BAB II TINJAUAN PUSTAKA, HASIL PENELITIAN DAN ANALISA...
Transcript of BAB II TINJAUAN PUSTAKA, HASIL PENELITIAN DAN ANALISA...
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA, HASIL PENELITIAN DAN ANALISA
A. Tinjauan Pustaka
1. Konsepsi Negara Hukum
Ada beberapa konsepsi tentang negara hukum yang dapat dipelajari dari para ahli.
Konsepsi-konsepsi tersebut dapat diuraikan di bawah ini.
a. Menurut Julius Stahl, konsep Negara Hukum yang disebutnya dengan istilah
‘rechtsstaat’ itu mencakup empat elemen penting, yaitu:
1) Perlindungan hak asasi manusia
2) Pembagian kekuasaan
3) Pemerintahan berdasarkan undang-undang
4) Pengadilan tata usaha negara.1
b. Sedangkan A.V. Dicey menguraikan adanya tiga ciri penting dalam setiap Negara
Hukum yang disebutnya dengan istilah “The Rule of Law”, yaitu:
1) Supremacy of Law.
2) Equality before the law.
3) Due Process of Law.2
Keempat prinsip ‘rechtsstaat’ yang dikembangkan oleh Julius Stahl tersebut di
atas pada pokoknya dapat digabungkan dengan ketiga prinsip ‘Rule of Law’ yang
1JimlyAsshiddiqie; Hukum Tata Negara danPilar-PilarDemokrasi: SerpihanPemikiranHukum Media dan
HAM; Op Cit.; h. 148. 2Ibid.
dikembangkan oleh A.V. Dicey untuk menandai ciri-ciri Negara Hukum modern
di zaman sekarang.
c. Menurut The International Commission of Jurist, menentukan pula syarat-syarat
representative government under the rule of law, sebagai berikut:3
1) Adanya proteksi konsitusional,
2) Adanya pengadilan yang bebas dan tidak memihak,
3) Adanya pemilihan umum yang bebas,
4) Adanya kebebasan untuk menyatakan pendapat dan berserikat,
5) Adanya tugas oposisi,
6) Adanya pendidikan civic.
d. Menurut Jimly Asshiddiqie, berdasarkan berbagai prinsip negara hukum yang
telah dikemukakan tersebut dan melihat kecenderungan perkembangan negara
hukum modern yang melahirkan prinsip-prinsip penting baru untuk mewujudkan
negara hukum, maka terdapat dua belas prinsip pokok sebagai pilar-pilar utama
yang menyangga berdirinya negara hukum. Keduabelas prinsip tersebut adalah:4
1) Supremasi Hukum (Supremacy of Law)
2) Persamaan dalam Hukum (Equality before Law)
3) Asas Legalitas (Due Process of Law)
4) Pembatasan Kekusaaan
5) Organ-Organ Penunjang yang Independen
6) Peradilan Bebas dan Tidak Memihak
7) Peradilan Tata Usaha Negara
8) Mahkamah Konstitusi (Constitutional Court)
9) Perlindungan Hak Asasi Manusia
10) Bersifat Demokratis (Democratische Rechtsstaat)
11) Berfungsi Sebagai Sarana Mewujudkan Tujuan Bernegara (Welfare
Rechtsstaat)
12) Transparansi dan Kontrol Sosial
13) Ber-Ketuhanan Yang Maha Esa
3Sri Sumantri, Tentang Lembaga-Lembaga Negara Menurut UUD 1945, Cetakan IV, (Bandung: Citra
Aditya Bakti, 1989), hal. 12-13. Sebagaimana ada dalam Ibid, h. 148-149. 4JimlyAsshiddiqie, Gagasan Negara Hukum Indonesia; Sebuah makalah lepas; h. 8-15; Lihat
http://www.jimly.com/makalah/namafile/135/Konsep_Negara_Hukum_Indonesia.pdf
DikunjungipadaJumat 3 Juli 2015, pukul 18.07 WIB. Lihat juga; Ibid, h. 149-150
Khusus mengenai hubungan antara gagasan negara hukum dan konsep hak asasi
manusia Jimly Asshiddiqie memberikan penjelasan khusus. Adanya perlindungan
konstitusional terhadap hak asasi manusia dengan jaminan hukum bagi tuntutan
penegakannya melalui proses yang adil. Perlindungan terhadap hak asasi manusia
tersebut dimasyarakatkan secara luas dalam rangka mempromosikan penghormatan
dan perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia sebagai ciri yang penting suatu
Negara Hukum yang demokratis. Setiap manusia sejak kelahirannya menyandang
hak-hak dan kewajiban-kewajiban yang bersifat bebas dan asasi. Terbentuknya
Negara dan demikian pula penyelenggaraan kekuasaan suatu Negara tidak boleh
mengurangi arti atau makna kebebasan dan hak-hak asasi kemanusiaan itu. Karena
itu, adanya perlindungan dan penghormatan terhadap hak-hak asasi manusia itu
merupakan pilar yang sangat penting dalam setiap Negara yang disebut sebagai
Negara Hukum. Jika dalam suatu Negara, hak asasi manusia terabaikan atau
dilanggar dengan sengaja dan penderitaan yang ditimbulkannya tidak dapat diatasi
secara adil, maka Negara yang bersangkutan tidak dapat disebut sebagai Negara
Hukum dalam arti yang sesungguhnya.
Adanya perlindungan konstitusional terhadap hak asasi manusia dengan jaminan
hukum bagi tuntutan penegakannya melalui proses yang adil. Perlindungan
terhadap hak asasi manusia tersebut dimasyarakatkan secara luas dalam rangka
mempromosikan penghormatan dan perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia
sebagai ciri yang penting suatu Negara Hukum yang demokratis. Setiap manusia
sejak kelahirannya menyandang hak-hak dan kewajiban-kewajiban yang bersifat
bebas dan asasi.
Terbentuknya Negara dan demikian pula penyelenggaraan kekuasaan suatu
Negara tidak boleh mengurangi arti atau makna kebebasan dan hak-hak asasi
kemanusiaan itu. Karena itu, adanya perlindungan dan penghormatan terhadap
hak-hak asasi manusia itu merupakan pilar yang sangat penting dalam setiap
Negara yang disebut sebagai Negara Hukum. Jika dalam suatu Negara, hak asasi
manusia terabaikan atau dilanggar dengan sengaja dan penderitaan yang
ditimbulkannya tidak dapat diatasi secara adil, maka Negara yang bersangkutan
tidak dapat disebut sebagai Negara Hukum dalam arti yang sesungguhnya. Dalam
pasal 28 I ayat 5 UUD 1945 menyebutkan bahwa untuk menegakkan dan
melindungi hak asasi manusia sesuai dengan prinsip negara hukum yang
demokratis, maka pelaksanaan hak asasi manusia dijamin, diatur, dan dituangkan
dalam perundang-undangan.
2. Konsepsi Perlindungan Hukum
Ada banyak pakar atau penulis yang memberikan definisi mengenai perlindungan
hukum. Beberapa dapat dicantumkan di bawah ini.
a. Satjipto Raharjo, mendefinisikan Perlindungan Hukum adalah memberikan
pengayoman kepada hak asasi manusia yang dirugikan orang lain dan
perlindungannya tersebut diberikan kepada masyarakat agar mereka dapat
menikmati semua hak-hak yang diberikan oleh hukum.5
b. Philipus M. Hadjon berpendapat bahwa Perlindungan Hukum adalah
perlindungan akan harkat dan martabat, serta pengakuan terhadap hak-hak asasi
5DefinisiPerlindunganHukuminidiambildari:
http://tesishukum.com/pengertian-perlindungan-hukum-menurut-para-ahli/
Dikunjungipadatanggal 17 Januari 2017 pukul. 21.18 WIB.
manusia yang dimiliki oleh subyek hukum berdasarkan ketentuan hukum dari
kesewenangan.6
c. Abdul Mukhtie Fadjar menyebutkan bahwa:
perlindungan hukum adalah penyempitan arti dari perlindungan, dalam hal ini
hanya perlindungan oleh hukum saja. Perlindungan yang diberikan oleh hukum,
terkait pula dengan adanya hak dan kewajiban, dalam hal ini yang dimiliki oleh
manusia sebagai subyek hukum dalam interaksinya dengans esama manusia serta
lingkungannya. Sebagai subyek hukum manusia memiliki hak dan kewajiban
untuk melakukan suatu tindakan hukum.7
d. Pasal 1 Angka 4 UU. RI No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan
Dalam Rumah Tangga, mengatur bahwa Perlindungan adalah segala upaya yang
ditujukan untuk memberikan rasa aman kepada korban yang dilakukan oleh pihak
keluarga, advokat, lembaga sosial, kepolisian, kejaksaan, pengadilan, atau pihak
lainnya baik sementara maupun berdasarkan penetapan pengadilan.
e. Pasal 1 Angka 5 UU RI No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan
dalam Rumah Tangga, mengatur bahwa Perlindungan Sementara adalah
perlindungan yang langsung diberikan oleh kepolisian dan/atau lembaga sosial
atau pihak lain, sebelum dikeluarkannya penetapan perintah perlindungan dari
pengadilan.
Sehubungan dengan beberapa pengertian tersebut, perlindungan hukum adalah segala
daya upaya yang dilakukan secara sadar oleh setiap orang maupun lembaga
pemerintah, swasta yang bertujuan mengusahakan pengamanan, penguasaan dan
pemenuhan kesejahteraan hidup sesuai dengan hak-hak asasi yang ada sebagaimana
diatur dalam Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak-hak Asasi
Manusia.Pada prinsipnya perlindungan hukum tidak membedakan terhadap kaum pria
6Ibid. 7Ibid.
maupun wanita. Indonesia sebagai negara hukum berdasarkan Pancasila haruslah
memberikan perlindungan hukum terhadap warga masyarakatnya karena itu
perlindungan hukum tersebut akan melahirkan pengakuan dan perlindungan hak asasi
manusia dalam wujudnya sebagai makhluk individu dan makhluk sosial dalam wadah
negara kesatuan yang menjunjung tinggi semangat kekeluargaan demi mencapai
kesejahteraan bersama.
3. Undang-Undang No 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 39 tahun 1999 selanjutnya disebut UU
HAM, definisi Hak Asasi Manusia adalah seperangkat hak yang melekat pada hakikat
dan keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Kuasa dan merupakan
anugerah-Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi oleh negara
hukum, pemerintah dan setiap orang, demi kehormatan serta perlindungan harkat dan
martabat.8
Dalam undang-undang ini pengaturan mengenai Hak Asasi Manusia di tentukan
dengan berpedoman pada Deklarasi Hak Asasi Manusia PBB, konvensi PBB tentang
penghapusan segala bentuk diskriminasi terhadap wanita, konvensi PBB tentang hak-
hak anak dan berbagai instrumen internasional lain yang mengatur tentang Hak Asasi
Manusia, Pancasila, UUD 1945 dan TAP MPR RI Nomor XVII/MPR.
Berkaitan dengan hak-hak perempuan dan anak untuk memperoleh perlindungan
dari tindak kekerasan dalam rumah tangga, pengaturan dalam UU HAM dapat dilihat
dalam pasal 45 yang berbunyi “hak wanita dalam Undang-Undang ini adalah hak
asasi manusia. Serta dalam pasal 50 diatur bahwa wanita yang telah dewasa dan/atau
8 Pasal 1 angka 1 UU NOMOR 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia
telah menikah berhak untuk melakukan perbuatan hukum sendiri, kecuali ditentukan
lain oleh hukum agamanya. Selain itu dalam pasal 51 ayat 1 yang mengatur bahwa
seorang istri selama dalam ikatan perkawinan mempunyai hak dan tanggung jawab
yang sama dengan suaminya atau semua hal yang berkenaan dengan kehidupan
perkawinannya, hubungan dengan anak-anaknya dan hak pemilikan serta pengelolaan
harta bersama.
4. Konsepsi Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga.
1. Pasal 1 Angka 1 UU RI No 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan kekerasan Dalam
Rumah Tangga, mengatur bahwa Kekerasan dalam Rumah Tangga adalah setiap
perbuatan terhadap seseorang terutama perempuan,yang berakibat timbulnya
kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual, psikologis, dan/ataupenelantaran
rumah tangga termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan,
atauperampasan kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup rumah tangga.
2. Pasal 1 Angka 1 UU RI No 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan kekerasan Dalam
Rumah Tangga, mengatur bahwa Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga
adalah jaminan yang diberikan oleh negara untukmencegah terjadinya kekerasan
dalam rumah tangga, menindak pelaku kekerasan dalam rumah tangga,dan
melindungi korban kekerasan dalam rumah tangga.
3. Korban adalah orang yang mengalami kekerasan dan/atau ancaman kekerasan dalam
lingkup rumahtangga.
Seperti telah disampaikan dalam Sub Bab tentang Pembatasan Masalah, penulis
tertari untuk mengangkat skripsi ini karena ada satu kata yang tegas yaitu kata
penghapusan. Kata hapus adalah kata kerja kerja (verb) yang berarti (1) tidak terdapat
atau tidak terlihat lagi; hilang; (2) musnah; lenyap; (3) diampuni. Kata menghapus adalah
kata kerja (verb) yang berarti (1) menggosok-gosok sesuatu supaya bersih dan
sebagainya; (2) meniadakan; menghilangkan. Kata menghapuskan adalah kata kerja
(verb) yang berarti (1) menghilangkan (tulisan, noda, dan sebagainya) dengan digosok
dan sebagainya; (2 – kata kerja intransitif) yang berarti menyatakan telah tidak berlaku
lagi; menghilangkan; meniadakan; dan (3) menganggap telah hapus (telah tidak ada);
menganggap telah lunas (tentang utang); mengampuni dosa dan sebagainya. Selanjutnya,
kata penghapusan adalah kata benda (noun) yang berarti proses, cara, perbuatan
menghapuskan; peniadaan; pembatalan dan sebagainya.9
B. Hasil Penelitian
Hasil Penelitian dalam skripsi ini akan berusaha memperlihatkan gambaran
umum, penyebab KDRT dan beberapa dokumen yang memberitakan tentang KDRT. Hal
ini ditempuh oleh penulis dalam rangka memberi gambaran tentang persoalan hukum
tentang dan di sekitar KDRT.
Dokumen pemberitaan ini tidak sebagai unit amatan dalam rangka studi kasus,
tetapi nantinya akan dihubungkan dalam Analisa, dengan dengan pentingnya penguatan
norma hukum dalam ketentuan-ketentuan hukum, dan pengenalan atas UU No. 23 Tahun
9KamusBesarBahasa Indonesia/KBBI Online; Lihat: http://kbbi.web.id/hapus ;DikunjungipadaSelasa 18 April 2017, pukul 08.43 WIB. DefinisiPerlindunganHukuminidiambildari: http://tesishukum.com/pengertian-perlindungan-hukum-menurut-para-ahli/ Dikunjungipadatanggal 17 Januari 2017 pukul. 21.18 WIB.
2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah tangga, demi bekerjanya hukum
secara nyata dalam urusan mengantisipasi dan menyelesaikan masalah hukum KDRT.10
1. Gambaran Umum
Di Indonesia. Almira At-Thahirah pada tahun 2006, menjelaskan bahwa sekitar 24
juta perempuan dari 217 juta penduduk Indonesia terutama di pedesaan mengakui
pernah mengalami kekerasan dan yang terbesar adalah KDRT. Komnas perempuan
pada tahun 2001 melakukan survei pada 14 daerah di Indonesia (Aceh, Palembang,
Jambi, Bengkulu, Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, Yogyakarta, Jawa Timur,
Kalimantan Barat, Maluku, Sulawesi Utara, Sulawesi Selatan, NTT) menunjukkan
bahwa kaum perempuan paling banyak mengalami kekerasan dan penganiayaan oleh
orang-orang terdekatnya serta tindak perkosaan di lingkungan komunitasnya
sendiri.11Selain daripada itu menurut Seto Mulyadi, terdapat 60% kekerasan terhadap
anak dilakukan oleh orangtua mereka.12
2. Sebab-sebab Terjadinya KDRT
Menurut Achmad Chusairi, kekerasan terhadap istri pada rumah tangga disebabkan
oleh adanya dominasi sumber ekonomi keluarga, memiliki persoalan psikis di mana
10Dalam hal ini sangat penting mengenal intisari dari ketentuan hukum tentang KDRT ini. Untuk itu
silakan membaca Dewi Novirianti, Peri Umar Farouk, Bambang Soetono; Kekerasan Dalam Rumah
Tangga;Badan Pembinaan Hukum Nasional &Justice for the Poor Program, The World Bank – Social
Development Office, Jakarta. Buku ini menjadi acuan utama untuk mengenal dan memperkenalkan UU
No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga, sebagaimana diacu dalam
skripsi ini. 11Rohmat Wahab; Op Cit.; h. 2. 12Ibid.
trauma masa kecil dan tinggal dalam lingkungan dengan penuh
kekerasan.13Perempuan yang tidak memiliki kemandirian ekonomi maka ia sangat
tergantung pada suaminya. Suami yang memiliki persoalan psikis, baik tekanan
pekerjaan maupun persoalan pribadi di luar rumah. Persoalan psikis itu
mengakibatkan stress yang berujung pada tindakan kekerasan terhadap istri.
Di samping itu, kekerasan yang dilakukan oleh suami berdasarkan hasil ingatan
tentang kekerasan yang di alaminya pada masa kanak-kanak. Suami yang melakukan
kekerasan terhadap istrinya adalah mereka yang penuh menerima perlakuan
kekerasan di masa kecilnya baik oleh orang tuanya maupun lingkungannya. Trauma
masa kecil kemudian diulang kepada istrinya sebagai semacam dendam atas
pengalaman yang menyakitkan.14
Faktor-faktor yang menimbulkan dominasi suami terhadap istri menjadi dua factor,
pertama faktor eksternal; kedua faktor internal. Dan dua faktor tersebut,
menyimpulkan bahwa secara keseluruhan terdapat sedikitnya enam faktor yang
menyebabkan dominasi suami terhadap istri, yaitu;15
a. Fakta bahwa laki-laki dan perempuan tidak diposisikan setara dalam masyarakat.
b. Masyarakat masih membenarkan anak laki-laki dengan didikan yangbertumpukan
pada kekuatan fisik, yaitu untuk menumbuhkan keyakinan bahwa mereka harus
kuat berani serta tidak toleran.
c. Budaya yang mengkondisikan perempuan atau istri tergantung kepada laki-laki-
laki atau suami, khususnya ekonomi.
d. Adanya persepsi tentang kekerasan yang terjadi dalam rumah tangga yang di
anggap harus ditutup karena termasuk privasi suami istri dan bukan merupakan
permasalahan sosial.
e. Adanya pemahaman yang keliru terhadap ajaran agama tentang penghormatan
pada posisi suami, tentang aturan mendidik istri dan tentang ajaran kepatuhan istri
terhadap suami.
13.Achmad Chusari, Kekerasan Terhadap Istri dan Ketidakadilan Gender; Jakarta,:Paradigma, 1997, h.
54. 14Ibid. 15SaparinahSadeli, KekerasanTerhadapPerempuan di Indonesia. Jakarta. 2000. h. 4.
f. Kondisi kepribadian dan psikologis suami yang tidak stabil (labil).
Bila diperhatikan secara mendalam penjelasan di atas yang disampaikan oleh para
ilmuwan, perbedaan (laki-laki dan perempuan secara sosial (gender)) menduduki
peran yang sangat besar dalam menyumbang KDRT. Untuk merespons cara pandang
tersebut, dalam dua dekade terakhir lahirlah kelompok feminis yang secara khusus
menyoroti kedudukan perempuan dalam masyarakat.16
Feminis berupaya menggugat kemapanan patriarkhi dan berbagai bentuk stereotip
gender lainnya yang berkembang luas dalam masyarakat. Kaum feminism
menyatakan bahwa semua manusia laki-laki dan perempuan di ciptakan seimbang dan
serasi dan mestinya tidak terjadi penindasan antara satu dengan yang lainnya.17
Ada juga pendapat dari TO Ihromi tentang faktor-faktor yang menyebabkan
kekerasan dalam rumah tangga.18
a. Kurangnya komunikasi
Komunikasi dalam suatu keluarga merupakan faktor utama yang menentukan
keharmonisan suatu keluarga. Dengan adanya komunikasi maka antara anggota
keluarga dapat terbuka kepada satu sama lain mengenai keluhan, uneg-uneg,
ataupun hal-hal lain yang berkaitan dengan keluarga tersebut. Apabila sampai
tidak ada suatu komunikasi dalam suatu keluarga tersebut maka dapat dipastikan
akan memperbesar kemungkinan timbulnya konflik yang berujung pada
kekerasan dalam rumah tangga dan hal ini sangat mungkin menimbulkan korban.
b. Penyelewengan
16Ibid. 17Ibid. 18TOIhromi;.BungaRampaiSosiologiKeluarga; Jakarta,YayasanObor Indonesia, 1999, h.525 -528.
Munculnya orang ketiga dalam hubungan suami istri merupakan masalah besar
yang dihadapi oleh pasangan tersebut. Tak jarang hal itu akan menimbulkan
perceraian ataupun mungkin menimbulkan suatu tindakan KDRT. Hal ini
mungkin saja terjadi misalnya muncul kejadian seorang suami yang mempunyai
wanita selingkuhan, saat sedang kencan tiba-tiba sang istri melihat perbuatan
tersebut. Saat berada di rumah sang istri ingin menanyakan kebenaran hal yang di
lihat, namun sang suami merasa tidak terima dan pada akhirnya akan berujung
pada kekerasan fisik yang dilakukan sang suami kepada istri. Kebanyakan dalam
kasus seperti ini yang menjadi tersangka adalah sang suami dan yang menjadi
korban adalah sang istri ataupun sang anak yang menjadi pelampiasan dari
penyelewengan ini.
c. Frustasi
Faktor ini biasanya muncul apabila sang suami sedang merasa putus asa dengan
pekerjaan yang sedang ia jalani dan kemudian menimbulkan rasa frustasi yang
begitu besar dalam dirinya. Di sisi lain sang istri terus menekan sang suami
menjalankan tanggung jawabnya memenuhi kebutuhan ekonomi keluarga.
Dengan keadaan yang seperti ini kemudian menyebabkan tingkat frustasi yang
begitu membumbung besar pada diri sang suami yang kemudian membuat tingkat
emosinya meledak. Maka pada akhirnya akan memicu munculnya tindakan
KDRT akibat rasa frustasi dan pemahaman yang rendah diantara anggota keluarga
tersebut.
d. Perubahan status sosial
Faktor penyebab ini merupakan faktor yang sering muncul pada suatu keluarga
dalam masyarakat perkotaan dengan tingkat kehidupan ekonomi menengah ke
atas. Dengan adanya keadaan demikian kemudian juga membuat tingkat gengsi
yang tinggi pada keluarga tersebut. Masalah akan muncul apabila terjadi suatu
keadaan misalnya yaitu berkurangnya sumber pendapatan, berakhirnya masa
jabatan, dan hal lain yang berkaitan dengan hal tersebut. Dengan munculnya hal
seperti itu kemudian membuat masing-masing anggota keluarga merasa malu
dengan orang sekitar dan kemudian memberikan tekanan yang berlebihan kepada
pihak yang berperan sebagai mencari nafkah, biasanya sang ayah. Akibatnya akan
memicu munculnya potensi KDRT dalam keluarga tersebut.
e. Kekerasan sebagai sumber daya menyelesaikan masalah
Budaya berkaitan erat dengan faktor penyebab ini. Dikatakan demikian karena
apabila seseorang laki-laki apabila dari sejak lahir sudah berada pada lingkungan
yang keras dan terus di didik dengan nilai-nilai yang berhubungan dengan unsure
kekerasan maka saat ia berkeluarga akan menggunakan kekerasan sebagai sarana
yang paling tepat dan cepat untuk menyelesaikan suatu masalah. Kekerasan sudah
seakan mendarah daging sehingga suatu masalah tidak akan mantap apabila tidak
diselingi dengan tindak kekerasan. Misalkan, ada seorang pria yang berasal dari
lingkungan keluarga preman. Dari kecil ia sudah di latih dan terbiasa dengan
nilai-nilai kekerasan, saat ingin mendapatkan sesuatu yang ia inginkan maka
harus bertengkar untuk memperolehnya. Hingga pada saatnya ia berkeluarga dan
mempunyai seorang istri serta anak. Pada suatu waktu muncul masalah yaitu sang
anak mendapat nilai yang buruk dalam raport sekolahnya. Sang bapak tidak
terima dan kemudian memukuli sang anak karena tidak mampu memenuhi
keinginan sang bapak untuk mendapatkan nilai yang baik. Dari sini muncul tindak
KDRT pada anak yang di lakukan oleh sang bapak.
Seelau & Seelau, 225, mengatakan bahwa dari beberapa kajian literatur, kekerasan
dalam rumah tangga yang dilakukan oleh laki‐ laki terhadap perempuan hal ini lebih
sering terjadi yaitu kekerasan yang dilakukan laki‐ laki ditujukan kepada
perempuan. Persepsi yang menjadi pelaku kekerasan lebih memungkinkan adalah
laki‐ laki dan yang mengalami kekerasan korbannya adalah perempuan hal ini
berhubungan dengan stereotipe bias gender 19
Hal tersebut terjadi,menurut Worthen & Sullivan, 2005, diakibatkan adanya bias
gender yaitu terdapat perbedaan‐ perbedaan faktor biologis antara perempuan dan
laki‐ laki. Perempuan memang berbeda secara jasmaniah dari laki‐ laki, perempuan
mengalami haid, dapat mengandung, melahirkan serta menyusui yang melahirkan
mitos dalam masyarakat bahwa perempuan berhubungan dengan kodrat sebagai ibu.
Perbedaan ciri‐ ciri perempuan dan laki‐ laki terlihat sejak masa kanak‐ kanak di
mana anak laki‐ laki lebih banyak memperoleh kesempatan bermain di luar rumah
dan mereka bermain lebih lama dari anak perempuan, permainan anak laki‐ laki
lebih bersifat kompetitif dan konstruktif hal ini disebabkan karena anak laki‐ laki
lebih tekun dan lebih efektif dari anak perempuan, serta permainan anak perempuan
lebih banyak bersifat kooperatif serta lebih banyak di dalam ruangan.
Perbedaanperbedaan biologis dan psikologis ini menimbulkan pendapat‐ pendapat
19Sebagaimana ada dalam Anugriaty Indah Asmarany; Bias Gender
SebagaiPrediktorKekerasanDalamRumahTangga; JURNAL PSIKOLOGI FAKULTAS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS GADJAH MADA; VOLUME 35, NO. 1, 1 – 20 ISSN: 0215-8884; h. 2Lihat:
https://jurnal.ugm.ac.id/jpsi/article/download/7096/5548
DikunjungipadaSelasa 18 April 2017, pukul 17.51 WIB.
atau suatu kesimpulan di masyarakat dimana kesimpulan itu pada umumnya
merugikan pihak perempuan. Kesimpulan itu antara lain adalah laki‐ laki lebih
unggul dan lebih pandai dibanding anak perempuan, laki‐ laki lebih rasional dari
anak perempuan, serta perempuan lebih diharapkan menjadi istri dan ibu. Perbedaan
ini timbul karena sudut pandang yang terkadang salah menginterpretasikan
perempuan sehingga menimbulkan diskriminasi atau kerugian dipihak perempuan.20
Stark & Flitcraft, 1996 bahkan menegaskan bias gender itu berkorelasi dengan
kekerasan dalam rumah tangga. Dari beberapa kajian literatur, istilah bias gender
merujuk pada pandangan tentang maskulinisme dan feminimisme bahwa laki‐ laki
dan perempuan memiliki perbedaan mengenai diri atau identitas mereka
masing‐ masing. Teori individualis mengatakan bahwa perilaku agresi dan kekerasan
dipelajari dari karakteristik maskulin seorang laki‐ laki. Dengan melakukan
kekerasan dalam rumah tangga laki‐ laki merasa menunjukan jati dirinya sebagai
laki‐ laki sejati.21
Hal tersebut dapat dilihat dalam penelitian selama lebih dari dua dasawarsa.
mengemukakan mengenai bias gender yang konsisten berkorelasi dengan kekerasan
dalam rumah tangga. Dari beberapa kajian literatur, misalnya Ybarra, Wilkens dan
Lieberman, 2007, istilah bias gender merujuk pada keadaan di mana individu yang
lahir secara biologis sebagai laki‐ laki atau perempuan, memperoleh pencirian sosial
sebagai laki‐ laki atau perempuan, melalui berbagai atribut maskulinitas atau
20Ibid. 21Ibid, h. 4.
feminitas, yang sering didukung oleh nilai‐ nilai dan sistem simbol masyarakat yang
bersangkutan.22
MenurutWitte, Schroeder, & Lohr, 2006, hal tersebut dikarenakan adanya
penggambaran bahwa lakilaki dianggap lebih berkuasa dan kuat jadi lebih agresif
sehingga bisa menyebabkan kekerasan pada perempuan yang dilakukan dalam rumah
tangga.23
Pada uraian lain, berdasarkan hasil penelitian, faktor penyebabTerjadinya kekerasan
phisik disebabkan karena: (a) suami tidak bekerja, (b) suami tidak menentu
pekerjaannya artinya kadang-kadang bekerja, kadang-kadang tidak, (c) suami
temperamental artinya perilakunya kasar, sering marah, gampang emosional.
Sedangkan kekerasan psikis, latar belakang penyebab terjadinya kekerasan masih ada
kesamaan dengan penyebab terjadinya kekerasan fisik, sebab kekerasan psikis yang
dapat mengakibatkan ketakutan, rasa tidak berdaya dan megakibatkan penderitaan
psikis berat padakorban, disebabkan juga karena suami, ibu dalamrumah tangga yang
temperamental sehingga perilakunya seringkali marah dan mudah emosional. Faktor
lain yang menjadi penyebab tindak kekerasan terhadap perempuan karena pihak
suami tidak mempunyai pekerjaan sehingga mudah emosional dan mudah marah.24
3. Dokumentasi Kasus KDRT
22Ibid. 23Ibid. 24Arbaiyah Prantiasih, M Yuhdi, Siti Awaliyah; Model Perlindungan Hak Perempuan Korban Tindak
Kekerasan Dalam rumah Tangga; Jurnal Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan, Th. 28, Nomor
1, Pebruari 2015; h. 17. Lihat:
http://journal.um.ac.id/index.php/jppk/article/view/5435/2035
DikunjungipadaSabtu18 Maret 2017, pukul 11.48 WIB.
Dalam bagian ini penulis akan menginformasikan beberapa kasus KDRT untuk
kemudian membahasnya dalam Analisa, khususnya dalam hubungan dengan norma-
norma hukum dari UU No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam
Rumah Tangga.
a. Istri Tertekan Dipaksa Suami “Threesome” dan Menguruskan Badan 40
Kg.25
LE (42), warga BSD, Tangerang Selatan, mengaku dipaksa suaminya, ES (50),
untuk melakukan hal yang aneh-aneh. Selama 15 tahun umur pernikahan mereka,
baru kali ini LE diminta melayani hubungan seks secara threesome (aktivitas seks
yang melibatkan tiga orang dalam waktu bersamaan) dan diminta untuk
menurunkan berat badannya secara drastis.
Cerita berawal sejak tahun 2014. LE merasa suaminya mulai berubah dengan
meminta untuk berhubungan seks secara threesome dengan salah satu terapis di
tempat spa yang dikelola oleh LE.
Namun, permintaan itu ditolak oleh LE yang diikuti dengan hinaan dari ES.
Bahkan, ES sempat terang-terangan mengutarakan niatnya untuk menikah lagi
alias berpoligami.
"Saya dibilang kalau enggak mau threesome mau nikah lagi sama pegawai di
tempat spa," kata LE di Pengadilan Negeri Tangerang, Kamis (25/6/2015).
25Kompas – 25 Juni 2015; Andri Donnal Putera (Penulis) & Ana Shofiana Syatiri (Editor); Istri Tertekan
Dipaksa Suami "Threesome" dan Menguruskan Badan 40 Kg; Lihat:
http://megapolitan.kompas.com/read/2015/06/25/14054021/Istri.Tertekan.Dipaksa.Suami.Threesome.dan.
Menguruskan.Badan.40.Kg
Dikunjungi pada Selasa 18 April 2017, pukul 10.11 WIB.
Sejak menolak melakukan threesome, dia sering dihina karena bentuk tubuhnya
yang gemuk. Suaminya pun mendaftarkan LE yang memiliki berat badan sekitar
90 kilogram ke pusat kebugaran. LE kemudian dibekali latihan rutin oleh lima
personal trainer yang diminta langsung oleh ES.
Singkat cerita, berat badan LE berhasil turun ke angka 50 kilogram. Namun, tidak
lama setelah itu, ES kembali meminta LE mengizinkan dia berpoligami.
Permintaan itu ditolak.
Tak menyerah, pada September 2014, ES mengajukan surat izin poligami
langsung kepada LE untuk ditandatangani. LE menolak menandatangani surat
tersebut. Sementara itu, tekanan dari ES semakin menjadi hingga LE dirawat di
Rumah Sakit (RS) Eka Medika, BSD.
Di rumah sakit, LE sempat mau bunuh diri dengan sengaja meminum obat sampai
overdosis, tetapi bisa diselamatkan. Dari saat itu, LE melaporkan ES ke polisi atas
tuduhan tindak pidana kekerasan dalam rumah tangga.
Kasus tersebut sudah masuk ke ranah pengadilan, yakni Pengadilan Negeri (PN)
Tangerang. ES dan LE beserta kuasa hukumnya hadir dalam sidang hari ini
dengan agenda pemeriksaan saksi.
b. Komnas Perempuan: Pemaksaan "Threesome" kepada Istri Termasuk
Kekerasan Seksual.26
Kasus pemaksaan ajakan berhubungan seksual secara threesome, seperti yang
dialami korban LE (42) di Tangerang Selatan, dapat digolongkan sebagai
26Kompas – 26 Juni 2015; Unoviana Kartika (Penulis) & Hindra Liauw (Editor); Komnas Perempuan:
Pemaksaan "Threesome" kepada Istri Termasuk Kekerasan Seksual; Lihat:
http://megapolitan.kompas.com/read/2015/06/26/08400031/Komnas.Perempuan.Pemaksaan.Threesome.k
epada.Istri.Termasuk.Kekerasan.Seksual
Dikunjungi pada Selasa 19 April 2017, pukul 10.24 WIB.
kekerasan seksual. Pelaku tindakan tersebut terhadap LE adalah ES, suami
korban.
Komisioner Komisi Nasional Perempuan Indriyati Suparno mengatakan,
kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) dibagi menjadi empat bentuk, yaitu
kekerasan fisik, kekerasan psikis, kekerasan seksual, dan penelantaran ekonomi.
"Kalau kasusnya pemaksaan berhubungan seks secara threesome, itu bisa jadi
memang kekerasan seksual. Ini bisa masuk kekerasan psikis. Apabila terjadi luka
fisik, maka termasuk kekerasan fisik juga," tutur Indri kepada Kompas.com,
Kamis (25/6/2015).
Menurut dia, meski dikategorikan menjadi empat bentuk, kasus kekerasan dalam
rumah tangga biasanya tidak bisa berdiri sendiri. Dalam sebuah kasus, sering kali
terdapat beberapa bentuk kekerasan."Biasanya, ditemukan gabungan bentuk
kekerasan, bisa dua atau tiga bentuk," ungkap Indri.
Stres dan depresi merupakan dampak paling umum yang dirasakan korban yang
mengalami kasus KDRT. Bila dibiarkan, KDRT bisa berakibat fatal. Sayangnya,
kata dia, biasanya kasus KDRT baru terungkap setelah kasusnya menjadi besar.
Korban pun sudah menerima kekerasan yang berdampak parah.
Ia pun mencontohkan kasus kekerasan seksual yang dilakukan ES terhadap LE.
Korban telah menderita selama berbulan-bulan, bahkan LE sempat mencoba
bunuh diri.
c. KDRT Maut, Satu Meninggal dan Satu Kritis.27
Kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) berujung maut terjadi di Desa Geneng
RT 03 RW 01 Kecamatan Batealit. Pelaku, Seradju (54) melakukan penganiayaan
terhadap istri dan anaknya. Sang anak meninggal dan istri kritis.
Korban meninggal bernama Afriyanto (15), siswa salah satu MTs di
Raguklampitan Jepara. Adapun sang istri, Siti Hadroh (38) saat ini dalam kondisi
kritis.
Adik korban Siti, Sumanah (32) menjelaskan, kejadian terjadi sekitar pukul 05.00
WIB. Saat itu lingkungan sekitar rumah memang dalam kondisi sepi.
“Yang kali pertama menemukan adalah tetangga kakak saya. Tetangga tersebut
mendengar teriakan,” terang dia.
Mendengar teriakan ini, tetangga langsung mendatangi rumah korban. Saat
ditemukan kedua korban sudah dalam keadaan kritis.
Pelaku awalnya melakukan tindak kekerasan terhadap istrinya. Melihat sang ibu
dianiaya, Afriyanto mencoba menolong. Sayangnya, ia juga menjadi korban.
“Mengetahui keduanya kritis, warga membawa ke puskesmas dan selanjutnya
dirujuk ke RSUD Kartini,” terang dia. Sayangnya, nyawa Afriyanto tak tertolong.
27Suara Merdeka – 28 Oktober 2015; Adi Purnomo – Pewarta; KDRT Maut, Satu Meninggal dan Satu
Kritis; Lihat:
http://berita.suaramerdeka.com/kdrt-maut-satu-meninggal-dan-satu-kritis/
Dikunjungi pada Senin 24 April 2017, pukul 06.51 WIB.
d. KDRT Peringkat Pertama Kekerasan Terhadap Perempuan.28
Kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) menduduki peringkat pertama kasus
kekerasan terhadap perempuan di Jawa Tengah pada 2015. Menurut Divisi
Informasi dan Dokumentasi LRCKJHAM Kota Semarang Witi Muntari
menyatakan, ada 201 kasus dan korban KDRT selama 2015.
“Peringkat kedua adalah kekerasan dalam pacaran sebesar 68 kasus dan 102
korban. Peringkat ketiga adalah prostitut dengan 48 kasus 479 korban,” kata Witi
saat membeberkan data kekerasan terhadap perempuan selama 2015 di Semarang,
Selasa (8/12).
Adapun untuk korban kekerasan terhadap perempuan selama 2015, ada 477 kasus
dengan 1.227 korban dan 21 diantaranya meninggal dunia.
Sementara Kepala Operasional LRCKJHAM Eko Rusanto menyatakan, perlu
didorong RUU Anti Kekerasan Seksual dalam pembahasan prolegnas.
Pembahasan RUU Anti Kekerasan Seksual perlu segera dilakukan karena hanya
dua bentuk kekerasan yang diakomodir dalam KUHP.
e. Mengapa Wanita Masih Jadi Objek KDRT?29
MENGERIKAN. Semarang darurat Kekerasan dalam Rumah tangga (KDRT).
Lihat saja fakta ini: sebanyak 1.227 korban kekerasan terhadap perempuan
28Suara Merdeka – 8 Desember 2015; Puthut Ami Luhur (Pewarta); KDRT Peringkat Pertama Kekerasan
Terhadap Perempuan; Lihat:
http://berita.suaramerdeka.com/kdrt-peringkat-pertama-kekerasan-terhadap-perempuan/
Dikunjungi pada Sabtu 24 April 2017, pukul 07.17 WIB. 29Suara Merdeka – 16 Desember 2015; Bambang Isti (Penulis); Mengapa Wanita Masih Jadi Obyek
KDRT?; Lihat:
http://berita.suaramerdeka.com/mengapa-wanita-masih-jadi-objek-kdrt/
Dikunjungi pada Sabtu 24 April 2017, pukul 08.02 WIB.
terdaftar dalam laporan data situasi kasus kekerasan 2015 oleh Legal Resource
Center untuk Keadilan Jender dan Hak Asasi Manusia (LRC-KJHAM) Semarang.
“Angka ini meningkat 100 persen dari 2014, yang hanya sebanyak 638 korban
kekerasan,” tegas ketua LRC-KJHAM, Fatkhurozi.
“Jumlah korban meningkat drastis, dan juga ada sebanyak 21 korban meninggal
dunia,” ujarnya lagi ditemui di Kantor LRC-KJHAM di Jalan Kauman Raya no.
61A, Pedurungan, Semarang, Jumat (11/12).
Korban kekerasan ini terbagi dari beberapa jenis kasus. Ada delapan bentuk
kasus, yakni kekerasan dalam rumah tangga (KDRT), kekerasan dalam pacaran,
perkosaan, prostitut, buruh migran (Tenaga Kerja Wanita), perbudakan seksual,
pelecehan seksual, dan trafiking.
Kedelapan jenis itu memiliki jumlah kasus sendiri-sendiri, sehingga bila
kedelapan jenis kasus dijumlahkan, maka didapatkan data sebanyak 477 kasus
kekerasan terhadap perempuan di Jawa Tengah tahun 2015.
Kekerasan Seksual
Kekerasan terhadap perempuan sendiri juga terdiri dari beberapa bentuk, yakni
kekerasan fisik, kekerasan psikologis, dan kekerasan seksual. “Yang paling
banyak adalah kasus dalam bentuk kekerasan seksual, yang biasanya ada terdapat
pada kasus KDRT. Yakni sebanyak hampir 70 persen dari total bentuk kekerasan
yang ada,” ujar Oji.
Jumlah korban kekerasan terhadap perempuan ini meningkat karena terdapat
beberapa faktor. Faktor pertama adalah adanya deskriminasi jenis kelamin di
berbagai bidang. Seperti pemahaman bahwa fisik perempuan lebih lemah dari
laki-laki, sehingga menimbulkan mindset bahwa perempuan itu lemah. Kekerasan
selalu mengarah kepada yang lemah, bukan kepada yang kuat.
Faktor kedua adalah dampak dari faktor pertama, yakni karena ketiadaan
peraturan perundang-undangan mengenai kekerasan terhadap perempuan, praktek
tradisi, dan juga norma dan agama.
“Contohnya seperti sebuah kasus di kota Semarang, adanya sebuah geng yang
memiliki pemahaman bila tidak meniduri perempuan dianggap tidak jantan, dan
sebagainya,” jelasnya. Hal itu, menurutnya, akan menimbulkan dampak kekerasan
terhadap perempuan.
Untuk mengatasi meningkatnya jumlah korban kekerasan terhadap perempuan,
pihaknya telah melakukan beberapa tugas pokok. “Terdapat program-program
yang kami laksanakan, di antaranya adalah penanganan kasus, seperti penanganan
medis, psikologis, juga rumah aman,” tuturnya.
Peraturan Daerah
Selain itu, program yang lain adalah mengadakan kampanye anti kekerasan
terhadap perempuan, monitorin terhadap kasus-kasusnya, mengadakan laporan
akhir di akhir tahun, dan juga melakukan asistensi kepada unsur pemerintah
dalam pembuatan peraturan daerah.
Selain itu unsur pemerintahan harus menepati janjinya dalam pembuatan aturan-
aturan yang melindungi perempuan. Untuk meminimalisir kasus kekerasan
terhadap perempuan, pemerintah sebenarnya memiliki andil yang besar dalam
pembuatan aturan-aturan yang melindungi perempuan, namun sampai sekarang
masih belum ada undang-undang resmi yang mengatur itu.
Masyarakat juga harus mampu menciptakan kehidupan masyarakat yang care
terhadap perempuan. Dengan menciptakan kehidupan bermasyarakat yang peduli
terhadap perempuan, stigma atau mindset deskriminasi jenis kelamin secara
perlahan akan hilang, sehingga mampu menurunkan jumlah kasus kekerasan
terhadap perempuan.
f. Kasus Kekerasan Terhadap Perempuan Meningkat.30
Kasus kekerasan terhadap perempuan di Kota Pekalongan mengalami
peningkatan. Lembaga Perlindungan Perempuan Anak dan Remaja (LPPAR)
Kota Pekalongan mencatat ada 30 kasus kekerasan terhadap perempuan terjadi
sepanjang tahun 2015. Sebagian besar adalah kekerasan dalam rumah tangga
(KDRT).
Tim Profesi LPPAR Kota Pekalongan Bidang Psikologi Nur Agustina
mengatakan, jika dibandingkan dengan tahun 2014, jumlah kasus kekerasan
terhadap perempuan meningkat.”Tahun 2014, kasus kekerasan terhadap
perempuan tercatat hanya 19 kasus,” terangnya, Minggu (24/1).
Dijelaskan dia, dari 30 kasus kekerasan terhadap perempuan yang terjadi
sepanjang tahun 2015, sebagian besar adalah kekerasan psikis. Setelah itu
penelantaran, kekerasan fisik dan perkosaan. Sementara itu, jika dilihat dari
tempat kejadian tindak kekerasan tersebut, sebagian besar adalah rumah tangga.
Yakni sebanyak 21 kasus atau mencapai 70 persen dari jumlah kasus yang terjadi.
30Suara Merdeka – 24 Januari 2016; Isnawati (Pewarta); Kasus Kekerasan Terhadap Perempuan
Meningkat; Lihat:
http://berita.suaramerdeka.com/kasus-kekerasan-terhadap-perempuan-meningkat/
Dikunjungi pada Sabtu, 24 April 2017, pukul 07.13 WIB.
g. KDRT Harus Dipandang Sebagai Masalah Kriminal, Bukan Persoalan
Privat.31
Menurut data yang diperoleh oleh Komisi Nasional Perempuan, laporan
kekerasan terhadap perempuan di ranah rumah tangga atau relasi personal
sepanjang tahun 2015 mencapai 11.207 kasus dari total 16.217 kasus kekerasan
terhadap perempuan.
Dari jumlah tersebut, laporan dipilah dalam bentuk kekerasan terhadap istri (KTI)
sebesar 60 persen, kekerasan dalam pacaran (KDP) 24 persen, kekerasan terhadap
anak perempuan 8 persen.
Sisanya, adalah kekerasan mantan suami, mantan pacar, dan kekerasan terhadap
pekerja rumah tangga.
Tingginya presentase kasus KTI, menurut Ketua Sub Komisi Pemantauan
Komnas Perempuan, Indraswari, menunjukkan bahwa rumah belum menjadi
tempat yang aman bagi perempuan.
Menurut dia, hal tersebut terjadi karena ketimpangan relasi gender antara suami
dan istri masih cukup besar.
"Antara lain itu ditunjukkan dengan posisi subordinat istri dalam institusi
perkawinan," ujar Indraswari di kantor Komnas Perempuan, Jakarta Pusat, Senin
(7/2/2016).
31Kompas – 7 Maret 2016; Kristian Erdianto (Penulis) &Sabrina Asril (Editor); KDRT Harus Dipandang
Sebagai Masalah Kriminal, Bukan Persoalan Privat; Lihat:
http://nasional.kompas.com/read/2016/03/07/18000671/KDRT.Harus.Dipandang.Sebagai.Masalah.Krimi
nal.Bukan.Persoalan.Privat
Dikunjungi pada Selasa 18 April 2017, pukul 10. 49 WIB.
Lebih lanjut, dia mengatakan, meskipun sudah ada payung hukum Undang-
undang Nomor 23 tahun 2004 tentang penghapusan kekerasan dalam rumah
tangga (KDRT), namun di tingkat implementasi banyak hal yang harus dibenahi.
"Pembenahan perlu agar tidak kontra produktif, seperti misalnya ada kasus istri
melaporkan KDRT, yang dilakukann suaminya, suami malah menuntut balik,"
ungkapnya.
Tingginya kasus kekerasan dalam ranah personal khususnya terhadap istri,
mendorong urgensi monitoring dan evaluasi UU Penghapusa KDRT.
Menurut penuturan Indraswari, belum pernah diadakan monitoring dan evaluasi
secara menyeluruh terkait implementasinya, meski telah berlaku selama 11 tahun.
"Kekerasan di dalam rumah tangga harus dipandang sebagai masalah kriminal,
bukan semata persoalan privat," ucap dia.
h. Ibu Kota Masih Rentan KDRT.32
Perempuan di Ibu Kota masih rentan terhadap kekerasan dalam rumah tangga,
perkawinan di bawah umur, dan pelecehan seksual. Tak adanya pendidikan bagi
pemberdayaan perempuan membuat perempuan tetap rawan terhadap kekerasan.
Ini menjadi pekerjaan rumah bagi pemimpin DKI Jakarta pada masa depan.
Permasalahan yang masih dihadapi perempuan itu menjadi dasar penyelenggaraan
"Festival Budaya Perempuan: 1001 Cerita Perempuan Ciliwung untuk Kesetaraan
Perdamaian dan Penghapusan Kemiskinan" yang diadakan Institut KAPAL
32Kompas – 9 Desember 2016; Egidius Patnistik (Editor), Harian Kompas (Sumber); Ibu Kota
MasihRentan KDRT (Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 9 Desember 2016, di halaman
28 dengan judul "Ibu Kota Masih Rentan KDRT".); Lihat:
http://nasional.kompas.com/read/2016/12/09/19000041/ibu.kota.masih.rentan.kdrt
Dikunjungi pada Selasa 18 April 2017, pukul 10.33 WIB.
Perempuan di Gelanggang Olahraga Remaja Jakarta Timur, Jalan Otista, Jakarta
Timur, Kamis (8/12).
Hadir pada acara itu calon gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan serta
perwakilan dari tim kampanye calon gubernur DKI Agus Harimurti Yudhoyono
dan Basuki Tjahaja Purnama.
Festival itu menampilkan sejumlah tulisan kaum perempuan dari keluarga miskin
terkait permasalahan kehidupan mereka sehari-hari yang rentan terhadap
kekerasan dan kesulitan ekonomi. Marjinem (47), salah satunya, yang
mengungkapkan kesulitan ekonomi akibat suaminya yang tak bekerja dan
selingkuh.
"Saya nyaris bunuh diri karena hasil saya berdagang sayuran hanya untuk
membayar utang suami. Sampai anak saya putus sekolah karena saya kehabisan
uang," ucapnya.
Direktur Institut KAPAL Perempuan Misiyah mengatakan, kekerasan terhadap
perempuan masih sangat rawan terjadi di tengah Jakarta yang metropolis.
Hal itu terungkap dari catatan yang dituliskan 824 perempuan dari keluarga
miskin di Jakarta. Mereka tergabung dalam Sekolah Perempuan yang didampingi
Institut KAPAL Perempuan. Secara kualitatif, dari catatan itu tergambarkan
bahwa perempuan masih menjadi obyek kekerasan.
Kendati tulisan-tulisan itu berisi gambaran di lingkup keluarga miskin, lanjut
Misiyah, kondisi serupa juga banyak dihadapi perempuan di kelas menengah.
Hanya bedanya, perempuan kelas menengah memiliki pengetahuan dan akses
untuk menggugat kekerasan yang dialami.
"Di kelas menengah, kekerasan terhadap perempuan masih terjadi karena masih
kuatnya budaya patriarki dan tak adanya pendidikan pemberdayaan perempuan,"
ucapnya.
Penyuluhan terkait kesehatan reproduksi saja, kata Misiyah, belum ada di Jakarta.
Hal itu menjadi salah satu penyebab pernikahan usia dini masih terjadi.
Misiyah menambahkan, pemberdayaan perempuan tidak semata pemberdayaan
ekonomi, tetapi juga membangun kesadaran perempuan akan hak-hak mereka di
bidang pendidikan, kesehatan, dan dalam pengambilan keputusan.
"Hal ini harus menjadi perhatian bagi para cagub DKI agar perempuan di Jakarta
dapat lebih berdaya untuk memenuhi hak-haknya," katanya.
Seusai menghadiri acara tersebut, cagub DKI Anies Baswedan menyampaikan
pentingnya perempuan terdidik dalam keluarga. Seorang ibu yang terdidik dapat
memberi pengasuhan yang baik terhadap anak-anaknya.
"Ibu saya, contohnya, merupakan satu dari sebagian kecil kaum perempuan yang
mengenyam pendidikan pada masa lampau. Hasilnya tidak hanya saya yang
merasakan, tetapi juga generasi selanjutnya," ujar Anis.
Firliana Purwanti, yang mewakili cagub Agus Harimurti Yudhoyono (AHY),
mengatakan, dalam program kerjanya, AHY memastikan penggunaan anggaran
untuk melayani perempuan korban kekerasan.
Siswi diperkosa
Salah satu kasus kekerasan seksual terhadap perempuan terjadi terhadap DS (12),
siswi kelas 1 SMP di Kecamatan Sukamulya, Kabupaten Tangerang, Banten. Ia
diduga diperkosa gurunya, WR (30), saat berniat belajar melukis, Rabu (7/12).
Pihak keluarga melaporkan kejadian tersebut ke Polsek Balaraja, Kamis.
Kepala Polsek Balaraja Komisaris Wiwin Setiawan membenarkan adanya laporan
tersebut. "Kasus ini masih dalam penyelidikan. Kami masih meminta keterangan
sejumlah saksi, termasuk saksi korban. Sementara petugas mengejar terduga
pelaku. Petugas sempat mendatangi rumah terduga pelaku, tetapi sudah kosong,"
kata Wiwin.
Berdasarkan laporan tersebut, kejadian bermula saat korban ditemani rekannya,
EDH (12), tetangga terduga pelaku, mendatangi kediaman terduga pelaku. Korban
ingin terduga pelaku membuatkan lukisan untuknya. Setelah menyampaikan
maksud tersebut, EDH langsung pulang, sementara korban berada di rumah
terduga pelaku.
Saat itulah, terduga pelaku melakukan aksi bejatnya. "Terduga pelaku menyuruh
korban menunggu di dalam kamar. Selanjutnya, ia masuk dan mengunci kamar
itu. Di kamar itu, ia melakukan pelecehan seksual terhadap korban," ujar Wiwin.
Seusai memerkosa korban, terduga pelaku membiarkan korban berlari keluar
rumah. Korban lalu menuju rumah temannya, EDH, yang tinggal tak jauh dari
rumah terduga pelaku.
i. Cegah KDRT, Pengantin Perempuan India Diberi Hadiah Pentungan.33
Menteri Madhya Pradesh, Gopal Bhargava, memberikan pentungan kepada
ratusan pengantin perempuan dalam pernikahan massal di negara bagian India itu
33Tempo – 1 Mei 2017; Cegah KDRT, NDTV – India Tody; Yon Dema; Pengantin Perempuan India
Diberi Hadiah Pentungan; Lihat:
https://dunia.tempo.co/read/news/2017/05/01/121871252/cegah-kdrt-pengantin-perempuan-india-diberi-
hadiah-pentungan;
Dikunjungi pada Senin 8 Mei 2017, pukul 13.21 WIB.
Pentungan itu diharapkan dapat melindungi para istri dari kekerasan dalam rumah
tangga atau KDRT yang biasa dilakukan para suami yang mabuk.
Seperti dilansir NDTV, Senin 1 Mei 2017, Bhargava memberi kayu pemukul atau
Mogri, yang biasa digunakan untuk membersihkan kotoran pada pakaian, kepada
hampir 700 pengantin dalam upacara pernikahan massal pada Sabtu lalu
Bhargava mengatakan dia menaruh perhatian penuh terhadap nasib wanita di
pedalaman yang menghadapi kekerasan rumah tangga oleh suami pemabuk.
"Setiap kali saya mengunjungi daerah pedesaan atau perkotaan, wanita mengeluh
tentang kebiasaan minum suami mereka. Mereka memberi tahu saya bahwa
apapun yang mereka dapatkan diambil oleh suami mereka untuk membeli
alkohol. Selain mereka juga mengalami kekerasan fisik," kata Bhargava.
Kayu berukuran hampir setengah meter panjang itu memiliki pesan tertulis,
“Untuk memukul pecandu alkohol" dan "polisi tidak akan ikut campur".
Bhargava merasa bahwa Mogri adalah langkah menuju membawa perubahan
sosial, yang diperlukan untuk mengatasi ancaman kecanduan alkohol dan KDRT
Penjualan minuman keras ilegal adalah isu utama di Madhya Pradesh.
j. Pelaku Tabrak Istri Pernah Dilaporkan ke Polisi karena Kasus KDRT.34
Iwan, pelaku tabrak istri hingga tewas dengan menggunakan truk fuso, ternyata
pernah dilaporkan keluarga istrinya ke polisi. Ia dituduh telah menganiaya sang
istri, Dewi (35).
34Kompas – 3 Mei 2017, Ari Maulana Karang (Kontributor Garut – Penulis) & Reni Susanti
(Editor);Pelaku Tabrak Istri Pernah Dilaporkan ke Polisi karena Kasus KDRT; Lihat:
http://regional.kompas.com/read/2017/05/03/13505721/pelaku.tabrak.istri.pernah.dilaporkan.ke.polisi.kar
ena.kasus.kdrt;
Dikunjungi pada Senin 8 Mei 2017, pukul 06.57 WIB.
"Sekitar tahun 2014, sempat dilaporkan ke polisi karena nyiksa Dewi, tapi damai
setelah membuat surat pernyataan," jelas Pardin Supardin (62) orangtua Dewi,
Rabu (3/5/2017).
Menurut Supardin, Dewi dan Iwan memang sering cekcok. Terakhir sebelum
kejadian, mereka cekcok di rumah karena Dewi menagih hutang-hutang Iwan
atasnama Dewi.
"Dewi sering ditekan Iwan yang minta uang karena kerjanya tidak hasil, mulai
buat ganti ban sampai buat turun mesin, Dewi sampai minjam ke orang saya juga
sempat gadai motor, " katanya.
Selain soal itu, sambung Pardin, Iwan juga cemburu pada orang yang menjenguk
anaknya. "Padahal dia teman saya, perawat dari Dinas Kesehatan, kemarin-
kemarin juga sering ke rumah rawat anak saya yang habis operasi," ucapny
Seusai cekcok, Iwan keluar meninggalkan rumah. Dewi pun izin keluar untuk
membeli pulsa dan setelah itu bertemu dengan suaminya.
"Tidak benar Dewi melempari mobil dengan batu, yang ada Dewi sempat
mencegat mobilnya karena ingin membereskan rumah tangganya," ungkapnya.
Pardin menegaskan, sebelum kejadian, Dewi memang telah merencanakan cerai
dari Iwan karena rumah tangganya sering cekcok. Bahkan, sebelum kejadian, ia
pun telah meminta Dewi melapor ke polisi.
"Hari Senin, Iwan nelpon Dewi dan mereka bertemu di luar. Pulang ke rumah,
wajah Dewi sudah memar, saya sudah minta Dewi (buat) laporan dan visum, tapi
Dewi tidak mau, Selasa sore Iwan datang ke rumah dan ribut di rumah sampai
kejadian, " terangnya.
Rencana Dewi cerai dari Iwan, dibenarkan oleh Devi (30), adik Dewi.
Menurutnya, seminggu lalu, Dewi sempat menanyakan biaya perceraian pada
dirinya. Namun, Dewi diancam Iwan jika berani meminta cerai. "Karena sudah
tidak kuat ribut terus, tapi Iwan ngancam," tuturnya.
Menurut Devi, jika sudah cekcok di rumah saat orangtuanya tidak ada, Iwan
berani sampai merusak peralatan rumah tangga.
"Lemari juga dirusak kalau ribut, saya juga sudah nyarankan pisah, karena ribut
terus dan tidak punya anak, jadi tidak ada yang memberatkan," pungkasnya
k. LPSK Nilai Visum Digratiskan Bisa Permudah Pengungkapan Kasus
KDRT.35
Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) menyambut baik rencana
Pemerintah Provinsi DKI Jakarta menggratiskan visum bagi korban kasus
kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) dan pelecehan seksual.
LPSK menilai rencana ini sangat mendukung upaya pengungkapan kasus."Karena
dalam tindak pidana KDRT dan pelecehan seksual, visum merupakan suatu
keharusan", kata Wakil Ketua LPSK, Askari Razak melalui keterangan
tertulisnya, Jumat (5/5/2017).
Menurut Askari, adanya penggratisan visum merupakan bentuk dukungan dari
negara terhadap korban yang sudah tertimpa kemalangan akibat kasus yang
dialaminya. Sebab, dalam banyak kasus, kata Askari, proses visum seringkali
menjadi suatu permasalahan.
35Kompas – 5 Mei 2017; Alsadad Rudi (Penulis) & Fidel Ali (Editor); LPSK Nilai Visum Digratiskan
Bisa Permudah Pengungkapan Kasus KDRT; Lihat:
http://nasional.kompas.com/read/2017/05/05/10411231/lpsk.nilai.visum.digratiskan.bisa.permudah.pengu
ngkapan.kasus.kdrt
Dikunjungi pada Senin 8 Mei 2017, pukul 07.05 WIB.
Terutama apabila korban berasal dari kalangan tidak mampu. Dampaknya tentu
saja pada proses peradilan suatu tindak pidana yang terhambat karena tidak
adanya visum. "Ini tentu jadi kerugian bagi korban," ujar Askari.
Askari berharap langkah yang diambil Pemprov DKI menjadi pemicu bagi
pemerintah daerah lain untuk mengambil langkah yang sama. Askari menilai
Pemda memiliki wewenang yang besar atas instansi kesehatan, terutama yang
berada langsung di bawah Dinas Kesehatan.
"Semua pihak bisa berperan bagi perlindungan saksi dan korban, termasuk
pemerintah daerah melalui kebijakannya," ucap Askari.
Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok sebelumnya
mengungkapkan wacana ini dalam sambutannya di Rakerda Dinas Pemberdayaan,
Perlindungan Anak dan Pengendalian Penduduk Provinsi DKI Jakarta.
Ahok mengatakan akan mengeluarkan Peraturan Gubernur yang isinya
menggratiskan biaya visum bagi perempuan korban KDRT di RSUD dan
Puskesmas.
"Kalau ada KDRT, sekarang visum masih bayar. Saya sedang siapkan pergub.
Nantinya di RS kami dan puskesmas untuk visum enggak bayar," kata Ahok di
Balai Kota DKI Jakarta, Kamis (27/4/2017) lalu.
l. Penelitian Fauziah dan Armis Tamampil.36
Dalam penelitian keduanya tentang Representasi Perempuan Dalam Pemberitaan
KDRT di Media Massa Pada Masyarakat di Wilayah Jakarta (Studi Pemberitaan
Kekerasan Dalam Rumah Tangga di Merdeka.com dan Kompas.com),
disimpulkan pokok-pokok di bawah ini.
1) Berdasarkan analisis terhadap berita KDRT pada dua harian tersebut yaitu
Kompas dan Merdeka online dapat disimpulkan, antara lain: Posisi subjek
(pencerita) cenderung di dominasi oleh laki-laki, sedangkan perempuan selalu
diposisikan sebagai objek (yang diceritakan). Penulis memposisikan dirinya
sebagai laki-laki, sehingga teks berita yang ditampilkan pun mengarahkan
pembaca untuk menafsirkan teks berita dalam artikel tersebut dari sudut
pandang laki-laki. Dalam berita yang terkait dengan KDRT merepresentasikan
perempuan (istri) sebagai objek. Teks berita tersebut menjadi bias dalam
merepresentasikan perempuan karena dalam teks berita tersebut suara
perempuan (istri) tidak benar-benar ditunjukkan.
2) Perempuan hanya digambarkan sebagai pemicu tindakan kekerasan dan
akhirnya menjadi korban KDRT yang dilakukan oleh laki-laki
(suami).Representasi perempuan yang selalu dijadikan sebagai objek dalam
teks berita terkait KDRT, dijadikan sebagai bentuk usaha untuk
melanggengkan pemahaman bahwa laki-laki merupakan pihak yang
36Fauziah&ArmisTamampil; RepresentasiPerempuanDalamPemberitaan KDRT di Media Massa
PadaMasyarakat di Wilayah Jakarta (StudiPemberitaanKekerasanDalamRumahTangga di Merdeka.com
dan Kompas.com) – Woman’s Representation by Mass Media Incase of Domestic Violance in Jakarta
(Content Analysis of Domesic Violence by Merdeka.com and Kompas.com); PROMEDIA, VOLUME I,
NO 1, 2015; Universitas 17 Agustus 1945 - Jakarta; Lihat:
http://journal.uta45jakarta.ac.id/index.php/kom/article/download/101/80
DikunjungipadaSelasa 18 April 2017, pukul 17.38 WIB.
menguasai perempuan. Representasi perempuan yang dianggap lemah dan
pasrah serta takluk dalam kekuasaan lakilaki akhirnya menjadi lestari dalam
masyarakat.
3) Konteks ini sejalan dengan pandangan kaum feminis yang menganggap
bahwa penindasan terhadap perempuan terjadi sebagai usaha laki-laki untuk
mempertahankan dominasi laki-laki terhadap perempuan.Laki-laki dianggap
akan melakukan segala cara untuk melanggengkan sistem patriarki di
masyarakat. Konteks ini pun terlihat dalam kehidupan bermasyarakat di
Indonesia, dimana perempuan selalu identik sebagai korban KDRT. Hal ini
tentunya terlihat jelas di media yang seringkali menampilkan perempuan
sebagai objek atau korban dalam pemberitaan terkait dengan KDRT.
4. CATAHU Komnas Perempuan Tahun 201737
Tentang Catatan Tahunan Komnas Perempuan, dapat dijelaskan bahwa:
a. Catatan Tahunan (CATAHU) Komnas Perempuan diluncurkan setiap tahun untuk
memperingati Hari Perempuan Internasional pada tanggal 8 Maret.
b. CATAHU Komnas Perempuan dimaksudkan untuk memaparkan gambaran
umum tentang besaran dan bentuk kekerasan yang dialami oleh perempuan di
Indonesia dan memaparkan kapasitas lembaga pengadal ayanan bagi perempuan
korban kekerasan.
37KomisiNasional Anti KekerasanTerhadapPerempuan; LembarFaktaCatatanTahunan (CATAHU)
KomnasPerempuanTahun 2017; Jakarta, 7 Maret 2017, h. 1; Lihat:
http://www.komnasperempuan.go.id/wp-content/uploads/2017/03/Lembar-Fakta-Catahu-2017.pdf
DikunjungipadaSelasa 9 Mei 2017, pukul 10.17 WIB.
c. Data yang disajikan dalam CATAHU Komnas Perempuan adalah kompilasi data
kasus riil yang ditangani oleh lembaga layanan bagi perempuan korban kekerasan,
baik yang dikelola oleh negara maupun atas inisiatif masyarakat. Termasuk di
dalamnya adalah lembaga penegak hukum.
d. Data CATAHU juga memuat pengaduan kasus yang diterima, serta hasil
pemantauan dan kajian Komnas Perempuan.
e. Catahu Komnas Perempuan diluncurkan sejak tahun 2001.
Temuan dalam Catatan Tahunan 2017, dapat dibaca dalam rincian di bawah ini.38
a. Ada 259.150 kasus kekerasan terhadap perempuan yang dilaporkan dan ditangani
selama tahun 2016, yang terdiri dari 245.548 kasus bersumber pada data
kasus/perkara yang ditangani oleh 359 Pengadilan Agama (browsing laman
BADILAG), serta 13.602 kasus yang ditangani oleh 233 lembaga mitra pengada
layanan, tersebar di 34 Provinsi. Data ini turun dari data tahun sebelumnya karena
kendala teknis pendokumentasian di Pengadilan Agama dan perubahan struktur di
beberapa layanan berbasis Negara. Tahun 2017 Komnas perempuan mengirimkan
674 lembar formulir kepada lembaga mitra Komnas Perempuan di seluruh
Indonesia dengan tingkat respon pengembalian mencapai 34%, yaitu 233
formulir.
b. Seperti tahun lalu, kekerasan yang terjadi di ranah personal mencatat kasus paling
tinggi. Data PA sejumlah 245.548 adalah kekerasan terhadap istri yang berujung
pada perceraian. Sementara dari 13.602 kasus yang masuk dari lembaga mitra
pengada layanan, kekerasan yang terjadi di ranah personal tercatat 75% atau
10.205 kasus. Data pengaduan langsung ke Komnas Perempuan lewat juga
38Ibid; h. 1 – 4.
menunjukkan trend yang sama, KDRT/RP Lain menempati posisi kasus yang
paling banyak di adukan yaitu sebanyak 903 kasus (88%) dari total 1.022 kasus
yang masuk.
c. Untuk kekerasan di ranah rumah tangga/relasi personal. Kekerasan terhadap istri
(KTI) menempati peringkat pertama 5.784 kasus (56%), disusul kekerasan dalam
pacaran 2.171 kasus (21%), kekerasan terhadap anak perempuan 1.799 kasus
(17%) dan sisanya kekerasan mantan suami, kekerasan mantan pacar, serta
kekerasan terhadap pekerja rumah tangga.
d. Di ranah rumah tangga/personal, persentase tertinggi adalah kekerasan fisik 42%
(4.281 kasus), diikuti kekerasan seksual 34% (3.495 kasus), kekerasan psikis 14%
(1.451 kasus) dan kekerasan ekonomi 10% (978 kasus).
e. Untuk kekerasan seksual di ranah KDRT/personal tahun ini, perkosaan
menempati posisi tertinggi sebanyak 1.389 kasus , diikuti pencabulan sebanyaj
1.266 kasus. Di tahun ini juga CATAHU dapat menampilkan data perkosaan
dalam perkawinan sebanyak 135 kasus dan menemukan bahwa pelaku kekerasan
seksual tertinggi di ranah KDRT/personal adalah pacar sebanyak 2.017 orang.
f. Kekerasan di ranah komunitas mencapai angka 3.092 kasus (22%), di mana
kekerasan seksual menempati peringkat pertama sebanyak 2.290 kasus (74%),
diikuti kekerasan fisik 490 kasus (16%) dan kekerasan lain di bawah angka 10%;
yaitu kekerasan psikis 83 kasus (3%), buruh migran 90 kasus (3%); dan trafiking
139 kasus (4%). Jenis kekerasan yang paling banyak pada kekerasan seksual di
ranah komunitas adalah perkosaan (1.036 kasus) dan pencabulan (838 kasus).
g. Di ranah (yang menjadi tanggung jawab) Negara adalah kasus penggusuran
Cakung Cilincing di Jakarta sebanyak 1 kasus dengan 304 korban dan 1 kasus
dari Jawa Tengah Konflik SDA petani melawan perhutani.
h. Ranah personal artinya pelaku adalah orang yang memiliki hubungan darah (ayah,
kakak, adik, paman, kakek), kekerabatan, perkawinan (suami) maupun relasi
intim (pacaran) dengan korban.
i. Ranah komunitas jika pelaku dan korban tidak memiliki hubungan kekerabatan,
darah ataupun perkawinan. Bisa jadi pelakunya adalah majikan, tetangga, guru,
teman sekerja, tokoh masyarakat, ataupun orang yang tidak dikenal.
j. Ranah negara artinya pelaku kekerasan adalah aparatur negara dalam kapasitas
tugas. Termasuk di dalam kasus di ranah negara adalah ketika pada peristiwa
kekerasan, aparat negara berada di lokasi kejadian namun tidak berupaya untuk
menghentikan atau justru membiarkan tindak kekerasan tersebut berlanjut.
k. Mayoritas korban di ranah personal ada di rentang usia 25-40 tahun, demikian
juga dengan pelaku. Sedangkan untuk ranah komunitas sama seperti tahun
sebelumnya, mayoritas usia korban adalah 13 – 18 tahun. Pelaku di ranah
komunitas mayoritas ada di rentang usia 25-40 tahun.
l. Catahu 2017 memberikan perhatian serius pada persoalan:
1) Kebijakan memberikan dispensasi perkawinan adalah ruang penyuburan dan
pelanggengan perkawinan anak. Tahun ini tercatat angka dispensasi
perkawinan yang dikabulkan pengadilan agama sebanyak 8.488 perkara.
Praktik perkawinan anak berkontribusi pada angka kekerasan terhadap
perempuan. Putusan MK menolak permohonan uji materi untuk menaikkan
batas usia perkawinan anak turut mengukuhkan praktik perkawinan anak dan
kekerasan terhadap anak perempuan.
2) Femisida atau pembunuhan terhadap perempuan karena dia perempuan,
adalah isu serius yang menjadi perhatian dunia namun masih minim menjadi
perhatian Indonesia. Setidaknya terlihat dari pendataan yang masih
menyederhanakan isu femisida sebagai kriminal biasa. Tidak digalinya
dimensi kekerasan berbasis gender serta minimnya pelaporan femisida ke
lembaga layanan karena korban sudah meninggal. Dari data yang diolah,
menunjukkan bahwa femisida adalah kekejian yang luar biasa baik dari motif
pembunuhannya, pola pembunuhannya hingga dampak pada keluarganya.
3) Pola kekerasan terhadap perempuan semakin kompleks, beragam pola dan
tingkat kekerasannya, serta lebih cepat dari kemampuan Negara untuk
merespon. Salah satunya adalah kekerasan dan kejahatan cyber yang semakin
rumit pola kasus kekerasannya, dari pembunuhan karakter, pelecehan seksual
melalui serangan di dunia maya yang dirasakan dan berdampak langsung dan
berjangka panjang pada korban, terkadang pelaku sulit dideteksi, namun
respon dan perlindungan hukum belum cukup memadai, karena
disederhanakan menjadi ranah UU ITE (Informasi dan Transaksi Elektronik).
4) Kerentanan kelompok dengan keragaman orientasi dan ekspresi seksual
semakin tinggi, dan ruang ekpresi semakin menyempit, hingga mencerabut
hak dasar mereka atas akses penghidupan karena dilarang bekerja (larangan
waria bekerja di Salon), akses kesehatan dan hak dasar lainnya.
5) Diskriminasi dan kekerasan seksual pada penyandang disabilitas perempuan
semakin muncul ke permukaan, karena mulai menggeliatnya upaya untuk
memasukkan layanan disabilitas pada lembaga-lembaga layanan. Kekerasan
seksual pada perempuan dengan disabilitas terjadi karena asumsi bahwa
disabilitas adalah makhluk a-seksual atau menstigma bahwa disabilitas
(terutama disabilitas intelektual) memiliki kebutuhan seksual yang berlebih,
sehingga melanggengkan praktek kekerasan seksual yang terjadi pada
mereka.
6) Pelaksanaan hukuman mati di Indonesia pada tahun 2016 menguatkan temuan
Komnas Perempuan tentang adanya kaitan erat antara kejahatan narkoba,
perdagangan manusia dan migrasi. Perempuan pekerja migran merupakan
salah satu kelompok yang rentan terlibat dan menjadi korban pada kasus
tersebut. Pada sejumlah kasus kejahatan narkoba dimana perempuan sebagai
pelaku, narasi dan latar belakang perempuan hingga menghadapi hukuman
mati, belum didengar dan diperhitungkan dalam proses penyidikan,
penyelidikan dan pengadilan.
7) Ketegangan antara kebijakan pembangunan dengan prioritas politik
infrakstruktur disatu sisi dengan isu-isu hak asasi semakin menguat karena
menyuburnya kebijakan tata bangun dan tata ruang, yang mengakibatkan
penggusuran, perluasan perkebunan, pembabatan hutan adat,dll. Dampak
serius pada perempuan adalah, terancamnya hak dasar atas penghidupan, air,
lingkungan seimbang dan sehat, hak kultural, sumber obat-obatan, dll.
8) Komitmen pemerintah untuk menuntaskan pelanggaran HAM masa lalu
belum menyentuh akar persoalan pemenuhan hak korban atas keadilan,
kebenaran dan pemulihan korban. Bahkan hambatan terbesar adalah
dukungan lembaga-lembaga kunci Negara baik kejaksaan maupun institusi
keamanan yang masih belum menunjukkan komitmen politiknya pada
korban. Selain itu politisasi isu komunisme, rasisme, bahkan pembubaran hak
berkumpul semakin menjauhkan upaya penuntasan tersebut.
9) Kriminalisasi mengalami peningkatan. Kriminalisasi pada perempuan korban
KDRT oleh suami atau mantan suami juga harus menjadi perhatian Negara,
antara lain pelaporan balik suami padahal isteri yang seharusnya jadi korban
lebih awal, tuduhan pencurian ATM suami padahal untuk menghidupi anak-
anaknya, tuduhan pemalsuan dokumen karena mengkoreksi identitas suami
dalam kartu keluarga karena masih berstatus lajang. Kriminalisasi oleh
mantan suami juga isu yang penting, selain kekerasan KDRT yang tidak
berhenti dengan perceraian, tetapi paska perceraian juga menyisakan
kekerasan yang sulit disoal oleh perlindungan hukum lain, karena sudah
diluar relasi perkawinan.
10) Data CATAHU menunjukkan bahwa korban masih cenderung datang ke
layanan yang dibuat CSO/LSM yang harus ditelusur lebih jauh penyebabnya.
Padahal Negara tengah memperbanyak layanan di berbagai daerah, dimana
upaya tersebut harus mengedepankan kualitas layanan yang ramah pada
korban, memastikan petugas yang memahami isu dan prinsip layanan yang
memulihkan korban, dibanding upaya-upaya formalisme layanan yang
mengedepankan status kelembagaan, fasilitas infrastruktur baik gedung dan
mobil. Kendati infrastruktur penting, tetapi korban lebih perlu layanan cepat
dan bersahabat.
11) Partisipasi dan inisiatif publik semakin meluas dan responsif. Publik menjadi
elemen penting pengambil kebijakan yang turut menentukan arah dan respon
Negara dalam menyikapi kekerasan terhadap perempuan.
12) Meningkatnya angka pengaduan langsung ke Komnas Perempuan
menunjukkan kesadaran perempuan korban atau masyarakat yang
membutuhkan perlindungan di luar sistem yang tersedia dalam struktur
negara dan kondisi penanganan kekerasan terhadap perempuan yang belum
membaik atau masih mengalami stagnasi penegakan hukum dan
penanganannya.
C. Analisa
Seperti telah disebutkan, penelitian ini menggunakan pendekatan normatif untuk
menjawab rumusan masalah. Penulis memahami bahwa pada Sub Bab Analisa ini,
penulis harus memberi penjelasan sebagai jawaban yang relatif terurai, tentang hal-hal
pokok yang harus diketahui dari UU No. 23 tahun 2004 tentang kekerasan Dalam Rumah
Tangga, dalam rangka perlindungan hukum sehubungan dengan kemungkinan terjadi
KDRT, bahkan perlindungan hukum terhadap korban KDRT.
Penjelasan ini penting karena gagasan negara hukum menhgaruskan perlindungan
hak asasi manusia. Selanjutnya, agar perlindungan hak asasi manusia memiliki landasan
hukum yang jelas dan operasional, maka pokok-pokok tertentu dari hukum tentang hak
asasi manusia perlu dicermati dalam peraturan perundang-undangan yang lebih konkrit
dan khusus,, misalnya dalam kepentingan penulisan skripsi ini ialah tentang Penghapusan
KDRT.
Dalam rangka Analisa ini, penulis memahami bahwa istilah perlindungan hukum
di sini tak lain daripada dan dalam rangka terpeliharanya kewajiban negara, pemerintah,
masyarakat, orangtua, pihak sawsta apa pun, untuk mengerjakan langkah efektif dalam
mencegah individu maupun kelompok dan kepentingan tertentu dari melakukan KDRT.
Menurut penulis, perlu diakui bahwa sesungguhnya perlindungan hukum terhadap
korban KDRT adalah salah satu bentuk darpada sekian banyak praktek pelanggaran
HAM. Bila penelitian dan skripsi ini lebih pada urusan KDRT, hal ini dilakukan
mengingat pentingnya pengetahuan terhadap isi suatu undang-undang. Di samping itu,
UU No. 23 Tahun 2004 menggunakan kata Penghapusan di judulnya, suatu makna yang
sangat tegas, sehingga menarik untuk dilihat isi undang-undang ini. Di smping kedua hal
tersebut, kajian ini juga harus memiliki fokus, apalagi praktek KDRT masih banyak
terjadi sehingga sangat tinggi jumlahnya.
Karena itu maka Sub Bab Analisa ini akan menjawab tentang Rumusan Masalah:
“Apa saja yang harus diketahui sebagai wujud perlindungan hukum dalam Undang-
Undang No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga?”
Ada 10 (sepuluh) hal pokok yang harus diketahui secara hukum tentang
Kekerasan Dalam Rumah Tangga. Poin 1 – 4 akan penulis kaitkan langsung dengan Hasil
Penelitian, terutama beberapa dokumentasi pemberitaan, sedangkan poin 5 – 10, dapat
diuraikan lebih sebagai bentuk praktis tindak lanjut penanganan, misalnya dari hal-hal
seperti yang tergambarkan dalam poin 1 – 4. Karena tampak sebagai langkah praktis
maka poin 5 – 10 ini perlu dicermati, diketahui dan dipedomani.
1. Pengertian Kekerasan Dalam Rumah Tangga
Yang disebut sebagai Kekerasan Dalam Rumah Tangga adalah : Apapun perbuatan
terhadap seseorang dalam relasi rumah tangga, yang berakibat timbulnya
kesengsaraan atau penderitaan. Kesengsaraan dan penderitaan yang dialami korban
kekerasan dalam rumah tangga bisa berupa penderitaan fisik, seksual, psikis dan juga
penderitaan berupa penelantaran rumah tangga.
Penulis berpendapat bahwa pemahaman tentang KDRT ini penting untuk
disosialisasikan. Dengan mengenal KDRT, diharapkan masyarakat secara umum,
dapat bersikap lebih manusiawi dab mengalami kehidupan yang lebih bermartabat.
Dalam hal ini terutama pada anggota masyarakat yang hidup dalam keadaan dan
lingkungan buruk sehingga berpotensi melakukan atau mengalami KDRT.
Dalam keseluruhan dokumentasi tentang kasus-kasus KDRT pada Sub Bab Hasil
penelitian, pada satu pihak secara umum memberi gambaran seperti yang ada dalam
pengertian KDRT, tetapi pada pihak lain keseluruhan dokumentasi kasus tersebut,
juga memastikan bahwa kesadaran hukum dan kehidupan berhukum tentang hal baik
untuk tidak melakukan KDRT, ternyata belum maksimal.
Jumlah penduduk yang semakin bertambah, diikuti dengan tingkat kebutuhan hidup
yang semakin bervariasi, dengan pendapatan yang terbatas, ditambah berbagai
persolan kehidupan sosial, ekonomi dan politik, akan semakin memungkinkan
terjadinya KDRT. Karena itu pemahaman tentang KDRT secara luas dan tepat, dapat
membantu mengurangi jumlah KDRT.
Karena itu adalah perlu dilakukan seperti yang disampaikan oleh bambang isti dalam
Suara Merdeka 16 Desember 2015, dalam tulisannya “Mengapa Wanita Masih Jadi
Objek KDRT?”. Di situ antara lain disebutkan bahwa perlu mengadakan kampanye
anti kekerasan terhadap perempuan, monitoring terhadap kasus-kasusnya,
mengadakan laporan akhir di akhir tahun, dan juga melakukan asistensi kepada unsur
pemerintah dalam pembuatan peraturan daerah.
Masih dalam konteks pemahaman terhadap KDRT, penulis berpandangan perlu
melihat tanggapan Indraswari, seorang Komisioner Komnas Perempuan, sebagaimana
diliput Kompas – 7 Maret 2016. Dia mengatakan, meskipun sudah ada payung hukum
Undang-undang Nomor 23 tahun 2004 tentang penghapusan kekerasan dalam rumah
tangga (KDRT), namun di tingkat implementasi banyak hal yang harus dibenahi.
"Pembenahan perlu agar tidak kontra produktif, seperti misalnya ada kasus istri
melaporkan KDRT, yang dilakukann suaminya, suami malah menuntut balik,"
ungkapnya.Tingginya kasus kekerasan dalam ranah personal khususnya terhadap istri,
mendorong urgensi monitoring dan evaluasi UU Penghapusa KDRT.
2. Lingkup Rumah Tangga
Yang termasuk cakupan rumah tangga, adalah :
a. Suami, isteri, dan anak (termasuk anak angkat dan anak tiri),
b. Orang-orang yang mempunyai hubungan keluarga dengan orang sebagaimana
disebutkan di atas karena hubungan darah, perkawinan (misalnya mertua,
menantu, ipar, dan besan),
c. persusuan, pengasuhan, dan perwalian, termasuk juga pembantu atau orang yang
bekerja dalam rumah tangga tersebut.
Berdasarkan kategori lingkup rumah tangga di atas, serta latar belakang masalah dan
hasil penelitian, maka dapat diperoleh gambaran bahwa secara umum perempuan dan
anak-anak adalah yang paling banyak mengalami KDRT. Dengan demikian maka
dapat dikatakan bahwa dalam kehidupan berkeluarga atau berumah tangga, kaum
laki-laki masih berada pada posisi dominan yang secara hukum tidak berkeadilan,
bilamana kedudukan tersebut disalahgunakan untuk melakukan KDRT.
Hal ini terlihat jelas bahwa seorang istri dan anaknya menjadi korban, dalam
dokumentasi pemberiraan Suara Merdeka 28 Oktober 28 Oktober 2015, yaiyu
“KDRT Maut, Satu Meninggal dan satu Kritis”. Di sana diwartakan bahwa kekerasan
dalam rumah tangga (KDRT) berujung maut terjadi di Desa Geneng RT 03 RW 01
Kecamatan Batealit. Pelaku, Seradju (54) melakukan penganiayaan terhadap istri dan
anaknya. Sang anak meninggal dan istri kritis. Korban meninggal bernama Afriyanto
(15), siswa salah satu MTs di Raguklampitan Jepara. Adapun sang istri, Siti Hadroh
(38) berada dalam kondisi kritis.
Bahkan urusan rumah tangga yang berpotensi buat adanya KDRT, tidak hanya hanya
terjadi di Indonesia. Sekadar perbandingan, Tempo 1 Mei 2017, mendokumentasikan
berita tentang suatu peristiwa dan kondisi di India, bahwa “Pengantin Perempuan
India Diberi Hadiah Pentungan”. Mogri, yaitu kayu berukuran hampir setengah meter
panjangnya itu sengaja dihadiahkan, dengan alasan memiliki pesan tertulis, “Untuk
memukul pecandu alkohol" dan "polisi tidak akan ikut campur". Sang Menteri,
Bhargava, merasa bahwa Mogri adalah langkah menuju membawa perubahan sosial,
yang diperlukan untuk mengatasi ancaman kecanduan alkohol dan KDRT Penjualan
minuman keras ilegal adalah isu utama di Madhya Pradesh.
Dalam contoh dokumentasi tersebut, dapat dilihat betapa perempuan India juga harus
dilindungi dari kemungkinan menjadi korban KDRT.
3. Bentuk Kekerasan Dalam Rumah Tangga
a. Kekerasan Fisik
Apapun perbuatan yang disengaja, meski dengan alasan menyatakan kekesalan,
kemarahan, bahkan menghukum, dengan sasaran fisik, tubuh, dan bagian tubuh
yang mengakibatkan rasa sakit, jatuh sakit, atau bahkan luka.
b. Kekerasan Psikis
Yakni perbuatan yang tidak menyasar fisik korban, tetapi mengakibatkan
ketakutan, hilangnya rasa percaya diri, hilangnya kemampuan untuk bertindak,
rasa tidak berdaya, dan atau penderitaan psikis pada korban.
c. Kekerasan Seksual
1) Setiap perbuatan pemaksaan hubungan seksual, pemaksaan hubungan seksual
dengan cara tidak wajar dan/atau tidak disukai.
2) Pemaksaan hubungan seksual dengan orang lain dengan tujuan komersial
dan/atau tujuan tertentu, baik itu dengan sesama penghuni rumah tangga
tersebut, atau orang di luar rumah tangga.
d. Penelantaran Rumah Tangga
Perbuatan menelantarkan orang dalam lingkup rumah tangga, padahal orang
tersebut harus dinafkahi, dirawat, dan dipelihara. Penelantaran juga berlaku bagi
setiap orang yang mengakibatkan ketergantungan ekonomi dengan cara
membatasi dan/atau melarang untuk bekerja yang layak di dalam atau di luar
rumaah sehingga korban berada di bawah kendali pelaku.
Dalam kasus yang terjadi di Tangerang di mana Sang Istri LE dipaksa untuk
melakukan threesome, ditemukan bahwa LE benar-benar mengalami keseluruhan
bentuk KDRT yaitu dimulai dari kekrasan seksual, kekerasan psikis, kekerasan fisik
dan penelantaran rumah tangga.Bahkan, keseluruhannya sempat berakumulasi pada
keinginan untuk bunuh diri.
Contoh lain, justru melampau bentuk-bentuk KDRT, karena sang istri kemudian
meninggal dunia. Kompas 3 Mei 2017, memberitakan, “Pelaku Tabrak Istri Pernah
Dilaporkan ke Polisi karena Kasus KDRT”. San suami tak hanya tidak menepati
janjinya sesuai surat pernyataan yang pernah dibuatnya. Tetapi lebih kejam daripada
itu, si suami kemudian menabrak istrinya sendiri dengan truk hingga meninggal
dunia..
Dalam semua dokumentasi pemberitaan tentang KDRT, dapat dipastikan bahwa
setidaknya terjadi salah satu bentuk KDRT, bahkan tidak jarang salah satu bentuk
KDRT menjadi sebab terjadinya bentuk KDRT yang lain. Karena itu, menurut
penulis, sebenarnya bentuk-bentuk KDRT sebenarnya saling berhubungan satu
dengan lainnya.
4. Bila Menjadi Korban KDRT
a. Berusaha mencari dukungan dari anggota keluarga yang lain.
b. Berusaha meminta Bantuan Perangkat Kampung
Minta pertolongan dari perangkat kampung atau oemuka masyarakat, atau bisa
juga tokoh lain yang mungkin bisa mengajak bicara pelaku atau orang-orang
tersebut diharapkan menjadi mediator.
c. Lapor ke Kantor Polisi
Kekerasan dalam rumah tangga bukanlah sekedar urusan pribadi masing-masing
keluarga, tapi merupakan tindak pidana, maka pihak korban atau anggota
masyarakat yang mengetahuinya berhak melapor ke kantor polisi.
Penting bagi tiap kantor polisi untuk mempunyai ruang pelayanan khusus dengan
petugas dari jajaran Polwan, untuk pelayanan korban perempuan agar mereka
merasa lebih nyaman.
d. Melapor ke Dokter
Laporlah ke dokter atau layanan kesehatan terdekat, untuk mendapat pengobatan
dan/atau visum.
e. Minta Bantuan Organisasi Dampingan
Tiap daerah mungkin organisasi dampingannya berbeda. Korban bisa datang ke
WCC (Woman Crisis Centre)/ organisasi layanan/ bantuan hukum, seperti Pekka,
LBH, LBH APIK, LKBH, PSBH.
Menurut penulis hal ini dapat disebut sebagai pentingnya hubungan antar sikap
korban dan peran kelembagaan dalam mengantisipasi dan menangani masalah KDRT.
Walaupun demikian, karena korban umumnya tidak cukup berani atau tidak cukup
berdaya maka adalah penting untuk menekankan tentang peran kelembagaan.
Sebagaimana dokumentasi pemberitaan Suara Merdeka – 24 Januari 2016 tentang
“Kasus Kekerasan Terhadap Perempauan Meningkat”, diwartakan bahwa Lembaga
Perlindungan Perempuan Anak dan Remaja (LPPAR) Kota Pekalongan mencatat ada
30 kasus kekerasan terhadap perempuan terjadi sepanjang tahun 2015. Dari 30 kasus
kekerasan terhadap perempuan yang terjadi sepanjang tahun 2015, sebagian besar
adalah kekerasan psikis. Setelah itu penelantaran, kekerasan fisik dan perkosaan.
Sementara itu, jika dilihat dari tempat kejadian tindak kekerasan tersebut, sebagian
besar adalah rumah tangga. Yakni sebanyak 21 kasus atau mencapai 70 persen dari
jumlah kasus yang terjadi.Laporan tersebut barulah salah satu laporan dari satu
lembaga tentang kekerasan terhadap perempuan termasuk KDRT di Pekalongan.
Artinya peran kelembagaan ini akan semakin dituntut meningkat karena di seluruh
Indonesia ada ratusan kabupaten dan kota.
Dalam dokumentasi terkait, Suara Merdeka – 8 Desember 2015 memberitakan
tentang “KDRT Peringkat Pertama Kekerasan Terhadap Perempuan”. Diwartakan
bahwa kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) menduduki peringkat pertama kasus
kekerasan terhadap perempuan di Jawa Tengah pada 2015. Menurut Divisi Informasi
dan Dokumentasi LRCKJHAM Kota Semarang Witi Muntari menyatakan, ada 201
kasus dan korban KDRT selama 2015.
Terkait penanganan secara kelembagaan ini, dokumentasi pemberitaan Kompas – 5
Mei 2017, penting untuk disimak, yaitu tentang “LPSK Nilai Visum Digratiskan Bisa
Permudah Pengungkapan Kasus KDRT”. Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban
(LPSK) menyambut baik rencana Pemerintah Provinsi DKI Jakarta menggratiskan
visum bagi korban kasus kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) dan pelecehan
seksual.LPSK menilai rencana ini sangat mendukung upaya pengungkapan kasus.
"Karena dalam tindak pidana KDRT dan pelecehan seksual, visum merupakan suatu
keharusan", kata Wakil Ketua LPSK, Askari Razak melalui keterangan tertulisnya,
Jumat (5/5/2017).
Peran kelembagaan ini juga akan semakin meningkat, bila kita mencermatai Catatan
Akhir Tahun Komnas Perempuan (CATAHU) tahun 2017, tanggal 7 Maret 2017.
Dirinci di sana, anatara lain bahwa Untuk kekerasan di ranah rumah tangga/relasi
personal. Kekerasan terhadap istri (KTI) menempati peringkat pertama 5.784 kasus
(56%), disusul kekerasan dalam pacaran 2.171 kasus (21%), kekerasan terhadap anak
perempuan 1.799 kasus (17%) dan sisanya kekerasan mantan suami, kekerasan
mantan pacar, serta kekerasan terhadap pekerja rumah tangga.
Di ranah rumah tangga/personal, persentase tertinggi adalah kekerasan fisik 42%
(4.281 kasus), diikuti kekerasan seksual 34% (3.495 kasus), kekerasan psikis 14%
(1.451 kasus) dan kekerasan ekonomi 10% (978 kasus).
Untuk kekerasan seksual di ranah KDRT/personal tahun ini, perkosaan menempati
posisi tertinggi sebanyak 1.389 kasus , diikuti pencabulan sebanyaj 1.266 kasus. Di
tahun ini juga CATAHU dapat menampilkan data perkosaan dalam perkawinan
sebanyak 135 kasus dan menemukan bahwa pelaku kekerasan seksual tertinggi di
ranah KDRT/personal adalah pacar sebanyak 2.017 orang.
Berkaitan dengan peran kelembagaan ini, menurut penulis, penting juga untuk
memperhatikan hassil penelitaian Fauziah dan Armis Tamampil tentang media massa,
agar dalam pemeberitaannya media tidak lagi “seringkali menampilkan perempuan
sebagai objek atau korban dalam pemberitaan terkait dengan KDRT”. Walau
demikian penulis berpandangan bahwa masyarakat juga harus menyampaikan terima
kasih kepada media massa termasuk Kompas dan suara Merdeka karena terus
memberitakan berbagai kasus KDRT. Tentu saja hasil penelitian ini perlu juga
diperhatikan sebagai mmasukan.
5. Melaporkan Kekerasan Dalam Rumah Tangga
a. Tempat Lapor
Pelaporan kasus kekerasan dalam rumah tangga, bisa dilakukan di kantor polisi
manapun, tidak harus ke kantor polisi di wilayah terjadinya tindak pidana
kekerasan.
b. Cara Melapor
Korban dapat datang sendiri ke kantor polisi manapun yang bisa dicapai, atau
apabila tidak dapat melapor sendiri, dapat memberikan kuasa kepada keluarganya
atau orang lain.
c. Bila Korban Seorang Anak
Apabila korban Kekerasan Dalam Rumah Tangga adalah seorang anak, yang
mungkin belum bisa melapor, pelaporan bila dilakukan oleh orang tua atau
walinya. Pelaporan bisa juga dilakukan oleh pengasuhnya atau orang lain apabila
justru orang tianya sendiri pelakunya.
6. Pembuktian
Untuk membuktikan adanya tindak pidana KDRT, cukup hanya dengan satu saksi
saja, atau cukup korban saja yang bersaksi, bila disertai alat bukti lain yang sah.
Dalam hal ini yang penting untuk diingat ialah korban sekaligus adalah saksi,
sehingga untuk pembuktian adanya tindak Kekerasan Dalam Rumah Tangga, cukup
laporan korban saja disertai alat bukti yang sah, misalnya visum.
Diperlukan pembuatancatatan tentang tindak pidana kekerasan yang korban alami.
Perlu pencantuman tanggal kejadian, tempat dan perlakuan yang korban terima.
Catatan ini bisa membantu pembuktian dalam pelaporan dan proses hukum
selanjutnya. Penyimpanan catatan tersebut di tempat yang aman penting adanya,
sehingga tidak dapat ditemukan oleh pelaku. Bila mungkin, sebaiknya dibuat kopian
dari catatan tersebut, juga visum yang didapat, lalu disimpan di tempat yang aman, di
luar jangkauan pelaku. Bila tidak mungkin, korban sebaiknya menitipkan kepada
orang yang bisa dipercaya.
7. Kewajiban Masyarakat
a. Mencegah Berlangsungnya Tindak Pidana
Sesuai batas kemampuannya, setiap anggota masyarakat wajib melakukan upaya-
upaya untuk emncegah terjadinya tindak pidanan kekerasan dalam rumah
tangga.Upaya pencegahan yang lebih dini lagi yang seharusnya dilakukan adalah
memberi pendidikan pada masyarakat tentang pencegahan dan penanganan tindak
pidanan kekerasan dalam rumah tangga.
b. Memberikan Perlindungan Kepada Korban
Sesuai batas kemampuannya, setiap orang yang MENDENGAR, MELIHAT atau
MENGETAHUI terjadinya kekerasan dalam rumah tangga wajib melakukan
upaya-upaya melindungi korban.
c. Memberikan Pertolongan Darurat
Hal ini jangan disepelekan :Sekecil apapun bantuan dari masyarakat tentu akan
sangan berarti pada korban, bahkan bisa menyelamatkan nyawa yang tak ternilai
harganya.
d. Membantu Pelaporan Kasus
Selain membantu pelaporan kasus ke polisi, masyarakat juga wajib membantu
proses pengajuan permohonan penetapan perlindungan, misalnya dengan menjadi
saksi, atau memudahkan proses tersebut.
8. Hak-hak Korban Kekerasan Dalam Rumah Tangga
Korban adalah orang yang mengalami kekerasan dan/atau ancaman kekerasan dalam
lingkup rumah tangga
a. Hak Untuk Mendapat Perlindungan
Korban berhak mendapat perlindungan dari pihak keluarga, kepolisian, kejaksaan,
pengadilan, advokat, lembaga sosial, atau pihak lain, ada atau oin tidak ada
penetapan perintah perlindungan dari pengadilan.
b. Hak Mendapatkan Pelayanan Kesehatan Sesuai Dengan Kebutuhan Medis
Segala upaya yang ditujukan untuk memberikan rasa aman kepada korban yang
dilakukan oleh pihak keluarga, advokat, lembaga sosial, kepolisian, kejaksaan,
pengadilan, atau pihak lainnya sementara maupun berdasarkan penetapan
pengadilan.
c. Hak Mendapat Pendampingan dan Bantuan Hukum
Pendampingan biasanya dilakukan olleh Lembaga atau organisasi sosial yang
peduli terhadap masalah kekerasan dalam rumah tangga, misalnya lembaga-
lembaga bantuan hukum.
d. Hak Mendapatkan Penanganan Secara Khusus Berkaitan Dengan Kerahasiaan
Korban.
Penting bagi tiap kantor polisi untuk punya ruang pelayanan khusus, untuk
pelayanan korban perempuan agar mereka lebih merasa aman. Akan sangat
membantu bagi korban perempuan, apabila Polisi Perempuan lah yang melayani
korban, karena korban tentu akan merasa lebih nyaman.
Selain menyediakan ruang pelayanan khusus, penting bagi aparat kepolisian untuk
mengetahui bahwa para korban tindak pidana KDRT berhak mendapatkan
perlakuan khusus, tidak sama dengan para korban tindak pidana lain seperti
pencurian, atau perampokan.
e. Hak Mendapat Pelayanan Bimbingan Rohani
Korban berhak untuk mendapatkan bimbingan rohani sebagai bagian dari usaha
aktif penguatan keimanan dan ketakwaan korban. Layanan ini diusahakan oleh
kepolisian, organisasi dampingan atau dari relawan sosial
9. Bentuk Perlindungan/Pelayanan Bagi Korban KDRT
a. Pelayanan dan Perlindungan yang Harus Diberikan oleh KEPOLISIAN
1) Perlindungan Sementara
Dalam waktu 1×24 jam terhitung sejak mengetahui atau menerima laporan
kekerasan dalam rumah tangga, kepolisian wajib segera memberika
perlindungan sementara pada korban, sebelum dikeluarkannya penetapan
perintah perlindungan dari pengadilan. Perlindungan sementara ini diberikan
paling lama 7 hari sejak korban diterima atau ditangani.
2) Memintakan Surat Penetapan Perintah Perlindungan Dari Pengadilan
Dalam waktu 1×24 jam terhitung sejak pemberian perlindungan sementara,
kepolisian wajib meminta surat penetapan perintah perlindungan dari
pengadilan
3) Penyelidikan Kasus Oleh Polisi
Kepolisian wajib segera melakukan penyelidikan setelah mengetahui atau
menerima laporan tentang terjadinya kekerasan dalam rumah tangga.
Kepolisian wajib memberikan keterangan kepada korban tentang hak korban
untuk mendapat pelayanan dan pendampingan.Kepolisian segera
menyampaikan kepada korban tentang:Identitas petugas untuk pengenalan
kepada korban, Kekerasan dalam rumah tangga adalah kejahatan terhadap
martabat kemanusiaan, Kewajiban polisi untuk melindungi korban.
b. Pelayanan dan Perlindungan yang Harus Diberikan oleh TENAGA
KESEHATAN
Tenaga kesehatan adalah setiap orang yang mengabdikan diri dalam bidang
kesehatan serta memiliki pengetahuan dan/atau keterampilan melalui pendidikan
di bidang kesehatan yang untuk jenis tertentu memerlukan kewenangan
melakukan upaya kesehatan, sebagaimana dimaksud dalam UU 23/1992 tentang
Kesehatan.
1) Memeriksa kesehatan korban sesuai dengan standar profesi.
2) Membuat Laporan Tertulis
Dokter wajib membuat laporan tertulis hasil pemeriksaan terhadap korban dan
visum et repertum atas permintaan penyidik kepolisian atau surat keterangan
medis yang memiliki kekuatan hukum yang sama sebagai alat bukti.Pelayanan
kesehatan tersebut dapat dilakukan di sarana kesehatan milik pemerintah,
pemerintah daerah, atau masyarakat
c. Pelayanan dan Perlindungan yang Harus Diberikan oleh PEKERJA
SOSIALPekerja Sosial adalah seseorang yang mempunyai kompetensi
profesional dalam pekerjaan sosial yang diperoleh mwlalui pendidikan formal
atau pengalaman praktik di bidang pekerjaan sosial/ kesejahteraan sosial yang
diakui secara resmi oleh pemerintah dan melaksanakan tugas profesional itu.
1) Melakukan Konseling
Konseling bertujuan untuk menguatkan dan memberikan rasa aman pada diri
korban
2) Menginformasikan Hak-hak Korban
Memberikan informasi mengenai hak-hak korban untuk mendapatkan
perlindungan dari kepolisian dan penetapan perintah perlindungan dari
pengadilan
3) Mengantar Korban ke Tempat yang Aman
Pekerja sosial harus menyediakan diri untuk mengantar korban ke tempat
perlindungan sementara yang aman, tempat tersebut bisa rumah aman atau
tempat tinggal alternatif lainnya
Rumah aman :
Tempat tinggal sementara yang digunakan untuk memberikan perlindungan
terhadap korban sesuai dengan standar yang ditentukan, misalnya trauma
center di Departemen Sosial.
Tempat Alternatif :
Tempat tinggal korban yang terpaksa ditempatkan untuk dipisahkan dan/atau
dijauhkan dari pelaku
d. Pelayanan dan Perlindungan yang Bisa Diterima dari RELAWAN
PENDAMPING
Relawan Pendamping adalah orang yang mempunyai keahlian untuk melakukan
konseling, terapi, dan advokasi guna penguatan dan pemulihan diri korban
kekerasan.
1) Informasi tentang hak korban untuk mendapatkan seorang atau lebih
pendamping
2) Pendampingan Korban
Pendampingan kepada korban di tingkat penyidikan, penuntutan atau tingkat
pemeriksaan pengadilan dengan membimbing korban untuk secara objektif
dan lengkap memaparkan kekerasan dalam rumah tangga yang dialaminya.
3) Mendengarkan Penuturan Korban
Mendengarkan secara mepati segala penuturan korban sehingga korban
merasa aman didampingi oleh pendamping.
4) Menguatkan Mental dan Fisik Korban
Memberikan dengan aktif penguatan secara psikologis dan fisik kepada
korban.
e. Pelayanan dan Perlindungan yang Harus Diberikan oleh PEMBIMBING
ROHANI.
Memberikan penjelasan mengenai hak, kewajiban, dan memberikan penguatan
iman dan taqwa kepada korban.
f. Pelayanan yang Bisa Diterima Korban dari ADVOKAT/PENGACARA
1) Memberikan Konsultasi Hukum
Advokat wajib memberikan konsultasi hukum kepada korban KDRT,
mencakup informasi mengenai hak korban dan proses peradilan yang akan
dijalani oleh korban.
2) Mendampingi Korban di Tingkat Penyidikan
Advokat sebisa mungkin mendampingi korban saat polisi menyidik kasus
kekerasan yang dialaminya.
3) Membantu Korban di Setiap Tahap Hukum
Membantu dalam proses penuntutan, dan pemeriksaan dalam sidang
pengadilan dan membantu korban untuk secara lengkap memaparkan
kekerasan dalam rumah tangga yang dialaminya.
4) Koordinasi Dengan Pihak Lain
Koordinasi dengan sesama penegak hukum, relawan pendamping, dan pekerja
sosial agar proses peradilan berjalan sebagaimana mestinya.
10. Mengenal Sanksi Pidana atas KDRT
Delik Ancaman Saksi
Kekerasan Fisik
Kekerasan fisik dalam lingkup rumah tangga Penjara paling lama 5 tahun; atau
denda paling banyak Rp 15 juta
Kekerasan fisik yang mengakibatkan korban Penjara paling lama 10 tahun; atau
jatuh sakit atau luka berat denda paling banyak 30 juta
Kekerasan fisik yang mengakibatkan
matinya korban
Penjara paling lama 15 tahun; atau
denda paling banyak Rp 45 juta
Kekerasan fisik yang dilakukan suami
terhadap isteri atau sebaiknya yang tidak
menimbulkan penyakit atau halangan untuk
menjalankan pekerjaan, jabatan atau mata
pencaharian atau kegiatan sehari-hari
Penjara paling lama 4 bulan; atau
denda paling banyak Rp 5 juta
Kekerasan Psikis
Kekerasan psikis dalam lingkup rumah
tangga
Penjara paling lama 3 tahun; atau
denda paling banyak Rp 9 juta
Kekerasan psikis yang dilakukan suami
terhadap isteri atau sebaiknya yang tidak
menimbulkan penyakit atau halangan untuk
menjalankan pekerjaan, jabatan atau mata
pencaharian atau kegiatan sehari-hari
Penjara paling lama 4 bulan; atau
denda paling banyak Rp 3 juta
Kekerasan Seksual
Kekerasan seksual Penjara paling lama 12 tahun; atau
denda paling banyak Rp 36 juta
Memaksa orang yang menetap dalam rumah
tangganya melakukan hubungan seksual
Penjara paling singkat 4 tahun dan
paling lama 15 tahun; atau denda
paling sedikit Rp 12 juta dan paling
banyak Rp 500 juta
Mengakibatkan korban mendapat luka yang
tidak memberi harapan akan sembuh sama
sekali, mengalami gangguan daya pikir atau
kejiwaan sekurang-kurangnya selama 4
minggu terus menerus atau 1 tahun tidak
berturut-turut, gugur atau matinya janin
dalam
Penjara paling singkat 5 tahun dan
paling lama 20 tahun; atau denda
paling sedikit Rp 25 juta dan paling
banyak Rp 500 juta
Penelantaran Rumah Tangga
Menelantarkan oranglain dalam lingkup
rumah tangga; atau Menelantarkan orang
lain yang berada di bawah kendali
Penjara paling lama 3 tahun; atau
denda paling banyak Rp 15 juta
11. Perlindungan Terhadap korban dan saksi Saksi dan Korban berhak:
a. memperoleh perlindungan atas keamanan pribadi, Keluarga, dan harta bendanya,
serta bebas dari Ancaman yang berkenaan dengan kesaksian yang akan, sedang,
atau telah diberikannya;
b. ikut serta dalam proses memilih dan menentukan bentuk perlindungan dan
dukungan keamanan;
c. memberikan keterangan tanpa tekanan;
d. mendapat penerjemah;
e. bebas dari pertanyaan yang menjerat;
f. mendapat informasi mengenai perkembangan kasus;
g. mendapat informasi mengenai putusan pengadilan;
h. mendapat informasi dalam hal terpidana dibebaskan;
i. dirahasiakan identitasnya;
j. mendapat identitas baru;
k. mendapat tempat kediaman sementara;
l. mendapat tempat kediaman baru;
m. memperoleh penggantian biaya transportasi sesuai dengan kebutuhan;
n. mendapat nasihat hukum;
o. memperoleh bantuan biaya hidup sementara sampai batas waktu Perlindungan
berakhir;dan/atau
p. mendapat pendampingan;