BAB II TINJAUAN PUSTAKA - repository.ub.ac.idrepository.ub.ac.id/5379/3/3. BAB...

20
1 BAB II TINJAUAN PUSTAKA Dalam penelitian ini, penulis menggunakan teori sebagai pisau analisis atau alat dalam pemecahan permasalahan dalam sebuah penelitian. Adapun teori yang dipakai oleh penulis adalah teori Politik Identitas. Teori ini digunakan oleh penulis untuk menjelaskan dan menganalisis bagaimana sebuah perjuangan politik identitas yang dilakukam oleh Suku Osing untuk mempertahankan keaslian Bahasa Osing yang merupakan bahasa daerah asli, dan bukan dialek dari Bahasa Jawa. 1.1 Kerangka Teoritis 1.1.2 Politik Identitas Jika dilihat secara teoritis, politik identitas merupakan sesuatu yang bersifat hidup atau ada di setiap etnis, dimana keberadaanya bersifat laten dan potensial, dan sewaktu-waktu dapat muncul ke permukaan sebagai kekuatan politik yang dominan. Secara empiris, politik identitas merupakan aktualisasi partisipasi politik yang terkonstruksi dari akar budaya masyarakat setempat, dan mengalami proses internalisasi secara terus-menerus didalam kebudayaan masyarakatnya dalam suatu jalinan interaksi sosial. 1 Menurut Jonathan D. Hill dan Thomas M. Wilson Politik Identitas mengacu pada praktik dan nilai politik yang berdasarkan berbagai identitas politik dan sosial. Politik identitas merupakan suatu alat perjuangan politik suatu etnis 1 Buchari Sri Astuti, 2014, Kebangkitan Etnis Menuju Politik Identitas, Jakarta, Yayasan Pustaka Obor Indonesia. Hlm 19.

Transcript of BAB II TINJAUAN PUSTAKA - repository.ub.ac.idrepository.ub.ac.id/5379/3/3. BAB...

1

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

Dalam penelitian ini, penulis menggunakan teori sebagai pisau analisis

atau alat dalam pemecahan permasalahan dalam sebuah penelitian. Adapun teori

yang dipakai oleh penulis adalah teori Politik Identitas. Teori ini digunakan oleh

penulis untuk menjelaskan dan menganalisis bagaimana sebuah perjuangan politik

identitas yang dilakukam oleh Suku Osing untuk mempertahankan keaslian

Bahasa Osing yang merupakan bahasa daerah asli, dan bukan dialek dari Bahasa

Jawa.

1.1 Kerangka Teoritis

1.1.2 Politik Identitas

Jika dilihat secara teoritis, politik identitas merupakan sesuatu yang

bersifat hidup atau ada di setiap etnis, dimana keberadaanya bersifat laten dan

potensial, dan sewaktu-waktu dapat muncul ke permukaan sebagai kekuatan

politik yang dominan. Secara empiris, politik identitas merupakan aktualisasi

partisipasi politik yang terkonstruksi dari akar budaya masyarakat setempat, dan

mengalami proses internalisasi secara terus-menerus didalam kebudayaan

masyarakatnya dalam suatu jalinan interaksi sosial.1

Menurut Jonathan D. Hill dan Thomas M. Wilson Politik Identitas

mengacu pada praktik dan nilai politik yang berdasarkan berbagai identitas politik

dan sosial. Politik identitas merupakan suatu alat perjuangan politik suatu etnis

1 Buchari Sri Astuti, 2014, Kebangkitan Etnis Menuju Politik Identitas, Jakarta, Yayasan Pustaka

Obor Indonesia. Hlm 19.

2

untuk mencapai suatu tujuan tertentu, dimana kemunculannya lebih banyak

disebabkan oleh adanya faktor-faktor tertentu yang dipandang oleh suatu etnis

sebagai adanya suatu tekanan berupa ketidakadilan politik yang dirasakan oleh

mereka.2 Berdasarkan perasaan senasib tersebut maka mereka bangkit

menunjukkan identitas atau jati diri etnisnya dalam suatu perjuangan politik untuk

merebut kekuasaan dengan memanipulasi kesamaan identitas atau karakteristik

keetnisan tertentu yang tumbuh dalam kehidupan sosial budayanya.

Sedangkan menurut Kristianus dalam Dr. Sri Astuti Buchari,

mengemukakan bahwa “Politik Identitas berkaitan dengan perebutan kekuasaan

politik berdasarkan identitas etnis maupun agama”.3 Perjuangan Politik Identitas

pada dasarnya ialah perjuangan kelompok atau orang-orang pinggiran (periferi),

baik secara politik, sosial, maupun budaya dan ekonomi. Kristianus selanjutnya

mengutip Lukmantoro, yang mengatakan bahwa :

“Politik Identitas adalah tindakan politik untuk mengedepankan

kepentingan-kepentingan dari anggota suatu kelompok karena

memiliki kesamaan identitas atau karakteristik, baik berbasiskan

pada ras, etnisitas, jender, atau keagamaan”. 4

Berdasarkan dari beberapa pendapat diatas dapat diartikan bahwa politik

identitas adalah aliran politik yang ingin melibatkan seseorang atau kelompok

masyarakat yang memiliki kesamaan karakteristik seperti suku, agama, etnisitas,

jender, jenis kelamin, dan orientasinya. Relevan dengan pemahaman di atas,

Suparlan dalam Sri Astuti Buchari menyebutkan bahwa identitas atau jati diri

adalah pengenalan atau pengakuan terhadap seseorang sebagai termasuk dalam

2 Ibid . 3 Ibid hlm 20. 4 Ibid.

3

sesuatu golongan yang dilakukan berdasarkan atas serangkaian ciri-cirinya yang

merupakan satu satuan yang bulat dan menyeluruh, yang menandainya sebagai

termasuk dalam golongan tersebut. Identitas atau jati diri itu muncul dan ada

dalam interaksi.

Linda Nicholson dalam Ikhwan Setiawan M.A. menjelaskan politik

identitas sebagai gerakan politik yang muncul dan berkembang dari pengalaman

kelompok yang dibedakan dari kelompok atau komunitas mayoritas dalam sebuah

negara. Pembedaan yang berlangsung dalam ranah kultural, bahasa, agama,

ekonomi, maupun politik memunculkan kesadaran komunal untuk lebih

memahami, memaknai, dan memaksimalkan potensi keberbedaan sebagai

kekuatan untuk melakukan gerakan-gerakan politis. Melalui keberbedaan identitas

itulah mereka yang merasakan solidaritas komunal akan bisa melakukan

perjuangan-perjuangan untuk melakukan perubahan terhadap sistem sosial,

politik, dan ekonomi yang tidak memberikan keuntungan bagi eksistensi mereka.

Sebagai kekuatan komunal, identitas kultural memang cukup efektif untuk

mengikat dan mengintegrasikan beragam anggota sebuah komunitas ke dalam

sebuah konstruksi kelompok yang memiliki persamaan nasib dan sejarah.5

Terlepas dari kritik-kritik di atas, banyak gerakan sosial-politik minoritas

etnis yang dilakukan dengan menggunakan politik identitas berbasis mobilisasi

budaya khas mereka. Mereka berusaha menegosiasikan dan memperjuangkan hak-

hak politik, ekonomi, sosial, dan kultural kepada rezim negara yang dianggap

telah me-liyan-kan komunitas mereka dalam proses berbangsa dan bernegara

5http://repository.unej.ac.id/bitstream/handle/123456789/73697/unej_fundamental_ikwan_setiawa

n_2015.pdf?sequence=1 diakses pada 8 Febuari 2017.

4

dengan memobilisasi identitas etnis/rasial ataupun menegaskan keberbedaan

kultural mereka di tengah-tengah negara multikultural agar eksistensi mereka

diakui. Bahkan, dalam perkembangan kontemporer, anggota dari komunitas etnis

partikular berusaha menegosiasikan, mewacanakan, menyebarluaskan, dan

memperluas ikatan identitas mereka melalui media sosial internet. Meskipun

demikian, kita juga tidak bisa menutup mata bahwa politik identitas juga

seringkali menjadi legitimasi untuk melakukan kekerasan terhadap etnis atau ras

lain dalam sebuah negara serta menegaskan superioritas etnis dominan dalam

kehidupan multikultural.6

Menurut Deschenes, minoritas etnis memiliki keberbedaan budaya,

bahasa, atau, dalam kasus tertentu, praktik beragama, dibandingkan etnis-etnis

lain yang lebih dominan, sehingga mereka memiliki kekuatan kolektif, solidaritas,

dan kehendak komunal untuk bisa survive di tengah-tengah kehidupan bernegara

dan bersama-sama memperjuangkan kesamaan dalam segala bidang kehidupan.7

Selain pedapat dari beberapa tokoh di atas, Will Kymlica dalam bukunya

memaparkan tentang tiga macam hak kolektif yang diperjuangkan oleh Kymlica

sebagai penyelesaian terhadap masalah eksistensi kelompok-kelompok minoritas

dalam sebuah negara liberal. Dimana Kymlica mengidentifikasi dua kelompok

yang digunakan sebagai acuan dalam menganalisis tentang minoritas, yakni

“minoritas bangsa” dan “minoritas etnis”.8 Hal yang pertama ini bisa katakan

identitas kebangsaan yang selama ini mendapati sikap diskriminatif dari mayoritas

6 Ibid. 7Alia, Valerie & Simmon Bull. 2005. Media and Ethnic Minorities. Edinburgh: Edinburgh

University Press. 8Will Kymlicka, Kewargaan Multikulural: Teori Liberal Mengenai Hak-hak Minoritas, (Jakarta:

LP3ES, 2002)

5

bangsa yang menuntut homogenitas. Komuntas bangsa seringkali justru penduduk

pribumi yang asli dan tertindas setelah gelombang kolonisasi yang terjadi secara

tak terelakkan. Persoalan yang mereka hadapi adalah pemaksaan asimilasi,

integrasi dan konformitas Inggris yang diambil sebagai kebijakan nasional atau

kebijakan mayoritas.9

Menurut Kymlicka kelompok etnis juga menjadi bagian penting dari

minoritas, Persoalan yang mereka hadapi adalah seringkali mereka menjadi

korban dari regulasi dan aturan yang ditetapkan oleh kelompok mayoritas. Lebih

khusus lagi, mereka sering dibatasi hak-hak kulturalnya untuk mengeskpresikan

diri, menunjukkan ciri khas budaya dan gaya hidupnya sendiri.10 Dalam sejarah,

kebijakan-kebijakan mengenai minoritas sering berujung pada penghabisan fisik,

pembersihan etnis, pemaksaan asimilasi, pemaksaan bahasa, mengikuti agama dan

aturan adat kaum mayoritas.

Dalam konteks pemecahan masalah ini, Kymlicka memperjuangkan tiga

macam hak kolektif bangsa dan etnis minoritas : 11

1) Hak Pemerintahan Sendiri bagi minoritas bangsa agar menarik batas

wilayah teritorial sehingga menjadi unit pemerintahan mandiri di sana dan

menjadi mayoritas. Pengakuan terhadap minoritas, baginya, belum cukup hanya

pada hak-hak politik personal dan individual (tindakan afirmatif dan HAM) tetapi

juga harus sampai pada pengakuan hukum dan konstitusional.

2) Hak Polietnis, mengenai kebebasan untuk mengekspresikan unsur-

unsur budayanya yang khas tanpa harus mengganggu stabilitas ekonomi dan

9Ibid hlm 17. 10Ibid hlm 24. 11Ibid hlm. 40

6

politik mayoritas. Yang utama adalah hak akan pengecualian dari undang-undang

yang penerapannya merugikan kelompok etnis itu, seperti bahasa, gaya hidup,

agama dan lain sebagainya. Salah satu kepentingan komunal yang fundamental, di

samping kepentingan kebangsaan, adalah kepentingan unsur-unsur polietnisitas.

Kepentingan ini penting untuk diberikan kepada komunitas etnis baik yang

berbasis suku, agama, ras ataupun golongan. Hak polientnis ini dibutuhkan untuk

melindungi setiap kelompok etnis agar dapat mengekspresikan seni dan

kebudayaan mereka, ritual keagamaan mereka, atau, yang terpenting, bahasa asli

mereka.

3) Hak perwakilan khusus, yang lebih difungsikan untuk membuka kran

keterkawilan atau representasi bagi pihak-pihak atau kelompok etnis tertentu yang

secara historis dirugikan. Hal ini misalnya terjadi pada kaum difabel, kaum

miskin, dan jompo, agar mereka juga terwakili dan mendapat aspirasi yang

memadai. Keterwakilan perempuan, misalnya, juga menjadi perhatian khusus

dalam hal ini.

Selain itu, terdapat pemikiran tokoh lagi yang membahas mengenai

masalah minoritas etnis yaitu pemikiran dari Joseph Raz terhadap teori

multikulturalisme Raz mengemukakan pokok pemikirannya tentang

keankearagaman kultural dengan jauh lebih ekplisit dan dari sudut pandang yang

berbeda. Dalam The Morality of Freedom, ia menganggap bahwa masyarakat

Barat telah bersifat liberal dan mempertanyakan bagaimana masyarakat tersebut

memperlakukan kelompok-kelompok non-liberal yang dipercaya sebagai

kelompok pinggiran. Kelompok-kelompok ini dilihat sebagai bagian integral dari

7

masyarakat yang meskipun liberal namun juga multikulturalisme. Teori liberalnya

tentang multikulturalisme menghendaki semua kebudayaan menghormati nilai-

nilai yang melekat dalam liberalism yang menipis. Karena ia mendasarkan nilai-

nilai itu dalam karakter historis individu barat modern, ia mampu menunjukkan

mengapa kebudayaan-kebudayaan terikat secara moral pada kelompok non-liberal

yang belum memilih mereka secara otonom dan menganggap tntunan Raz sebagai

sebuah bentuk kekerasan moral yang tidak dapat diterima.12

Menurut Raz terdapat dua jenis argumen untuk mendukung sebuah

toleransi, yaitu : 13

Pertama, alasan prinsip untuk membatasi penggunaan paksaan. Dalam

prinsip ini, kelompok budaya minoritas yang tidak merugikan kelompok

mayoritas tidak dapat diskriminalisasi.

Kedua, Membenarkan toleransi, demi perdamaian publik, ketenangan

masyarakat, dan legitimasi sistem pemerintahan, karena semuanya dapat terancam

oleh kebencian dan permusuhan dari kelompok minoritas yang tidak diinzinnkan

dalam kegiatan budaya mereka.

Disamping itu untuk mendukung hak-hak non diskriminasi

Multikulturalisme menekankan pentingnya dari aksi politik. Pertama, keyakinan

bahwa kebebasan individu dan kemakmuran tergantung pada keanggotaan penuh.

Dimana Multikulturalisme sebagai pendekatan evaluatif pada keyakinan saling

ketergantungan antara kesejahteraan dan kemakmuran individu yang berada pada

kelompok budaya. Kedua, Multikulturalisme muncul dari keyakinan nilai

12Parekh, Rithinting Multikulturalisme, (Yogyakarta: Kanisius, 2008), 129 dikutip dari

www.behaviorurldefaultvmlo.html diakses pada 13 Febuari 2017 13 Joseph Raz. Multikulturalisme: A Liberal Perspektif Pdf hlm. 173

8

pluralism, dan validitas nilai-nilai yang diwujudkan dalam praktek budaya yang

beragam dan banyak nilai-nilai yang tidak sesuai dengan masyarakat yang

berbeda.14

2.2 Definisi Konseptual

2.2.1 Suku Osing

Suku Osing atau bisa juga diucapkan Suku Using merupakan suku asli

yang berasal dari Banyuwangi yang sudah ada kehadirannya sejak zaman

Belanda. Suku Osing biasanya juga biasa disebut sebagai “wong Blambangan”

karena suku Osing adalah masayarakat yang hidup sejak pada kerajaan

Blambangan. Kerajaan Blambangan merupakan kerajaan yang didirikan oleh

masyarakat Osing dan berdiri di Banyuwangi pada saat zaman Belanda. Kini

kearajaan Blambangan menjadi ikon Kabupaten Banyuwangi dan biasa disebut

sebagai bumi Blambangan.

Dari sejak zaman Belanda sampai zaman modern seperti saat ini keaslian

adat dan budaya dari suku Osing tetap dilestarikan oleh masyarakatnya.

Melestarikan sebuah adat dan budaya adalah sebuah kewajiban khusus yang tidak

boleh dilanggar oleh masyarakat Osing. Kata “Osing” dalam Bahasa Osing sendiri

artinya adalah tidak. Sehingga ketika ada orang asing yang menanyakan apakah

orang Banyuwangi apakah kalian orang Bali atau tidak maka masyarakat suku

Osing akan menjawab dengan kata “Osing” yang artinya adalah tidak. Karena

Suku Osing berbeda dengan Suku Bali yang sebagian besar masyarakat Osing

tidak mengenal kasta tidak seperti Suku Bali. Hal ini dikarenakan banyaknya

14 Ibid hlm 174.

9

dipengaruhi agama Islam yang sebagian besar dianut oleh penduduk Suku Osing.

Menurut Elvin, (2012):

“Secara Etimologis kata Osing dapat diartikan dengan kata 'TIDAK'

dalam Bahasa Indonesia atau ORA dalam Bahasa Jawa. Dalam

konteks kebahasaan Pigeaud (1929) berpendapat bahwa, kata Osing

bermakna ketertutupan penduduk asli Banyuwangi terhadap

penduduk pendatang, atau dapat juga diartikan sebagai penolakan

penduduk asli Banyuwangi dalam menerima dan hidup bersama

dengan para pendatang dari luar Banyuwangi.”

Istilah itu telah menjadi nama suku Osing, namun dalam kehidupannya

mereka tidak lagi menolak orang asing masuk dan berdomosili di Banyuwangi.

Tidak hanya Suku Osing saja yang berasal dari Jawa Timur tetapi ada pula

beragam jenis yang berasal dari Jawa Timur diantaranya adalah suku Jawa,

Madura, Bali, Banjar, Melayu, Mandar dan Suku Osing yang mayoritas penghuni

kota Banyuwangi.

Sebagian besar masyarakat Suku Osing terdapat di Kabupaten

Banyuwangi. Banyuwangi adalah kabupaten yang berada di ujung timur propinsi

Jawa Timur. Menurut Luthviatin Novia :

“Kabupaten ini terletak di ujung paling timur Pulau Jawa,

berbatasan dengan Kabupaten Situbondo di utara, Selat Bali di

timur, Samudra Hindia di selatan serta Kabupaten Jember dan

Kabupaten Bondowoso di barat”.15

Sebagian Suku Osing di Banyuwangi mendiami di 9 kecamatan dari 24

kecamatan di Banyuwangi. Diantaranya adalah :

a) Kecamatan Glagah

b) Kecamatan Rogojampi

15Novia, Luthviatin. 2014. IbM Kelompok Masyarakat Osing Dalam Pemanfaatan Tumbuhan Obat

Tradisional Suku Osing Banyuwangi. Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Jember hlm 2.

10

c) Kecamatan Giri

d) Kecamatan Kalipuro

e) Kecamatan Songgon

f) Kecamatan Kabat

g) Kecamatan Singojuruh

h) Kecamatan Genteng

i) dan Kota Banyuwangi16

Serta juga tersebar di beberapa kecamatan lain di Jawa Timur. Dari

beberapa kecamatan diatas, masyarakat asli Suku Osing memiliki beberapa

komunitas Osing sebagai wadah masyarakat Osing untuk mempertahankan

keaslian suku budaya mereka. Komunitas Osing yang masih bertahan sampai saat

ini adalah Komunitas Adat Mangir, Komunitas Adat Cungking, Komunitas Adat

Grogol, Komunitas Adat Kemiren, Komunitas Adat Dukuh, Komunitas Adat

Glagah, Komunitas Adat Andong, Komunitas Adat Olehsari, Komunitas Adat

Mandaluka, Komunitas Adat Bakungan, Komunitas Adat Macan Putih,

Komunitas Adat Tambong, Komunitas Adat aliyan, dan Komunitas Adat

Alasmalang.

Dalam melakukan interaksi dengan sesama warga Osing mereka

menggunakan Bahasa Osing yang merupakan bahasa asli Suku Osing. Bahasa

Osing termasuk bahasa tertua di Jawa Timur. Dalam sejarahnya, Bahasa Osing

juga mendapat pengaruh dari Bahasa Bali. Hal ini dikarenakan letak Kabupaten

Banyuwagi sangat dekat dan bersebrangan dengan pulau Bali. Selain letaknya

16Diakses dari http://www.banyu-wangi.com/2015/05/mengenal-suku-osing-banyuwangi.html

pada 20 Januari 2017

11

berdekatan dengan Pulau Bali, di Banyuwangi juga cukup banyak terdapat

masyarakat Bali yang menetap di Kabupaten Banyuwangi. Sehingga pengaruh

dari masyarakat Bali yang tinggal di Banyuwangi dapat mempengaruhi

masyarakat Osing dalam menggunakan bahasa.

2.3 Hasil Penelitian Terdahulu (Optional)

Penelitian terdahulu adalah sebuah komponen yang juga penting dalam

pembuatan sebuah penelitian. Karena penelitian terdahulu ini menjadi salah satu

acuan penulis dalam melakukan sebuah penelitian. Melalui penelitian terdahulu,

penulis dapat mengetahui penelitan apa saja yang sudah diteliti oleh orang lain

dan penelitian apa saja yang belum di teliti. Sehingga dengan begitu peneliti bisa

melakukan penelitian dengan tema yang sama namun topik yang berbeda belum

pernah di teliti oleh peneliti lain sebelumnya. Hal ini juga mengurangi adanya

kesamaan judul yang dibuat oleh penulis-penulis lainnya. Dalam penelitian ini,

penulis menemukan beberapa penelitian yang mempunyai tema yang sama namun

spesifikasi konten yang di teliti tetap berbeda. Berikut tabel penelitian terdahulu

yang dibuat oleh penulis :

Tabel 2.1.1 : Penelitian Terdahulu

Judul Penulis,

Tahun

Metode

Penelitian Perbedaan

Hasil

Penelitian

Inventarisasi

Pemanfaatan

Tumbuhan

Obat Secara

Tradisional”Ol

Zailana

Mirza, 2010

Kualitatif Penelitian

berfokus

pada

bagaimana

masyarakat

Osing

Desa Kemiren,

Paspan dan

Banjar yang

menemukan 43

penyakit

dengan 96

12

eh suku Osing

Banyuwangi’’

menggunak

an bahan-

bahan alami

sebagai obat

tradisional

di tengah

berkembang

nya zaman

modern.

resep

tradisional.

Serta terdapat

64 tumbuhan,

3 hewan dan

12 bahan

mineral yang

digunakan oleh

masyarakat

Osing dalam

melakukan

pengobatan

tradisional

Kajian Yuridis

Terhadap

Perkawinan

Colong Suku

Adat Osing

Banyuwangi

Titis

Wahyuningt

yas, 2014

Kualitatif Penelitian

ini berfokus

pada

perkawinan

tradisional

berdasarkan

hukum adat.

Perkawinan

lari atau biasa

disebut sebagai

perkawinan

colong di Desa

Boyolangu

Banyuwangi

sudah

merupakan hal

yang biasa

terjadi.

Meskipun

dalam KUHP

telah

disebutkan

bahwa ada

hukuman bagi

seseorang yang

membawa

kabur seorang

perempuan

tanpa

sepengatahuan

dari pihak

keluarga yang

dibawa kabur.

Hal ini sudah

menjadi hal

yang biasa

bahkan sudah

menjadi tradisi

di Desa

Boyolangu

13

Banyuwangi.

Modal Sosial

Suku Osing

Dalam

Pengembangan

Desa Wisata

Adat Kemiren

di Banyuwangi

Naufal

Amin, 2015

Kualitatif Penelitian

ini

membahas

sub-sub

pokok

pembahasan

mengenai

modal

sosial yang

potensial

yang

dimiliki

oleh Suku

Osing.

Keberadaan

modal sosial

yang dimiliki

warga Desa

Kemiren

selama ini

telah menjadi

pijakan dalam

upaya

pengembangan

wisata

adat/budaya

Suku Osing.

Inti dari

operasional

Desa Wisata

Adat kemiren

adalah peran

dan partisipasi

aktif dari

masyarakat

sebagai modal

utamanya.

Sumber : Hasil Olahan Penulis 2017

Pertama, penelitian yang dilakukan oleh Zailana Mirza, Universitas Negri

Jember, pada tahun 2010 yang berjudul “Inventarisasi Pemanfaatan Tumbuhan

Obat Secara Tradisional Oleh suku Osing Banyuwangi’’. Dalam penelitiannya,

Zailana Mirza meneliti tentang manfaat obat tradisional bagi suku Osing di

Banyuwangi. Seperti diketahui pengobatan tradisional di Indonesia sudah menjadi

budaya dalam pengobatan. Namun dengan seiring adanya modernisasi budaya

dapat menyebabkan hilangnya pengetahuan tradisional yang dimiliki oleh

masyarakat. Suku Osing merupakan salah satu masyarakat lokal yang masih

menjaga warisan leluhurnya dengan menggunakan obat tradisinonal. Salah

satunya yaitu apabila warga osing masuk angin, mereka menggunakan selembar

14

daun sirih yang kemudian dimakan setelah itu dilanjutkan dengan satu siung

bawang putih yang juga dimakan.

Tujuan dari penelitian Zailina Mirza ini adalah untuk melakukan

inventarisasi jenis tumbuhan yang dimanfaatkan Suku Osing sebagai obat

Tradisional. Mengetahui cara penggunaan tumbuhan sebagai obat tradisional dan

perbandingan penggunaan obat tradisional dan non tradisional oleh Suku Osing.

Sedangkan metode penelitian yang dipakai oleh peneliti adalah observasi

lapangan dan wawancara semi structured dengan masyarakat dan pertanyaan yang

dipakai adalah pertanyaan dengan tipe open minded.

Lalu, hasil dari penelitian yang dilakukan oleh Zailina Mirza yaitu peneliti

mendapati 3 (tiga) desa yaitu desa Kemiren, Paspan dan Bnjar yang menemukan

43 penyakit dengan 96 resep tradisional. Serta terdapat 64 tumbuhan, 3 hewan dan

12 bahan mineral yang digunakan oleh masyarakat Osing dalam melakukan

pengobatan tradisional.

Kedua, penelitian yang dilakukan oleh Titis Wahyuningtyas, Universitas

Negri Jember Tahun 2014 yang berjudul “Kajian Yuridis Terhadap Perkawinan

Colong Suku Adat Osing Banyuwangi”. Dalam penelitiannya Titis

Wahyuningtyas meneliti tentang perkawinan lari salah satunya di Banyuwangi

yang pada masyarakat Osing terdapat perkawinan lari atau bisa disebut sebagai

perkawinan colong yang sampai saat ini masih dilakukan di Banyuwangi.

Perkawinan colong di Banyuwangi terdapat di Desa Boyolangu, Kecamatan

Glagah Kabupaten Banyuwangi. Peneliti melakukan penelitian tentang kawin

colong berdasarkan Hukum adat.

15

Dimana dalam UU No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan tidak

mengaturnya. Semuanya terserah kepada selera dan nilai-nilai budaya dari

masyarakat yang bersangkutan, asalkan tidak bertentangan dengan kepentingan

umum. Sedangkan melarikan perempuan dalam KUHP hukum yang berlaku

sepanjang tidak bertentangan dengan kepentingan nasional dalam 332 KUHP

walaupun perempuan yang dibawa lari atas kemauan sendiri. Tetapi, karena masih

dibawah umur dan atas tidak persetujuan orangtua maka akan dikenakan hukum

bagi yang melarikan.

Metode penelitian yang dipakai oleh peneliti adalah metode penelitian

Yuridis Empiris yang menggunakan instrumen tulisan sendiri. Karena

menggunakan metode pengambilan data yang dilakukan secara observasi

partisipasi. Hasil penelitian yang didapat oleh penulis yaitu bahwa dalam

perkawinan colong di Banyuwangi sebelumnya ada kesepakatan antara laki – laki

dan perempuan tanpa pengetahuan dari keluarga perempuan. Dilakukan pada

malam hari dan tidak ada yang mengetahuinya kecuali keluarga mempelai dari

pihak laki-laki.

Namun di desa Boyolangu hal ini sudah biasa terjadi. Sehingga jarang

sekali ada kejadian perkawinan colong yang sampai melaporkan kejadian ini ke

ranah hukum baik dari pihak keluarga laki-laki dan perempuan. Kecuali, dari

pihak laki-laki melakukan kesalahan diluar batas peraturan perkawinan colong

yang ditetapkan oleh masing-masing suku dan merugikan pihak keluarga

perempuan.

16

Ketiga, penelitian yang dilakukan oleh Naufal Amin, Fakultas Ilmu Sosial

dan Ilmu Politik Universitas Jember, Tahun 2015 yang berjudul “Modal Sosial

Suku Osing Dalam Pengembangan Desa Wisata Adat Kemiren di Banyuwangi”.

Dalam penelitiannya Naufal Amin meneliti tentang pendekatan pengembangan

model pariwisata terbaru di bawah naungan Kementrian Pariwisata dan Ekonomi

Kreatif dalam melihat kembali kearifan di Jawa Timur. Kemudian jenis wisata

yang diambil oleh Naufal Amin yaitu wisata yang banyak diminati oleh

wisatawan yaitu wisata yang berupa wisata pedesaan yang masih terpelihara

tradisi dan keaslian budaya masyarakatnya. Kemudian Desa Adat Kemiren lah

yang dijadikan penelitian karena Desa Kemiren sudah ditetapkan menjadi Desa

Adat wisata sejak 1993.

Penelitian yang dibahas oleh penulis adalah membahas tentang modal

sosial Suku Osing dalam pengembangan wisata adat Kemiren di Banyuwangi.

Dalam Penelitian yang dilakukan di Desa Adat Kemiren ini, penulis

menggunakan metode penelitian kualitatif deskriptif. Tujuan dari penilitian yang

ditulis oleh Naufal Amin adalah untuk mengetahui dan mendeskripsikan serta

menganalisis modal sosial yang bekerja dalam masyarakat Suku Osing dalam

upaya pengembangan wisata budaya di desa ada Kemiren. Dalam penelitian ini

fokus kajian yang dibahas adalah sub-sub pokok pembahasan mengenai modal

sosial yang potensial yang dimiliki oleh Suku Osing.

Penelitian ini menggunakan metode pengumpulan data melalui kegiatan

observasi dan wawancara untuk mendapatkan data primer dan dokumentasi yang

nantinya akan dioleh menjadi data sekunder. Uji keabsahan dari penelitian ini

17

dilakukan melalui cara trianggulasi data. Kemudian hasil dari penelitian ini adalah

keberadaan sosial yang dimiliki oleh warga Desa Kemiren selama ini telah

pijakan dalam upaya pengembangan wisata adat / budaya Suku Osing.

Dengan adanya modal sosial yang berbentuk kepercayaan juga ditopang

oleh keberadaan organisasi komunitas lokal sebagai perwujudan adanya jaringan

sosial dalam struktur sosial masyarakat. Selain itu dengan adanya normanorma

setempat berperan penting dalam menjaga semangat dan integritas dalam upaya

pengembangan wisata budaya. Payung hukum berbentuk norma-norma adat

bekerja secara linier dalam pertalian sosial antar anggota komunitas Suku Osing

untuk mewujudkan cita-cita bersama. Semua itu bekerja saling interdependensi

dalam sistem sosial sehari-hari. Dan sebagai pelumas dari aspek-aspek modal

sosial tersebut yakni adanya nilai-nilai yang mereka percayai dan anut bersama.

18

2.4 Kerangka Berpikir

Dalam melaksanakan sebuah penelitian, penulis terlebih dahulu membuat

sebuah konsep pemikiran yang dapat berfungsi sebagai landasan berpikir yang

nantinya dapat digunakan sebagai acuan dalam melakukan penelitian. Tujuan dari

dibuatnya kerangka pemikiran adalah agar tetap fokus di dalam penelitian agar

nantinya penelitian yang dilakukan oleh penulis tidak keluar dari konteks dan

tetap fokus pada satu konsep.

Kerangka alur pemikiran yang dipakai oleh penulis dalam penelitian ini

adalah kerangka pemikiran dengan model induktif. Dimana dalam cara berpikir

induktif tersebut penjelasannya dimulai dari khusus yang kemudian dikerucutkan

pada spesifikasi yang lebih umum. Adapun konsep kerangka pemikiran yang

digunakan oleh penulis adalah sebagai berikut :

19

Gambar 2.1.1 Kerangka Pemikiran Penelitian

Sumber : Diolah oleh penulis 2017

Bahasa Osing sebagai Politik

Identitas

Suku Osing Banyuwangi

Perda No. 5 Tahun 2007 tentang

Pembelajaran Bahasa Daerah Pada Jenjang

Sekolah Dasar dan Sekolah menengah

Pertama

PERGUB No. 19 Tahun 2014

Menghapus Bahasa Osing dari

Kurikulum sekolah

Masyarakat

Suku Osing

20

Jadi, penjelasan kerangka pemikiran diatas adalah pada awal mulanya

Bahasa Osing merupakan bahasa asli daerah Banyuwangi khususnya bahasa yang

digunakan oleh masyarakat Suku Osing. Seiring dengan berjalannya waktu pada

tahun 2007 Bahasa Osing ditetapkan oleh Pemerintah Kabupaten Banyuwangi

sebagai bahasa daerah yang masuk ke dalam kurikulum sekolah dalam mata

pelajaran Muatan Lokal bagi pelajar Sekolah Dasar dan Sekolah Menengah

Pertama.

Bahkan keputusan ini telah ditetapkan oleh pemerintah dan diatur dalam

peraturan daerah Kabupaten Banyuwangi yaitu Perda No. 5 Tahun 2007. Namun

dengan seiringanya waktu muncul peraturan Gubernur Jawa Timur No. 19 Tahun

2004 yang menyatakan bahwa Bahasa Osing tidak layak masuk ke dalam mata

pelajaran muatan lokal dengan alasan karena Bahasa Osing dianggap hanya dialek

dari Bahasa Jawa. Tentu saja hal ini pastinya mengundang perhatian dari

masyarakat asli Suku Osing. Mereka merasa kecewa karena Bahasa Osing yang

menjadi identitas mereka selama ini tidak lagi diakui oleh Pemerintah Jawa Timur

sebagai bahasa asli daerah Kabupaten Banyuwangi.

Dalam kasus ini munculah penolakan dari masyarakat Banyuwangi

khususnya warga Osing terhadap keputusan Gubernur tentang pemberhentian

Bahasa Osing terhadap mata pelajaran muatan lokal. Dalam hal ini masyarakat

Suku Osing merasa mendapatkan ketidakadilan politik yang dirasakan oleh

mereka. Sehinga masyarakat Suku Osing khususnya mereka yang tinggal di Desa

Kemiren dan Bakungan bangkit untuk menunjukkan identitas atau jati diri

etnisnya dalam suatu perjuangan politik.