BAB II TINJAUAN PUSTAKA II.pdf9 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Disuse atrofi otot pada stroke non...
Transcript of BAB II TINJAUAN PUSTAKA II.pdf9 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Disuse atrofi otot pada stroke non...
9
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Disuse atrofi otot pada stroke non hemoragik
1. Pengertian
Disuse atrofi otot menunjukkan adanya penciutan ukuran sel akibat
kurang aktif, terputusnya saraf, pengurangan aliran darah, kekurangan
nutrisi, atau hilangnya rangsangan hormonal (Tambayong, 2000)
Disuse atrofi otot merupakan tidak berkontraksinya serabut-serabut
otot dalam waktu yang cukup lama sehingga perlahan-lahan akan mengecil
(atrofi), dimana terjadi perubahan perbandingan antara serabut otot dan
jaringan fibrosa (Guyton, 2007)
Stroke non hemoragik adalah adanya proses pembekuan darah yang
dapat menghambat aliran pembuluh darah sehingga bekuan tersebut
memperlambat hingga menghentikan aliran darah, yang disebut dengan
iskemik (National Stroke Association)
Dari pengertian di atas, peneliti menarik kesimpulan pengertian dari
disuse atrofi otot pada pasien stroke non hemoragik adalah adanya
penciutan ukuran sel akibat imobilisasi yang terlalu lama sehingga
menurunkan fungsi kontraksi otot-otot tersebut yang disebabkan oleh efek
hemiparesis pada stroke non hemoragik.
10
2. Konsep Stroke Non Hemoragik
Stroke non hemoragik atau stroke iskemik merupakan salah gangguan
aliran darah otak yang disebabkan oleh ostruksi akibat bekuan (trombus)
yang terbentuk di dalam pembuluh darah otak atau pembuluh darah pada
bagian distal. Sumbatan aliran di arteria karotis interna sering merupakan
penyebab stroke pada orang berusia lanjut yang sering mengalami
pembentukan plak aterosklerotik di pembuluh darah sehingga terjadi
penyempitan atau stenosis. Pangkal arteria karotis interna merupakan
tempat tersering terbentuknya aterosklerotik (Price, 2005).
Pada sistem vaskularisasi, darah akan terdorong akibat dari gradien
tekanan tetapi pada pembuluh darah yang menyempit, aliran darah akan
mengalir lebih cepat melalui lumen yang lebih kecil. Semakin cepat aliran
darah tersebut maka akan menurunkan gradien tekanan di tempat
konstriksi tersebut. Apabila stenosis mencapai suatu tingkat kritis, maka
meningkatnya turbulensi di sekitar penyumbatan akan menyebabkan
penurunan tajam kecepatan aliran darah (Price, 2005).
Stroke non hemoragik pada dasarnya disebabkan oleh oklusi pembuluh
darah otak yang kemudian menyebabkan terhentinya pasokan oksigen dan
glukosa ke otak. Stroke jenis ini merupakan stroke yang paling sering
terjadi, sekitar 80% dari semua stroke. Stroke non hemoragik sering
diakibatkan oleh trombosis plak aterosklerosis arteri otak atau emboli dari
pembuluh darah lain yang menyebabkan terhentinya aliran darah otak,
11
antara lain syok atau hipovolemia dan berbagai penyakit lain (Sudoyo,
2006).
Menurut Price, (2005), stroke non hemoragik diklasifikasikan
berdasarkan penyebabnya, yaitu :
a. Stroke Lakunar
Stroke lakunar terjadi karena penyakit pembuluh halus hipertensif
dan menyebabkan sindrom stroke yang biasanya muncul dalam
beberapa jam atau kadang-kadang lebih lama. Stroke lakunar
merupakan stroke yang terjadi setelah oklusi aterotrombotik atau hialin
lipid salah satu dari cabang-cabang penetrans sirkulus Willisi, arteria
serebri media, atau arteria vertebralis dan basilaris (Smith et al., 2001).
Thrombosis yang terjadi di dalam pembuluh darah menyebabkan
daerah-daerah infark yang kecil, lunak, dan disebut lakuna.
Perubahan-perubahan pada pembuluh darah ini hampir selalu
disebabkan oleh disfungsi endotel karena penyakit hipertensi persisten
(Smith, 2001). Pasien dengan stroke lakunar umumnya berusia lebih
tua, memiliki kadar kolesterol lebih tinggi, dan mengidap diabetes
dibandingkan dengan mereka yang mengalami perdarahan
intraserebrum (Labovitz, 2001). Terdapat empat sindrom lakunar yang
sering ditemukan, yaitu :
1. Hemiparesis motorik murni akibat infark di kapsula interna
posterior
12
2. Hemiparesis motorik murni akibat infark pars anterior kapsula
interna
3. Stroke sensorik murni akibat infrak thalamus
4. Hemiparesis ataksik atau disartria serta gerakan tangan atau lengan
yang canggung akibat infark pons basal
b. Stroke Trombotik Pembuluh Besar
Sebagian besar dari stroke ini terjadi saat tidur, pasien relatif
mengalami dehidrasi dan dinamika sirkulasi menurun. Stroke ini
berkaitan dengan lesi aterosklerotik yang menyebabkan penyempitan
atau stenosis di arteria karotis interna atau yang lebih jarang di pangkal
arteria serebri media. Pasien ini kemungkinan sudah mengalami
beberapa kali serangan transcien iscemic attack tipe lakunar
sebelumnya.
Aliran pada arteri yang mengalami trombosis parsial adalah defisit
perfusi yang dapat terjadi pada reduksi mendadak curah jantung atau
tekanan darah sistemik. Penurunan mendadak tekanan tersebut dapat
menyebabkan penurunan generalisata cerebral blood flow (CBF),
iskmemia otak, dan stroke. Penurunan tekanan mungkin sudah dapat
menyebabkan gangguan perfusi melalui arteri-arteri yang bergantung
pada tekanan perfusi minimal untuk mempertahankan CBF.
c. Stroke Embolik
Stroke yang terjadi akibat embolus biasanya menimbulkan defisit
neurologik mendadak dengan efek maksimum sejak awitan penyakit,
13
biasanya serangan terjadi pada saat pasien beraktivitas. Trombus mural
jantung merupakan sumber tersering infark miokardium, fibrilasi
atrium, penyakit katup jantung, katup jantung buatan, dan
kardiomiopati iskemik (Smith, 2001). Embolus berasal dari bahan
trombotik yang terbentuk di dinding rongga atau katup mitralis.
d. Stroke Kriptogenik
Sebagian pasien dapat mengalami oklusi mendadak pembuluh
intrakranium besar tanpa penyebab yang jelas, disebut stroke
kriptogenik. Sumber penyebabnya bisa tersembunyi, bahkan setelah
dilakukan pemeriksaan diagnostic dan evaluasi klinis yang ekstensif.
Stroke yang tidak dapat diketahui penyebabnya biasanya terjadi pada
pasien yang catatan medisnya tidak dapat dibedakan dengan
aterotrombosis.
3. Fisiologi disuse atrofi otot
Sekitar 40% dari seluruh tubuh terdiri dari otot rangka dan sekitar 10%
lainnya adalah otot polos dan otot jantung. Semua susunan otot rangka
dibentuk oleh sejumlah serat yang diameternya berkisar dari 10 sampai 80
mikrometer. Pada sebagian besar otot, serat-seratnya membentang di
seluruh panjang otot kecuali sekitar 2% serat hanya dipersarafi oleh satu
ujung saraf (Guyton, 2007).
Sarkolema adalah membran sel dari serat otot yang terdiri dari
membran sel sebenarnya yang disebut dengan membran plasma dan
sebuah lapisan luar yang terdiri dari lapisan tipis bahan polisakarida yang
14
mengandung sejumlah serat kolagen tipis. Pada ujung serat otot, lapisan
permukaan sarkolema ini bersatu dengan serat tendon dan serat-serat
tendon kemudian berkumpul menjadi berkas untuk membentuk tendon
otot dan kemudian menyisip ke dalam tulang. Setiap serat otot
mengandung beberapa ratus sampai beberapa ribu miofibril yang terletak
berdampingan (Guyton, 2007).
Terdapat sekitar 1500 filamen miosin dan 3000 filamen aktin yang
merupakan molekul protein polimer besar yang bertanggung jawab untuk
kontraksi otot. Filamen miosin dan aktin sebagian saling bertautan
sehingga menyebabkan miofibril memiliki pita terang dan gelap yang
berselang-seling. Pita-pita terang hanya mengandung filamen aktin dan
disebut pita I karena mereka bersifat isotropik terhadap cahaya yang
dipolarisasikan, sedangkan pita-pita gelap mengandung filamen miosin
yang disebut pita A karena mereka bersifat anisotropik terhadap cahaya
yang dipolarisasikan (Guyton, 2007).
Miofibril-miofibril yang terpendam dalam serat otot di dalam suatu
matriks yang disebut sarkoplasma, yang terdiri dari unsur-unsur
intraselular. Terdapat mitokondria dalam jumlah yang banyak terletak di
antara dan sejajar dengan miofibril. Hal tersebut menunjukkan bahwa
miofibril-miofibril yang berkontraksi membutuhkan sejumlah besar
adenosin trifosfat (ATP) yang dibentuk oleh mitokondria (Guyton, 2007).
Sarkoplasma juga terdapat banyak reticulum endoplasma yang berada
di dalam serat otot, disebut dengan retikulum sarkoplasmik. Retikulum ini
15
mempunyai susunan khusus yang sangat penting dalam pengaturan
kontraksi otot. Semakin cepat kontraksi suatu otot, maka ia mempunyai
banyak retikulum sarkoplasmik, hal itu menunjukkan bahwa struktur ini
penting untuk menimbulkan kontraksi otot yang cepat (Guyton, 2007).
Timbul dan berakhirnya kontraksi otot terjadi dalam urutan tahap-
tahap berikut ini :
a. Suatu potensial aksi berjalan di sepanjang saraf motorik sampai ujung
pada serat otot.
b. Pada setiap ujung, saraf menyekresi substansi neurotransmiter yaitu
asetilkolin dalam jumlah sedikit.
c. Asetilkolin bekerja pada area setempat pada membran serat otot untuk
membuka banyak saluran gerbang asetilkolin melalui molekul-molekul
protein dalam membran serat otot.
d. Terbukanya saluran asetilkolin memungkinkan sejumlah besar ion
natrium untuk mengalir ke bagian dalam membran serat otot pada titik
terminal saraf sehingga menimbulkan potensial aksi dalam serat otot.
e. Potensial aksi akan berjalan di sepanjang membran serat otot dalam
cara yang sama.
f. Potensial aksi akan menimbulkan depolarisasi membran serat otot dan
berjalan secara dalam di dalam serat otot.
g. Ion-ion kalsium menimbulkan kekuatan menarik antara filamen aktin
dan miosin yang menyebabkan bergerak secara bersama-sama dan
menghasilkan proses kontraksi.
16
h. Setelah kurang dari satu detik, ion kalsium dipompa kembali ke dalam
retikulum sarkoplasma sampai potensial aksi otot yang baru datang
lagi.
Pada keadaan relaksasi, ujung-ujung filamen aktin yang berasal dari
dua lempeng Z berurutan saling tumpang tindih dan menjadi lebih dekat
dengan filamen miosin. Pada keadaan kontraksi, filamen aktin telah
tertarik ke dalam di antara filamen miosin sehingga saling tumpang tindih
secara luas. Selama kontraksi yang kuat, filamen aktin dapat ditarik
bersama-sama begitu eratnya sehingga ujung-ujung filamen miosin
melekuk, menyebabkan mekanisme pergeseran filamen (Guyton, 2007).
Sebuah filamen aktin murni tanpa adanya kompleks troponin-
tropomiosin, akan berikatan secara cepat dan kuat dengan kepala molekul
miosin bila terdapat ion magnesium dan ATP yang terdapat di dalam
miofibril. Setelah filamen aktin menjadi teraktivasi oleh ion-ion kalsium,
kepala jembatan penyeberangan dari filamen miosin menjadi tertarik ke
bagian aktif dari filamen aktin yang akan menyebabkan kontraksi.
Kelompok kekuatan intramolekular antara kepala dan lengan
menyebabkan kepala miring ke arah lengan dan menarik filamen aktin,
sehingga disebut dengan power stroke (Guyton, 2007).
Sebuah kontraksi otot memerlukan sejumlah ATP yang dipecah
membentuk ADP selama proses kontraksi. Semakin hebat kerja yang
dilakukan oleh otot, semakin besar jumlah ATP yang dipecahkan, disebut
17
dengan efek Fenn. Berikut rangkaian proses ATP sebagai sumber energi
untuk kontraksi, yaitu :
a. Sebelum terjadi kontraksi, aktivitas ATPase dari kepala miosin segera
memecah ATP tetapi meninggalkan hasil pemecahan.
b. Kompleks troponin-tropomiosin berikatan dengan ion-ion kalsium,
bagian aktif pada filamen aktin menjadi tidak tertutup dan kemudian
kepala miosin berikatan.
c. Ikatan antara kepala jembatan penyeberangan dan bagian aktif filamen
aktin menyebabkan perubahan kedudukan kepala, yaitu miring ke arah
lengan jembatan penyeberangan dan memberikan kedudukan power
stroke untuk menarik filamen.
d. Adanya pelepasan ATP yang sebelumnya melekat pada kepala saat
kepala jembatan penyeberangan miring.
e. Setelah kepala terpisah dari aktin, sebuah molekul ATP yang baru
dipecah untuk memulai siklus baru yang menimbulkan power stroke.
Sebagian besar energi dibutuhkan untuk menjalankan mekanisme
berjalan dimana jembatan penyeberangan menarik filamen-filamen aktin.
Tetapi sejumlah kecil energi dibutuhkan untuk memompa kalsium dari
sarkoplasma ke dalam retikulum sarkoplasmik setelah kontraksi berakhir
dan memompa ion-ion natrium dan kalium melalui membran serat otot
untuk mempertahankan lingkungan ionik yang cocok untuk pembentukan
potensial aksi. Sumber energi pertama yang digunakan untuk menyusun
18
kembali ATP adalah substansi keratin fosfat, yang membawa ikatan fosfat
berenergi tinggi yang serupa dengan ATP (Guyton, 2007).
Sumber energi berikutnya yang digunakan untuk menyusun kembali
keratin fosfat dan ATP adalah glikogen yang sebelumnya telah disimpan
dalam sel otot. Pemecahan glikogen secara enzimatik menjadi asam
piruvat dan asam laktat yang berlangsung dengan cepat akan
membebaskan energi yang digunakan untuk mengubah ADP menjadi
ATP. Lebih dari 95% energi yang digunakan oleh otot untuk kontraksi
jangka panjang yang dipertahankan berasal dari metabolisme oksidatif
(Guyton, 2007).
4. Faktor-faktor yang mempengaruhi disuse atrofi otot
a. Imobilisasi
Gangguan mobilitas fisik (imobilisasi) menurut North American
Nursing Diagnosis Association (NANDA) adalah ketidakmampuan
dari energi baik dari segi fisik maupun psikis dalam memenuhi
aktivitas sehari-hari. Bisa disebabkan oleh gangguan masalah
peredaran darah ataupun adanya gambaran iskemik. Tingkat mobilisasi
fisik dapat disebabkan oleh instruksi pembatasan gerak volunter atau
kehilangan fungsi motorik (Potter and Perry, 2006).
Pengukuran antropometrik untuk mengevaluasi atrofi otot,
menggunakan pencatatan asupan dan haluaran serta data laboratorium
untuk mengevaluasi status cairan, dan elektrolit. Pengkajian rentang
gerak juga penting dilakukan sehingga hasilnya bisa dibandingkan
19
untuk mengevaluasi terjadinya kehilangan mobilisasi sendi.
Imobilisasi dapat menimbulkan pengaruh yang bermakna pada tingkat
kesehatan, kemandirian, dan status fungsional (Potter and Perry, 2006).
b. Status Kesehatan
Beberapa masalah kesehatan yang timbul pada otot adalah atrofi
otot, hipertrofi, dysplasia, hyperplasia, metaplasia, cedera dan
kematian sel, iskemik, trombosis, embolisme, infark, nekrosis,
kematian somatik, rigor mortis, livor mortis, argor mortis. Perubahan
ini akibat stimulus berbahaya yang dialami oleh jaringan. Metode ini
digunakan oleh sel-sel untuk tetap hidup dan menyesuaikan beban
kerja dengan kebutuhan (Tambayong, 2000).
c. Status Nutrisi
Pemberian vitamin D dosis rendah setiap harinya dapat
mempertahankan kekuatan otot serta mencegah terjadinya atrofi otot
pada serat otot. Kekurangan nutrisi dapat menyebabkan terjadinya
atrofi jaringan lemak, usus dan pancreas, dan otot. Kekurangan energi
protein sangat berpengaruh terhadap terjadinya atrofi karena
kecukupan sumber energi sangat dibutuhkan untuk kontraksi, serta
kecukupan asupan protein khususnya protein esensial yang sangat
penting untuk sintesa DNA dan pertumbuhan sel otot (Potter and
Perry, 2006).
Pasien dengan imobilisasi memerlukan diet tinggi protein, tinggi
kalori dengan tambahan vitamin B dan C. Protein diperlukan untuk
20
mengganti jaringan yang rusak dan membangun kembali cadangan
protein yang kurang sedangkan asupan tinggi kalori memberikan
cukup energi untuk memenuhi kebutuhan metabolisme dan
menggantikan jaringan subkutan. Tambahan vitamin C diperlukan
untuk menggantikan cadangan protein dan vitamin B komplek
dibutuhkan untuk keutuhan kulit dan penyembuhan luka, jika pasien
tidak bisa makan maka nutrisi bisa diberikan melaui parenteral atau
enteral (Potter and Perry, 2006).
d. Hilangnya Persarafan
Hilangnya persarafan otot, menyebabkan terjadinya atrofi otot.
Pada kelemahan (hemiparesis), hilangnya persarafan seluruh daerah
anggota tubuh dapat juga menyebabkan atrofi (disuse). Keadaan ini
dapat menyebabkan terjadinya atrofi sebagai hasil dari anoksia
jaringan yang juga bisa karena lambatnya dan berkurangnya aliran
darah (Guyton, 2007).
e. Usia
Perubahan terkait usia pada sendi dan jaringan penyambungan
menyebabkan terganggunya gerakan fleksi dan ekstensi, menurunnya
fleksibilitas, dan berkurangnya bantalan perlindungan sendi (Miller,
1999). Usia 20-30 tahun baik laki-laki dan wanita akan mencapai
puncak kekuatan otot, namun di atas usia tersebut akan mengalami
penurunan kecuali diberikan latihan. Kondisi melemahnya otot pada
21
lansia dan penurunan daya tahan tubuh dapat muncul dengan cepat
karena efek biokimia dan fisiologis (Carpenito, 2009).
Semua otot tubuh secara terus menerus dibentuk kembali untuk
menyesuaikan fungsi-fungsi yang dibutuhkan oleh otot dan perubahan ini
seringkali berlangsung cepat dalam waktu beberapa minggu. Bila massa
total suatu otot menjadi menurun, maka proses tersebut disebut atrofi otot.
Bila suatu otot tidak digunakan selama waktu yang lama maka kecepatan
penghancuran protein kontraktil juga jumlah miofibril yang timbul akan
berlangsung lebih cepat dari pada kecepatan penggantinya, sehingga
terjadi disuse atrofi otot (Guyton, 2007).
Bila suatu otot kehilangan suplai sarafnya, maka otot itu tidak lagi
menerima sinyal kontraksi yang dibutuhkan untuk mempertahankan
ukuran otot yang normal. Pada tahap akhir dari atrofi akibat denervasi,
sebagian besar serat otot akan dirusak dan digantikan oleh jaringan fibrosa
dan jaringan lemak. Karena itu, satu masalah yang paling penting dalam
melakukan terapi fisik adalah mempertahankan otot yang sedang
mengalami atrofi agar tidak mengalami kelemahan (debilitating) dan
kontraktur yang merusak bentuk (Guyton, 2007).
Untuk memastikan suatu otot mengalami disuse atrofi atau tidak, maka
pengukuran lingkar otot dapat dilakukan sesuai dengan letaknya dan dalam
keadaan relaks. Dalam penelitian ini, lingkar otot yang akan diteliti adalah
lingkar otot biceps dan triceps, lingkar otot esktensor carpi radialis,
femuralis, lingkar otot gastrocnemius dan soleus. Penentuan pemeriksaan
22
lingkar otot biceps dan triceps adalah pada pertengahan antara pangkal
lengan dan ujung siku, pengukuran lingkar ekstensor carpi radialis pada
bagian distal dari siku, pengukuran lingkar otot femuralis pada
pertengahan trochanterion dan lateral tibia, sedangkan untuk pengukuran
lingkar otot gastrocnemius dan soleus pada aspek lateral tungkai.
5. Penanganan pasien stroke
Menurut National Stroke Foundation (2010), terdapat beberapa terapi
secara medik dan bedah pada pasien stroke, yaitu :
a. Trombolisis
1. Terapi dengan tissue plasminogen activator (TPA) intravena pada
stoke non hemoragik harus dilakukan pada pasien dengan kriteria
inklusi dan eksklusi yang spesifik.
2. Terapi TPA intravena harus diberikan segera mungkin dalam
keamanan pasien dengan stroke non hemoragik dengan efek
tergantung waktu dari trombolisis. Terapi harus diberikan saat
beberapa jam pertama mungkin sekitar 4,5 jam setelah awitan
terjadi.
3. Terapi TPA intravena harus diberikan dibawah perintah oleh
physical training dan dan pengalaman dalam stroke non
hemoragik.
4. Setting minimal untuk mengidentifikasi data dari semua tindakan
pasien dengan trombolisis harus dicatat untuk memonitoring,
melihat, dan membandingkan hasil yang ingin dicapai.
23
5. Permulaan pemberian aspirin untuk pasien yang mendapatkan
trombolisis harus diberikan selama 24 jam.
b. Neuroproteksi
1. Intra arterial trombolisis selama 6 jam terakhir bisa dipilih secara
aman oleh pasien.
2. Setiap bagian harus mempertimbangkan keuntungan fasilitas dan
sistem untuk intra arterial trombolisis.
3. Tidak cukup bukti untuk merekomendasikan untuk menggunakan
sistem menghilangkan bekuan dan praktek kliniknya.
c. Terapi antitrombosis
1. Aspirin oral, nasogastric tube atau suppositorial harus diberikan
segera mungkin setelah tanda-tanda stroke terjadi. Dosis pertama
pemberian sebanyak 150 sampai 300 mg dan setelah itu bisa
diturunkan menjadi 100 mg perhari.
2. Penggunaan antikoagulan secara rutin pada pasien stroke non
hemoragik tidak direkomendasikan.
d. Terapi penurunan tekanan darah
1. Pada stroke non hemoragik, jika tekanan darah lebih dari 220/120
mmHg, antihypersensitivitas dapat diberikan untuk menurunkan.
2. Pada intracerebral hemoragik dengan tingkat hipertensi berada
pada level sedang dapat diberikan 24 sampai 48 jam setelah awitan
terjadi.
24
3. Setelah itu terapi antihipersensitivitas dapat dilanjutkan tetapi
jangan sampai pasien mengalami hipotensi.
e. Terapi pembedahan untuk stroke hemoragik dan managemen edema
cerebral
1. Pasien dengan arteri cerebral infark harus segera dilakukan bedah
saraf untuk menurunkan decompressive hemicraniectomy.
2. Corticosteroid tidak direkomendasikan untuk managemen pasien
dengan edema otak dan tekanan intrakranial.
B. Latihan Otot pada Stroke Non Hemoragik
1. Pengertian
Menurut Michael, et al., (2008), latihan didefinisikan sebagai
subkelompok latihan fisik berupa gerakan tubuh yang terencana,
terstruktur dan repetitif (berulang) untuk memperbaiki atau memelihara
satu atau lebih komponen kebugaran fisik. Rekomendasi latihan fisik pada
orang dewasa menekankan pada akumulasi latihan fisik yang sedang
selama 30 menit dan dilakukan setiap hari. Ketika menilai latihan fisik,
paling tidak terdapat empat dimensi utama yang menjadi fokus perhatian
latihan, yaitu :
a. Tipe
Tipe atau cara latihan fisik mengacu pada berbagai latihan spesifik
yang dilakukan oleh pasien. Tipe latihan yang sering dilakukan dapat
berupa jalan-jalan kecil dan lari yang cukup berkontribusi dalam
25
penguatan otot. Latihan dengan intensitas yang lebih tinggi cukup
berkontribusi dalam pengeluaran energi.
b. Frekuensi dan Durasi
Frekuensi latihan fisik mengacu kepada jumlah sesi latihan fisik
per satuan waktu. Durasi latihan fisik merupakan lamanya waktu yang
dihabiskan ketika melakukan latihan ini. Secara teoritis, frekuensi dan
durasi latihan fisik tampak mudah dinilai karena sebagian besar subjek
penelitian melakukan latihan fisik secara teratur.
c. Intensitas Aktivitas Fisik
Intensitas latihan fisik sering dinyatakan dengan istilah ringan,
sedang atau moderate, keras atau vigorous, dan sangat keras atau
strenuous. Kategori intensitas ini dapat difenisikan dengan pengertian
absolut dan relatif, pengelompokan absolut yang sering dipakai untuk
intensitas latihan fisik adalah metabolic energy turnover (MET).
Latihan fisik dapat dinilai dalam bentuk total volume latihan fisik atau
pengeluaran energi yang berkaitan dengan latihan fisik.
Pemberian latihan fisik bertujuan untuk menilai kekuatan otot dan
ketahanan otot yang bersifat spesifik untuk otot atau kelompok otot
serta tipe kontraksi otot, dan kecepatan kontraksi otot. Kebugaran otot
secara langsung berkaitan dengan berat badan total dan jumlah massa
otot yang tidak berlemak. Faktor-faktor yang mempengaruhi
penampilan otot menurun adalah kelelahan otot, pengaruh obat-obatan,
durasi latihan, keadaan emosional pasien (Donald, et al., 2003)
26
2. Jenis Pelatihan Kekuatan Otot
Latihan fisik dengan segala metodenya dapat membantu memperbaiki
fungsi saraf dan otot serta memperlancar aliran darah, sehingga sangat
bermanfaat bagi pasien pasca stroke. Hasil penelitian menurut Potempa
(1995), bahwa hanya kelompok latihan yang memperlihatkan peningkatan
signifikan pada konsumsi oksigen maksimal, beban kerja dan lama latihan.
Setelah terjadi serangan stroke pada seseorang akan timbul efek primer
berupa paresis, paralisis, spastisitas, dan disfungsi perseptual sensori
karena adanya kerusakan upper motor neuron, sedangkan efek
sekundernya adalah kontraktur dan atrofi otot akibat tidak dipakai (disuse
atrofi otot).
Stroke dengan hemiparesis akan menimbulkan perubahan fisiologis di
serabut otot dan metabolisme otot selama latihan. Beberapa latihan telah
mengukur kapasitas latihan puncak pada pasien hemiparesis dan secara
konsisten dapat diamati bahwa penderita stroke mempunyai kapasitas
fungsional yang rendah. Latihan daya tahan (endurance exercise)
merupakan komponen penting dalam rehabilitasi, rata-rata kenaikan
konsumsi oksigen maksimal pada penderita stroke adalah 13,3% apabila
pasien mengikuti program latihan selama 10 minggu (NICE, 2013).
Pasien dengan stroke non hemoragik harus mendapatkan program
latihan aktif setelah pasien bedrest total dan memerlukan latihan berdiri,
jalan, dan lebih aktif lagi. Mobilisasi dini secara layak dan aman dengan
intervensi yang masih dapat ditoleransi dan dengan frekuensi yang lebih
27
banyak. Penelitian menunjukkan bahwa rehabilitasi dapat dimulai dalam
hitungan jam atau hari setelah awitan stroke terjadi dan mobilisasi dini
dapat menurunkan tingkat depresi pada hari ke empat atau ke lima
(National Stroke Foundation, 2010).
Bentuk latihan otot yang dapat diberikan pada pasien stroke dengan
hemiparesis adalah latihan isometrik. Latihan isometrik dilakukan dengan
kerja otot melawan tahanan atau beban yang tidak bergerak atau menahan
suatu objek pada suatu posisi statik. Penambahan kekuatan sebesar 5% per
minggu diperoleh melalui satu kontraksi isometrik selama 6 detik pada 2/3
kekuatan isometrik maksimum dan dilakukan sekali sehari.
Kontraksi otot dikatakan isometrik bila otot tidak memendek selama
kontraksi, dan dikatakan isotonik bila otot memendek dan tekanan pada
otot tetap konstan. Pada sistem isometrik, otot berkontraksi melawan
tranduser kekuatan tanpa mengurangi panjang otot sedangkan pada sistem
isotonik, otot memendek melawan beban yang ada. Gambaran khas
kontraksi isotonik bergantung pada beban yang dilawan oleh kontraksi
otot juga pada inersia beban, sebaliknya sistem isometrik merekam secara
tepat perubahan pada kekuatan kontraksi otot itu sendiri (Guyton, 2007).
Sebelum dilakukan latihan sebaiknya dilakukan pemeriksaan kekuatan
otot pasien untuk memastikan fungsi otot dalam kondisi baik atau tidak.
Berdasarkan hasil penelitian menunjukkan kemampuan pasien untuk
menerima atau merespon rangsangan merupakan dasar untuk dilakukan
latihan, berupa melakukan pergerakan minimal atau pun adanya tahanan
28
minimal (National Stroke Foundation, 2010). Kriteria penilaian kekuatan
otot adalah (0) tidak ada gerakan, (1) kontraksi otot minimal tanpa adanya
pergerakan, (2) otot dapat digerakkan apabila tidak diberikan gaya berat,
(3) gerakan otot mampu melawan gaya berat namun tidak bisa menahan,
(4) adanya pergerakan otot dan mampu melawan arah gravitasi, (5)
gerakan otot maksimal.
Berikut beberapa bentuk latihan yang dapat dilakukan pada pasien
stroke, yaitu :
a. Pengaturan Posisi (Properpositioning)
Pasien dengan gangguan fungsi sistem skeletal, saraf atau otot dan
peningkatan kelemahan serta kekakuan biasanya membutuhkan
bantuan orang lain untuk memperoleh kesejajaran tubuh ketika berada
di tempat tidur ataupun duduk. Terdapat banyak alat bantu yang dapat
digunakan untuk mengatur posisi tubuh pasien untuk mempertahankan
kesejajaran tubuh pasien yang baik selama diposisikan. Fungsi
dilakukannya pengaturan posisi pada pasien stroke adalah untuk
meningkatkan kenyamanan, mendukung ventilasi curah jantung,
menurunkan tekanan intrakranial, mempertahankan ekstremitas pada
posisi fungsional untuk mencegah kontraktur (Potter and Perry, 2005).
b. Blader Training
Kemampuan pasien untuk berkemih tergantung pada adanya rasa
desakan untuk berkemih, kemampuan mengontrol sfingter uretra, dan
kemampuan untuk rileks selama berkemih. Teknik blader training
29
adalah dengan cara mengikat selang kateter selama beberapa waktu
untuk melatih kontraksi blader menghasilkan urine. Ketidakmampuan
pasien untuk berkemih secara normal akibat adanya gangguan saraf
atau masalah pada reproduksi (Potter and Perry, 2005).
c. Range of Motion Exercise
Aktivitas fisik dapat dilakukan dengan berbagai cara untuk
mempertahankan kesehatan jasmani, meningkatkan kondisi tubuh dan
untuk memperbaiki deformitas atau mengembalikan seluruh tubuh ke
status kesehatan maksimal. Jumlah maksimum gerakan yang mungkin
dilakukan sendi terdiri dari tiga potongan tubuh, yaitu sagital, frontal,
dan transversal (Potter and Perry, 2005).
Potongan sagital adalah garis yang melewati tubuh dari depan ke
belakang, membagi tubuh menjadi bagian kiri dan kanan. Potongan
frontal melewati tubuh dari sisi ke sisi dan membagi tubuh menjadi
bagian depan dan belakang. Potongan transversal adalah garis
horisontal yang membagi tubuh menjadi bagian atas dan bawah (Potter
and Perry, 2005).
Pada potongan sagital, gerakannya adalah fleksi dan ekstensi (jari-
jari tangan dan siku) dan hiperekstensi (pinggul). Pada potongan
frontal, gerakannya adalah abduksi dan adduksi (lengan dan tungkai)
dan eversi dan inversi (kaki). Pada potongan transversal, gerakannya
adalah pronasi dan supinasi (tangan), rotasi internal dan eksternal
30
(lutut), dan dorsifleksi dan plantarfleksi (kaki) (Potter and Perry,
2005).
d. Latihan Brief Repetition Isometric Maximum Exercise (BRIME)
Konsep dasar dari Brief Repetition Isometric Maximum Exercise
(BRIME) adalah menggunakan 6-12 kali kontraksi isometrik dengan
kekuatan maksimal berlangsung selama 6-10 detik setiap repetisi,
dilakukan sebanyak 1-3 set selama 5 hari perminggu. Selama proses
latihan, otot tersebut diberikan kesempatan istirahat selama 2 hari
untuk memberi stimulasi kepada sel untuk menyeimbangkan proses
remodeling otot sehingga terjadi eliminasi dan dekomposisi protein
kontraktil dengan jumlah yang sama dan menurunkan sirkulasi darah
ke otot. Latihan dengan teknik repetitif dapat meningkatkan kekuatan
otot mencapai 203% dibandingkan dengan latihan tunggal (Artana,
2013).
Latihan BRIME memiliki tingkat keefektifan yang hampir sama
dengan latihan isotonik. Hal ini dapat dibuktikan dari hasil
pemeriksaan elektromiografi, dimana kontraksi otot isotonik lebih
menggunakan motor performance. Pada setiap kontraksi, koordinasi
neuromuscular dapat dihasilkan lebih baik karena inervasi pada nerve
muscle lebih kompleks sehingga tidak terlalu mengalami kelelahan.
Program latihan ini sudah diprogram untuk memaksimalkan
kekuatan otot dan meningkatkan massa otot itu sendiri. Peningkatan
massa otot dapat dilihat dari berapa lama dilakukan kontraksi dan
31
berapa lama otot itu mengalami istirahat. Latihan yang progesif dapat
meningkatkan serabut-serabut saraf untuk berkontraksi dan
meningkatkan kontraksi otot.
3. Efek Latihan Dalam Mencegah Disuse Atrofi Otot
Efek yang dirasakan setelah latihan adalah peningkatan koordinasi
intermuscular dengan meningkatkan kerjasama antara group otot yang
berbeda agar terjadi peningkatan koordinasi gerakan yang efisien,
perubahan ini terjadi selama 2 sampai 3 minggu setelah latihan rutin.
Terdapat juga peningkatan hipertrofi otot yang merupakan restrukturisasi
pada jaringan otot sebagai peningkatan fungsional pada massa otot.
Hipertrofi otot secara langsung berhubungan dengan sintesis material
selular, terutama pada protein elemen kontraktil yang berhubungan dengan
peningkatan jumlah volume mitokondria dalam sel otot (Hardjono, 2008).