmen organisasi (r= - 0.01; p<0.05). Demikian juga penelitian yang
dilakukan oleh Aghdasi.,et al (2011), terhadap 234 karyawan pada
sebuah organisasi di Iran. Hasil penelitian menunjukan bahwa
kecerdasan emosional tidak memiliki efek langsung terhadap komitmen
organisasi. (β = 0.14, t = 1.79) pada tingkat sig. 0.05. Hasil temuan ini
didukung oleh Efendi dan Sutanto (2013); Wong dan Law; dan
Guleryus., et al (Aghdasi, 2011). Hasil temuan ini mengindikasikan
bahwa komitmen organisasi tidak selalu memiliki hubungan dengan
kemampuan pegawai mengelola emosinya dalam lingkungan pekerjaan.
Artinya, pegawai yang cerdas emosi belum tentu memiliki komitmen
orgaisasi yang tinggi. Demikian juga, pegawai yang kecerdasan emosi
rendah belum tentu komitmen organisasinya juga rendah. Komitmen
organisasi bukan disebabkan oleh seberapa cerdasnya pegawai
mengelola emosinya.
2.5.3. Kepuasan Kerja Dan Kecerdasan Emosional Dengan
Komitmen Organisasi
Penelitian Akomolafe dan Olatomide (2013), terhadap 220 guru
sekolah menengah di Ekiti State-Nigeria. Berdasarkan hasil uji korelasi
regresi ditemukan nilai R sebesar 0.64, menunjukan adanya pengaruh
kepuasan kerja dan kecerdasan emosional terhadap komitmen organisasi
66
dengan koefisien determinasi (R²) sebesar 0.55. Hal ini menunjukkan
bahwa variabel kepuasan kerja dan kecerdasan emosional memberikan
pengaruh terhadap perubahan variabel komitmen oganisasi sebesar 55%,
sedangkan sisanya 45% dipengaruhi oleh variabel lain. Hasil analisis
regresi berganda menunjukkan bahwa kepuasan kerja dan kecerdasan
emosional secara signifikan berpengaruh terhadap komitmen organisasi
guru [F (2.217) = 44.74; P<0.05]. Temuan ini mengindikasikan bahwa
kombinasi dari variabel independen (kepuasan kerja dan kecerdasan
emosional) yang efektif dalam memprediksi komitmen organisasi guru
dan itu tidak bisa terjadi secara kebetulan. Berdasarkan besarnya nilai
koefisien korelasi berganda (0.64) dan multiple R Square (0.55) bisa
disimpulkan bahwa 55% dari total varians dalam komitmen organisasi
guru dipertanggungjawabkan dengan kombinasi linear dari variabel
independen.
2.5.4. Pengaruh Interaksi Kepuasan Kerja Dan Jenis Kelamin
Terhadap Komitmen Organisasi
Dalam kaitan dengan pengaruh interaksi kepuasan kerja dan
jenis kelamin terhadap komitmen organisasi, beberapa peneliti
menemukan hasil yang berbeda. Penelitian dari Nifadkar dan Dongre
(2014), terhadap 52 staf pengajar di Universitas, Pune-India,
menemukan hasil bahwa kepuasan kerja memiliki pengaruh yang
signifikan terhadap komitmen organisasi (β = 0,371, t= 2,615, p<0.013),
namun tidak ada perbedaan yang signifikan antara jenis kelamin dengan
komitmen organisasi (β= -0,088, t= -0,592, p<0.558). Hasil penelitian
ini didukung oleh Eftekhri dan Sadegh (2013), terhadap 183 orang ahli
penyuluhan pertanian di propinsi Guilan. Hasil penelitian menunjukan,
kepuasan kerja memiliki pengaruh yang signifikan dengan komitmen
67
organisasi, namun tidak ada perbedaan yang signifikan antara kepuasan
kerja laki-laki dan perempuan terhadap komitmen organisasi (t= 0.838;
sig= 0.403 ≥ 0.01).
Demikian juga penelitian dari Salami (2008), terhadap 320
karyawan organisasi layanan dan manufaktur di Oyo, Nigeria. Hasil
penelitian menunjukan, kepuasan kerja secara signifikan memiliki
pengaruh terhadap komitmen organisasi (R2= 03, β= 0.24,F = 5.20,
p<0.05). Namun demikian, jenis kelamin tidak memiliki pengaruh yang
signifikan terhadap komitmen organisasi (β=0.03; t= 0.60, p<0.05).
Artinya, semakin tinggi tingkat kepuasan kerja pegawai laki-laki dan
perempuan, semakin tinggi tingkat komitmen organisasi. Temuan ini
mengindikasikan bahwa pegawai laki-laki dan perempuan memiliki
kepuasan kerja yang sama, sehingga dalam melakukan pekerjaan dapat
memberikan yang terbaik dengan ditunjukan melalui komitmen bagi
organisasi. Oleh karena itu, organisasi perlu mengakomodir apa yang
menjadi kebutuhan setiap pegawai untuk meningkatkan komitmen
terhadap organisasi tanpa harus ada diskriminasi.
Sebaliknya, hasil penelitian yang berbeda ditemukan oleh
Pala., et al (2008), terhadap 473 petugas kesehatan di Bursa-Turky.
Hasil menunjukan, ada hubungan yang positif signifikan antara
kepuasan kerja dengan komitmen organisasi staf perawat kesehatan
0.485 (p<0.01). Disamping itu, ditemukan juga bahwa jenis kelamin
memiliki hubungan dengan komitmen organisasi. Temuan ini
mengindikasikan bahwa ada perbedaan tingkat kepuasan kerja pegawai
laki-laki dan perempuan terhadap komitmen mereka bagi organisasi.
Artinya, baik laki-laki maupun perempuan akan lebih berkomitmen bagi
organisasi apabila keinginan mereka dapat diakomodir sesuai dengan
kebutuhan masing-masing.
68
2.5.5. Pengaruh Interaksi Kecerdasan Emosional Dan Jenis
Kelamin Terhadap Komitmen Organisasi
Dalam kaitan dengan pengaruh interaksi kecerdasan emosional
dan jenis kelamin terhadap komitmen organisasi, beberapa peneliti
menemukan hasil diantaranya; Franzway; Singh dan Vinnicombe (dalam
Fisher.,et al, 2004), menyatakan bahwa ada hubungan antara jenis
kelamin, emosi dan komitmen organisasi. Dalam konteks organisasi,
perempuan cenderung mengalami emosi yang berbeda dengan laki-laki
dalam kaitan dengan komitmen organisasi. Terhadap perbedaan ini,
perempuan cenderung menampilkan perubahan emosi dalam
tindakannya sehingga sering diartikan sebagai kurangnya komitmen.
Lebih lanjut Singh dan Vinnicombe mengatakan bahwa dalam kerja,
wanita dianggap memiliki tingkat komitmen organisasi lebih rendah dari
daripada laki-laki. Penelitian mereka menunjukkan bahwa komitmen
perempuan terlibat pertimbangan emosional yang berbeda dengan laki-
laki.
Sebaliknya, hasil penelitian berbeda ditemukan oleh Beri dan
Beri (2014), dalam penelitiannya terhadap 300 guru pemerintah dan
swasta di 30 Sekolah Menengah Atas di kabupaten Jammu, menemukah
hasil bahwa kecerdasan emosional tidak memiliki hubungan yang
signifikan dengan komitmen organisasi (r= -0.01; p<0.05), dan tidak ada
perbedaan yang signifikan dalam kecerdasan emosional antara guru laki-
laki dan perempuan, dengan t-nilai adalah 0,141 yang tidak signifikan
pada 0,05 dan 0,01. Demikian juga penelitian Sani dan Ghorbani (2012),
terhadap 147 personil keuangan dan kredit di Salehieen Institut-Iran
Timur. Hasil menunjukan bahwa tingkat kecerdasan emosional antara
laki-laki dan perempuan tidak menunjukan adanya perbedaan terhadap
komitmen organisasi dengan hasil uji t= 0.263 (p<0.05). Hasil temuan
69
ini didukung oleh penelitian dari Aghdasi., et al (2012); Efendi dan
Sutanto (2013; dan Wong dan Law; Guleryuz (Aghdasi, 2011). Temuan
ini mengindikasikan bahwa kecerdasan emosional dan jenis kelamin
tidak memiliki pengaruh yang signifikan terhadap komitmen organisasi.
Artinya, pegawai laki-laki dan perempuan memiliki kecerdasan
emosional yang sama, sehingga dalam melakukan pekerjaan dapat
memberikan yang terbaik dengan ditunjukan melalui adanya komitmen
bagi organisasi.
2.5.6. Perbedaan Komitmen Organisasi Ditinjau Dari Jenis
Kelamin
Salah satu faktor demografi yang diteliti oleh beberapa penelitian
sebelumnya dalam kaitan dengan komitmen organisasi adalah jenis
kelamin. Penelitian Pala.,et al (2008), terhadap 473 petugas kesehatan di
Bursa-Turky. Hasil penelitian menunjukan bahwa ada perbedaan tingkat
komitmen organisasi antara laki-laki dan perempuan. Penelitian Shoaib.,
et al (2013), terhadap 371 karyawan sektor perbankan di Pakistan
menemukan, ada perbedaan antara laki-laki dan perempuan mengenai
persepsi komitmen terhadap organisasi. Karyawan perempuan lebih
memiliki komitmen afektif dari pada laki-laki dengan nilai rata-rata
sebesar 2.54 dan laki-laki sebesar 2.46 (t= -0.3041; sig= 0.002),
sedangkan karyawan laki-laki lebih cenderung memiliki komitmen
normatif dibandingkan perempuan dengan nilai rata-rata 2.32 dan
perempuan sebesar 2.14 (t= 2.68; sig= 0.008). Sementara itu, persepsi
tentang komitmen kontinyu antara laki-laki dan perempuan kurang lebih
sama dengan nilai rata-rata untuk laki-laki 2.38 dan perempuan 2.40 (t=
-1.803; sig= 0.07). Hasil temuan ini didukung oleh Celik (2008),
terhadap 233 staf kantor pajak di Mersin-Turky. Hasil uji Man-Whitney
70
U menunjukan, ada perbedaan yang signifikan antara karyawan laki-laki
dan perempuan terhadap komitmen normatif (p=0.06<0.05). Komitmen
normatif karyawan laki-laki rata-rata lebih tinggi dari karyawan
perempuan. Selain itu, ada perbedaan yang signifikan antara karyawan
laki-laki dan perempuan terhadap komitmen afektif (p=0.014<0.05).
Komitmen afektif karyawan perempuan rata-rata lebih tinggi dari
karyawan laki-laki, sedangkan untuk komitmen kontinyu, tidak ada
perbedaan yang signifikan antara laki-laki dan perempuan (p=0.288 >
0.05). Penelitiann Leow (2011), terhadap 961 tenaga kerja eksekutif dan
non eksekutif pada industri dagang di lembah Klang-Malaysia.
Berdasarkan koefisien regresi untuk jenis kelamin ditemukan signifikan
(β= -0.236, p<0.01). Namun demikian, koefisien negatif menunjukkan
bahwa komitmen karyawan laki-laki lebih tinggi dibandingkan dengan
karyawan perempuan. Dalam hal ini, aspek emosi memiliki peran
penting antara laki-laki dan perempuan. Hal ini sebagaimana dinyatakan
oleh Franzway.,et al (Fisher.,et al, 2004), bahwa dalam konteks
organisasi, perempuan cenderung mengalami emosi yang berbeda
dengan laki-laki dalam kaitan dengan komitmen organisasi.
Hasil penelitian yang berbeda ditemukan oleh Suki dan Suki
(2011), pada pegawai sektor industri bahwa tidak terdapat hubungan
signifikan jenis kelamin dengan komitmen organisasi dengan tingkat
signifikan sebesar (p=0.273>0.05). Temuan yang sama juga
diperlihatkan oleh Salami (2008), terhadap 320 karyawan organisasi
layanan manufaktur di Oyo, Nigeria memperlihatkan, jenis kelamin
tidak memiliki pengaruh yang signifikan terhadap komitmen organisasi
(β= 0.03; t= 0.60, p<0.05). Demikian juga penelitian Alshitri (2013),
terhadap karyawan pada organisasi publik di Arab Saudi. Hasil
penelitian menunjukan, tidak ada pebedaan yang signifikan komitmen
71
organisasi antara karyawan laki-laki dan perempuan (F=0.043;
p=0.837>0.05). Hasil temuan ini didukung oleh Sani dan Ghorbani
(2012), terhadap 147 personil keuangan dan kredit di Salehieen Institut-
Iran Timur. Berdasarkan hasil uji t diperoleh tingkat signifikan sebesar
(p= 0.184>0.05) yang berarti bahwa tidak ada perbedaan komitmen
organisasi antara laki- laki dan perempuan. Hal ini berarti bahwa,
tingkat komitmen terhadap organisasi antara laki-laki dan perempuan
tidak menunjukan adanya perbedaan. Perempuan dan laki-laki memiliki
sikap yang sama dalam menyatakan komitmennya terhadap organisasi
dimana mereka dipekerjakan.
2.6. Model Penelitian
Berdasarkan hasil-hasil penelitian sebelumnya, maka model
penelitian yang dikembangkan dalam penelitian ini sebagai berikut:
Gambar 1.1
Model Penelitian
Keterangan:
X1 : Kepuasan kerja
X2 : Kecerdasan emosional
X3 : Jenis Kelamin
Y : Komitmen organisasi.
KEPUASAN KERJA
KECERDASAN
EMOSIONAL JENIS KELAMIN
KOMITMEN
ORGANISASI
72
2.7. Hipotesis
Berdasarkan hasil penelitian sebelumnya dan model penelitian
yang ada, maka hipotesis dalam penelitian ini adalah:
1. Ada hubungan signifikan antara kepuasan kerja dan kecerdasan
emosional dengan komitmen pendeta bagi GPM
2. Ada pengaruh interaksi kepuasan kerja dan jenis kelamin terhadap
komitmen pendeta bagi GPM
3. Ada pengaruh interaksi kecerdasan emosional dan jenis kelamin
terhadap komitmen pendeta bagi GPM
4. Ada perbedaan signifikan komitmen pendeta bagi GPM ditinjau dari
jenis kelamin.