BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA...

26
BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PIKIR A. Tinjauan Pustaka Tinjauan pustaka merupakan penelitian-penelitian sejenis terdahulu yang akan dibandingkan dengan penelitian ini. Dengan tinjauan pustaka ini, maka peneliti dapat membandingkan kesamaan-kesamaan dan dapat menemukan perbedaan-perbedaan yang terdapat dalam penelitian sejenis terdahulu untuk menghindari plagiarisme. Selain itu, tinjauan pustaka ini digunakan untuk pembeda penelitian ini dengan penelitian yang lain untuk memunculkan kebaruan. Di bawah ini akan dipaparkan penelitian sejenis terdahulu, antara lain: 1. Penelitian oleh Elisa Nurul laili (2013) berupa jurnal berjudul Disfemisme pada Wacana Lingkungan: Sebuah Kajian Ekolinguistik Kritis dalam Media Massa Indonesia. Penelitian tersebut membahas permasalahan kebahasaan yang terdapat pada wacana lingkungan dalam media massa di Indonesia, yakni mengenai disfemisme. Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif kualitatif. Data dalam penelitian ini berasal dari majalah Gatra, Tempo, Trust, harian Kompas, Kabar Indonesia, Media Indonesia, Suara Merdeka, Surabaya Pagi, Portal Antara, Disfemisme pada Wacana Lingkungan: Sebuah Kajian Ekolinguistik Kritis dalam Media Massa Indonesia, Vivanews, Detiknews, Metronews, dan 14

Transcript of BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA...

Page 1: BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PIKIRabstrak.ta.uns.ac.id/wisuda/upload/C0212062_bab2.pdftentang disfemisme siswa SMP dari sisi konteks, acuan, dan partisipannya. Penelitian ini

BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PIKIR

A. Tinjauan Pustaka

Tinjauan pustaka merupakan penelitian-penelitian sejenis terdahulu yang akan

dibandingkan dengan penelitian ini. Dengan tinjauan pustaka ini, maka peneliti dapat

membandingkan kesamaan-kesamaan dan dapat menemukan perbedaan-perbedaan

yang terdapat dalam penelitian sejenis terdahulu untuk menghindari plagiarisme.

Selain itu, tinjauan pustaka ini digunakan untuk pembeda penelitian ini dengan

penelitian yang lain untuk memunculkan kebaruan. Di bawah ini akan dipaparkan

penelitian sejenis terdahulu, antara lain:

1. Penelitian oleh Elisa Nurul laili (2013) berupa jurnal berjudul Disfemisme pada

Wacana Lingkungan: Sebuah Kajian Ekolinguistik Kritis dalam Media Massa

Indonesia. Penelitian tersebut membahas permasalahan kebahasaan yang

terdapat pada wacana lingkungan dalam media massa di Indonesia, yakni

mengenai disfemisme.

Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif kualitatif. Data dalam

penelitian ini berasal dari majalah Gatra, Tempo, Trust, harian Kompas, Kabar

Indonesia, Media Indonesia, Suara Merdeka, Surabaya Pagi, Portal Antara,

Disfemisme pada Wacana Lingkungan: Sebuah Kajian Ekolinguistik Kritis

dalam Media Massa Indonesia, Vivanews, Detiknews, Metronews, dan

14

Page 2: BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PIKIRabstrak.ta.uns.ac.id/wisuda/upload/C0212062_bab2.pdftentang disfemisme siswa SMP dari sisi konteks, acuan, dan partisipannya. Penelitian ini

15

Okezone. Pengumpulan data dengan metode simak dan dengan teknik lanjutan

berupa teknik catat. Analisis data dalam penelitian ini dengan menggunakan

metode agih dan metode padan, serta teknik substisusi dan parafrasa.

Hasil penelitinnya dapat diambil simpulan (1) bentuk satuan ekspresi

disfemisme yang digunakan oleh media massa di Indonesia pada wacana

lingkungan yaitu kata, frasa, klausa, dan kalimat. Kata meliputi kata dasar dan

kata turunan. Frasa meliputi frasa nomina, frasa adjektiva, frasa verba; (2)

referen disfemisme yang ditemukan adalah yang berkaitan dengan manusia,

tumbuhan, binatang, tanah, nuklir dan material beracun, sampah dan limbah,

polusi, perusakan habitat alami, kepunahan spesies, dan tabu; (3) fungsi-fungsi

satuan ekspresi disfemisme ada dua belas macam, yaitu mengungkapkan

kemarahan atau kejengkelan, mengritik, menyindir, menuduh atau

menyalahkan, mengeluh, menyampaikan informasi, menghina,

memperingatkan, menunjukkan ketidaksetujuan, menunjukkan rasa tidak suka,

melebih-lebihkan, dan menunjukkan bukti (2013: 47-58).

2. Penelitian yang dilakukan oleh Susilo Utami (2010) berjudul Konteks, Acuan,

dan Partisipan Disfemisme pada Ujaran Siswa SMP Negeri 3 Ungaran

mengenai konteks, acuan, dan pastisipan disfemisme. Tujuan dari penelitian ini

untuk memaparkan konteks munculnya disfemisme, acuan disfemisme, dan

partisipan disfemisme.

Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif serta bentuk

penelitian ini adalah deskriptif kualitatif. Penelitian ini mendeskripsikan data

Page 3: BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PIKIRabstrak.ta.uns.ac.id/wisuda/upload/C0212062_bab2.pdftentang disfemisme siswa SMP dari sisi konteks, acuan, dan partisipannya. Penelitian ini

16

tentang disfemisme siswa SMP dari sisi konteks, acuan, dan partisipannya.

Penelitian ini dilakukan di SMP Negeri 3 Ungaran Kabupaten Semarang, Jalan

Patimura nomor 1 A. Subjek penelitian adalah siswa SMP yang menjadi siswa

di sekolah tersebut. Data-data atau korpus yang berisi ujaran disfemisme

didapatkan dari sumber data primer dan sekunder yang didefinisikan menurut

Utami yaitu sumber data primer adalah tempat/peristiwa/aktivitas dan

informan/ narasumber. Sumber data sekunder adalah dokumen (Utami, 2010:6).

Validasi data yang digunakan dalam penelitian Utami adalah triangulasi

data. Data diperoleh melalui observasi/pengamatan, rekam/catat data, dan

wawancara. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode

berpikir induktif. Sesuai dengan karakteristik penelitian kualitatif bahwa

penelitian kualitatif pada akhirnya akan membentuk suatu teori yang berasal

dari data yang ditemukan di lapangan. Teknik analisis data yang digunakan

dalam penelitian Utami adalah teknik analisis interaktif.

Adapun hasil yang dapat diambil dari penelitian Utami adalah (1)

konteks munculnya disfmisme antara lain karena marah, mengejek, meminta,

berkomentar, menggerutu, membalas, bercanda, bertanya, kebiasaan, terkejut,

geli, menggoda, mengingatkan, menjawab panggilan, merepon pertanyaan,

tidak percaya, iseng, kesakitan, melihat orang lain, dan cemberut; (2) referen

disfemisme yang digunakan adalah binatang, profesi, sifat, anggota tubuh,

sapaan, bau, dan rasa; (3) partisipan disfemisme berasal dari dua macam, yaitu

partisipan akrab positif dan partisipan akrab negatif (2010: 17).

Page 4: BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PIKIRabstrak.ta.uns.ac.id/wisuda/upload/C0212062_bab2.pdftentang disfemisme siswa SMP dari sisi konteks, acuan, dan partisipannya. Penelitian ini

17

3. Penelitian oleh Heti Kurniawati (2011) dengan judul Eufemisme dan

Disfemisme dalam Spiegel Online di dalamnya membahas mengenai bagaimana

penggunaan eufemisme dan disfemisme dalam Spigel Online.

Penelitian Kurniawati termasuk analisis isi karena sumber datanya

berupa dokumen, yakni teks berita. Langkah-langkah analisis isi yang

mencakup empat tahapan. Tahapan pertama adalah pengadaan data yang

meliputi penentuan satuan (unit), penentuan sampel, dan pencatatan. Objek

penelitian Kurniawati adalah eufemisme dan disfemisme yang digunakan dalam

dalam Spiegel Online, sedangkan data dalam penelitian ini berupa satuan

lingual dalam teks beritadi Spiegel Online yang mengandung eufemisme dan

disfemisme. Konteks data berupa kalimat bila datanya berupa kata atau frasa,

dan paragraf bila datanya berupa klausa. Sumber data pada penelitian

Kurniawati adalah media Spiegel Online edisi November 2008. Rubrik yang

digunakan sebagai sumber data adalah rubrik berita. Berita (Nachrichten) dalam

Spiegel Online terdiri atas berita politik (Politik), ekonomi (Wirtschaft),

panorama (Panorama), olahraga (Sport), budaya (Kultur), dunia internet atau

komputer (Netzwelt), ilmu pengetahuan (Wissenschaft), perguruan tinggi

(Unispiegel), sekolah (Schulspiegel), wisata (Reise), mobil (Auto). Berita yang

dipilih sebagai sumber data adalah berita politik, ekonomi, panorama, olahraga,

budaya, dan ilmu pengetahuan. Menurut Kurniawati, pemilihan tersebut

didasarkan pada asumsi bahwa berita-berita tersebut lebih sering digunakan

dalam pembelajaran bahasa Jerman. Berita yang disajikan dalam Spiegel Online

selalu diperbarui setiap harinya.

Page 5: BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PIKIRabstrak.ta.uns.ac.id/wisuda/upload/C0212062_bab2.pdftentang disfemisme siswa SMP dari sisi konteks, acuan, dan partisipannya. Penelitian ini

18

Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian Kurniawati

adalah teknik simak dan catat. Teknik analisis data yang digunakan adalah

teknik padan. Teknik padan yang digunakan adalah teknik padan referensial

untuk mengetahui satuan gramatikal eufemisme dan disfemisme. Teknik padan

referensial dengan pendekatan semantik digunakan untuk mengetahui makna

eufemisme dan disfemisme. Analisis latar belakang penggunaan eufemisme dan

disfemisme menggunakan analisis padan pragmatik. Hasil penelitian

Kurniawati disajikan dengan menggunakan metode informal. Menurut

Kurniawati, metode informal adalah menggunakan kata-kata biasa, termasuk

penggunaan terminologi (2011: 55).

Penelitian Kurniawati dapat diambil simpulan bahwa disfemisme

ditemukan dalam bentuk gramatikal kata, frasa, dan kalimat dan penemuan

yang terbenyak adalah bentuk gramatikal kata. Dalam penelitiannya,

disfemisme dalam Spigel Online dilatarbelakangi oleh (1) menyakan hal yang

tabu, tidak senonoh, asusila; (2) menunjukkan rasa tidak suka atau tidak setuju

terhadap seseorang atau sesuatu; (3) penggambaran yang negatif tentang

seseorang atau sesuatu; (4) mengungkapkan kemarahan atau kejengkelan; (5)

mengumpat atau memaki; (6) menunjukkan rasa tidak hormat atau

merendahkan seseorang; (7) mengolok-olok; (8) melebih-lebihkan sesuatu; (9)

menghujat atau mengkritik; (10) menunjukkan sesuatu hal yang bernilai rendah

(2011: 51-63).

4. Penelitian yang dilakukan oleh Dian Rica Luxelmi, dkk (2012) dengan judul

Disfemisme dalam Acara Indonesia Lawyers Club bersimpulan bahwa

Page 6: BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PIKIRabstrak.ta.uns.ac.id/wisuda/upload/C0212062_bab2.pdftentang disfemisme siswa SMP dari sisi konteks, acuan, dan partisipannya. Penelitian ini

19

penelitian ini terfokus pada penggunaan disfemisme dalam acara Indonesia

Lawyers Club.

Penelitian Luxelmi merupakan penelitian deskriptif karena penulis

mendeskripsikan disfemisme berdasarkan data, yaitu tuturan para peserta

diskusi di dalam acara Indonesia lawyers Club. Penyajian data dilakukan

berdasarkan fakta yang tampak sebagaimana adanya.

Data dalam penelitian ini adalah tuturan peserta diskusi berupa

disfemisme yang terdapat dalam acara Indonesia lawyers Club. Indonesia

Lawyers Club yang ditayangkan secara langsung setiap Selasa malam. Sumber

data penelitian Luxelmi adalah acara diskusi Indonesia lawyers Club di Televisi

One, dipilih sepuluh topik dari dua puluh empat topik selama November 2011

sampai dengan April 2012. Penetapan sepuluh topik didasarkan pertimbangan

bahwa tuturan di dalam kesepuluh topik tersebut dapat mendeskripsikan

disfemisme tuturan peserta diskusi Indonesia lawyers Club. Data penelitian

Luxelmi adalah tuturan disfemisme berupa kata, frasa, dan ungkapan atau

idiom. Penelitian ini dikumpulkan secara bertahap sesuai teknik yang telah

ditentukan. Pertama, penulis menyimak setiap tuturan peserta diskusi pada

masing-masing topik acara Indonesia Lawyers Club. Ke dua, penulis

menranskripsikan tuturan peserta diskusi setiap topik ke dalam bentuk tertulis

untuk memudahkan pemerolehan data. Ke tiga, penulis mencatat tuturan yang

tergolong ke dalam disfemisme dari masing-masing topik acara. Sedangkan

langkah-langkah dalam proses analisis data yang dilakukan adalah, (1)

Page 7: BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PIKIRabstrak.ta.uns.ac.id/wisuda/upload/C0212062_bab2.pdftentang disfemisme siswa SMP dari sisi konteks, acuan, dan partisipannya. Penelitian ini

20

mengelompokkan bentuk disfemisme, (2) Menentukan fungsi disfemisme, dan

(3) Menentukan makna disfemisme berdasarkan tuturan.

Hasil penelitiannya adalah (1) disfemisme sebagai perantara untuk

menyatakan hal yang tabu atau senonoh, (2) sebagai petunjuk rasa tidak suka

atau tidak setuju, (3) sebagai penggambaran negatif pada orang lain, (4) sebagai

petunjuk rasa marah atau jengkel, (5) sebagai penunjuk rasa tidak hormat, (6)

sebagai sarana mengolok-olok, mencela, atau menghina, (7) sebagai sarana

melebih-lebihkan dalam bertutur, (8) sebagai sarana untuk mengritik, dan (9)

sebagai penunjuk sesatu hal yang bernilai rendah (2012: 1-10).

Dari tinjauan pustaka di atas terdapat uraian-uraian penelitian terdahulu yang

sejenis dengan penelitian ini. Tinjauan pustaka di atas dapat diambil simpulan bahwa

penelitian disfemisme pada berita kriminal dalam koran Jateng Pos edisi September

- Desember 2015 belum pernah dilakukan. Perbedaan penelitian ini dengan

penelitian-penelitian terdahulu di atas yaitu pada penelitian-penelitian terdahulu di

atas tidak terdapat analisis disfemisme berbentuk frasa berdasarkan distribusi, yaitu

frasa eksosentrik dan frasa endosentrik. Selain itu juga tidak terdapat analisis unsur

sintaksis untuk menentukan objek penelitian yaitu kata atau frasa. Dengan demikian

hal tersebut dapat menjadi pembeda penelitian ini dan memunculkan kebaruan

terhadap penelitian-penelitian sejenis terdahulu di atas. Penelitian ini menghasilkan

kebaruan dari penelitian-penelitian terdahulu, yaitu ditemukannya referen peristiwa,

referen aktivitas, dan referen keadaan pada penelitian ini.

Page 8: BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PIKIRabstrak.ta.uns.ac.id/wisuda/upload/C0212062_bab2.pdftentang disfemisme siswa SMP dari sisi konteks, acuan, dan partisipannya. Penelitian ini

21

B. Landasan Teori

1. Pengertian Semantik

Semantik adalah (1) bagian struktur bahasa yang berhubungan dengan

makna ungkapan dan juga dengan struktur makna suatu wicara; (2) sistem dan

penyelidikan makna dan arti dalam suatu bahasa pada umumnya (Kridalaksana,

2008: 216). Definisi tersebut diperkuat oleh Abdullah yang menyatakan bahwa

semantik di dalam bahasa Indonesia berasal dari bahasa Inggris semantics, dari

bahasa Yunani sema (nomina tanda) atau dari verba samaino (menandai

berarti). Istilah tersebut digunakan para pakar bahasa untuk menyebut bagian

ilmu bahasa yang mempelajari makna. Semantik merupakan bagian dari tiga

tataran bahasa yang meliputi fonologi, morfologi, dan sintaksis (2012: 87).

2. Pengertian Disfemisme

Disfemisme merupakan konotasi yang menyakitkan oleh berbagai

pihak. Pendapat tersebut diperkuat oleh pendapat Allan dan Burrigde yang

menyatakan bahwa “A dysphemism is an expression with connotation that are

offensive either abuut the denotatum or the audience, or both, an it is

substituted for a neutral or euphemistic expression for just that

reason.”(disfemisme adalah ekspresi-ekspresi dengan konotasi yang

menyakitkan bagi yang diajak bicara maupun yang mendengarkan, sehingga

ungkapan tersebut biasanya diganti dengan ekspresi-ekspresi yang lebih netral

atau eufemistis) (1991: 26). Ditambahkan oleh Allan dan Burrigde (2006: 31)

bahwa:

Page 9: BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PIKIRabstrak.ta.uns.ac.id/wisuda/upload/C0212062_bab2.pdftentang disfemisme siswa SMP dari sisi konteks, acuan, dan partisipannya. Penelitian ini

22

“Dysphemism is the opposite of euphemism and, by and large , it is tabooed. Like euphemism, it is sometimes motivated by fear and distaste, but also by hatred and contemp. Speakers resort to dysphemism to talk about people and things that frustrate and annoy them, that they disapprove of and wish to disparage, humiliate and degrade. Dysphemism are therefore characteristic of political groups and cliques talking about their oppenets; of feminist speaking about men; and also of male larrikins and macho types speaking of women and effete behaviors. Dysphemism expression include curses, name-calling, and any sort of derogatory comment directed towards others in order to insult or wound them. Dysphemism is also a way let off steam; for example, when exclamatory swear words alleviate frustration or anger. To be more technical: dysphemism is a word or phrase with connotations that are offensive either about the denotatum and/or to people addressed or overhearing the utterance” (Allan dan Burrigde, 2006: 31).

(Disfemisme adalah kebalikan dari eufemisme dan lebih kuat

maknanya dan merupakan hal yang tabu. Seperti eufemisme, hal itu kadang

memberikan ketakutan dan kebencian, tabu juga dekat dengan rasa benci dan

jijik. Usaha pendengar berkata disfemisme tentang orang-orang dan hal-hal

yang menghalangi dan mengganggu mereka, mereka tidak menyetujui dan

berharap meremehkannya, menghina, dan merendahkan. Oleh karena itu,

karakteristik disfemisme adalah grup politik dan kelompok yang berbicara

dengan saingannya, perempuan berbicara tentang laki-laki, dan juga laki-laki

larikan dan tipe maco berbicara tentang wanita dan kelakukan payahnya.

Disfemisme mengekspresikan kutukan, penamaan, dan macam orang yang

menghina pendapat yang mengarah ke mitra tutur. Disfemisme juga sebuah

cara untuk memperkirakan hal-hal yang bersih menjadi kotor. Sebagai contoh

adalah kalimat seru yang diucapkan untuk manandakan frustasi atau marah.

Page 10: BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PIKIRabstrak.ta.uns.ac.id/wisuda/upload/C0212062_bab2.pdftentang disfemisme siswa SMP dari sisi konteks, acuan, dan partisipannya. Penelitian ini

23

Secara teknis disfemisme adalah sebuah kata atau frasa dengan konotasi yang

menghina atau menyakitkan, baik terhadap orang yang diajak bicara dan/atau

terhadap orang yang dibicarakan serta mendengarkan ungkapan tersebut)

(2006: 31). Dalam hal ini, Allan dan Burrigde (2006: 31) memberikan contoh

disfemisme sebagai berikut.

Euphemism Dysphemism

Poo Shit

Loo Shithouse

have a period Bleed

my bits My cunt

Lord Christ!

Dari contoh yang disebutkan oleh Allan dan Burrigde, kata poo dan

shit merupakan arti dari buang air besar. Tetapi poo merupakan makna halus

dan lebih sopan sedangkan shit merupakan makna yang kasar dan tidak sopan.

Seperti pada bahasa Indonesia pada ungkapan ke belakang dan eek. Kata ke

belakang memiliki makna yang lebih halus dan sopan didengar sedangkan eek

memiliki makna yang kasar dan tidak sopan untuk didengar. Seperti halnya

dengan kata loo dan kata shithouse merupakan arti dari tempat untuk

membuang air (kecil atau besar). Tetapi dalam hal ini kata loo lebih halus

maknanya seperti halnya pada bahasa Indonesia yaitu ‘kamar kecil’ atau ‘kamar

Page 11: BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PIKIRabstrak.ta.uns.ac.id/wisuda/upload/C0212062_bab2.pdftentang disfemisme siswa SMP dari sisi konteks, acuan, dan partisipannya. Penelitian ini

24

mandi’ sedangkan kata shithouse memiliki makna kasar dan tidak sopan seperti

halnya pada bahasa Indonesia yaitu ‘WC’. Makna konotasi yang terdapat pada

disfemisme merupakan wujud dari sifat emosional. Hal tersebut didukung oleh

pendapat Razak yang menyatakan bahwa kata denotatif lebih bersifat

rasionaldan kata konotataif lebih bersifat emosional (1985: 79).

Dalam penelitian yang dilakukan oleh Utami mendefinisikan bahwa

disfemisme berasal dari kata eufemisme yang memperoleh imbuhan dis yang

berarti ‘tidak’. Eufemisme berasal dari bahasa Yunani Euphimismos. Eu berarti

‘baik’, pheme berarti ‘perkataan’, dan ismos berarti ‘tindakan’. Secara

keseluruhan eufemisme adalah menggantikan kata-kata yang dipandang tabu

dan dirasa kasardengan kata-kata lain yang lebih pantas atau dianggap halus.

Dari penjelasan tersebut dapat diambil simpulan bahwa disfemisme merupakan

kebalikan atau antonim dari eufemisme yaitu kata-kata yang bermakna kasar

atau tidak baik (2010: 4).

3. Pengertian Referen

Referen merupakan makna di luar bahasa. Hal tersebut didasarkan pada

pendapat Ullman yang menyatakan bahwa bagi kajian makna, segitiga dasar itu

bias dikatakan kekecilan atau kebesaran. Kebesaran, karena referen, yaitu unsur

atau peristiwa non-bahasa, jelas terletak di luar wilayah kekuasaan para linguis

(2007: 67). Selanjutnya dilengkapi lagi oleh Ullman yang menyatakan bahwa,

Makna kita pakai dalam arti umum tanpa mengaitkan dengan sesuatu doktrin psikologi; ia adalah informasi yang dibawa oleh nama untuk disampaikan kepada pendengar, sedangkan benda (atau yang menurut istilah Odgen dan Richards disebut referen) merupakan unsur atau peristiwa nonbahasa yang kita bicarakan.

Page 12: BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PIKIRabstrak.ta.uns.ac.id/wisuda/upload/C0212062_bab2.pdftentang disfemisme siswa SMP dari sisi konteks, acuan, dan partisipannya. Penelitian ini

25

Referen memang berada di luar wilayah kekuasaan linguis, tetapi hubungan antarnama dan makna harus kita tinjau lebih seksama (2007: 68).

Senada dengan pendapat Hoffmann yang menyatakan bahwa,

“We can refer, i.e identify or select, something so that it can be talked about with some elementary gestures if the thing (or representation of it) is visible and near to hand. Otherwise we can must use nomina phrase to describe the referent and tell the addressee that we are refering to something. in special cases names and pronoun - a single word in complete nomina, but in languages that use articles it always the whole nomina that selects the object. In such a language, the noun functions as a description, and the article or 'determiner' guides the reference. Reference is not meaning but rather selecting an object or objects by means of meaning, thought other uses of this term exist. When the selection of the objets in the world is complete, philosophers speak of singular reference, but when it is halted at the level of meaning because it refers to some unspecified member or members of a class, we have general reference. Extension, and the older denotation, include everything to wich a word or expression can refer” (1993: 197).

(Merujuk dapat dilakuakan ,yaitu dengan mengidentifikasi atau memilih

sesuatu sehingga dapat berbicara tentang dengan beberapa gerakan dasar jika

hal (atau representasi dari itu ) terlihat dan dekat dengan tangan. Jika tidak bisa

dilakuakan, maka harus menggunakan frasa nomina untuk menggambarkan

rujukan dan memberitahu penerima bahwa kita mengacu sesuatu. Dalam kasus

khusus nama dan ganti - satu kata dalam nomina yang lengkap, tetapi dalam

bahasa yang menggunakan artikel selalu seluruh nomina yang memilih objek.

Dalam bahasa seperti itu, fungsi benda sebagai deskripsi, dan artikel atau

'penentu' panduan referensi. Istilah referen berarti memilih suatu objek atau

benda-benda berdasarkan makna, pikiran, dan kegunaan lain dari istilah ini.

Page 13: BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PIKIRabstrak.ta.uns.ac.id/wisuda/upload/C0212062_bab2.pdftentang disfemisme siswa SMP dari sisi konteks, acuan, dan partisipannya. Penelitian ini

26

Ketika pemilihan benda-benda di dunia selesai, filsuf berbicara tentang

referensi tunggal, tetapi ketika dihentikan pada tingkat makna karena mengacu

pada beberapa anggota atau anggota kelas yang tidak ditentukan, kita memiliki

referensi umum . Ekstensi, dan denotasi tua, termasuk segala sesuatu yang kata

atau ekspresi dapat dirujuk) (Hoffmann, 1993: 197).

Dari paparan mengenai referen di atas, maka dapat diilustrasikan melalui

salah satu data yang digunakan penelitian ini yang berasal dari koran Jateng

Pos edisi Selasa, 1 September 2015 halaman 15 terdapat sebuah kalimat,

(4) Adapun ancaman hukumannya adalah lima tahun kurungan penjara.

Kalimat pada contoh (4) terdapat frasa kurungan penjara. Frasa tersebut

memiliki referen binatang karena unsur kurungan memiliki kekhasan dan

identik dengan binatang (burung). Hal ini diperkuat oleh pengertian kurungan

dari Kamus Besar Bahasa Indosesia (2012: 763) bahwa kurungan didefinisikan

sebagai 1 sangkar; kandang burung; 2 hukuman penjara; 3 ruamah yang diberi

berdinding; bilik (di perahu); 4 wadah peliharaan ikan yang biasanya diletakkan

di suatu perarian (Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 2012: 763).

4. Pengertian Kata

Kata adalah bentuk yang dapat diujarkan dan memiliki makna tetapi

tidak dapat dipisahkan satu sama lain. Hal tersebut sejalan dengan pendapat

Page 14: BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PIKIRabstrak.ta.uns.ac.id/wisuda/upload/C0212062_bab2.pdftentang disfemisme siswa SMP dari sisi konteks, acuan, dan partisipannya. Penelitian ini

27

Bloomfield dalam Parera yang menyatakan bahwa kata merupakan satu bentuk

yang dapat diujarkan tersendiri dan bermakna, tetapi bentuk itu tidak dapat

dipisahkan atas bagian-bagian yang di antaranya (mungkin juga semua) tidak

dapat diujarkan tersendiri (bermakna) (2007: 2).

Proses morfemis tidak terlepas dari kata. Parera menyatakan bahwa

proses morfemis merupakan proses pembentukan kata bermorfem jamak, baik

derivative maupun inflektif (2007: 18). Proses morfemis oleh Parera dapat

dibedakan, di antaranya yaitu proses morfemis afiksasi dan proses morfemis

pengulangan (2007: 18). Adapun kata yang belum mengalami proses morfemis

afiksasi disebut sebagai kata dasar. Hal tersebut sejalan dengan pendapat

Rohmadi dkk yang menyatakan bahwa kata dasar merupakan bentuk linguistik

yang berupa kata asal maupun bentuk kompleks (bentuk jadian) yang menjadi

dasar bentukan bagi suatu bentuk kompleks (2012: 26). Kata yang mengalami

proses morfemis beupa pengulangan atau reduplikasi disebut kata ulang. Hal

tersebut didasarkan oleh pendapat Muslich yang menyatakan bahwa proses

pengulangan merupakan peristiwa pembentukan kata dengan jalan mengulang

bentuk dasar, baik seluruhnya maupun sebagian, baik bervariasi fonem maupun

tidak, baik berkombinasi sengan afiks maupun tidak (2008: 48).

Selanjutnya, bentuk disfmisme berupa kata ada yang mengalami

proses morfemis afiksasi. Parera berpendapat bahwa proses afiksasi terjadi

apabila sebuah morfem terikat dibubuhkan atau dilekatkan pada sebuah morfem

bebas secara urutan lurus (2007: 18). Dalam hal tersebut, Alwi dan kawan-

kawan menjelaskan bahwa ada empat macam afiks atau imbuhan yang dipakai

Page 15: BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PIKIRabstrak.ta.uns.ac.id/wisuda/upload/C0212062_bab2.pdftentang disfemisme siswa SMP dari sisi konteks, acuan, dan partisipannya. Penelitian ini

28

untuk menurunkan verba: prefik, sufiks, konfiks, dan yang tidak begitu

produktif lagi infiks. Prefiks, yang sering juga dinamakan awalan, adalah afiks

yang diletakkan di muka dasar. Sufiks, yang juga disebut akhiran, diletakkan

di belakang dasar. Konfiks, adalah gabungan prefiks dan sufiks yang mengapit

dasar dan membentuk satu kesatuan. Infiks, yang juga dinamakan sisipan,

adalah bentuk afiks yang ditempatkan di tengah dasar (2003: 102).

Dari penjelasan secara rinci megenai afiks di atas dapat diambil

contoh disfemisme yang mengalami proses afiksasi yaitu pada disfemisme

dibekuk (Jateng Pos/Kamis, 17 September 2015/hal. 5). Kata dibekuk

mengalami proses afiksasi yaitu dari kata dasar bekuk yeng mendapatkan

prefiks di- menjadi dibekuk.

Berdasarkan kelasnya, kata dibagi menjadi nomina, verba, adjektiva,

dan lain-lain. Kelas kata dibagi oleh Kridalaksana menjadi tiga belas kelas kata

yiatu verba (kata kerja), adjektiva (kata sifat), Nomina (kata benda), pronomina

(kata ganti orang), numeralia (kata bilangan), adverbia (kata keterangan),

interogativa (kata tanya), demonstrativa (kata tunjuk), artukula, preposisi,

konjungsi, kategoti fatis, dan interjeksi (kata ungkapan). Pembagian kelas kata

tersebut penjelasannya dapat dilihat dari uraian berikut ini.

a. Verba (kata kerja)

Verba merupakan kata yang berkmungkinan untuk didampingi

oleh partikel tidak. Pandangan tersebut sepadan dengan pendapat

Kridalaksana yang menyatakan bahwa,

Page 16: BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PIKIRabstrak.ta.uns.ac.id/wisuda/upload/C0212062_bab2.pdftentang disfemisme siswa SMP dari sisi konteks, acuan, dan partisipannya. Penelitian ini

29

Secara sintaksis sebuah satuan gramatikal dapat diketahui berkategori verba dari perilakunya dalam satuan yang lebih besar; jadi sebuah kata dapat dikatakan berkategori verba hanya dari perilakunya dalam frasa, yakni dalam hal kemungkinannya satuan itu didampingi partikel tidak dalam konstruksi dan dalam hal tidak dapat didampinginya satuan itu dengan partikel di, ke, dari, atau dengan pertikel seperti sangat, lebih, atau agak (1990: 51). Dari paparan tersebut menegnai verba, dapat diambil simpulan

bahwa verba tidak dapat didampingi dengan partikel di, ke, dari,sangat,

lebih, atau agak. Hal ini dapat diambil contoh dari kata pergi. Jika kata

tersebut ditambahkan partikel sangat dan menjadi sangat pergi, maka

tidak akan berterima.

b. Adjektiva (kata sifat)

Ajektiva adalah kategori yang ditandai oleh kemungkinannya untuk

(1) bergabung dengan partikel tidak, (2) mendampingi nomina, atau (3)

didampingi partikel seperti –er (dalam honorer), -if (dalam sensitif), -i

(dalam alami), seperti adil – keadilan, halus – kehalusan, yakin –

keyakinan (Kridalaksana, 1990: 59). Dari paparan di atas dapat diketahui

bahwa adjektiva dapat bergabung dengan partikel seperti tidak.Dalam hal

ini dapat diambil contoh pada kata tinggi. Kata tersebut bila didampingi

oleh partikel tidak dan menjadi tidak tinggi, maka akan berterima. Lain

halnya jika kata kursi didampingi partikel tidak menjadi tidak kursi, maka

hal tersebut tidak berterima karena kata kursi bukan adjektiva.

c. Nomina (kata benda)

Page 17: BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PIKIRabstrak.ta.uns.ac.id/wisuda/upload/C0212062_bab2.pdftentang disfemisme siswa SMP dari sisi konteks, acuan, dan partisipannya. Penelitian ini

30

Nomina adalah kategori yang secara sintaksis (1) tidak mempunyai

potensi untuk bergabung dengan partikel tidak, (2) mempinyai potensi

untuk didahului olah partikel dari (Kridalaksana, 1990: 68). Paparan

tersebut dapat diambil simpulan bahwa nomina dapat digabungkan

dengan partikel seperti dari. Hal tersebut dapat diambil contoh pada kata

rumah yang digabungkan dengan partikel dari menjadi dari rumah, maka

hal tersebut akan berterima. Jika kata sedih digabungkan dengan partikel

dari menjadi dari sedih, maka hal tresebut tidak akan berterima karena

kata sedih bukan kelas kata nomina.

d. Pronomina (kata ganti orang)

Pronomina adalah kata ganti. Pendapat tersebut diperkuat oleh

Kridalaksana yang menyatakan bahwa,

Pronomina adalah kategori yang berfungsi untuk menggantikan nomina. Apa yang digantikannya itu disebut anteseden. Anteseden itu ada di dalam dan di luar wacana (di luar bahasa). Sebagai pronomina, kategori ini tidak bisa berafiks, tetapi beberapa di antaranya bisa direduplikasikan, yakni kami-kami, dia-dia, beliau-beliau, mereka-mereka, dengan pengertian ‘meremehkan’ atau ‘merendahkan’ (1990:76).

e. Numeralia (kata bilangan)

Numeralia merupakan kelas kata yang mewakili bilangan yang ada di

luar bahasa. Hal ini didukung oleh pendapat Kridalaksana yang

menyatakan bahwa,

Numeralia adalah kategori yang dapat (1) mendampingi nomina dalam konstruksi sintaktis, (2) mempunyai potensi untuk mendampingi numeralia lain, dan (3) tidak dapat bergabung dengan tidak atau dengan sangat. Numeralia

Page 18: BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PIKIRabstrak.ta.uns.ac.id/wisuda/upload/C0212062_bab2.pdftentang disfemisme siswa SMP dari sisi konteks, acuan, dan partisipannya. Penelitian ini

31

mewakili bilangan yang terdapat dalam alam di luar bahasa. Contoh: (1) dua tambah dua sama dengan empat, (2) gunung semeru lebih dari 1000 kaki tingginya (1990: 79).

f. Adverbia (kata keterangan)

Adverbia adalah kategori yang dapat mendampingi adjektiva,

numeralia, atau preposisi dalam kontruksi sintaktis (Kridalaksana, 1990:

81). Penjelasan tersebut dapat diambil contoh pada kata agak gemuk, kata

agak merupakan adverbia karena berpotensi untuk mendampingi

adjektiva gemuk.

g. Interogativa (kata tanya)

Interogativa adalah kategori dalam kalimat interogatif yang berfungsi

menggantikan sesuatu yang ingin diketahui oleh pembicara atau

mengukuhkan apa yang telah diketahui pembicara (Kridalaksana, 1990:

88). Paparan tersebut dapat diketahui kata yang termasuk dalam kelas

interogativa seperti apa, mengapa, mana, siapa, dan lain-lain.

h. Demonstrativa (kata tunjuk)

Demonstrativa adalah kategori yang berfungsi untuk menunjukkan

sesuatu di dalam maupun di luar wacana.Sesuatu itu disebut anteseden.

Dari sudut bentuk dapat dibedakan antara (1) demonstrativa dasar, seperti

itu dan ini, (2) demonstrativa turunan, seperti berikut, sekian, (3)

demonstrativa gabungan seperti disini, di situ, di sana, ini itu, di sana di

sini (Kridalaksana, 1990: 92).

i. Artikula

Page 19: BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PIKIRabstrak.ta.uns.ac.id/wisuda/upload/C0212062_bab2.pdftentang disfemisme siswa SMP dari sisi konteks, acuan, dan partisipannya. Penelitian ini

32

Artikula dalam bahasa Indonesia adalah kategori yang mendampingi

nomina dasar (misalnya si kancil, sang dewa, para pelajar) (Kridalaksana,

1990: 93). Biasanya artikula digunakan dalam tokoh-tokoh dalam cerita.

j. Preposisi

Preposisi adalah kategori yang terletak di depan kategori lain

(terutama nomina) sehingga terbentuk frasa eksosentrik direktif

(Kridalaksana, 1990: 95). Dalam hal ini dapat dijelaskan bahwa preposisi

merupakan partikel yang terletak di depan nomina misalnya di, ke, dari,

dan lain-lain.

k. Konjungsi

Konjungsi adalah kategori yang berfungsi untuk meluaskan satuan

yang lain dalam kontruksi hipotaktis, dan selalu menghubungkan dua

satuan lain atau lebih dalam kontruksi (Kridalaksana, 1990: 102). Nama

lain dari konjungsi adalah kata penghubung. Kata penghubung itulah

yang menghubugkan ujaran yang setataran dan tidak setataran. Cotohnya

adalah kata karena dalam kalimat ia pergi karena saya marah.

l. Kategori Fatis

Kategori fatis adalah kategori yang betugas dan memulai,

mempertahankan, atau mengukuhkan komunikasi antara pembicara dan

kawan bicara (Kridalaksana, 1990: 114). Dapat diambil contoh dari

ungkapan “yang benar ah”. Kategori ah disebut kategori fatis karena

digunakan untuk mempertahankan, atau mengukuhkan komunikasi antara

pembicara dan kawan bicara.

Page 20: BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PIKIRabstrak.ta.uns.ac.id/wisuda/upload/C0212062_bab2.pdftentang disfemisme siswa SMP dari sisi konteks, acuan, dan partisipannya. Penelitian ini

33

m. Intrejeksi

Interjeksi adalah kategori yang bertugas mengungkapkan perasaan

pembicara; dan secara sintaktis tidak berhubungan dengan kata-kata lain

dalam ujaran (Kridalaksana, 1990: 120). Kridalaksana (1990)

mencontohkan interjeksi antara lain aduh, ah, ahoi, ai, amboi, eh, hai,

wah, wahai, sip, dan lain-lain (Kridalaksana, 1990: 51-121)

5. Pengertian Frasa

Frasa adalah gabungan dua kata atau lebih yang bersitat tidak

predikatif. Pendapat ini dijelaskan lagi oleh Kridalaksana yang menyatakan

bahwa frasa adalah gabungan dua kata atau lebih yang sifatnya tidak predikatif;

gabungan itu dapat rapat; dapat renggang; mis.Gunung tinggi adalah frasa

karena merupakan konstruksi nonpredikatif; konstruksi ini berbeda dengan

gunung itu tinggi yang bukan frasa karena bersifat predikatif (2008: 66). Hal

tersebut diperkuat oleh pendapat Ramlan yang menjelaskan pengertian frasa

adalah unsur klausa yang terdiri dari dua kata atau lebih yang tidak melampaui

batas fungsi itu merupakan satuan gramatik. Jadi, frasa adalah satuan gramatik

yang terdiri dari dua kata atau lebih yang tidak melampaui batas fungsi unsur

klausa (2001: 138). Dari penjelasan Ramlan tersebut, dapat diketahui bahwa

frasa merupakan dua kata yang tidak melampaui batas klausa. Dalam hal ini,

pengertian klausa adalah menurut Ramlan, satuan gramatik yang terdiri dari S,

dan P, baik disertai O, PEL, dan KET ataupun tidak (2001: 79). Berarti frasa

tidak melampaui batas klausa yaitu mengandung unsur predikatif. Frasa

tersusun atas unsur yang saling berhubungan secara fungsional. Hal ini

Page 21: BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PIKIRabstrak.ta.uns.ac.id/wisuda/upload/C0212062_bab2.pdftentang disfemisme siswa SMP dari sisi konteks, acuan, dan partisipannya. Penelitian ini

34

sependapat dengan pendapat Khairah dan Ridwan yang menyatakan bahwa

sebagai suatu kontruksi, frasa disusun oleh beberapa unsur pembentuk yang

saling berhubungan secara fungsional (2014: 21).

Ramlan membagi frasa atas dua dasar, yaitu berdasarkan distribusi dan

berdasarkan kelas kata. Berdasarkan distribusi, frasa dapat digolongkan atas

frasa endosentrik dan eksosentrik. Menurut Ramlan frasa endosentrik adalah

frasa yang mempunyai distribusi yang sama dengan unsurnya, baik semua

unsurnya maupun salah satu dari unsurnya (2001: 142). Dalam hal ini, Ramlan

juga memberi ilustrasi mengenai frasa endosentrik sebagai berikut:

• dua orang mahasiswa sedang membaca buku di perpustakaan

Pada ilustrasi di atas terdapat frasa dua orang mahasiswa yang memiliki

distribusi yang sama yaitu antara dua orang dan mahasiswa. Persamaan

distribusi tersebut dapat dilihat dari jajaran di bawah ini:

• ------------- mahasiswa sedang membaca buku di perpustakaan

• dua orang ------------- sedang membaca buku di perpustakaan

Frasa eksosentrik menurut Ramlan adalah frasa yang tidak mempunyai

distribusi yang sama dengan semua unsurnya (2001: 142). Dari pengertian

tersebut, Ramlan juga memberi ilustrasi mengenai frasa eksosentrik sebagai

berikut:

• dua orang mahasiswa sedang membaca buku di perpustakaan

Page 22: BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PIKIRabstrak.ta.uns.ac.id/wisuda/upload/C0212062_bab2.pdftentang disfemisme siswa SMP dari sisi konteks, acuan, dan partisipannya. Penelitian ini

35

pada ilustrasi di atas terdapat farse di perpustakaan yang tidak memiliki

distribusi yang sama yaitu antara di dan perpustakaan. Perbedaan distribusi

tersebut dapat dilihat dari jajaran di bawah ini:

• dua orang mahasiswa sedang membaca buku --- perpustakaan

• dua orang mahasiswa sedang membaca buku di -----------------

Berdasarkan kelas kata, frasa dapat digolongkan atas frasa nomina, frasa

verbal, frasa bilangan, frasa keterangan, dan frasa depan. Di bawah ini adalah

pemaparan mengenai frasa berdasarkan kelas kata sebagai berikut:

1. Frasa Nomina

Frasa nomina adalah frasa yang memiliki distribusi yang sama

sengan kata nomina (Ramlan, 2001: 145). Dalam hal ini, Ramlan

memberikan ilustrasi mengenai frasa nomina sebagai berikut:

• ia membeli baju baru

• ia membeli baju -----

Frasa baju baru dalam klausa di atas mempunyai distribusi yang sama

dengan kata baju. Kata baju termasuk golongan kata nomina, karena itu,

frasa baju baru termasuk golongan frasa nomina (Ramlan, 2001: 145).

2. Frasa verbal

Frasa verbal atau frasa golongan V ialah frasa yang mempunyai

distribusi yang sama dengan kata verbal (Ramlan: 154). Dalam hal ini,

Ramlan memberikan ilustrasi mengenai frasa verbal sebagai berikut:

• dua orang mahasiswa sedang membaca buku di perpustakaan

Page 23: BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PIKIRabstrak.ta.uns.ac.id/wisuda/upload/C0212062_bab2.pdftentang disfemisme siswa SMP dari sisi konteks, acuan, dan partisipannya. Penelitian ini

36

• dua orang mahasiswa --------- membaca buku di perpustakaan

Frasa sedang membaca dalam klausa di atas mempunyai distribusi yang

sama dengan kata membaca. Kata membaca termasuk golongan V, karena

itu, sedang membaca termasuk golongan V (Ramlan, 2001: 154).

3. Frasa Bilangan

Frasa bilangan adalah frasa yang mempunyai distribusi yang sama

dengan kata bilangan (Ramlan, 2001: 162). Ramlan memberikan ilustrasi

pada frasa dua buah dan dua buah rumah. Frasa ini mempunyai distribusi

yang sama dengan kata dua. Persamaan distribusi itu dapat diketahui pada

jajaran:

• dua buah rumah

• dua ------ rumah

4. Frasa Keterangan

Frasa keterangan ialah frasa yang mempunyai distribusi yang sama

dengan keterangan (Ramlan, 2001: 163). Ramlan memberikan ilustrasi

pada frasa tadi malam yang mempunyai persamaan distribusi yang sama

dengan kata tadi. Persamaan tersebut dapat dilihat dari jajaran di bawah

ini:

• tadi malam Ahmad menghadiri pertemuan keluarga

• tadi -------- Ahmad menghadiri pertemuan keluarga

5. Frasa Depan

Page 24: BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PIKIRabstrak.ta.uns.ac.id/wisuda/upload/C0212062_bab2.pdftentang disfemisme siswa SMP dari sisi konteks, acuan, dan partisipannya. Penelitian ini

37

Frasa depan adalah frasa yang terdiri dari kata depan sebagai

penanda, diikuti oleh kata atau frasa sebagai aksisnya (Ramlan, 2001:

163). Dari pengertian tersebut, Ramlan memberikan ilustrasi pada frasa

dengan sangat tenang. Frasa dengan sangat tenang terdiri dari kata depan

dengan sebagai penanda, diikuti frasa sangat tenang sebagai aksisnya.

6. Media Cetak

Media cetak merupakan media tertua yang ada di muka bumi. Media

cetak berawal dari media yang disebut Acta Diurna dan Acta Senatusdi

kerajaan Romawi, kemudian berkembang pesat setelah Johannes Buttenberg

menemukan mesin cetak, hingga kini sudah beragam bentuknya, seperti surat

kabar (koran), tabloid, dan majalah (Mondry, 2008: 13).

7. Berita Kriminal

“Berita adalah informasi atau laporan yang menarik perhatian

masyarakat konsumen, berdasarkan fakta, berupa kejadian dan atau ide

(pendapat), disusun sedemikian rupa dan disebarkan media massa dalam waktu

secepatnya” (Mondry, 2008: 133). “Berita mejadi informasi yang terbanyak

diperoleh bila seseorang membaca media cetak, bahkan ada yang mengatakan

bisa mencapai 90 persen, meskipun belum tentu persentasenya seperti itu bila

dia memanfaatkan media elektronik” (Mondry, 2008: 132).

Selanjutnya, seperti yang telah dijelaskan pada di depan, jika didasarkan

persoalanya, berita terbagi menjadi beberapa bagian dan salah satunya adalah

berita kriminal. Berita berisi persoalan mengenai pelanggaran norma dan

aturan. Pandangan tersebut senada dengan pendapat Barus yang menyatakan

Page 25: BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PIKIRabstrak.ta.uns.ac.id/wisuda/upload/C0212062_bab2.pdftentang disfemisme siswa SMP dari sisi konteks, acuan, dan partisipannya. Penelitian ini

38

bahwa berita kriminal adalah berita mengenai segala peristiwa kejadian dan

perbuatan yang melanggar hukum seperti pembunuhan, perampokan,

pencurian, penodongan, pemerkosaan, penipuan, korupsi, penyelewengan, dan

segala sesuatu yang bertentangan dengan norma-norma kesusilaan yang ada

dalam masyarakat (2010: 45).

Dari paparan di atas mengenai berita kriminal, dapat diambil simpulan

bahwa hal-hal yang berkaitan dengan kriminal adalah hal yang negatif. Maka

dari itu redaktur berita dalam menyajikan berita ini pasti menggunakan makna

yang ngatif pula. Dengan demikian, disfemisme merupakan makna yang

mengarah ke hal negatif dan dalam berita kriminal pasti menggunakan

pengasaran makna atau disfemisme.

Page 26: BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PIKIRabstrak.ta.uns.ac.id/wisuda/upload/C0212062_bab2.pdftentang disfemisme siswa SMP dari sisi konteks, acuan, dan partisipannya. Penelitian ini

39

C. Kerangka Pikir

Kerangka pirkir merupakan gambaran bagaimana masalah-masalah dalam

penelitian ini dimunculkan. Hal ini dapat digambarkan di bawah ini.

Sumber data pada penelitia ini adalah koran Jateng Pos edisi September -

Desember 2015. Di dalam koran tersebut terdapat berita keriminal. Berita kiminal

tersebut mengandung disfemisme. Disfemisme dalam berita tersebut memiliki bentuk

dan referen.

Berita Kriminal Kalimat-kalimat yang di dalamnya mengandung disfemisme tataran kata atau frasa dalam berita

Disfemisme

Bentuk Disfemisme Referen Disfemisme