repository.ub.ac.idrepository.ub.ac.id/1484/1/Suis Galischa Wati.pdf · JUDUL TESIS: “ANALISIS...
Transcript of repository.ub.ac.idrepository.ub.ac.id/1484/1/Suis Galischa Wati.pdf · JUDUL TESIS: “ANALISIS...
-
ANALISIS FAKTOR YANG MEMPENGARUHI BEHAVIORAL INTENTION MAHASISWA S1 KEPERAWATAN SEBAGAI BYSTANDER
CARDIOPULMONARY RESUSCITATION (CPR) PADA PENANGANAN OUT OF HOSPITAL CARDIAC
ARREST (OHCA) DI KOTA MALANG
TESIS
Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Magister
Oleh: Suis Galischa Wati 156070300111018
PROGRAM MAGISTER KEPERAWATAN PEMINATAN GAWAT DARURAT
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS BRAWIJAYA
MALANG 2017
-
ANALISIS FAKTOR YANG MEMPENGARUHI BEHAVIORAL INTENTION MAHASISWA S1 KEPERAWATAN SEBAGAI BYSTANDER
CARDIOPULMONARY RESUSCITATION (CPR) PADA PENANGANAN OUT OF HOSPITAL CARDIAC
ARREST (OHCA) DI KOTA MALANG
TESIS
Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Magister
Oleh: Suis Galischa Wati 156070300111018
PROGRAM MAGISTER KEPERAWATAN PEMINATAN GAWAT DARURAT
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS BRAWIJAYA
MALANG 2017
i
-
JUDUL TESIS:
“ANALISIS FAKTOR YANG MEMPENGARUHI BEHAVIORAL INTENTION
MAHASISWA S1 KEPERAWATAN SEBAGAI BYSTANDER CARDIOPULMONARY
RESUSCITATION (CPR) PADA PENANGANAN OUT OF HOSPITAL CARDIAC
ARREST (OHCA) DI KOTA MALANG”
Nama Mahasiswa : Suis Galischa Wati
NIM : 156070300111018
Program Studi : Magister Keperawatan
Minat : Keperawatan Gawat Darurat
KOMISI PEMBIMBING:
Ketua : Dr. Titin Andri Wihastuti, S.Kp., M.Kes
Anggota 1 : Ns. Tina Handayani Nasution, S.Kep., M.Kes
TIM DOSEN PENGUJI:
Dosen Penguji 1 : Dr. dr. Sri Poeranto, Sp. Par. K., M.Kes
Dosen Penguji 2 : Dr. Ahsan, S.Kp., M.Kes
Tanggal Ujian : 27 Juli 2017
SK Penguji :
-
RIWAYAT HIDUP
Suis Galischa Wati. Yogyakarta, 06 Oktober 1991. Anak kedua dari Bapak HD.
Sumarno dan Ibu Supartinah. Lulus Sekolah Dasar dari SD N Gentan I pada tahun 2003.
Lulus dari SMP N 8 Yogyakarta tahun 2006 dan lulus dari SMA N 6 Yogyakarta pada
tahun 2009. Melanjutkan pendidikan S1 Keperawatan di Fakultas Kedokteran Universitas
Gadjah Mada lulus pada tahun 2013, kemudian melanjutkan pendidikan Profesi Ners di
institusi yang sama. Pada tahun 2015 melanjutkan Program Magister Keperawatan
Peminatan Gawat Darurat di Fakultas Kedokteran Universitas Brawijaya Malang.
Malang, 21 Juli 2017
Malang, 21 Juli 2017
-
“ Fainnama’al usri yusro…Innama’al usri yusro”
Sesungguhnya setelah kesulitan itu ada kemudahan
Setelah kesulitan itu ada kemudahan……
Ucapan terimakasih yang tak berujung saya panjatkan kehadirat Allah SWT atas
kemudahan, kelancaran, nikmat dan karunianya sehingga saya dapat
menyelesaikan penyusunan tesis ini tepat waktu
(Fabiayyi ala irobbikuma tukadziban…Maka nikmat Tuhan mu yang manakah yang
kamu dustakan... ).
Teruntuk ayah dan ibundaku tercinta yang tanpa lelah terus memberi semangat dan
doa bagi putrinya untuk dapat mewujudkan cita-citanya.
Teruntuk kakak ku, calon pendamping hidupku, para dosen pembimbing dan para
sahabat pejuang magister keperawatan FKUB yang aku sayangi…
tiada kata lain yang dapat saya sampaikan kecuali….
terimakasih…terimakasih…dan terimakasih
-
ANALYSIS OF FACTORS AFFECTING BEHAVIORAL INTENTION OF NURSINGSTUDENT AS BYSTANDER CARDIOPULMONARY RESUSCITATION (CPR) ON
HANDLING OUT OF HOSPITAL CARDIAC ARREST (OHCA) IN MALANG
Suis Galischa Wati¹, Titin Andri Wihastuti2,Tina Handayani Nasution3
1Master of Nursing Student of Medical Faculty, Brawijaya University, Malang Indonesia2,3Department of Nursing, Medical Faculty, Brawijaya University, Malang Indonesia
ABSTRACT
The incident of Out of Hospital Cardiac Arrest (OHCA) increased every year. One of effort toreduce the death rate due to the incident is by increasing the number of bystander CPR. Besidesof a good knowledge and skill about CPR, according to the Theory of Planned Behavior thetendency of someone for willing or unwilling to behave as a bystander CPR is strongly influencedby their behavioral intention. The aims of this research was to analyze various factors thatinfluence behavioral intention of nursing students to be a bystander CPR. This was a quantitativeresearch with cross sectional approach. As a sample of this study were 108 students from variousnursing institution in Malang. Univariat analysis was used to know the description of each variable,Chi-Square test was used to investigated the relationship between each variable and logisticregression analysis was used to identify the most dominant factor in influencing behavioralintention. The Chi-Square test showed that the p-Value of relationship between independentvariable and behavioral intention were: age p=0,228, OR=1,878; gender: p=0,044, OR=2,537;experience CPR: p=0,213, OR=1,984; knowledge: p=0,013, OR=2,662; attitude: p=0,000,OR=6,333; subjective norm: p=0,000, OR=8,143 and self-efficacy: p=0,000, OR=4,636.Furthermore, multivariate analysis with logistic regression showed the following result: gender:p=0,037, OR=3,827; attitude: p=0,004, OR=5,279; subjective norm: p=0.001, OR=5.824 andself-efficacy: p=0.001, OR=5.709. This study revealed that there were significant relationshipbetween gender, knowledge, attitude, subjective norms and self-efficacy with behavioral intention.Gender, attitude, subjective norms and self-efficacy are predictor factors that can be used topredict behavioral intention, where subjective norms is the most dominant predictor factor whichinfluencing behavioral intention in nursing students to act as bystander CPR on handling OHCA.
Keyword: Bystander Cardiopulmonary Resuscitation (CPR), Behavioral Intention, Theory ofPlanned Behavior, Out of Hospital Cardiac Arrest (OHCA)
-
ANALISIS FAKTOR YANG MEMPENGARUHI BEHAVIORAL INTENTIONMAHASISWA S1 KEPERAWATAN SEBAGAI BYSTANDER CARDIOPULMONARYRESUSCITATION (CPR) PADA PENANGANAN OUT OF HOSPITAL CARDIAC
ARREST (OHCA) DI KOTA MALANG
Suis Galischa Wati¹, Titin Andri Wihastuti2,Tina Handayani Nasution3
1Mahasiswa Program Studi Magister Keperawatan Fakultas Kedokteran Universitas Brawijaya2,3Staf Pengajar Fakultas Kedokteran Universitas Brawijaya
ABSTRAK
Angka kematian akibat henti jantung di luar rumah sakit atau Out of Hospital Cardiac Arrest(OHCA) semakin meningkat setiap tahunnya. Salah satu upaya yang dapat dilakukan untukmenekan angka kematian tersebut adalah dengan meningkatkan jumlah bystander CPR. MenurutTheory of Planned Behavior disamping pengetahuan dan keterampilan yang baik tentang CPR,kecenderungan pengambilan keputusan seseorang untuk bersedia atau tidak bersediaberperilaku sebagai bystander CPR sangat dipengaruhi oleh behavioral intention yang dimiliki.Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menganalisis berbagai faktor yang mempengaruhibehavioral intention mahasiswa S1 keperawatan dalam berperan sebagai bystander CPR.Penelitian ini merupakan jenis penelitian kuantitatif dengan pendekatan cross sectional. Sebagairesponden adalah mahasiswa dari berbagai Program Studi Ilmu Keperawatan di Kota Malangsebanyak 108 orang. Untuk mengetahui gambaran masing-masing variabel digunakan analisisunivariat, untuk mengetahui hubungan antar variabel digunakan uji Chi-Square dan untukmengetahui faktor yang paling dominan dalam mempengaruhi behavioral intention digunakananalisis regresi logistik. Hasil uji Chi-Square menunjukan p-Value sebagai berikut: usia p=0,228,OR=1,878; jenis kelamin p=0,044, OR=2,537; pengalaman CPR p=0,213, OR=1,984;pengetahuan p=0,013, OR=2,662; sikap p=0,000, OR=6,333; norma subyektif p=0,000,OR=8,143 dan efikasi diri p=0,000, OR=4,636. Selanjutnya analisis regresi logistik menunjukanhasil sebagai berikut: jenis kelamin: p=0,037, OR=3,827; sikap: p=0,004, OR=5,279; normasubyektif: p=0,001, OR=5,824 dan efikasi diri p=0,001, OR = 5,709. Berdasarkan hasil tersebutdapat disimpulkan bahwa terdapat hubungan yang bermakna antara jenis kelamin, pengetahuan,sikap, norma subyektif dan efikasi diri dengan behavioral intention. Jenis kelamin, sikap, normasubyektif dan efikasi diri merupakan faktor prediktor yang dapat digunakan untuk memprediksibehavioral intention, dimana norma subyektif merupakan faktor prediktor paling dominan dalammempengaruhi behavioral intention mahasiswa S1 keperawatan untuk berperan sebagaibystander CPR pada penanganan OHCA.
Kata Kunci: Bystander Cardiopulmonary Resuscitation (CPR), Behavioral Intention, Theory ofPlanned Behavior, Out of Hospital Cardiac Arrest (OHCA)
-
KATA PENGANTAR
Dengan memanjatkan puji syukur ke hadirat Allah SWT atas limpahan rahmat dan
hidayah-Nya penulis dapat menyelesaikan penyusunan tesis yang berjudul “Analisis Faktor
yang Mempengaruhi Behavioral Intention Mahasiswa S1 Keperawatan Sebagai Bystander
Cardiopulmonary Resuscitation (CPR) pada Penanganan Out of Hospital Cardiac Arrest
(OHCA) di Kota Malang”. Dengan selesainya penyusunan tesis ini penulis menyampaikan
ucapan terimakasih yang sebesar-besarnya kepada:
1. Dr. dr. Sri Andarini, M.Kes, selaku Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Brawijaya yang
telah memberikan kesempatan untuk mengenyam pendidikan di Fakultas Kedokteran
Universitas Brawijaya.
2. Dr. Titin Andri Wihastuti, S.Kp., M.Kes selaku Ketua Program Studi Magister Keperawatan
Fakultas Kedokteran Universitas Brawijaya sekaligus pembimbing I, atas bimbingan dan
arahannya terkait dengan ide dan konsep penelitian sehingga penulis dapat
menyelesaikan penyusunan tesis ini.
3. Dr. dr. Sri Poeranto, Sp. Par. K., M.Kes selaku penguji I yang telah bersedia meluangkan
waktu untuk hadir serta memberikan arahan dan masukan guna penyempurnaan tesis ini.
4. Dr. Ahsan, S.Kp., M.Kes selaku penguji II atas kesediaannya untuk hadir, memberikan
saran serta arahan dalam penyusunan tesis ini.
5. Ns. Tina Handayani Nasution, S.Kep., M.Kep, selaku pembimbing II yang telah banyak
memberikan bimbingan dan arahan dalam penyusunan dan penulisan tesis ini.
6. Seluruh Institusi S1 Keperawatan di Wilayah Kota Malang yang terlibat dalam proses
penelitian ini, serta segenap pihak yang turut serta membantu dalam penyusunan tesis ini.
Sangat disadari bahwa penyusunan tesis ini masih jauh dari sempurna, oleh karena itu
penulis mengharapkan saran yang bersifat membangun guna penyempurnaan tesis ini dan
dapat memberikan manfaat bagi kemajuan ilmu pengetahuan khususnya dalam bidang
keperawatan
Malang, 21 Juli 2017
Penulis
v
-
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ………………………………………………………. i
LEMBAR PENGESAHAN ……………………………………………… ii
PERNYATAAN ORISINALITAS ……………………………………………… iii
IDENTITAS TIM PENGUJI ……………………………………………… iv
KATA PENGANTAR ………………………………………………………. v
RINGKASAN ………………………………………………………. vi
SUMMARY ……………………………………………… vii
DAFTAR ISI ……………………………………………………….. viii
DAFTAR TABEL ………………………………………………………. ix
DAFTAR GAMBAR ………………………………………………………. x
DAFTAR LAMPIRAN ………………………………………………………. xi
DAFTAR SINGKATAN ………………………………………………………. xii
BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang ……………………………………………… 1 1.2 Rumusan Masalah ……………………………………………… 7 1.3 Tujuan Penelitian ……………………………………………… 7 1.4 Manfaat Penelitian ……………………………………………… 8
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Out of Hospital Cardiac Arrest (OHCA) …………………… 11
2.1.1 Pengertian ……………………………………………... 11 2.1.2 Faktor Risiko ……………………………………………... 11 2.1.3 Patofisiologi ……………………………………………... 13 2.1.4 Tanda dan Gejala …………………………………….. 15 2.1.5 Penatalaksanaan …………………………………….. 16
2.2 Bystander Cardiopulmonary Resuscitation (CPR) .…………. 25 2.2.1 Pengertian ……………………………………………... 25 2.2.2 Peran Bystander CPR …………………………………….. 25 2.2.3 Kompetensi Bystander CPR ……………………………. 28
2.3 Mahasiswa Strata-1 (S1) Keperawatan ………………….... 29 2.3.1 Pengertian ……………………………………………... 29 2.3.2 Tujuan Penyelenggaraan Pendidikan Keperawatan ……... 30
Profesional 2.3.3 Kompetensi Sarjana Keperawatan ………………….... 31
viii
-
2.4 Behavioral Intention ……………………………………………... 34 2.4.1 Pengertian ……………………………………………... 34 2.4.2 Aspek-aspek Intensi …………………………………….. 36 2.4.3 Faktor yang Mempengaruhi Behavioral Intention ………… 37
Berdasarkan Theory of Planned Behavior 2.4.3 Faktor Lain yang Mempengaruhi Behavioral Intention ….. 57 2.4.5 Pengukuran Behavioral Intention …………………… 65
2.5 Maping Jurnal ……………………………………………... 71 2.6 Kerangka Teori ……………………………………………... 78
BAB 3 KERANGKA KONSEP DAN HIPOTESIS PENELITIAN 3.1 Kerangka Konsep Penelitian …………………………………….. 79 3.2 Hipotesis Penelitian ……………………………………………… 79
BAB 4 METODOLOGI PENELITIAN 4.1 Jenis dan Rancangan Penelitian ……………………………. 81 4.2 Tempat dan Waktu Penelitian …………………………………….. 81 4.3 Populasi, Sampel dan Teknik Sampling …………………… 82 4.4 Variabel Penelitian ……………………………………………... 84 4.5 Definisi Operasional ……………………………………………... 85 4.6 Instrumen Penelitian ……………………………………………… 87 4.7 Uji Validitas dan Reliabilitas …………………………………...... 92 4.8 Prosedur Pengumpulan Data dan Alur Penelitian …………... 95 4.9 Pengolahan Data …………………………………………..…. 97 4.10 Analisis Data ……………………………………………… 98 4.11 Etika Penelitian ………………………………………..……. 100
BAB 5. HASIL PENELITIAN DAN ANALISIS DATA 5.1 Analisis Univariat ……………………………………………… 103 5.2 Analisis Bivariat ……………………………………………… 107 5.3 Analisis Multivariat ……………………………………………… 112
BAB 6. PEMBAHASAN 6.1 Diskusi Hasil Penelitian …………………….. …………...... 119
6.1.1 Hubungan Usia dengan Behavioral Intention ………..…. 119 6.1.2 Hubungan Jenis Kelamin dengan Behavioral Intention ….. 122 6.1.3 Hubungan Pengalaman dengan Behavioral Intention …….. 126 6.1.4 Hubungan Pengetahuan dengan Behavioral Intention ….. 129 6.1.5 Hubungan Sikap dengan Behavioral Intention …………... 132 6.1.6 Hubungan Norma Subyektif dengan Behavioral Intention ... 137 6.1.7 Hubungan Efikasi Diri dengan Behavioral Intention ………. 141 6.1.8 Faktor Paling Dominan Mempengaruhi Behavioral Intention 144
6.2 Keterbatasan Penelitian …………………………………….. 148 6.3 Implikasi Keperawatan …………………………………….. 149
BAB 7. KESIMPULAN DAN SARAN 7.1 Kesimpulan ……………………………………………… 151 7.2 Saran ……………………………………………… 152
-
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN-LAMPIRAN
-
DAFTAR GAMBAR
Gambar 2.1 Ventrikel Fibrilasi (AHA, 2010) ……………………………………… 13
Gambar 2.2 Ventrikel Takhikardi (AHA, 2010) …………………………….. 14
Gambar 2.3 Pulseless Electrical Activity (AHA, 2010) ……………………. 14
Gambar 2.4 Asistole (AHA, 2010) …………………………………………….... 15
Gambar 2.5 Bagan alur layanan kegawatdaruratan di Indonesia …………….. 17 (Depkes RI, 2013)
Gambar 2.6 Empat langkah penting yang harus dikuasai oleh bystander ..… 28
dalam melakukan CPR (Sasson et al., 2013)
Gambar 2.7 Bagan kerangka intention focused model for bystander …………… 56 CPR performance based on Theory of Planned Behavior (Panchal et al., 2015)
Gambar 2.8 Bagan Kerangka Teori ………………………………………………. 78
Gambar 3.1 Bagan Kerangka Konsep Penelitian ……………………………... 79
Gambar 4.1 Bagan alur penelitian analisis faktor yang mempengaruhi …… 97 intensi mahasiswa S1 keperawatan sebagai bystander CPR pada penanganan OHCA
x
-
DAFTAR TABEL
Tabel 2.1 Maping Jurnal ………………………………………………………. 71
Tabel 4.1 Definisi Operasional ……………………………………………… 85
Tabel 4.2 Distribusi butir pertanyaan aspek pengetahuan tentang …………... 87 Cardiopulmonary Resuscitation (CPR)
Tabel 4.3 Kisi-kisi instrumen kuesioner sikap terhadap …………………… 88 Cardiopulmonary Resuscitation (CPR)
Tabel 4.4 Pemberian skor sikap pada jawaban dengan skala ………….. 89 likert pada Cardiopulmonary Resuscitation (CPR)
Tabel 4.5 Kisi-kisi instrumen norma subyektif responden …………………… 89 terkait tindakan Cardiopulmonary Resuscitation (CPR)
Tabel 4.6 Pemberian skor norma subyektif pada jawaban dengan …………... 90 skala likert pada Cardiopulmonary Resuscitation (CPR)
Tabel 4.7 Kisi-kisi instrumen kuesioner efikasi diri dalam …………………… 90 melakukan Cardiopulmonary Resuscitation (CPR)
Tabel 4.8 Pemberian skor efikasi diri pada jawaban dengan skala …………… 91 likert pada Cardiopulmonary Resuscitation (CPR)
Tabel 4.9 Kisi-kisi instrumen kuesioner behavioral intention …………… 92 untuk melakukan Cardiopulmonary Resuscitation (CPR)
Tabel 4.10 Pemberian skor behavioral intention pada jawaban ………....... 92
dengan skala likert pada Cardiopulmonary Resuscitation (CPR) Tabel 5.1 Distribusi Frekuensi Karakteristik Responden Berdasarkan ………... 103
Usia
Tabel 5.2 Karakteristik Responden Berdasarkan Jenis Kelamin …………… 103
Tabel 5.3 Karakteristik Responden Berdasarkan Pengalaman ………….... 104 Cardiopulmonary Resuscitation (CPR) pada Kasus Nyata
Tabel 5.4 Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Pengetahuan ……….. 105 tentang Cardiopulmonary Resuscitation (CPR)
Tabel 5.5 Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan ……………………. 105 Sikap tentang Cardiopulmonary Resuscitation (CPR)
ix
-
Tabel 5.6 Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Norma …………… 106
Subyektif tentang Cardiopulmonary Resuscitation (CPR)
Tabel 5.7 Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Efikasi …………... 106
Diri tentang Cardiopulmonary Resuscitation (CPR)
Tabel 5.8 Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan …………………… 107
Behavioral Intention Untuk Berperan Sebagai
Bystander Cardiopulmonary Resuscitation (CPR)
Tabel 5.9. Hubungan Usia dengan Behavioral Intention ………………….... 107
Mahasiswa S1 Keperawatan sebagai Bystander
Cardiopulmonary Resuscitation (CPR)
Tabel 5.10. Hubungan Jenis Kelamin dengan Behavioral ………………….. 108
Intention Mahasiswa S1 Keperawatan sebagai
Bystander Cardiopulmonary Resuscitation (CPR)
Tabel 5.11 Hubungan Pengalaman Melakukan Cardiopulmonary…………. 109
Resuscitation (CPR) pada Kasus Nyata dengan Behavioral
Intention Mahasiswa S1 Keperawatan sebagai Bystander
Tabel 5.12 Hubungan Pengetahuan tentang Cardiopulmonary …………….. 109
Resuscitation (CPR) dengan Behavioral Intention
Mahasiswa S1 Keperawatan sebagai Bystander
Tabel 5.13 Hubungan Sikap dengan Behavioral Intention ………………….. 110
Mahasiswa S1 Keperawatan sebagai Bystander
Tabel 5.14 Hubungan Norma Subyektif dengan Behavioral ……………...... 111
Intention Mahasiswa S1 Keperawatan sebagai
Bystander Cardiopulmonary Resuscitation (CPR)
Tabel 5.15 Hubungan Efikasi Diri dengan Behavioral Intention ……………. 112
Mahasiswa S1 Keperawatan sebagai Bystander
Tabel 5.16 Hasil Analisis Bivariat ……………………………………………... 112
Tabel 5.17 Hasil Analisis Multivariat Regresi Logistik Faktor-faktor ……….. 113
yang Mempengaruhi Behavioral Intention Mahasiswa S1
Keperawatan sebagai Bystander Cardiopulmonary
Resuscitation (CPR)
-
Tabel 5.18 Hasil Uji Hosmer dan Lameshow ……………………………….. 117
Tabel 5.19 Hasil Uji Kurva ROC ……………………………………………. 118
-
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1 Pengantar Kuesioner ……………………………………..... 165
Lampiran 2 Lembar persetujuan menjadi responden …………….. 166
Lampiran 3 Kuesioner data demografi responden ……………………... 167
Lampiran 4 Kuesioner pengetahuan tentang CPR ……………………… 168
Lampiran 5 Kuesioner sikap terhadap CPR ………………………………. 172
Lampiran 6 Kuesioner efikasi diri terkait CPR ……………………… 174
Lampiran 7 Kuesioner norma subyektif terkait CPR ……………………… 176
Lampiran 8 Kuesioner behavioral intention…………….………………...... 178 melakukan tindakan CPR
Lampiran 9 Hasil uji validitas dan reliabilitas ………………………………. 181 Lampiran 10 Hasil statistik deskriptif ……………………………………….. 184 Lampiran 11 Hasil analisis data ……………………………………….. 186 Lampiran 12 Surat ijin penelitian, etik, bukti submit ……………………… 202
uji plagiasi dan lembar konsultasi Lampiran 13 Manuskrip ………………………………………………… 222 Lampiran 14 Daftar Riwayat Hidup ……………………………………….. 223
xi
-
DAFTAR SINGKATAN
AED : Automated External Defibrillator
AHA : American Heart Association
AIPNI : Asosiasi Institusi Pendidikan Ners Indonesia
ALS : Advance Life Support
AMI : Akut Miokard Infark
AS : Agak Setuju
ATA : Affect Toward The Act
ATS : Agak Tidak Setuju
ATY : Agak Tidak Yakin
AV : Atrio Ventricular
AY : Agak Yakin
BHF : British Health Foundation
BLS : Basic Life Support
BRS-SES : Basic Resuscitation Skills Self Efficacy Scale
CC : Chest Compression
CDC : Center for Disease Control and Prevention
CPR : Cardiopulmonary Resuscitation
DEPKES RI : Departemen Kesehatan Republik Indonesia
DNAR : Do not Attempt Resuscitation
ECC : Emergency Cardio Vascular Care
EKG : Elektro Kardio Grafi
EMS : Emergency Medical Service
EMT : Emergency Medical Technician
ICU : Intensive Care Unit
IGD : Instalasi Gawat Darurat
IO : Intra Oseus
KBBI : Kamus Besar Bahasa Indonesia
KKNI : Kerangka Kualifikasi Nasional Indonesia
OHCA : Out of Hospital Cardiac Arrest
OR : Odds Rasio
PBC : Perceived Behavioral Control
xii
-
PEA : Pulseless Electrical Activity
PNB : Personal Norm
PSIK : Program Studi Ilmu Keperawatan
PUSDATIN : Pusat Data dan Informasi
RS : Rumah Sakit
S : Setuju
S1 : Strata Satu
SARS : Severe Acute Respiratory Syndrom
SCA : Suddent Cardiac Arrest
SPGDT : Sistem Penanggulangan Gawat Darurat Terpadu
SPGDT-B : Sistem Penanggulangan Gawat Darurat Terpadu Bencana
SPGDT-S : Sistem Penanggulangan Gawat Darurat Terpadu Sehari-hari
SS : Sangat Setuju
STEMI : ST Elevasi Miokard Infark
STIKES : Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan
SY : Sangat Yakin
STS : Sangat Tidak Setuju
STY : Sangat Tidak Yakin
TPB : Theory of Planned Behavior
TRA : Theory of Reasoned Action
TS : Tidak Setuju
TSG : The Sottish Government
TY : Tidak Yakin
VF : Ventrikel Fibrilasi
VT : Ventrikel Takhikardi
WHO : World Health Organization
WPW : Wolf Parkinson White Syndrom
Y : Yakin
-
1
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Data dari World Health Organization (WHO) pada tahun 2012 menunjukkan
bahwa saat ini telah terjadi perubahan pola penyakit dari penyakit menular ke
penyakit tidak menular. Departemen Kesehatan Republik Indonesia (Depkes RI)
tahun 2014 dalam surveinya menyebutkan bahwa 29% kematian penduduk di negara
dengan tingkat ekonomi lemah dan menengah serta 13% kematian penduduk di
negara maju disebabkan oleh penyakit tidak menular, salah satu penyakit tidak
menular yang turut menyumbang tingginya angka kematian tersebut adalah penyakit
kardiovaskuler.
Pusat Data dan Informasi Kementerian Kesehatan Republik Indonesia
(PUSDATIN) tahun 2013 menyebutkan bahwa penyakit kardiovaskuler merupakan
penyebab kematian nomor satu secara global. Berdasarkan diagnosis dokter dan
gejala yang muncul prevalensi penderita penyakit jantung koroner di Indonesia
mencapai 2.650.340 orang, sedangkan penderita gagal jantung mencapai 229.696
orang. Dari kedua kasus tersebut Provinsi Jawa Timur menempati urutan pertama
dengan jumlah penderita jantung koroner sebanyak 375.127 dan penderita gagal
jantung mencapai 54.826 orang, dimana menurut Green et al. (2011) kedua penyakit
tersebut berisiko tinggi mengakibatkan henti jantung secara tiba-tiba pada
penderitanya.
American Heart Association (AHA) tahun 2015 menyebutkan bahwa angka
kematian akibat henti jantung secara tiba-tiba rata-rata mencapai 350.000 orang
setiap tahunnya, dimana mayoritas kematian terjadi akibat henti jantung di luar rumah
-
2
sakit atau Out of Hospital Cardiac Arrest (OHCA). Centers for Disease Control and
Prevention (CDC) dalam surveinya pada Oktober 2005 sampai dengan Desember
2010 menyebutkan bahwa kejadian OHCA di United States mencapai 31.689 kasus
(Bryan et al., 2011), dimana dari seluruh kejadian tersebut hanya 33,3% saja yang
memperoleh bantuan CPR dari bystander (Sasson et al., 2013). Menurut Hock (2014)
angka kejadian OHCA di beberapa negara di wilayah Asia Pasifik termasuk
Indonesia mencapai 60.000 kejadian dalam 3 tahun terakhir. Di Indonesia sampai
dengan saat ini belum terdapat data yang spesifik mengenai angka kejadian OHCA,
namun data dari Depkes RI tahun 2006 menyebutkan bahwa prevalensinya
diperkirakan mencapai 10 ribu warga pertahun yang artinya terdapat kurang lebih 30
kejadian OHCA setiap harinya.
Tingginya angka kejadian OHCA tersebut menyadarkan kita bahwa layanan
terpadu bagi kegawatdaruratan jantung di luar rumah sakit sangatlah diperlukan.
Untuk meminta bantuan dan menunggu sampai dengan tenaga medis datang,
diperlukan waktu yang tidak sebentar, padahal survival rate penderita OHCA terus
berkurang 7-10% setiap menitnya. Salah satu upaya yang dapat dilakukan untuk
meningkatkan survival rate penderita OHCA adalah dengan mengoptimalkan chain of
survival termasuk di dalamnya tindakan Cardiopulmonary Resuscitation (CPR) (Chair
et al., 2014).
Saat ini Amerika, Eropa dan beberapa negara di Asia seperti Jepang,
Hongkong, China, Korea, Taiwan dan Singapura tengah mengembangkan sistem
kegawatdaruratan pra-rumah sakit dengan melatih mahasiswa kesehatan dan
masyarakat awam sebagai bystander CPR (Cave et al., 2011). Sistem penanganan
kegawatdaruratan atau Emergency Medical Service (EMS) di Indonesia saat ini lebih
dikenal dengan istilah Sistem Penanggulangan Gawat Darurat Terpadu (SPGDT)
-
3
(Kemenkes, 2013). Namun, sampai dengan saat ini sistem tersebut belum berjalan
dengan baik. Menurut Boyle et al. (2016) EMS di Indonesia belum sebaik Australia,
New Zealand, Inggris dan Amerika. Meskipun Kementerian kesehatan telah
mempublikasikan 119 sebagai nomor layanan kegawatdaruratan di Indonesia, hal
tersebut tidak menjamin ambulance akan datang tepat waktu ke tempat kejadian
dengan berbagai alasan seperti: pengalihan panggilan darurat dari call center ke
rumah sakit yang tepat, keterbatasan infrastruktur, keterbatasan sumber daya yang
dapat mengelola situasi darurat serta keterbatasan pengetahuan masyarakat tentang
bagaimana cara mengakses layanan kegawatdaruratan.
Mengacu pada permasalahan tersebut maka salah satu upaya yang dapat kita
lakukan dalam rangka memperbaiki kualitas layanan kesehatan pra-rumah sakit dan
meningkatkan survival rate penderita OHCA di Indonesia adalah dengan
mengoptimalkan peran serta mahasiswa kesehatan. Sebagai mahasiswa yang telah
dibekali pengetahuan tentang kesehatan, harapannya mahasiswa telah memiliki
bekal pengetahuan dan keterampilan CPR disertai kesadaran yang tinggi tentang
pentingnya melakukan pertolongan segera pada henti jantung dibandingkan
mahasiswa dari bidang keilmuan lain atau orang awam pada umumnya (Szarpak,
2013). Salah satu mahasiswa kesehatan dengan jumlah terbanyak dibandingkan
dengan mahasiswa kesehatan lainnya adalah mahasiswa keperawatan (Mattox,
2012).
Menurut Kurikulum Inti Pendidikan Ners oleh AIPNI (2010) dan AIPNI (2015)
materi tentang CPR pada kegawatdaruratan jantung merupakan salah satu
kompetensi yang harus dikuasai oleh mahasiswa S1 keperawatan. Menurut Sharma
dan Attar (2012) pengetahuan dan keterampilan tentang CPR merupakan determinan
mayor yang menentukan suksesnya proses resusitasi, sehingga mahasiswa
-
4
keperawatan diharapkan dapat berperan serta sebagai bystander CPR. Individu yang
pernah mendapatkan pelatihan CPR cenderung memiliki tingkat percaya diri yang
lebih tinggi dibandingkan dengan yang belum pernah mendapatkan sebelumnya
(Cho et al., 2010).
Taniguchi et al. (2007) pada penelitiannya di Jepang menyebutkan bahwa
ternyata tidak semua orang yang memiliki pengetahuan dan keterampilan tentang
CPR bersedia berperan sebagai bystander CPR. Dari 70% responden yang telah
mendapatkan pelatihan CPR hanya 10-30% yang bersedia melakukan CPR. Chew
dan Yazid (2008) pada penelitiannya terhadap mahasiswa kesehatan di Malaysia
menyatakan bahwa hanya 51,4% mahasiswa kedokteran umum dan 45,5%
mahasiswa kedokteran gigi yang bersedia berperan sebagai bystander CPR.
Penelitian Omi et al. (2008) menunjukkan dari 59% orang yang telah mendapatkan
pelatihan CPR, hanya 35% saja yang bersedia menjadi bystander CPR. Begitupula
penelitian yang dilakukan oleh Ozbilgin et al. (2015) di Turki dari 40,3% responden
yang telah mendapatkan pelatihan CPR, 41,5% memiliki pengetahuan yang cukup
tentang prosedur CPR dan 18,6% responden pernah menjumpai kejadian OHCA,
namun hanya 2,4% saja yang bersedia melakukan CPR dimana 78% diantaranya
menyatakan ragu-ragu dan takut akan berbuat kesalahan jika melakukan CPR.
Oleh sebab itu Hazinski (2010) dan Liew et al. (2015) menyatakan bahwa
disamping pengetahuan dan keterampilan yang baik tentang CPR, behavioral
intention untuk berperan sebagai bystander CPR merupakan faktor yang tidak kalah
penting dalam mempengaruhi kecenderungan seseorang melakukan CPR. CPR
yang berkualitas dapat tercipta apabila seseorang memiliki pengetahuan dan
keterampilan yang cukup didorong dengan adanya behavioral intention untuk
melakukan CPR, dimana behavioral intention diartikan sebagai suatu kesediaan,
-
5
kondisi kesiapan serta kecenderungan seseorang untuk melakukan suatu tindakan
tertentu (Panchal et al., 2015).
Menurut Theory of Planned Behavior oleh Ajzen (1991) behavioral intention
seseorang dalam melakukan CPR dipengaruhi oleh tiga faktor utama, yakni: sikap,
norma subyektif dan kontrol perilaku atau efikasi diri. Behavioral intention juga dapat
dipengaruhi oleh faktor lain seperti: usia, jenis kelamin, pengalaman dan
pengetahuan tentang CPR (Panchal et al., 2015). Godin et al. (2008) dan Hoffman et
al. (2013) menyatakan bahwa teori ini cukup aplikatif untuk digunakan dalam
memprediksi kecenderungan perilaku kesehatan pada mahasiswa maupun tenaga
kesehatan.
Malang merupakan salah satu kota di Provinsi Jawa Timur dengan jumlah
penduduk mencapai 847.175 jiwa, dimana menurut Profil Kesehatan Kota Malang
oleh Dinas Kesehatan Kota Malang (2014) penyakit kardiovaskuler termasuk dalam
sepuluh besar penyakit yang banyak diderita oleh penduduknya, sehingga risiko
terjadinya OHCA sangat mungkin terjadi. Data dari RSUD. Syaiful Anwar
menyebutkan bahwa pada bulan Maret 2012 terdapat 46 kejadian kematian secara
mendadak yang terjadi di luar rumah sakit. 3 diantaranya diidentifikasi sebagai
kejadian OHCA dan mendapatkan pertolongan dari bystander CPR. Dari 3 korban
henti jantung yang mendapatkan pertolongan tersebut 2 diantaranya berhasil kembali
ke sirkulasi spontan, sedangkan 45 kejadian lainnya tidak diketahui penyebabnya
secara pasti karena korban telah meninggal dunia ketika tenaga kesehatan sampai
ke lokasi kejadian (Haedar, 2012). Malang juga merupakan kota dengan jumlah
mahasiswa keperawatan yang cukup besar. Saat ini terdapat 9 institusi pendidikan
keperawatan dengan institusi pendidikan strata satu (S1) dan ners sebanyak 6
institusi.
-
6
Berdasarkan studi pendahuluan yang telah dilakukan diketahui bahwa di
Program Studi Ilmu Keperawatan (PSIK) Fakultas Kedokteran Universitas Brawijaya
dan Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan (STIKES) Widyagama Husada materi tentang
CPR diajarkan pada mahasiswa S1 keperawatan di semester 6. Di PSIK Universitas
Tribhuwana Tunggadewi dan STIKES Kendedes diajarkan pada semester 7
sedangkan di PSIK STIKES Maharani diberikan pada semester 5. Total jumlah
mahasiswa yang telah mendapatkan pengetahuan dan keterampilan tentang CPR
dari kelima institusi tersebut adalah sebanyak 391 mahasiswa. Akan tetapi
berdasarkan hasil survei yang dilakukan secara acak pada 50 mahasiswa yang telah
mendapatkan materi tentang CPR tersebut ternyata 28 (56%) mahasiswa
menyatakan tidak bersedia melakukan CPR pada OHCA. Hasil tersebut
menunjukkan bahwa pengetahuan dan keterampilan saja tidak cukup menjamin
mahasiswa bersedia berperan sebagai bystander CPR, sehingga perlu dilakukan
upaya untuk menumbuhkan behavioral intention pada mereka untuk berperan
sebagai bystander CPR, salah satunya dengan mengidentifikasi berbagai faktor yang
dapat mempengaruhi behavioral intention tersebut.
Berdasarkan latar belakang tersebut maka peneliti tertarik untuk meneliti lebih
lanjut mengenai “Analisis Faktor yang Mempengaruhi Behavioral Intention
Mahasiswa S1 Keperawatan Sebagai Bystander Cardiopulmonary Resuscitation
(CPR) pada Penanganan Out of Hospital Cardiac Arrest (OHCA) di Kota Malang”
sebagai salah satu upaya perbaikan dan peningkatan kualitas layananan
kegawatdaruratan jantung di area pra-rumah sakit, dimana sejauh pengetahuan
peneliti, penelitian mengenai topik tersebut belum pernah dilakukan di Indonesia
sebelumnya.
-
7
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, maka yang menjadi rumusan masalah
dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
“Faktor apa sajakah yang mempengaruhi behavioral intention mahasiswa S1
keperawatan sebagai bystander Cardiopulmonary Resuscitation (CPR) pada
penanganan Out of Hospital Cardiac Arrest (OHCA) di Kota Malang?”.
1.3 Tujuan Penelitian
1.3.1 Tujuan Umum
Menganalisis faktor yang mempengaruhi behavioral intention
mahasiswa S1 keperawatan sebagai bystander Cardiopulmonary
Resuscitation (CPR) pada penanganan Out of Hospital Cardiac Arrest
(OHCA) di Kota Malang.
1.3.2 Tujuan Khusus
1.3.2.1 Menganalisis hubungan antara usia dengan behavioral intention
mahasiswa S1 keperawatan sebagai bystander CPR pada penanganan
OHCA.
1.3.2.2 Menganalisis hubungan antara jenis kelamin dengan behavioral
intention mahasiswa S1 keperawatan sebagai bystander CPR pada
penanganan OHCA.
1.3.2.3 Menganalisis hubungan pengalaman mahasiswa S1 keperawatan
dalam melakukan CPR pada kasus nyata dengan behavioral intention
yang dimiliki untuk berperan sebagai bystander CPR pada penanganan
OHCA.
-
8
1.3.2.4 Menganalisis hubungan antara pengetahuan tentang CPR dengan
behavioral intention mahasiswa S1 keperawatan untuk berperan sebagai
bystander CPR pada penanganan OHCA.
1.3.2.5 Menganalisis hubungan antara sikap (attitude) yang dimiliki oleh
mahasiswa S1 keperawatan dengan behavioral intention yang dimiliki
untuk berperan sebagai bystander CPR dalam penanganan OHCA.
1.3.2.6 Menganalisis hubungan antara norma subyektif yang diyakini
(subjective norm) oleh mahasiswa S1 keperawatan dengan behavioral
intention yang dimiliki untuk berperan sebagai bystander CPR dalam
penanganan OHCA.
1.3.2.7 Menganalisis hubungan antara efikasi diri (self efficacy) yang dimiliki
oleh mahasiswa S1 keperawatan dengan behavioral intention yang
dimiliki untuk berperan sebagai bystander CPR dalam penanganan
OHCA.
1.3.2.8 Mengidentifikasi faktor yang paling berpengaruh terhadap behavioral
intention mahasiswa keperawatan sebagai bystander CPR pada
penanganan OHCA.
1.4 Manfaat Penelitian
1. 4.1 Manfaat Teoritis
Penelitian ini diharapkan mampu menambah keragaman ilmu
pengetahuan dan wawasan bagi dunia keperawatan khususnya
keperawatan gawat darurat dalam pelayanan kegawatdaruratan terutama
pada area pra-rumah sakit dengan menganalisis berbagai faktor yang
-
9
mempengaruhi behavioral intention mahasiswa S1 keperawatan untuk
berperan sebagai bystander CPR.
1.4.2 Manfaat Praktis
1.4.2.1 Bagi Peneliti
Menambah wawasan mengenai berbagai faktor yang
mempengaruhi behavioral intention mahasiswa keperawatan untuk
berperan sebagai bystander CPR dalam penanganan OHCA.
1.4.2.2 Bagi Responden
Sebagai bahan evaluasi bagi mahasiswa keperawatan dalam upaya
meningkatkan behavioral intention yang dimilikinya sebagai bystander
CPR untuk meningkatkan survival rate dan menurunkan angka kematian
penderita OHCA.
1.4.2.3 Bagi Profesi Keperawatan
Sebagai masukan bagi pengembangan profesi keperawatan
khususnya keperawatan gawat darurat dalam rangka meningkatkan
kualitas asuhan keperawatan dan survival rate pada penderita OHCA
dengan mengetahui dan memodifikasi berbagai faktor yang dapat
mempengaruhi behavioral intention mahasiswa keperawatan sebagai
bystander untuk melakukan tindakan CPR di area pra-rumah sakit.
1.4.2.4 Bagi Instansi Terkait
Sebagai masukan khususnya bagi institusi pendidikan terkait, untuk
dapat meningkatkan kesadaran mahasiswa keperawatan tentang
pentingnya tindakan Cardiopulmonary Resuscitation (CPR) serta
menumbuhkan motivasi dan memberikan dorongan kepada mahasiswa
-
10
untuk dapat turut serta berperan sebagai bystander CPR dalam upaya
mengurangi angka kematian akibat OHCA dengan memodifikasi berbagai
faktor yang dapat mempengaruhi behavioral intention mahasiswa untuk
melakukan CPR di area pra-rumah sakit.
1.4.2.5 Bagi Masyarakat
Penelitian ini diharapkan mampu meningkatkan pengetahuan
tentang berbagai faktor yang mempengaruhi kecenderungan perilaku
seseorang untuk berperan sebagai bystander CPR di lingkungan
masyarakat dengan harapan masyarakat akan memodifikasi faktor yang
dapat mempengaruhi behavioral intention sesuai dengan hasil penelitian
yang dilakukan, sehingga dapat meningkatkan kesediaan masyarakat
untuk berperan sebagai bystander CPR.
1.4.2.6 Bagi Peneliti Lain
Hasil penelitian ini diharapkan mampu dijadikan sebagai bahan
acuan dan referensi bagi penelitian selanjutnya dengan topik serupa
terutama dalam upaya meningkatkan kesediaan seseorang untuk
berperan sebagai bystander CPR pada kasus OHCA.
-
11
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Out of Hospital Cardiac Arrest (OHCA)
2.1.1 Pengertian
Cardiac Arrest atau henti jantung diartikan sebagai kondisi dimana
jantung seseorang berhenti memompa darah ke seluruh tubuh disertai dengan
henti nafas (British Health Fondation, 2011). Menurut Buxton et al. (2006) henti
jantung adalah berhentinya kerja jantung secara mendadak atau Suddent
Cardiac Arrest (SCA) yang dapat mengakibatkan terjadinya kematian secara
tiba-tiba. Faiz et al. (2002) mendefinisikan SCA sebagai suatu kondisi dimana
jantung berhenti berdetak secara tiba-tiba, akibatnya otak dan organ vital
lainnya tidak menerima pasokan oksigen dan nutrisi yang terkandung dalam
darah. Berbeda dengan serangan jantung, karena pada penderita serangan
jantung, jantung tidak berhenti berdetak secara tiba-tiba. Dalam hal ini yang
dimaksud dengan Out of Hospital Cardiac Arrest (OHCA) adalah kejadian
henti jantung secara mendadak yang terjadi di luar rumah sakit dan berisiko
tinggi mengakibatkan kematian, dimana pada kondisi ini aktivitas mekanikal
jantung berhenti disertai dengan hilangnya respon penderita, tidak terabanya
nadi dan hilangnya nafas spontan (Jannti, 2010) .
2.1.2 Faktor Risiko
Menurut Buxton et al. (2006) terdapat beberapa faktor risiko yang
diidentifikasi sebagai faktor yang berkaitan erat dengan henti jantung,
faktor-faktor tersebut diantaranya adalah sebagai berikut:
-
12
2.1.2.1 Faktor yang berhubungan dengan jantung
2.1.2.1.1 Iskemik
Penyakit jantung koroner diprediksi sebagai penyebab utama
terjadinya henti jantung secara tiba-tiba, dimana penyakit jantung
koroner seringkali menyertai penderita diabetes melitus, orang dengan
kebiasaan merokok dan obesitas, itulah kenapa henti jantung secara
tiba-tiba sering dijumpai di masyarakat luas tanpa dapat diprediksi.
Selain itu faktor lain penyebab terjadinya henti jantung yang
berhubungan dengan iskemik diantaranya adalah: gagal jantung, emboli
koroner, penyakit inflamasi serta vasospasme (Green et al., 2011) .
2.1.2.1.2 Penyakit jantung struktural
Penyakit jantung struktural yang diprediksi sebagai faktor yang
berkaitan dengan kejadian henti jantung diantaranya adalah:
kardiomegali yang disertai dengan kematian otot jantung, dilatasi otot
jantung yang bermanifestasi menjadi gagal jantung, arrhythmogenic
dysplasia pada ventrikel kanan, takotsubo cardiomyopathy, myocarditis,
diseksi aorta dan penyakit jantung kongenital (Green et al., 2011).
2.1.2.1.2 Gangguan kelistrikan jantung
Penyebab tersering terjadinya henti jantung secara tiba-tiba yang
berkaitan dengan gangguan kelistrikan jantung diantaranya adalah:
Ventrikel Fibrilasi (VF), Ventrikel Takikardi (VT), Pulseless Electical
Activity (PEA), Asistole, Atrioventrikular block (AV block) derajat 3, Wolf
Parkinson White syndrome (WPW), Brugada syndrome serta penyebab
idiopatik lainnya atau penyebab yang tidak dapat dijelaskan (Green et
al., 2011).
-
13
2.1.2.2 Faktor yang tidak berhubungan dengan jantung
2.1.2.2.1 Gangguan elektrolit: hipo atau hiperkalemia, asidosis, gangguan
pada ginjal serta dialisis.
2.1.2.2.2 Penyakit neurologis: stroke dan perdarahan subdural
2.1.2.2.3 Hipoksia
2.1.2.2.4 Trauma: Commotio Cordis
2.1.2.2.5 Emboli Pulmonal Masif
2.1.2.2.6 Interaksi Obat: digoxin, anti-aritmia dan obat-obatan anti-depresan
2.1.2.2.7 Penyakit infeksi dan sepsis
2.1.3 Patofisiologi
Menurut American Heart Association (AHA) tahun 2010 patofisiologi
terjadinya henti jantung adalah sebagai berikut:
2.1.3.1 Ventrikel Fibrilasi (VF)
Merupakan kasus terbanyak yang sering menimbulkan kematian
mendadak, pada keadaan ini jantung tidak dapat melakukan fungsi
kontraksinya, jantung hanya mampu bergetar saja. Pada kasus ini
tindakan yang harus segera dilakukan adalah CPR dan DC shock atau
defibrilasi.
Gambar 2.1 Ventrikel Fibrilasi (AHA, 2010)
-
14
2.1.3.2 Ventrikel Takikardi (VT)
Mekanisme penyebab terjadinya Takikardi ventrikel biasanya karena
adanya gangguan otomatisasi (pembentukan impuls) ataupun akibat
adanya gangguan konduksi. Frekuensi nadi yang cepat akan
menyebabkan fase pengisian ventrikel kiri memendek, akibatnya
pengisian darah ke ventrikel juga berkurang sehingga curah jantung akan
menurun. VT dengan keadaan hemodinamik stabil, pemilihan terapi
dengan medika mentosa lebih diutamakan. Pada kasus VT dengan
gangguan hemodinamik sampai terjadi henti jantung (VT tanpa nadi),
pemberian terapi defibrilasi dengan menggunakan DC shock dan CPR
adalah pilihan utama.
Gambar 2.2 Ventrikel Takikardi (AHA, 2010)
2.1.3.3 Pulseless Electrical Activity (PEA)
Merupakan keadaan dimana aktivitas listrik jantung tidak
menghasilkan kontraktilitas atau menghasilkan kontraktilitas tetapi tidak
adekuat sehingga tekanan darah tidak dapat diukur dan nadi tidak teraba.
Pada kasus ini CPR adalah tindakan yang harus segera dilakukan.
Gambar 2.3 Pulseless Electrical Activity (AHA, 2010)
-
15
2.1.3.4 Asistole
Keadaan ini ditandai dengan tidak terdapatnya aktivitas listrik pada
jantung dan pada monitor irama yang terbentuk adalah seperti garis lurus.
Pada kondisi ini tindakan yang harus segera diambil adalah CPR.
Gambar 2.4 Asistole (AHA, 2010)
2.1.4 Tanda dan Gejala
Menurut The Scottish Goverment (TSG) dalam buku panduan
penatalaksanaan Out of Hospital Cardiac Arrest-a Strategy for Scotland (2015)
kejadian henti jantung seringkali diawali dengan serangan jantung yakni suatu
kondisi dimana pembuluh darah arteri pada jantung mengalami sumbatan
sehingga darah tidak dapat mengalir memenuhi seluruh bagian otot jantung.
Apabila kondisi tersebut dibiarkan maka kebutuhan suplai oksigen yang
dibutuhkan oleh otot jantung tidak dapat terpenuhi, sehingga dapat
mengakibatkan terjadinya nyeri hebat pada bagian dada yang disertai dengan
kematian otot jantung yang sangat beirisiko mengakibatkan terjadinya henti
jantung. Pada orang dengan henti jantung, fungsi jantung akan berhenti
secara total sehingga darah tidak dapat dialirkan keseluruh tubuh. Pada orang
dengan henti jantung maka nadinya tidak dapat teraba, tingkat kesadarannya
akan mengalami penurunan disertai dengan henti nafas. Apabila tidak
diberikan pertolongan dengan segera warna kulit korban lama kelamaan akan
berubah menjadi pucat bahkan disertai dengan dilatasi pada pupil.
-
16
2.1.5 Penatalaksanaan
Kualitas hidup penderita pasca henti jantung akan sangat bergantung pada
tahap pra-rumah sakit bukan hanya bergantung pada bantuan di fasilitas
pelayanan kesehatan saja. Begitu ada korban yang mengalami henti jantung
maka berlakulah apa yang disebut dengan waktu emas (The Golden periode).
Menurut Swain et al. (2011) ada beberapa faktor yang mempengaruhi tingkat
survival rate korban henti jantung di luar rumah sakit, yakni: cepat lambatnya
korban diketahui mengalami henti jantung, lamanya kejadian, jarak waktu antara
korban ditemukan dan diketahui mengalami henti jantung dengan dilakukannya
pertolongan, penyakit penyerta, usia, jenis irama jantung apakah VT tanpa nadi,
VF atau asistole, koordinasi, serta ketepatan penanganan.
Layanan pra-rumah sakit merupakan layanan yang dilakukan dengan
melibatkan kerjasama antara sumberdaya manusia, fasilitas, transportasi dan
kebijakan terkait dengan prosedur yang harus dilakukan, yang secara khusus
ditujukan untuk menangani kasus kegawatdaruratan yang terjadi di luar rumah
sakit (Kerstin et al., 2011). Selain itu layanan kegawatdaruratan ini juga
memerlukan keahlian dan kompetensi dari personilnya sebagai sebuah tim,
teknologi dan pengobatan, yang harus dilakukan secara cepat dan tepat
(Blomstedt et al., 2013).
Indonesia saat ini telah memiliki Sistem Pelayanan Gawat Darurat
Terpadu (SPGDT) yang terdiri atas Sistem Gawat Darurat Terpadu Sehari-hari
(SPGDT-S) dan Sistem Gawat Darurat Terpadu Bencana (SPGDT-B). Sistem
yang baik harus dapat diukur melalui proses evaluasi atau umpan balik yang
berkelanjutan, hal tersebut dapat diperjelas melalui bagan berikut:
-
17
Cedera &Bencana
Fase Pra-rumahsakit
Fase Rumah Sakit Rehabilitasi
1. First Responder2. Layanan
ambulance 24jam
1. Unit Gawat Darurat2. Ruang Operasi3. Intensif Care Unit4. Bangsal Perawatan
1. Fisik2. Psikologis3. Sosial
Gambar 2.5 Bagan Alur Layanan Kegawatdaruratan di Indonesia(Kemenkes RI, 2016)
Komponen penting dalam sistem layanan kegawatdaruratan antara lain
adalah: Sistem komunikasi, pengetahuan, tranportasi, pendanaan dan Quality
Control (Kemenkes RI, 2016). Kita perlu menyadari bahwa saat ini sistem layanan
kegawatdaruratan di Indonesia belum berjalan secara optimal. Belum adanya
keseragaman pusat layanan informasi kegawatdaruratan di berbagai daerah serta
call center yang seringkali sulit dihubungi masih menjadi permasalahan yang perlu
diperbaiki (Herkutanto, 2007).
Dalam aplikasinya sistem layanan kegawatdaruratan di Indonesia saat ini
cenderung menggunakan sistem hospital base yang menjadikan rumah sakit
sebagai pusat komunikasi dan pengelolaan ambulance (Pitt & Pusponegoro, 2005).
Rumah sakit memiliki wewenang untuk mengirimkan ambulance dan petugas
kesehatan untuk melakukan penanganan kegawatdaruratan di luar rumah sakit.
Menurut Ebben et al. (2012) komunikasi yang baik antara petugas kesehatan yang
melakukan penanganan di luar rumah sakit dengan petugas kesehatan di IGD
rumah sakit terdekat yang siap menerima pasien sangatlah diperlukan, tujuannya
adalah agar informasi penting seperti: jumlah korban, kondisi korban, tindakan apa
saja yang telah dilakukan dan yang perlu dilakukan, serta peralatan apa saja yang
perlu disiapkan dapat tersampaikan dengan jelas, sehingga penanganan pasien
dapat dilakukan secara optimal.
-
18
Menurut Chair et al. (2014) salah satu upaya yang dapat dilakukan untuk
meningkatkan survival rate pada penderita henti jantung baik di dalam maupun di
luar rumah sakit adalah dengan mengoptimalkan chain of survival. Menurut Deakin
et al. (2010) beberapa komponen yang termasuk dalam rangkaian rantai
pertahanan penanganan henti jantung di luar rumah sakit tersebut diantaranya
adalah sebagai berikut:
2.1.5.1 Kesadaran Dini dan Aktivasi Emergency Medical Service (EMS)
Dilakukan dengan mengenali tanda henti jantung dan aktivasi sistem
layanan gawat darurat dengan segera. Menurut Aehlert (2012) hal tersebut
sangat berpengaruh pada baik tidaknya kemampuan dari korban henti
jantung untuk bertahan hidup. Oleh sebab itu penolong atau bystander CPR
di luar rumah sakit perlu diberi pengetahuan mengenai tanda dan gejala
henti jantung serta cara pengaktifan EMS melalui telepon sehingga tenaga
kesehatan dapat memandu bystander untuk melakukan tindakan-tindakan
penyelamatan sembari menunggu petugas kesehatan datang.
2.1.5.2 Cardiopulmonary Resuscitation (CPR)
2.1.5.2.1 Pengertian
Menurut AHA (2015) tindakan Cardiopulmonary Resuscitation
(CPR) merupakan usaha untuk mengembalikan fungsi pernafasan
dan fungsi sirkulasi serta mengatasi akibat berhentinya fungsi-fungsi
tersebut pada orang-orang yang tidak diharapkan mati pada saat itu.
Tindakan ini bertujuan untuk mencegah agar sel-sel tidak rusak
akibat kekurangan oksigen. Sebab iskemia yang terjadi lebih dari 3-4
menit pada suhu normal akan menyebabkan kerusakan menetap
pada korteks serebri. Namun perlu diingat CPR yang efektif sekalipun
-
19
hanya mampu memberikan ±30% dari curah jantung normal (Berg et
al., 2010).
2.1.5.2.2 Indikasi
Menurut AHA (2010) tindakan CPR harus segera dilakukan pada
setiap orang yang ditemukan dalam kondisi tidak sadarkan diri
disertai dengan henti nadi dan atau henti nafas. Adapun indikasi
untuk dihentikannya tindakan CPR menurut Mansjoer (2010) adalah:
ketika denyut nadi korban sudah kembali dapat diraba dan bernafas
secara spontan, yang berarti kondisi sirkulasi dan ventilasi secara
efektif telah membaik; sudah muncul tanda-tanda kematian biologis
yang sifatnya irreversibel diantaranya adalah: dilatasi pupil maksimal,
rigor mortis atau kaku mayat, refleks cahaya negatif serta pucat;
fungsi vital korban telah mengalami penurunan meskipun telah
diberikan terapi secara maksimal sehingga tidak ada manfaat
fisiologis yang diharapkan; penanganan telah dilakukan oleh tenaga
medis di tempat layanan kesehatan yang lebih tinggi; penolong
sudah merasa kelelahan sehingga tidak dapat melanjutkan tindakan
CPR; kondisi lingkungan yang membahayakan bagi korban dan
penolong; serta ketika pasien menderita suatu penyakit yang telah
berada pada stadium terminal dan tidak menghendaki dilakukannya
CPR atau Do not attempt resuscitation (DNAR).
2.1.5.2.3 Tahapan Pelaksanaan Cardiopulmonary Resuscitation (CPR)
Adapun langkah-langkah dalam melakukan tindakan tersebut
berdasarkan AHA (2015) adalah sebagai berikut:
-
20
1. Danger Clear, pastikan bahwa kondisi lingkungan aman.
2. Cek Respon dengan memanggil atau melakukan rangsang nyeri di
titik-titik yang sensitif dengan rangsang nyeri (sternum, puting, dahi,
alis) tetapi berdasarkan perkembangan keilmuan terbaru hal ini
sudah tidak direkomendasikan karena akan memperlama waktu
pertolongan. Apabila pasien tidak ada respon lakukan Quick look
atau langsung berfokus melihat pergerakan dada.
3. Call for help, sebutkan identitas diri kita, lokasi korban, jumlah
korban, kondisi korban, nomor telepon dan meminta untuk
dikirimkan ambulance beserta defibrilator. Apabila terdapat orang
lain disekitar kita, kita bisa memanfaatkan dengan meminta
bantuan orang lain tersebut.
4. Cek Nadi, dilakukan pada arteri carotis untuk orang dewasa dan
brakhialis pada anak-anak dengan menggunakan dua jari dan
sebaiknya dilakukan kurang dari 10 detik. Apabila nadi tidak teraba
lakukan kompresi dada, apabila nadi sulit teraba atau ragu-ragu
tetap lakukan kompresi dada untuk mencegah hal-hal yang tidak
diinginkan.
5. Chest Compression (Kompresi Dada), dilakukan pada daerah
center of chest atau pertengahan dada korban untuk meningkatkan
tekanan intrathoracic dan memberikan kompresi langsung pada
jantung. Hazinski (2010) menyebutkan bahwa penekanan pada
sternum dilakukan sekurang-kurangnya 5-6 cm untuk orang
dewasa. Perbandingan kompresi dan ventilasi pada orang dewasa
adalah 30:2 dengan 1 maupun 2 orang penolong. Pada anak dan
-
21
bayi 30:2 bila penolong satu orang, bila penolong 2 orang
perbandingan kompresi dan ventilasi adalah 15:2 dengan
kecepatan sekurang-kurangnya 100-120 X/menit. Pada saat terjadi
henti jantung perfusi darah ke organ sangat bergantung pada
keadekuatan kompresi dada yang dilakukan sehingga kompresi
dada menjadi bagian yang paling penting dalam CPR (Edelson et
al., 2011).
6. Airway Control (Membuka dan membersihkan jalan nafas),
membebaskan saluran/ jalan nafas dari sumbatan. Head Tilt Chin
Lift merupakan tindakan yang efektif dengan catatan tidak ada
trauma servikal. Apabila korban dicurigai mengalami trauma
servikal bisa dilakukan Jaw thrust maneuver.
7. Rescue Breathing (Nafas Buatan). Pada korban henti nafas tanpa
henti jantung tindakan Rescue breathing dilakukan 10-12 kali
permenit (5-6 detik sekali) pada korban dewasa sedangkan pada
anak 12-20 kali permenit dan 3-5 detik sekali pada bayi. Pada
korban yang sudah terpasang advanced airway frekuensi yang
diberikan lebih lambat yakni 8-10 kali permenit (6-8 detik sekali)
baik pada bayi maupun orang dewasa. Setelah memastikan nadi
korban sudah teraba dan korban bernafas secara spontan,
tindakan selanjutnya yang dilakukan adalah head to toe
examination, langkah terakhir lakukan recovery position untuk
menjaga kepatenan airway (Johnsona et al., 2013).
-
22
2.1.5.3 Defibrilasi Secara Cepat
Defibrilasi secara cepat dengan menggunakan Automated External
Defibrillator (AED) merupakan tindakan yang efektif untuk dilakukan pada
henti jantung dengan irama ventrikel fibrilasi (VF) dan ventrikel takikardi
(VT) tanpa nadi (Travers, 2010). Alat ini berfungsi untuk mengembalikan
irama jantung kembali pada irama yang efektif dan dirancang mudah
untuk digunakan bagi orang awam sebagai sarana pertolongan pertama
pada korban dengan henti jantung (Kooij et al., 2004). Alat ini dapat
mendeteksi secara otomatis irama jantung dan memberikan petunjuk
kepada penolong untuk mengetahui apakah seseorang dengan henti
jantung tersebut memerlukan tindakan terapi kejut jantung atau tidak,
sehingga kekhawatiran penolong serta kesalahan dalam melakukan
tindakan terapi kejut jantung ini dapat diminimalisir. Alat ini akan
memberikan kejutan listrik yang akan mengganggu atau menghentikan
kegiatan disritmik listrik jantung. Shock yang diberikan akan membuat
jantung berhenti berdenyut dengan mematikan irama tertentu dan
memberikan jantung kesempatan untuk membangun kembali irama yang
efektif secara spontan.
Menurut AHA (2010) CPR disertai dengan defibrilasi listrik atau AED
dapat meningkatkan kelangsungan hidup sebanyak 49%. Prosedur
khusus yang diperlukan untuk menyelamatkan korban dengan henti
jantung ini sekarang dapat dilakukan dalam lingkup pra-rumah sakit. Saat
ini banyak negara-negara maju yang sudah menjadikan AED sebagai
sebuah fasilitas wajib yang harus tersedia di tempat-tempat umum.
Bahkan di Jepang pelatihan bantuan hidup dasar dan cara penggunaan
-
23
AED sudah banyak diberikan pada masyarakat awam seperti: masyarakat
umum, siswa di sekolah menengah atas, dan para guru di
sekolah-sekolah (Taniguchi et al., 2013).
Semua AED menggunakan petunjuk visual dan suara untuk
memudahkan penggunanya dalam melakukan penyelamatan. Secara
garis besar operasional AED memiliki cara yang sama. Semua AED
memberikan bentuk gelombang bifasik dan dapat melakukan elektronik
self test. AED akan memberikan tanda melalui indicator visual dan atau
suara apabila sudah siap digunakan. Akan tetapi sampai dengan saat ini
keberadaan AED masih jarang ditemukan di Indonesia, mahalnya biaya
pengadaan dan perawatan serta terbatasnya ketersediaan sumberdaya
manusia yang memiliki pengetahuan mengenai cara menggunakannya
disebut-sebut sebagai hambatan dari pengembangan penyediaan AED
tersebut (Bettan, 2015).
2.1.5.4 Basic dan Advance Emergency Medical Service (EMS)
Emergency Medical Service (EMS) basic atau dasar adalah
fasilitas layanan kegawatdaruratan di luar rumah sakit dan transportasi
yang dirancang khusus untuk melayani pasien yang sakit maupun injuri.
Adapun personil dari EMS basic ini adalah dua orang Emergency Medical
Technician (EMT) yang telah tersertifikasi dan memiliki pengalaman lebih
dari 300 jam dengan kompetensi dapat menggunakan AED, melakukan
basic dan intermediate airway prosedure serta penanganan trauma
secara umum. Sedangkan yang dimaksud dengan Advance Life Support
(ALS) adalah layanan kegawatdaruratan pra-rumah sakit yang terdiri dari
minimum satu orang paramedis dengan pengalaman dan pelatihan
-
24
kurang lebih 1000 jam serta satu orang EMT, dengan kompentensi
mengetahui cara pemberian obat-obatan emergensi, cara menggunakan
peralatan advance airway, monitor jantung, peralatan advance cardiac life
support dan alat pemeriksaan kadar gula darah (Shah, 2006).
2.1.5.5 Advance Life Support (ALS) yang efektif dan Perawatan Pasca Henti
Jantung yang Baik.
Advance Life Support (ALS) merupakan kelanjutan dari Basic Life
Support (BLS) yang berisi serangkaian protokol kegiatan penanganan
lebih jauh dari permasalahan yang terjadi pada airway, breathing dan
circulation. Menurut AHA (2010) pada pasien post-cardiac arrest terdapat
beberapa hal yang harus dilakukan untuk menjaga kondisi pasien agar
tetap stabil, diantaranya adalah sebagai berikut:
2.1.5.5.1 Optimalkan ventilasi dan oksigenasi: jaga saturasi oksigen
≥94% dan pertimbangkan penggunaan advance airway,
hindari hiperventilasi.
2.1.5.5.2 Tangani hipotensi (tekanan darah sistolik ≤90mmHg),
pemberian obat vasopresin melalui Intravena (IV) atau Intra
Oseus (IO), tangani penyebab dan lakukan EKG 12 lead.
2.1.5.5.3 Pertimbangkan pemberian terapi hipotermia dengan suhu
antara 32°C-36°C.
2.1.5.5.4 Periksa kembali apakah pasien mengalami STEMI atau AMI,
jika ya pertimbangkan untuk melakukan terapi reperfusi, jika
tidak pasien dapat langsung dirawat di ruang perawatan krtitis.
-
25
2.2 Bystander Cardiopulmonary Resuscitation (CPR)
2.2.1 Pengertian
Menurut AHA tahun 2013 yang dimaksud dengan bystander CPR
adalah seseorang yang berada dekat dengan korban henti jantung yang
bersedia melakukan tindakan resusitasi jantung paru sebagai upaya
penyelamatan jiwa di area luar rumah sakit. Siapa saja dapat berperan
sebagai bystander CPR baik tenaga kesehatan, mahasiswa kesehatan
bahkan orang awam yang memiliki pengetahuan dan kemampuan
melakukan tindakan CPR.
2.2.2 Peran Bystander CPR
Penderita henti jantung memerlukan pertolongan segera karena
kemampuan korban untuk bertahan hidup akan berkurang 7-10% setiap
menitnya, sedangkan untuk meminta bantuan sampai dengan tenaga medis
datang membutuhkan waktu yang tidak sebentar. Oleh sebab itu salah satu
upaya yang dapat dilakukan dalam meningkatkan survival rate penderita
OHCA adalah dengan mengoptimalkan peran dan fungsi dari bystander
CPR (Chair et al., 2014). Saat ini berbagai negara di dunia seperti Amerika,
Eropa dan beberapa negara di Asia seperti Jepang, Hongkong, China,
Korea, Taiwan dan Singapura tengah mengembangkan sistem
kegawatdaruratan pra-rumah sakit dengan memberikan pelatihan Basic Life
Support (BLS) pada mahasiswa kesehatan dan juga masyarakat awam
dengan harapan mampu meningkatkan jumlah bystander CPR sehingga
dapat meningkatkan jumlah survival rate pada penderita OHCA, bahkan
saat ini AHA telah merekomendasikan agar pelatihan CPR turut disertakan
-
26
kedalam kurikulum pendidikan sekolah menengah atas dengan harapan
mampu meningkatkan pengetahuan dan keterampilan dalam melakukan
CPR dan meningkatkan jumlah bystander CPR (Cave et al., 2011),
Berdasarkan Guidelines for Cardiopulmonary Resuscitation (CPR) dan
Emergency Cardiovascular Care (ECC) dari AHA pada tahun 2010 diketahui
bahwa saat ini AHA tengah berusaha membuat tindakan CPR menjadi lebih
sederhana dan mudah diaplikasikan salah satunya dengan
mengembangkan hands only CPR yang dirancang bagi bystander CPR
dengan berbagai pertimbangan. Pada umumnya saat melakukan CPR di
luar rumah sakit bystander merasa enggan ketika harus memberikan
bantuan pernafasan dari mulut ke mulut terlebih pada korban henti jantung
yang belum pernah mereka kenal, sehingga mereka lebih memilih untuk
melakukan teknik chest compression only (Taniguchi et al., 2007). Lu et al.1
(2016) dalam penelitiannya tentang bystander CPR di China mengatakan
bahwa teknik CPR yang dianggap rumit, kondisi korban, pekerjaan dan jenis
kelamin penolong mempengaruhi kesediaan bystander untuk melakukan
CPR, kurangnya rasa percaya diri, rasa malu serta adanya perasaan takut
terhadap risiko transmisi penyakit merupakan beberapa penyebab yang
mempengaruhi pertimbangan bystander dalam melakukan CPR. Selain itu
Chair et al. (2014), Liew et al. (2015) dan Lu et al.1 (2016) sepakat bahwa
belum adanya perlindungan hukum yang jelas juga menjadi salah satu
penyebab utama tidak bersedianya bystander untuk melakukan CPR.
Teknik chest compression only atau sering juga disebut dengan hands
only CPR pertama kali diperkenalkan oleh AHA pada tahun 2008. Teknik ini
terdiri dari dua tahapan, yang pertama bystander harus memastikan bahwa
-
27
kondisi sekeliling korban aman dan kemudian mengaktifkan sistem
kegawatdaruratan dengan menelepon atau meminta bantuan orang lain
untuk menghubungi pusat layanan kesehatan terdekat. Selanjutnya
bystander melakukan CPR dengan melakukan penekanan pada daerah
midsternal atau bagian tengah dada dengan keras dan cepat sampai AED
atau bantuan yang diharapkan datang (AHA, 2013).
Menurut Sasson (2013) secara garis besar terdapat empat tahapan
yang harus dikuasai oleh bystander CPR, tahapan tersebut diantaranya
adalah sebagai berikut:
2.2.2.1 Bystander harus mampu mengidentifikasi bahwa seseorang
mengalami henti jantung dengan mengenali tanda dan gejalanya.
2.2.2.2 Selanjutnya bystander harus segera mengaktifkan layanan gawat
darurat setempat dengan menelepon atau meminta bantuan orang
lain.
2.2.2.3 Ketika mengaktifkan sistem layanan gawat darurat panggilan
telepon akan diterima oleh dispatcher yang bertugas untuk
menentukan tingkat kegawatdaruratan yang dialami, memberi
instruksi dan memandu bystander dalam melakukan CPR.
2.2.2.4 Bystander terus melakukan tindakan CPR sampai dengan nadi dan
nafas korban kembali spontan atau sampai dengan AED dan bantuan
datang.
-
28
Gambar 2.6 Empat Langkah Penting yang Harus Dikuasai Oleh BystanderDalam Melakukan CPR (Sasson et al., 2013)
2.2.3 Kompetensi Bystander CPR
Menurut Sayre et al. (2008) terdapat berbagai tindakan yang dapat
dilakukan oleh bystander CPR sesuai dengan kompetensi dan
kemampuannya masing-masing, antaralain adalah sebagai berikut:
2.2.3.1 Bagi bystander yang tidak terlatih: upaya penyelamatan korban
dapat dilakukan dengan melakukan kompresi dada dengan keras
dan cepat atau hands only CPR sampai dengan AED dan bantuan
datang.
2.2.3.2 Bagi bystander baik yang terlatih maupun yang tidak terlatih:
ketika menjumpai korban dengan henti jantung, bystander paling
tidak harus dapat melakukan upaya untuk mengaktifkan sistem
layanan kegawatdaruratan dengan menghubungi ambulance atau
layanan kesehatan terdekat. Selanjutnya melakukan tindakan
kompresi pada bagian tengah dada dengan keras dan cepat
sampai bantuan datang.
2.2.3.3 Bagi bystander yang telah dilatih namun tidak percaya diri untuk
melakukan high quality CPR: dapat melakukan hands only CPR
sampai dengan AED dan bantuan datang.
Bystandermenyadariterjadinya
henti jantung
Bystandermenghubungilayanan
kegawatdaruratan
Dispatchermengidentifikasi OHCAdan memberikan instruksicara melakukan CPR
Bystandermelakukan
CPR
-
29
2.2.3.4 Bagi bystander yang telah dilatih dan percaya diri untuk
melakukan high quality CPR: Bystander harus melakukan CPR
secara konvensional dengan rasio perbandingan kompresi dada
dan bantuan nafas = 30:2. Namun apabila penolong enggan untuk
memberikan bantuan nafas, maka penolong dapat melakukan
hands only CPR saja dengan melakukan kompresi berkualitas
sampai AED dan pertolongan datang.
2.3 Mahasiswa Strata-1 (S1) Keperawatan
2.3.1 Pengertian
Menurut Hartaji (2012) mahasiswa diartikan sebagai seseorang yang
terdaftar dan sedang menempuh pendidikan di tingkat perguruan tinggi baik
di politeknik, sekolah tinggi, institut maupun universitas. Sebagai seseorang
yang menempuh pendidikan tinggi mahasiswa dinilai memiliki daya
intelektualitas dan kecerdasan yang tinggi serta kemampuan berpikir kritis
sehingga mahasiswa mampu melakukan perencanaan dengan baik dalam
bertindak (Siswoyo, 2007). Menurut Kusnanto (2003) keperawatan
didefinisikan sebagai bentuk integral dari layanan kesehatan meliputi bio,
psiko, sosio dan spiritual bagi individu, keluarga maupun masyarakat dalam
kondisi sehat maupun sakit yang didasarkan pada ilmu keperawatan dan
bersifat profesional.
Mahasiswa S1 keperawatan adalah mereka yang sedang mempelajari
dan mendalami ilmu pengetahuan terkait dengan keperawatan di tingkat
perguruan tinggi dan merupakan calon perawat profesional yang akan
memberikan layanan keperawatan kepada masyarakat (Nursalam, 2008).
-
30
Saat ini di Indonesia tengah dikembangkan pendidikan ners yang
pelaksanaannya meliputi tahap akademik (S1 keperawatan) dan tahap
profesi. Tahap akademik adalah tahapan yang harus dilalui untuk mencapai
kompetensi sebagai profesi dalam tahap ini mahasiswa akan belajar
berbagai kompetensi dasar tentang bagaimana cara menjadi seorang
perawat profesional sedangkan tahap profesi adalah tahapan yang harus
dilalui untuk mencapai kemandirian dalam praktek keperawatan, dalam hal
ini mahasiswa keperawatan dituntut untuk dapat memiliki perilaku
profesional dan mampu memberikan asuhan keperawatan dasar secara
mandiri dan belajar untuk menerapkan asuhan keperawatan tersebut (AIPNI,
2010).
2.3.2 Tujuan Penyelenggaraan Pendidikan Keperawatan Profesional
Menurut Nursalam (2008) sebagai calon perawat profesional
mahasiswa keperawatan dituntut untuk dapat turut serta dalam memajukan
ilmu keperawatan melalui berbagai riset dengan memanfaatkan ilmu
pengetahuan dan teknologi, sehingga mahasiswa S1 keperawatan
diharapkan memiliki pengetahuan yang lebih baik dibandingkan dengan
mahasiswa keperawatan di tingkat vokasional. Adapun tujuan dari
penyelenggaraan pendidikan keperawatan profesional diantaranya adalah
sebagai berikut:
2.3.2.1 Menciptakan landasan ilmu pengetahuan yang kokoh dalam
melaksanakan asuhan keperawatan profesional.
2.3.2.2 Menciptakan perawat yang terampil, baik dari segi intelektual, teknis
maupun interpersonal.
-
31
2.3.2.3 Menciptakan perawat yang memiliki sikap dan tingkah laku
profesional sesuai dengan bidang keperawatan.
2.3.3 Kompetensi Sarjana Keperawatan
Menurut AIPNI (2010) kurikulum pendidikan sarjana keperawatan
(S1 keperawatan) mengacu pada 60% kurikulum inti (87 SKS dari 144
SKS, yang terdiri dari 70% teori dan 30% praktek baik di laboratorium
klinis maupun komunitas) dimana masa studi ideal yang ditetapkan
adalah 8 semester (4 tahun). Menurut Kerangka kualifikasi Nasional
Indonesia (KKNI, 2010) sarjana keperawatan berada pada level 6 dimana
lulusan sarjana dituntut untuk memiliki kompetensi sebagai berikut:
2.3.3.1 Mampu memanfaatkan ilmu pengetahuan dan teknologi dalam
bidang keahliannya serta beradaptasi terhadap situasi yang
dihadapi dalam problem solving.
2.3.3.2 Menguasai konsep teoritis di bidangnya secara umum dan khusus
secara mendalam dan memformulasikan problem solving sesuai
dengan prosedur yang berlaku.
2.3.3.3 Mampu melakukan pengambilan keputusan berdasarkan analisis
terhadap data dan informasi yang diperoleh serta memberikan
arahan terhadap berbagai alternatif solusi yang dipilih.
2.3.3.4 Mampu ikut serta dalam mengembangkan masyarakat
(community development) dan memiliki sikap tanggung jawab.
Adapun kompetensi yang harus dimiliki oleh seorang sarjana
keperawatan dalam perannya sebagai professional care provider
-
32
(pemberi layanan kesehatan profesional), community leader
(pemimpin di komunitas), educator (pendidik), manager
(pengelola) dan researcher (peneliti pemula) menurut AIPNI
(2010) antara lain adalah sebagai berikut:
2.3.3.5 Dapat melakukan komunikasi efektif dalam pemberian asuhan
keperawatan.
2.3.3.6 Dapat mengaplikasikan pengetahuan, kerangka etik dan legal
pada sistem kesehatan yang terkait dengan keperawatan.
2.3.3.7 Dapat membuat keputusan etik.
2.3.3.8 Dapat memberikan asuhan keperawatan yang peka budaya.
2.3.3.9 Dapat menjamin asuhan keperawatan yang holistik dan kontinyu.
2.3.3.10 Dapat memanfaatkan ilmu pengetahuan dan teknologi secara
efektif.
2.3.3.11 Dapat menggunakan proses keperawatan dalam menyelesaikan
permasalahan yang berhubungan dengan klien, termasuk di
dalamnya: perspektif keperawatan kritis dan gawat darurat,
askep klien dengan gawat darurat pada sistem kardiovaskuler
serta sistem penanggulangan gawat darurat terpadu dan
bencana.
2.3.3.12 Dapat memberikan pendidikan kesehatan pada klien baik dalam
pencegahan primer, sekunder dan tersier.
2.3.3.13 Dapat berkontribusi dalam meningkatkan kemampuan sejawat.
2.3.3.14 Mampu menjalankan fungsi advokasi, menjaga hak klien dan
membantu klien dalam pengambilan keputusan.
-
33
2.3.3.15 Menerapkan prinsip peningkatan kualitas berkesinambungan
dalam praktek.
2.3.3.16 Dapat mempraktekan keterampilan teknis keperawatan sesuai
dengan standar secara kreatif dan inovatif.
2.3.3.17 memiliki kemampuan dalam berkolaborasi terkait dengan
pemenuhan kebutuhan klien.
2.3.3.18 Dapat mempraktekan terapi modalitas.
2.3.3.19 Mewujudkan lingkungan aman secara konsisten melalui strategi
untuk menjamin kualitas dan manajemen resiko.
2.3.3.20 Dapat melaksanakan layanan kesehatan sesuai dengan
kebijakan yang ada.
Berdasarkan paparan tersebut kita dapat mengetahui bahwa salah
satu kompetensi yang harus dikuasi oleh lulusan sarjana keperawatan
adalah penatalaksanaan pada kegawatdaruratan kardiovaskuler dimana
OHCA merupakan salah satu kondisi yang termasuk di dalamnya.
Sebagai calon tenaga kesehatan profesional mahasiswa keperawatan
dituntut untuk memiliki jiwa altruistik yang lebih tinggi dibandingkan
dengan mahasiswa dari bidang keilmuan lain atau masyarakat awam
pada umumnya. Sebagai individu yang telah dibekali pengetahuan dan
keterampilan tentang bagaimana cara melakukan bantuan hidup dasar
pada korban henti jantung harapannya mahasiswa keperawatan memiliki
rasa percaya diri yang lebih tinggi dan kemampuan yang lebih baik dalam
melakukan CPR (Chew & Yazid, 2008).
-
34
2.4 Behavioral Intention (Intensi Berperilaku)
2.4.1 Pengertian
The Dictionary of Psychology menerjemahkan behavioral intention
sebagai suatu keputusan untuk berperilaku tertentu (Corsini, 2002).
Fishbein (2008) mendefinisikan behavioral intention sebagai suatu
keinginan, kemauan, kondisi kesiapan serta kecenderungan seseorang
untuk melakukan suatu tindakan tertentu. Behavioral intention juga
dianggap sebagai prediktor utama dari sebuah perilaku, dimana behavioral
intention memiliki pengaruh yang cukup besar dalam mempengaruhi
seseorang untuk menampilkan atau tidak menampilkan sebuah perilaku
(Manetti et al., 2004). Behavioral intention merupakan dasar dari
terbentuknya sebuah perilaku yang mengindikasikan kesiapan seseorang
untuk melakukan sebuah tindakan dan merefleksikan kesediaan individu
untuk berperilaku (Ajzen, 2005).
Sebagai upaya untuk meningkatkan survival rate pada korban henti
jantung di luar rumah sakit, saat ini beberapa negara tengah menggalakan
program bystander CPR melalui edukasi CPR kepada mahasiswa
kesehatan maupun masyarakat awam karena kejadian henti jantung dapat
terjadi kapan saja dan dimana saja. Akan tetapi heart disease and stroke
statistic dari AHA pada tahun 2014 melaporkan bahwa dari sekian banyak
korban dengan henti jantung diluar rumah sakit di Amerika, ternyata hanya
30-40% diantaranya saja yang mendapatkan pertolongan pertama dari
-
35
bystander CPR, dimana jumlah tersebut cenderung tidak mengalami
peningkatan dari waktu kewaktu (Go et al., 2014).
Swor et al. (2006) juga menyatakan bahwa dari sekian banyak jumlah
bystander CPR yang telah mendapatkan pelatihan ternyata hanya 35% saja
yang memiliki behavioral intention untuk memberikan pertolongan kepada
korban henti jantung di luar rumah sakit. Sama hal nya dengan yang terjadi
di beberapa negara lain. Taniguchi et al. (2007) dalam penelitiannya tentang
bystander CPR di Jepang menyebutkan bahwa dari 70% responden yang
telah mendapatkan pelatihan CPR hanya 10-30% diantaranya yang
menyatakan kesediaannya untuk melakukan tindakan CPR di luar rumah
sakit. Hasil penelitian tersebut didukung oleh Omi et al. (2008) yang
menunjukkan bahwa dari 59% orang yang telah mendapatkan pelatihan
CPR ternyata hanya 35% saja yang bersedia menjadi bystander CPR pada
kasus OHCA. Begitu pula penelitian Chair et al. (2014) di Hongkong yang
menyatakan bahwa kesediaan dan kesadaran masyarakat untuk melakukan
CPR masih rendah.
Berdasarkan data terkait dengan permasalahan tersebut Panchal et al.
(2015) menyimpulkan bahwa pelatihan CPR saja tidaklah cukup untuk
dapat meningkatkan motivasi bystander untuk bersedia melakukan CPR
pada OHCA, tetapi faktor-faktor lain yang dapat mempengaruhi perilaku
seseorang dalam melakukan CPR juga perlu dikaji, dengan harapan
mampu meningkatkan peran dan fungsi dari bystander CPR. Dalam hal ini
behavioral intention dianggap sebagai salah satu faktor utama yang
mempengaruhi kecenderungan bystander dalam berperilaku, apakah
bystander bersedia melakukan tindakan CPR di luar rumah sakit atau tidak.
-
36
Behavioral intention bystander CPR didefinisikan sebagai kecenderungan
yang dirasakan oleh seorang individu untuk melakukan suatu perilaku
tertentu, dalam hal ini CPR, dimana tinggi rendahnya behavioral intention
tersebut diperkirakan dipengaruhi oleh faktor-faktor psikologis yang dimiliki
oleh bystander.
Dalam penelitiannya tentang perilaku sehat berkaitan dengan
konsumsi alkohol dan diit makanan, Seaton (2010) menyatakan bahwa ada
hubungan langsung yang kuat antara behavioral intention yang dimiliki
individu dengan perilaku yang ditampilkan, semakin tinggi behavioral
intention yang dimiliki seseorang untuk menampilkan sebuah perilaku maka
akan semakin besar pula probabilitas seseorang untuk menampilkan
perilaku tersebut.
2.4.2 Aspek-aspek Behavioral Intention
Menurut Ajzen dan Fishbein (2005) terdapat beberapa aspek dari
behavioral intention, diantaranya adalah:
2.4.2.1 Target sasaran, yakni merupakan obyek yang menjadi sasaran dari
sebuah perilaku yang akan dilakukan. Target sasaran ini dapat
dikelompokkan menjadi 3 diantaranya adalah: particular object (obyek
tertentu), a class of object (sekelompok orang) dan any object (obyek
secara umum). Dalam hal ini yang menjadi obyek dari tindakan CPR
adalah particular object atau obyek tertentu yang mengalami OHCA.
2.4.2.2 Waktu, yakni waktu terjadinya sebuah peristiwa atau waktu
dilakukannya sebuah perilaku yang berkaitan dengan hari, tanggal dan
jam. Dalam konteks ini yang dimaksud dengan waktu adalah hari,
-
37
tanggal dan jam dimana korban mengalami henti jantung dan dilakukan
pertolongan oleh bystander CPR.
2.4.2.3 Situasi, adalah kondisi bagaimana dan dimana sebuah perilaku akan
dilakukan, apakah situasi tersebut mendukung atau tidak mendukung
untuk dilakukannya perilaku tersebut. Berkaitan dengan hal ini, yang
dimaksud dengan situasi adalah kondisi situasi dan lokasi dimana
korban mengalami henti jantung, apakah memungkinkan bystander
untuk melakukan pertolongan atau tidak.
2.4.2.4 Perilaku, merupakan tindakan spesifik atau perilaku khusus yang akan
dilakukan, yang merupakan perilaku spesifik dari bystander CPR
diantaranya adalah bystander akan memastikan bahwa lokasi aman,
meminta bantuan dan melakukan tindakan CPR sesuai dengan
prosedur.
2.4.3 Faktor yang Mempengaruhi Behavioral Intention Berdasarkan Theory of
Planned Behavior
Theory of Planned Behavior (TPB) atau teori perilaku terencana
merupakan pengembangan dari Theory of Reasoned Action (TRA), yakni
sebuah teori psikologi sosial yang menjelaskan tentang berbagai faktor
yang mempengaruhi perilaku seseorang. Teori ini dirumuskan oleh Martin
Fishbein dan Icek Ajzen pada akhir tahun 1960. TPB berfokus pada
behavioral intention (intention) yakni keinginan atau kehendak seseorang
yang dipengaruhi oleh sikap (attitude), norma subyektif (subjective norm)
dan norma lain yang dianggap penting. Behavioral intention yang dimiliki
oleh seseorang akan mempengaruhi individu dalam berperilaku (behavior).
-
38
Behavioral intention merupakan sebuah fungsi sikap dan norma subyektif
pada perilaku, dimana perilaku merupakan perwujudan dari behavioral
intention yang dimiliki oleh seseorang dalam bentuk aksi atau tindakan
(Fishbein & Ajzen, 1975).
Berakar pada teori tersebut pada tahun 1985 Icek Ajzen
mengembangkan TPB, dengan asumsi bahwa tidak semua perilaku yang
dilakukan berada dibawah kontrol penuh individu, sehingga perlu
ditambahkan variabel kontrol perilaku yang dipersepsi (perceived behavioral
control) atau efikasi diri. Maksudnya adalah behavioral intention berperilaku
tidak hanya dipengaruhi oleh sikap dan norma subyektifnya saja tetapi juga
dipengaruhi oleh persepsi individu terhadap kontrol yang dapat
dilakukannya dengan bersumber pada keyakinan terhadap kontrol tersebut.
Konsep perceived behavioral control ini berasal dari self efficacy theory oleh
Bandura pada tahun 1977 yang menekankan bahwa ekspektasi seperti
motivasi, penampilan, perasaan frustasi berhubungan dengan kegagalan
yang berulang kali akan berpengaruh pada perilaku seseorang (Ajzen,
1991). TPB dikembangkan berdasarkan asumsi bahwa individu mampu
berperilaku bijaksana, memperhitungkan segala informasi secara implisit
maupun eksplisit dengan mempertimbangkan akibat dari perilaku yang
dilakukan (Ajzen, 2015).
Teori ini mengemukakan bahwa kemungkinan seseorang untuk
melakukan atau tidak melakukan sebuah perilaku dipengaruhi oleh
behavioral intention yang dimilikinya, dimana behavioral intention
merupakan faktor yang paling menentukan terjadi atau tidaknya suatu
perilaku (McEachan et al., 2012). Behavioral intention memiliki hubungan
-
39
yang kuat dengan perilaku dan merupakan determinan langsung dari
perilaku, sehingga dapat digunakan untuk meramalkan perilaku yang akan
ditampilkan, dimana perilaku yang akan ditampilkan oleh seseorang
cenderung sesuai dengan behavioral intention yang dimilikinya (Ajzen &
Fishbein, 2005). Hoffman et al. (2013) menyatakan bahwa dari analisis yang
telah dilakukan pada 78 penelitian sosial-kognitif diketahui bahwa TPB
merupakan teori yang paling tepat untuk menjelaskan behavioral intention
dan memprediksi perilaku pada tenaga kesehatan. Pernyataan serupa juga
dikemukakan oleh Godin et al. (2008) yang menyatakan bahwa teori ini
sangat sesuai digunakan untuk memprediksi kecenderungan health
behavior pada tenaga kesehatan.
Theory of Planned Behavior telah banyak digunakan dalam berbagai
penelitian keperawatan. Beberapa contoh penelitian keperawatan yang
pernah menggunakan teori ini diantaranya adalah: Dwyer dan Williams
(2002) yang memprediksi behavioral intention berperilaku pada perawat
dalam melakukan CPR di rumah sakit, Ko et al. (2004) mengidentifikasi
behavioral intention perawat dalam merawat pasien dengan SARS di
Taiwan, Beduz, M (2011) memprediksi behavioral intention perawat untuk
melakukan perubahan perilaku berdasarkan evidence based practice pada
pengkajian kecemasan pasien, Agustina (2013) behavioral intention
perawat dalam pencegahan pressure ulcer di ICU, Javadi et al. (2013)
behavioral intention perawat dalam meningkatkan patient safety, McKenzie
(2014) mengidentifikasi behavioral intention perawat dalam memberikan
dukungan pada perubahan gaya hidup pasien, Cassita et al. (2014)
behavioral intention perawat dalam penggunaan filter needle, Smith (2015)
-
40
tentang behavioral intention perawat pendidik dalam menggunakan metode
pembelajaran critical thinking, Maxwell (2015) tentang behavioral intention
perawat untuk mengikuti rekomendasi perilaku preventif pada praktek klinis,
White et al. (2015) behavioral intention perawat dalam melakukan 5 moment
hand hygiene di Australia, Talbot et al. (2015) tentang behavioral intention
mahasiswa keperawatan untuk merawat pasien dengan ketergantungan
alkohol serta penelitian dari Panchal et al. (2015) tentang kerangka model
untuk memprediksi behavioral intention bystander dalam melakukan CPR.
Dwyer dan Williams (2002) menyatakan bahwa teori ini merupakan
teori yang kuat untuk dijadikan sebagai dasar teori dalam mengidentifikasi
kecenderungan perilaku seseorang. Begitu pula dengan Ko et al. (2004)
yang menyatakan bahwa TPB memberikan kontribusi yang signifikan dalam
memprediksi behavioral intention individu dalam berperilaku. Berbagai
komponen dari TPB