BAB II Tinjauan Pustaka_ G11niz

5
1 PENDAHULUAN Kanker atau karsinoma merupakan penyakit yang disebabkan oleh rusaknya mekanisme pengaturan dasar perilaku sel, khususnya mekanisme pertumbuhan dan perubahan sel yang diatur oleh gen. Sel-sel jaringan tubuh baru tumbuh abnormal akibat mutasi genetis sel, menginvasi jaringan sekitar, dan metastasis (menyebar) ke tapak yang jauh (Winarto et al. 2007). Menurut Pratiwi (2004), kanker merupakan penyebab kematian terbesar kedua setelah gangguan kardiovaskular. Penyebab utama kanker tidak diketahui, tetapi faktor genetik diduga kuat sebagai pencetus utama. Bahan tertentu juga diyakini dapat menyebabkan timbulnya kanker. Empat puluh persen pria menderita kanker karena tembakau. Para peneliti kanker menyimpulkan 7090% kanker pada manusia disebabkan oleh faktor lingkungan, seperti makanan, konsumsi alkohol, polusi udara, air, bahan kimia di tempat kerja, radiasi dan sinar ultraviolet (Djajanegara & Prio 2009). Berbagai usaha telah dilakukan untuk menanggulangi penyakit ini: pembedahan, radioterapi, kemoterapi, dan sekarang berkembang imunoterapi. Pembedahan merupakan pengangkatan kanker melalui operasi. Radioterapi menggunakan radiasi dari mesin pemercepat linear yang akan mengalir- kan energi radiasi tinggi ke area kanker, tetapi berefek juga pada jaringan normal yang dilewati. Metodenya mirip dengan pemberian sinar-X, namun waktunya lebih lama (Waluyo 2008). Kemoterapi merupakan pengobatan sistemik dengan obat sitostatik yang merusak DNA/RNA dan pada akhirnya menimbulkan apoptosis, sedangkan imunoterapi ditujukan membunuh sel-sel kanker sehingga tidak dapat berkembang dan membahayakan hidup (Djajanegara & Prio 2009). Pengobatan-pengobatan tersebut belum dapat mengatasi penyakit kanker secara memuaskan (Sukardiman et al. 2004). Salah satu masalahnya adalah kondisi ekonomi sebagian besar masyarakat belum memadai (Djajanegara & Prio 2009). Menurut WHO, hanya sepertiga penderita kanker dapat disembuhkan, terutama yang memiliki perkembangan kanker relatif dini. Karena mahalnya biaya pengobatan, cara lain yang dipilih sebagian penderita penyakit kanker adalah ’kembali ke bahan alam’ dengan memanfaatkan tanaman obat. Bahan alam tumbuhan yang digunakan sebagai obat maupun bahan obat dipercaya aman bagi tubuh dan penggunaannya telah didukung oleh data ilmiah penelitian (Sulistyoningrum 2008). Tanaman obat yang berpotensi sebagai antikanker antara lain bloodroot (Sanguinaria canadensis) yang mengandung alkaloid (Sukardiman et al. 2004), lumut hati dari spesies Marchantia polymorpha L yang mengandung alkaloid dan flavonoid (Nurhayati et al. 2006), sambiloto yang mengandung lakton, kunyit (Curcuma domestica Va) dan temu lawak (Curcuma xanthorrhiza Roxb) yang mengandung kurkuminoid, serta lempuyang ( Zingiber zerumbet) (Jasril 2006) yang mengandung flavonoid. Pada penelitian ini, potensi gabungan ekstrak rimpang kunyit, temu lawak dan lempuyang diuji sebagai antikanker. Ekstrak yang akan diuji potensi antikanker diperoleh dengan metode ekstraksi menggunakan etanol 96% dan metode Huda et al. (2003). Potensi antikanker diuji dengan metode uji letalitas larva udang (BSLT) menggunakan Artemia salina Leach dan metode 3-[4,5-dimetiltiazol-2-il]-2,5-difenil- tetrazolium bromida (MTT) menggunakan sel kanker usus besar HCT (ATCC-CCL 116). TINJAUAN PUSTAKA Kunyit Kunyit (Gambar 1) merupakan tanaman rempah dan obat asli Asia, khususnya Asia Tenggara. Saat ini kunyit sudah tersebar hingga ke Australia dan Afrika. Kunyit banyak digunakan untuk memberikan warna kuning pada masakan, khususnya di daerah Asia Selatan. Kunyit berdasarkan klasifikasi botaninya termasuk ke dalam Divisi : Spermatophyta Subdivisi : Angiospermae Kelas : Monocotyledoneae Ordo : Zingiberales Famili : Zungiberaceae Genus : Curcuma Spesies : Curcuma domestica Va Gambar 1 Rimpang kunyit.

description

pustaka

Transcript of BAB II Tinjauan Pustaka_ G11niz

Page 1: BAB II Tinjauan Pustaka_ G11niz

1

PENDAHULUAN

Kanker atau karsinoma merupakan

penyakit yang disebabkan oleh rusaknya

mekanisme pengaturan dasar perilaku sel,

khususnya mekanisme pertumbuhan dan

perubahan sel yang diatur oleh gen. Sel-sel

jaringan tubuh baru tumbuh abnormal akibat

mutasi genetis sel, menginvasi jaringan

sekitar, dan metastasis (menyebar) ke tapak

yang jauh (Winarto et al. 2007). Menurut

Pratiwi (2004), kanker merupakan penyebab

kematian terbesar kedua setelah gangguan

kardiovaskular.

Penyebab utama kanker tidak diketahui,

tetapi faktor genetik diduga kuat sebagai

pencetus utama. Bahan tertentu juga diyakini

dapat menyebabkan timbulnya kanker. Empat

puluh persen pria menderita kanker karena

tembakau. Para peneliti kanker menyimpulkan

70–90% kanker pada manusia disebabkan

oleh faktor lingkungan, seperti makanan,

konsumsi alkohol, polusi udara, air, bahan

kimia di tempat kerja, radiasi dan sinar

ultraviolet (Djajanegara & Prio 2009).

Berbagai usaha telah dilakukan untuk

menanggulangi penyakit ini: pembedahan,

radioterapi, kemoterapi, dan sekarang

berkembang imunoterapi. Pembedahan

merupakan pengangkatan kanker melalui

operasi. Radioterapi menggunakan radiasi dari

mesin pemercepat linear yang akan mengalir-

kan energi radiasi tinggi ke area kanker, tetapi

berefek juga pada jaringan normal yang

dilewati. Metodenya mirip dengan pemberian

sinar-X, namun waktunya lebih lama (Waluyo

2008). Kemoterapi merupakan pengobatan

sistemik dengan obat sitostatik yang merusak

DNA/RNA dan pada akhirnya menimbulkan

apoptosis, sedangkan imunoterapi ditujukan

membunuh sel-sel kanker sehingga tidak

dapat berkembang dan membahayakan hidup

(Djajanegara & Prio 2009).

Pengobatan-pengobatan tersebut belum

dapat mengatasi penyakit kanker secara

memuaskan (Sukardiman et al. 2004). Salah

satu masalahnya adalah kondisi ekonomi

sebagian besar masyarakat belum memadai

(Djajanegara & Prio 2009). Menurut WHO,

hanya sepertiga penderita kanker dapat

disembuhkan, terutama yang memiliki

perkembangan kanker relatif dini. Karena

mahalnya biaya pengobatan, cara lain yang

dipilih sebagian penderita penyakit kanker

adalah ’kembali ke bahan alam’ dengan

memanfaatkan tanaman obat.

Bahan alam tumbuhan yang digunakan

sebagai obat maupun bahan obat dipercaya

aman bagi tubuh dan penggunaannya telah

didukung oleh data ilmiah penelitian

(Sulistyoningrum 2008). Tanaman obat yang

berpotensi sebagai antikanker antara lain

bloodroot (Sanguinaria canadensis) yang

mengandung alkaloid (Sukardiman et al.

2004), lumut hati dari spesies Marchantia

polymorpha L yang mengandung alkaloid dan

flavonoid (Nurhayati et al. 2006), sambiloto

yang mengandung lakton, kunyit (Curcuma

domestica Va) dan temu lawak (Curcuma

xanthorrhiza Roxb) yang mengandung

kurkuminoid, serta lempuyang (Zingiber

zerumbet) (Jasril 2006) yang mengandung

flavonoid. Pada penelitian ini, potensi

gabungan ekstrak rimpang kunyit, temu lawak

dan lempuyang diuji sebagai antikanker.

Ekstrak yang akan diuji potensi antikanker

diperoleh dengan metode ekstraksi

menggunakan etanol 96% dan metode Huda et

al. (2003). Potensi antikanker diuji dengan

metode uji letalitas larva udang (BSLT)

menggunakan Artemia salina Leach dan

metode 3-[4,5-dimetiltiazol-2-il]-2,5-difenil-

tetrazolium bromida (MTT) menggunakan sel

kanker usus besar HCT (ATCC-CCL 116).

TINJAUAN PUSTAKA

Kunyit

Kunyit (Gambar 1) merupakan tanaman

rempah dan obat asli Asia, khususnya Asia

Tenggara. Saat ini kunyit sudah tersebar

hingga ke Australia dan Afrika. Kunyit

banyak digunakan untuk memberikan warna

kuning pada masakan, khususnya di daerah

Asia Selatan. Kunyit berdasarkan klasifikasi

botaninya termasuk ke dalam

Divisi : Spermatophyta

Subdivisi : Angiospermae

Kelas : Monocotyledoneae

Ordo : Zingiberales

Famili : Zungiberaceae

Genus : Curcuma

Spesies : Curcuma domestica Va

Gambar 1 Rimpang kunyit.

Page 2: BAB II Tinjauan Pustaka_ G11niz

2

Tumbuhan kunyit mengandung banyak

bahan kimia yang bermanfaat sebagai obat,

yaitu minyak atsiri, pati, zat pahit, resin,

selulosa, dan beberapa mineral. Kandungan

minyak atsiri kunyit sekitar 3–5%. Komponen

zat warna atau pigmen kunyit terutama adalah

kurkumin (2.5–6%). Di samping itu, kunyit

juga mengandung zat warna mono dan

bisdemetoksikurkumin (Sidik et al. 1995)

Tanaman ini berasa pahit, antidiare,

antipiretik, dapat merangsang kelenjar, dan

antidiabetes. Kunyit berkhasiat mencegah

beberapa penyakit antara lain mencegah

pembekuan darah dan amandel. Aktivitas

antioksidan dan penangkap-radikal kurkumin

terdokumentasi baik dan mengindikasikan

hubungan dengan penghambatan proses

karsinogenesis kanker. Aktivitas antiradang,

yaitu sebagai inhibitor asam sikloksigenase,

juga memiliki kaitan dengan aktivitasnya

sebagai antikanker, terutama kanker usus

besar. Kurkumin juga aktif dalam

menghambat proses karsinogenesis pada tahap

inisiasi dan promosi atau progresi. Kurkumin

juga memacu proses apotosis, yaitu suatu

proses alami kematian sel dalam rangka

mempertahankan integritas sel secara

keseluruhan (Meiyanto 1999).

Penelitian lain menunjukkan kemampuan

kurkumin menghambat proliferasi sel dan

menginduksi perubahan siklus sel pada calon

lini sel adenokarsinoma tanpa bergantung

pada jalur prostaglandin. Kurkumin juga

mampu menghambat pertumbuhan sel kanker

payudara manusia tanpa bergantung pada

ekspresi reseptor estrogen (Sidik et al. 1995).

Semua kemampuan kurkumin ini membuat

kunyit berpotensi tinggi sebagai obat herbal

antikanker. Karena itu, perlu pemahaman

bagaimana mendapatkan kandungan kurkumin

yang maksimal pada setiap pengolahan kunyit

agar efek antikanker yang dirasakan pasien

kanker semakin efektif.

Temu Lawak

Temu lawak (C. xanthorrhiza Roxb)

merupakan salah satu jenis tanaman obat dari

famili Zingiberaceae yang potensial untuk

dikembangkan, dan merupakan salah satu dari

9 jenis tanaman unggulan Ditjen POM. Temu

lawak merupakan tanaman khas Indonesia

(Niumsakel et al. 2007) yang sudah tersebar

di beberapa daerah Indo-Malaysia.

Kandungan kurkumin di dalam temu lawak

berkisar 1.6–2.2% (Rukmana 1995). Tanaman

ini antara lain dipergunakan oleh masyarakat

maupun produsen obat tradisional dan

kosmetika dalam menjaga dan meningkatkan

kesehatan atau mengobati penyakit. Rimpang

temu lawak banyak digunakan sebagai bahan

baku hepatoprotektor untuk memperbaiki

fungsi hati dan menurunkan kadar SGPT dan

SGOT (Hadipoentyanti & Syahid 2007).

Selain sebagai bahan baku industri seperti

minuman dan pewarna alami, manfaat lain

temu lawak adalah dapat meningkatkan sistem

imunitas tubuh, antibakteri, antidiabetes,

antihepatotoksik, antiradang, antioksidan,

antitumor, diuretika, depresan, dan

hipolipodemik (Purnomowati & Yoganingrum

1997; Raharjo & Rostiana 2003).

Temu lawak (Gambar 2) berdasarkan

klasifikasi botaninya termasuk ke dalam

Divisi : Spermatophyta

Subdivisi : Angiospermae

Kelas : Monocotyledone

Bangsa : Zingiberales

Suku : Zingiberceae

Genus : Curcuma

Spesies : Curcuma xanthoriza Roxb

Gambar 2 Rimpang temu lawak.

Komponen yang terkandung dalam temu

lawak dapat digolongkan menjadi 2

kelompok, yaitu minyak atsiri dan golongan

kurkuminoid. Sidik et al. (1995) menunjukkan

bahwa kurkuminoid rimpang temu lawak

berkhasiat menetralkan racun, menghilangkan

rasa nyeri sendi, menurunkan kadar kolesterol

darah, mencegah pembentukan lemak dalam

sel hati, dan antioksidan. Secara kimia,

kurkuminoid temu lawak merupakan turunan

diferuloilmetana, yakni senyawa dimetoksi

diferuloilmetana (kurkumin) dan monodes-

metoksidiferuloilmetana (desmetoksi-

kurkumin). Kandungan kurkuminoid dalam

rimpang temu lawak kering berkisar 3.16%,

dengan kadar kurkumin sekitar 58–71% dan

desmetoksikurkumin 29–42% (Sidik et al.

1995)

Produk temu lawak pada umumnya

disimpan dalam bentuk simplisia agar dapat

bertahan lebih lama. Temu lawak segar

memiliki kadar air sekitar 80–85%. Proses

pengeringan akan membantu mengurangi

kadar air yang dapat menurunkan mutu

temulawak. Akan tetapi, kondisi pengeringan

Page 3: BAB II Tinjauan Pustaka_ G11niz

3

juga dapat memengaruhi komponen lain

dalam rimpang (Zahro et al. 2009).

Bagian yang berkhasiat dari temu lawak

adalah rimpangnya yang mengandung

berbagai komponen kimia, di antaranya zat

kuning kurkumin, protein, pati, dan minyak

atsiri (Tabel 1). Pati merupakan salah satu

komponen terbesar temu lawak. Minyak

atsirinya mengandung senyawa felandren,

kamfer, borneol, sineal, dan xantorizol.

Kandungan xantorizol dan kurkumin

menyebabkan temu lawak sangat berkhasiat

(Taryono & Sardina 1987). Xantorizol

merupakan komponen khas minyak atsiri yang

diisolasi dari famili Zingiberaceae dan

Astericeae seperti rimpang temu lawak, dan

termasuk kelompok seskuiterpena tipe

bisabolena (Aguilar et al. 2001).

Tabel 1 Komponen rimpang temu lawak

Komponen Senyawa Kadar (%)

Pati 27.62

Lemak 5.38

Minyak Atsiri 10.96

Kurkumin 1.93

Protein 6.44

Serat Kasar 6.89 Sumber: Suwiah (1991)

Lempuyang

Lempuyang gajah (Gambar 3) sejak lama

digunakan sebagai obat tradisional, terutama

akar atau rizomanya, untuk mengobati sakit

perut, sakit kepala, dan mengurangi rasa

pegal. Rimpang ini diketahui mengandung

alkaloid, saponin, flavonoid, dan polifenol, di

samping minyak atsiri, dan telah

dimanfaatkan sebagai antiradang, antitukak,

antioksidan, dan antimikrob (Somchit &

Syukriyah 2003).

Gambar 3 Rimpang lempuyang.

Lempuyang berdasarkan klasifikasi

botaninya termasuk ke dalam

Divisi : Spermatophyta

Subdivisi : Angiospermae

Kelas : Monocotyledonae

Bangsa : Zingiberales

Suku : Zingiberceae

Genus : Zingiber

Spesies : Zingiber zerumbet

Rizoma lempuyang gajah memiliki

kandungan metabolit sekunder seperti

alkaloid, saponin, flavonoid, polifenol, dan

terpenoid yang kaya dalam kandungan minyak

atsiri. Minyak atsiri adalah komponen minyak

yang mudah menguap dan diperoleh dari

tanaman dengan cara penyulingan uap

(Kikuzaki & Nakatani 1993). Minyak atsiri

dapat dihasilkan dari setiap bagian tanaman

seperti daun, bunga, buah, biji, batang, kulit,

dan akar.

Metabolit Sekunder

Kurkuminoid

Kurkuminoid (Gambar 4) adalah salah

satu golongan senyawa fenolik, gabungan dari

desmetoksikurkumin dan kurkumin.

Kurkuminoid secara luas digunakan sebagai

zat pewarna makanan, antioksidan alami,

bumbu, rempah-rempah, dan berguna dalam

bidang pengobatan (Zahro et al. 2009).

HO

R1

O O

OH

R2

H

1

2'

3'

4'5'

6'

7'

8'

9'

2

3

45

67

8

9

10

Komponen R1 R2

Kurkumin OMe OMe

Demetoksikurkumin H OMe

Bisdemetoksikurkumin H H

Gambar 4 Struktur kurkuminoid (Cikrici et

al. (2003).

Kurkumin (diferuloilmetana) mempunyai

rumus molekul C21H20O6 dengan bobot

molekul 368.37. Bentuk fisik kurkumin adalah

bubuk kuning jingga dengan titik leleh 138 °C,

tidak larut di dalam air dan eter, tetapi larut di

dalam alkohol dan asam asetat glasial. Di

dalam basa akan berwarna merah kecokelatan

Page 4: BAB II Tinjauan Pustaka_ G11niz

4

dan di dalam asam berwarna kuning cerah.

Perubahan warna akibat perubahan pH

lingkungan ini, dapat terjadi karena

tautomerisasi molekul. Sifat kurkuminoid lain

yang penting adalah sensitivitas terhadap

cahaya. Bila kurkumin terkena cahaya, akan

terjadi dekomposisi struktur berupa siklisasi

kurkumin atau terjadi degradasi (Sidik et al.

1995). Kurkuminoid beraroma khas, tidak

toksik. Kurkumin tidak larut dalam air, tetapi

larut dalam etanol atau dimetil sulfoksida

(DMSO) (Huda et al. 2003).

Pertengahan tahun 2009, tim riset hasil

kolaborasi beberapa universitas dan badan

riset di Korea Selatan membuktikan secara in

vitro dengan analisis surface plasmon

resonance (SPR) maupun in vivo dengan

analisis APN-spesific antibody competition

bahwa salah satu senyawa aktif dalam kunyit

mampu menahan laju pertumbuhan kanker.

Kurkumin memiliki potensi dalam pengobatan

kanker. Kurkumin mampu menghambat

perkembangan payudara dengan menghambat

aktivasi reseptor estrogen (ER) oleh estrogen

dan juga mampu menghambat perkembangan

sel kanker usus besar (Meiyanto 1999).

Flavonoid

Flavonoid adalah senyawa polifenol yang

banyak terdapat pada sayuran dan buah-

buahan. Flavonoid telah menunjukkan

perannya sebagai antioksidan, antimutagenik,

antineoplastik, dan vasodilatator. Flavonoid

juga memengaruhi tahapan metabolisme sel

kanker, misalnya dengan menghambat

penggabungan timidin, uridin, dan leusin ke

sel kanker sehingga menghambat sintesis

DNA sel kanker (Manggau et al. 2007).

Peranan flavonoid sebagai antikanker

diperkuat oleh eksperimen lain yang

menggunakan hidrokarbon aromatik polisiklik

(PAH) sebagai penginduksi kanker.

Mekanisme penghambatan didapati berkaitan

dengan penghambatan stimulasi metabolik

yang diinduksi oleh PAH dan memengaruhi

aktivitas beberapa sel promotor (Lamb 2005).

Kromatografi Lapis Tipis (KLT)

Kromatografi lapis tipis merupakan salah

satu jenis kromatografi adsorpsi. Metode ini

sederhana, cepat dalam pemisahan, dan

sensitif. Kecepatan pemisahannya tinggi dan

mudah untuk memperoleh kembali senyawa-

senyawa yang terpisahkan (Khopkar 1990).

Adsorben dilapiskan pada lempeng kaca

yang bertindak sebagai penyangga fase diam.

Fase gerak akan merayap sepanjang fase diam

dan terbentuk kromatogram. Sifat adsorben

yang kompak menyebabkan kecepatan

pemisahan lebih besar. Kromatografi lapis

tipis dapat mencapai kepekaan pada skala

mikrogram (Suradikusumah 1989). Uji KLT

sering digunakan dalam pengujian sel kanker,

untuk pencirian senyawa yang mempunyai

aktivitas penghambatan tertinggi (Sajuthi

2001).

Uji Antikanker

Antikanker adalah bahan yang memiliki

sifat sitotoksik (dapat menghambat

pertumbuhan sel kanker) dan sitosidal (dapat

mematikan sel kanker) (Setiani 2009).

Beberapa metabolit sekunder memiliki

aktivitas antikanker. Oleh karena itu, akhir-

akhir ini banyak dikembangkan penelitian

untuk mencari senyawa metabolit sekunder

yang memiliki bioaktivitas antikanker untuk

dikembangkan dalam kemoterapi untuk

pengobatan kanker.

National Cancer Institute (NCI) Amerika

Serikat menentukan prosedur untuk menapis

potensi antikanker suatu senyawa: preparasi,

pra-penapisan, penapisan, pemantauan, uji

sekunder, dan uji klinis. Tahap preparasi

berupa pengumpulan tanaman dan ekstraksi.

Pra-penapisan dilakukan dengan uji in vitro

atau in vivo sederhana untuk mengidentifikasi

ekstrak yang berpotensi antikanker.

Metodenya antara lain uji kematian A. salina,

uji hambatan tumor pada lempeng kentang

dan, uji hambatan pada pertumbuhan kuncup

Lemna Minor Assay. Ekstrak yang aktif

kemudian ditapis melawan sel yang lebih

banyak secara in vivo. Terhadap ekstrak yang

berhasil di tapis akan dilakukan tahap

pemantauan, yaitu difraksionasi untuk

memperoleh senyawa aktif yang murni.

Uji Letalitas Larva Udang (BSLT)

Uji toksisitas merupakan uji pendahuluan

untuk mengamati aktivitas farmakologi suatu

senyawa. Prinsip uji toksisitas adalah bahwa

komponen bioaktif selalu bersifat toksik jika

diberikan dengan dosis tinggi dan menjadi

obat pada dosis rendah. Larva udang memiliki

kulit yang tipis dan peka terhadap

lingkungannya sehingga banyak digunakan

dalam uji toksisitas. Zat atau senyawa asing

yang ada di lingkungan akan terserap ke

dalam tubuh secara difusi dan langsung

memengaruhi kehidupannya. Larva udang

yang sensitif ini akan mati apabila zat atau

Page 5: BAB II Tinjauan Pustaka_ G11niz

5

senyawa asing tersebut bersifat toksik

(Hamburger & Hostettmann 1991).

Hasil uji toksisitas ini dapat diketahui dari

jumlah kematian larva udang karena pengaruh

ekstrak atau senyawa bahan alam tumbuhan

tertentu dengan dosis yang telah ditentukan,

selama 24 jam. Data dianalisis dengan

komputer, menggunakan analisis probit untuk

menentukan nilai konsentrasi mematikan 50%

(LC50). Bila konsentrasi ekstrak yang diuji

kurang dari 1000 µg/ml, maka dianggap

menunjukkan aktivitas hayati (Sukardiman et

al. 2004).

Salah satu metode uji bahan sitotoksik

adalah uji toksisitas terhadap larva udang A.

salina Leach (brine shrimp lethality test).

Metode BSLT sering digunakan untuk pra-

penapisan senyawa aktif antikanker di dalam

ekstrak tanaman karena murah, cepat, mudah

(tidak perlu kondisi aseptik), dan dapat

dipercaya (Meyer 1982). Hasil uji ini juga

berkorelasi positif dengan potensi sebagai

antikanker (Anderson 1991).

BAHAN DAN METODE

Alat dan Bahan

Alat-alat yang digunakan adalah oven,

eksikator, neraca analitik, peralatan kaca,

lampu UV, pelat KLT, penguap putar, dan

pengering beku. Bahan-bahan yang digunakan

adalah sampel kunyit, temu lawak, dan

lempuyang segar dari kebun Biofarmaka

Bogor, etanol, Tween-80, MTT, larva udang

A. salina, sel kanker usus besar HCT (ATCC-

CCL 116), serum janin sapi (FBS) 10%,

penisilin, streptomisin, dan medium Eagle

termodifikasi Dulbecco (D-MEM).

Lingkup Kerja

Rimpang kunyit, temu lawak, dan

lempuyang dicuci bersih dan dirajang kecil-

kecil. Kemudian dikeringkan dengan oven dan

ditentukan kadar airnya. Rimpang kering lalu

dimaserasi, ekstrak yang diperoleh dibuat

dalam beberapa konsentrasi dan diuji dengan

metode BSLT. Konsentrasi ekstrak masing-

masing rimpang dengan aktivitas terbaik

dikombinasikan dengan nisbah tertentu dan

diuji kembali dengan metode BSLT.

Kombinasi terbaik difraksionasi dengan KLT

dan diujikan pada sel kanker (Lampiran 1).

Preparasi Rimpang

Rimpang segar dicuci dengan air bersih,

ditiriskan, dan dirajang kecil-kecil. Sampel

yang telah dirajang ditimbang seberat 7 kg,

lalu dikeringkan dengan oven pada suhu 60 °C

selama 5 hari (Huda et al. 2003).

Penetapan Kadar Air

Cawan porselen dikeringkan pada suhu

105 °C. Setelah didinginkan dalam eksikator,

cawan ditimbang. Sebanyak 3 g sampel

rimpang (dicatat sampai 4 desimal),

dimasukkan dalam cawan dan dikeringkan

pada suhu 105 °C hingga bobotnya konstan

(Depkes RI 1979). Penetapan kadar air

dilakukan sebanyak 3 kali ulangan.

Penetapan Kadar Abu

Cawan porselen dikeringkan selama 30

menit, didinginkan dalam eksikator, kemudian

ditimbang. Kira-kira 2 g sampel rimpang

dimasukkan ke dalam cawan, lalu cawan dan

isinya dipanaskan dengan nyala Bunsen/hot

plate sampai tidak berasap lagi. Cawan

dimasukkan ke dalam tanur listrik dengan

suhu 600 °C sampai sampel rimpang menjadi

abu. Setelah didinginkan dalam eksikator,

ditimbang. Pekerjaan dilakukan triplo (Depkes

RI 1979).

Ekstraksi Rimpang dengan Etanol 96%

Sebanyak 60 g serbuk kering rimpang

dimasukkan ke dalam maserator, lalu

ditambahkan 300 mL etanol 96%, dan

direndam selama 24 jam sambil sesekali

diaduk. Maserat dipisahkan dengan

penyaringan dan proses ini diulangi 2 kali

dengan jenis dan jumlah pelarut yang sama.

Semua maserat dikumpulkan dan dipekatkan

dengan penguap putar (Supriadi 2008).

Ekstraksi Rimpang Mengacu pada Metode

Huda et al. 2003

Sampel rimpang kering diekstraksi dengan

etanol 95%. Sebanyak 60 g serbuk di dalam

maserator ditambahkan 300 mL etanol selama

45 menit dengan 3 kali ekstraksi sampai

larutan tidak berwarna. Ekstrak kemudian

dipekatkan dengan penguap putar pada suhu

50 ºC hingga kering. Setelah itu, dihilangkan

kandungan lemaknya dengan petroleum eter.

Ekstrak yang tidak larut dalam petroleum eter

dilarutkan kembali dalam etanol 95% dan

dikeringkan.