BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Umum Tentang Satgas...
Transcript of BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Umum Tentang Satgas...
18
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Tinjauan Umum Tentang Satgas Saber Pungli
A.1 Pengertian Satgas
Satgas (satuan tugas) merupakan sebuah kelompok yang
berorientasi pada tugas atau kelompok kecil yang dibentuk untuk
menangani suatu atau sejumlah pekerjaan.12 Misalnya tim kerja, panitia,
dan kelompok regu yang banyak bentuknya termasuk dalam katagori
kelompok satuan tugas. Di dalam kelompok social, terdapat
pengklasifiksian kelompok dan pembedaan yang luas dan fundamental
antara kelompok-kelompok kecil dimana hubungan antara anggota-
anggotanya sangat rapat di satu sisi, dengan kelompok-kelompok yang
lebih besar di sisi lain. Kelompok sosial dibagi menjadi dua yaitu
kelompok primer dan kelompok sekunder.
Kelompok primer merupakan kelompok-kelompok yang
ditandai ciri-ciri kenal-mengenal dekat antar anggotanya serta
mempunyai kerjasama yang erat yang bersifat dekat dalam arti pribadi
di dalam kehidupannya. Kelompok ini cara berinteraksi dan
berkomunikasinya secara langsung (bertatap muka) tanpa melalui
perantara, jadi dengan adanya hal tersebut menjadi suatu tujuan dari
individu menjadi juga tujuan dari kelompok yang menjadikan suatu
12 Myazinda. 2008. Kelompok Sosial Dan Kehidupan Masyarakat. Bandung. CV.
Yasindo Multi Aspek. Hal. 20
19
hubungan timbal balik antara kelompok dengan anggotanya. Misalnya:
keluarga, RT, sahabat, kawan sepermainan, dan lain-lain.13
Sedangkan kelompok sekunder adalah pengelompokan anggota-
anggota masyarakat yang terorganisir secara sistematis untuk tujuan-
tujuan tertentu. Kelompok sekunder tersebut biasa dinamakan
perkumpulan atau asosiasi. Contoh kelompok sekunder antara lain;
Koperasi, Perseroan Terbatas / PT, Persatuan Guru Republik Indonesia
(PGRI), Persatuan Sepak Bola Seluruh Indonesia (PSSI).
Ada beberapa kelompok sosial yang tidak dapat dikelompokkan
ke dalam kelompok sekunder maupun kelompok primer. Kelompok ini
disebut kelompok satuan tugas. Kelompok satuan tugas ini berada di
antara kelompok sekunder dan kelompok primer. Dengan kata lain,
kelompok golongan satuan tugas terdiri dari anggota-anggota yang
berhubungan akrab, namun hubungan yang terjalin adalah secara formal
atau resmi untuk melaksanakan tugas tertentu. Secara umum kelompok
satuan tugas merupakan kelompok kecil yang berorientasi pada
kewajiban atau untuk sejumlah pekerjaan tertentu atau menangani
sesuatu.14
13Bagus Haryono dan Supriyadi. 2004. Mengidentifikasi Bentuk Kontrol Sosial
Berkenaan Dengan Fenomena Pornografi Di Kota Surakarta. Vol. 17 No. 1. Fakultas Ilmu Sosial
dan Ilmu Politik. Universitas Sebelas Maret Surakarta. 14Guru Pintar. 2017. “Kelompok Satuan Tugas”. http://www.gurupintar.com. Diakses 19
April 2017. Pukul 16:50 WIB
20
A.2 Regulasi Terkait Satgas Saber Pungli
A.2.1 Peraturan Presiden (Perpres) No. 87 Tahun 2016 Tentang
Satuan Tugas Sapu Bersih Pungutan Liar
PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 87 TAHUN 2016
TENTANG
SATUAN TUGAS SAPU BERSIH PUNGUTAN LIAR
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
Menimbang:
a. Bahwa praktik pungutan liar telah merusak sendi kehidupan
bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara sehingga perlu
upaya pemberantasan secara tegas, terpadu, efektif, efisien,
dan mampu menimbulkan efek jera;
b. bahwa dalam upaya pemberantasan pungutan liar perlu
dibentuk satuan tugas sapu bersih pungutan liar;
c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud
dalam huruf a dan huruf b, perlu menetapkan Peraturan
Presiden tentang Satuan Tugas Sapu Bersih Pungutan Liar.
Mengingat:
Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945.
MEMUTUSKAN:
Menetapkan:
PERATURAN PRESIDEN TENTANG SATUAN TUGAS
SAPU BERSIH PUNGUTAN LIAR.
21
Pasal 1
(1) Dengan Peraturan Presiden ini dibentuk Satuan Tugas Sapu
Bersih Pungutan Liar yang selanjutnya disebut Satgas Saber
Pungli.
(2) Satgas Saber Pungli sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
berkedudukan di bawah dan bertanggung jawab kepada
Presiden.
Pasal 2
Satgas Saber Pungli mempunyai tugas melaksanakan
pemberantasan pungutan liar secara efektif dan efisien dengan
mengoptimalkan pemanfaatan personil, satuan kerja, dan sarana
prasarana, baik yang berada di kementerian/lembaga maupun
pemerintah daerah.
Pasal 3
Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal
2, Satgas Saber Pungli menyelenggarakan fungsi:
a. intelijen;
b. pencegahan;
c. penindakan; dan
d. yustisi.
Pasal 4
Dalam melaksanakan tugas dan fungsi sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 2 dan Pasal 3, Satgas Saber Pungli mempunyai
wewenang:
a. membangunsistem pencegahan dan pemberantasan
pungutan liar;
b. melakukan pengumpulan data dan informasi dari
kementerian/lembaga dan pihak lain yang terkait dengan
menggunakan teknologi informasi;
c. mengoordinasikan,merencanakan, dan melaksanakan
operasi pemberantasan pungutan liar;
22
d. melakukan operasi tangkap tangan;
e. memberikan rekomendasi kepada pimpinan
kementerian/lembaga serta kepala pemerintah daerah untuk
memberikan sanksi kepada pelaku pungli sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan;
f. memberikan rekomendasi pembentukan dan pelaksanaan
tugas unit Saber Pungli di setiap instansi penyelenggara
pelayanan publik kepada pimpinan kementerian/lembaga
dan kepala pemerintah daerah; dan
g. melaksanakan evaluasi kegiatan pemberantasan pungutan
liar.
Pasal 5
Susunan organisasi Satgas Saber Pungli terdiri atas:
Pengendali/Penanggung : Menteri Koordinator Bidang
Politik, Hukum, dan Keamanan
jawab
Ketua Pelaksana : Inspektur Pengawasan Umum
Kepolisian Negara Republik
Indonesia
Wakil Ketua Pelaksana I : Inspektur Jenderal Kementerian
Dalam Negeri
Wakil Ketua Pelaksana II : Jaksa Agung Muda Bidang
Pengawasan
Sekretaris : Staf Ahli di lingkungan
Kementerian Koordinator Bidang
Politik, Hukum,dan Keamanan
23
Anggota terdiri dari unsur : 1 Kepolisian Negara Republik
Indonesia
2 Kejaksaan Agung
3 Kementerian Dalam Negeri
4 Kementerian Hukum dan Hak
Asasi Manusia
5 Pusat Pelaporan dan Analisis
Transaksi Keuangan
6 Ombudsman Republik
Indonesia
7 Badan Intelijen Negara
8 Polisi Militer Tentara
Nasional Indonesia
Pasal 6
(1) Untuk melaksanakan tugas Satgas Saber Pungli,
Pengendali/Penanggung jawab Satgas Saber Pungli dapat
mengangkat kelompok ahli dan kelompok kerja sesuai
kebutuhan.
(2) Kelompok ahli sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berasal
dari unsur akademisi, tokoh masyarakat, dan unsur lain
yang mempunyai keahlian di bidang pemberantasan
pungutan liar.
(3) Kelompok kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
keanggotaannya terdiri dan unsur-unsur
kementerian/lembaga.
24
Pasal 7
(1) Untuk memperlancar pelaksanaan tugas Satgas Saber
Pungli dibentuk sekretariat yang mempunyai tugas
memberikan dukungan teknis dan administrasi.
(2) Sekretariat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dipimpin
oleh Kepala Sekretariat.
(3) Sekretariat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berada
pada salah satu unit kerja di lingkungan Kementerian
Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan.
Pasal 8
(1) Kementerian/lembaga dan pemerintah daerah
melaksanakan pemberantasan pungutan liar di lingkungan
kerja masing-masing.
(2) Dalam melaksanakan pemberantasan pungutan liar,
kementerian/ lembaga dan pemerintah daerah membentuk
unit pemberantasan pungutan liar.
(3) Unit pemberantasan pungutan liar sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) berada pada satuan pengawas internal atau
unit kerja lain di lingkungan kerja masing-masing.
(4) Pembentukan unit pemberantasan pungutan liar
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) berdasarkan
rekomendasi Satgas Saber Pungli sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 4 huruf f.
(5) Unit pemberantasan pungutan liar yang berada pada
masing-masing kementerian/lembaga dan pemerintah
daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (3), dalam
melaksanakan tugasnya berkoordinasi dengan Satgas Saber
Pungli.
Pasal 9
Pengendali/Penanggung jawab Satgas Saber Pungli sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 5 melaporkan pelaksanaan tugas Satgas
25
Saber Pungli kepada Presiden paling sedikit 1 (satu) kali setiap 3
(tiga) bulan atausewaktu-waktu jika diperlukan.
Pasal 10
(1) Ketua Pelaksana dan Wakil Ketua Pelaksana sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 5 mempunyai tugas
mengoordinasikan pelaksanaan tugas kelompok kerja
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 dalam pelaksanaan
operasi tangkap tangan.
(2) Ketua Pelaksana dan Wakil Ketua Pelaksana sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 5 dan kelompok kerja sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 6 melaporkan hasil pelaksanaan
tugas kepada Pengendali/ Penanggung jawab Satgas Saber
Pungli secara berjenjang.
Pasal 11
Ketentuan lebih lanjut mengenai susunan organisasi, tugas, dan
tata kerja kelompok ahli, kelompok kerja, dan sekretariat
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 dan Pasal 7 diatur oleh
Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan.
Pasal 12
(1) Masyarakat dapat berperan serta dalam pemberantasan
pungutan liar, baik secara langsung maupun tidak langsung
melalui media elektronik atau non elektronik.
(2) Peran serta masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) dilakukan dalam bentuk pemberian informasi,
pengaduan, pelaporan, dan/atau bentuk lain sesuai
ketentuan peraturan perundang-undangan.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara peran serta
masyarakat dalam pemberantasan pungutan liar diatur oleh
Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan
Keamanan.
Pasal 13
Segala biaya yang diperlukan bagi pelaksanaan tugas Satgas
Saber Pungli dibebankan pada Anggaran Pendapatan Belanja
26
Negara melalui Anggaran Belanja Kementerian Koordinator
Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan.
Pasal 14
Peraturan Presiden ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan
pengundangan Peraturan Presiden ini dengan penempatannya
dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan Di Jakarta,
Pada Tanggal 20 Oktober 2016
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
Ttd.
JOKO WIDODO
Diundangkan Di Jakarta,
Pada Tanggal 21 Oktober 2016
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,
Ttd.
YASONNA H. LAOLY
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN
2016 NOMOR 202
A.2.2 Keputusan Walikota Malang Nomor
188.45/30/35.73.112/2017 Tentang Satuan Tugas Sapu Bersih
Pungutan Liar Kota Malang
Berdasarkan keputusan walikota tersebut, tanggal 9
Januari 2017 Kota Malang resmi mempunyai satgas saber
27
pungliyang nantinya melakukan pencegahan sampai dengan
penindakan terkait pungutan liar di Kota Malang.
Adapun satgas saber pungli Kota Malang ini terdiri dari
45 orang dari unsur pemerintahan (Inspektorat, Kesbangpol,
BKD serta bagian hukum Pemkot Malang, TNI (POM AD,
Kodim 0833), Polri (intelkam, reskrim, serta satbimas),
akademisi (UB dan UMM) dan Kejaksaan (intel, tipikor plus
jaksa fungsional).15
Satgas saber pungli Kota Malang ini sesuai dengan
Keputusan tersebut, diketahui yaitu:
1. Penanggung jawab adalah Walikota Malang;
2. Wakil Penanggungjawab I adalah Kapolres Malang Kota;
3. Wakil Penanggung jawab II adalah Komandan Kodim 0883
Kota Malang;
4. Ketua Pelaksana adalah Wakapolres Malang Kota (Kompol
Dewa Putu Eka D. S.IK);
5. Wakil Ketua I adalah Inspektur Kota Malang (Drs. Subari);
6. Wakil Ketua II adalah Kasi Intel Kejaksaan Negeri Kota
Malang (Mochamad Arif K, SH.);
Dalam Keputusan tersebut ditetapkan beberapa
Kelompok Kerja (Pokja) yang akan melaksanakan tugas-tugas
sebagai Saber Pungli Kota Malang, diantaranya:
15Bangsa Online. 2017. “Satgas Saber Pungli Kota Malang Dilantik”.
https://www.bangsaonline.com. Diakses 19 April 2017. Pukul 17:10 WIB
28
a. Pokja Unit Intelejen yang diketua oleh Kasatintelkam Polres
Malang Kota;
b. Pokja Pencegahan yang diketuai oleh Kasatbinmas Polres
Malang Kota;
c. Pokja Penindakan yang diketuai oleh Kasatreskrim Polres
Malang Kota, dan
d. Pokja Yustisi yang diketuai oleh KBO Satreskrim Polres
Malang Kota.
Dalam masing-masing Pokja tersebut terdapat beberapa
anggota yang berasal dari jajaran Polres Malang Kota, Denpom
V/3 Pomdam V/Brawijaya, Akademisi, Kejaksaan Negeri Kota
Malang dan Pemerintah Kota Malang.16
B. Tinjauan Umum Tentang Tindak Pidana Pungutan Liar
B.1 Tinjauan Umum Tentang Tindak Pidana
B.1.1 Pengertian Tindak Pidana
Di dalam hukum pidana terdapat beberapa rumusan
pengertian tindak pidana atau istilah tindak pidana sebagai
pengganti istilah Strafbaar Feit. Sedangkan dalam perundang-
undangan negara kita istilah tersebut disebutkan sebagai
peristiwa pidana, perbuatan pidana atau delik. Melihat apa yang
dimaksud diatas, maka pembentuk undang-undang sekarang
sudah konsisten dalam pemakaian istilah tindak pidana. Akan
16Inspektorat Kota Malang. 2017. “Pengukuhan Saber Pungli Kota Malang”.
http://inspektorat.malangkota.go.id. Diakses 19 April 2017. Pukul 17:15 WIB
29
tetapi para sarjana hukum pidana mempertahankan istilah yang
dipilihnya sendiri.17 Adapun pendapat itu diketemukan oleh : D.
Simons, Mulyatno, Van Hamel, WPJ. Pompe, dan Soedarto
yang dalam urainnya adalah sebagai berikut:
1. D. Simons
Strafbaar Feit adalah kelakuan (Hendeling) yang
diancam dengan pidana yang bersifat melawan hukum, yang
berhubungan dengan kesalahan dan yang dilakukan oleh
orang yang mampu bertanggung jawab. Unsur-unsur tindak
pidana :
a. Unsur Obyektif : Perbuatan orang, Akibat yang kelihatan
dari perbuatan itu Mungkin ada keadaan tertentu yang
menyertai perbuatan itu
b. Unsur Subyektif : Orang yang mampu bertanggung
jawab, Adanya kesalahan (Dolus atau Culpa). Kesalahan
ini dapat berhubungan dengan akibat dari perbuatan atau
keadaan mana perbuatan itu dilakukan.18
2. Prof. Mulyatno S.H
Perbuatan Pidana adalah perbuatan yang dilarang
oleh suatu aturan hukum, larangan mana disertai ancaman
(sanksi) yang berupa pidana tertentu bagi barang siapa yang
melanggar larangan tersebut. Unsur-unsur tindak pidana :
17Tongat. 2012. Dasar-dasar Hukum Pidana Indonesia Dalam Perspektif
Pembaharuan.Cetakan 3. Umm Press. Malang. Hal. 94 18Mulyatno. 1987. Asas-asas Hukum Pidana. Jakarta. Bina Aksara. hal.54
30
a. Perbuatan manusia;
b. Memenuhi rumusan undang-undang;
c. Bersifat melawan hukum.19
3. Van Hamel
Strafbaar Feit adalah kelakuan (Menselijke
Gedraging) orang yang dirumuskan dalam WET yang
bersifat melawan hukum, yang patut dipidana (Staff
Waardig) dan dilakukan dengan kesalahan. Unsur-unsur
tindak pidana:
a. Perbuatan Manusia;
b. Yang dirumuskan dalam Undang-Undang;
c. Dilakukan dengan kesalahan;
d. Patut dipidana.20
4. W.P.J. Pompe
Pengertian Strafbaar Feit dibedakan antara definisi
yang bersifat teoritis dan yang bersifat Undang-Undang.
Menurut Teori : Strafbaar Feit adalah suatu pelanggaran
terhadap norma yang dilakukan karena kesalahan si
pelanggar dan diancam dengan pidana untuk
mempertahankan tata hukum dan menyelamatkan
kesejahteraan umum. Menurut Undang-Undang / Hukum
Positif Strafbaar Feit adalah suatu kejadian (Feit) yang oleh
19Teguh Prasetyo. 2010. Hukum Pidana. Jakarta. Rajawali Pers. Hal. 46 20Mulyatno. Op. Cit. Hal 57
31
peraturan perundang-undangan dirumuskan sebagai
perbuatan yang dapat dihukum.21
5. Soedarto
Beliau menyebut Staafbaar Feit dengan istilah tindak
pidana, dengan unsur-unsur sebagai berikut :
a. Perbuatan yang memenuhi rumusan Undang-Undang
bersifat melawan hukum;
b. Dilakukan oleh orang yang mampu bertanggung jawab;
c. Kesalahan (Sculd) baik dalam bentuk kesengajaan
(Dolus) maupun kealpaan (Culpa) dan tidak ada alasan
pemaaf.22
Dalam hukum pidana belanda selain memakai istilah
strafbaatfeit kadang juga menggunakan kata delict yang berasal
dari bahasa latindelictum. Dan secara umum oleh pakar hukum
pidana disetujui penggunaan strafbaarfeit.Dan oleh undang-
undang telah dinyatakan sebagai perbuatan atau tindakan yang
dapat dihukum.Utrecht memandang rumusan yang
dikemukakan oleh Simon itu merupakan rumusan yang lengkap.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa unsur-unsur
strafbaarfeit meliputi:
a. Suatu perbuatan;
b. Perbuatan itu dilarang dan diancam dengan hukuman;
21Bambang Purnomo. 1985. Asas-asas Hukum Pidana Jakarta. Ghalia Indonesia. Hal. 91 22Ibid.
32
c. Perbuatan itu dilakukan oleh orang yang dapat
dipertanggungjawabkan.23
Oleh karena KUHP bersumber pada W.v.S Belanda,
maka istilah yang digunakan pun sama yaitu strafbaarfeit.
Namun dalam menterjemahkan istilah strafbaarfeit kedalam
bahasa Indonesia terdapat perbedaan. Sebagaimana yang dikutip
oleh Andi Hamzah, Moeljatno dan Roeslan Saleh menggunakan
istilah perbuatan pidana meski tidak untuk menterjemahkan
strafbaarfeit.Sedangkan Van Hamel merumuskan istilah
strafbaar feit itu sebagai kelakuan manusia yang dirumuskan
dalam undang-undang, melawan hukum yang patut dipidana dan
dilakukan dengankesalahan.24
B.1.2 Unsur-unsur Tindak Pidana
Untuk mengenakan pidana itu harus dipenuhi syarat-
syarat tertentu. Syarat-syarat tertentu ini lazimnya disebut
dengan unsur-unsur tindak pidana. Jadi seseorang dapat
dikenakan pidana apabila perbuatan yang dilakukan memenuhi
syarat-syarat tindak pidana (strafbaarfeit).
Setiap tindak pidana dalam KUHP pada umumnya dapat
dijabarkan unsur-unsurnya menjadi dua macam, unsur
23Poerwadarminta. 2011. Kamus Umum Bahasa Indonesia. Jakarta Timur. PT Balai
Pustaka. Hal. 276 24Andi Hamzah. 2008. Asas-asas Hukum Pidana. Jakarta. Rineka Cipta. Hal. 88
33
subyektif dan obyektif, yaitu:25
1. Unsur obyektif adalah unsur yang terdapat diluar
pelaku(dader) yang dapat berupa:
a. Perbuatan, baik dalam arti berbuat maupun dalam arti
tidak berbuat;
b. Akibat, yang menjadi syarat mutlak dalam tindak pidana
materiil;
c. Keadaan atau masalah-masalah tertentu dilarang dan
diancam oleh undang-undang.
2. Unsur subyektif yaitu unsur yang terdapat pada diri pelaku.
Unsur subyektif berupa:
a. Hal yang dapat dipertanggung jawabkan seseorang
terhadap perbuatan yang telah dilakukan (kemampuan
bertanggungjawab);
b. Kesalahan atau schuld berkaitan dengan masalah
kemampuan bertanggungjawab diatas, persoalannya
kapan seseorang dikatakan mampu bertanggungjawab.
Seseorang dapat dikatakan bertanggung jawab apabila
pada diri orang itu memenuhi tiga syarat yaitu:
1) Keadaan jiwa seseorang adalah sedemikian rupa,
sehingga ia dapat mengerti akan nilai perbuatannya
25P.A.F Lamintang dan Djisman Samosir. 1981. Delik-delik Khusus kejahatan yang
ditujukan Terdapat Hak Milik. Tarsito. Bandung. Hal. 25 dalam Tongat. 2002. Hukum Pidana
Materiil. Umm Press. Malang. Hal 4.
34
dan karena juga mengerti akan akibat perbuatannya
itu;
2) Keadaan jiwa seseorang itu sedemikian rupa,
sehingga ia dapat menentukan kehendaknya
terhadap perbuatan yang ia lakukan;
3) Seseorang itu harus sadar perbuatan maa yang tidak
dilarang oleh undang-undang.26
Berkaitan dengan pengertian unsur-unsur tindak
pidana(strafbaar feit) ada beberapa pendapat para sarjana
mengenai pengertian unsur-unsur tindak pidana menurut aliran
monistis dan menurut aliran dualistis. Para sarjana yang
berpandangan aliran monistis, yaitu :
a. D. Simons, sebagai menganut pandanganmonistis Simons
mengatakanbahwa pengertian tindak pidana(strafbaar feit)
adalah ”Een strafbaargestelde, onrechtmatige, met schuld
verband staande handeling van een toerekeningsvatbaar
persoon”.
Atas dasar pandangan tentang tindak pidana tersebut
di atas, unsur-unsur tindak pidana menurut Simons adalah :
1) Perbuatan manusia (positif atau negatif, berbuat atau
tidak berbuat atau membiarkan);
2) Diancam dengan pidana (strafbaar gesteld);
26Ibid.
35
3) Melawan hukum (onrechtmatig);
4) Dilakukan dengan kesalahan (met schuld in verband
staad);
5) Oleh orang yang mampu bertanggung jawab
(toerekeningsyatbaarpersoon).27
b. Van Hamel, menyatakanStafbaarfeitadalaheen weterlijk
omschre enmensschelijke gedraging onrechmatig,
strafwardig en aan schuld te wijten. Jadi menurutVan
Hamelunsur-unsur tindak pidana adalah :
1) Perbuatan manusia yang dirumuskan dalam undang-
undang;
2) Bersifat melawan hukum;
3) Dilakukan dengan kesalahan dan
4) Patut dipidana.28
c. Menurut J. Bauman perbuatan atau tindak pidana adalah
perbuatan yang memenuhi rumusan deli, bersifat melawan
hukum dan dilakukan dengan kesalahan.29
Dari pendapat para sarjana yang beraliran monistis
tersebut dapat disimpulkan bahwa tidak adanya pemisahan
antara criminal act dan criminalresponsibility.
Lebih lanjut mengenai unsur-unsur tindak pidana
menurutpendapat para sarjana yang berpandangan
27Tongat. Op. Cit. Hal. 95 28Sudarto. Op. Cit.. Hal. 33 29Tongat. Op. Cit. Hal. 95
36
dualistisadalah sebagai berikut:
a. Pompe, mengatakan dalam hukum positif strafbaarfeit tidak
lain adalah feit (tindakan) yang diancam pidana dalam
ketentuan undang-undang. Menurut Pompe, dalam hukum
positif, sifat melawan hukum dan kesalahan bukanlah syarat
mutlak untuk adanya tindak pidana.30
b. Menurut Moeljatnoperbuatan pidana adalah perbuatan yang
diancam dengan pidana, barang siapa yang melanggar
larangan tersebut, maka untuk terjadinya perbuatan atau
tindak pidana harus dipenuhi unsur :
a) Adanya perbuatan manusia;
b) Yang memenuhi rumusan dalam undang-undang (hal ini
merupakan syarat formil, terkait dengan berlakunya
pasal 1 (1) KUHP);
c) Bersifat melawan hukum (hal ini merupakan syarat
materiil dan fungsinya yang negatif).31
Dengan demikian pandangan sarjana yang beraliran
dualistis ini ada pemisahan antara criminal act dan criminal
responsibility.
Menurut Sudarto, baik aliran monistis maupun dualistis,
tidak mempunyai perbedaan yang prinsipil dalam menentukan
adanya pidana. Apabila orang menganut pendirian yang satu,
30Ibid. Hal. 96 31Ibid.
37
hendaknya memegang pendirian itu secara konsekuen, agar
tidak terjadi kekacauan pengertian. Bagi orang yang
berpandangan monistis, seseorang yang melakukan tindak
pidana sudah dapat dipidana, sedangkan bagi yang
berpandangan dualistis, sama sekali belum mencukupi syarat
untuk dipidana karena masih harus disertai syarat
pertanggungjawaban pidana yang harus ada pada si pembuat
atau pelaku pidana. Jadi menurut pandangan dualistis semua
syarat yang diperlukan untuk pengenaan pidana harus lengkap
adanya.32
B.1.3 Subyek Hukum Tindak Pidana
Manusia Sebagai Subyek Tindak Pidana
Setelah berbagai hal tentang tindak pidana, yaitu
mengenai istilah, penegerttian jenis-jenis tindak pidana,
maka hal yang sangat penting berkaitan dengan tindak
pidana adalah mengenai subyek tindak pidana..Hal ini
berkaitan dengan siapakah yang dapat menjadi pelaku
tindak pidana.Apabila melihat bahasan pada bagian
terdahulu tentang pengertian dan unsur-unsur tindak pidana,
maka telah terlihat bahwa unsur yang pertama dari tindak
pidana ialah perbuatan manusia.
32Sudarto. 1975. Hukum Pidana. jilid 1 A-B Fakultas Hukum Universitas Diponegoro.
Semarang. Hal. 28
38
Dengan kata lain dapat dikatakan, bahawa yang
dapat menjadi pelaku tindak pidana itu adalah manusia
(natuurlijke person). Dapat dikatakan bahwa yang dapat
menjadi pelaku tindak pidana adalah manusia dapat
disimpulkan dari hal-hal seperti berikut:33
1) Rumusan delik pada undang-undang (pidana) lazim
dimulai dengan kata-kata “barang siapa” sebagai
contoh dapat dilihat dalam beberapa rumusan delict
dalam KUHP seperti beriku:
a) Pasal 338 KUHP misalnya merumuskan : “barang
siapa sengaja merampas nyawa orang lain,
diancam, karena pembunuhan, dengan pidana
paling lama 15 tahun.”;
b) Pasal 359 KUHP merumuskan : “barang siapa
karena kealpaannya menyebabkan matinya orang
lain, diancam dengan pidana penjara paling lama
lima tahun atau kurungan paling lama satu tahun.”
Kata “barang siapa” dalam rumusan delik diatas,
tidak dapat diartikan lain dari pada “orang” atau “manusia”.
Dengan demikian, kata “barang siapa” dalam rumusan
pasal-pasal diatas maknanya menunjuk pada pengertian
“orang” atau “manusia”.
33Tongat. Op. Cit. Hal. 117
39
2) Apabila melihat sanksi yang dapat diterapkan terhadap
pelaku tindak pidana (manusia) sesuai dengan pasal 10
KUHP yaitu:
a) Pidana pokok :
1. Pidana mati;
2. Pidana penjara;
3. Kurungan;
4. Denda;
5. Pidana tutupan.
b) Pidana tambahan :
1. Pencabutan hak-hak tertentu;
2. Perampasan barang-barang tertentu;
3. Pengumuman putusan hakim.
3) Syarat adanya kesalahan
Syarat adanya kesalahan pada diri pelaku untuk
dapat dijatuhkan pidana menunjukkan, bahwa yang
dapat dipertanggungjawabkan hukum pidana itu adalah
manusia. Sebab kesalahan, baik yang berupa
kesengajaan maupun kealpaan, merupakan sikap batin
dari diri manusia.34
34Tongat. Op. Cit. Hal. 118
40
B.2 Tinjauan Umum Tentang Pungutan Liar
B.2.1 Pengertian Pungutan Liar
Secara umum pengertian pungutan liar adalah kegiatan
meminta sejumlah uang atau barang yang dilakukan dengan
tidak tertata, tidak berijin resmi dan dilakukan secara sembunyi-
sembunyi dari aparat penegak hukum.
Pungutan liar atau pungli adalah pengenaan biaya di
tempat yang tidak seharusnya biaya dikenakan atau dipungut.
Kegiatan pungutan liar (selanjutnya disebut pungli) bukanlah hal
baru. Pungli berasal dari frasa pungutan liar yang secara
etimologis dapat diartikan sebagai suatu kegiatan yang
memungut bayaran/meminta uang secara paksa. Jadi pungli
merupakan praktek kejahatan.35
Istilah pungli ini juga terdapat dalam kamus bahasa
China. Li artinya keuntungan dan Pung artinya persembahan,
jadi Pungli diucapkan Pung Li, artinya adalah
mempersembahkan keuntungan.36
Pungutan liarmerupakan perbuatan yang dilakukan oleh
seseorang atau Pegawai Negeri atau Pejabat Negara dengan cara
meminta pembayaran sejumlah uang yang tidak sesuai atau
tidak berdasarkan peraturan yang berkaitan dengan
35Sudut Hukum. 2017. “Pengertian Pungutan Liar”. http://www.suduthukum.com.
Diakses 19 April 2017. Pukul 20:12 WIB 36H. Helmy. 2017. “Ternyata Pungli Berasal Dari Bahasa Cina”. https://sulsel.
kemenag.go.id.Diakses 19 April 2017. Pukul 20:15 WIB
41
pembayaran tersebut. Hal ini sering disamakan dengan
perbuatan pemerasan.37
Pungutan liar adalah suatu perbuatan yang dilakukan
oleh pegawai negeri atau aparatur negara yang memiliki dan
menyalahgunakan suatu kewenangan tertentu dengan
mengharap sebuah imbalan dengan menyalahi aturan hukum
sehingga menimbulkan akibat moril dan materill bagi orang
lain.38
Sebenarnya, istilah pungli hanyalah merupakan istilah
politik yang kemudian dipopulerkan lebih lanjut oleh dunia
jurnalis. Di dalam dunia hukum (pidana), istilah ini tidak
dijumpai. Belum pernah kita mendengar adanya tindak pidana
pungli atau delik pungli.
Sesungguhnya, pungli adalah sebutan semua bentuk
pungutan yang tidak resmi, yang tidak mempunyai landasan
hukum, maka tindakan pungutan tersebut dinamakan sebagai
pungutan liar (pungli).
Dalam rumusan korupsi pada pasal 12 huruf e UU nomor
20 tahun 2001 berasal dari pasal 423 KUHP yang dirujuk dalam
pasal 1 ayat (1) huruf c UU nomor 3 tahun 1971, dan pasal 12
UU nomor 31 tahun 1999 sebagai tindak pidana korupsi, yang
37Lijan Poltak Sinambela. 2006. Reformasi Pelayanan Publik: Teori, Kebijakan dan
Implermentasi. Jakarta. Sinar Grafika Offset. hal 96. 38Soedjono Dirdjosisworo. 1983. Pungli: Analisa Hukum & Kriminologi, Cetakan Ke-2.
Bandung. Sinar Baru. Hal 52
42
kemudian dirumuskan ulang pada UU nomor 20 tahun 200139,
pengertian pungutan liar adalah suatu perbuatan yang dilakukan
oleh pegawai negeri atau penyelenggara negara yang dengan
maksud menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara
melawan hukum, atau dengan menyalahgunakan kekuasaannya
memaksa seseorang memberikan sesuatu, membayar, atau
menerima pembayaran dengan potongan, atau untuk
mengerjakan sesuatu bagi dirinya sendiri.
B.2.2 Unsur-unsur Pungutan Liar
Pungutan liar terdiri atas unsur- unsur obyektif dan
unsur-unsur subjektif antara lain, yaitu:
Unsur-Unsur Obyektif
Pada pungutan liar yang menjadi unsur-unsur objektif
dalam hal ini diatur dalam rumusan korupsi pada Pasal 12
huruf e UU Nomor 20 Tahun 2001 berasal dari Pasal 423
KUHP adalah :
1. Pegawai negeri atau penyelenggara negara
(deambtenaar);
2. Menyalahgunakan kekuasaan (misbruik van gezag);
3. Memaksa seseorang (iemand dwigen om) untuk :
a. Memberikan sesuatu (iets af geven);
b. Membayar (uitbetaling);
39Undang-Undang nomor 20 tahun 2001 Tentang, Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
43
c. Menerima pembayaran dengan potongan, atau (eene
terughouding genoegen nemenbij eene uitbetaling);
d. Mengerjakan sesuatu bagi dirinya sendiri (een
persoonlijken dienst verrichten).
Unsur-unsur Subyektif
Pada pungutan liar yang menjadi unsur-unsur
subjektif dalam hal ini diatur dalam rumusan korupsi pada
Pasal 12 huruf e UU Nomor 20 Tahun 2001 berasal dari
Pasal 423 KUHP adalah :
1. Dengan maksud untuk (met het oogmerk om)
menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara
melawan hukum (zich of een ander wederrechtelijk te
bevoordelen);
2. Menguntungkan secara melawan hukum (wederrechtelijk
te bevoordelen).
B.2.3 Konsep Pungutan Liar Dalam Prespektif Sosiologis, Yuridis,
dan Kriminologis
a. Prespektif Sosiologis
Prespektif sosiologis ini menekankan pada konteks
sosial dalam mana manusia hidup. Perpektif sosiologis
mengkaji bagaimana konteks tersebut mempengaruhi
kehidupan manusia. Perspektif sosiologis merupakan pola
pengamatan ilmu sosiologi dalam mengkaji tentang
44
kehidupan masyarakat dengan segala aspek atau proses
sosial kehidupan di dalamnya. Pada intinya perpektif ini
adalah pertanyaan bagaimana kelompok mempengaruhi
manusia, khususnya bagaimana manusia di pengaruhi
masyarakat.40Oleh karena itu, dalam masyarakat tentunya
sering ditemukan beberapa pandangan yang berbeda satu
sama lain.Tindak pidana pungutan liar ada karena berasal
dari perilaku manusia yang menyimpangdan saling
mempengaruhi satu sama yang lain.
Pada dasarnya masyarakat adalah suatu kenyataan
subjektif, dalam arti bagi setiap orang, dan lembaga-
lembaga lain tergantung pada pandangan subjektif orang
tersebut.
b. Prespektif Yuridis
Prespektif Yuridis disini maksudnya adalah sudut
pandang hukum yang mengandung hal yang harus ditaati.
Pengertian yuridis sendiri adalah segala hal yang memiliki
arti hukum dan sudah disahkan oleh pemerintah. Yuridis
sendiri bersifat memaksa dimana seseorang harus
mematuhinya. Yuridis tidak hanya dalam bentuk tertulis
melainkan juga berbentuk tidak tertulis. Yuridis yang
tertulis diantaranya adalah undang-undang sedangkan
40James M. Henslin. 2007. Sosiologi Dengan Pendekatan Membumi. Jakarta. Erlangga.
Hal 57
45
yuridis tidak tertulis adalah hukum adat. Sekalipun dalam
bentuk tidak tertulis, adanya hukum adat tersebut harus
dipatuhi oleh masyarakat. Jika aturan baku tersebut
dilanggar maka yang melanggarnya akan mendapatkan
sanksi. Jika hukum tertulis maka sanksinya adalah dari
pemerintah atau pihak yang berwenang berdasarkan
undang-undang, namun jika hukum tidak tertulis maka
sanksi pelanggaran bisa datang dari masyarakat sendiri.
Berdasarkan prespektif yuridis, tindak pidana
pungutan liar merupakan yuridis dalam bentuk tertulis yang
mana sanksinya telah tercantum di dalam peraturan
perundang-undangan. Sanksi yang diberikan terhadap
pelaku tindak pidana pungutan liar dapat disamakan dengan
sanksi yang tercantum dalam pasal 368 tentang pemerasan,
pasal 378 tentang penipuan, dan undang-undang No. 20
Tahun 2001 Tentang Tindak Pidana Korupsi.
c. Prespektif Kriminologis
Topo Santoso mengemukakan bahwa:
Kriminologi mempelajari kejahatan sebagai fenomena
sosial sehingga sebagai pelaku kejahatan tidak terlepas dari
interaksi sosial, artinya kejahatan menarik perhatian karena
pengaruh perbuatan tersebut yang dirasakan dalam
hubungan antar manusia. Kriminologi merupakan kumpulan
46
ilmu pengetahuan dan pengertian gejala kejahatan dengan
jalan mempelajari dan menganalisa secara ilmiah
keterangan-keterangan, keseragaman-keseragaman, pola-
pola dan faktor-faktor kausal yang berhubungan dengan
kejahatan, pelaku kejahatan serta reaksi masyarakat
terhadap keduanya.41 Berkaitan dengan apa yang di
kemukakakan Topo Santoso, bahwa objek dari kajian
kriminologi adalah:42
1. Kejahatan
Berbicara tentang kejahatan, maka suatu yang
dapat kita tangkap secara spontan adalah tindakan yang
merugikan orang lain atau masyarakat umum, atau
lebih sederhana lagi kejahatan adalah suatu perbuatan
yang bertentangan dengan norma. Seperti apakah
batasan menurut kriminologi. Banyak para pakar
mendefinisikan kejahatan dari berbagai sudut.
Pengertian kejahatan merupakan suatu pengertian yang
relatif, suatu kondisi yang tegantung pada nilai-nilai
dan skala sosial. Kejahatan yang dimaksud disini
adalah kejahatan dalam arti pelanggaran terhadap
undang-undang pidana. Disinilah letak berkembangnya
kriminologi dan sebagai salah satu pemicu dalam
41Topo Santoso dan Eva Achjani. 2011. Kriminologi. Jakarta. Raja Grafindo Persada. Hal.
23 42Ibid. Hal 12
47
perkembangan kriminologi. Kejahatan didefinisikan
secara luas, dan bentuk kejahatan tidak sama menurut
tempat dan waktu. Kriminologi dituntut sebagai salah
satu bidang ilmu yang bisa memberikan sumbangan
pemikiran terhadap kebijakan hukum pidana.
2. Perilaku
Setelah mempelajari kejahatannya, maka
sangatlah tepat kalau pelaku kejahatan tersebut juga
dipelajari. Akan tetapi, pemikiran tersebut tidak
demikian adanya, yang dapat dikualifikasikan sebagai
pelaku kejahatan untuk dapat dikategorikan sebagai
suatu pelaku adalah mereka yang telah ditetapkan
sebagai pelanggar hukum oleh pengadilan. Objek
penelitian kriminologi tentang pelaku adalah tentang
mereka yang telah melakukan kejahatan, dan dengan
penelitian tersebut diharapkan dapat mengukur tingkat
kesadaran masyaakat terhadap hukum yang berlaku
dengan muaranya adalah kebijakan hukum pidana baru.
3. Reaksi masyarakat terhadap perbuatan melanggar
hukum dan pelaku kejahatan.
Tidaklah salah kiranya, bahwa pada akhirnya
masyarakatlah yang menentukan tingkah laku yang
tidak dapat dibenarkan serta perlu mendapat sanksi
48
pidana. Sehingga dalam hal ini keinginan-keinginan
dan harapan-harapan masyarakat inilah yang perlu
mendapatkan perhatian dari kajian-kajian kriminologi.
B.2.4 Penafsiran Hukum Terhadap Pungutan Liar Dalam Hukum
Pidana
Pada dasarrnya tidak ada sebuah peraturan perundang-
undangan yang mengatur secara pasti mengenai tindak pidana
pungutan liar. Dengan tidak adanya sebuah peraturan
perundang-undangan yang mengaturnya, bukan berarti pelaku
tindak pidana pungutan liar tidak dapat di hukum. Oleh karena
itu diperlukan sebuah penafsiran hukum untuk mencari jalan
keluar guna dapat menjerat pelaku tindak pidana pungutan liar
tersebut. Adapun jenis-jenis dari penafsiran hukum, yaitu:43
1. Penafsiran Tata Bahasa (Gramatikal)
Pada penafsiran gramatikal ketentuan yang terdapat di
peraturan perundang-undangan ditafsirkan dengan
berpedoman pada arti perkataan menurut tata bahasa atau
menurut kebiasaan.
2. Penafsiran Autentik/resmi
Penafsiran autentik adalah penafsiran yang dilakukan
berdasarkan pengertian yang ditentukan oleh pembentuk
undang-undang
43Wibowo Tunardy. 2017. “Penafsiran Hukum/Interprestasi Hukum”.http://www.jurnal
hukum.com. Diakses 13 Mei 2017. Pukul 13:50 WIB
49
3. Penafsiran Historis
Penafsiran historis dilakukan berdasarkan:
Sejarah hukumnya, yaitu berdasarkan sejarah terjadinya
hukum tersebut
Sejarah undang-undangnya, yaitu dengan menyelidiki
maksud pembentuk undang-undang pada saat
membentuk undang-undang tersebut
4. Penafisran Sistematis
Penafsiran sistematis dilakukan dengan meninjau
susunan yang berhubungan dengan pasal-pasal lainnya, baik
dalam undang-undang yang sama maupun dengan undang-
undang yang lain.
5. Penafsiran Nasional
Penafsiran nasional merupakan penafsiran yang
didasarkan pada kesesuaian dengan sistem hukum yang
berlaku.
6. Penafsiran Teleologis (sosiologis)
Penafsiran ini merupakan penafsiran yang dilakukan
dengan memperhatikan maksud dan tujuan dari undang-
undang tersebut. Penafsiran teleologis dilakukan karena
terdapat perubahan di masyarakat, sedangkan bunyi undang-
undang tidak berubah.
50
7. Penafsiran Ekstensif
Penafsiran ekstensif dialakukan dengan memperluas arti
kata-kata yang terdapat dalam suatu peraturan perundang-
undangan.
8. Penafsiran Restriktif
Penafsiran restriktif dilakukan dengan mempersempit
arti kata-kata yang terdapat dalam suatu peraturan perundang-
undangan.
9. Penafsiran Analogis
Penafsiran analogis dialakukan dengan memberikan
suatu kiasan atau ibarat pada kata-kata sesuai dengan asas
hukumnya.
10. Penafsiran a contrario menurut peringkaran)
Penafsiran a contrario adalah penafsiran yang didasari
pada perlawanan antara masalah yang dihadapi dengan
masalah yang diatur dalam undang-undang.
Dari penafsiran-penafsiran diatas, penafsiran yang dapat
digunakan untuk menjerat pelaku tindak pidana pungutan liar
ialah menggunakan penafsiran sistematis. Dimana dengan cara
meninjau susunan yang berhubungan dengan pasal-pasal lainnya
baik dalam undang-undang yang sama maupun dengan undang-
undang yang lain. Seperti halnya melihat unsur-unsur subyektif
dan unsur-unsur obyektif dari pasal-pasal tindak pidana lainnya
51
yang ciri-cirinya mempunyai kesamaan dengan unsur-unsur
subyektif dan unsur-unsur obyektif yang terdapat dalam tindak
pidana pungutan liar. Karena pada hakikatnya terbentuknya
suatu undang-undang merupakan bagian dari keseluruhan sistem
perundang-undangan yang berlaku sehingga tidak mungkin ada
satu undang-undang yang berdiri sendiri tanpa terikat dengan
peraturan perundang-undangan lainnya.
Berdasarkan penafsiran sistematis, pelaku tindak pidana
pungutan liar dapat dijerat menggunakan pasal pemerasan, pasal
penipuan dan undang-undang tindak pidana korupsi. Penjelasan
lebih rincinya yaitu:
Pungutan liar bisa dikategorikan sebagai pemerasan, Hal
tersebut telah tercantum secara jelas pada Pasal 368 KUHP
Tentang Pemerasan:
"Barang siapa dengan maksud untuk menguntungkan diri
sendiri atau orang lain secara melawan hukum, memaksa
orang lain dengan kekerasan atau ancaman kekerasan,
untuk memberikan sesuatu barang, yang seluruhnya atau
sebagian adalah milik orang lain, atau supaya
memberikan hutang maupun menghapus piutang,
diancam, karena pemerasan, dengan pidana penjara
paling lama sembilan tahun".
Pungutan liar juga bisa dikatagorikan sebagai tindak pidana
penipuan, yang telah tercantum di dalam Pasal 378 KUHP
Tentang Penipuan:
"Barang siapa dengan maksud untuk menguntungkan diri
sendiri atau orang lain dengan melawan hukum, dengan
memakai nama palsu atau martabat palsu, dengan tipu
52
muslihat ataupun dengan rangkaian kebohongan
menggerakkan orang lain untuk menyerahkan sesuatu
benda kepadanya, atau supaya memberi hutang maupun
menghapuskan piutang, diancam karena penipuan dengan
pidana penjara paling lama 4 tahun".
Selsain itu pungutan liar juga bisa dikatagorikan sebagai
tindak pidana korupsi, yang mana telah tercantum dalam Pasal
12 huruf e Undang-undang No. 20 Tahun 2001 Tentang
Tindak Pidana Korupsi :
"Pegawai negeri atau penyelenggaranegara yang dengan
maksud menguntungkan diri sendiri atau oang lain secara
melawan hukum atau dengan menyalahgunakan
kekuasaannya memaksa seseorang memberikan sesuatu,
membayar atau menerima pembayaran dengan potongan
atau untuk mengerjakan sesuatu bagi dirinya sendiri.
Dengan ancaman pidana seumur hidup atau minimal
empat tahun penjara dan maksimal 20 tahun penjara serta
denda minimal Rp200 juta rupiah dan maksimal Rp1
miliar rupiah.
Selain dua pasal tersebut, tindak pidana pungutan liar juga
dapat dijerat menggunakan pasal gratifikasi yang terdapat dalam
Pasal 5 dan Pasal 12 huruf a dan huruf b Undang-undang
No. 20 Tahun 2001 Tentang Tindak Pidana Korupsi, yaitu:
Pasal 5:
Dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu)
tahun dan paling lama 5 (lima) tahun dan atau pidana
denda paling sedikit Rp 50.000.000,00 (lima puluh juta
rupiah) dan paling banyak Rp 250.000.000,00 (dua ratus
lima puluh juta rupiah) setiap orang yang:
a. Memberi atau menjanjikan sesuatu kepada pegawai
negeri atau penyelenggara negara dengan maksud
supaya pegawai negeri atau penyelenggara negara
tersebut berbuat atau tidak berbuat sesuatu dalam
jabatannya, yang bertentangan dengan kewajibannya;
atau
53
b. Memberi sesuatu kepada pegawai negeri atau
penyelenggara negara karena atau berhubungan
dengan sesuatu yang bertentangan dengan kewajiban,
dilakukan atau tidak dilakukan dalam jabatannya.
Pasal 12 huruf a dan huruf b:
Dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau
pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling
lama 20 (dua puluh) tahun dan pidana denda paling
sedikit Rp 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan
paling banyak Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah):
a. Pegawai negeri atau penyelenggara negara yang
menerima hadiah atau janji, padahal diketahui atau
patut diduga bahwa hadiah atau janji tersebut
diberikan untuk menggerakkan agar melakukan atau
tidak melakukan sesuatu dalam jabatannya, yang
bertentangan dengan kewajibannya;
b. Pegawai negeri atau penyelenggara negara yang
menerima hadiah, padahal diketahui atau patut diduga
bahwa hadiah tersebut diberikan sebagai akibat atau
disebabkan karena telah melakukan atau tidak
melakukan sesuatu dalam jabatannya yang
bertentangan dengan kewajibannya.
Akan tetapi perlu diketahui, didalam Undang-undang No.
20 Tahun 2001 Tentang Tindak Pidana Korupsi terdapat
penambahan 3 pasal yaitu pasal 12 A, 12 B, dan 12 C yang
disisipkan diantara pasal 12 dan 13.
Di dalam pasal 12 A menjelaskan bahwa di dalam pasal 5
dan 12 Undang-undang No. 20 Tahun 2001 tidak berlaku bagi
tindak pidana korupsi yang nilainya kurang dari 5 juta rupiah.
Akan tetapi tetap bisa di hukum dengan pidana penjara paling
lama 3 tahun dan pidana denda paling banyak 50 juta rupiah.
54
Yang mana telah tercantum secara jelas pada pasal 12A
Undang-undang No. 20 Tahun 2001 Tentang Tindak Pidana
Korupsi:
(1) Ketentuan mengenai pidana penjara dan pidana
denda sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5, Pasal
6, Pasal 7, Pasal 8, Pasal 9, Pasal 10, Pasal 11 dan
Pasal 12 tidak berlaku bagi tindak pidana korupsi
yang nilainya kurang dari Rp 5.000.000,00 (lima juta
rupiah).
(2) Bagi pelaku tindak pidana korupsi yang nilainya
kurang dari Rp 5.000.000,00 (lima juta rupiah)
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dipidana
dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun
dan pidana denda paling banyak Rp 50.000.000,00
(lima puluh jutarupiah).
Didalam penjelasan Pasal 12 B ayat (1) Undang-undang
No. 20 Tahun 2001 Tentang Tindak Pidana Korupsi,
dijelaskan bahwa Gratifikasi adalah pemberian dalam arti luas,
yakni meliputi pemberian uang, barang, rabat (discount), komisi,
pinjaman tanpa bunga, tiket perjalanan, fasilitas penginapan,
perjalanan wisata, pengobatan cuma-cuma, dan fasilitas lainnya.
Gratifikasi tersebut baik yang diterima di dalam negeri maupun
di luar negeri dan yang dilakukan dengan menggunakan sarana
elektronik atau tanpa sarana elektronik.
Setiap gratifikasi kepada pegawai negeri atau
penyelenggara negara dianggap pemberian suap, apabila
berhubungan dengan jabatannya dan yang berlawanan dengan
kewajiban atau tugasnya (Pasal 12 B ayat (1) Undang-undang
55
Tipikor). Secara logis, tidak mungkin dikatakan adanya suatu
penyuapan apabila tidak ada pemberi suap dan penerima suap.44
Adapun contoh-contoh pemberian yang dapat
dikategorikan sebagai gratifikasi yang sering terjadi, yaitu:45
1. Pemberian hadiah atau parsel kepada pejabat pada saat hari
raya keagamaan, oleh rekanan atau bawahannya
2. Hadiah atau sumbangan pada saat perkawinan anak dari
pejabat oleh rekanan kantor pejabat tersebut
3. Pemberian tiket perjalanan kepada pejabat atau keluarganya
untuk keperluan pribadi secara cuma-Cuma
4. Pemberian potongan harga khusus bagi pejabat untuk
pembelian barang dari rekanan
5. Pemberian biaya atau ongkos naik haji dari rekanan kepada
pejabat
6. Pemberian hadiah ulang tahun atau pada acara-acara pribadi
lainnya dari rekanan
7. Pemberian hadiah atau souvenir kepada pejabat pada saat
kunjungan kerja
8. Pemberian hadiah atau uang sebagai ucapan terima kasih
karena telah dibantu
44Hukum Online. 2017. “Ancaman Pidana bagi Pemberi dan Penerima Gratifikasi”.
http://www.hukumonline.com. Diakses 14 Mei 2017. Pukul 10:25 WIB 45Komisi Pemberantasan Korupsi. 2017. “Buku Saku KPK: Memahami Untuk Membasmi
Tindak Pidana Korupsi”. Jakarta. Sinar Grafika Offset. hal 15
56
Akan tetapi, menurut Pasal 12 C ayat (1) Undang-undang
No. 20 Tahun 2001 Tentang Tindak Pidana Korupsi,
gratifikasi yang diterima oleh pegawai negeri atau
penyelenggara negara tidak akan dianggap sebagai suap apabila
penerima gratifikasi melaporkan kepada KPK. Pelaporan
tersebut paling lambat adalah 30 hari sejak tanggal diterimanya
gratifikasi.
Jadi, ancaman hukuman pidana tidak hanya dikenakan
kepada pelaku penerima gratifikasi saja, tetapi juga kepada
pemberinya.