repository.ub.ac.idrepository.ub.ac.id/1484/1/Suis Galischa Wati.pdf · JUDUL TESIS: “ANALISIS...

186
ANALISIS FAKTOR YANG MEMPENGARUHI BEHAVIORAL INTENTION MAHASISWA S1 KEPERAWATAN SEBAGAI BYSTANDER CARDIOPULMONARY RESUSCITATION (CPR) PADA PENANGANAN OUT OF HOSPITAL CARDIAC ARREST (OHCA) DI KOTA MALANG TESIS Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Magister Oleh: Suis Galischa Wati 156070300111018 PROGRAM MAGISTER KEPERAWATAN PEMINATAN GAWAT DARURAT FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS BRAWIJAYA MALANG 2017

Transcript of repository.ub.ac.idrepository.ub.ac.id/1484/1/Suis Galischa Wati.pdf · JUDUL TESIS: “ANALISIS...

  • ANALISIS FAKTOR YANG MEMPENGARUHI BEHAVIORAL INTENTION MAHASISWA S1 KEPERAWATAN SEBAGAI BYSTANDER

    CARDIOPULMONARY RESUSCITATION (CPR) PADA PENANGANAN OUT OF HOSPITAL CARDIAC

    ARREST (OHCA) DI KOTA MALANG

    TESIS

    Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Magister

    Oleh: Suis Galischa Wati 156070300111018

    PROGRAM MAGISTER KEPERAWATAN PEMINATAN GAWAT DARURAT

    FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS BRAWIJAYA

    MALANG 2017

  • ANALISIS FAKTOR YANG MEMPENGARUHI BEHAVIORAL INTENTION MAHASISWA S1 KEPERAWATAN SEBAGAI BYSTANDER

    CARDIOPULMONARY RESUSCITATION (CPR) PADA PENANGANAN OUT OF HOSPITAL CARDIAC

    ARREST (OHCA) DI KOTA MALANG

    TESIS

    Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Magister

    Oleh: Suis Galischa Wati 156070300111018

    PROGRAM MAGISTER KEPERAWATAN PEMINATAN GAWAT DARURAT

    FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS BRAWIJAYA

    MALANG 2017

    i

  • JUDUL TESIS:

    “ANALISIS FAKTOR YANG MEMPENGARUHI BEHAVIORAL INTENTION

    MAHASISWA S1 KEPERAWATAN SEBAGAI BYSTANDER CARDIOPULMONARY

    RESUSCITATION (CPR) PADA PENANGANAN OUT OF HOSPITAL CARDIAC

    ARREST (OHCA) DI KOTA MALANG”

    Nama Mahasiswa : Suis Galischa Wati

    NIM : 156070300111018

    Program Studi : Magister Keperawatan

    Minat : Keperawatan Gawat Darurat

    KOMISI PEMBIMBING:

    Ketua : Dr. Titin Andri Wihastuti, S.Kp., M.Kes

    Anggota 1 : Ns. Tina Handayani Nasution, S.Kep., M.Kes

    TIM DOSEN PENGUJI:

    Dosen Penguji 1 : Dr. dr. Sri Poeranto, Sp. Par. K., M.Kes

    Dosen Penguji 2 : Dr. Ahsan, S.Kp., M.Kes

    Tanggal Ujian : 27 Juli 2017

    SK Penguji :

  • RIWAYAT HIDUP

    Suis Galischa Wati. Yogyakarta, 06 Oktober 1991. Anak kedua dari Bapak HD.

    Sumarno dan Ibu Supartinah. Lulus Sekolah Dasar dari SD N Gentan I pada tahun 2003.

    Lulus dari SMP N 8 Yogyakarta tahun 2006 dan lulus dari SMA N 6 Yogyakarta pada

    tahun 2009. Melanjutkan pendidikan S1 Keperawatan di Fakultas Kedokteran Universitas

    Gadjah Mada lulus pada tahun 2013, kemudian melanjutkan pendidikan Profesi Ners di

    institusi yang sama. Pada tahun 2015 melanjutkan Program Magister Keperawatan

    Peminatan Gawat Darurat di Fakultas Kedokteran Universitas Brawijaya Malang.

    Malang, 21 Juli 2017

    Malang, 21 Juli 2017

  • “ Fainnama’al usri yusro…Innama’al usri yusro”

    Sesungguhnya setelah kesulitan itu ada kemudahan

    Setelah kesulitan itu ada kemudahan……

    Ucapan terimakasih yang tak berujung saya panjatkan kehadirat Allah SWT atas

    kemudahan, kelancaran, nikmat dan karunianya sehingga saya dapat

    menyelesaikan penyusunan tesis ini tepat waktu

    (Fabiayyi ala irobbikuma tukadziban…Maka nikmat Tuhan mu yang manakah yang

    kamu dustakan... ).

    Teruntuk ayah dan ibundaku tercinta yang tanpa lelah terus memberi semangat dan

    doa bagi putrinya untuk dapat mewujudkan cita-citanya.

    Teruntuk kakak ku, calon pendamping hidupku, para dosen pembimbing dan para

    sahabat pejuang magister keperawatan FKUB yang aku sayangi…

    tiada kata lain yang dapat saya sampaikan kecuali….

    terimakasih…terimakasih…dan terimakasih

  • ANALYSIS OF FACTORS AFFECTING BEHAVIORAL INTENTION OF NURSINGSTUDENT AS BYSTANDER CARDIOPULMONARY RESUSCITATION (CPR) ON

    HANDLING OUT OF HOSPITAL CARDIAC ARREST (OHCA) IN MALANG

    Suis Galischa Wati¹, Titin Andri Wihastuti2,Tina Handayani Nasution3

    1Master of Nursing Student of Medical Faculty, Brawijaya University, Malang Indonesia2,3Department of Nursing, Medical Faculty, Brawijaya University, Malang Indonesia

    ABSTRACT

    The incident of Out of Hospital Cardiac Arrest (OHCA) increased every year. One of effort toreduce the death rate due to the incident is by increasing the number of bystander CPR. Besidesof a good knowledge and skill about CPR, according to the Theory of Planned Behavior thetendency of someone for willing or unwilling to behave as a bystander CPR is strongly influencedby their behavioral intention. The aims of this research was to analyze various factors thatinfluence behavioral intention of nursing students to be a bystander CPR. This was a quantitativeresearch with cross sectional approach. As a sample of this study were 108 students from variousnursing institution in Malang. Univariat analysis was used to know the description of each variable,Chi-Square test was used to investigated the relationship between each variable and logisticregression analysis was used to identify the most dominant factor in influencing behavioralintention. The Chi-Square test showed that the p-Value of relationship between independentvariable and behavioral intention were: age p=0,228, OR=1,878; gender: p=0,044, OR=2,537;experience CPR: p=0,213, OR=1,984; knowledge: p=0,013, OR=2,662; attitude: p=0,000,OR=6,333; subjective norm: p=0,000, OR=8,143 and self-efficacy: p=0,000, OR=4,636.Furthermore, multivariate analysis with logistic regression showed the following result: gender:p=0,037, OR=3,827; attitude: p=0,004, OR=5,279; subjective norm: p=0.001, OR=5.824 andself-efficacy: p=0.001, OR=5.709. This study revealed that there were significant relationshipbetween gender, knowledge, attitude, subjective norms and self-efficacy with behavioral intention.Gender, attitude, subjective norms and self-efficacy are predictor factors that can be used topredict behavioral intention, where subjective norms is the most dominant predictor factor whichinfluencing behavioral intention in nursing students to act as bystander CPR on handling OHCA.

    Keyword: Bystander Cardiopulmonary Resuscitation (CPR), Behavioral Intention, Theory ofPlanned Behavior, Out of Hospital Cardiac Arrest (OHCA)

  • ANALISIS FAKTOR YANG MEMPENGARUHI BEHAVIORAL INTENTIONMAHASISWA S1 KEPERAWATAN SEBAGAI BYSTANDER CARDIOPULMONARYRESUSCITATION (CPR) PADA PENANGANAN OUT OF HOSPITAL CARDIAC

    ARREST (OHCA) DI KOTA MALANG

    Suis Galischa Wati¹, Titin Andri Wihastuti2,Tina Handayani Nasution3

    1Mahasiswa Program Studi Magister Keperawatan Fakultas Kedokteran Universitas Brawijaya2,3Staf Pengajar Fakultas Kedokteran Universitas Brawijaya

    ABSTRAK

    Angka kematian akibat henti jantung di luar rumah sakit atau Out of Hospital Cardiac Arrest(OHCA) semakin meningkat setiap tahunnya. Salah satu upaya yang dapat dilakukan untukmenekan angka kematian tersebut adalah dengan meningkatkan jumlah bystander CPR. MenurutTheory of Planned Behavior disamping pengetahuan dan keterampilan yang baik tentang CPR,kecenderungan pengambilan keputusan seseorang untuk bersedia atau tidak bersediaberperilaku sebagai bystander CPR sangat dipengaruhi oleh behavioral intention yang dimiliki.Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menganalisis berbagai faktor yang mempengaruhibehavioral intention mahasiswa S1 keperawatan dalam berperan sebagai bystander CPR.Penelitian ini merupakan jenis penelitian kuantitatif dengan pendekatan cross sectional. Sebagairesponden adalah mahasiswa dari berbagai Program Studi Ilmu Keperawatan di Kota Malangsebanyak 108 orang. Untuk mengetahui gambaran masing-masing variabel digunakan analisisunivariat, untuk mengetahui hubungan antar variabel digunakan uji Chi-Square dan untukmengetahui faktor yang paling dominan dalam mempengaruhi behavioral intention digunakananalisis regresi logistik. Hasil uji Chi-Square menunjukan p-Value sebagai berikut: usia p=0,228,OR=1,878; jenis kelamin p=0,044, OR=2,537; pengalaman CPR p=0,213, OR=1,984;pengetahuan p=0,013, OR=2,662; sikap p=0,000, OR=6,333; norma subyektif p=0,000,OR=8,143 dan efikasi diri p=0,000, OR=4,636. Selanjutnya analisis regresi logistik menunjukanhasil sebagai berikut: jenis kelamin: p=0,037, OR=3,827; sikap: p=0,004, OR=5,279; normasubyektif: p=0,001, OR=5,824 dan efikasi diri p=0,001, OR = 5,709. Berdasarkan hasil tersebutdapat disimpulkan bahwa terdapat hubungan yang bermakna antara jenis kelamin, pengetahuan,sikap, norma subyektif dan efikasi diri dengan behavioral intention. Jenis kelamin, sikap, normasubyektif dan efikasi diri merupakan faktor prediktor yang dapat digunakan untuk memprediksibehavioral intention, dimana norma subyektif merupakan faktor prediktor paling dominan dalammempengaruhi behavioral intention mahasiswa S1 keperawatan untuk berperan sebagaibystander CPR pada penanganan OHCA.

    Kata Kunci: Bystander Cardiopulmonary Resuscitation (CPR), Behavioral Intention, Theory ofPlanned Behavior, Out of Hospital Cardiac Arrest (OHCA)

  • KATA PENGANTAR

    Dengan memanjatkan puji syukur ke hadirat Allah SWT atas limpahan rahmat dan

    hidayah-Nya penulis dapat menyelesaikan penyusunan tesis yang berjudul “Analisis Faktor

    yang Mempengaruhi Behavioral Intention Mahasiswa S1 Keperawatan Sebagai Bystander

    Cardiopulmonary Resuscitation (CPR) pada Penanganan Out of Hospital Cardiac Arrest

    (OHCA) di Kota Malang”. Dengan selesainya penyusunan tesis ini penulis menyampaikan

    ucapan terimakasih yang sebesar-besarnya kepada:

    1. Dr. dr. Sri Andarini, M.Kes, selaku Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Brawijaya yang

    telah memberikan kesempatan untuk mengenyam pendidikan di Fakultas Kedokteran

    Universitas Brawijaya.

    2. Dr. Titin Andri Wihastuti, S.Kp., M.Kes selaku Ketua Program Studi Magister Keperawatan

    Fakultas Kedokteran Universitas Brawijaya sekaligus pembimbing I, atas bimbingan dan

    arahannya terkait dengan ide dan konsep penelitian sehingga penulis dapat

    menyelesaikan penyusunan tesis ini.

    3. Dr. dr. Sri Poeranto, Sp. Par. K., M.Kes selaku penguji I yang telah bersedia meluangkan

    waktu untuk hadir serta memberikan arahan dan masukan guna penyempurnaan tesis ini.

    4. Dr. Ahsan, S.Kp., M.Kes selaku penguji II atas kesediaannya untuk hadir, memberikan

    saran serta arahan dalam penyusunan tesis ini.

    5. Ns. Tina Handayani Nasution, S.Kep., M.Kep, selaku pembimbing II yang telah banyak

    memberikan bimbingan dan arahan dalam penyusunan dan penulisan tesis ini.

    6. Seluruh Institusi S1 Keperawatan di Wilayah Kota Malang yang terlibat dalam proses

    penelitian ini, serta segenap pihak yang turut serta membantu dalam penyusunan tesis ini.

    Sangat disadari bahwa penyusunan tesis ini masih jauh dari sempurna, oleh karena itu

    penulis mengharapkan saran yang bersifat membangun guna penyempurnaan tesis ini dan

    dapat memberikan manfaat bagi kemajuan ilmu pengetahuan khususnya dalam bidang

    keperawatan

    Malang, 21 Juli 2017

    Penulis

    v

  • DAFTAR ISI

    HALAMAN JUDUL ………………………………………………………. i

    LEMBAR PENGESAHAN ……………………………………………… ii

    PERNYATAAN ORISINALITAS ……………………………………………… iii

    IDENTITAS TIM PENGUJI ……………………………………………… iv

    KATA PENGANTAR ………………………………………………………. v

    RINGKASAN ………………………………………………………. vi

    SUMMARY ……………………………………………… vii

    DAFTAR ISI ……………………………………………………….. viii

    DAFTAR TABEL ………………………………………………………. ix

    DAFTAR GAMBAR ………………………………………………………. x

    DAFTAR LAMPIRAN ………………………………………………………. xi

    DAFTAR SINGKATAN ………………………………………………………. xii

    BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang ……………………………………………… 1 1.2 Rumusan Masalah ……………………………………………… 7 1.3 Tujuan Penelitian ……………………………………………… 7 1.4 Manfaat Penelitian ……………………………………………… 8

    BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Out of Hospital Cardiac Arrest (OHCA) …………………… 11

    2.1.1 Pengertian ……………………………………………... 11 2.1.2 Faktor Risiko ……………………………………………... 11 2.1.3 Patofisiologi ……………………………………………... 13 2.1.4 Tanda dan Gejala …………………………………….. 15 2.1.5 Penatalaksanaan …………………………………….. 16

    2.2 Bystander Cardiopulmonary Resuscitation (CPR) .…………. 25 2.2.1 Pengertian ……………………………………………... 25 2.2.2 Peran Bystander CPR …………………………………….. 25 2.2.3 Kompetensi Bystander CPR ……………………………. 28

    2.3 Mahasiswa Strata-1 (S1) Keperawatan ………………….... 29 2.3.1 Pengertian ……………………………………………... 29 2.3.2 Tujuan Penyelenggaraan Pendidikan Keperawatan ……... 30

    Profesional 2.3.3 Kompetensi Sarjana Keperawatan ………………….... 31

    viii

  • 2.4 Behavioral Intention ……………………………………………... 34 2.4.1 Pengertian ……………………………………………... 34 2.4.2 Aspek-aspek Intensi …………………………………….. 36 2.4.3 Faktor yang Mempengaruhi Behavioral Intention ………… 37

    Berdasarkan Theory of Planned Behavior 2.4.3 Faktor Lain yang Mempengaruhi Behavioral Intention ….. 57 2.4.5 Pengukuran Behavioral Intention …………………… 65

    2.5 Maping Jurnal ……………………………………………... 71 2.6 Kerangka Teori ……………………………………………... 78

    BAB 3 KERANGKA KONSEP DAN HIPOTESIS PENELITIAN 3.1 Kerangka Konsep Penelitian …………………………………….. 79 3.2 Hipotesis Penelitian ……………………………………………… 79

    BAB 4 METODOLOGI PENELITIAN 4.1 Jenis dan Rancangan Penelitian ……………………………. 81 4.2 Tempat dan Waktu Penelitian …………………………………….. 81 4.3 Populasi, Sampel dan Teknik Sampling …………………… 82 4.4 Variabel Penelitian ……………………………………………... 84 4.5 Definisi Operasional ……………………………………………... 85 4.6 Instrumen Penelitian ……………………………………………… 87 4.7 Uji Validitas dan Reliabilitas …………………………………...... 92 4.8 Prosedur Pengumpulan Data dan Alur Penelitian …………... 95 4.9 Pengolahan Data …………………………………………..…. 97 4.10 Analisis Data ……………………………………………… 98 4.11 Etika Penelitian ………………………………………..……. 100

    BAB 5. HASIL PENELITIAN DAN ANALISIS DATA 5.1 Analisis Univariat ……………………………………………… 103 5.2 Analisis Bivariat ……………………………………………… 107 5.3 Analisis Multivariat ……………………………………………… 112

    BAB 6. PEMBAHASAN 6.1 Diskusi Hasil Penelitian …………………….. …………...... 119

    6.1.1 Hubungan Usia dengan Behavioral Intention ………..…. 119 6.1.2 Hubungan Jenis Kelamin dengan Behavioral Intention ….. 122 6.1.3 Hubungan Pengalaman dengan Behavioral Intention …….. 126 6.1.4 Hubungan Pengetahuan dengan Behavioral Intention ….. 129 6.1.5 Hubungan Sikap dengan Behavioral Intention …………... 132 6.1.6 Hubungan Norma Subyektif dengan Behavioral Intention ... 137 6.1.7 Hubungan Efikasi Diri dengan Behavioral Intention ………. 141 6.1.8 Faktor Paling Dominan Mempengaruhi Behavioral Intention 144

    6.2 Keterbatasan Penelitian …………………………………….. 148 6.3 Implikasi Keperawatan …………………………………….. 149

    BAB 7. KESIMPULAN DAN SARAN 7.1 Kesimpulan ……………………………………………… 151 7.2 Saran ……………………………………………… 152

  • DAFTAR PUSTAKA

    LAMPIRAN-LAMPIRAN

  • DAFTAR GAMBAR

    Gambar 2.1 Ventrikel Fibrilasi (AHA, 2010) ……………………………………… 13

    Gambar 2.2 Ventrikel Takhikardi (AHA, 2010) …………………………….. 14

    Gambar 2.3 Pulseless Electrical Activity (AHA, 2010) ……………………. 14

    Gambar 2.4 Asistole (AHA, 2010) …………………………………………….... 15

    Gambar 2.5 Bagan alur layanan kegawatdaruratan di Indonesia …………….. 17 (Depkes RI, 2013)

    Gambar 2.6 Empat langkah penting yang harus dikuasai oleh bystander ..… 28

    dalam melakukan CPR (Sasson et al., 2013)

    Gambar 2.7 Bagan kerangka intention focused model for bystander …………… 56 CPR performance based on Theory of Planned Behavior (Panchal et al., 2015)

    Gambar 2.8 Bagan Kerangka Teori ………………………………………………. 78

    Gambar 3.1 Bagan Kerangka Konsep Penelitian ……………………………... 79

    Gambar 4.1 Bagan alur penelitian analisis faktor yang mempengaruhi …… 97 intensi mahasiswa S1 keperawatan sebagai bystander CPR pada penanganan OHCA

    x

  • DAFTAR TABEL

    Tabel 2.1 Maping Jurnal ………………………………………………………. 71

    Tabel 4.1 Definisi Operasional ……………………………………………… 85

    Tabel 4.2 Distribusi butir pertanyaan aspek pengetahuan tentang …………... 87 Cardiopulmonary Resuscitation (CPR)

    Tabel 4.3 Kisi-kisi instrumen kuesioner sikap terhadap …………………… 88 Cardiopulmonary Resuscitation (CPR)

    Tabel 4.4 Pemberian skor sikap pada jawaban dengan skala ………….. 89 likert pada Cardiopulmonary Resuscitation (CPR)

    Tabel 4.5 Kisi-kisi instrumen norma subyektif responden …………………… 89 terkait tindakan Cardiopulmonary Resuscitation (CPR)

    Tabel 4.6 Pemberian skor norma subyektif pada jawaban dengan …………... 90 skala likert pada Cardiopulmonary Resuscitation (CPR)

    Tabel 4.7 Kisi-kisi instrumen kuesioner efikasi diri dalam …………………… 90 melakukan Cardiopulmonary Resuscitation (CPR)

    Tabel 4.8 Pemberian skor efikasi diri pada jawaban dengan skala …………… 91 likert pada Cardiopulmonary Resuscitation (CPR)

    Tabel 4.9 Kisi-kisi instrumen kuesioner behavioral intention …………… 92 untuk melakukan Cardiopulmonary Resuscitation (CPR)

    Tabel 4.10 Pemberian skor behavioral intention pada jawaban ………....... 92

    dengan skala likert pada Cardiopulmonary Resuscitation (CPR) Tabel 5.1 Distribusi Frekuensi Karakteristik Responden Berdasarkan ………... 103

    Usia

    Tabel 5.2 Karakteristik Responden Berdasarkan Jenis Kelamin …………… 103

    Tabel 5.3 Karakteristik Responden Berdasarkan Pengalaman ………….... 104 Cardiopulmonary Resuscitation (CPR) pada Kasus Nyata

    Tabel 5.4 Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Pengetahuan ……….. 105 tentang Cardiopulmonary Resuscitation (CPR)

    Tabel 5.5 Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan ……………………. 105 Sikap tentang Cardiopulmonary Resuscitation (CPR)

    ix

  • Tabel 5.6 Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Norma …………… 106

    Subyektif tentang Cardiopulmonary Resuscitation (CPR)

    Tabel 5.7 Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Efikasi …………... 106

    Diri tentang Cardiopulmonary Resuscitation (CPR)

    Tabel 5.8 Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan …………………… 107

    Behavioral Intention Untuk Berperan Sebagai

    Bystander Cardiopulmonary Resuscitation (CPR)

    Tabel 5.9. Hubungan Usia dengan Behavioral Intention ………………….... 107

    Mahasiswa S1 Keperawatan sebagai Bystander

    Cardiopulmonary Resuscitation (CPR)

    Tabel 5.10. Hubungan Jenis Kelamin dengan Behavioral ………………….. 108

    Intention Mahasiswa S1 Keperawatan sebagai

    Bystander Cardiopulmonary Resuscitation (CPR)

    Tabel 5.11 Hubungan Pengalaman Melakukan Cardiopulmonary…………. 109

    Resuscitation (CPR) pada Kasus Nyata dengan Behavioral

    Intention Mahasiswa S1 Keperawatan sebagai Bystander

    Tabel 5.12 Hubungan Pengetahuan tentang Cardiopulmonary …………….. 109

    Resuscitation (CPR) dengan Behavioral Intention

    Mahasiswa S1 Keperawatan sebagai Bystander

    Tabel 5.13 Hubungan Sikap dengan Behavioral Intention ………………….. 110

    Mahasiswa S1 Keperawatan sebagai Bystander

    Tabel 5.14 Hubungan Norma Subyektif dengan Behavioral ……………...... 111

    Intention Mahasiswa S1 Keperawatan sebagai

    Bystander Cardiopulmonary Resuscitation (CPR)

    Tabel 5.15 Hubungan Efikasi Diri dengan Behavioral Intention ……………. 112

    Mahasiswa S1 Keperawatan sebagai Bystander

    Tabel 5.16 Hasil Analisis Bivariat ……………………………………………... 112

    Tabel 5.17 Hasil Analisis Multivariat Regresi Logistik Faktor-faktor ……….. 113

    yang Mempengaruhi Behavioral Intention Mahasiswa S1

    Keperawatan sebagai Bystander Cardiopulmonary

    Resuscitation (CPR)

  • Tabel 5.18 Hasil Uji Hosmer dan Lameshow ……………………………….. 117

    Tabel 5.19 Hasil Uji Kurva ROC ……………………………………………. 118

  • DAFTAR LAMPIRAN

    Lampiran 1 Pengantar Kuesioner ……………………………………..... 165

    Lampiran 2 Lembar persetujuan menjadi responden …………….. 166

    Lampiran 3 Kuesioner data demografi responden ……………………... 167

    Lampiran 4 Kuesioner pengetahuan tentang CPR ……………………… 168

    Lampiran 5 Kuesioner sikap terhadap CPR ………………………………. 172

    Lampiran 6 Kuesioner efikasi diri terkait CPR ……………………… 174

    Lampiran 7 Kuesioner norma subyektif terkait CPR ……………………… 176

    Lampiran 8 Kuesioner behavioral intention…………….………………...... 178 melakukan tindakan CPR

    Lampiran 9 Hasil uji validitas dan reliabilitas ………………………………. 181 Lampiran 10 Hasil statistik deskriptif ……………………………………….. 184 Lampiran 11 Hasil analisis data ……………………………………….. 186 Lampiran 12 Surat ijin penelitian, etik, bukti submit ……………………… 202

    uji plagiasi dan lembar konsultasi Lampiran 13 Manuskrip ………………………………………………… 222 Lampiran 14 Daftar Riwayat Hidup ……………………………………….. 223

    xi

  • DAFTAR SINGKATAN

    AED : Automated External Defibrillator

    AHA : American Heart Association

    AIPNI : Asosiasi Institusi Pendidikan Ners Indonesia

    ALS : Advance Life Support

    AMI : Akut Miokard Infark

    AS : Agak Setuju

    ATA : Affect Toward The Act

    ATS : Agak Tidak Setuju

    ATY : Agak Tidak Yakin

    AV : Atrio Ventricular

    AY : Agak Yakin

    BHF : British Health Foundation

    BLS : Basic Life Support

    BRS-SES : Basic Resuscitation Skills Self Efficacy Scale

    CC : Chest Compression

    CDC : Center for Disease Control and Prevention

    CPR : Cardiopulmonary Resuscitation

    DEPKES RI : Departemen Kesehatan Republik Indonesia

    DNAR : Do not Attempt Resuscitation

    ECC : Emergency Cardio Vascular Care

    EKG : Elektro Kardio Grafi

    EMS : Emergency Medical Service

    EMT : Emergency Medical Technician

    ICU : Intensive Care Unit

    IGD : Instalasi Gawat Darurat

    IO : Intra Oseus

    KBBI : Kamus Besar Bahasa Indonesia

    KKNI : Kerangka Kualifikasi Nasional Indonesia

    OHCA : Out of Hospital Cardiac Arrest

    OR : Odds Rasio

    PBC : Perceived Behavioral Control

    xii

  • PEA : Pulseless Electrical Activity

    PNB : Personal Norm

    PSIK : Program Studi Ilmu Keperawatan

    PUSDATIN : Pusat Data dan Informasi

    RS : Rumah Sakit

    S : Setuju

    S1 : Strata Satu

    SARS : Severe Acute Respiratory Syndrom

    SCA : Suddent Cardiac Arrest

    SPGDT : Sistem Penanggulangan Gawat Darurat Terpadu

    SPGDT-B : Sistem Penanggulangan Gawat Darurat Terpadu Bencana

    SPGDT-S : Sistem Penanggulangan Gawat Darurat Terpadu Sehari-hari

    SS : Sangat Setuju

    STEMI : ST Elevasi Miokard Infark

    STIKES : Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan

    SY : Sangat Yakin

    STS : Sangat Tidak Setuju

    STY : Sangat Tidak Yakin

    TPB : Theory of Planned Behavior

    TRA : Theory of Reasoned Action

    TS : Tidak Setuju

    TSG : The Sottish Government

    TY : Tidak Yakin

    VF : Ventrikel Fibrilasi

    VT : Ventrikel Takhikardi

    WHO : World Health Organization

    WPW : Wolf Parkinson White Syndrom

    Y : Yakin

  • 1

    BAB 1

    PENDAHULUAN

    1.1 Latar Belakang

    Data dari World Health Organization (WHO) pada tahun 2012 menunjukkan

    bahwa saat ini telah terjadi perubahan pola penyakit dari penyakit menular ke

    penyakit tidak menular. Departemen Kesehatan Republik Indonesia (Depkes RI)

    tahun 2014 dalam surveinya menyebutkan bahwa 29% kematian penduduk di negara

    dengan tingkat ekonomi lemah dan menengah serta 13% kematian penduduk di

    negara maju disebabkan oleh penyakit tidak menular, salah satu penyakit tidak

    menular yang turut menyumbang tingginya angka kematian tersebut adalah penyakit

    kardiovaskuler.

    Pusat Data dan Informasi Kementerian Kesehatan Republik Indonesia

    (PUSDATIN) tahun 2013 menyebutkan bahwa penyakit kardiovaskuler merupakan

    penyebab kematian nomor satu secara global. Berdasarkan diagnosis dokter dan

    gejala yang muncul prevalensi penderita penyakit jantung koroner di Indonesia

    mencapai 2.650.340 orang, sedangkan penderita gagal jantung mencapai 229.696

    orang. Dari kedua kasus tersebut Provinsi Jawa Timur menempati urutan pertama

    dengan jumlah penderita jantung koroner sebanyak 375.127 dan penderita gagal

    jantung mencapai 54.826 orang, dimana menurut Green et al. (2011) kedua penyakit

    tersebut berisiko tinggi mengakibatkan henti jantung secara tiba-tiba pada

    penderitanya.

    American Heart Association (AHA) tahun 2015 menyebutkan bahwa angka

    kematian akibat henti jantung secara tiba-tiba rata-rata mencapai 350.000 orang

    setiap tahunnya, dimana mayoritas kematian terjadi akibat henti jantung di luar rumah

  • 2

    sakit atau Out of Hospital Cardiac Arrest (OHCA). Centers for Disease Control and

    Prevention (CDC) dalam surveinya pada Oktober 2005 sampai dengan Desember

    2010 menyebutkan bahwa kejadian OHCA di United States mencapai 31.689 kasus

    (Bryan et al., 2011), dimana dari seluruh kejadian tersebut hanya 33,3% saja yang

    memperoleh bantuan CPR dari bystander (Sasson et al., 2013). Menurut Hock (2014)

    angka kejadian OHCA di beberapa negara di wilayah Asia Pasifik termasuk

    Indonesia mencapai 60.000 kejadian dalam 3 tahun terakhir. Di Indonesia sampai

    dengan saat ini belum terdapat data yang spesifik mengenai angka kejadian OHCA,

    namun data dari Depkes RI tahun 2006 menyebutkan bahwa prevalensinya

    diperkirakan mencapai 10 ribu warga pertahun yang artinya terdapat kurang lebih 30

    kejadian OHCA setiap harinya.

    Tingginya angka kejadian OHCA tersebut menyadarkan kita bahwa layanan

    terpadu bagi kegawatdaruratan jantung di luar rumah sakit sangatlah diperlukan.

    Untuk meminta bantuan dan menunggu sampai dengan tenaga medis datang,

    diperlukan waktu yang tidak sebentar, padahal survival rate penderita OHCA terus

    berkurang 7-10% setiap menitnya. Salah satu upaya yang dapat dilakukan untuk

    meningkatkan survival rate penderita OHCA adalah dengan mengoptimalkan chain of

    survival termasuk di dalamnya tindakan Cardiopulmonary Resuscitation (CPR) (Chair

    et al., 2014).

    Saat ini Amerika, Eropa dan beberapa negara di Asia seperti Jepang,

    Hongkong, China, Korea, Taiwan dan Singapura tengah mengembangkan sistem

    kegawatdaruratan pra-rumah sakit dengan melatih mahasiswa kesehatan dan

    masyarakat awam sebagai bystander CPR (Cave et al., 2011). Sistem penanganan

    kegawatdaruratan atau Emergency Medical Service (EMS) di Indonesia saat ini lebih

    dikenal dengan istilah Sistem Penanggulangan Gawat Darurat Terpadu (SPGDT)

  • 3

    (Kemenkes, 2013). Namun, sampai dengan saat ini sistem tersebut belum berjalan

    dengan baik. Menurut Boyle et al. (2016) EMS di Indonesia belum sebaik Australia,

    New Zealand, Inggris dan Amerika. Meskipun Kementerian kesehatan telah

    mempublikasikan 119 sebagai nomor layanan kegawatdaruratan di Indonesia, hal

    tersebut tidak menjamin ambulance akan datang tepat waktu ke tempat kejadian

    dengan berbagai alasan seperti: pengalihan panggilan darurat dari call center ke

    rumah sakit yang tepat, keterbatasan infrastruktur, keterbatasan sumber daya yang

    dapat mengelola situasi darurat serta keterbatasan pengetahuan masyarakat tentang

    bagaimana cara mengakses layanan kegawatdaruratan.

    Mengacu pada permasalahan tersebut maka salah satu upaya yang dapat kita

    lakukan dalam rangka memperbaiki kualitas layanan kesehatan pra-rumah sakit dan

    meningkatkan survival rate penderita OHCA di Indonesia adalah dengan

    mengoptimalkan peran serta mahasiswa kesehatan. Sebagai mahasiswa yang telah

    dibekali pengetahuan tentang kesehatan, harapannya mahasiswa telah memiliki

    bekal pengetahuan dan keterampilan CPR disertai kesadaran yang tinggi tentang

    pentingnya melakukan pertolongan segera pada henti jantung dibandingkan

    mahasiswa dari bidang keilmuan lain atau orang awam pada umumnya (Szarpak,

    2013). Salah satu mahasiswa kesehatan dengan jumlah terbanyak dibandingkan

    dengan mahasiswa kesehatan lainnya adalah mahasiswa keperawatan (Mattox,

    2012).

    Menurut Kurikulum Inti Pendidikan Ners oleh AIPNI (2010) dan AIPNI (2015)

    materi tentang CPR pada kegawatdaruratan jantung merupakan salah satu

    kompetensi yang harus dikuasai oleh mahasiswa S1 keperawatan. Menurut Sharma

    dan Attar (2012) pengetahuan dan keterampilan tentang CPR merupakan determinan

    mayor yang menentukan suksesnya proses resusitasi, sehingga mahasiswa

  • 4

    keperawatan diharapkan dapat berperan serta sebagai bystander CPR. Individu yang

    pernah mendapatkan pelatihan CPR cenderung memiliki tingkat percaya diri yang

    lebih tinggi dibandingkan dengan yang belum pernah mendapatkan sebelumnya

    (Cho et al., 2010).

    Taniguchi et al. (2007) pada penelitiannya di Jepang menyebutkan bahwa

    ternyata tidak semua orang yang memiliki pengetahuan dan keterampilan tentang

    CPR bersedia berperan sebagai bystander CPR. Dari 70% responden yang telah

    mendapatkan pelatihan CPR hanya 10-30% yang bersedia melakukan CPR. Chew

    dan Yazid (2008) pada penelitiannya terhadap mahasiswa kesehatan di Malaysia

    menyatakan bahwa hanya 51,4% mahasiswa kedokteran umum dan 45,5%

    mahasiswa kedokteran gigi yang bersedia berperan sebagai bystander CPR.

    Penelitian Omi et al. (2008) menunjukkan dari 59% orang yang telah mendapatkan

    pelatihan CPR, hanya 35% saja yang bersedia menjadi bystander CPR. Begitupula

    penelitian yang dilakukan oleh Ozbilgin et al. (2015) di Turki dari 40,3% responden

    yang telah mendapatkan pelatihan CPR, 41,5% memiliki pengetahuan yang cukup

    tentang prosedur CPR dan 18,6% responden pernah menjumpai kejadian OHCA,

    namun hanya 2,4% saja yang bersedia melakukan CPR dimana 78% diantaranya

    menyatakan ragu-ragu dan takut akan berbuat kesalahan jika melakukan CPR.

    Oleh sebab itu Hazinski (2010) dan Liew et al. (2015) menyatakan bahwa

    disamping pengetahuan dan keterampilan yang baik tentang CPR, behavioral

    intention untuk berperan sebagai bystander CPR merupakan faktor yang tidak kalah

    penting dalam mempengaruhi kecenderungan seseorang melakukan CPR. CPR

    yang berkualitas dapat tercipta apabila seseorang memiliki pengetahuan dan

    keterampilan yang cukup didorong dengan adanya behavioral intention untuk

    melakukan CPR, dimana behavioral intention diartikan sebagai suatu kesediaan,

  • 5

    kondisi kesiapan serta kecenderungan seseorang untuk melakukan suatu tindakan

    tertentu (Panchal et al., 2015).

    Menurut Theory of Planned Behavior oleh Ajzen (1991) behavioral intention

    seseorang dalam melakukan CPR dipengaruhi oleh tiga faktor utama, yakni: sikap,

    norma subyektif dan kontrol perilaku atau efikasi diri. Behavioral intention juga dapat

    dipengaruhi oleh faktor lain seperti: usia, jenis kelamin, pengalaman dan

    pengetahuan tentang CPR (Panchal et al., 2015). Godin et al. (2008) dan Hoffman et

    al. (2013) menyatakan bahwa teori ini cukup aplikatif untuk digunakan dalam

    memprediksi kecenderungan perilaku kesehatan pada mahasiswa maupun tenaga

    kesehatan.

    Malang merupakan salah satu kota di Provinsi Jawa Timur dengan jumlah

    penduduk mencapai 847.175 jiwa, dimana menurut Profil Kesehatan Kota Malang

    oleh Dinas Kesehatan Kota Malang (2014) penyakit kardiovaskuler termasuk dalam

    sepuluh besar penyakit yang banyak diderita oleh penduduknya, sehingga risiko

    terjadinya OHCA sangat mungkin terjadi. Data dari RSUD. Syaiful Anwar

    menyebutkan bahwa pada bulan Maret 2012 terdapat 46 kejadian kematian secara

    mendadak yang terjadi di luar rumah sakit. 3 diantaranya diidentifikasi sebagai

    kejadian OHCA dan mendapatkan pertolongan dari bystander CPR. Dari 3 korban

    henti jantung yang mendapatkan pertolongan tersebut 2 diantaranya berhasil kembali

    ke sirkulasi spontan, sedangkan 45 kejadian lainnya tidak diketahui penyebabnya

    secara pasti karena korban telah meninggal dunia ketika tenaga kesehatan sampai

    ke lokasi kejadian (Haedar, 2012). Malang juga merupakan kota dengan jumlah

    mahasiswa keperawatan yang cukup besar. Saat ini terdapat 9 institusi pendidikan

    keperawatan dengan institusi pendidikan strata satu (S1) dan ners sebanyak 6

    institusi.

  • 6

    Berdasarkan studi pendahuluan yang telah dilakukan diketahui bahwa di

    Program Studi Ilmu Keperawatan (PSIK) Fakultas Kedokteran Universitas Brawijaya

    dan Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan (STIKES) Widyagama Husada materi tentang

    CPR diajarkan pada mahasiswa S1 keperawatan di semester 6. Di PSIK Universitas

    Tribhuwana Tunggadewi dan STIKES Kendedes diajarkan pada semester 7

    sedangkan di PSIK STIKES Maharani diberikan pada semester 5. Total jumlah

    mahasiswa yang telah mendapatkan pengetahuan dan keterampilan tentang CPR

    dari kelima institusi tersebut adalah sebanyak 391 mahasiswa. Akan tetapi

    berdasarkan hasil survei yang dilakukan secara acak pada 50 mahasiswa yang telah

    mendapatkan materi tentang CPR tersebut ternyata 28 (56%) mahasiswa

    menyatakan tidak bersedia melakukan CPR pada OHCA. Hasil tersebut

    menunjukkan bahwa pengetahuan dan keterampilan saja tidak cukup menjamin

    mahasiswa bersedia berperan sebagai bystander CPR, sehingga perlu dilakukan

    upaya untuk menumbuhkan behavioral intention pada mereka untuk berperan

    sebagai bystander CPR, salah satunya dengan mengidentifikasi berbagai faktor yang

    dapat mempengaruhi behavioral intention tersebut.

    Berdasarkan latar belakang tersebut maka peneliti tertarik untuk meneliti lebih

    lanjut mengenai “Analisis Faktor yang Mempengaruhi Behavioral Intention

    Mahasiswa S1 Keperawatan Sebagai Bystander Cardiopulmonary Resuscitation

    (CPR) pada Penanganan Out of Hospital Cardiac Arrest (OHCA) di Kota Malang”

    sebagai salah satu upaya perbaikan dan peningkatan kualitas layananan

    kegawatdaruratan jantung di area pra-rumah sakit, dimana sejauh pengetahuan

    peneliti, penelitian mengenai topik tersebut belum pernah dilakukan di Indonesia

    sebelumnya.

  • 7

    1.2 Rumusan Masalah

    Berdasarkan latar belakang di atas, maka yang menjadi rumusan masalah

    dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

    “Faktor apa sajakah yang mempengaruhi behavioral intention mahasiswa S1

    keperawatan sebagai bystander Cardiopulmonary Resuscitation (CPR) pada

    penanganan Out of Hospital Cardiac Arrest (OHCA) di Kota Malang?”.

    1.3 Tujuan Penelitian

    1.3.1 Tujuan Umum

    Menganalisis faktor yang mempengaruhi behavioral intention

    mahasiswa S1 keperawatan sebagai bystander Cardiopulmonary

    Resuscitation (CPR) pada penanganan Out of Hospital Cardiac Arrest

    (OHCA) di Kota Malang.

    1.3.2 Tujuan Khusus

    1.3.2.1 Menganalisis hubungan antara usia dengan behavioral intention

    mahasiswa S1 keperawatan sebagai bystander CPR pada penanganan

    OHCA.

    1.3.2.2 Menganalisis hubungan antara jenis kelamin dengan behavioral

    intention mahasiswa S1 keperawatan sebagai bystander CPR pada

    penanganan OHCA.

    1.3.2.3 Menganalisis hubungan pengalaman mahasiswa S1 keperawatan

    dalam melakukan CPR pada kasus nyata dengan behavioral intention

    yang dimiliki untuk berperan sebagai bystander CPR pada penanganan

    OHCA.

  • 8

    1.3.2.4 Menganalisis hubungan antara pengetahuan tentang CPR dengan

    behavioral intention mahasiswa S1 keperawatan untuk berperan sebagai

    bystander CPR pada penanganan OHCA.

    1.3.2.5 Menganalisis hubungan antara sikap (attitude) yang dimiliki oleh

    mahasiswa S1 keperawatan dengan behavioral intention yang dimiliki

    untuk berperan sebagai bystander CPR dalam penanganan OHCA.

    1.3.2.6 Menganalisis hubungan antara norma subyektif yang diyakini

    (subjective norm) oleh mahasiswa S1 keperawatan dengan behavioral

    intention yang dimiliki untuk berperan sebagai bystander CPR dalam

    penanganan OHCA.

    1.3.2.7 Menganalisis hubungan antara efikasi diri (self efficacy) yang dimiliki

    oleh mahasiswa S1 keperawatan dengan behavioral intention yang

    dimiliki untuk berperan sebagai bystander CPR dalam penanganan

    OHCA.

    1.3.2.8 Mengidentifikasi faktor yang paling berpengaruh terhadap behavioral

    intention mahasiswa keperawatan sebagai bystander CPR pada

    penanganan OHCA.

    1.4 Manfaat Penelitian

    1. 4.1 Manfaat Teoritis

    Penelitian ini diharapkan mampu menambah keragaman ilmu

    pengetahuan dan wawasan bagi dunia keperawatan khususnya

    keperawatan gawat darurat dalam pelayanan kegawatdaruratan terutama

    pada area pra-rumah sakit dengan menganalisis berbagai faktor yang

  • 9

    mempengaruhi behavioral intention mahasiswa S1 keperawatan untuk

    berperan sebagai bystander CPR.

    1.4.2 Manfaat Praktis

    1.4.2.1 Bagi Peneliti

    Menambah wawasan mengenai berbagai faktor yang

    mempengaruhi behavioral intention mahasiswa keperawatan untuk

    berperan sebagai bystander CPR dalam penanganan OHCA.

    1.4.2.2 Bagi Responden

    Sebagai bahan evaluasi bagi mahasiswa keperawatan dalam upaya

    meningkatkan behavioral intention yang dimilikinya sebagai bystander

    CPR untuk meningkatkan survival rate dan menurunkan angka kematian

    penderita OHCA.

    1.4.2.3 Bagi Profesi Keperawatan

    Sebagai masukan bagi pengembangan profesi keperawatan

    khususnya keperawatan gawat darurat dalam rangka meningkatkan

    kualitas asuhan keperawatan dan survival rate pada penderita OHCA

    dengan mengetahui dan memodifikasi berbagai faktor yang dapat

    mempengaruhi behavioral intention mahasiswa keperawatan sebagai

    bystander untuk melakukan tindakan CPR di area pra-rumah sakit.

    1.4.2.4 Bagi Instansi Terkait

    Sebagai masukan khususnya bagi institusi pendidikan terkait, untuk

    dapat meningkatkan kesadaran mahasiswa keperawatan tentang

    pentingnya tindakan Cardiopulmonary Resuscitation (CPR) serta

    menumbuhkan motivasi dan memberikan dorongan kepada mahasiswa

  • 10

    untuk dapat turut serta berperan sebagai bystander CPR dalam upaya

    mengurangi angka kematian akibat OHCA dengan memodifikasi berbagai

    faktor yang dapat mempengaruhi behavioral intention mahasiswa untuk

    melakukan CPR di area pra-rumah sakit.

    1.4.2.5 Bagi Masyarakat

    Penelitian ini diharapkan mampu meningkatkan pengetahuan

    tentang berbagai faktor yang mempengaruhi kecenderungan perilaku

    seseorang untuk berperan sebagai bystander CPR di lingkungan

    masyarakat dengan harapan masyarakat akan memodifikasi faktor yang

    dapat mempengaruhi behavioral intention sesuai dengan hasil penelitian

    yang dilakukan, sehingga dapat meningkatkan kesediaan masyarakat

    untuk berperan sebagai bystander CPR.

    1.4.2.6 Bagi Peneliti Lain

    Hasil penelitian ini diharapkan mampu dijadikan sebagai bahan

    acuan dan referensi bagi penelitian selanjutnya dengan topik serupa

    terutama dalam upaya meningkatkan kesediaan seseorang untuk

    berperan sebagai bystander CPR pada kasus OHCA.

  • 11

    BAB 2

    TINJAUAN PUSTAKA

    2.1 Out of Hospital Cardiac Arrest (OHCA)

    2.1.1 Pengertian

    Cardiac Arrest atau henti jantung diartikan sebagai kondisi dimana

    jantung seseorang berhenti memompa darah ke seluruh tubuh disertai dengan

    henti nafas (British Health Fondation, 2011). Menurut Buxton et al. (2006) henti

    jantung adalah berhentinya kerja jantung secara mendadak atau Suddent

    Cardiac Arrest (SCA) yang dapat mengakibatkan terjadinya kematian secara

    tiba-tiba. Faiz et al. (2002) mendefinisikan SCA sebagai suatu kondisi dimana

    jantung berhenti berdetak secara tiba-tiba, akibatnya otak dan organ vital

    lainnya tidak menerima pasokan oksigen dan nutrisi yang terkandung dalam

    darah. Berbeda dengan serangan jantung, karena pada penderita serangan

    jantung, jantung tidak berhenti berdetak secara tiba-tiba. Dalam hal ini yang

    dimaksud dengan Out of Hospital Cardiac Arrest (OHCA) adalah kejadian

    henti jantung secara mendadak yang terjadi di luar rumah sakit dan berisiko

    tinggi mengakibatkan kematian, dimana pada kondisi ini aktivitas mekanikal

    jantung berhenti disertai dengan hilangnya respon penderita, tidak terabanya

    nadi dan hilangnya nafas spontan (Jannti, 2010) .

    2.1.2 Faktor Risiko

    Menurut Buxton et al. (2006) terdapat beberapa faktor risiko yang

    diidentifikasi sebagai faktor yang berkaitan erat dengan henti jantung,

    faktor-faktor tersebut diantaranya adalah sebagai berikut:

  • 12

    2.1.2.1 Faktor yang berhubungan dengan jantung

    2.1.2.1.1 Iskemik

    Penyakit jantung koroner diprediksi sebagai penyebab utama

    terjadinya henti jantung secara tiba-tiba, dimana penyakit jantung

    koroner seringkali menyertai penderita diabetes melitus, orang dengan

    kebiasaan merokok dan obesitas, itulah kenapa henti jantung secara

    tiba-tiba sering dijumpai di masyarakat luas tanpa dapat diprediksi.

    Selain itu faktor lain penyebab terjadinya henti jantung yang

    berhubungan dengan iskemik diantaranya adalah: gagal jantung, emboli

    koroner, penyakit inflamasi serta vasospasme (Green et al., 2011) .

    2.1.2.1.2 Penyakit jantung struktural

    Penyakit jantung struktural yang diprediksi sebagai faktor yang

    berkaitan dengan kejadian henti jantung diantaranya adalah:

    kardiomegali yang disertai dengan kematian otot jantung, dilatasi otot

    jantung yang bermanifestasi menjadi gagal jantung, arrhythmogenic

    dysplasia pada ventrikel kanan, takotsubo cardiomyopathy, myocarditis,

    diseksi aorta dan penyakit jantung kongenital (Green et al., 2011).

    2.1.2.1.2 Gangguan kelistrikan jantung

    Penyebab tersering terjadinya henti jantung secara tiba-tiba yang

    berkaitan dengan gangguan kelistrikan jantung diantaranya adalah:

    Ventrikel Fibrilasi (VF), Ventrikel Takikardi (VT), Pulseless Electical

    Activity (PEA), Asistole, Atrioventrikular block (AV block) derajat 3, Wolf

    Parkinson White syndrome (WPW), Brugada syndrome serta penyebab

    idiopatik lainnya atau penyebab yang tidak dapat dijelaskan (Green et

    al., 2011).

  • 13

    2.1.2.2 Faktor yang tidak berhubungan dengan jantung

    2.1.2.2.1 Gangguan elektrolit: hipo atau hiperkalemia, asidosis, gangguan

    pada ginjal serta dialisis.

    2.1.2.2.2 Penyakit neurologis: stroke dan perdarahan subdural

    2.1.2.2.3 Hipoksia

    2.1.2.2.4 Trauma: Commotio Cordis

    2.1.2.2.5 Emboli Pulmonal Masif

    2.1.2.2.6 Interaksi Obat: digoxin, anti-aritmia dan obat-obatan anti-depresan

    2.1.2.2.7 Penyakit infeksi dan sepsis

    2.1.3 Patofisiologi

    Menurut American Heart Association (AHA) tahun 2010 patofisiologi

    terjadinya henti jantung adalah sebagai berikut:

    2.1.3.1 Ventrikel Fibrilasi (VF)

    Merupakan kasus terbanyak yang sering menimbulkan kematian

    mendadak, pada keadaan ini jantung tidak dapat melakukan fungsi

    kontraksinya, jantung hanya mampu bergetar saja. Pada kasus ini

    tindakan yang harus segera dilakukan adalah CPR dan DC shock atau

    defibrilasi.

    Gambar 2.1 Ventrikel Fibrilasi (AHA, 2010)

  • 14

    2.1.3.2 Ventrikel Takikardi (VT)

    Mekanisme penyebab terjadinya Takikardi ventrikel biasanya karena

    adanya gangguan otomatisasi (pembentukan impuls) ataupun akibat

    adanya gangguan konduksi. Frekuensi nadi yang cepat akan

    menyebabkan fase pengisian ventrikel kiri memendek, akibatnya

    pengisian darah ke ventrikel juga berkurang sehingga curah jantung akan

    menurun. VT dengan keadaan hemodinamik stabil, pemilihan terapi

    dengan medika mentosa lebih diutamakan. Pada kasus VT dengan

    gangguan hemodinamik sampai terjadi henti jantung (VT tanpa nadi),

    pemberian terapi defibrilasi dengan menggunakan DC shock dan CPR

    adalah pilihan utama.

    Gambar 2.2 Ventrikel Takikardi (AHA, 2010)

    2.1.3.3 Pulseless Electrical Activity (PEA)

    Merupakan keadaan dimana aktivitas listrik jantung tidak

    menghasilkan kontraktilitas atau menghasilkan kontraktilitas tetapi tidak

    adekuat sehingga tekanan darah tidak dapat diukur dan nadi tidak teraba.

    Pada kasus ini CPR adalah tindakan yang harus segera dilakukan.

    Gambar 2.3 Pulseless Electrical Activity (AHA, 2010)

  • 15

    2.1.3.4 Asistole

    Keadaan ini ditandai dengan tidak terdapatnya aktivitas listrik pada

    jantung dan pada monitor irama yang terbentuk adalah seperti garis lurus.

    Pada kondisi ini tindakan yang harus segera diambil adalah CPR.

    Gambar 2.4 Asistole (AHA, 2010)

    2.1.4 Tanda dan Gejala

    Menurut The Scottish Goverment (TSG) dalam buku panduan

    penatalaksanaan Out of Hospital Cardiac Arrest-a Strategy for Scotland (2015)

    kejadian henti jantung seringkali diawali dengan serangan jantung yakni suatu

    kondisi dimana pembuluh darah arteri pada jantung mengalami sumbatan

    sehingga darah tidak dapat mengalir memenuhi seluruh bagian otot jantung.

    Apabila kondisi tersebut dibiarkan maka kebutuhan suplai oksigen yang

    dibutuhkan oleh otot jantung tidak dapat terpenuhi, sehingga dapat

    mengakibatkan terjadinya nyeri hebat pada bagian dada yang disertai dengan

    kematian otot jantung yang sangat beirisiko mengakibatkan terjadinya henti

    jantung. Pada orang dengan henti jantung, fungsi jantung akan berhenti

    secara total sehingga darah tidak dapat dialirkan keseluruh tubuh. Pada orang

    dengan henti jantung maka nadinya tidak dapat teraba, tingkat kesadarannya

    akan mengalami penurunan disertai dengan henti nafas. Apabila tidak

    diberikan pertolongan dengan segera warna kulit korban lama kelamaan akan

    berubah menjadi pucat bahkan disertai dengan dilatasi pada pupil.

  • 16

    2.1.5 Penatalaksanaan

    Kualitas hidup penderita pasca henti jantung akan sangat bergantung pada

    tahap pra-rumah sakit bukan hanya bergantung pada bantuan di fasilitas

    pelayanan kesehatan saja. Begitu ada korban yang mengalami henti jantung

    maka berlakulah apa yang disebut dengan waktu emas (The Golden periode).

    Menurut Swain et al. (2011) ada beberapa faktor yang mempengaruhi tingkat

    survival rate korban henti jantung di luar rumah sakit, yakni: cepat lambatnya

    korban diketahui mengalami henti jantung, lamanya kejadian, jarak waktu antara

    korban ditemukan dan diketahui mengalami henti jantung dengan dilakukannya

    pertolongan, penyakit penyerta, usia, jenis irama jantung apakah VT tanpa nadi,

    VF atau asistole, koordinasi, serta ketepatan penanganan.

    Layanan pra-rumah sakit merupakan layanan yang dilakukan dengan

    melibatkan kerjasama antara sumberdaya manusia, fasilitas, transportasi dan

    kebijakan terkait dengan prosedur yang harus dilakukan, yang secara khusus

    ditujukan untuk menangani kasus kegawatdaruratan yang terjadi di luar rumah

    sakit (Kerstin et al., 2011). Selain itu layanan kegawatdaruratan ini juga

    memerlukan keahlian dan kompetensi dari personilnya sebagai sebuah tim,

    teknologi dan pengobatan, yang harus dilakukan secara cepat dan tepat

    (Blomstedt et al., 2013).

    Indonesia saat ini telah memiliki Sistem Pelayanan Gawat Darurat

    Terpadu (SPGDT) yang terdiri atas Sistem Gawat Darurat Terpadu Sehari-hari

    (SPGDT-S) dan Sistem Gawat Darurat Terpadu Bencana (SPGDT-B). Sistem

    yang baik harus dapat diukur melalui proses evaluasi atau umpan balik yang

    berkelanjutan, hal tersebut dapat diperjelas melalui bagan berikut:

  • 17

    Cedera &Bencana

    Fase Pra-rumahsakit

    Fase Rumah Sakit Rehabilitasi

    1. First Responder2. Layanan

    ambulance 24jam

    1. Unit Gawat Darurat2. Ruang Operasi3. Intensif Care Unit4. Bangsal Perawatan

    1. Fisik2. Psikologis3. Sosial

    Gambar 2.5 Bagan Alur Layanan Kegawatdaruratan di Indonesia(Kemenkes RI, 2016)

    Komponen penting dalam sistem layanan kegawatdaruratan antara lain

    adalah: Sistem komunikasi, pengetahuan, tranportasi, pendanaan dan Quality

    Control (Kemenkes RI, 2016). Kita perlu menyadari bahwa saat ini sistem layanan

    kegawatdaruratan di Indonesia belum berjalan secara optimal. Belum adanya

    keseragaman pusat layanan informasi kegawatdaruratan di berbagai daerah serta

    call center yang seringkali sulit dihubungi masih menjadi permasalahan yang perlu

    diperbaiki (Herkutanto, 2007).

    Dalam aplikasinya sistem layanan kegawatdaruratan di Indonesia saat ini

    cenderung menggunakan sistem hospital base yang menjadikan rumah sakit

    sebagai pusat komunikasi dan pengelolaan ambulance (Pitt & Pusponegoro, 2005).

    Rumah sakit memiliki wewenang untuk mengirimkan ambulance dan petugas

    kesehatan untuk melakukan penanganan kegawatdaruratan di luar rumah sakit.

    Menurut Ebben et al. (2012) komunikasi yang baik antara petugas kesehatan yang

    melakukan penanganan di luar rumah sakit dengan petugas kesehatan di IGD

    rumah sakit terdekat yang siap menerima pasien sangatlah diperlukan, tujuannya

    adalah agar informasi penting seperti: jumlah korban, kondisi korban, tindakan apa

    saja yang telah dilakukan dan yang perlu dilakukan, serta peralatan apa saja yang

    perlu disiapkan dapat tersampaikan dengan jelas, sehingga penanganan pasien

    dapat dilakukan secara optimal.

  • 18

    Menurut Chair et al. (2014) salah satu upaya yang dapat dilakukan untuk

    meningkatkan survival rate pada penderita henti jantung baik di dalam maupun di

    luar rumah sakit adalah dengan mengoptimalkan chain of survival. Menurut Deakin

    et al. (2010) beberapa komponen yang termasuk dalam rangkaian rantai

    pertahanan penanganan henti jantung di luar rumah sakit tersebut diantaranya

    adalah sebagai berikut:

    2.1.5.1 Kesadaran Dini dan Aktivasi Emergency Medical Service (EMS)

    Dilakukan dengan mengenali tanda henti jantung dan aktivasi sistem

    layanan gawat darurat dengan segera. Menurut Aehlert (2012) hal tersebut

    sangat berpengaruh pada baik tidaknya kemampuan dari korban henti

    jantung untuk bertahan hidup. Oleh sebab itu penolong atau bystander CPR

    di luar rumah sakit perlu diberi pengetahuan mengenai tanda dan gejala

    henti jantung serta cara pengaktifan EMS melalui telepon sehingga tenaga

    kesehatan dapat memandu bystander untuk melakukan tindakan-tindakan

    penyelamatan sembari menunggu petugas kesehatan datang.

    2.1.5.2 Cardiopulmonary Resuscitation (CPR)

    2.1.5.2.1 Pengertian

    Menurut AHA (2015) tindakan Cardiopulmonary Resuscitation

    (CPR) merupakan usaha untuk mengembalikan fungsi pernafasan

    dan fungsi sirkulasi serta mengatasi akibat berhentinya fungsi-fungsi

    tersebut pada orang-orang yang tidak diharapkan mati pada saat itu.

    Tindakan ini bertujuan untuk mencegah agar sel-sel tidak rusak

    akibat kekurangan oksigen. Sebab iskemia yang terjadi lebih dari 3-4

    menit pada suhu normal akan menyebabkan kerusakan menetap

    pada korteks serebri. Namun perlu diingat CPR yang efektif sekalipun

  • 19

    hanya mampu memberikan ±30% dari curah jantung normal (Berg et

    al., 2010).

    2.1.5.2.2 Indikasi

    Menurut AHA (2010) tindakan CPR harus segera dilakukan pada

    setiap orang yang ditemukan dalam kondisi tidak sadarkan diri

    disertai dengan henti nadi dan atau henti nafas. Adapun indikasi

    untuk dihentikannya tindakan CPR menurut Mansjoer (2010) adalah:

    ketika denyut nadi korban sudah kembali dapat diraba dan bernafas

    secara spontan, yang berarti kondisi sirkulasi dan ventilasi secara

    efektif telah membaik; sudah muncul tanda-tanda kematian biologis

    yang sifatnya irreversibel diantaranya adalah: dilatasi pupil maksimal,

    rigor mortis atau kaku mayat, refleks cahaya negatif serta pucat;

    fungsi vital korban telah mengalami penurunan meskipun telah

    diberikan terapi secara maksimal sehingga tidak ada manfaat

    fisiologis yang diharapkan; penanganan telah dilakukan oleh tenaga

    medis di tempat layanan kesehatan yang lebih tinggi; penolong

    sudah merasa kelelahan sehingga tidak dapat melanjutkan tindakan

    CPR; kondisi lingkungan yang membahayakan bagi korban dan

    penolong; serta ketika pasien menderita suatu penyakit yang telah

    berada pada stadium terminal dan tidak menghendaki dilakukannya

    CPR atau Do not attempt resuscitation (DNAR).

    2.1.5.2.3 Tahapan Pelaksanaan Cardiopulmonary Resuscitation (CPR)

    Adapun langkah-langkah dalam melakukan tindakan tersebut

    berdasarkan AHA (2015) adalah sebagai berikut:

  • 20

    1. Danger Clear, pastikan bahwa kondisi lingkungan aman.

    2. Cek Respon dengan memanggil atau melakukan rangsang nyeri di

    titik-titik yang sensitif dengan rangsang nyeri (sternum, puting, dahi,

    alis) tetapi berdasarkan perkembangan keilmuan terbaru hal ini

    sudah tidak direkomendasikan karena akan memperlama waktu

    pertolongan. Apabila pasien tidak ada respon lakukan Quick look

    atau langsung berfokus melihat pergerakan dada.

    3. Call for help, sebutkan identitas diri kita, lokasi korban, jumlah

    korban, kondisi korban, nomor telepon dan meminta untuk

    dikirimkan ambulance beserta defibrilator. Apabila terdapat orang

    lain disekitar kita, kita bisa memanfaatkan dengan meminta

    bantuan orang lain tersebut.

    4. Cek Nadi, dilakukan pada arteri carotis untuk orang dewasa dan

    brakhialis pada anak-anak dengan menggunakan dua jari dan

    sebaiknya dilakukan kurang dari 10 detik. Apabila nadi tidak teraba

    lakukan kompresi dada, apabila nadi sulit teraba atau ragu-ragu

    tetap lakukan kompresi dada untuk mencegah hal-hal yang tidak

    diinginkan.

    5. Chest Compression (Kompresi Dada), dilakukan pada daerah

    center of chest atau pertengahan dada korban untuk meningkatkan

    tekanan intrathoracic dan memberikan kompresi langsung pada

    jantung. Hazinski (2010) menyebutkan bahwa penekanan pada

    sternum dilakukan sekurang-kurangnya 5-6 cm untuk orang

    dewasa. Perbandingan kompresi dan ventilasi pada orang dewasa

    adalah 30:2 dengan 1 maupun 2 orang penolong. Pada anak dan

  • 21

    bayi 30:2 bila penolong satu orang, bila penolong 2 orang

    perbandingan kompresi dan ventilasi adalah 15:2 dengan

    kecepatan sekurang-kurangnya 100-120 X/menit. Pada saat terjadi

    henti jantung perfusi darah ke organ sangat bergantung pada

    keadekuatan kompresi dada yang dilakukan sehingga kompresi

    dada menjadi bagian yang paling penting dalam CPR (Edelson et

    al., 2011).

    6. Airway Control (Membuka dan membersihkan jalan nafas),

    membebaskan saluran/ jalan nafas dari sumbatan. Head Tilt Chin

    Lift merupakan tindakan yang efektif dengan catatan tidak ada

    trauma servikal. Apabila korban dicurigai mengalami trauma

    servikal bisa dilakukan Jaw thrust maneuver.

    7. Rescue Breathing (Nafas Buatan). Pada korban henti nafas tanpa

    henti jantung tindakan Rescue breathing dilakukan 10-12 kali

    permenit (5-6 detik sekali) pada korban dewasa sedangkan pada

    anak 12-20 kali permenit dan 3-5 detik sekali pada bayi. Pada

    korban yang sudah terpasang advanced airway frekuensi yang

    diberikan lebih lambat yakni 8-10 kali permenit (6-8 detik sekali)

    baik pada bayi maupun orang dewasa. Setelah memastikan nadi

    korban sudah teraba dan korban bernafas secara spontan,

    tindakan selanjutnya yang dilakukan adalah head to toe

    examination, langkah terakhir lakukan recovery position untuk

    menjaga kepatenan airway (Johnsona et al., 2013).

  • 22

    2.1.5.3 Defibrilasi Secara Cepat

    Defibrilasi secara cepat dengan menggunakan Automated External

    Defibrillator (AED) merupakan tindakan yang efektif untuk dilakukan pada

    henti jantung dengan irama ventrikel fibrilasi (VF) dan ventrikel takikardi

    (VT) tanpa nadi (Travers, 2010). Alat ini berfungsi untuk mengembalikan

    irama jantung kembali pada irama yang efektif dan dirancang mudah

    untuk digunakan bagi orang awam sebagai sarana pertolongan pertama

    pada korban dengan henti jantung (Kooij et al., 2004). Alat ini dapat

    mendeteksi secara otomatis irama jantung dan memberikan petunjuk

    kepada penolong untuk mengetahui apakah seseorang dengan henti

    jantung tersebut memerlukan tindakan terapi kejut jantung atau tidak,

    sehingga kekhawatiran penolong serta kesalahan dalam melakukan

    tindakan terapi kejut jantung ini dapat diminimalisir. Alat ini akan

    memberikan kejutan listrik yang akan mengganggu atau menghentikan

    kegiatan disritmik listrik jantung. Shock yang diberikan akan membuat

    jantung berhenti berdenyut dengan mematikan irama tertentu dan

    memberikan jantung kesempatan untuk membangun kembali irama yang

    efektif secara spontan.

    Menurut AHA (2010) CPR disertai dengan defibrilasi listrik atau AED

    dapat meningkatkan kelangsungan hidup sebanyak 49%. Prosedur

    khusus yang diperlukan untuk menyelamatkan korban dengan henti

    jantung ini sekarang dapat dilakukan dalam lingkup pra-rumah sakit. Saat

    ini banyak negara-negara maju yang sudah menjadikan AED sebagai

    sebuah fasilitas wajib yang harus tersedia di tempat-tempat umum.

    Bahkan di Jepang pelatihan bantuan hidup dasar dan cara penggunaan

  • 23

    AED sudah banyak diberikan pada masyarakat awam seperti: masyarakat

    umum, siswa di sekolah menengah atas, dan para guru di

    sekolah-sekolah (Taniguchi et al., 2013).

    Semua AED menggunakan petunjuk visual dan suara untuk

    memudahkan penggunanya dalam melakukan penyelamatan. Secara

    garis besar operasional AED memiliki cara yang sama. Semua AED

    memberikan bentuk gelombang bifasik dan dapat melakukan elektronik

    self test. AED akan memberikan tanda melalui indicator visual dan atau

    suara apabila sudah siap digunakan. Akan tetapi sampai dengan saat ini

    keberadaan AED masih jarang ditemukan di Indonesia, mahalnya biaya

    pengadaan dan perawatan serta terbatasnya ketersediaan sumberdaya

    manusia yang memiliki pengetahuan mengenai cara menggunakannya

    disebut-sebut sebagai hambatan dari pengembangan penyediaan AED

    tersebut (Bettan, 2015).

    2.1.5.4 Basic dan Advance Emergency Medical Service (EMS)

    Emergency Medical Service (EMS) basic atau dasar adalah

    fasilitas layanan kegawatdaruratan di luar rumah sakit dan transportasi

    yang dirancang khusus untuk melayani pasien yang sakit maupun injuri.

    Adapun personil dari EMS basic ini adalah dua orang Emergency Medical

    Technician (EMT) yang telah tersertifikasi dan memiliki pengalaman lebih

    dari 300 jam dengan kompetensi dapat menggunakan AED, melakukan

    basic dan intermediate airway prosedure serta penanganan trauma

    secara umum. Sedangkan yang dimaksud dengan Advance Life Support

    (ALS) adalah layanan kegawatdaruratan pra-rumah sakit yang terdiri dari

    minimum satu orang paramedis dengan pengalaman dan pelatihan

  • 24

    kurang lebih 1000 jam serta satu orang EMT, dengan kompentensi

    mengetahui cara pemberian obat-obatan emergensi, cara menggunakan

    peralatan advance airway, monitor jantung, peralatan advance cardiac life

    support dan alat pemeriksaan kadar gula darah (Shah, 2006).

    2.1.5.5 Advance Life Support (ALS) yang efektif dan Perawatan Pasca Henti

    Jantung yang Baik.

    Advance Life Support (ALS) merupakan kelanjutan dari Basic Life

    Support (BLS) yang berisi serangkaian protokol kegiatan penanganan

    lebih jauh dari permasalahan yang terjadi pada airway, breathing dan

    circulation. Menurut AHA (2010) pada pasien post-cardiac arrest terdapat

    beberapa hal yang harus dilakukan untuk menjaga kondisi pasien agar

    tetap stabil, diantaranya adalah sebagai berikut:

    2.1.5.5.1 Optimalkan ventilasi dan oksigenasi: jaga saturasi oksigen

    ≥94% dan pertimbangkan penggunaan advance airway,

    hindari hiperventilasi.

    2.1.5.5.2 Tangani hipotensi (tekanan darah sistolik ≤90mmHg),

    pemberian obat vasopresin melalui Intravena (IV) atau Intra

    Oseus (IO), tangani penyebab dan lakukan EKG 12 lead.

    2.1.5.5.3 Pertimbangkan pemberian terapi hipotermia dengan suhu

    antara 32°C-36°C.

    2.1.5.5.4 Periksa kembali apakah pasien mengalami STEMI atau AMI,

    jika ya pertimbangkan untuk melakukan terapi reperfusi, jika

    tidak pasien dapat langsung dirawat di ruang perawatan krtitis.

  • 25

    2.2 Bystander Cardiopulmonary Resuscitation (CPR)

    2.2.1 Pengertian

    Menurut AHA tahun 2013 yang dimaksud dengan bystander CPR

    adalah seseorang yang berada dekat dengan korban henti jantung yang

    bersedia melakukan tindakan resusitasi jantung paru sebagai upaya

    penyelamatan jiwa di area luar rumah sakit. Siapa saja dapat berperan

    sebagai bystander CPR baik tenaga kesehatan, mahasiswa kesehatan

    bahkan orang awam yang memiliki pengetahuan dan kemampuan

    melakukan tindakan CPR.

    2.2.2 Peran Bystander CPR

    Penderita henti jantung memerlukan pertolongan segera karena

    kemampuan korban untuk bertahan hidup akan berkurang 7-10% setiap

    menitnya, sedangkan untuk meminta bantuan sampai dengan tenaga medis

    datang membutuhkan waktu yang tidak sebentar. Oleh sebab itu salah satu

    upaya yang dapat dilakukan dalam meningkatkan survival rate penderita

    OHCA adalah dengan mengoptimalkan peran dan fungsi dari bystander

    CPR (Chair et al., 2014). Saat ini berbagai negara di dunia seperti Amerika,

    Eropa dan beberapa negara di Asia seperti Jepang, Hongkong, China,

    Korea, Taiwan dan Singapura tengah mengembangkan sistem

    kegawatdaruratan pra-rumah sakit dengan memberikan pelatihan Basic Life

    Support (BLS) pada mahasiswa kesehatan dan juga masyarakat awam

    dengan harapan mampu meningkatkan jumlah bystander CPR sehingga

    dapat meningkatkan jumlah survival rate pada penderita OHCA, bahkan

    saat ini AHA telah merekomendasikan agar pelatihan CPR turut disertakan

  • 26

    kedalam kurikulum pendidikan sekolah menengah atas dengan harapan

    mampu meningkatkan pengetahuan dan keterampilan dalam melakukan

    CPR dan meningkatkan jumlah bystander CPR (Cave et al., 2011),

    Berdasarkan Guidelines for Cardiopulmonary Resuscitation (CPR) dan

    Emergency Cardiovascular Care (ECC) dari AHA pada tahun 2010 diketahui

    bahwa saat ini AHA tengah berusaha membuat tindakan CPR menjadi lebih

    sederhana dan mudah diaplikasikan salah satunya dengan

    mengembangkan hands only CPR yang dirancang bagi bystander CPR

    dengan berbagai pertimbangan. Pada umumnya saat melakukan CPR di

    luar rumah sakit bystander merasa enggan ketika harus memberikan

    bantuan pernafasan dari mulut ke mulut terlebih pada korban henti jantung

    yang belum pernah mereka kenal, sehingga mereka lebih memilih untuk

    melakukan teknik chest compression only (Taniguchi et al., 2007). Lu et al.1

    (2016) dalam penelitiannya tentang bystander CPR di China mengatakan

    bahwa teknik CPR yang dianggap rumit, kondisi korban, pekerjaan dan jenis

    kelamin penolong mempengaruhi kesediaan bystander untuk melakukan

    CPR, kurangnya rasa percaya diri, rasa malu serta adanya perasaan takut

    terhadap risiko transmisi penyakit merupakan beberapa penyebab yang

    mempengaruhi pertimbangan bystander dalam melakukan CPR. Selain itu

    Chair et al. (2014), Liew et al. (2015) dan Lu et al.1 (2016) sepakat bahwa

    belum adanya perlindungan hukum yang jelas juga menjadi salah satu

    penyebab utama tidak bersedianya bystander untuk melakukan CPR.

    Teknik chest compression only atau sering juga disebut dengan hands

    only CPR pertama kali diperkenalkan oleh AHA pada tahun 2008. Teknik ini

    terdiri dari dua tahapan, yang pertama bystander harus memastikan bahwa

  • 27

    kondisi sekeliling korban aman dan kemudian mengaktifkan sistem

    kegawatdaruratan dengan menelepon atau meminta bantuan orang lain

    untuk menghubungi pusat layanan kesehatan terdekat. Selanjutnya

    bystander melakukan CPR dengan melakukan penekanan pada daerah

    midsternal atau bagian tengah dada dengan keras dan cepat sampai AED

    atau bantuan yang diharapkan datang (AHA, 2013).

    Menurut Sasson (2013) secara garis besar terdapat empat tahapan

    yang harus dikuasai oleh bystander CPR, tahapan tersebut diantaranya

    adalah sebagai berikut:

    2.2.2.1 Bystander harus mampu mengidentifikasi bahwa seseorang

    mengalami henti jantung dengan mengenali tanda dan gejalanya.

    2.2.2.2 Selanjutnya bystander harus segera mengaktifkan layanan gawat

    darurat setempat dengan menelepon atau meminta bantuan orang

    lain.

    2.2.2.3 Ketika mengaktifkan sistem layanan gawat darurat panggilan

    telepon akan diterima oleh dispatcher yang bertugas untuk

    menentukan tingkat kegawatdaruratan yang dialami, memberi

    instruksi dan memandu bystander dalam melakukan CPR.

    2.2.2.4 Bystander terus melakukan tindakan CPR sampai dengan nadi dan

    nafas korban kembali spontan atau sampai dengan AED dan bantuan

    datang.

  • 28

    Gambar 2.6 Empat Langkah Penting yang Harus Dikuasai Oleh BystanderDalam Melakukan CPR (Sasson et al., 2013)

    2.2.3 Kompetensi Bystander CPR

    Menurut Sayre et al. (2008) terdapat berbagai tindakan yang dapat

    dilakukan oleh bystander CPR sesuai dengan kompetensi dan

    kemampuannya masing-masing, antaralain adalah sebagai berikut:

    2.2.3.1 Bagi bystander yang tidak terlatih: upaya penyelamatan korban

    dapat dilakukan dengan melakukan kompresi dada dengan keras

    dan cepat atau hands only CPR sampai dengan AED dan bantuan

    datang.

    2.2.3.2 Bagi bystander baik yang terlatih maupun yang tidak terlatih:

    ketika menjumpai korban dengan henti jantung, bystander paling

    tidak harus dapat melakukan upaya untuk mengaktifkan sistem

    layanan kegawatdaruratan dengan menghubungi ambulance atau

    layanan kesehatan terdekat. Selanjutnya melakukan tindakan

    kompresi pada bagian tengah dada dengan keras dan cepat

    sampai bantuan datang.

    2.2.3.3 Bagi bystander yang telah dilatih namun tidak percaya diri untuk

    melakukan high quality CPR: dapat melakukan hands only CPR

    sampai dengan AED dan bantuan datang.

    Bystandermenyadariterjadinya

    henti jantung

    Bystandermenghubungilayanan

    kegawatdaruratan

    Dispatchermengidentifikasi OHCAdan memberikan instruksicara melakukan CPR

    Bystandermelakukan

    CPR

  • 29

    2.2.3.4 Bagi bystander yang telah dilatih dan percaya diri untuk

    melakukan high quality CPR: Bystander harus melakukan CPR

    secara konvensional dengan rasio perbandingan kompresi dada

    dan bantuan nafas = 30:2. Namun apabila penolong enggan untuk

    memberikan bantuan nafas, maka penolong dapat melakukan

    hands only CPR saja dengan melakukan kompresi berkualitas

    sampai AED dan pertolongan datang.

    2.3 Mahasiswa Strata-1 (S1) Keperawatan

    2.3.1 Pengertian

    Menurut Hartaji (2012) mahasiswa diartikan sebagai seseorang yang

    terdaftar dan sedang menempuh pendidikan di tingkat perguruan tinggi baik

    di politeknik, sekolah tinggi, institut maupun universitas. Sebagai seseorang

    yang menempuh pendidikan tinggi mahasiswa dinilai memiliki daya

    intelektualitas dan kecerdasan yang tinggi serta kemampuan berpikir kritis

    sehingga mahasiswa mampu melakukan perencanaan dengan baik dalam

    bertindak (Siswoyo, 2007). Menurut Kusnanto (2003) keperawatan

    didefinisikan sebagai bentuk integral dari layanan kesehatan meliputi bio,

    psiko, sosio dan spiritual bagi individu, keluarga maupun masyarakat dalam

    kondisi sehat maupun sakit yang didasarkan pada ilmu keperawatan dan

    bersifat profesional.

    Mahasiswa S1 keperawatan adalah mereka yang sedang mempelajari

    dan mendalami ilmu pengetahuan terkait dengan keperawatan di tingkat

    perguruan tinggi dan merupakan calon perawat profesional yang akan

    memberikan layanan keperawatan kepada masyarakat (Nursalam, 2008).

  • 30

    Saat ini di Indonesia tengah dikembangkan pendidikan ners yang

    pelaksanaannya meliputi tahap akademik (S1 keperawatan) dan tahap

    profesi. Tahap akademik adalah tahapan yang harus dilalui untuk mencapai

    kompetensi sebagai profesi dalam tahap ini mahasiswa akan belajar

    berbagai kompetensi dasar tentang bagaimana cara menjadi seorang

    perawat profesional sedangkan tahap profesi adalah tahapan yang harus

    dilalui untuk mencapai kemandirian dalam praktek keperawatan, dalam hal

    ini mahasiswa keperawatan dituntut untuk dapat memiliki perilaku

    profesional dan mampu memberikan asuhan keperawatan dasar secara

    mandiri dan belajar untuk menerapkan asuhan keperawatan tersebut (AIPNI,

    2010).

    2.3.2 Tujuan Penyelenggaraan Pendidikan Keperawatan Profesional

    Menurut Nursalam (2008) sebagai calon perawat profesional

    mahasiswa keperawatan dituntut untuk dapat turut serta dalam memajukan

    ilmu keperawatan melalui berbagai riset dengan memanfaatkan ilmu

    pengetahuan dan teknologi, sehingga mahasiswa S1 keperawatan

    diharapkan memiliki pengetahuan yang lebih baik dibandingkan dengan

    mahasiswa keperawatan di tingkat vokasional. Adapun tujuan dari

    penyelenggaraan pendidikan keperawatan profesional diantaranya adalah

    sebagai berikut:

    2.3.2.1 Menciptakan landasan ilmu pengetahuan yang kokoh dalam

    melaksanakan asuhan keperawatan profesional.

    2.3.2.2 Menciptakan perawat yang terampil, baik dari segi intelektual, teknis

    maupun interpersonal.

  • 31

    2.3.2.3 Menciptakan perawat yang memiliki sikap dan tingkah laku

    profesional sesuai dengan bidang keperawatan.

    2.3.3 Kompetensi Sarjana Keperawatan

    Menurut AIPNI (2010) kurikulum pendidikan sarjana keperawatan

    (S1 keperawatan) mengacu pada 60% kurikulum inti (87 SKS dari 144

    SKS, yang terdiri dari 70% teori dan 30% praktek baik di laboratorium

    klinis maupun komunitas) dimana masa studi ideal yang ditetapkan

    adalah 8 semester (4 tahun). Menurut Kerangka kualifikasi Nasional

    Indonesia (KKNI, 2010) sarjana keperawatan berada pada level 6 dimana

    lulusan sarjana dituntut untuk memiliki kompetensi sebagai berikut:

    2.3.3.1 Mampu memanfaatkan ilmu pengetahuan dan teknologi dalam

    bidang keahliannya serta beradaptasi terhadap situasi yang

    dihadapi dalam problem solving.

    2.3.3.2 Menguasai konsep teoritis di bidangnya secara umum dan khusus

    secara mendalam dan memformulasikan problem solving sesuai

    dengan prosedur yang berlaku.

    2.3.3.3 Mampu melakukan pengambilan keputusan berdasarkan analisis

    terhadap data dan informasi yang diperoleh serta memberikan

    arahan terhadap berbagai alternatif solusi yang dipilih.

    2.3.3.4 Mampu ikut serta dalam mengembangkan masyarakat

    (community development) dan memiliki sikap tanggung jawab.

    Adapun kompetensi yang harus dimiliki oleh seorang sarjana

    keperawatan dalam perannya sebagai professional care provider

  • 32

    (pemberi layanan kesehatan profesional), community leader

    (pemimpin di komunitas), educator (pendidik), manager

    (pengelola) dan researcher (peneliti pemula) menurut AIPNI

    (2010) antara lain adalah sebagai berikut:

    2.3.3.5 Dapat melakukan komunikasi efektif dalam pemberian asuhan

    keperawatan.

    2.3.3.6 Dapat mengaplikasikan pengetahuan, kerangka etik dan legal

    pada sistem kesehatan yang terkait dengan keperawatan.

    2.3.3.7 Dapat membuat keputusan etik.

    2.3.3.8 Dapat memberikan asuhan keperawatan yang peka budaya.

    2.3.3.9 Dapat menjamin asuhan keperawatan yang holistik dan kontinyu.

    2.3.3.10 Dapat memanfaatkan ilmu pengetahuan dan teknologi secara

    efektif.

    2.3.3.11 Dapat menggunakan proses keperawatan dalam menyelesaikan

    permasalahan yang berhubungan dengan klien, termasuk di

    dalamnya: perspektif keperawatan kritis dan gawat darurat,

    askep klien dengan gawat darurat pada sistem kardiovaskuler

    serta sistem penanggulangan gawat darurat terpadu dan

    bencana.

    2.3.3.12 Dapat memberikan pendidikan kesehatan pada klien baik dalam

    pencegahan primer, sekunder dan tersier.

    2.3.3.13 Dapat berkontribusi dalam meningkatkan kemampuan sejawat.

    2.3.3.14 Mampu menjalankan fungsi advokasi, menjaga hak klien dan

    membantu klien dalam pengambilan keputusan.

  • 33

    2.3.3.15 Menerapkan prinsip peningkatan kualitas berkesinambungan

    dalam praktek.

    2.3.3.16 Dapat mempraktekan keterampilan teknis keperawatan sesuai

    dengan standar secara kreatif dan inovatif.

    2.3.3.17 memiliki kemampuan dalam berkolaborasi terkait dengan

    pemenuhan kebutuhan klien.

    2.3.3.18 Dapat mempraktekan terapi modalitas.

    2.3.3.19 Mewujudkan lingkungan aman secara konsisten melalui strategi

    untuk menjamin kualitas dan manajemen resiko.

    2.3.3.20 Dapat melaksanakan layanan kesehatan sesuai dengan

    kebijakan yang ada.

    Berdasarkan paparan tersebut kita dapat mengetahui bahwa salah

    satu kompetensi yang harus dikuasi oleh lulusan sarjana keperawatan

    adalah penatalaksanaan pada kegawatdaruratan kardiovaskuler dimana

    OHCA merupakan salah satu kondisi yang termasuk di dalamnya.

    Sebagai calon tenaga kesehatan profesional mahasiswa keperawatan

    dituntut untuk memiliki jiwa altruistik yang lebih tinggi dibandingkan

    dengan mahasiswa dari bidang keilmuan lain atau masyarakat awam

    pada umumnya. Sebagai individu yang telah dibekali pengetahuan dan

    keterampilan tentang bagaimana cara melakukan bantuan hidup dasar

    pada korban henti jantung harapannya mahasiswa keperawatan memiliki

    rasa percaya diri yang lebih tinggi dan kemampuan yang lebih baik dalam

    melakukan CPR (Chew & Yazid, 2008).

  • 34

    2.4 Behavioral Intention (Intensi Berperilaku)

    2.4.1 Pengertian

    The Dictionary of Psychology menerjemahkan behavioral intention

    sebagai suatu keputusan untuk berperilaku tertentu (Corsini, 2002).

    Fishbein (2008) mendefinisikan behavioral intention sebagai suatu

    keinginan, kemauan, kondisi kesiapan serta kecenderungan seseorang

    untuk melakukan suatu tindakan tertentu. Behavioral intention juga

    dianggap sebagai prediktor utama dari sebuah perilaku, dimana behavioral

    intention memiliki pengaruh yang cukup besar dalam mempengaruhi

    seseorang untuk menampilkan atau tidak menampilkan sebuah perilaku

    (Manetti et al., 2004). Behavioral intention merupakan dasar dari

    terbentuknya sebuah perilaku yang mengindikasikan kesiapan seseorang

    untuk melakukan sebuah tindakan dan merefleksikan kesediaan individu

    untuk berperilaku (Ajzen, 2005).

    Sebagai upaya untuk meningkatkan survival rate pada korban henti

    jantung di luar rumah sakit, saat ini beberapa negara tengah menggalakan

    program bystander CPR melalui edukasi CPR kepada mahasiswa

    kesehatan maupun masyarakat awam karena kejadian henti jantung dapat

    terjadi kapan saja dan dimana saja. Akan tetapi heart disease and stroke

    statistic dari AHA pada tahun 2014 melaporkan bahwa dari sekian banyak

    korban dengan henti jantung diluar rumah sakit di Amerika, ternyata hanya

    30-40% diantaranya saja yang mendapatkan pertolongan pertama dari

  • 35

    bystander CPR, dimana jumlah tersebut cenderung tidak mengalami

    peningkatan dari waktu kewaktu (Go et al., 2014).

    Swor et al. (2006) juga menyatakan bahwa dari sekian banyak jumlah

    bystander CPR yang telah mendapatkan pelatihan ternyata hanya 35% saja

    yang memiliki behavioral intention untuk memberikan pertolongan kepada

    korban henti jantung di luar rumah sakit. Sama hal nya dengan yang terjadi

    di beberapa negara lain. Taniguchi et al. (2007) dalam penelitiannya tentang

    bystander CPR di Jepang menyebutkan bahwa dari 70% responden yang

    telah mendapatkan pelatihan CPR hanya 10-30% diantaranya yang

    menyatakan kesediaannya untuk melakukan tindakan CPR di luar rumah

    sakit. Hasil penelitian tersebut didukung oleh Omi et al. (2008) yang

    menunjukkan bahwa dari 59% orang yang telah mendapatkan pelatihan

    CPR ternyata hanya 35% saja yang bersedia menjadi bystander CPR pada

    kasus OHCA. Begitu pula penelitian Chair et al. (2014) di Hongkong yang

    menyatakan bahwa kesediaan dan kesadaran masyarakat untuk melakukan

    CPR masih rendah.

    Berdasarkan data terkait dengan permasalahan tersebut Panchal et al.

    (2015) menyimpulkan bahwa pelatihan CPR saja tidaklah cukup untuk

    dapat meningkatkan motivasi bystander untuk bersedia melakukan CPR

    pada OHCA, tetapi faktor-faktor lain yang dapat mempengaruhi perilaku

    seseorang dalam melakukan CPR juga perlu dikaji, dengan harapan

    mampu meningkatkan peran dan fungsi dari bystander CPR. Dalam hal ini

    behavioral intention dianggap sebagai salah satu faktor utama yang

    mempengaruhi kecenderungan bystander dalam berperilaku, apakah

    bystander bersedia melakukan tindakan CPR di luar rumah sakit atau tidak.

  • 36

    Behavioral intention bystander CPR didefinisikan sebagai kecenderungan

    yang dirasakan oleh seorang individu untuk melakukan suatu perilaku

    tertentu, dalam hal ini CPR, dimana tinggi rendahnya behavioral intention

    tersebut diperkirakan dipengaruhi oleh faktor-faktor psikologis yang dimiliki

    oleh bystander.

    Dalam penelitiannya tentang perilaku sehat berkaitan dengan

    konsumsi alkohol dan diit makanan, Seaton (2010) menyatakan bahwa ada

    hubungan langsung yang kuat antara behavioral intention yang dimiliki

    individu dengan perilaku yang ditampilkan, semakin tinggi behavioral

    intention yang dimiliki seseorang untuk menampilkan sebuah perilaku maka

    akan semakin besar pula probabilitas seseorang untuk menampilkan

    perilaku tersebut.

    2.4.2 Aspek-aspek Behavioral Intention

    Menurut Ajzen dan Fishbein (2005) terdapat beberapa aspek dari

    behavioral intention, diantaranya adalah:

    2.4.2.1 Target sasaran, yakni merupakan obyek yang menjadi sasaran dari

    sebuah perilaku yang akan dilakukan. Target sasaran ini dapat

    dikelompokkan menjadi 3 diantaranya adalah: particular object (obyek

    tertentu), a class of object (sekelompok orang) dan any object (obyek

    secara umum). Dalam hal ini yang menjadi obyek dari tindakan CPR

    adalah particular object atau obyek tertentu yang mengalami OHCA.

    2.4.2.2 Waktu, yakni waktu terjadinya sebuah peristiwa atau waktu

    dilakukannya sebuah perilaku yang berkaitan dengan hari, tanggal dan

    jam. Dalam konteks ini yang dimaksud dengan waktu adalah hari,

  • 37

    tanggal dan jam dimana korban mengalami henti jantung dan dilakukan

    pertolongan oleh bystander CPR.

    2.4.2.3 Situasi, adalah kondisi bagaimana dan dimana sebuah perilaku akan

    dilakukan, apakah situasi tersebut mendukung atau tidak mendukung

    untuk dilakukannya perilaku tersebut. Berkaitan dengan hal ini, yang

    dimaksud dengan situasi adalah kondisi situasi dan lokasi dimana

    korban mengalami henti jantung, apakah memungkinkan bystander

    untuk melakukan pertolongan atau tidak.

    2.4.2.4 Perilaku, merupakan tindakan spesifik atau perilaku khusus yang akan

    dilakukan, yang merupakan perilaku spesifik dari bystander CPR

    diantaranya adalah bystander akan memastikan bahwa lokasi aman,

    meminta bantuan dan melakukan tindakan CPR sesuai dengan

    prosedur.

    2.4.3 Faktor yang Mempengaruhi Behavioral Intention Berdasarkan Theory of

    Planned Behavior

    Theory of Planned Behavior (TPB) atau teori perilaku terencana

    merupakan pengembangan dari Theory of Reasoned Action (TRA), yakni

    sebuah teori psikologi sosial yang menjelaskan tentang berbagai faktor

    yang mempengaruhi perilaku seseorang. Teori ini dirumuskan oleh Martin

    Fishbein dan Icek Ajzen pada akhir tahun 1960. TPB berfokus pada

    behavioral intention (intention) yakni keinginan atau kehendak seseorang

    yang dipengaruhi oleh sikap (attitude), norma subyektif (subjective norm)

    dan norma lain yang dianggap penting. Behavioral intention yang dimiliki

    oleh seseorang akan mempengaruhi individu dalam berperilaku (behavior).

  • 38

    Behavioral intention merupakan sebuah fungsi sikap dan norma subyektif

    pada perilaku, dimana perilaku merupakan perwujudan dari behavioral

    intention yang dimiliki oleh seseorang dalam bentuk aksi atau tindakan

    (Fishbein & Ajzen, 1975).

    Berakar pada teori tersebut pada tahun 1985 Icek Ajzen

    mengembangkan TPB, dengan asumsi bahwa tidak semua perilaku yang

    dilakukan berada dibawah kontrol penuh individu, sehingga perlu

    ditambahkan variabel kontrol perilaku yang dipersepsi (perceived behavioral

    control) atau efikasi diri. Maksudnya adalah behavioral intention berperilaku

    tidak hanya dipengaruhi oleh sikap dan norma subyektifnya saja tetapi juga

    dipengaruhi oleh persepsi individu terhadap kontrol yang dapat

    dilakukannya dengan bersumber pada keyakinan terhadap kontrol tersebut.

    Konsep perceived behavioral control ini berasal dari self efficacy theory oleh

    Bandura pada tahun 1977 yang menekankan bahwa ekspektasi seperti

    motivasi, penampilan, perasaan frustasi berhubungan dengan kegagalan

    yang berulang kali akan berpengaruh pada perilaku seseorang (Ajzen,

    1991). TPB dikembangkan berdasarkan asumsi bahwa individu mampu

    berperilaku bijaksana, memperhitungkan segala informasi secara implisit

    maupun eksplisit dengan mempertimbangkan akibat dari perilaku yang

    dilakukan (Ajzen, 2015).

    Teori ini mengemukakan bahwa kemungkinan seseorang untuk

    melakukan atau tidak melakukan sebuah perilaku dipengaruhi oleh

    behavioral intention yang dimilikinya, dimana behavioral intention

    merupakan faktor yang paling menentukan terjadi atau tidaknya suatu

    perilaku (McEachan et al., 2012). Behavioral intention memiliki hubungan

  • 39

    yang kuat dengan perilaku dan merupakan determinan langsung dari

    perilaku, sehingga dapat digunakan untuk meramalkan perilaku yang akan

    ditampilkan, dimana perilaku yang akan ditampilkan oleh seseorang

    cenderung sesuai dengan behavioral intention yang dimilikinya (Ajzen &

    Fishbein, 2005). Hoffman et al. (2013) menyatakan bahwa dari analisis yang

    telah dilakukan pada 78 penelitian sosial-kognitif diketahui bahwa TPB

    merupakan teori yang paling tepat untuk menjelaskan behavioral intention

    dan memprediksi perilaku pada tenaga kesehatan. Pernyataan serupa juga

    dikemukakan oleh Godin et al. (2008) yang menyatakan bahwa teori ini

    sangat sesuai digunakan untuk memprediksi kecenderungan health

    behavior pada tenaga kesehatan.

    Theory of Planned Behavior telah banyak digunakan dalam berbagai

    penelitian keperawatan. Beberapa contoh penelitian keperawatan yang

    pernah menggunakan teori ini diantaranya adalah: Dwyer dan Williams

    (2002) yang memprediksi behavioral intention berperilaku pada perawat

    dalam melakukan CPR di rumah sakit, Ko et al. (2004) mengidentifikasi

    behavioral intention perawat dalam merawat pasien dengan SARS di

    Taiwan, Beduz, M (2011) memprediksi behavioral intention perawat untuk

    melakukan perubahan perilaku berdasarkan evidence based practice pada

    pengkajian kecemasan pasien, Agustina (2013) behavioral intention

    perawat dalam pencegahan pressure ulcer di ICU, Javadi et al. (2013)

    behavioral intention perawat dalam meningkatkan patient safety, McKenzie

    (2014) mengidentifikasi behavioral intention perawat dalam memberikan

    dukungan pada perubahan gaya hidup pasien, Cassita et al. (2014)

    behavioral intention perawat dalam penggunaan filter needle, Smith (2015)

  • 40

    tentang behavioral intention perawat pendidik dalam menggunakan metode

    pembelajaran critical thinking, Maxwell (2015) tentang behavioral intention

    perawat untuk mengikuti rekomendasi perilaku preventif pada praktek klinis,

    White et al. (2015) behavioral intention perawat dalam melakukan 5 moment

    hand hygiene di Australia, Talbot et al. (2015) tentang behavioral intention

    mahasiswa keperawatan untuk merawat pasien dengan ketergantungan

    alkohol serta penelitian dari Panchal et al. (2015) tentang kerangka model

    untuk memprediksi behavioral intention bystander dalam melakukan CPR.

    Dwyer dan Williams (2002) menyatakan bahwa teori ini merupakan

    teori yang kuat untuk dijadikan sebagai dasar teori dalam mengidentifikasi

    kecenderungan perilaku seseorang. Begitu pula dengan Ko et al. (2004)

    yang menyatakan bahwa TPB memberikan kontribusi yang signifikan dalam

    memprediksi behavioral intention individu dalam berperilaku. Berbagai

    komponen dari TPB