BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Umum Tentang Tujuan ...eprints.umm.ac.id/62284/3/BAB II.pdf ·...
Transcript of BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Umum Tentang Tujuan ...eprints.umm.ac.id/62284/3/BAB II.pdf ·...
17
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Tinjauan Umum Tentang Tujuan Hukum
1. Pengertian Tujuan Hukum
Tujuan Hukum adalah melindungi hak dan kepentingan setiap
individu sehingga tidak diganggu atau dicampuri oleh orang lain. Sehingga
tercipta kehidupan bermasyarakat yang harmonis.
Adapun pendapat dari beberapa para ahli terkait pengertian tujuan
hukum yaitu :
a. Aristoteles
Menyatakan bahwa Tujuan hukum sepenuhnya untuk mencapai
keadilan. Artinya memberikan kepada setiap orang apa yang telah
menjadi haknya.
b. Jeremy Bentham
Menyebutkan bahwa tujuan hukum untuk mencapai kemanfaatan.
Artinya hukum akan menjamin kebahagiaan bagi sebanyak-
banyaknya orang.1
1 Ahmad, Sifat, Fungsi, dan Tujuan Hukum,, https://www.yuksinau.id/, Diakses 25 November
2019.
18
2. Teori Tujuan Hukum
Dalam teori tujuan hukum adapun beberapa para ahli mengemukakan
teori tujuan hukum yaitu:
Menurut Gustav Radbruch tujuan hukum yaitu keadilan, kepastian,
dan kemanfaatan. Keadilan harus mempunyai posisi yang pertama dan
yang paling utama dari pada kepastian hukum dan kemanfaatan. Secara
historis, pada awalnya menurut Gustav Radburch tujuan kepastian hukum
menempati peringkat yang paling atas diantara tujuan yang lain. Adapun
yang dimaksud dengan keadilan, kepastian, dan kemanfaatan yaitu :
a. Keadilan
Istilah keadilan (iustitia) berasal dari kata “adil” yang berarti tidak
berat sebelah, tidak memihak, berpihak kepada yang benar,
sepatutnya, tidak sewenang-wenang. Dapat disimpulkan bahwa
pengertian keadilan adalah semua hal yang berkenan dengan sikap dan
tindakan dalam hubungan antar manusia, keadilan berisi sebuah
tuntutan agar orang memperlakukan sesamanya sesuai dengan hak dan
kewajibannya, memperlakukan dengan tidak pandang bulu atau pilih
kasih melainkan, semua orang diperlakukan sama sesuai dengan hak
dan kewajibannya.2
Keadilan dalam perspektif filsafat hukum meyakini bahwa alam
semesta diciptakan dengan prinsip keadilan, sehingga dikenal antara
2 Manullang E.fernando M, Menggapai Hukum Berkeadilan, buku kompas, Jakarta, 2007, hal.57.
19
lain Stoisisme norma hukum alam primer yang bersifat umum
menyatakan: berikanlah kepada setiap orang apa yang menjadi haknya
(unicuique suum tribuere), dan jangan merugikan seseorang (neminem
laedere), Cicero juga menyatakan bahwa hukum dan keadilan tidak
ditentukan oleh pendapat manusia, tatapi alam.3 Sedangkan paradigma
Positivisme hukum keadilan dipandang sebagai tujuan hukum. Hanya
saja disadari pula sepenuhnya tentang relativitas dari keadilan ini
sering mengaburkan unsur lain yang juga penting, yakni unsur
kepastian hukum. Adagium yang selalu di dengungkan adalah suum
jus, summa injuria, summa lex. Summa crux, secara harfiah ungkapan
tersebut berarti bahwa hukum yang keras akan melukai, kecuali
keadilan yang dapat menolongnya.4
b. Kepastian
Kepastian adalah perihal (keadaan) yang pasti. Hukum secara
hakiki harus pasti dan adil. Kepastian hukum merupakan pertanyaan
yang hanya bisa dijawab secara normatif bukan sosiologi. Kepastian
Hukum secara Normatif adalah ketika suatu peraturan dibuat dan
diundangkan secara pasti karena mengatur secara pasti dan Logis.5
Kepastian Hukum sebagai salah satu tujuan hukum dan dapat
dikatakan upaya mewujudkan keadilan. Bentuk nyata dari kepastian
hukum adalah pelaksanaan dan penegakan hukum terhadap suatu
3 Ibid, hal. 102. 4 Ibid, hal. 108. 5 Cst Kansil, Kamus istilah Hukum, Gramedia Pustaka, Jakarta, 2009, hal. 385.
20
tindakan tanpa memandang siapa yang melakukan. Adanya kepastian
hukum setiap orang dapat memperkirakan apa yang akan terjadi jika
melakukan tindakan hukum itu, kepastian sangat diperlukan untuk
mewujudkan keadilan. Kepastian salah satu ciri yang tidak dapat
dipisahkan dari hukum, terutama untuk norma hukum tertulis. Hukum
tanpa nilai kepastian akan kehilangan makna karena tidak dapat di
gunakan sebagai pedoman perilaku bagi setiap orang.6
Jelas dalam artian tidak menimbulkan keraguan (multi-tafsir) dan
logis dalam artian menjadi suatu sistem norma dengan norma lain
sehingga tidak berbenturan atau menimbulkan konflik norma.
Kepastian hukum menunjuk kepada pemberlakuan hukum yang jelas,
tepat, konsisten dan konsekuen yang pelaksanaannya tidak dapat
dipengaruhi oleh keadaan-keadaan yang sifatnya subjektif. Hukum
adalah kumpulan peraturan-peraturan atau kaidah-kaidah dalam suatu
kehidupan bersama, keseluruhan peraturan tentang tingkah laku yang
berlaku dalam suatu kehidupan bersama yang dapat dipaksakan
pelaksanaannya dengan suatu sanksi. Kepastian hukum merupakan
ciri yang tidak dapat dipisahkan dari hukum terutama untuk norma
hukum tertulis.7
Sedangkan menurut pendapat Apeldoorn, kepastian hukum
mempunyai dua segi, pertama mengenai soal dapat dibentuknya
6 Ibid, hal. 270. 7 A. Anugrahni, Memahami Kepastian (Dalam) Hukum, https://ngobrolinhukum.wordpress.com.
Diakses tanggal 18 november 2019.
21
(bepaalbaarheid) hukum dalam hal-hal yang konkret. Artinya pihak-
pihak yang mencari Keadilan ingin mengetahui hukum dalam hal
yang khusus sebelum memulai perkara. Kedua, kepastian hukum
berarti keamanan hukum. Artinya perlindungan bagi para pihak
terhadap kesewenangan Hakim. Dalam paradigma positivisme
defenisi hukum harus melarang seluruh aturan yang mirip hukum,
tetapi tidak bersifat perintah dari otoritas yang berdaulat, kepastian
hukum harus selalu dijunjung tinggi apapun akibatnya dan tidak ada
alasan untuk tidak menjunjung hal tersebut karena dalam
paradigmanya, hukum positif adalah satu-satunya hukum.8
Hukum yang di tegakkan oleh instansi penegak hukum yang
diberikan tugas untuk itu harus menjamin “kepastian hukum” demi
tegaknya ketertiban dan keadilan dalam kehidupan masyarakat.
Ketidakpastian hukum akan menimbulkan kekacauan dalam
kehidupan masyarakat dan akan saling berbuat sesuka hati serta
bertindak main hakim sendiri. Keadaan seperti ini menjadikan
kehidupan berada dalam suasana “social disorganization atau
kekacauan sosial”.9
8 L.j Van Apeldoorn dalam Shidarta,Moralitas Profesi Hukum Suatu Tawaran Kerangka Berfikir,
PT.Revika Aditama,Bandung,2006, hal.82-83. 9 M. Yahya harahap, Pembahasan Permasalahan Dan Penerapan KUHP Penyidikan dan
Penuntutan, Jakarta, Sinar Grfika, 2002, hal. 76.
22
c. Kemanfaatan
Aliran Utilitarianisme mempunyai pandangan bahwa tujuan hukum
adalah memberikan kemanfaatan kepada sebanyak-banyaknya orang.
Kemanfaatan di sini diartikan sebagai kebahagiaan (happines),
sehingga penilaian terhadap baik-buruk atau adil-tidaknya suatu
hukum bergantung kepada apakah hukum itu memberikan
kebahagiaan kepada manusia atau tidak. Dengan demikian berarti
bahwa setiap penyusunan produk hukum (peraturan perundang-
undangan) seharusnya senantiasa memperhatikan tujuan hukum yaitu
untuk memberikan kebahagiaan sebanyak-banyaknya bagi
masyarakat.
Sedangkan menurut pendapat Jeremy Bentham, Bentham
membangun sebuah teori hukum komprehensif di atas landasan yang
sudah diletakkan, tentang asas manfaat. Bentham merupakan tokoh
radikal dan pejuang yang gigih untuk hukum yang dikodifikasikan,
dan untuk merombak hukum yang baginya merupakan sesuatu yang
kacau. Ia merupakan pencetus sekaligus pemimpin aliran
kemanfaatan. Menurutnya hakikat kebahagiaan adalah kenikmatan
dan kehidupan yang bebas dari kesengsaraan. Bentham menyebutkan
bahwa “The aim of law is The Greatest Happines for the greatest
number” Dengan kata-kata Bentham sendiri, inti filsafat disimpulkan
sebagai berikut :
23
Alam telah menempatkan manusia di bawah kekuasaan,
kesenangan dan kesusahan. Karena kesenangan dan kesusahan itu
kita mempunyai gagasangagasan, semua pendapat dan semua
ketentuan dalam hidup kita dipengaruhinya. Siapa yang berniat untuk
membebaskan diri dari kekuasaan ini, tidak mengetahui apa yang ia
katakan. Tujuannya hanya untuk mencari kesenangan dan
menghindari kesusahan perasaan-perasaan yang selalu ada dan tak
tertahankan ini seharusnya menjadi pokok studi para moralis dan
pembuat undang-undang. Prinsip kegunaan menempatkan tiap sesuatu
di bawah kekuasaan dua hal ini.10
Dari pengutaraan penjelasan 3 teori tujuan hukum tersebut disini saya
lebih cenderung atau lebih mengutamakan kemanfaatan dalam penegakan
hukumnya dan mengorbankan rasa keadilan dan kepastian hukum. karena
kemanfaatan sendiri memberikan kebahagiaan kepada seluruh orang tanpa
melihat baik-buruk atau adil-tidaknya suatu hukum yang terpenting
berimbaskan kebahagiaan terhadap seluruh orang.
B. Tinjauan Umum Tentang Tersangka
1. Pengertian Tersangka
Tersangka dalam KUHAP dapat ditemukan pada BAB I tentang
Ketentuan Umum Pasal 1 angka 14, yang menentukan bahwa
tersangka adalah seorang yang karena perbuatannya atau keadaannya,
10Besar, Utilitarianisme dan Tujuan Perkembangan Hukum Multimedia di Indonesia,
https://business-law.binus.ac.id/. Diakses tanggal 18 November 2019.
24
berdasarkan bukti permulaan yang patut diduga sebagai pelaku tindak
pidana. Dalam definisi tersebut, terdapat frasa “karena perbuatannya
atau keadaannya” seolah-olah makna kalimat tersebut menunjukkan
bahwa penyidik telah mengetahui perbuatan tersangka sebelumnya
terlebih dahulu padahal sebenarnya aspek ini yang akan diungkap
oleh penyidik. Secara teoritis, pengertian demikian hanya dapat
diungkapkan terhadap tersangka yang telah tertangkap tangan. Pengertian
tersangka tersebut akan lebih tepat bila mengacu pada ketentuan Pasal
27 ayat (1) Nederland van Strafvordering (Ned.Sv). Istilah dan pengertian
tersangka dalam Ned.Sv ditafsirkan secara lebih luas dan lugas yaitu yang
dipandang sebagai tersangka ialah orang karena fakta-fakta atau
keadaan-keadaan menunjukkan ia patut diduga bersalah melakukan
suatu tindak pidana.
“Lantas menurut UU No.8 Tahun 1981 Tentang Kitab Undang-
undang Hukum Acara Pidana bukan hanya membahas tersangka saja
melainkan juga membahas terdakwa dan terpidana. Terdakwa menurut
Pasal 1 angka 15 KUHAP adalah “seorang tersangka yang dituntut,
diperiksa dan diadili di sidang pengadilan”. Selanjutnya agar bisa
ditetapkan sebagai terdakwa, haruslah ada cukup bukti sebagai dasar
alasan pemeriksaan di pengadilan. Artinya, orang yang sudah menyandang
predikat sebagai terdakwa telah diduga kuat melakukan tindak pidana.
Sedangkan seorang terdakwa yang telah diputus bersalah dan dijatuhi
hukuman oleh pengadilan statusnya berubah menjadi terpidana. Yang
dimana di dalam pasal 1 angka 32 KUHAP menyatakan bahwa terpidana
adalah ” seorang yang dipidana berdasarkan putusan pengadilan yang telah
memperoleh kekuatan hukum tetap”. Mengapa demikian karena yang
bersangkutan telah dijatuhi sanksi pidana oleh putusan pengadilan yang
berkekuatan hukum tetap.”11
11 Kartini Laras Makmur, Ini Bedanya Terlapor, Tersangka, Terdakwa, dan Terpidana,
https://www.hukumonline.com/. Diakses tanggal 26 November 2019.
25
2. Klasifikasi Tersangka
Pada dasarnya status sebagai tersangka hanya dapat ditetapkan oleh
penyidik, maka dari itu tersangka dapat diklasifikasikan menjadi dua, yaitu
sebagai berikut:
a. Tersangka yang kesalahannya sudah definitif atau dapat
dipastikan Untuk tersangka tipe I ini, maka pemeriksaan
dilakukan untuk memperoleh pengakuan tersangka serta
pembuktian yang menunjukkan kesalahan tersangka selengkap-
lengkapnya diperoleh dari fakta dan data yang dikemukakan di
depan sidang pengadilan.
b. Tersangka yang kesalahannya belum pasti Untuk tersangka tipe II
ini, maka pemeriksaan dilakukan secara hati-hati melalui metode
yang efektif untuk dapat menarik keyakinan kesalahan tersangka,
sehingga dapat dihindari kekeliruan dalam menetapkan salah atau
tidaknya seseorang yang diduga melakukan tindak pidana.12
Adapun bagi sebagian orang, hukum sudah dianggap adil tapi
sebagian orang juga bilang kalau dianggap belum adil bahkan ada yang
harus merasa tertindas sehingga tersangka masih memiliki hak yang
harus dipenuhi atau dilindungi. Sehubungan dengan tujuan dari pada
Hukum Acara Pidana, dalam upaya mencari kebenaran materiil tersebut,
maka sesuai dengan “Asas Praduga Tak Bersalah” tersangka atau
terdakwa mempunyai hak yang harus dilindungi oleh undang-undang,
yaitu :
1) Hak segera mendapat pemeriksaan.
2) Hak untuk melakukan pembelaan.
3) Hak untuk memberikan keterangan secara bebas.
4) Hak mendapatkan juru bahasa.
5) Hak mendapatkan bantuan hukum.
6) Hak memilih sendiri penasihat hukum.
12 Djoko Prakoso. Polri sebagai Penyidik dalam Penegakan Hukum. Jakarta : Ghalia Indonesia
1987. hal. 16.
26
7) Hak mendapatkan bantuan hukum secara cuma-cuma.
8) Hak menghubungi penasihat hukum.
9) Hak kunjungan oleh dokter pribadi.
10) Hak mendapatkan kunjungan keluarga dan sanak keluarga.
11) Hak berkirim surat dan menerima surat.
12) Hak menerima kunjungan kerohanian.
13) Hak diadili pada sidang terbuka untuk umum.
14) Hak mengajukan saksi.
15) Hak untuk tidak dibebani kewajiban pembuktian
16) Hak mendapat ganti kerugian dan rehabilitasi.13
Tujuan utama adanya hak-hak tersangka/ terdakwa adalah untuk
mengakui dan menjamin terhadap harkat dan martabat manusia (human
dignity), baik selaku individu maupun sebagai anggota masyarakat.
Pengakuan dan jaminan terhadap harkat dan martabat tersebut, merupakan
HAM baik bersifat nasional maupun bersifat universal atau internasional.
Pengakuan terhadap harkat dan martabat yang selanjutnya disebut HAM
tersebut, tidak terbatas dalam arti politik, ekonomi tetapi juga dalam arti
hukum umumnya, dan kehidupan hukum pidana khususnya (dalam proses
peradilan pidana),14 di samping itu hak-hak tersangka/terdakwa dapat juga
dikatakan memiliki tujuan untuk membatasi kekuasaan atau sebagai
rintangan (obstacle) bagi penegak hukum (law enforcement officials) yang
berbentuk represif dalam proses penegakan hukum dimana dilakukan
secara sewenang-wenang atau melawan hukum.15Asas Praduga Tak
Bersalah merupakan salah satu asas ketentuan pokok kekuasaan
kehakiman (UU No. 4 Tahun 2004) yang penjabarannya ada di dalam
13 Fahmi Hidayat, Perlindungan Hak-Hak Tersangka Korupsi Pada Tahap Penyidikan dan
Penuntutan Oleh Komisi Pemberantasan Korupsi, Jurnal Poenale Vol 4, No.1,2016, Fakultas
Hukum, Universitas Lampung Bandar Lampung. 14 Kadri Husin dan Rizki Husin, Sistem Peradilan Pidana di Indonesia, Bandar Lampung:
Lembaga Penelitian Universitas Lampung, 2012, hal. 174 15 Ibid., hal. 175.
27
KUHAP bahwa setiap orang yang disangka, ditangkap, dituntut, dan
dihadapkan di depan pengadilan wajib dianggap tidak bersalah sebelum
adanya putusan pengadilan yang menyatakan kesalahannya dan
memperoleh kekuatan hukum yang tetap.16
Dengan demikian, tersangka merupakan seseorang yang menjalani
pemeriksaan permulaan, dimana salah atau tidaknya seorang tersangka
harus dilakukan dalam proses peradilan yang jujur dengan mengedepankan
asas persamaan dihadapan hukum. Pada perbuatannya atau keadaannya,
yang berdasarkan bukti permulaan patut diduga sebagai pelaku tindak
pidana. Pengertian tersangka sering disalah artikan oleh kebanyakan
masyarakat, bahwa seolah-olah tersangka itu sudah pasti bersalah. Padahal
yang berhak menentukan bersalah atau tidaknya adalah pengadilan,
dengan adanya putusan dari pengadilan yang mempunyai kekuatan hukum
tetap.
C. Tinjauan Umum Tentang Praperadilan
1. Pengertian Praperadilan
Secara harfiah pengertian Praperadilan dalam KUHAP memiliki arti
yang berbeda, Pra berarti sebelum, sedangkan peradilan berarti suatu
proses pemeriksaan di pengadilan. Dengan demikian dapat disimpulkan
bahwa Praperadilan adalah suatu proses pemeriksaan sebelum
pemeriksaan terhadap pokok perkara berlangsung di pengadilan. Pokok
16 Abdul Thalib, Teori dan Filsafat Hukum Modern Dalam Perspektif, Uir Press, Pekanbaru, 2005,
hal. 168.
28
perkara dimaksud adalah suatu sangkaan/dakwaan tentang telah
terjadinya suatu tindak pidana, yang sedang dalam tahap penyidikan atau
penuntutan. Oleh karena itu Praperadilan hanya bersifat ikutan atau
asesoir dari perkara pokok tersebut sehingga putusannya pun bersifat
voluntair.
2. Tujuan Praperadilan
Setiap hal yang baru, tentu mempunyai suatu maksud dan tujuan atau
motivasi tertentu. Pasti ada yang hendak dituju dan dicapai. Tidak ada
sesuatu yang ingin diciptakan tanpa didorong oleh maksud dan tujuan.
Demikian pula halnya dengan perlembagaan praperadilan. Ada maksud
dan tujuan yang hendak ditegakkan dan dilindungi.
a. Perlindungan hak-hak asasi manusia, terutama mereka yang
terlibat di dalam perkara pidana, khususnya pada tahap
penyidikan dan penuntutan.
b. Alat kontrol terhadap penyidik atau penuntut umum terhadap
penyalahgunaan wewenang olehnya.17
Karena tindakan upaya paksa yang dikenakan instansi penegak hukum
merupakan pengurangan dan pembatasan kemerdekaan dan hak asasi
tersangka, maka tindakan itu harus dilakukan secara bertanggung jawab
17 M.Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP Pemeriksaan Sidang
Pengadilan, Banding, Kasasi dan Peninjauan Kembali, 2012, Jakarta: Sinar Grafika, hal. 3.
29
menurut ketentuan hukum dan undang-undang yang berlaku (due process
of law).18
Tujuan dari praperadilan dapat diketahui dari penjelasan pasal 80
KUHAP yang menegaskan “bahwa tujuan dari pada Praperadilan adalah
untuk menegakkan hukum, keadilan, kebenaran melalui sarana
pengawasan horizontal”. Esensi dari praperadilan, untuk mengawasi
tindakan upaya paksa yang dilakukan oleh penyidik atau penuntut umum
terhadap tersangka, supaya tindakan itu benar-benar dilaksanakan sesuai
dengan ketentuan undang-undang, benar-benar proporsional dengan
ketentuan hukum, bukan merupakan tindakan yang bertentangan dengan
hukum.19
Tujuan atau maksud dari praperadilan adalah meletakkan hak dan
kewajiban yang sama antara yang memeriksa dan yang diperiksa. di
samping itu hak-hak tersangka/terdakwa dapat juga dikatakan memiliki
tujuan untuk membatasi kekuasaan atau sebagai rintangan (obstacle) bagi
penegak hukum (law enforcement officials) yang berbentuk represif
dalam proses penegakan hukum dimana dilakukan secara sewenang-
wenang atau melawan hukum.20
18Damang Averroes Al-Khawarizmi, Tujuan dan Wewenang Praperadilan,
https://www,negarahukum.com. Diakses 9 November 2019. 19 S. Tanusubroto, Peranan Praperadilan Dalam Hukum Acara Pidana, Bandung: Alumni,1983,
hal. 1. 20 Ibid., hal. 175.
30
3. Wewenang Praperadilan
Terkait wewenang praperadilan dapat dilihat dari dasar hukum
praperadilan yang diatur dalam UU No. 8 Tahun 1981 tentang Kitab
Undang-Undang Hukum Acara Pidana (disingkat KUHAP), khususnya
Pasal 1 angka 10, Pasal 77 sampai dengan Pasal 83, Pasal 95 ayat (2) dan
ayat (5), Pasal 97 ayat (3), dan Pasal 124. Adapun yang menjadi objek
praperadilan diatur dalam pasal 77 KUHAP menegaskan bahwa:
“Pengadilan negeri berwenang untuk memeriksa dan memutus sesuai
dengan ketentuan yang diatur dalam undang-undang ini tentang :
a. Sah tidaknya penangkapan, penahanan, penghentian penyidikan
atau penghentian penuntutan;
b. Ganti rugi atau rehabilitasi bagi seorang yang perkara pidananya
dihentikan pada tingkat penyidikan dan penuntutan.”
Untuk mengetahui ruang lingkup Praperadilan, Yahya Harahap juga
mengemukakan secara rinci wewenang yang diberikan oleh undang-
undang kepada praperadilan dapat dirinci sebagai berikut :
1. Memeriksa dan memutus sah atau tidaknya upaya paksa berupa
penangkapan dan penahanan.
Praperadilan berwenang untuk memeriksa dan memutus “… sah
tidaknya ‘penangkapan’ dan ‘penahanan’, jadi seorang tersangka yang
dikenakan penangkapan, penahanan, penggeledahan atau penyitaan,
31
dapat meminta kepada pra-peradilan untuk memeriksa sah atau
tidaknya tindakan yang dilakukan penyidik kepadanya”.21
2. Memeriksa sah atau tidaknya penghentian penyidikan atau
penghentian penuntutan.
Baik penyidik maupun penuntut umum berwenang untuk
menghentikan penyidikan atau penuntutan. Alasan penghentian
penyidikan dan penuntutan tersebut sebab :
“…Hasil pemeriksaan penyidikan atau penuntutan tidak cukup
bukti untuk meneruskan perkaranya ke sidang pengadilan. Atau
apa yang disangkakan kepada tersangka bukan merupakan
kejahatan atau pelanggaran tindak pidana. Sebab itu tidak
mungkin untuk meneruskan perkaranya ke sidang pengadilan.
Mungkin juga penghentian penyidikan atau penuntutan dilakukan
penyidik atau penuntut umum atas alasan nebis in idem, karena
ternyata apa yang disangkakan kepada tersangka merupakan
tindak pidana yang telah pernah dituntut dan diadili, dan putusan
sudah memperoleh kekuatan hukum tetap. Bisa juga penghentian
dilakukan penyidik atau penuntut umum, disebabkan dalam
perkara yang disangkakan kepada tersangka terdapat unsur
kadaluwarsa untuk menuntut….”22
Guna menghindari penyalahgunaan wewenang dalam
penghentian penyidikan atau penuntutan, maka undang-undang
memberi hak kepada penuntut umum atau pihak ketiga yang
berkepentingan untuk mengajukan pemeriksaan kepada praperadilan
tentang sah tidaknya penghentian penyidikan tersebut. Sebaliknya,
penyidik atau pihak ketiga juga dapat mengajukan pemeriksaan
21 Andi Sofyan dan Abd. Aziz, Hukum Acara Pidana Suatu Pengantar, Prenadamedia Group,
Jakarta, 2014, hal. 188. 22 M. Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP, Pemeriksaan Sidang
Pengadilan, Banding, Kasasi, dan Peninjauan Kembali, Cet. XII, Sinar Grafika, Jakarta, 2010,
hal. 5.
32
praperadilan tentang sah tidaknya penghentian penuntutan kepada
praperadilan.23
3. Berwenang memeriksa tuntutan ganti rugi.
Tuntutan ganti rugi diatur di dalam Pasal 95 KUHAP. Tuntutan
ganti kerugian dapat diajukan oleh keluarga atau penasihat hukum
tersangka kepada praperadilan dengan alasan “karena penangkapan
atau penahanan yang tidak sah; atau oleh karena penggeledahan atau
penyitaan yang bertentangan dengan ketentuang hukum dan undang-
undang; karena kekeliruan mengenai orang yang sebenarnya mesti
ditangkap, ditahan, dan diperiksa.”24
4. Memeriksa permintaan rehabilitasi.
Praperadilan berwenang memeriksa dan memutus permintaan
rehabilitasi yang diajukan oleh tersangka, keluarganya, atau penasihat
hukumnya “…atas penangkapan atau penahanan tanpa dasar hukum
yang ditentukan undang-undang. Atau rehabilitasi atas kekeliruan
mengenai orang atau hukum yang diterapkan, yang perkaranya
diajukan ke sidang pengadilan”.25
5. Praperadilan terhadap tindakan penyitaan.
Memeriksa tindakan penyitaan yaitu hanya berkenaan dengan
penyitaan yang dilakukan terhadap barang pihak ketiga dan juga
23 Ibid., hal. 6. 24 Ibid. 25 Andi Sofyan dan Abd. Aziz., Op.cit., hal. 209.
33
barang ini tidak termasuk alat bukti atau barang bukti. Pihak yang
berhak mengajukan ketidakabsahan penyitaan pada praperadilan
adalah pemilik barang tersebut.26
Praperadilan dipimpin oleh hakim tunggal yang ditunjuk oleh Ketua
Pengadilan Negeri dan dibantu oleh seorang panitera (Pasal 78 ayat [2]
KUHAP). Adapun prosedur pengajuan praperadilan diatur dalam Bab I
Pasal 1 angka 10 dan Bab X bagian kesatu Pasal 77 sampai dengan Pasal
83. Tata cara mengajukan Praperadilan oleh Pemohon (korban salah
tangkap/penahanan dll) memang tidak secara tegas dan rinci diatur dalam
KUHAP. Hanya saja praktik peradilan selama KUHAP berlaku meniru
dari prosedur tata cara dalam hal seseorang mengajukan perkara perdata
dalam bentuk gugatan/perlawanan. Acara praperadilan sebagaimana
dimaksudkan tersebut diatas, dilaksanakan berdasarkan prosedur
sebagaimana diatur dalam Pasal 82 ayat (1) KUHAP berikut:
a. Hakim harus menetapkan hari sidang dalam waktu 3 (tiga) hari
setelah diterimannya permintaan praperadilan;
b. Dalam melakukan pemeriksaan, hakim harus mendengar
keterangan dari para pihak baik dari pemohon, termohon
maupun dari pejabat yang berwenang;
c. Persidangan dilaksanakan secara cepat, dan paling lambat 7
(tujuh) hari hakim harus sudah menjatuhkan putusan;
d. Jika dalam jangka waktu tersebut pemeriksaan belum selesai,
maka permintaan praperadilan menjadi gugur, apabila perkara
tersebut sudah diperiksa di pengadilan;
e. Terhadap putusan praperadilan yang dilakukan pada tingkat
penyidik, tidak menutup kemungkinan pengajuan permintaan
pemeriksaan lagi pada tingkat pemeriksa oleh penuntut umum.
f. Dalam menjatuhkan putusannya, maka hakim harus
mencantumkan secara tegas yang memuat dasar putusan dan
26 Ibid., hal. 189.
34
alasan / pertimbangan putusan, serta konsekuensi dari disahkan
atau tidak disahkannya alasan praperadilan (ayat 3).27
Menurut Pasal 79 KUHAP, yang berhak memohonkan permintaan
praperadilan tentang sah atau tidaknya suatu penangkapan/penahanan
kepada Pengadilan Negeri adalah :
a. Tersangka.
b. Keluarga dari tersangka.
c. Kuasanya.
Menurut Darwan Prinst menyatakan:
Yang dimaksud dengan kuasanya adalah orang yang mendapat
kuasa dari tersangka atau keluarganya untuk mengajukan
permintaan praperadilan itu, kuasa disini biasanya tersangka
berikan kepada salah satu penegak hukum antara lain: Advokat,
Lembaga Bantuan Hukum, maupun Konsultan hukum. lalu
permohonan praperadilan disampaikan kepada Ketua Pengadilan
Negeri dengan menyebutkan alasannya.28
Sedangkan yang berhak mengajukan permintaan praperadilan tentang
sah atau tidaknya suatu penghentian penyidikan atau penghentian
penuntutan, menurut Pasal 80 KUHAP adalah:
1) Penyidik
2) Penuntut Umum
3) Pihak ketiga yang berkepentingan
27 Lihat Pasal 82 ayat (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana. 28 Darwan Prinst, Hukum Acara Pidana Dalam Praktik. Jakarta. Djambatan,2002. hal. 198.
35
D. Tinjauan Umum Tentang Tugas, Wewenang Hakim Dalam
Praperadilan
1. Pengertian Hakim
Secara normatif menurut Pasal 1 ayat (5) UU Komisi Yudisial No. 22
Tahun 2004 yang dimaksud dengan hakim adalah hakim agung dan hakim
pada badan peradilan di semua lingkungan peradilan yang berada di bawah
Mahkamah Agung serta Hakim Mahkamah Konstitusi sebagimana
dimaksud dalam Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945. Sedangkan secara etimologi atau secara umum, Bambang Waluyo,
S.H. menyatakan bahwa yang dimaksud dengan hakim adalah organ
pengadilan yang dianggap memahami hukum, yang dipundaknya telah
diletakkan kewajiban dan tanggung jawab agar hukum dan keadilan itu
ditegakkan, baik yang berdasarkan kepada tertulis atau tidak tertulis
(mengadili suatu perkara yang diajukan dengan dalih bahwa hukum tidak
atau kurang jelas), dan tidak boleh ada satupun yang bertentangan dengan
asas dan sendi peradilan berdasar Tuhan Yang Maha Esa.29
2. Tugas dan Wewenang Hakim
Pada dasarnya hakim dapat diartikan sebagai orang yang bertugas
untuk menegakkan keadilan dan kebenaran, menghukum orang yang
berbuat salah dan membenarkan orang yang benar. Dan, didalam
menjalankan tugasnya, ia tidak hanya bertanggung jawab kepada pihak-
29 Bambang Waluyo, S.H. Implementasi Kekuasaan Kehakiman Republik Indonesia, Sinar Grafika
Edisi 1 Cet. 1. Jakarta 1992. hal 11.
36
pihak yang berpekara saja, dan menjadi tumpuan harapan pencari keadilan,
tetapi juga mempertanggung jawabkannya kepada Tuhan Yang Maha Esa.
Bukankah dalam tiap - tiap amar putusan hakim selalu didahului kalimat:
“Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”.30
Begitu pentingnya profesi hakim, sampai-sampai ruang lingkup
tugasnya harus dibuatkan undang-undang. Tengok saja, dalam UU No. 14
Tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman
yang kemudian diubah dengan UU No.35 Tahun 1999 dan disesuaikan
lagi melalui UU No.4 Tahun 2004 tentang kekuasaan kehakiman.
Kemudian, UU No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana
(KUHAP), UU Komisi Yudisial, dan peraturan perundangan lainnya.31
Bahkan, dalam menjalankan tugasnya diruang sidang, hakim terikat
aturan hukum, seperti hal nya pada pasal 158 KUHAP yang
mengisyaratkan: Hakim dilarang menunjukkan sikap atau mengeluarkan
pernyataan disidang tentang keyakinan mengenai salah atau tidaknya
terdakwa. Begitupun dalam menilai alat bukti, UU telah dengan tegas
mengingatkan hakim untuk bertindak arif lagi bijaksana (Pasal 188 ayat
(3) KUHAP). Tak hanya itu saja, hakim harus memiliki integritas dan
kepribadian yang tidak tercela, jujur, adil, professional, dan
30 Ibid. 31 Ibid.
37
berpengalaman di bidang hukum, demikian bunyi pasal 32 UU No.
4/2004.32
Selanjutnya dalam perkara praperadilan dipimpin oleh hakim tunggal
yang ditunjuk oleh ketua pengadilan negeri dan dibantu oleh seorang
panitera yang dimana tertera dalam Pasal 78 ayat (2) KUHAP. Tugas
hakim dalam perkara praperadilan sendiri lebih banyak menitikberatkan
proses pemeriksaan pada penyidikan dan penuntutan perkara pidana dan
menetapkan rehabilitasi dan ganti kerugian atas upaya paksa yang tidak
sah. Kemudian juga bertambah dengan Putusan Mahkamah Konstitusi
(MK) 21/PUU-IV/2014 yang menyebutkan dalam hal menguji sah atau
tidaknya penetapan tersangka seseorang.
Yang kemudian dijadikan acuan untuk menilai apakah tindakan aparat
penegak hukum dalam tahap penyidikan dan penuntutan sah atau tidak
menurut formil hukumnya. Sehingga hakim Praperadilan sendiri hanya
dibatasi dengan adanya aturan tersebut agar tidak terjadi sewenang-
wenang para penegak hukum.
Adapun isi putusan praperadilan adalah:
a. Memuat dengan jelas dasar dan alasan putusan hakim;
b. Dalam hal putusan menetapkan bahwa sesuatu penangkapan atau
penahanan tidak sah, maka penyidik atau jaksa penuntut umum
pada tingkat pemeriksaan masing-masing harus segera
membebaskan tersangka;
c. Dalam hal putusan menetapkan bahwa sesuatu penghentian
penyidikan atau penuntutan tidak sah, penyidikan atau penuntutan
terhadap tersangka wajib dilanjutkan;
32 Ibid.
38
d. Dalam hal putusan menetapkan bahwa suatu penangkapan atau
penahanan tidak sah, maka dalam putusan dicantumkan jumlah
besarnya ganti kerugian dan rehabilitasi yang diberikan, sedangkan
dalam hal suatu penghentian penyidikan atau penuntutan adalah
sah dan tersangkanya tidak ditahan, maka dalam putusan
dicantumkan rehabilitasinya;
e. Dalam hal putusan menetapkan bahwa benda yang disita ada yang
tidak termasuk alat pembuktian, maka dalam putusan dicantumkan
bahwa benda tersebut harus segera dikembalikan kepada tersangka
atau dari siapa benda itu disita.33
E. Tinjauan Umum Tentang Korupsi
1. Pengertian Korupsi
Korupsi berasal dari kata latin “Corruptio” atau “Corruptus”, dalam
bahasa Prancis dan Inggris disebut “Corruption”, dalam bahasa Belanda
disebut “Corruptie”. Arti harfiah dari kata itu ialah kebusukan,
keburukan, kebejatan, ketidakjujuran, dapat disuap, tidak bermoral,
penyimpangan dari kesucian, kata-kata atau ucapan yang menghina atau
menfitnah.34 Korupsi adalah suatu tindakan yang sangat tidak terpuji dan
dapat merugikan suatu bangsa. Akan tetapi menurut buku yang menjadi
reverensi bagi penulis pengertian korupsi sendiri yang juga dikutip dari
kamus besar bahasa indonesia pengertian korupsi sebagai berikut :
”penyelewengan atau penggelapan (uang negara atau perusahaan, dan
sebagainya untuk keuntungan pribadi atau orang lain.’
33 Lihat Pasal 82 ayat (2) dan (3) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara
Pidana. 34 Adami Chazawi, Hukum Pidana Materiil dan Formil Korupsi di Indonesia, Bayumedia,
Malang, 2005, hal.1.
39
2. Macam-macam Korupsi
Vito Tanzi sebagaimana dikutip oleh Chaeruddin menyebutkan bahwa
ada tujuh macam atau jenis korupsi yaitu :
a. Korupsi transaktif yaitu korupsi yang terjadi atas kesepakatan
diantara seorang donor dengan resipien untuk keuntungan kedua
belah pihak.
b. Korupsi ekstortif yaitu korupsi yang melibatkan penekanan dan
pemaksaan untuk menghindari bahaya bagi mereka yang terlibat
atau orang-orang yang dekat dengan pelaku korupsi.
c. Korupsi investif yaitu korupsi yang berawal dari tawaran yang
merupakan investasi untuk mengantisipasi adanya keuntungan
dimasa datang.
d. Korupsi nepotisik yaitu korupsi yang terjadi karena perlakuan
khusus baik dalam pengangkatan kantor publik maupun pemberian
proyek-proyek bagi keluarga dekat.
e. Korupsi otogenik yaitu korupsi yang terjadi ketika seorang pejabat
mendapat keuntungankarena memiliki pengetahuan sebagai orang
dalam (insiders information) tentang berbagai kebijakan publik
yang seharusnya dirahasiakan.
f. Korupsi supportif yaitu perlindungan atau penguatan korupsi yang
menjadi intrik kekuasaan dan bahkan kekerasan
g. Korupsi defensif yaitu korupsi yang dilakukan dalam rangka
mempertahankan diri dari pemerasan.35
3. Pelaku Tindak Pidana Korupsi
Menurut rumusan Pasal 2 sampai dengan Pasal 17 dan Pasal 21
sampai dengan Pasal 24 Undang-undang No. 31 Tahun 1999 Tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, maka pelaku tindak pidana
korupsi adalah setiap orang yang berarti orang perseorangan atau
korporasi.
Bila diperhatikan ketentuan yang tercantum dalam Undang-undang
No. 31 Tahun 1999 dan Undang-undang No. 20 Tahun 2001, tindak
Pidana Korupsi dapat dibagi ke dalam dua segi, yaitu aktif dan pasif.
35 Chaerudin, Strategi Pencegahan dan Penegakan Hukum Tindak Pidana Korupsi, PT. Refika
Aditama, Bandung, 2008, hal.2.
40
Dari segi aktif maksudnya pelaku tindak pidana korupsi tersebut
langsung melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain
atau korporasi dengan melakukan penyalahgunaan kewenangan,
kesempatan atau sarana. Sedangkan tindak pidana korupsi yang bersifat
pasif yaitu yang menerima pemberian atau janji karena berbuat atau tidak
berbuat sesuatu dalam jabatannya yang bertentangan dengan
kewajibannya. 36
F. Tinjauan Umum Tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)
1. Pengertian Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)
Menurut Pasal 2 dan Pasal 3 Undang-undang Nomor 30 Tahun 2002
tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi adalah Lembaga KPK ini
tidak terpengaruh oleh kekuasaan manapun untuk menjalankan tugas dan
kewajibannya sehingga bersifat independen.37 Komisi Pemberantasan
Korupsi (KPK) dibentuk berdasarkan Undang-Undang Nomor 30 Tahun
2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, KPK diberi
amanat melakukan pemberantasan korupsi secara profesional, intensif, dan
berkesinambungan. KPK merupakan lembaga negara yang bersifat
independen, yang dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya bebas dari
kekuasaan manapun.
Dalam melaksanakan tugasnya, Lembaga KPK berpedoman pada 5
asas, yang mencakup keterbukaan, kepentingan umum, proporsionalitas,
akuntabilitas, dan kepastian hukum. Pimpinan komisi pemberantasan
korupsi atau biasa disingkat KPK ini, terdiri dari lima orang yang
merangkap sebagai anggota yang semuanya merupakan pejabat negara.
36 Elsa Rosiana Devi Munianggara, Korupsi, http://elsa-rosiana-fisip13.web.unair.ac.id/. Diakses 9
November 2019. 37 Sekilas KPK, https://www.kpk.go.id/. Diakses tanggal 27 November 2019.
41
Pimpinan tersebut terdiri atas unsur masyarakat dan unsur pemerintah,
sehingga pada sistem pengawasan yang dilakukan oleh masyarakat
terhadap kinerja komisi pemberantasan korupsi dalam melakukan
penyelidikan, penyidikan serta penuntutan terhadap pelaku tindak pidana
korupsi tetap melekat pada komisi pemberantasan korupsi.
2. Tugas, Wewenang dan Kewajiban Komisi Pemberantasan
Korupsi
Tugas Komisi Pemberantasan Korupsi yaitu sebagai berikut :
a) Melakukan koordinasi dengan institusi yang berwenang melakukan
pemberantasan tindak pidana korupsi;
b) Melakukan supervisi terhadap instansi yang berwenang melakukan
pemberantasan tindak pidana korupsi. instansi yang berwenang adalah
termasuk Badan Pemeriksa Keuangan, Badan Pengawas Keuangan
dan Pembangunan, Komisi Pemeriksa Kekayaan Penyelenggara
Negara, Inspektorat pada Departemen atau Lembaga Pemerintah
NonDepartemen;
c) Melakukan penyelidikan, Penyidikan, dan penuntutan terhadap
tindak pidana korupsi;
d) Melakukan tindakan-tindakan pencegahan tindak pidana korupsi;
dan
e) Melakukan monitor terhadap penyelenggaraan pemerintahan
negara. 38
Dalam melaksanakan tugas koordinasi, Komisi Pemberantasan
Korupsi (KPK) berwenang :
1) Mengoordinasikan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan tindak
pidana korupsi;
2) Menetapkan sistem pelaporan dalam kegiatan pemberantasan
tindak pidana korupsi;
3) Meminta informasi tentang kegiatan pemberantasan tindak pidana
korupsi kepada instansi yang terkait;
38 Lihat Pasal 6 Undang- Undang Nomor 30 Tahun 2002 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi.
42
4) Melaksanakan dengar pendapat atau pertemuan dengan instansi
yang berwenang melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi
dan;
5) Meminta laporan instansi terkait mengenai pencegahan tindak
pidana korupsi.39
Sebagaimana yang diamanatkan dalam Komisi Pemberantasan
Korupsi (KPK) berkewajiban :
1) Memberikan perlindungan terhadap saksi atau pelapor yang
menyampaikan laporan ataupun memberikan keterangan mengenai
terjadinya tindak pidana korupsi;
2) Memberikan informasi kepada masyarakat yang memerlukan atau;
3) memberikan bantuan untuk memperoleh data lain yang berkaitan
dengan hasil penuntutan tindak pidana korupsi yang ditanganinya;
4) Menyusun laporan tahunan dan menyampaikannya kepada Presiden
Republik Indonesia, Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia,
dan Badan Pemeriksa Keuangan;
5) Menegakkan sumpah jabatan dan ;
6) Menjalankan tugas, tanggung jawab, dan wewenangnya
berdasarkan asas-asas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5.40
Sedangkan berdasarkan Pasal 14 ayat (1) huruf g UU No. 2 Tahun
2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia (“UU Polri”),
Kepolisian bertugas menyelidik dan menyidik semua tindak pidana sesuai
hukum acara pidana dan peraturan perundang-undangan
lainnya. Kewenangan penyidik Polri diatur sebagai berikut :
(1) Penyidik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) huruf a
karena kewajibannya mempunyai wewenang:
a) menerima laporan atau pengaduan dari seorang tentang adanya
tindak pidana;
b) melakukan tindakan pertama pada saat di tempat kejadian;
c) menyuruh berhenti seorang tersangka dan memeriksa tanda
pengenal diri tersangka;
d) melakukan penangkapan, penahanan, penggeledahan dan penyitaan;
e) melakukan pemeriksaan dan penyitaan surat;
f) mengambil sidik jari dan memotret seorang;
39 Tugas dan Fungsi KPK, https://www.kpk.go.id/. Diakses tanggal 27 November 2019. 40 Lihat Pasal 15 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi.
43
g) memanggil orang untuk didengar dan diperiksa sebagai tersangka
atau saksi;
h) mendatangkan orang ahli yang diperlukan dalam hubungannya
dengan pemeriksaan perkara;
i) mengadakan penghentian penyidikan;
j) mengadakan tindakan lain menurut hukum yang bertanggung
jawab.41
Dengan demikian, baik Polri maupun KPK, berdasarkan Pasal 14 ayat
(1) huruf g UU Polri serta Pasal 6 huruf c UU KPK, keduanya memang
memiliki kewenangan untuk menyidik tindak pidana korupsi. Namun,
KPK memiliki kewenangan tambahan yaitu dapat mengambil alih perkara
korupsi walaupun sedang ditangani oleh Kepolisian atau Kejaksaan (Pasal
8 ayat (2) UU KPK). Akan tetapi, pengambil alihan perkara korupsi
tersebut harus dengan alasan yang diatur dalam Pasal 9 UU KPK. Selain
itu juga kewenangan untuk mengambil alih perkara korupsi, ada hal lain
yang menjadi kewenangan KPK yaitu sebagaimana diatur dalam Pasal 11
UU KPK dan Pasal 50 UU KPK. 42
Apalagi dipertegas dalam pasal 11 huruf c UU KPK menyebutkan
bahwa KPK berwenang melakukan penyelidikan, penyidikan, dan
penuntutan tindak pidana korupsi yang menyangkut kerugian negara
paling sedikit Rp. 1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah).
Jadi Polri dan KPK mempunyai wewenang dalam perkara tindak
pidana korupsi dan juga didalam UU KPK sendiri menyatakan fungsi
supervisi yang melekat di lembaga KPK. Sedangkan didalam UU Polri
sendiri tidak ada satu pasal pun yang menyebutkan kewenangan supervisi.
Sehingga UU KPK lebih kuat ketimbang UU Polri. Dengan begitu itu jika
suatu tindak pidana korupsi terjadi maka Polri dapat segera memberikan
perkara itu kepada KPK.
41 Lihat Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana. 42 Ilman Hadi, S.H. Kewenangan Penyidikan KPK dan Polri, www.hukumonline.com/. Diakses
tanggal 27 November 2019.
44
Menurut Ramelan, pada makalah seminar dalam rangka Dies Natalis
Universitas Sebelas Maret ke 28 yang berjudul “Penegakan Hukum Tindak
Pidana Korupsi dan Upaya Kejaksaan Memenuhi Ekspetasi Publik”
menjelaskan tentang perbedaan kewenangan antara Kepolisian dan KPK
dalam menyidik Tindak Pidana Korupsi, maka terdapat tabel, yakni
sebagai berikut:
Tabel 1.
Perbedaan Kewenangan Antara Penyidik Kepolisian Dan Komisi
Pemberantasan Korupsi Dalam Menyidik Tindak Pidana Korupsi
No. Penyidik Kepolisian Penyidik Komisi
Pemberantasan Korupsi
1. Pengaturan Tentang Penyidikan
Diatur Secara Tegas Dalam UU No. 8
Tahun 1981 Tentang Hukum Acara
Pidana dan UU No. 2 Tahun 2002
tentang Kepolisian Negara Republik
Indonesia;
Pengaturan tentang
penyidikan diatur secara
tegas dalam UU No. 8
Tahun 1981 tentang
Hukum Acara Pidana, UU
No. 31 Tahun 1999 jo UU
No. 20 Tahun 2001
tentang Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi
dan UU No. 30 Tahun
2002 tentang Komisi
Pemberantasan Korupsi;
2. Kewenangan dalam menyidik Tindak
Pidana Korupsi merupakan salah satu
kewenangan penyidikan yang dimiliki
Kepolisian;
Kewenangan dalam
menyidik Tindak Pidana
Korupsi merupakan tugas
dan wewenang KPK yang
menjadi konsentrasi KPK;
45
3. Batasan kewenangan Kepolisian
dalam menyidik Tindak Pidana
Korupsi adalah, sebagaimana diatur
dalam pasal 2 dan pasal 3 UU No. 31
Tahun 1999 sebagaimana yang telah
diubah dengan UU No. 20 Tahun
2001 tentang perubahan atas UU No.
31 Tahun 1999 tentang
pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi
Batasan kewenangan
KPK dalam menyidik
Tindak Pidana Korupsi
sebagaimana telah diatur
dalam pasal 11 UU No.
30 Tahun 2002 tentang
Komisi Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi ;
4. Kewenangan penyidikkan yang
dimiliki oleh Kepolisian terbatas vide
pasal 7 UU No. 8 Tahun 1981.
Kewenangan penyidikan
yang di miliki oleh KPK
sangatlah besar vide pasal
12 UU No. 30 Tahun
Sumber Data: Diolah dari KUHAP dan UU No.30 Tahun 2002 Tentang
Komisi Pemberantasan Korupsi.43
Pada dasarnya Kepolisian dan Komisi Pemberantasan Korupsi dalam
melakukan penyidikan terhadap tindak pidana korupsi memiliki persamaan
dan juga perbedaan, persamaannya yakni, sama-sama memiliki
kewenangan dalam melakukan penyidikan terhadap tindak pidana korupsi,
hal ini didasarkan pada peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Sedangkan perbedaan diantara kedua instansi tersebut, terletak pada
jangkauan kewenangan dalam melakukan penyidikan tindak pidana
korupsi, apabila Kepolisian memiliki kewenangan yang sangat terbatas,
sedangkan KPK memiliki kewenangan yang jauh lebih luas dan luar biasa.
Adapun hal yang memperjelas tentang perbedaan kewenangan antara
Kepolisian dan KPK dalam melakukan penyidikan terhadap tindak pidana
43 Ramelan, Penegakan hukum Tindak Pidana Korupsi dan Upaya Kejaksaan Memenuhi Ekspetasi
Publik, Makalah seminar dalam rangka Dies Natalis Universitas Sebelas Maret ke 28, Surakarta,
2004.
46
korupsi, yakni: Pertama, pengaturan mengenai kewenangan kepolisian
yang diatur dalam UU No. 8 Tahun 1981 dan UU No. 2 Tahun 2002,
sedangkan kewenangan KPK diatur dalam UU No. 30 Tahun 2002. Kedua,
batasan kewenangan Kepolisian diatur dalam pasal 2 dan pasal 3 UU No.
31 Tahun 1999, sedangkan batasan kewenangan KPK diatur dalam pasal
11 UU No. 30 Tahun 2002. Ketga, kewenangan Kepolisian sangat terbatas,
hal ini tercantum dalam pasal 7 UU No. 8 Tahun 1981, sedangkan KPK
memiliki kewenangan yang lebih luas dan luar biasa sebagaimana diatur
dalam pasal 12 UU No. 30 Tahun 2002, selain itu KPK memiliki
kewenangan melakukan koordinasi dan supervisi, tindakan pencegahan
dan monitoring terhadap instansi yang terkait dengan pemberantasan
tindak pidana korupsi. Serta didalam mengimplementasikan kewenangan
baik yang dimiliki oleh Kepolisian maupun KPK tidak terjadi tumpang
tindih, hal ini dikarenakan KPK tidak memonopoli tugas dan wewenang
Kepolisian terkait dengan penyidikan terhadap tindak pidana korupsi.
Tumpang tindih kewenangan sebenarnya dapat diantisipasi dengan
kewenangan yang dimiliki oleh KPK yakni koordinasi dan supervisi,
kemudian hal ini diperkuat dengan ditandatanganinya Surat Keputusan
Bersama antara Kepolisian dengan KPK. Akan tetapi dalam pelaksanaan
kewenangan koordinasi dam supervisi serta surat keputusan bersama antar
kedua institusi tersebut tidak sejalan dan bertentangan dengan pasal 50 UU
No. 30 Tahun 2002, hal ini dikarenakan pihak Kepolisian dalam
melakukan koordinasi dengan KPK terkait dengan perkara korupsi yang
sedang ditangani hanya sebatas pada pengiriman SPDP, kemudian tidak
adanya keselarasan daripada prosedur dan mekanisme dalam melakukan
koordinasi dan supervisi antara Kepolisian dengan KPK. Tanpa disadari
hal ini menjadi potensi yang mengarah pada terjadinya tumpang tindih
kewenangan antara Kepolisian dengan KPK dalam melakukan penyidikan
tindak pidana korupsi.
47
G. Tinjauan Umum Tentang Korporasi
1. Pengertian Korporasi
Secara etimologi tentang kata korporasi (Belanda: corporatie, Inggris:
corporation, Jerman: korporation) berasal dari kata “corporatio” dalam
bahasa Latin. Seperti halnya dengan kata-kata lain yang berakhir dengan
“tio”, maka corporatio sebagai kata benda (substantivum), berasal dari
kata kerja corporare, yang banyak dipakai orang pada zaman Abad
Pertengahan atau sesudah itu. Corporare sendiri berasal dari kata
“corpus” (Indonesia: badan), yang berarti memberikan badan atau
membadankan. Dengan demikian, corporatio itu berarti hasil dari
pekerjaan membadankan, dengan lain perkataan badan yang dijadikan
orang, badan yang diperoleh dengan perbuatan manusia sebagai lawan
terhadap badan manusia, yang terjadi menurut alam.44
Oleh karena itu, dari definisi diatas dapat diartikan bahwa “kematian”
badan hukum ditentukan oleh hukum mengingat badan hukum itu
merupakan ciptaan hukum. Dalam artian sebuah korporasi dapat
dikatakan mempunyai sebuah “nyawa”, dimana korporasi menjadi
sesuatu yang dapat hidup ataupun mati oleh suatu putusan hukum.
Sedangkan secara terminologi, korporasi adalah kumpulan orang dan
atau kekayaan yang terorganisasi baik merupakan badan hukum maupun
bukan badan hukum.45
Menurut Utrecht/Moh. Soleh Djindang tentang korporasi :
“Ialah suatu gabungan orang yang dalam pergaulan hukum bertindak
bersama-sama sebagai suatu subjek hukum tersendiri suatu
personifikasi. Korporasi adalah badan hukum yang beranggota, tetapi
mempunyai hak dan kewajiban sendiri terpisah dari hak kewajiban
anggota masing-masing.”46
44 Muladi dan Dwidja Priyatno, Pertanggungjawaban Pidana Korporasi, Jakarta, Penerbit
Kencana Prenada Media Group, 2010, hal. 23. 45 Lihat Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi. 46 Muladi dan Dwidja Priyatno, Op. cit., hal. 25.
48
A. Z. Abidin menyatakan bahwa korporasi dipandang sebagai realitas
sekumpulan manusia yang diberikan hak sebagai unit hukum, yang
diberikan pribadi hukum, untuk tujuan tertentu.47
Sedangkan Rudi Prasetyo menyatakan :
“Kata korporasi sebutan yang lazim digunakan di kalangan pakar
hukum pidana untuk menyebut apa yang biasa dalam bidang hukum
lain, khususnya bidang hukum perdata, sebagai badan hukum, atau
yang dalam bahasa Belanda disebut sebagai rechtpersoon, atau dalam
bahasa Inggris disebut legal entities atau corporation.”48
Selanjutnya pengertian korporasi sebagai subjek hukum pidana,
menurut Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi memberikan kualifikasi sebagai berikut menurut
Pasal 20 ayat (2): “Tindak pidana korupsi dilakukan oleh korporasi
apabila tindak pidana tersebut dilakukan oleh orang-orang baik
berdasarkan hubungan kerja maupun berdasarkan hubungan lain,
bertindak dalam lingkungan korporasi tersebut baik sendiri maupun
bersama-sama”.49
47 Ibid, hal. 25. 48 Ibid, hal. 210. 49 A.Z. Abidin, Bunga Rampai Hukum Pidana, Pradnya Paramita, Jakarta, 1983, hal. 54.
49
2. Tujuan Pertanggungjawaban Korporasi
Korporasi sebagai subjek hukum, menjalankan kegiatannya sesuai
dengan prinsip ekonomi yaitu mencari keuntungan sebesar-besarnya, dan
mempunyai kewajiban untuk mematuhi peraturan hukum di bidang
ekonomi yang digunakan pemerintah untuk mewujudkan kesejahteraan
masyarakat dan keadilan sosial. Pertanggungjawaban pidana korporasi
pertama kali diterapkan oleh negara-negara common law, dikarenakan
sejarah revolusi industri yang terjadi dahulunya. Pengakuan
pertanggungjawaban pidana korporasi di pengadilan Inggris mulai pada
tahun 1842, saat korporasi gagal di denda karena gagal menjalankan
tugasnya menurut peraturan perundang-undangan.50
Tujuan dari pemidanaan kejahatan korporasi adalah lebih kepada agar
adanya perbaikan dan ganti rugi, berbeda dengan pemidanaan kejahatan
lain yang konvensional yang bertujuan untuk menangkap dan
menghukum.51
Menurut Sutan Remy Sjahdeini, Sistem pertanggungjawaban pidana
korporasi ada empat :
1. Pengurus korporasi yang melakukan tindak pidana, pengurus yang
bertanggungjawab.
2. Korporasi yang melakukan tindak pidana , pengurus yang
bertanggungjawab.
3. Korporasi yang melakukan tindak pidana, korporasi yang
bertanggungjawab.
4. Pengurus dan korporasi yang melakukan tindak pidana, maka
keduanya yang harus bertanggung jawab. 50 Alvi Syahrin, Beberapa Isu Hukum Lingkungan Kepidanaan, PT. Softmedia, Jakarta, 2009, hal.
23. 51 Bismar Nasution, Kejahatan Korporasi, https://bismar.wordpress.com/2009/12/23/kejahatan-
korporasi/. diakses tanggal 27 November 2019.
50
Penentuan kesalahan korporasi tersebut dapat dikaitkan dengan tahap
kedua pengakuan korporasi sebagai subjek hukum pidana yaitu korporasi
melakukan tindak pidana tapi tanggungjawab pidana dibebankan kepada
pengurus.52
Bahkan lahirnya Peraturan Mahkamah Agung (Perma) Nomor 13
Tahun 2016 tentang Tata Cara Penanganan Tindak Pidana oleh Korporasi.
Peraturan ini menetapkan syarat sebuah korporasi dapat dijerat dengan
tindak pidana, yaitu korporasi mendapatkan keuntungan dari sebuah tindak
pidana, membiarkan terjadinya tindak pidana, dan tidak mencegah
terjadinya tindak pidana. Pidana pokok untuk korporasi yang terbukti
bersalah adalah denda dan jika tidak dibayar pengurusnya dapat dikenai
hukuman kurungan hingga dua bulan.53
Dengan demikian, tahap pertanggungjawaban korporasi tetap dapat
mempunyai kesalahan secara langsung dengan melakukan tindak pidana
yang dimintai pertanggujawaban yaitu para pengurus korporasi..
H. Tinjauan Umum Tentang Putusan Hakim Praperadilan
1. Pengertian Putusan Hakim Praperadilan
Putusan Hakim adalah putusan akhir dari suatu pemeriksaan
persidangan di pengadilan dalam suatu perkara. Putusan akhir dalam
suatu sengketa yang diputuskan oleh hakim yang memeriksa dalam
52Muhammad Ahsan Thamrin, Pertanggung Jawaban Pidana Korporasi,
http://muhammadahsanthamrin.blogspot.com/. Diakses tanggal 27 November 2019. 53 Menjerat Korupsi Korporasi, https://antikorupsi.org/. Diakses tanggal 27 November 2019.
51
persidangan umumnya mengandung sanksi berupa hukuman terhadap
pihak-pihak yang dikalahkan. Sanksi hukuman ini dapat dipaksakan
kepada pihak yang melanggar hak berupa pemenuhan prestasi dan atau
pemberian ganti rugi kepada pihak yang telah dirugikan atau yang
dimenangkan.
Selanjutnya dalam perkara Praperadilan ini hakim yang duduk dalam
pemeriksaan sidang praperadilan adalah hakim tunggal. Hal ini
ditegaskan dalam Pasal 78 ayat (2) KUHAP. Akan tetapi dalam KUHAP
sendiri tidak menjelaskan lebih lanjut kenapa praperadilan dipimpin oleh
hakim tunggal. Namun hal ini berkaitan dengan prinsip pemeriksaan
dengan acara cepat yang mengharuskan pemeriksaan praperadilan selesai
dilakukan selambat-lambatnya dalam waktu tujuh hari dan bentuk
putusan praperadilan yang sederhana. Maka dari itu bisa diwujudkan jika
diperiksa dan diputus oleh hakim tunggal.54
2. Jenis-Jenis Putusan Dalam Perkara Praperadilan
Bertitik tolak pada prinsip acara pemeriksaan cepat, bentuk putusan
peradilan juga menyesuaikan dengan sifat proses acara cepat. Maka dari
itu bentuk putusan praperadilan cukup sederhana tanpa mengurangi isi
pertimbangan yang jelas berdasarkan hukum dan undang-undang.55
54 Lihat Pasal 82 ayat (1) huruf c Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara
Pidana. 55 M. Yahya Harahap II, Op.Cit., hal. 17.
52
Surat putusan praperadilan disatukan dengan berita acara (berdasarkan
Pasal 82 Ayat (1) huruf c KUHAP) dan bentuk putusan berupa penetapan
(berdasarkan Pasal 82 Ayat (3) huruf a dan Pasal 96 Ayat (1) KUHAP).
Terkait dengan isi putusan atau penetapan praperadilan diatur dalam Pasal
82 Ayat (2) dan Ayat (3).
Disamping penetapan praperadilan memuat alasan dasar pertimbangan
hukum, juga harus memuat amar. Amar penetapan praperadilan dapat
berisi:
1. Sah atau tidaknya penangkapan atau penahanan
2. Sah atau tidaknya penghentian penyidikan atau penuntutan
3. Diterima atau ditolaknya permintaan ganti kerugian
4. Perintah pembebasan dari tahanan
5. Perintah melanjutkan penyidikan atau penuntutan
6. Besarnya ganti kerugian
7. Berisi pernyataan pemulihan nama baik tersangka
8. Memerintahkan segera mengembalikan sitaan.56
3. Akibat Hukum Putusan
Putusan hakim bersifat memaksa (dwingend), artinya jika ada pihak
yang tidak mematuhinya hakim dapat memerintahkan pihak yang
bersangkutan supaya mematuhinya dengan kesadaran sendiri. Putusan
hakim menimbulkan akibat hukum bagi pihak-pihak yang terlibat.
Akibat hukum ialah akibat suatu tindakan yang dilakukan untuk
memperoleh suatu akibat yang dikehendaki oleh pelaku dan yang diatur
oleh hukum. Tindakan ini dinamakan tindakan hukum. Jadi dengan kata
56 Andi Sofyan dan Abd. Aziz, Op.Cit., hal. 194.
53
lain, akibat hukum adalah akibat dari suatu tindakan hukum. Akibat
hukum dapat berwujud:
Lahirnya, berubahnya, atau lenyapnya suatu keadaan hukum.
Lahirnya, berubahnya atau lenyapnya suatu hubungan hukum
antara dua atau lebih subyek hukum, dimana hak dan kewajiban
pihak yang satu berhadapan dengan hak dan kewajiban pihak
yang lain.
Lahirnya sanksi apabila dilakukan tindakan yang melawan
hukum.57
57 R. Soeroso,Pengantar Ilmu Hukum, Sinar Grafika, Jakarta, 2011, hal. 90.