Bab II Tinjauan Pustaka II.1 Umum -...

37
14 Bab II Tinjauan Pustaka II.1 Umum Bab ini menyajikan kajian pustaka mengenai tinjauan mikroorganisme dengan orientasi pada aspek taksonomi dan morfologi secara umum. Pembahasan lebih rinci dititik beratkan pada golongan mikroorganisme yang dominan dihasilkan oleh media intrusi yaitu golongan jamur (fungi). Bahan nutrisi dan zat-zat yang dihasilkan oleh golongan mikroorganisme ini, dibahas untuk mengetahui potensi hidupnya di dalam beton dan mengidentifikasikan kemungkinan dampak yang timbul apabila terintrusi ke dalam material beton. Selain itu dibahas pula mengenai mekanisme serangan mikroorganisme pada material beton. Studi pustaka juga meninjau tentang bahan-bahan suplemen campuran beton dan secara khusus mengenai proses produksi dan penggunaan slag nikel sebagai bahan pozzolanik dalam campuran beton. Untuk memberikan gambaran garis depan (front line) pengetahuan yang mendasari penelitian ini, disajikan pula elaborasi hasil-hasil riset terdahulu yang berkaitan dengan penelitian ini. II.2 Tinjaun Umum Mikroorganisme II.2.1 Definisi, Penggolongan dan Morfologi Mikroorganisme Mikroorganisme adalah suatu kesatuan makhluk hidup atau organisme kecil yang tidak dapat dilihat secara kasat mata. Bentuk dan ukurannya berbeda-beda antara satu golongan dengan golongan lainnya. Dunia mikroorganisme terdiri berbagai kelompok jasad renik dan kebanyakan bersel satu atau uniseluler, ada yang mempunyai ciri-ciri sel tumbuhan, hewan, dan adapula yang memiliki ciri-ciri keduanya. Kecenderungan para ahli biologi untuk menggolongkan semua jasad renik ke dalam dunia tumbuhan atau dunia hewan, menimbulkan sejumlah keganjilan. Misalnya jamur, digolongkan sebagai tumbuhan karena umumnya jamur tidak bergerak, walaupun jamur hampir tidak memiliki sifat-sifat lain dari tumbuhan dan menunjukkan afinitas filogenik kuat dengan protozoa (Waluyo, 2005).

Transcript of Bab II Tinjauan Pustaka II.1 Umum -...

Page 1: Bab II Tinjauan Pustaka II.1 Umum - digilib.itb.ac.iddigilib.itb.ac.id/files/disk1/628/jbptitbpp-gdl-hanafiasha-31397-3... · secara khusus mengenai proses produksi dan penggunaan

14

Bab II Tinjauan Pustaka

II.1 Umum

Bab ini menyajikan kajian pustaka mengenai tinjauan mikroorganisme dengan

orientasi pada aspek taksonomi dan morfologi secara umum. Pembahasan lebih

rinci dititik beratkan pada golongan mikroorganisme yang dominan dihasilkan

oleh media intrusi yaitu golongan jamur (fungi). Bahan nutrisi dan zat-zat yang

dihasilkan oleh golongan mikroorganisme ini, dibahas untuk mengetahui potensi

hidupnya di dalam beton dan mengidentifikasikan kemungkinan dampak yang

timbul apabila terintrusi ke dalam material beton. Selain itu dibahas pula

mengenai mekanisme serangan mikroorganisme pada material beton.

Studi pustaka juga meninjau tentang bahan-bahan suplemen campuran beton dan

secara khusus mengenai proses produksi dan penggunaan slag nikel sebagai bahan

pozzolanik dalam campuran beton. Untuk memberikan gambaran garis depan

(front line) pengetahuan yang mendasari penelitian ini, disajikan pula elaborasi

hasil-hasil riset terdahulu yang berkaitan dengan penelitian ini.

II.2 Tinjaun Umum Mikroorganisme

II.2.1 Definisi, Penggolongan dan Morfologi Mikroorganisme

Mikroorganisme adalah suatu kesatuan makhluk hidup atau organisme kecil yang

tidak dapat dilihat secara kasat mata. Bentuk dan ukurannya berbeda-beda antara

satu golongan dengan golongan lainnya. Dunia mikroorganisme terdiri berbagai

kelompok jasad renik dan kebanyakan bersel satu atau uniseluler, ada yang

mempunyai ciri-ciri sel tumbuhan, hewan, dan adapula yang memiliki ciri-ciri

keduanya.

Kecenderungan para ahli biologi untuk menggolongkan semua jasad renik ke

dalam dunia tumbuhan atau dunia hewan, menimbulkan sejumlah keganjilan.

Misalnya jamur, digolongkan sebagai tumbuhan karena umumnya jamur tidak

bergerak, walaupun jamur hampir tidak memiliki sifat-sifat lain dari tumbuhan

dan menunjukkan afinitas filogenik kuat dengan protozoa (Waluyo, 2005).

Page 2: Bab II Tinjauan Pustaka II.1 Umum - digilib.itb.ac.iddigilib.itb.ac.id/files/disk1/628/jbptitbpp-gdl-hanafiasha-31397-3... · secara khusus mengenai proses produksi dan penggunaan

15

Haeckel (1866) mengusulkan jasad renik ditempatkan dalam dunia yang terpisah,

yaitu protista (kehidupan yang pertama). Menurut Haeckel, dalam protista

tergolong algae, protozoa, jamur (fungi), dan kuman (bakteri). Namun pada

pertengahan abad ini, teknik mikroskopi elektron yang baru mengungkapkan

bahwa kuman (bakteri) secara fundamental berbeda dengan algae, protozoa, dan

jamur dalam hal struktur sel. Ketiga kelompok yang terakhir memiliki tipe

struktur sel yang lebih maju, sama dengan sel tumbuhan dan hewan, yang

dinamakan eukariotik. Sedangkan bakteri memiliki struktur sel yang lebih

primitif, yang dinamakan prokariotik.

Mikroorganisme selain kebanyakan bersel satu (uniseluler), dapat juga berbentuk

filamen atau serat yaitu rangkaian sel yang terdiri dua sel atau lebih yang

berbentuk rantai, seperti yang umum didapatkan pada jamur dan mikroalga.

Bentuk lain mikroorganisme adalah koloni, yaitu gabungan dua sel atau lebih di

dalam satu ruang.

(a). Morfologi Bakteri

Pada umumnya ukuran tubuh bakteri sangat kecil, yaitu memiliki lebar tubuh

antara 1 hingga 2 μm, panjang antara 2 hingga 5μm. Bakteri yang berbentuk

kokus, umumnya berdiameter antara 0,5 hingga 2,5 μm. Sedangkan bakteri yang

berbentuk basil, umumnya memiliki ukuran lebar antara 0,2 hingga 2,0 μm.

Secara garis besar morfologi bakteri dapat dikelompokkan ke dalam tiga

golongan, yaitu :

(1). Basil (bacillus)

(2). Kokus (coccus)

(3). Spiril (spirillum)

Basil (bacillus) merupakan bakteri yang berbentuk tongkat pendek (batang kecil)

dan silindris. Kokus adalah bakteri yang berbentuk bulat seperti bola-bola kecil.

Sedangkan spiril adalah bakteri yang berbentuk spiral. Gambaran morfologi

ketiga golongan bakteri ini, diperlihat pada gambar II.1.

Page 3: Bab II Tinjauan Pustaka II.1 Umum - digilib.itb.ac.iddigilib.itb.ac.id/files/disk1/628/jbptitbpp-gdl-hanafiasha-31397-3... · secara khusus mengenai proses produksi dan penggunaan

16

Streptobacillus monobacillus diplobacillus

(a). Basil (bacillus)

streptococcus monococcus diplococcus tetracoccus sarcina

(b). Kokus (coccus)

(c). Spiril (spirillum)

Gambar II.1. Morfologi bakteri

(b). Morfologi Jamur (Fungi)

Jamur (fungi) memiliki ciri yang khas, yakni berupa benang tunggal atau

bercabang-cabang yang disebut dengan hifa. Hifa merupakan bagian penting dari

fungi, karena fungsinya sebagai pengabsorbsi nutrien dari substratnya serta

membentuk struktur untuk reproduksi. Bentuk hifa ini seperti diperlihatkan pada

gambar II.2.

Fungi merupakan organisme eukariotik yang mempunyai ciri-ciri sebagai berkut :

(1). Mempunyai spora

(2). Memproduksi spora

(3). Tidak mempunyai klorofil sehingga tidak berfotosentetis

(4). Dapat berkembang biak secara seksual dan aseksual

(5). Tubuh berfilamen dan dinding sel mengandung kitin, glukan, selulosa, dan

manan.

Page 4: Bab II Tinjauan Pustaka II.1 Umum - digilib.itb.ac.iddigilib.itb.ac.id/files/disk1/628/jbptitbpp-gdl-hanafiasha-31397-3... · secara khusus mengenai proses produksi dan penggunaan

17

Gambar II.2. Bentuk hifa pada fungi (Sand, 2004)

Fungi dapat mensintesis protein dengan mengambil sumber karbon dari

karbohidrat (glukosa, sukrosa, dan maltosa), sumber nitrogen dari bahan organik

atau anorganik, dan mineral dari substratnya.

Fungi diklasifikasikan dalam dua golongan yaitu kapang dan khamir. Kapang

merupakan fungi yang berfilamen atau mempunyai miselium, sedangkan khamir

merupakan fungi bersel tunggal dan tak berfilamen.

Kapang memiliki bagian tubuh yang menyolok yaitu miselum yang terbentuk dari

kumpulan hifa yang bercabang-cabang dan membentuk suatu jala yang umumnya

berwarna putih. Diameter hifa umumnya berkisar antara 3 hingga 30 μm (Carlile

dan Watkinson, 1994). Kebanyakan kapang bersifat mesofilik yaitu mampu

tumbuh dengan baik pada suhu kamar. Suhu optimum pertumbuhannya adalah

sekitar 25 - 30oC, tetapi beberapa diantaranya dapat tumbuh pada suhu 35 - 37oC

atau lebih, misalnya aspergillus. Dalam pertumbuhannya, semua kapang bersifat

aerobik dan dapat tumbuh dengan baik pada kisaran pH antara 2,0 hingga 8,5.

Nagai, dkk (1998) dalam penelitiannya mengenai distribusi kapang mangrove

menemukan bahwa ada kapang yang tumbuh sangat baik pada pH 10,0 yang

disebut sebagai kapang indigenos alkalofilik, antara lain golongan acremonium

furcatum dan acremonium strictum.

Page 5: Bab II Tinjauan Pustaka II.1 Umum - digilib.itb.ac.iddigilib.itb.ac.id/files/disk1/628/jbptitbpp-gdl-hanafiasha-31397-3... · secara khusus mengenai proses produksi dan penggunaan

18

Khamir mempunyai ukuran sel yang bervariasi yaitu dengan panjang 1 - 25 mm,

dan lebar 1 - 10 mm. Bentuk khamir bermacam-macam, ada yang berbentuk bulat,

oval, silinder, ogival, triangular, dan adapula yang berbentuk botol, seperti pada

gambar II.3.

(a). Bulat (b). Oval (c). Silinder

(d). Ogival (e). Triangular (f). Botol

Gambar II.3. Berbagai bentuk sel khamir

Kisaran suhu untuk pertumbuhan khamir pada umumnya hampir sama dengan

kapang, yaitu suhu optimum antara 25 hingga 30oC dan suhu maksimum antara 35

hingga 47oC. Kebanyakan khamir lebih cepat tumbuh pada pH 4,0 hingga 4,5, dan

tidak dapat tumbuh dengan baik pada medium alkali, kecuali jika telah

beradaptasi. Khamir tumbuh baik pada kondisi aerobik, tetapi yang bersifat

fermentasi dapat tumbuh secara anaerobic meskipun relatif lambat.

II.2.2 Nutrien dan Fase Pertumbuhan Fungi

Dalam mikrobiologi pertumbuhan didifenisikan sebagai pertambahan volume sel,

karena adanya pertambahan protoplasma dan senyawa asam nukleat yang

melibatkan sintesis DNA dan pembelahan mitosis.

Semua jenis mikroorganisme dalam pertumbuhannya, termasuk fungi

memerlukan nutrien dalam bentuk karbon (C), nitrogen (N), sulfur (S), fosfor (P),

kalium (K), magnesium (Mg), natrium (Na), kalsium (Ca), nutrien mikro (besi,

mangan, zinc, dan kobalt) dan vitamin. Karbon menempati posisi yang unik

karena semua organisme hidup memiliki karbon sebagai salah satu senyawa

pembangun tubuh (Madigan, dkk, 2002).

Page 6: Bab II Tinjauan Pustaka II.1 Umum - digilib.itb.ac.iddigilib.itb.ac.id/files/disk1/628/jbptitbpp-gdl-hanafiasha-31397-3... · secara khusus mengenai proses produksi dan penggunaan

19

Mencermati bentuk-bentuk nutrien tersebut di atas, mikroorganisme khususnya

jamur (fungi) sangat mungkin dapat hidup di dalam material beton karena

sebagian unsur-unsur nutriennya seperti; kalsium (Ca), oksigen (O), magnesium

(Mg), ferrum (Fe), dan sulfur (S) dimilki oleh material beton. Unsur kalsium (Ca)

dan oksigen (O) bersumber dari kalsium silikat hidrat (CSH), kalsium hidroksida

(CH), dan ettringite (CASH). Unsur ferrum (Fe) berasal dari kalsium sulpho

aluminat ferrit (CSAF), sedangkan magnesium (Mg) dan sulfur (S) berasal dari

bawaan semen yang tidak membentuk kristal atau bersifat amorphous.

Seperti mikroorganisme lainnya, fungi dalam proses pertumbuhannya mengalami

fase-fase pertumbuhan sebagai berikut :

(1). Fase lag, yaitu fase penyesuaian diri sel-sel dengan substrat dan kondisi

lingkungan di sekitarnya.

(2). Fase akselerasi, yaitu fase mulainya sel-sel membelah dan fase lag menjadi

fase aktif.

(3). Fase eksponensial, merupakan fase perbanyakan sel yang sangat banyak,

aktifitas sel meningkat dengan cepat, dimana pertambahan jumlah sel

mengikuti kurva eksponensial. Pada fase ini kecepatan pertumbuhan sangat

dipengaruhi oleh substratnya seperti pH, kandungan nutrien, suhu, dan

kelembaban udara. Energi yang dibutuhkan pada fase ini lebih banyak

dibandingkan dengan fase lainnya, dan sel paling sensitif terhadap kondisi

lingkungan di sekitarnya.

(4). Fase deselerasi, yaitu fase dimana sel-sel mulai kurang aktif membelah

karena nutrien di dalam substrat sudah berkurang atau terdapat zat-zat yang

dapat menghambat pertumbuhannya. Pada fase ini pertumbuhan sel tidak

stabil, tetapi jumlah populasi masih naik. Hal ini karena jumlah sel yang

tumbuh masih lebih banyak daripada jumlah sel yang mati.

(5). Fase stasioner, yaitu fase dimana jumlah sel yang tumbuh dan jumlah sel

yang mati relatif seimbang.

(6). Fase kematian, yaitu jumlah sel-sel yang tidak aktif samasekali atau mati

lebih banyak daripada sel-sel yang masih hidup.

Page 7: Bab II Tinjauan Pustaka II.1 Umum - digilib.itb.ac.iddigilib.itb.ac.id/files/disk1/628/jbptitbpp-gdl-hanafiasha-31397-3... · secara khusus mengenai proses produksi dan penggunaan

20

Fase-fase tersebut di atas digambarkan dalam bentuk kurva pertumbuhan seperti

pada gambar II.4.

Waktu (jam/hari)

Gambar II.4. Kurva fase pertumbuhan fungi

II.2.3 Proses Metabolisme Mikroorganisme

Menurut Voet dan Voet (1995); metabolisme adalah proses kimia di dalam

mikroorganisme untuk memperoleh dan menggunakan energi, sehingga dapat

melaksanakan berbagai fungsi hidupnya. Ketika sel melakukan metabolisme,

nutrien akan diubah ke dalam bentuk materi sel, energi, dan produk buangan

(Bilgrami dan Verma, 1994).

Proses metabolisme berlangsung dalam dua jalur yang berbeda yaitu jalur

penyusunan atau pengambilan zat makanan (proses biosintesis) yang biasa disebut

anabolisme dan jalur penggunaan atau pembongkaran zat makan yang biasa

disebut katabolisme. Pada anabolisme, berlangsung pembentukan senyawa-

senyawa kompleks dari nutrien-nutrien sederhana yang berasal dari lingkungan.

Sedangkan pada katabolisme, senyawa-senyawa kompleks diuraikan menjadi

produk yang lebih sederhana.

Kegiatan kimiawi yang dilakukan oleh sel amat rumit, karena beragamnya bahan

yang digunakan sebagai nutrien oleh sel di satu pihak dan berbagai ragam

Opt

ical

Den

sity

(OD

)

(1) (2)

(6)

(4)

(3)

(5)

Page 8: Bab II Tinjauan Pustaka II.1 Umum - digilib.itb.ac.iddigilib.itb.ac.id/files/disk1/628/jbptitbpp-gdl-hanafiasha-31397-3... · secara khusus mengenai proses produksi dan penggunaan

21

substansi yang disentisis menjadi komponen-komponen sel di pihak yang lain.

Penyusunan zat organik, pencernaan dan pembongkaran zat makanan dapat

berlangsung karena adanya biokatalisator yaitu enzim. Enzim ini merupakan

protein dalam bentuk koloid yang biasa disebut sebagai apoenzim. Dalam

kegiatannya, tidak sedikit enzim memerlukan bantuan yang disebut koenzim.

Koenzim ini biasanya berupa zat anorganik seperti kalium (K), magnesium (Mg),

dan ferrum (Fe).

Pembongkaran zat-zat makanan oleh mikroorganisme akan menghasilkan zat baru

yaitu berupa gas, air, zat organik, dan energi. Jenis dan kuantitas zat-zat yang

dihasilkan tersebut, tergantung dari substratnya.

Jika substrat yang digunakan mengandung glukosa, seperti halnya dengan media

yang akan digunakan pada penelitian ini, mikroorganisme khususnya golongan

sacchromycodes, akan mengoksidasi substrat menjadi alkohol dengan reaksi

kimia sebagai berikut :

energiCO2OHCHCH2OHC 2236126 ++→ (II.1)

Dengan sistim pernafasan aerob, mikroorganisme dapat merubah substrat glukosa

menjadi sejumlah zat baru berupa gas, air, dan energi dengan reaksi kimia sebagai

berikut :

energiOH6CO6O6OHC 2226126 ++→+ (II.2)

Produk alkohol pada persamaan (II.1), dapat berperan sebagai substrat sekunder

bagi mikroorganisme, sehingga dalam proses pembongkarannya akan

menghasilkan zat organik (asam cuka), air, dan sejumlah energi dengan reaksi

kimia sebagai berikut :

energiOHCOOHCHOOHCHCH 23223 ++→+ (II.3)

Page 9: Bab II Tinjauan Pustaka II.1 Umum - digilib.itb.ac.iddigilib.itb.ac.id/files/disk1/628/jbptitbpp-gdl-hanafiasha-31397-3... · secara khusus mengenai proses produksi dan penggunaan

22

Energi yang dihasilkan di dalam persamaan (II.1, II.2, dan II.3) tersebut di atas

berturut-turut adalah sebesar 31,2, 675, dan 116 kilo kalori (Waluyo, 2004).

II.3 Mekanisme Serangan Mikroorganisme pada Material Beton

Beton cukup rentan terhadap serangan zat asam, terutama komponen kalsium

hidroksida (CH) sebagai salah satu komponen produk hidrasi trikalsium silikat

(C3S) dan dikalsium silikat (C3S) semen yang dapat larut apabila berkontak

langsung dengan zat asam tersebut. Proses pelarutannya terjadi melalui

mekanisme reaksi kimia sebagai berikut :

OH2CaZZH2(OH) Ca 222 +→+ (II.4)

hal mana Z adalah ion negatif dari zat asam.

Dari reaksi tersebut, ion hidrogen akan mempercepat proses pelarutan kalsium

hidroksida. Pada kondisi seperti ini, dekomposisi material beton sangat tergantung

pada porositas pasta, konsentrasi asam, dan daya larut garam kalsium.

Apabila konsentrasi ion hidrogen cukup tinggi, komponen lain dari produk hidrasi

trikalsium silikat (C3S) dan dikalsium silikat (C3S) semen yaitu kalsium silikat

hidrat (CSH) dapat pula diserang, sehingga membentuk gel silika. Gel silika ini

memiliki ciri yang khas yaitu sulit didekomposisikan oleh larutan asam. Reaksi

yang terjadi akibat serangan tersebut adalah sebagai berikut :

O2y)Hn(xSi(OH)yxCaZZH2xO.nHSiOCaO.yx 24222 −+++→+ (II.5)

Persamaan II.4 menunjukkan bahwa serangan zat asam terhadap kalsium

hidroksida (CH) akan mengakibatkan terjadinya peningkatan porositas dan

permeabilitas beton. Peningkatan ini biasanya ditandai dengan timbulnya cacat

pada permukaan beton yang berimplikasi pada hilangnya sifat alkalinitas dan

massa beton, menurunnya kekuatan dan kekakuan serta pH beton sedemikian

sehingga pada akhirnya menjadi pemicu di dalam proses deteriorasi.

Page 10: Bab II Tinjauan Pustaka II.1 Umum - digilib.itb.ac.iddigilib.itb.ac.id/files/disk1/628/jbptitbpp-gdl-hanafiasha-31397-3... · secara khusus mengenai proses produksi dan penggunaan

23

Sedangkan serangan terhadap kalsium silikat hidrat sebagaimana di dalam

persamaan II.5, akan mengakibatkan terjadinya instabilitas kalsium silikat hidrat

(CSH) sedemikian sehingga material beton akan mengalami penurunan kekuatan

dan kekakuan.

Dalam kaitannya dengan penggunaan air kelapa sebagai media intrusi, hasil

proses metabolik dan mekanisme serangan mikroorganisme pada material beton

sebagaimana yang dikemukakan di atas, akan menimbulkan dampak seperti pada

gambar II.5.

Gambar II.5. Produk metabolik, mekanisme serangan dan dampaknya pada material beton

Media air kelapa

Fermentasi

Asam Energi Gas

Reaksi dengan CSH

Reaksi dengan CH

Peningkatan porositas dan permeabilitas beton

Kehilangan sebagian massa beton

Kehilangan kekuatan dan kekakuan

Menurunkan pH beton dan pemicu dalam proses

deteriorasi

Page 11: Bab II Tinjauan Pustaka II.1 Umum - digilib.itb.ac.iddigilib.itb.ac.id/files/disk1/628/jbptitbpp-gdl-hanafiasha-31397-3... · secara khusus mengenai proses produksi dan penggunaan

24

II.4. Mikroorganisme di dalam Material Beton

Beberapa peneliti terdahulu telah membuktikan keberadaan mikroorganisme di

dalam material beton, namun sampai saat ini belum ditemukan apakah

mikroorganisme dapat hidup dan aktif di dalam beton. Di bawah ini dikemukakan

beberapa kesimpulan hasi-hasil penelitian terdahulu, terutama dalam

hubungannya dengan keberadaan dan potensi kerusakan yang dapat ditimbulkan

oleh mikroorganisme di dalam beton.

Popesku dan Beshea (1990) mengemukakan bahwa mikroorganisme, baik dari

golongan bakteri maupun jamur sangat mungkin hadir dan hidup di dalam

material beton. Agresifitas kedua golongan mikroorganisme ini berpotensi sebagai

penyebab biodeteriorasi konstruksi bangunan sipil.

Seperti bentuk kehidupan pada umumnya, hasil sampingan aktifitas metabolik

dari berbagai mikroorganisme dapat mempengaruhi kondisi lingkungan di

sekelilingnya. Populasi mikroorganisme dalam bentuk koloni, tergolong aktif dan

dapat bertahan hidup lebih lama apabila jumlah satuan bentukan koloni (coloni

forming unit) lebih besar dari 106 cfu/m3 (Cookson, 1995).

Edwards, dkk (1997) melaporkan bahwa proses metabolisme dari dua golongan

bakteri yaitu Thiobacillus thiooxidans sebagai pengoksidasi sulfur dan

Thiobacillus ferrooxidans pengoksidai besi, dapat menyebabkan kerusakan secara

signifikan pada infrastruktur bawah tanah.

Islander (1999) melaporkan bahwa kerusakan pipa beton di dalam tanah, sangat

mungkin diakibatkan oleh aktifitas metabolik mikroorganisme golongan

pengoksidasi sulfur, seperti Thiobacillus thiooxidans. Hal ini dapat terjadi melalui

mekanisme dimana unsur sulfur di dalam tanah dioksidasikan oleh

mikroorganisme golongan ini menjadi asam belerang, sehingga pipa beton

terkontaminasi oleh asam tersebut. Asam belerang ini dapat bereaksi dengan

kalsium hidroksida sehingga mengakibatkan dekomposisi material beton.

Page 12: Bab II Tinjauan Pustaka II.1 Umum - digilib.itb.ac.iddigilib.itb.ac.id/files/disk1/628/jbptitbpp-gdl-hanafiasha-31397-3... · secara khusus mengenai proses produksi dan penggunaan

25

Laporan dan penjelasan Islander (1999) tersebut nampaknya bersifat dugaan

sehingga kehadiran mikroorganisme di dalam beton masih juga diragukan.

Demikian pula apakah mikroorganisme dapat hidup dan aktif di dalam beton

belum diketahui secara pasti. Hal ini dipertegas oleh Covino (1999) dalam kajian

literaturnya menyimpulkan bahwa peran mikroorganisme terhadap degradasi

beton belum bisa diketahui secara pasti.

Muethel (2001) mengemukakan bahwa mikroorganisme ada di dalam beton dan

dapat mengakibatkan deteriorasi prematur beton. Investigasi dilakukan pada

trotoar beton dimana akibat karbonasi dan eksposure air tanah, pH trotoar beton

menjadi lebih rendah dari pada pH beton normal.

Pedersen (2001) melaporkan bahwa mikroorganisme golongan jamur dan bakteri,

selain memproduksi asam juga dapat menghasilkan gas di dalam beton yaitu

melalui hidrolisis alkalin dengan fermentasi manomer dan oligomer. Gas ini bisa

dalam bentuk karbon dioksida, methana, hidrogen, hidrogen sulfida atau nitrogen.

Pertumbuhan mikroorganisme sangat mungkin terjadi di dalam buangan yang

tersolidifikasi dengan semen.

Mencermati laporan Pedersen (2001) tersebut di atas, kehadiran karbon dioksida

sebagai hasil sampingan biodegradasi mikroorganisme di dalam beton akan

berpotensi sebagai salah satu penyebab kerusakan material beton. Hal ini dapat

terjadi melalui reaksi antara karbon dioksida dengan kalsium hidroksida hasil

sampingan reaksi hidrasi trikalsium silikat (C3S) dan dikalsium silikat (C2S)

semen sehingga membentuk kalsium karbonat (CaCO3). Proses ini disebut sebagai

fenomena karbonasi. Salah satu ciri dari dampak fenomena ini adalah terjadinya

reduksi pH beton secara serius pada level yang mendekati sifat keasaman.

Sehubungan dengan kehadiran mikroorganisme di dalam beton, Hernandez, dkk

(2002) melaporkan bahwa di dalam beton ditemukan mikroorganisme aktif

sebesar 12% dari golongan Thiobacillus ferrooxodans dan 42% dari golongan

thiobacillus thiooxidans. Hal ini dimungkinkan karena sebagian besar sumber

Page 13: Bab II Tinjauan Pustaka II.1 Umum - digilib.itb.ac.iddigilib.itb.ac.id/files/disk1/628/jbptitbpp-gdl-hanafiasha-31397-3... · secara khusus mengenai proses produksi dan penggunaan

26

energi yang dibutuhkan oleh mikrorganisme tersebut seperti; sulfur, besi, dan

karbon organik tersedia di dalam beton.

Shirakawa, dkk (2003) melakukan pengukuran pertumbuhan mikroorganisme

pada mortar dengan menggunakan Environment Scanning Electron Microscopy

(ESEM). Medium yang digunakan adalah jamur dari golongan Cladisporium

sphaerospermum yang ditumbuhkan di dalam dextrose agar pada suhu 25oC

dengan masa inkubasi selama lima hari. Benda uji berukuran 1 x 1 x 0,3 cm

dibuat dalam empat jenis yang berbeda, yaitu mortar 3F, 4F, A, dan B. Mortar 3F

dan 4F menggunakan bahan semen, kapur dan pasir standar Brazil dengan

perbandingan berat masing-masing adalah 1 : 1,04 : 10,32. Sedangkan mortar A

dan B dibuat dari bahan siap pakai (mortar instant) yang beredar di pasaran Brazil.

Kapur dan pasir memiliki ukuran butir yang sama yaitu terdiri dari empat fraksi

untuk mortar 3F (2,4 – 1,2 mm; 1,2 – 0,6 mm; 0,6 – 0,3 mm dan 0,3 – 0,15 mm)

dan tiga fraksi untuk mortar 4F (1,2 – 0,6 mm; 0,6 – 0,3 mm dan 0,3 – 0,15 mm).

Spesifikasi benda uji seperti tercantumb pada tabel II.1.

Tabel II.1. Specifikasi benda uji (Shirakawa, dkk, 2003)

Kode Mortar No. Uraian

3F 4F A B

1 Air : Semen 2,37 2,60 2,47 2,87

2 Material kering : Air 5,20 4,74 5,00 4,31

3 Konsistensi (flow table), mm 260±10 260±10 380±10 310±10

Setelah benda uji diinokulasi dengan medium Cladisporium sphaerospermum

kemudian diekspos 5% CO2 selama 20 jam di dalam chamber karbon dioksida,

mortar 3F menunjukkan pertumbuhan jamur yang padat dengan ciri pertumbuhan

berkelompok, struktur berbentuk tubular, dan pH dipermukaan mortar 9,0 ± 0,1

(gambar II.6a). Mortar 4F memiliki pertumbuhan jamur yang lebih sedikit

Page 14: Bab II Tinjauan Pustaka II.1 Umum - digilib.itb.ac.iddigilib.itb.ac.id/files/disk1/628/jbptitbpp-gdl-hanafiasha-31397-3... · secara khusus mengenai proses produksi dan penggunaan

27

dibandingkan 3F dengan ciri tanpa spora atau bersifat nonreproduksi dengan pH

9,2 ± 0,1 (gambar II.6b). Mortar A memiliki pertumbuhan jamur dengan area

yang relatif sangat kecil dibandingkan dengan mortar 3F dan 4 F, pH 8,6 ± 0,2

(gambar II.6c). Sedangkan mortar B tidak menunjukkan adanya pertumbuhan

jamur, dengan pH 10,4 ± 0,2 (gambar II.6d).

(a). Mortar 3F (b). Mortar 4F

(c). Mortar A (d). Mortar B

Gambar II.6. Pertumbuhan jamur pada permukaan mortar setelah di inokulasi

dengan Cladisporium sphaerospermum dan diekspos dengan CO2 selama 20 jam (Shirakawa, dkk, 2003)

Jamur

Jamur

Jamur

Page 15: Bab II Tinjauan Pustaka II.1 Umum - digilib.itb.ac.iddigilib.itb.ac.id/files/disk1/628/jbptitbpp-gdl-hanafiasha-31397-3... · secara khusus mengenai proses produksi dan penggunaan

28

Lebih lanjut dilaporkan bahwa setelah masa inkubasi selama tiga bulan pada

temperatur 25oC, terjadi perubahan-perubahan dalam bentuk dekomposisi kalsium

hidroksida yang ditunjukkan oleh pengendapan kristal kalsium pada permukaan

mortar, seperti ditunjukkan pada gambar II.7. Penguraian kalsium ini diduga

diakibatkan oleh asam organik yang diproduksi selama pertumbuhan jamur.

Fenomena ini diindikasikan sebagai penyebab terjadinya mekanisme deteriorasi

mortar.

(a). Mortar 3F (b). Mortar 4F

(c). Mortar A (d). Mortar B

Gambar II.7. Pembentukan kristal kalsium pada permukaan mortar pasca inkubasi selama tiga bulan (Shirakawa, dkk, 2003)

kristal kalsium

kristal kalsium

kristal kalsium

kristal kalsium

Page 16: Bab II Tinjauan Pustaka II.1 Umum - digilib.itb.ac.iddigilib.itb.ac.id/files/disk1/628/jbptitbpp-gdl-hanafiasha-31397-3... · secara khusus mengenai proses produksi dan penggunaan

29

Sutter dan Dam (2003) mengemukakan bahwa mikroorganisme yang

mengkonsumsi sulfur, dapat menimbulkan degradasi dalam bentuk ekspansi sulfat

sebagai hasil oksidasi sulfur menjadi asam sulfat. Demikian pula apabila unsur

besi dioksidasi menjadi asam besi, maka secara spontan asam besi tersebut akan

mengoksidasi sulfur menjadi asam sulfat. Aktifitas mikroorganisme seperti ini

akan berdampak pada ekspansi beton dalam bentuk disintegrasi pasta dan

degradasi matriks beton.

DIN 4030 “Beurteilung betonangreifender Wässer, Böden und Gase”

(“Evaluation of water, soils and gases aggressive to concrete”) memberikan

gambaran mengenai tingkat serangan dari berbagai komponen penyerang seperti

pada tabel II.2.

Tabel II.2. Tingkat serangan berbagai komponen agresor (DIN 4030) Tingkat serangan

No. Komponen Unit Lemah Keras Sangat keras

1 Pelarutan kapur bebas mg/l 15-40 40-100 > 100 2 Asam pH 6,5 – 5,5 5,5 - 4,5 < 4,5 3 Magnesium (Mg2+) mg/l 300 - 1000 1000 - 3000 > 3000 4 Ammonium (NH4

+) mg/l 15 - 30 30 - 60 > 60 5 Sulfat (SO4

2-) mg/l 200 - 600 600 - 3000 > 3000

Dalam hal kehadiran mikroorganisme di dalam material beton, Kulpa dan Baker

(1990) mengemukakan urutan-urutan kejadian yang menyebabkan deteriorasi

beton apabila diserang oleh mikroorganisme golongan bakteri pengoksida sulfur,

sebagai berikut :

(1). Kehadiran sumber sulfur, berupa unsur sulfur (S) dan hidrogen sulfur (H2S)

di dalam lingkungan.

(2). Aktivitas bakteri pengoksida sulfur dalam taraf moderat pada pH netral. Pada

taraf ini, pH lingkungan berubah hingga mencapai pH 4-5.

(3). Kehadiran sulfur masih berlanjut.

(4). Nilai pH yang diperkirakan 4-5 tersebut, membuat pertumbuhan pada bakteri

golongan Thiobacillus thiooxidans dan Thiobacillus ferrooxidans.

Page 17: Bab II Tinjauan Pustaka II.1 Umum - digilib.itb.ac.iddigilib.itb.ac.id/files/disk1/628/jbptitbpp-gdl-hanafiasha-31397-3... · secara khusus mengenai proses produksi dan penggunaan

30

(5). Nilai pH turun hingga 2-3, sehingga menghasilkan asam sulfat (H2SO4)

secara signifikan. Hadirnya asam sulfat tersebut akan mengakibatkan

deteriorasi material beton.

Selanjutnya, Kulpa dan Baker (1990) memberikan indikator-indikator yang

menunjukkan gejala deteriorasi material beton akibat serangan bakteri pengoksida

sulfur yaitu :

(a). Tahap awal :

1. Nilai pH netral

2. Nilai pH pada permukaan beton sekitar 6-4

3. Tingkat keasaman relatif rendah

(b). Tahap lanjutan :

1. Tingkat keasaman relatif tinggi

2. Nilai pH pada permukaan beton umumnya di bawah 3,0

3. Kehilangan pH netral

II.5 Ketahanan Material Beton akibat Serangan Mikroorganisme

Seperti telah dikemukakan di dalam hipotesis bahwa ketahanan material beton

akibat intrusi mikroorganisme sangat tergantung pada dua hal yaitu porositas dan

kuantitas kalsium hidroksida. Oleh karena itu berbagai cara telah dilakukan oleh

beberapa peneliti untuk meningkatkan ketahanan material beton terhadap

serangan produk mikroorganisme.

Hall (1989) melaporkan bahwa beton silika tahan asam yang diberi lapisan epoxy,

terbukti cukup berhasil di dalam menahan serangan mikroorganisme golongan

bakteri yang mengoksidasi sulfur (Thiobacillus thiooxidans).

Kulpa dan Baker (1990) mengemukakan bahwa deteriorasi material beton dapat

terjadi karena pengaruh bakteri yang mengoksida sulfur. Golongan bakteri yang

dimaksud ini adalah Thiobacillus neapolitanus, Thiobacillus thioxidans, dan

Thiobacillus ferroxidans. Tingkat keruskan yang ditimbulkan oleh ketiga

Page 18: Bab II Tinjauan Pustaka II.1 Umum - digilib.itb.ac.iddigilib.itb.ac.id/files/disk1/628/jbptitbpp-gdl-hanafiasha-31397-3... · secara khusus mengenai proses produksi dan penggunaan

31

golongan bakteri tersebut, berbeda-beda tergantung pada banyaknya satuan

bentukan koloni (coloni forming unit) dan pH pertumbuhannya. Percobaan yang

dilakukan terhadap pipa beton menunjukkan bahwa golongan Thiobacillus

thioxidan memiliki kuantitas pertumbuhan yang cukup besar yaitu antara 6,0 x 103

hingga 4,5 x 104 cfu/gram, disusul oleh golongan Thiobacillus ferroxidans dan

Thiobacillus neapolitanus yaitu masing-masing antara 750 hingga 6 x 103

cfu/gram dan 40 hingga 600 cfu/gram sample. Ketiga golongan ini memiliki pH

pertumbuhan beturut-turut adalah 4,5 hingga 1,0, 5,8 hingga 1,3, dan 7,0 hingga

4,0. Laporan tersebut hanya bersifat informatif saja tanpa disertai alternatif solusi

penanggulangannya.

Mather’s dalam ACI 233R-95 (1995) melaporkan bahwa beton dengan

menggunakan semen type II dan beton dengan ground granulated blast furnace

slag (ggbfs), keduanya terjadi penurunan kekuatan pada tingkat yang sama bila

perawatannya dihentikan pada umur 3 hari. Pada kesempatan yang sama, Fulton

juga melaporkan bahwa beton dengan ground granulated blast furnace slag

(ggbfs) diatas 30%, lebih rentan oleh kondisi perawatan jelek daripada beton

normal. Kerentanan ini cenderung menghambat formasi hidrasi beton pada umur

muda, hal mana menyebabkan peningkatan kehilangan kelembaban yang disatu

sisi justru diperlukan untuk kelanjutan hidrasi. Lebih lanjut dilaporkan bahwa

beton dengan ground granulated blast furnace slag (ggbfs) dan beton dengan

semen type I dan type II, secara esensial memiliki ketahanan yang sama terhadap

freezing dan thawing. Dikemukakan pula bahwa penggunaan ground granulated

blast furnace slag (ggbfs), permeabilitas beton berkurang sehingga berpotensi

mereduksi penetrasi unsur-unsur eksternal yang dapat membahayakan material

beton.

George (1997) melakukan penelitian terhadap ketahan pipa beton dengan

menggunakan dua jenis semen yaitu ordinary portland cement (OPC) dan calsium

aluminate cement (CAC). Hasil penelitian dilaporkan bahwa pipa beton CAC

memiliki ketahanan yang lebih baik daripada pipa beton OPC. Hal ini disebabkan

Page 19: Bab II Tinjauan Pustaka II.1 Umum - digilib.itb.ac.iddigilib.itb.ac.id/files/disk1/628/jbptitbpp-gdl-hanafiasha-31397-3... · secara khusus mengenai proses produksi dan penggunaan

32

karena produk hidrasi CAC memiliki sifat pelarutan yang relatif lebih rendah

daripada produk hidrasi OPC.

Belie, dkk (1997) melaporkan bahwa ketahanan beton yang menggunakan semen

alumina tinggi (HAC) di dalam media zat asam adalah lebih baik dibandingkan

dengan beton yang menggunakan semen biasa (OPC). Hal ini dapat dijelaskan

melalui proses reaksi kimia sebagai berikut :

(1). Reaksi kimia OPC dengan zat asam (ZH).

Reaksi ini memiliki dua sifat yang berbeda sebagaimana telah dikemukakan

di dalam persamaan II.4 dan II.5. Pertama; reaksi kimia zat asam dengan

kalsium hidroksida (serangan langsung) sehingga menghasilkan garam

kalsium dan air (persamaan II.4). Reaksi ini disebut sebagai reaksi pelarutan

kalsium hidroksida. Kedua; reaksi kimia zat asam dengan kalsium silikat

hidrat akan menghasilkan garam kalsium, gel kalsium, dan air (persamaan

II.5). Reaksi ini disebut sebagai reaksi instabilitas kalsium silikat hidrat

karena masih menyisakan komponen yang tidak teredekomposisikan oleh

zat asam tersebut yaitu gel silika (Si(OH)4).

(2). Reaksi kimia HAC dengan zat asam (ZH)

Fenomena yang terjadi pada reaksi ini adalah dekomposisi calcium

aluminate hidrate (CAH) dan kemungkinan dekomposisi lanjut pada gel

aluminium hidroksida (Al(OH)3).

(a). Dekomposisi calcium aluminate hidrate terjadi melalui reaksi kimia

sebagai berikut :

O3y)Hn(xAl(OH)y2xCaZ

ZH2xO.nHOCaO.yAlx

232

222

−+++

→+ (II.6)

(b). Dekomposisi aluminium hidroksida terjadi jika pH larutan di bawah 4,0

dengan reaksi kimia sebagai berikut :

OH3yZ2yAlZH6y Al(OH)2y 233 +→+ (II.7)

Page 20: Bab II Tinjauan Pustaka II.1 Umum - digilib.itb.ac.iddigilib.itb.ac.id/files/disk1/628/jbptitbpp-gdl-hanafiasha-31397-3... · secara khusus mengenai proses produksi dan penggunaan

33

Penjelasan tersebut di atas menggambarkan bahwa ketahanan beton HAC

disebabkan karena ketidak hadiran kalsium hidroksida sebagai produk reaksi

hidrasi senyawa-senyawa utama HAC dengan air, sehingga yang terjadi hanya

dekomposisi kalsium aluminat hidrat (bukan pelarutan).

Dalam hubungan tersebut, Robson (1992) menyatakan bahwa beton dengan

semen alumina tinggi (HAC) lebih tahan terhadap pelarutan zat asam daripada

beton OPC. Hal ini disebabkan karena selain ketidakhadiran kalsium hidroksida

(CH), juga karena kehadiran gel alumina yang memiliki sifat protektif terhadap

zat asam.

Berndt (2001) melakukan penelitian mengenai proteksi beton dari pengaruh

mikrobiologi pada menara pendingin dalam rangkaian program MIC

(Microbiologically Influenced Corrosion). Benda uji beton dibuat dengan

spesifikasi material sebagai berikut :

Semen type V (tahan sulfat) dan semen type I (ordinary Portland cement)

sebagai kontrol,

Pasir dan batu silika sesuai ASTM C33 dengan ukuran nominal 9,5 mm,

Sodium napthalene sulphonate superplasticizer,

Rasio air-semen (w/c) adalah 0,40,

Bahan suplemen sebagai pengganti parsial semen yaitu silica fume 5% dan

10% dari total berat semen, dan blast furnace slag 40% dan 60% dari total

berat semen,

Proporsi campuran seperti tercantum dalam tabel II.3.

Pengujian dilakukan sesuai standar uji ASTM C868. Medium yang digunakan

adalah Thiobacillus ferrooxidans, dimana pH rata-rata medium pada awal

pengujian adalah 2,59 dengan konsentrasi koloni mikroba sebesar 105 cfu/ml

sampai dengan 106 cfu/ml. Temperatur medium dipertahankan pada 40oC dan

temperatur luar tercatat sebesar 30,4oC. Durasi pengujian dilakukan selama 60

hari. Hasil pengujian disimpulkan sebagai berikut :

(1). Penggunaan bahan-bahan suplemen yang bersifat cementitious (silica fume

dan blast furnace slag) sangat cocok untuk mengantisipasi pengaruh

Page 21: Bab II Tinjauan Pustaka II.1 Umum - digilib.itb.ac.iddigilib.itb.ac.id/files/disk1/628/jbptitbpp-gdl-hanafiasha-31397-3... · secara khusus mengenai proses produksi dan penggunaan

34

mikrobiogi (Microbiologically Infuenced Corrosion) pada struktur beton

menara pendingin.

(2). Beton dengan semen type I dan type V sangat rentan terhadap serangan,

sebagaimana cacat permukaan yang diperlihatkan pada gambar II.8.

(3). Secara visual, deteriorasi serius terjadi pada beton dengan semen type V.

(4). Beton dengan silica fume 5% sampai 10% memiliki ketahanan terhadap

pengaruh mikrobiologi (MIC), tetapi tidak bisa menghilangkan serangan.

(5). Beton dengan 40% slag memiliki durabilitas yang lebih baik dari pada beton

semen type I dan type V.

(6). Pada level serangan yang sama, beton dengan 40% slag memiliki cacat

permukaan yang lebih ringan dibandingkan dengan beton silica fume.

(7). Penambahan kadar slag 60% sebagai pengganti sebagian porsi semen, dapat

mengurangi ketahanan beton terhadap serangan mikrobiologi dan cacat-cacat

yang terjadi lebih meluas di atas permukaan benda uji.

Tabel II.3. Proporsi Campuran Beton MIC (Berndt, 2001)

Material Type I Type V5%

Silica Fume

10% Silica Fume

40% Slag

60% Slag

Cement type I (kg/m3) 348,4 340,0 322,2 208,3 138,7

Cement type V (kg/m3) 348,9

Silica Fume (kg/m3) 17,9 35,8

Blast Furnace Slag (kg/m3) 138,9 208,0

Air (kg/m3) 139,4 139,5 143,2 143,2 138,9 138,7

Agregat halus (kg/m3) 824,6 824,7 846,1 846,1 820,6 819,5

Agregat kasar (kg/m3) 918,6 919,9 943,7 943,7 915,3 914,1

Superplasticizer ltr/m3) 3,49 3,49 3,58 3,58 3,47 3,47

Unit weight (kg/m3) 2230 2233 2291 2258 2222 2219

Kuat tekan 28 hari (MPa) 40,9±1,0 36,1±1,0 45,0±1,3 47,9±0,8 50,8±0,4 35,4±1,8

Page 22: Bab II Tinjauan Pustaka II.1 Umum - digilib.itb.ac.iddigilib.itb.ac.id/files/disk1/628/jbptitbpp-gdl-hanafiasha-31397-3... · secara khusus mengenai proses produksi dan penggunaan

35

(a). Beton dengan semen type V

(b). Beton dengan silica fume 10%

Gambar II.8. Kondisi permukaan beton pasca serangan Thiobacillus

ferrooxidans (Berndt, 2001)

Aviam, dkk (2004) melaporkan bahwa stabilitas semen di dalam lingkungan

agresif dapat dirusak oleh bakteri pengoksidasi sulfur menjadi asam sulfur.

Bakteri ini diketahui sebagai salah satu penyebab utama korosi baja dan degradasi

beton. Berbagai senyawa sulfur dengan oksidasi chemoautotrophs menghasilkan

asam sulfur, yang mana berdampak serius terhadap korosi dan degradasi beton.

Reaksi asam sulfur dengan kapur bebas (CH) di dalam beton akan membentuk

Cacat permukaan

Cacat permukaan

Page 23: Bab II Tinjauan Pustaka II.1 Umum - digilib.itb.ac.iddigilib.itb.ac.id/files/disk1/628/jbptitbpp-gdl-hanafiasha-31397-3... · secara khusus mengenai proses produksi dan penggunaan

36

gypsum (CaSO4. 2H2O), yang menyebabkan rusaknya permukaan beton bahkan

jika terpenetrasi ke dalam pori beton, dapat menjadi pemicu terjadinya degradasi

karena perbedaan berat jenis (density) yang cukup besar antara produk reaksi

dengan material beton. Selain itu kristal gypsum yang baru terbentuk dapat pula

bereaksi dengan kalsium aluminat sehingga akan berdampak jauh lebih merusak

di dalam beton. Aviam, dkk (2004) lebih lanjut melaporkan bahwa bentuk

kerusakan akibat reaksi antara gypsum dan kalsium aluminat adalah berupa

kehilangan berat di atas 16% setelah 39 hari.

Tremper (1989) melakukan penelitian mengenai pengaruh larutan asam terhadap

dekomposisi material beton. Dekomposisi yang dimaksud adalah pelarutan kapur

bebas di dalam beton. Beberapa kesimpulan yang dikemukakan adalah sebagai

berikut :

(1). Beton mutu tinggi lebih tahan terhadap serangan asam dibandingkan dengan

beton mutu rendah.

(2). Kekuatan beton terserang larutan asam bergantung pada rasio antara jumlah

air dengan jumlah kapur bebas di dalam beton.

(3). Kehilangan kapur bebas menyebabkan penurunan kekuatan beton. Apabila

beton mengalami kehilangan kapur bebas ≥ 50% dari aslinya, maka

disamping kekuatan beton berkurang juga mengakibatkan hilangnya daya

lekat.

(4). Tingkat serangan sangat dipengaruhi oleh rasio antara luas permukaan dan

volume beton.

Prosentase pelarutan kapur bebas dapat ditentukan dengan persamaan sebagai

berikut :

TlogKLlog = (II.8)

dimana :

L = pelarutan kapur bebas (%)

T = waktu ekspos beton dengan larutan asam (hari)

K = konstanta

Page 24: Bab II Tinjauan Pustaka II.1 Umum - digilib.itb.ac.iddigilib.itb.ac.id/files/disk1/628/jbptitbpp-gdl-hanafiasha-31397-3... · secara khusus mengenai proses produksi dan penggunaan

37

Pengujian yang dilakukan oleh Tremper (1989) menunjukkan bahwa pelarutan

kapur bebas 50% dari aslinya terjadi dengan lama waktu ekpsos sekitar empat

setengah tahun. Konstanta K di dalam persamaan II.8, didapatkan dengan

menggunakan regresi linier yaitu sebesar 0,526, seperti diperlihatkan pada gambar

II.9. Perubahan-perubahan kuat tekan beton selama diekspos larutan asam,

diperlihatkan pada gambar II.10.

Gambar II.9. Hubungan antara pelarutan kapur bebas dengan lama ekspos larutan asam (Tremper, 1989)

Gambar II.10. Hubungan antara kuat tekan dengan lama ekspos

di dalam larutan asam (Tremper, 1989)

10d 20d 40d 80d 160d 320d 2y 4y 8y 2

4

8

12

20

80

50 40

°°°° °° ° °

° ° °° °

°

Log L = 0,526 log T

Lama ekspos (hari atau tahun)

Pela

ruta

n ka

pur b

ebas

(%)

2 4 8 16 24

Kua

t tek

an (l

b/in

2 )

2000

4000

8000

6000

10000

Lama ekspos (bulan)

nonekspos ekspose • •

° °

°• •

• •

• • • •

• • ••

•• • •

• • • • •

• • •

° ° °° ° ° ° °

°°°°°

° °° °

° ° ° ° ° ° ° ° °•

4,5 GPS

8 GPS

6,25 GPS

Page 25: Bab II Tinjauan Pustaka II.1 Umum - digilib.itb.ac.iddigilib.itb.ac.id/files/disk1/628/jbptitbpp-gdl-hanafiasha-31397-3... · secara khusus mengenai proses produksi dan penggunaan

38

II.6 Bahan-bahan Suplemen Campuran Beton

Penggunaan bahan suplemen dalam campuran beton yang bersumber dari limbah

industri telah berkembang di Amerika Utara sejak tahun 1970-an. Penggunaannya

diharapkan dapat memberikan sifat-sifat khusus bagi beton, terutama dalam

hubungannya dengan aspek durabilitas. Jumlah optimum yang digunakan

tergantung dari keperluan dan prioritas sifat-sifat beton yang diinginkan.

Sejauh ini limbah industri yang telah banyak digunakan sebagai bahan suplemen

dalam campuran beton beton antara lain; fly ash, silica fume, blast furnace slag,

dan bahan-bahan lain yang bersifat pozzolanik. Visualisasi bentuk butiran dari

material ini, seperti diperlihatkan pada gambar II.11 sampai dengan gambar II.13.

(a). Tekstur butiran (b). Mikrostruktur (perbesaran 1000 x)

Gambar II.11. Tektur butiran dan mikrostruktur fly ash

(a). Tekstur butiran (b). Mikrostruktur (perbesaran 20.000 x)

Gambar II.12. Tekstur butiran dan mikrostruktur silica fume

Page 26: Bab II Tinjauan Pustaka II.1 Umum - digilib.itb.ac.iddigilib.itb.ac.id/files/disk1/628/jbptitbpp-gdl-hanafiasha-31397-3... · secara khusus mengenai proses produksi dan penggunaan

39

(a). Tekstur butiran (b). Mikrostruktur (perbesaran 2100 x)

Gambar II.13. Tekstur butiran dan mikrostruktur blast furnace slag

Perbedaan mendasar dari berbagai material suplemen dapat digambarkan dalam

diagram phase sistem ternary CaO-Al2O3-SiO2 (C-A-S), seperti ditunjukkan pada

gambar II.14.

Gambar II.14. Material suplemen dalam diagram phase sistim ternary C-A-S

Silica Fume

Class F Fly Ash

Portland Cement

Slag Class C Fly Ash

High Alumina Cement CaO Al2O3

SiO2

Page 27: Bab II Tinjauan Pustaka II.1 Umum - digilib.itb.ac.iddigilib.itb.ac.id/files/disk1/628/jbptitbpp-gdl-hanafiasha-31397-3... · secara khusus mengenai proses produksi dan penggunaan

40

Komposisi kimia dari bahan-bahan tersebut di atas berbeda-beda pada setiap

negara industri produsen limbah tersebut. Komposisi kimia yang dicantumkan

pada tabel II.4, diperoleh berdasarkan hasil penelitian “Virginia Transportation

Research Council”, yang dilaporkan oleh Lane dan Ozyildirim (1999).

Tabel II.4. Komposisi kimia berbagai material cementitious (Lane dan Ozyildirim, 1999)

Komposisi Fly ash Klas C

Fly ash Klas F Slag Silica

fume SiO2, % Al2O3, % Fe2O3, % CaO, % MgO, % SO3, % Na2O, % K2O, %

Total alkali,% LoI, %

35,0 18,0 6,0

21,0 0,26 4,10 5,80 0,70 6,26 0,50

53,0 31,3 5,6 1,0 0,5

0,54 0,22 1,77 1,36 1,50

37,60 3,30 0,40

17,60 11,20 1,94 0,22 0,34

- 1,0

94,60 0,30 0,10 0,50 0,40

- 0,15 0,56 0,52

-

Limbah-limbah industri tersebut di atas selain digunakan sebagai material dalam

campuran beton, juga sekaligus menjadi solusi alternatif penanggulangan dampak

lingkungan. Oleh karena itu limbah industri tersebut dikategorikan sebagai “green

materials” (Anderson, dkk, 2004).

II.7. Slag Nikel sebagai Bahan Suplemen Campuran Beton

Slag nikel adalah hasil sampingan proses produksi nikel yang diperoleh dari hasil

peleburan bijih laterit pada temperatur ± 1300oC. Bijih laterit memiliki komposisi

kimia sebagai berikut :

- Nikel (Ni) : 1,4 – 2,5%

- Besi (Fe) : 16 – 44%

- Magnesium oksida (MgO) : 3 – 25%

- Silika dioksida (SiO2) : 7 – 35%

Page 28: Bab II Tinjauan Pustaka II.1 Umum - digilib.itb.ac.iddigilib.itb.ac.id/files/disk1/628/jbptitbpp-gdl-hanafiasha-31397-3... · secara khusus mengenai proses produksi dan penggunaan

41

Selain itu slag nikel juga dapat diperoleh dari hasil pemurnian nikel (nickel

matte), namun kuantitasnya jauh lebih sedikit dibandingkan dengan slag nikel dari

hasil peleburan bijih laterir. Gambar II.15 memperlihatkan proses produksi nikel

(nickel matte) dan slag nikel dengan tahapan-tahapan sebagai berikut :

(1). Penambangan (Mining)

(2). Persiapan bahan (material preparation)

Bijih laterit dari stock pile diangkut ke pabrik dan dikeringkan di dalam

mesin pengering (dryer), kemudian disaring beberapa kali untuk

mendapatkan bijih laterit dengan ukuran ± 4 inch (± 10 cm). Selanjutnya

bijih laterit diangkut dengan belt conveyor dan dicampur hingga merata

dengan menggunakan traveling tripper dan blending stacker yang terletak di

dalam bangunan gudang bijih (dry ore storage building). Alat stacker

menumpukkan bijih ke lantai baris demi baris, lapisan demi lapisan yang

sama tebalnya. Bijih yang tertumpuk dalam bentuk-bentuk seperti ini

kemudian diambil dengan loader dari arah yang tegak lurus dengan baris-

baris bijih yang tertumpuk tersebut, supaya diperoleh bijih yang telah

dicampur dan mengandung kadar nikel yang merata.

(3). Proses reduksi dan sulfidasi (reduction and sulfidation process)

Bijih laterit yang telah dicampur merata, diangkut ke dalam kiln yang

berputar dimana dengan suhu ± 700oC sehingga terjadi reaksi pereduksian

bijih karena adanya penambahan oli. Reaksi pensulfidasian nikel yang

disebabkan oleh penambahan sulfur, terjadi setelah hasil reduksi (calcine)

keluar dari kiln dan masuk ke dalam surge bin. Produksi yang dikeluarkan

dari reduction kiln ini disebut reduksi calcine.

(4). Proses peleburan (smelting process)

Reduksi calcine yang keluar dari reduction kiln selanjutnya dimasukkan ke

dalam tanur listrik (electric furnace), dimana bahan dilebur pada temperatur

± 1300oC untuk membentuk nickel matte (mengandung ± 25% nikel) dan

bahan-bahan yang terbuang (slag). Matte dan slag dapat dipisahkan dengan

mudah karena slag terapung di atas matte yang mencair.

Produksi slag pada tahap ini bisa mencapai 2 hingga 3 juta ton per tahun.

Page 29: Bab II Tinjauan Pustaka II.1 Umum - digilib.itb.ac.iddigilib.itb.ac.id/files/disk1/628/jbptitbpp-gdl-hanafiasha-31397-3... · secara khusus mengenai proses produksi dan penggunaan

42

(5). Proses pemurnian (converting process)

Nickel matte dari furnace yang mengandung ± 25% nikel diolah lebih lanjut

di dalam converter. Besi yang terkandung dioksidasikan dengan

penambahan silica flux sehingga kadar nikel menjadi bertambah sampai

jumlah standar yaitu 75% nikel. Nikel ini selanjutnya digranulasi,

dikeringkan, ditimbang, dan dikemas sedemikian sehingga menjadi produk

akhir (nickel matte).

Seperti halnya di dalam proses peleburan, proses ini juga memproduksi slag

sebanyak ± 3000 ton per tahun.

Gambar II.15. Proses produksi nikel matte dan slag nikel

ESP THICKENER

SETTING POND

HOT CALCINE TRANSFER TO STACK

SULFUR LIQUID

HSFO & AIR

REDUCTION KILN

DRYER TROMMEL SCREEN DUST

MULTICLONE

TO STACK WET ORE STOCKPILE HSFO & AIR ROCKS EBO Cone Crusher

WBO TROMMEL SCREEN

WB REJECTTED + 20 mm DRYER PRODUCT

- 20 mm TO DOS

DRIED ORE STORAGE

500 T BIN SLURRY TANK

TO STACK

OVER FLOW UNDER FLOW

500 T BIN DUST

DUST

FEED BIN

FOE MATTE

MULTICLONE

D.E F.E

ELECTRIC FURNACE

COAL

GRAIN PIT

• • •

SLAG TO DISPOSAL

AREA

CONVERTER

AIR

ESP

DUST

SLAG

CONVERTER MATTE

FLUX

RETURN TO PROCESS

FEED BIN

PRODUCT DRYER

DIESEL AND AIR

LAMELA THICKENER

Bag House Cyclone

PACKAGING

VIBRATING SCREEN

PRODUCT BIN

PGMILL DUST

I N C O

SHIPMENT DUST

SIZE + 10 MESH

- 4 INCH 30% H2O (WBO) - 6 INCH 32% H2O (EBO)

••

Page 30: Bab II Tinjauan Pustaka II.1 Umum - digilib.itb.ac.iddigilib.itb.ac.id/files/disk1/628/jbptitbpp-gdl-hanafiasha-31397-3... · secara khusus mengenai proses produksi dan penggunaan

43

Sejauh ini penggunaan slag nikel sebagai bagian dari unsur pembentuk beton

belum mendapatkan perhatian yang serius, padahal hasil-hasil penelitian yang

telah dilakukan sebelumnya menunjukkan bahwa slag nikel tersebut cukup

berpotensi untuk digunakan di dalam produksi beton, baik sebagai agregat

maupun sebagai pengganti sebagian porsi semen. Hasil-hasil penelitian yang

diprakarsai oleh Soegiri (1997 – 2003) dapat dikemukakan sebagai berikut :

Soegiri, dkk (1997) menyimpulkan bahwa sifat-sifat mekanik beton mutu tinggi

yang dihasilkan oleh slag nikel sebagai agregat kasar adalah relatif lebih baik

daripada beton yang menggunakan agregat kasar alami.

Khosama (1997) melaporkan bahwa penggunaan slag nikel sebagai agregat kasar

dan halus pada beton mutu tinggi, memiliki tingkat kelecakan (nilai slump),

perilaku fisik dan mekanik yang lebih baik daripada beton agregat alam. Selain itu

dilaporkan pula bahwa retak mikro pada daerah antar permukaan (interface zone)

beton slag nikel lebih kecil daripada beton agregat alam.

Ashad (1998) melaporkan bahwa slag nikel dalam bentuk bubuk memiliki potensi

sebagai pengganti sebagian porsi semen dalam campuran beton. Dengan substitusi

10 hingga 20%, bubuk slag nikel dengan specific surface 306 m2/kg, memberikan

kontribusi positif terhadap sifat-sifat fisik dan mekanik beton serta memiliki

ketahanan terhadap kondisi lingkungan basah-kering (wet-dry environment).

Louis (2003) melakukan penelitian tentang penggunaan terak nikel sebagai

agregat beton pemberat pipa gas lepas pantai. Terak nikel yang digunakan adalah

terak nikel padat sehingga beton yang dihasilkan memiliki berat jenis sebesar

3267 kg/m3, kuat tekan 28 hari adalah 50,77 MPa, dan absorbsi sebesar 0,61%.

Hasil penelitian ini disimpulkan bahwa beton yang dihasilkan tersebut mampu

mempertahankan kestabilan posisi pipa akibat gaya apung dan gaya-gaya lain

yang terjadi akibat pergerakan air di dasar laut seperti; gaya geser, gaya inersia,

dan gaya seret.

Page 31: Bab II Tinjauan Pustaka II.1 Umum - digilib.itb.ac.iddigilib.itb.ac.id/files/disk1/628/jbptitbpp-gdl-hanafiasha-31397-3... · secara khusus mengenai proses produksi dan penggunaan

44

ASTM C618-93 mengatur tentang penggunaan limbah-limbah industri yang

disebutkan di atas sebagai mineral tambahan di dalam campuran beton. Salah satu

diantaranya adalah apabila jumlah dari komposisi kimia SiO2, Fe2O3 dan Al2O3

lebih besar atau sama dengan 70%, bahan tersebut dapat digunakan sebagai

mineral campuran di dalam beton.

Efektifitas penggunaan slag sebagai bahan cementitious, ditentukan oleh faktor-

faktor sebagai berikut :

(a). Komposis kimia

(b). Konsentrasi alkali dari sistim reaksi

(c). Kadar glass

(d). Kehalusan

(e). Suhu selama fase awal proses hidrasi

Karena rumitnya faktor-faktor tersebut diatas, Bijen (1996) mengusulkan suatu

kriteria yang dapat dijadikan sebagai indikasi sifat cementitious yaitu kriteria

modulus kimia, sebagai berikut :

1SiO

OAlMgOCaO

2

32 ≤++

(II.9)

Persamaan (II.9) mengindikasikan bahwa dari keempat senyawa kimia yang

diperhitungkan, senyawa silika oksida (SiO2) merupakan senyawa dominan yang

diharapkan. Hal ini berkaitan dengan potensi SiO2 dalam bereaksi dengan kalsium

hidroksida (Ca(OH)2) sebagai produk sampingan reaksi hidrasi trikalsium silikat

(C3S) dan dikalsium silikat (C2S) semen. Kriteria modulus kimia ini dianggap

masih kontroversial penggunaannya karena belum cukup meyakinkan dalam

memberi gambaran secara pasti terhadap sifat cementitious dari bahan yang

diamati.

Oleh karena itu evaluasi secara langsung terhadap kelecakan, karakteristik

kekuatan dan durabilitas merupakan pengukuran yang realistis dalam menilai

potensi slag sebagai bahan cementitious. Dalam kaitan ini ASTM C989,

Page 32: Bab II Tinjauan Pustaka II.1 Umum - digilib.itb.ac.iddigilib.itb.ac.id/files/disk1/628/jbptitbpp-gdl-hanafiasha-31397-3... · secara khusus mengenai proses produksi dan penggunaan

45

mendefinisikan potensi slag sebagai bahan cementitious dalam bentuk kinerja

yaitu indeks aktifitas slag (slag activity index) sebagai berikut :

100%P

SPindexactivitySlag ×= (II.10)

hal mana SP adalah kuat tekan rata-rata mortar semen + slag (MPa), dan P adalah

kuat tekan rata-rata mortar semen (MPa).

ASTM C989 mengatur indeks aktifitas slag (slag activity index) minimum

kedalam tiga mutu (grade) yang berbeda, seperti ditunjukkan pada tabel II.5.

Tabel II.5. Slag activity index minimum menurut ASTM C989

Slag Activity Index Minimum (%) Mutu

Rata-rata lima contoh Satu contoh Index 7 hari

Grade 80 Grade 100 Grade 120

-

75 95

-

70 90

Index 28 hari Grade 80 Grade 100 Grade 120

75 95 115

70 90 110

Dalam hubungan tersebut, penggunaan 20% bubuk slag nikel dapat memberikan

slag activity index 7 dan 28 hari masing-masing 72,14% dan 86,07% (Ashad,

1998).

Selain itu, ASTM C989 juga memberikan suatu kriteria tambahan yaitu mengenai

batasan total alkali, yaitu :

0,6OK0,658ONa 22 ⟨+ (II.11)

Wang dan Emery (2004) mengusulkan dua bentuk kriteria utilisasi slag yaitu

kriteria berdasarkan sifat-sifat fisis dan kriteria tegangan volumetrik. Kriteria

sifat-sifat fisis sebagaimana ditunjukkan pada persamaan II.12, peruntukannya

Page 33: Bab II Tinjauan Pustaka II.1 Umum - digilib.itb.ac.iddigilib.itb.ac.id/files/disk1/628/jbptitbpp-gdl-hanafiasha-31397-3... · secara khusus mengenai proses produksi dan penggunaan

46

lebih kepada penggunaan slag sebagai material granular (agregat). Sedangkan

kriteria tegangan volumetrik (persamaan II.13), peruntukannya pada penggunaan

slag sebagai komponen matriks beton.

100%γ

)γ(γkF

s2

0s ×−

≤ (II.12)

hal mana F adalah kadar oksida (CaO + MgO) slag, γs adalah specific gravity slag,

γo adalah bulk density slag, dan k adalah konstanta sifat-sifat fisis slag. Jika kadar

osida (CaO + MgO) yang dimiliki oleh slag lebih kecil dari ruas kanan persamaan

II.12, slag tidak akan mengembang secara makroskopik jika digunakan sebagai

material granular (agregat).

σφσσ

Rdπ

k ed ≤= (II.13)

hal mana σd adalah tegangan tarik maksimum slag (N/m2), k adalah faktor

keamanan lebih besar dari satu, d adalah ukuran partikel slag, R adalah rasio retak

partikel, σe adalah tegangan ekspansi volumetrik (N/m3), φ adalah faktor isi slag

dan σ adalah tegangan izin tarik.

2.8 Proporsi Campuran Semen dan Bubuk Slag Nikel

Livingston dan Bumrongjaroen (2005) mengusulkan metode pendekatan dalam

penentuan proporsi campuran antara silica fume, fly ash, dan semen untuk

pembuatan beton kinerja tinggi. Pendekatan yang diusulkan mengacu kepada

prinsip keseimbangan gabungan mineral yang diadopsi dari konsep

termodinamika geokimia (geochemical thermodynamic). Pendekatan yang

diusulkan bersifat chemographics dengan melibatkan parameter-parameter

senyawa kimia CaO, SiO2, dan Al2O3 dari bahan yang akan digabungkan.

Pendekatan diawali dengan merepresentasikan reaksi kimia dalam diagram phase

yang tepat. Reaksi utama hidarsi semen direpresentasikan oleh komponen utama

yaitu trikalsium silikat (C3S) dan dikalsium silikat (C2S), seperti pada persamaan

II.14 dan II.15.

Page 34: Bab II Tinjauan Pustaka II.1 Umum - digilib.itb.ac.iddigilib.itb.ac.id/files/disk1/628/jbptitbpp-gdl-hanafiasha-31397-3... · secara khusus mengenai proses produksi dan penggunaan

47

( ) ( ) ( )44 344 21444 3444 2143421

HCHSCSC22yx2

3

2 OHCax3O.nHOH.SiCaOHzSiOCaO.3−−−

−+→+ (II.14)

( ) ( ) ( )44 344 21444 3444 2143421

HCHSCSC22yx2

2

2 OHCax2O.nHOH.SiCaOHzSiOCaO.2−−−

−+→+ (II.15)

Unsur x pada kedua persamaan tersebut di atas adalah rasio C/S, dimana nilainya

bervariasi antara satu referensi dengan referensi lainnya. Taylor (1997)

menetapkan harga C/S = 1,65. Siddique (2000) menetapkan harga C/S = 1,60,

sedangkan Mindess dan Young (1981) adalah 1,5 – 2,0.

Reaksi trikalsium Silikat (C3S) dan dikalsium silikat (C2S) dengan air (H2O)

selain menghasilkan gel kalsium silikat hidrat (CSH), juga memberikan hasil

sampingan yaitu kalsium hidroksida (CH). Hadinya material pozzolanik akan

memberikan tambahan ion silika yang bereaksi dengan kalsium hidroksida (CH)

sehingga membentuk gel kalsium silikat hidrat (CSH) sekunder, seperti terlihat

pada persamaan II.16.

( ) ( ) ( )444 3444 21

sekunderH)S(C

2yx224

4 OH.nOHSiCaOHnOH2xyOHCaxSiO−−

− →+−−++ (II.16)

Selain itu unsur aluminium (Al) pada material pozzolanik, dapat pula bereaksi

dengan kalsium hidroksida (CH) sehingga membentuk phase hydrogarnet

(CASH), seperti terlihat pada persamaan II.17.

( ) ( )444 3444 21

tHydrogarne

48234

42

4 OOHSiAlCaSiOCa3OHAl2 ⇒++ −+− (II.17)

Livingston dan Bumrongjaroen (2005) menggunakan harga C/S (x) yaitu 1,65 di

dalam C-S-H dan C/S = 3, A/S = 1 di dalam hydrogarnet dan nol di dalam CH,

sehingga komponen dari gabungan mineral tersebut diperoleh sebagai berikut :

Page 35: Bab II Tinjauan Pustaka II.1 Umum - digilib.itb.ac.iddigilib.itb.ac.id/files/disk1/628/jbptitbpp-gdl-hanafiasha-31397-3... · secara khusus mengenai proses produksi dan penggunaan

48

⎪⎪

⎪⎪

+=

+=

+=

tHydrogarneCSH

tHydrogarneCSH

tHydrogarneCSH

S1.S0.A

S3.S1.65.C

S1.S1.S

(II.18)

Dalam diagram phase sistim ternary, keseimbangan gabungan mineral tersebut

merupakan penjumlahan dari komponen-komponen di dalam persamaan II.18,

yaitu :

1ASC =++ (II.19)

Solusi dari persamaan II.19 adalah sebagai berikut :

( )2,35

S2,651A −= (II.20)

Persamaan II.20 digambarkan dalam diagram phase sistim ternary sebagai garis

keseimbangan gabungan mineral tanpa kandungan kalsium hidroksida (CH = 0),

seperti diperlihatkan pada gambar II.16.

Selanjutnya komposisi kimia CaO, Al2O3 dan SiO2 dari bahan yang akan

digabungkan, misalnya semen, fly ash, dan silica fume, diplot ke dalam diagram

phase sistim ternary tersebut, sehingga membentuk daerah penggabungan mineral,

seperti ditunjukkan pada gambar II.17.

Dengan perbandingan tertentu antara fly ash dan silica fume, misalnya 1 : 1, maka

diperoleh garis penggabungan mineral, seperti terlihat pada gambar II.18. Titik

perpotongan antara garis penggabungan mineral tersebut dengan garis

keseimbangan menurut persamaan II.20, merupakan titik yang menunjukkan

proprosi optimum campuran antara semen, fly ash, dan silica fume dengan produk

akhir tanpa kalsium hidroksida (CH).

Page 36: Bab II Tinjauan Pustaka II.1 Umum - digilib.itb.ac.iddigilib.itb.ac.id/files/disk1/628/jbptitbpp-gdl-hanafiasha-31397-3... · secara khusus mengenai proses produksi dan penggunaan

49

Gambar II.16. Garis keseimbangan gabungan mineral sistim ternary C-A-S

Gambar II.17. Daerah gabungan mineral semen, fly ash dan silica fume

CaO

Al2O3

0,2

SiO2

0,0

0,0

0,2

0,2

0,4

0,4

0,4 0,6

0,8

0,6

0,6

1,0

0,8

0,8 1,0

1,0

C/S = 1,65

CaO

Al2O3

0,2

SiO2

0,0

0,0

0,2

0,2

0,4

0,4

0,4 0,6

0,8

0,6

0,6

1,0

0,8

0,8 1,0

1,0

C/S = 1,65

PC

SF

FA

Page 37: Bab II Tinjauan Pustaka II.1 Umum - digilib.itb.ac.iddigilib.itb.ac.id/files/disk1/628/jbptitbpp-gdl-hanafiasha-31397-3... · secara khusus mengenai proses produksi dan penggunaan

50

Gambar II.18. Garis pencampuran dengan rasio SF/FA = 1

CaO

Al2O3

0,2

SiO2

0,0

0,0

0,2

0,2

0,4

0,4

0,4 0,6

0,8

0,6

0,6

1,0

0,8

0,8 1,0

1,0

C/S = 1,65

PC

SF

FA

SF : FA = 1

: 1

• Proporsi optimum

0,0