BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Konsep Kebutuhan Dasar 1.repository.poltekkes-tjk.ac.id/398/3/6....

27
6 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Konsep Kebutuhan Dasar 1. Pengertian Mobilisasi Menurut Mubarak dkk, (2015:307). Mobilisasi adalah kemampuan seseorang untuk bergerak secara bebas, mudah, dan teratur yang bertujuan untuk memenuhi kebutuhan hidup sehat. Mobilitas atau mobilisasi merupakan suatu kemampuan individu untuk bergerak secara bebas, mudah, dan teratur dengan tujuan untuk memenuhi kebutuhan aktivitas dalam rangka mempertahankan kesehatannya. (Hidayat & Uliyah, 2012:109) 2. Tujuan Mobilisasi Menurut Mubarak dkk, (2015:308) tujuan mobilisasi adalah memenuhi kebutuhan dasar (termasuk melakukan aktivitas hidup sehari- hari dan aktivitas rekreasi), mempertahankan diri (melindungi diri dari trauma), mempertahankan konsep diri, mengekspresikan emosi dengan gerakan tangan nonverbal. Menurut Brunner & Suddarth 2002 dalam buku Mubarak dkk, (2015:308). Tujuan mobilisasi ROM adalah sebagai berikut. a. Mempertahankan fungsi tubuh dan mencegah kemunduran serta mengembalikan rentan gerak aktivitas tertentu sehingga penderita dapat kembali normal atau setidak-tidaknya dapat memenuhi kebutuhan sehari-hari b. Memperlancar peredaran darah c. Membantu pernapasan menjadi lebih kuat d. Mempertahankan tonus otot, memelihara, dan meningkatkan pergerakan dari persendian e. Memperlancar eliminasi alvi dan urine f. Melatih atau ambulasi.

Transcript of BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Konsep Kebutuhan Dasar 1.repository.poltekkes-tjk.ac.id/398/3/6....

6

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Tinjauan Konsep Kebutuhan Dasar

1. Pengertian Mobilisasi

Menurut Mubarak dkk, (2015:307). Mobilisasi adalah kemampuan

seseorang untuk bergerak secara bebas, mudah, dan teratur yang bertujuan

untuk memenuhi kebutuhan hidup sehat.

Mobilitas atau mobilisasi merupakan suatu kemampuan individu

untuk bergerak secara bebas, mudah, dan teratur dengan tujuan untuk

memenuhi kebutuhan aktivitas dalam rangka mempertahankan

kesehatannya. (Hidayat & Uliyah, 2012:109)

2. Tujuan Mobilisasi

Menurut Mubarak dkk, (2015:308) tujuan mobilisasi adalah

memenuhi kebutuhan dasar (termasuk melakukan aktivitas hidup sehari-

hari dan aktivitas rekreasi), mempertahankan diri (melindungi diri dari

trauma), mempertahankan konsep diri, mengekspresikan emosi dengan

gerakan tangan nonverbal.

Menurut Brunner & Suddarth 2002 dalam buku Mubarak dkk,

(2015:308). Tujuan mobilisasi ROM adalah sebagai berikut.

a. Mempertahankan fungsi tubuh dan mencegah kemunduran serta

mengembalikan rentan gerak aktivitas tertentu sehingga penderita

dapat kembali normal atau setidak-tidaknya dapat memenuhi

kebutuhan sehari-hari

b. Memperlancar peredaran darah

c. Membantu pernapasan menjadi lebih kuat

d. Mempertahankan tonus otot, memelihara, dan meningkatkan

pergerakan dari persendian

e. Memperlancar eliminasi alvi dan urine

f. Melatih atau ambulasi.

7

3. Jenis Mobilisasi

Menurut Hidayat dan Uiyah (2012:109).

a. Mobilisasi penuh

Mobilisasi penuh merupakan kemampuan seseorang untuk bergerak

secara penuh, bebas tanpa pembatasan jelas yang dapat

mempertahankan untuk berinteraksi sosial dan menjalankan peran

sehari-harinya.

b. Mobilisasi sebagian

Mobilisasi sebagian merupakan kemampuan seseorang untuk bergerak

dengan batasan jelas, tidak mampu bergerak secara bebas, hal tersebut

dapat dipengaruhi oleh gangguan saraf motorik dan sensorik pada area

tubuh seseorang. Mobilisasi sebagian ini ada dua jenis, yaitu :

1) Mobilisasi sebagian temporer

Mobilisasi sebagian temporer merupakan kemampuan individu

untuk bergerak dengan batasan bersifat sementara, hal tersebut

dapat disebabkan adanya trauma reversible pada sistem

muskuloskeletal.

2) Mobilisasi sebagian permanen

Mobilisasi sebagian permanen merupakan kemampuan individu

untuk bergerak dengan batasan bersifat menetap, hal tersebut

disebabkan karena rusaknya sistem saraf yang reversible sebagai

contoh terjadinya paraplegia karena injuri tulang belakang, pada

poliomyelitis karena terganggunya system saraf motorik dan

sensorik.

4. Manfaat dan Prinsip Mekanik Tubuh

Apabila dilakukan dengan baik dan benar, mekanik atau gerak

tubuh sangat bermanfaat bagi seseorang. Menurut ( Sutanto & Fitriana,

2017:40) manfaat tersebut antara lain :

a. Gerak tubuh yang dilakukan secara teratur dapat membuat tubuh

menjadi segar.

8

b. Gerak tubuh yang teratur dapat memperbaiki tonus otot dan sikap

tubuh, mengontrol berat badan, mengurangi stress, serta dapat

meningkatkan relaksasi. Gerak tubuh akan merangsang peredaran

darah ke otot dan organ tubuh yang lain sehingga dapat meningkatkan

kelenturan tubuh.

c. Gerak tubuh pada anak dapat merangsang pertumbuhan badan.

Dalam kaitannya dengan aktivitas keperawatan, Menurut ( Sutanto

& Fitriana, 2017:40) prinsip mengenai mekanik atau gerakan tubuh

diantaranya sebagai berikut :

a. Menggunakan gerakan tubuh secara tepat dan benar dapat

meningkatkan fungsi muskuloskeletal, serta mencegah terjadinya

penyakit dan kecelakaan. Dengan demikian akan meningkatkan

kesehatan tubuh.

b. Mekanik tubuh yang baik dapat memberikan penampilan serta fungsi

tubuh yang baik.

c. Mekanik tubuh yang baik dapat dicapai melalui pengetahuan sebagai

pedoman dalam bertindak.

d. Mekanik tubuh berkaitan dengan berbagai usaha pencegahan cedera

atau cacat pada system muskuloskeletal.

5. Faktor yang Memengaruhi Mobilisasi

Menurut Mubarak dkk (2015:308), mobilitas seseorang dapat

dipengaruhi oleh beberapa faktor, diantaranya :

a. Gaya hidup

Mobilitas seseorang dipengaruhi oleh latar belakang budaya, nilai-

nilai yang dianut, serta lingkungan ia tinggal (masyarakat). Sebagai

contoh : wanita jawa, tabu bagi mereka melakukan aktivitas yang

berat. Orang yang memiliki budaya sering berjalan jauh memiliki

kemampuan mobilitas yang kuat. Sebaliknya, ada orang yang

mengalami gangguan mobilitas (sakit) karena adat dan budaya tertentu

dilarang untuk beraktivitas.

9

b. Ketidakmampuan

Kelemahan fisik dan mental akan menghalangi seseorang untuk

melakukan aktivitas hidup sehari-hari. Secara umum,

ketidakmampuan terbagi menjadi dua macam, yakni ketidakmampuan

primer disebabkan oleh penyakit atau trauma. Sementara

ketidakmampuan sekunder terjadi akibat dapak dari ketidakmampuan

primer (misal kelemahan otot dan tirah baring). Penyakit-penyakit

tertentu dan kondisi cedera akan berpengaruh terhadap mobilitas.

c. Tingkat energi

Energi dibutuhkan untuk banyak hal, salah satunya mobilisasi. Dalam

hal ini, energi yang dimiliki masing-masing individu bervariasi. Agar

seseorang dapat melakukan mobilitas dengan baik, dibutuhkan energi

yang cukup. Disamping itu, ada kecenderungan seseorang untuk

menghindari stressor guna mempertahankan kesehatan fisik dan

psikologis.

d. Usia

Usia berpengaruh terhadap kemampuan seseorang dalam melakukan

mobilisasi. Karena terdapat perbedaan kemampuan mobilitas pada

tingkat usia yang berbeda. Hal ini dikarenakan kemampuan atau

kematangan fungsi alat gerak sejalan dengan perkembangan usia.

e. Sistem neuromuskular

Mobilisasi sangat dipengaruhi oleh sistem neuromuskular, meliputi

otot, skeletal, sendi, ligamen, tendon, kartilago, dan saraf.

6. Tahap Mobilisasi

Mobilisasi pasca operasi yaitu proses aktivitas yang dilakukan

pasca pembedahan dimulai dari latihan ringan di atas tempat tidur

(latihan pernafasan, latihan batuk efektif, dan menggerakkan tungkai)

sampai dengan pasien bisa turun dari tempat tidur, berjalan ke kamar

mandi, dan berjalan keluar kamar (Smeltzer, 2001).

10

Tahap-tahap mobilisasi pada pasien pasca operasi meliputi

(Cetrione, 2009) :

a. Pada saat awal (6 sampai 8 jam setelah operasi), pergerakan

fisik bisa dilakukan di atas tempat tidur dengan menggerakkan

tangan dan kaki yang bisa ditekuk dan diluruskan,

mengkontraksikn otot-otot termasuk juga menggerakkan badan

lainnya, miring ke kiri atau ke kanan.

b. Pada 12 sampai 24 jam berikutnya atau bahkan lebih awal lagi

badan sudah bisa diposisikan duduk, baik bersandar maupun

tidak dan fase selanjutnya duduk di atas tempat tidur dengan

kaki yang dijatuhkan atau ditempatkan di lantai sambil digerak-

gerakkan.

c. Pada hari kedua pasca operasi, rata-rata untuk pasien yang

dirawat di kamar atau bangsal dan tidak ada hambatan fisik

untuk berjalan, semestinya memang sudah bisa berdiri dan

berjalan di sekitar kamar atau keluar kamar, misalnya ke toilet

atau kamar mandi sendiri.

Pasien harus diusahakan untuk kembali ke aktivitas biasa sesegera

mungkin, hal ini perlu dilakukan sedini mungkin pada pasien pasca

operasi untuk mengembalikan fungsi pasien kembali normal.

7. Dampak Tidak di Mobilisasi

Individu yang tidak memiliki gaya hidup tidak aktif atau yang

dihadapkan dengan keadaan tidak aktif karena sakit atau cedera beresiko

mengalami banyak masalah yang dapat mempengaruhi sistem tubuh

utama.

Tanda-tanda yang paling jelas dari dampak tidak di mobilisasi

ditunjukkan di sistem muskuloskeletal.

a. Sistem Muskuloskeletal

Berikut beberapa kelainan gangguan pada sistem musculoskeletal

apabila tidak di mobilisasi.

11

Disuse osteoporosis. Tanpa tekanan dari aktivitas menahan beban,

tulang mengalami demineralisasi. Tulang mengalami deplesi

terutama kalsium, yang memberikan kekuatan dan densitas tulang.

Tanpa memperhatikan jumlah kalsium dalam diet seseorang, proses

demineralisasi, yang dikenal sebagai osteoporosis, akan terus

berlanjut jika tidak di mobilisasi. Tulang menjadi berongga dan

secara bertahap mengalami kerusakan bentuk dan mudah mengalami

fraktur.

Disuse atrofi. Atrofi (pengecilan ukuran) otot karena tidak terpakai,

kehilangan sebagian besar kekuatan dan fungsi normalnya.

Kontraktur. Saat serat otot tidak mampu memendek dan memanjang,

pada akhirnya akan terbentuk kontraktur.

b. Sistem integumen

Penurunan turgor kulit. Kulit dapat mengalami atrofi sebagai akibat

dari tidak di mobilisasi berkepanjangan.

Kerusakan kulit. Sirkulasi darah normal bergantung pada aktivitas

otot. Jika tidak di mobilisasi maka akan mengganggu sirkulasi dan

mengurangi suplai nutrisi ke area tertentu. Akibatnya, kulit

mengalami kerusakan dan dapat terbentuk dekubitus. (Kozier,2010).

8. Definisi Gangguan Mobilitas Fisik

Gangguan mobilitas fisik adalah keterbatasan dalam gerakan fisik

dari satu atau lebih ekstremitas secara mandiri (SDKI, 2016:124).

Berdasarkan uraian di atas, seseorang yang mengalami masalah gangguan

kebutuhan mobilitas fisik akan mengalami sulit untuk melakukan aktivitas

sehari-hari. Hal tersebut menandakan bahwa bagian ekstremitas sangat

penting dalam melakukan kegiatan sehari-hari.

12

9. Penyebab Gangguan Mobilitas Fisik

a. Kerusakan integritas struktur tulang

b. Perubahan metabolisme

c. Ketidakbugaran fisik

d. Penurunan kendali otot

e. Penurunan massa otot

f. Penurunan kekuatan otot

g. Keterlambatan perkembangan

h. Kekakuan sendi

i. Kontraktur

j. Malnutrisi

k. Gangguan muskuloskeletal

l. Gangguan neuromuskular

m. Indeks massa tubuh di atas persentil ke 75 sesuai usia

n. Efek agen farmakologis

o. Program pembatasan gerak

p. Nyeri

q. Kurang terpapar informasi tentang aktivitas fisik

r. Kecemasan

s. Gangguan kognitif

t. Keengganan melakukan pergerakan

u. Gangguan sensori persepsi (SDKI,2016:124)

10. Tanda dan Gejala

a. Tanda dan Gejala Minor

1) Subjektif

a) Mengeluh sulit menggerakkan ekstremitas.

2) Objektif

a) Kekuatan otot menurun.

b) Rentang gerak (ROM) menurun.

13

b. Tanda dan Gejala Mayor

1) Subjektif

a) Enggan melakukan pergerakan.

b) Nyeri saat bergerak.

c) Merasa cemas saat bergerak.

2) Objektif

a) Sendi kaku.

b) Gerakan tidak terkoordinasi.

c) Gerakan terbatas.

d) Fisik lemah. (SDKI, 2016:124)

11. Kondisi Klinis Terkait

a. Stroke.

b. Cedera medula spinalis.

c. Trauma.

d. Fraktur.

e. Osteoarthritis.

f. Osteomalasia.

e. Keganasan (SDKI, 2016:125)

B. Tinjauan Asuhan Keperawatan

1. Pengkajian

Riwayat :

Data yang dikumpulkan perawat dari pasien kemungkinan appendiktomi

mencakup :

Umur, jenis kelamin, riwayat pembedahan, dan riwayat medik lainnya,

pemberian barium baik lewat mulut/rektal, riwayat diit terutama makanan

yang berserat (Andri & Wahid, 2016).

Riwayat kesehatan :

a) Keluhan utama : pada umumnya keluhan utama kasus appendiktomi

adalah kesulitan bergerak secara bebas atau berpindah posisi secara

14

normal. Karena adanya gangguan mobilitas fisik yang mengalami

persepsi nyeri pada daerah luka appendiktomi.

b) Riwayat kesehatan sekarang : pengkajian riwayat pasien saat ini

meliputi alasan pasien yang menyebabkan terjadi keluhan atau

gangguan dalam mobilitas, seperti adanya nyeri, kelemahan otot,

tingkat mobilitas, daerah dan lama terjadinya gangguan mobilitas.

c) Riwayat kesehatan masa lalu : biasanya berhubungan dengan masalah

kesehatan klien sekarang, bisa juga penyakit ini sudah pernah dialami

oleh pasien sebelumnya.

d) Riwayat kesehatan keluarga : biasanya penyakit apendisitis ini bukan

merupakan penyakit keturunan, bisa dalam anggota keluarga ada yang

pernah mengalami sakit yang sama dengan pasien bisa juga tidak ada

yang menderita penyakit yang sama seperti yang dialami pasien

sebelumnya.

e) Kemampuan mobilitas

Pengkajian kemampuan mobilitas dilakukan dengan tujuan

untuk menilai kemampuan gerak ke posisi miring, duduk, berdiri,

bangun, dan berpindah tanpa bantuan. Pengkajian mobilisasi pasien

berfokus pada rentang gerak, gaya berjalan, latihan, dan toleransi

aktivitas, serta kesejajaran tubuh.

1. Rentang gerak

Menurut Carpenito (2000) dalam mobilisasi terdapat 3 rentang

gerak yaitu:

a) Rentang gerak pasif

Berguna menjaga kelenturan otot-otot dan persendian

dengan menggerakkan otot orang lain secara pasif

misalnya perawat mengangangkat dan menggerakkan kaki

pasien.

15

b) Rentang gerak aktif

Hal ini melatih kelenturan dan kekuatan otot serta sendi

dengan cara menggunakan otot-ototnya secara aktif

misalnya berbaring pasien menggerakkan kakinya.

c) Rentang gerak fungsional

Berguna memperkuat otot-otot dan sendi dengan

melakukan aktivitas yang diperlukan.

2. Gaya berjalan

Siklus gaya berjalan dimulai dengan tumit mengangkat

satu tungkai dan berlanjut dengan mengangkat dua tungkai

yang sama. Interval ini sama dengan 100% siklus gaya berjalan

dan berlangsung 1 detik untuk kenyamanan berjalan.

Pengkajian ini memungkinkan perawat untuk mengetahui

keseimbangan, postur, keamanan, dan kemapuan berjalan

tanpa bantuan.

Tabel 2.1 Rencana Kategori Tingkat Kemampuan

No. Tingkat

Aktivitas/Mobilitas

Kategori

1. Tingkat 0 Mampu merawat diri sendiri secara penuh

2. Tingkat 1 Memerlukan penggunaan alat

3. Tingkat 2 Memerlukan bantuan atau pengawasan oranglain

4. Tingkat 3 Memerlukan bantuan atau pengawasan oranglain

dan peralatan

5. Tingkat 4 Sangat tergantung dan tidak dapat melakukan atau

berpartisipasi dalam perawatan

2. Diagnosa keperawatan

Menurut Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia (SDKI, 2017).

Diagnosis keperawatan pada pasien post operasi apendiktomi yaitu:

a. Gangguan mobilitas fisik berhubungan dengan keengganan

melakukan pergerakan

1) Definisi : keterbatasan dalam gerakan fisik dari satu atau lebih

ekstremitas secara mandiri.

2) Penyebab :

a. Kerusakan integritas struktur tulang

16

b. Perubahan metabolisme

c. Ketidakbugaran fisik

d. Penurunan kendali otot

e. Penurunan massa otot

f. Penurunan kekuatan otot

g. Keterlambatan perkembangan

h. Kekuatan sendi

i. Kontraktur

j. Malnutrisi

k. Gangguan muskuloskeletal

l. Gangguan neuromuscular

m. Indeks massa tubuh diatas persentil ke-75 sesuai usia

n. Efek agen farmakologis

o. Program pembatasan gerak

p. Nyeri

q. Kurang terpapar informasi tentang aktivitas fisik

r. Kecemasan

s. Gangguan kognitif

t. Keengganan melakukan pergerakan

u. Gangguan sensori persepsi

3) Gejala dan tanda mayor :

Subjektif :

a. Mengeluh sulit menggerakkan ekstremitas

Objektif :

a. Kekuatan otot menurun

b. Rentang gerak (ROM) menurun

4) Gejala dan tanda minor :

Subjektif :

a. Nyeri saat bergerak

b. Enggan melakukan pergerakan

c. Merasa cemas saat bergerak

17

Objektif :

a. Sendi kaku

b. Gerakan tidak terkoordinasi

c. Gerakan terbatas

d. Fisik lemah

5) Kondisi klinis terkait :

a. Stroke

b. Cedera medula spinalis

c. Trauma

d. Fraktur

e. Osteoarthritis

f. Ostemalasia

g. Keganasan

b. Resiko infeksi berhubungan dengan efek prosedur invasif

1) Definisi : beresiko mengalami peningkatan terserang organisme

patogenik

2) Faktor risiko yaitu :

a. Penyakit kronis (mis. Diabetes milletus)

b. Efek prosedur invasif

c. Malnutrisi

d. Peningkatan paparan organisme patogen lingkungan

e. Ketidakadekuatan pertahanan tubuh primer :

(1) Gangguan peristaltik

(2) Kerusakan integritas kulit

(3) Perubahan sekresi pH

(4) Penurunan kerja siliaris

(5) Ketuban pecah lama

(6) Ketuban pecah sebelum waktunya

(7) Merokok

(8) Statis cairan tubuh

18

f. Ketidakadekuatan pertahanan tubuh sekunder :

(1) Penurunannya hemoglobin

(2) Imununosupresi

(3) Leukopenia

(4) Supresi respon inflamasi

(5) Vaksinasi tidak adekuat

3) Kondisi klinis terkait :

a. AIDS

b. Luka bakar

c. Penyakit paru obstruktif

d. Diabetes mellitus

e. Tindakan invasif

f. Kondisi penggunaan terapi steroid

g. Penyalahgunaan obat

h. Ketuban pecah sebelum waktunya

i. Kanker

j. Gagal ginjal

k. Imunosupresi

l. Lymphedema

m. Leukositopenia

n. Gangguan fungsi hati

c. Gangguan integritas kulit / jaringan berhubungan dengan penurunan

mobilitas

1) Definisi : beresiko mengalami kerusakan kulit (dermis dan atau

epidermis) atau jaringan (membrane mukosa, kornea, fasia, otot,

tendon, tulang, kartilago, kapsul sendi dan atau ligamen)

2) Faktor risiko :

a. Perubahan sirkulasi

b. Perubahan status nutrisi (kelebihan atau kekurangan)

c. Kekurangan / kelebihan volume cairan

19

d. Penurunan mobilitas

e. Bahan kimia iritatif

f. Suhu lingkungan yang ekstream

g. Faktor mekanis (mis. Penekanan, gesekan) atau faktor elektris

( elektrodiatermi, energi listrik bertegangan tinggi)

h. Terapi radiasi

i. kelembapan

j. proses penuaan

k. neuropati perifer

l. perubahan pigmentasi

m. perubahan hormonal

n. penekanan pada tonjolan tulang

o. kurang terpapar informasi tentang upaya mempertahankan /

melindungi integritas jaringan

3) kondisi klinis terkait :

a. Imobilisasi

b. Gagal jantung kongestif

c. Gagal ginjal

d. Diabetes melitus

e. Imunodefisiensi (mis. AIDS)

f. Katerisasi jantung

20

3. Rencana keperawatan

Tabel 2.2 Rencana tindakan Asuhan Keperawatan pada pasien post operasi Appendiktomi dalam buku

Standar Intervensi Keperawatan Indonesia (2018) :

NO DIAGNOSA INTERVENSI UTAMA INTERVENSI PENDUKUNG

1 Gangguan mobilitas fisik

berhubungan dengan keengganan

melakukan pergerakan.

Tujuan :

Setelah dilakukan asuhan

keperawatan selama 3X24 jam

diharapkan masalah teratasi dengan

kriteria hasil :

1. Pasien meningkat dalam

aktivitas fisik.

2. Mengerti tujuan dari

peningkatan mobilitas.

3. Memverbalisasikan perasaan

dalam meningkatkan kekuatan

dan kemampuan berpindah.

4. Memperagakan penggunaan

alat.

Dukungan mobilisasi

Observasi :

1. Identifikasi adanya nyeri atau keluhan fisik

lainnya.

2. Identifikasi toleransi fisik melakukan pergerakan.

3. Monitor frekuensi jantung dan tekanan darah

sebelum memulai mobilisasi.

4. Monitor kondisi umum selama melakukan

mobilisasi.

Terapeutik :

5. Fasilitasi aktivitas mobilisasi dengan alat bantu

(mis. Pagar tempat tidur).

6. Fasilitasi melakukan pergerakan, jika perlu.

7. Libatkan keluarga untuk membantu pasien dalam

meningkatkan pergerakan.

Edukasi :

8. Jelaskan tujuan dan prosedur mobilisasi.

9. Anjurkan melakukan mobilisasi dini.

1. Dukungan kepatuhan program pengobatan.

2. Dukungan perawatan diri.

3. Dukungan perawatan diri.

4. Dukungan perawatan diri : BAB / BAK.

5. Dukungan perawatan diri : berpakaian.

6. Dukungan perawatan diri : makan / minum.

7. Dukungan perawatan diri : mandi.

8. Edukasi latihan fisik.

9. Edukasi teknik ambulasi.

10. Edukasi teknik transfer.

11. Konsultasi via telepon.

12. Latihan otogenik.

13. Manajemen energi.

14. Manajemen lingkungan.

15. Manajemen mood.

16. Manajemen nutrisi.

17. Manajemen nyeri.

18. Manajemen medikasi.

21

5. Bantu untuk mobilisasi

(walker).

Ajarkan mobilisasi sederhana yang harus

dilakukan (mis. Duduk di tempat tidur, duduk di

sisi tempat tidur, pindah dari tempat tidur ke

kursi).

19. Manajemen program latihan.

20. Manajemen sensasi perifer.

21. Pemantauan neurologis.

22. Pemberian obat.

23. Pemberian obat intravena.

24. Pembidaian.

25. Pencegahan jatuh.

26. Pencegahan luka tekan.

27. Pengaturan posisi.

28. Pengekangan fisik.

29. Perawatan kaki.

30. Perawatan sirkulasi.

31. Perawatan tirah baring.

32. Perawatan traksi.

33. Promosi berat badan.

34. Promosi kepatuhan program latihan.

35. Promosi latihan fisik.

36. Teknik latihan penguatan otot.

37. Teknik latihan penguatan sendi.

38. Terapi aktivitas.

39. Terapi pemijatan.

40. Terapi relaksasi otot progresif.

22

2 Resiko infeksi berhubungan dengan

efek prosedur invasif.

Tujuan :

Setelah dilakukan asuhan

keperawatan selama 3X24 jam

diharapkan masalah teratasi dengan

kriteria hasil :

1. pasien bebas dari tanda dan

gejala infeksi.

2. Mendiskripsikan proses

penularan penyakit, faktor yang

mempengaruhi penularan serta

penatalaksanaan-nya.

3. Menunjukkan kemampuan

untuk mencegah timbulnya

infeksi.

4. Jumlah leukosit dalam batas

normal.

5. Menunjukkan perilaku hidup

sehat.

Pencegahan Infeksi

Observasi :

1. Monitor tanda dan gejala infeksi lokal dan

sistemik.

Terapeutik :

2. Batasi jumlah pengunjung.

3. Berikan perawatan kulit pada area edema.

4. Cuci tangan sebelum dan sesudah kontak dengan

pasien dan lingkungan pasien.

5. Pertahankan teknik aseptik pada pasien berisiko

tinggi.

Edukasi :

6. Jelaskan tanda dan gejala infeksi.

7. Ajarkan cara mencuci tangan dengan benar.

8. Ajarkan etika batuk.

9. Ajarkan cara memeriksa kondisi luka atau luka

operasi.

10 Anjurkan meningkatkan asupan nutrisi.

11 Anjurkan meningkatkan asupan cairan.

Kolaborasi :

12 Kolaborasi pemberian imunkisasi, jika perlu.

1. Dukungan pemeliharaan rumah.

2. Dukungan perawatan diri : mandi.

3. Edukasi pencegahan luka tekan.

4. Edukasi seksualitas.

5. Induksi persalinan.

6. Latihan batuk efektif.

7. Manajemen jalan nafas.

8. Manajemen imunisasi/vaksin.

9. Manajemen lingkungan.

10. Manajemen lingkungan.

11. Manjemen medikasi.

12. Pemantauan elektrolit.

13. Pemantauan nutrisi.

14. Pemantauan tanda vital.

15. Pemberian obat.

16. Pemberian obat intravena.

17. Pemberian obat oral.

18. Pencegahan luka tekan.

19. Pengaturan posisi.

20. Perawatan amputasi.

21. Perawatan area insisi.

22. Perawatan kehamilan resikotiggi.

23

23. Perawatan luka bakar.

24. Perawatan luka tekan.

25. Perawatan pasca persalinan.

26. Perawatan perineum.

27. Perawatan persalinan.

28. Perawatan persalinan risiko tinggi.

29. Perawatan selang.

30. Perawatan selang dada.

31. Perawatan selang gastrointestinal.

32. Perawatan selang umbilikal.

33. Perawatan sirkumsisi.

34. Perawatan skin graft

35. Perawatan terminasi kehamilan.

3 Gangguan integritas kulit / jaringan

berhubungan dengan penurunan

mobilitas. Tujuan :

Setelah dilakukan asuhan

keperawatan selama 3X24 jam

diharapkan masalah teratasi dengan

kriteria hasil :

1. Perfusi jaringan normal.

2. Tidak ada tanda-tanda infeksi.

Perawatan Integritas Kulit

Observasi :

1. Identifikasi penyebab gangguan integritas kulit

(mis. Perubahan sirkulasi, perubahan status

nutrisi, penurunan kelembaban, suhu lingkungan

ekstrem, penurunan mobilitas).

Terapeutik :

1. Ubah posisi tiap 2 jam jika tirah baring.

2. Lakukan pemijatan pada area penonjolan tulang

1. Dukungan perawatan diri.

2. Edukasi perawatan diri.

3. Edukasi perawatan kulit.

4. Edukasi perilaku upaya kesehatan.

5. Edukasi pola perilaku kebersihan.

6. Edukasi program pengobatan.

7. Konsultasi latihan rentang gerak.

8. Manajemen nyeri.

9. Pelaporan status kesehatan.

24

3. Ketebalan dan tekstur jaringan

normal.

4. Menunjukkan pemahaman

dalam proses perbaikan kulit

dan mencegah terjadinya cidera

berulang.

5. Menunjukkan terjadinya proses

penyembuhan luka.

jika perlu.

3. Bersihkan perineal dengan air hangat terutama

selama periode diare.

4. Gunakan produk berbahanpetroleum atau minyak

pada kulit kering.

5. Gunakan produk berbahan ringan / alami dan

hipoalergic pada kulit sensitif.

6. Hindari produk berbahan dasar alkohol pada kulit

kering.

Edukasi :

1. Anjurkan menggunakan pelembab (mis. Lotion,

serum).

2. Anjurkan minum air yang cukup.

3. Anjurkan meningkatkan asupan nutrisi.

4. Anjurkan meningkatkan asupan buah dan sayur.

5. Anjurkan menghindari terpapar suhu ekstrem.

6. Anjurkan menggunakan tabir surya SPF minimal

30 saat berada di luar rumah.

7. Anjurkan mandi dan menggunakan sabun

secukupnya.

10. Pemberian obat.

11. Pemberian obat intradermal.

12. Pemberian obat intramuskular.

13. Pemberian obat intravena.

14. Pemberian obat kulit.

15. Pemberian obat subkutan.

16. Pemberian obat tropikal.

17. Penjahitan luka.

18. Perawatan area insisi.

19. Perawatan imobilitas.

20. Perawatan kuku.

21. Perawatan luka bakar.

22. Perawatan luka tekan.

23. Perawatan pasca seksio sesaria.

24. Perawatan skin graft.

25. Teknik latihan penguatan otot dan sendi.

26. Terapi lintah.

27. Skrinning kanker.

Sumber : Tim Pokja SIKI DPP PPNI (2018), Tim Pokja SDKI DPP PPNI (2017).

25

3. Implementasi keperawatan

Implementasi adalah pelaksanaan dari rencana keperawatan untuk

mencapai tujuan yang spesifik. Tahap implementasi dimulai setelah

rencana keperawatan disusun dan ditunjuk pada nursing orders untuk

membantu klien mencapai tujuan yang diharapkan. Oleh karena itu,

rencana keperawatan yang spesifik dilaksanakan untuk memodifikasi

faktor-faktor yang mempengaruhi masalah kesehatan klien. Tujuan dari

implementasi adalah membantu klien dalam mencapai tujuan yang telah

ditetapkan yang mencakup peningkatan kesehatan, pencegahan penyakit,

pemulihan kesehatan dan memfasilitasi koping. Perencanaan keperawatan

dapat dilaksanakan dengan baik jika klien mempunyai keinginan untuk

berpartisipasi dalam implementasi keperawatan (Nursalam, 2009).

4. Evaluasi keperawatan

Menurut Tarwoto & Wartonah (2011), Evaluasi merupakan

tindakan untuk melengkapi proses keperawatan yang dilihat dari

perkembangan dan hasil kesehatan klien. Tujuannya untuk mengetahui

sejauh mana perawatan dapat dicapai dan memberikan umpan balik

terhadap asuhan keperawatan yang diberikan.

Langkah-langkah evaluasi adalah sebagai berikut :

a. Daftar tujuan klien

b. Lakukan pengkajian apakah pasien dapat melakukan sesuatu

c. Bandingkan antara tujuan dan kemampuan klien

d. Diskusikan dengan klien, apakah tujuan dapat tercapai atau tidak.

Jika tujuan tidak tercapai, maka perlu dikaji ulang letak

kesalahannya, dicari jalan keluarnya, kemudian catat apa yang

ditemukan, serta apakah perlu dilakukan perubahan intervensi.

26

C. Tinjauan Konsep Penyakit Appendiktomi

1. Definisi Appendiktomi

Appendiktomi adalah pengangkatan secara bedah appendiks

vermiformis. Appendiktomi merupakan pengangkatan appendiks

terinflamasi, dapat dilakukan pada pasien meggunakan pendekatan dari

appendiks atau robek perlu dilakukan prosedur pembedahan (Rencana

Asuhan Keperawatan Edisi 3, Marlyn, Mary & Alice).

Apendisitis atau yang lebih dikenal masyarakat dengan istilah usus

buntu, adalah salah satu organ visceral pada sistem gastrointestinal yang

sering menimbulkan masalah kesehatan. Apendisitis dapat ditemukan

pada semua umur, hanya pada anak kurang dari satu tahun jarang

dilaporkan karena apendiks pada bayi berbentuk kerucut, lebar pada

pangkalnya dan menyempit kearah ujungnya. Keadaan ini menyebabkan

rendahnya insidens kasus apendisitis pada usia tersebut (Sjamsuhidayat R,

De Jong W, 2010).

Dalam bentuk tanda dan gejala fisik, apendisitis adalah suatu

pnyakit prototipe yang berlanjut melalui peradangan, obstruksi, dan

iskemia dalam jangka waktu yang bervariasi. Gejala awal apendisitis akut

adalah nyeri atau rasa tidak enak di sekitar umbilikus. Gejala ini

umumnya berlangsung lebih dari 1 atau 2 hari. Dapat juga terjadi nyeri

tekan disekitar titik Mc Burney. Kemudian timbul spasme otot dan nyeri

tekan lepas (Price S, Wilson L, 2012).

2. Etiologi

Pada umumnya apendisitis terjadi karena infeksi bakteri. Berbagai

hal berperan sebagai faktor pencetusnya, diantaranya adalah obstruksi

yang terjadi pada lumen apendiks. Obstruksi ini biasanya disebabkan

karena adanya timbunan tinja yang keras (fekalit), hiperplasia jaringan

limfoid, tumor apendiks, striktur, benda asing dalam tubuh, dan cacing

askaris.

27

Penelitian epidemiologi menunjukkan peranan kebiasaan mengkonsumsi

makanan rendah serat dan berpengaruh konstipasi terhadap timbulnya

penyakit apendisitis (Asuhan Keperawatan Pada Pasien Dengan

Gangguan Sistem Pencernaan, 2018).

3. Manifestasi Klinis

Gejala awal yang khas, yang merupakan gejala klasik apendisitis

adalah nyeri samar (nyeri tumpul) di daerah epigastrium di sekitar

umbilikus atau periumbilikus. Keluhan ini biasanya disertai dengan rasa

mual, bahkan terkadang muntah, dan pada umumnya nafsu makan

menurun. Kemudian dalam beberapa jam, nyeri akan beralih ke kuadran

kanan bawah, ke titik Mc Burney. Di titik ini nyeri terasa lebih tajam dan

jelas letaknya, sehingga merupakan nyeri somatik setempat. Namun

terkadang, tidak dirasakan adanya nyeri di daerah epigastrium, tetapi

terdapat konstipasi sehingga penderita merasa memerlukan obat pencahar.

Tindakan ini dianggap berbahaya karena bisa mempermudah terjadinya

perforasi. Terkadang apendisitis juga disertai dengan demam derajat

rendah sekitar 37,5-38,5 derajat celcius.

Selain gejala klasik, ada beberapa gejala lain yang dapat timbul

sebagai akibat dari apendisitis. Timbulnya gejala ini bergantung pada

letak apendiks ketika meradang. Berikut gejala yang timbul tersebut.

a. Bila letak apendiks retrosekal retroperitoneal, yaitu dibelakang sekum

(terlindung oleh sekum), tanda nyeri perut kanan bawah tidak begitu

jelas dan tidak ada tanda ransangan peritoneal.

Rasa nyeri lebih kearah perut kanan atau nyeri timbul pada saat

melakukan gerakan seperti berjalan, bernafas dalam, batuk, dan

mengedan. Nyeri ini timbul karena adanya kontraksi m.psoas mayor

yang menegang dari dorsal.

b. Bila apendiks terletak di rongga pelvis

Bila apendiks terletak di dekat atau menempel pada rectum, akan

timbul gejala dan ransangan sigmoid atau rektum, sehingga peristaltik

28

meningkat, pengosongan rektum akan menjadi lebih cepat dan

berulang-ulang (diare).

c. Bila apendiks terletak didekat atau menempel pada kandung kemih,

dapat terjadi peningkatan frekuensi kemih, karena rangsagan

dindingnya.

(Nanda Nic-Noc,2015 jilid 1).

4. Patofisiologi

Tanda patogenetik primer diduga karena obstruksi lumen dan

ulserasi mukosa menjadi langkah awal terjadinya apendisitis. Obstruksi

lumen yang tertutup disebabkan oleh hambatan pada bagian proksimal.

Selanjutnya, terjadi peningkatan sekresi normal dari mukosa apendiks

yang distensi secara terus menerus karena multiplikasi cepat dari bakteri.

Obstruksi juga menyebabkan mukus yang diproduksi mukosa terbendung.

Semakin lama, mukus tersebut semakin banyak, namun elastisitas dinding

apendiks terbatas sehingga meningkatkan tekanan intralumen.

Tekanan yang meningkat tersebut akan menyebabkan apendiks

mengalami hipoksia, hambatan aliran limfe, ulserasi mukosa, dan invasi

bakteri. Infeksi memperberat pembengkakan apendiks (edema) dan

thrombosis pada pembuluh darah intramural (dinding apendiks)

menyebabkan iskemik. Pada tahap ini mungkin terjadi apendisitis akut

fokal yang ditandai oleh nyeri epigastrium.

Bila sekresi mukus terus berlanjut, tekanan akan terus meningkat

dan menyebabkan obstruksi vena, edema bertambah, serta bakteri akan

menembus dinding. Bila kemudian arteri terganggu akan terjadi infark

dinding apendiks yang diikuti dengan gangren (Asuhan Keperawatan Pada

Pasien Dengan Gangguan Sistem Pencernaan, 2018).

29

5. Pemeriksaan Diagnostik

Menurut buku Rencana Asuhan Keperawatan Edisi 3, Marlyn,

Mary & Alice. Pemeriksaan diagnostik pada appendiks dapat melalui

pemeriksaan :

a. Laboratorium : sel darah putih, leukositosis diatas 12.000/mm3,

neutrofil meningkat sampai 75%. Urinalisis, normal tetapi

eritrisit/leukosit mungkin ada.

b. Radiologi : foto abdomen, dapat menyatakan adanya pengerasan

material pada appendiks (fekalit), ileus terlokalisir.

Sedangkan menurut buku Asuhan Keperawatan Post Operasi,

Jitowiyono & Kristiyanasari, 2010. Pemeriksaan diagnostik dapat

dilakukan dengan cara :

a. Pemeriksaan yang lain lokalisasi

Jika sudah terjadi perforasi, nyeri akan terjadi pada seluruh perut,

tetapi paling terasa nyeri pada daerah titik Mc burney jika sudah

infiltrate, lokal infeksi juga terjadi jika orang dapat menahan sakit, dan

kita akan merasakan seperti ada tumor dititik Mc burney.

b. Test rektal

Pada pemeriksaan rektal toucher akan teraba benjolan dan penderita

merasa nyeri pada daerah prolitotomi. Pemeriksaan laboratorium

leukosit meningkat sebagai respon fisiologis untuk melindungi tubuh

terhadap mikroorganisme yang menyerang. Pada appendisistis akut

dan perforasi akan terjadi lekositosis yang lebih tinggi lagi.

Hb (hemoglobin) nampak normal. Laju endap darah (LED) meningkat

pada keadaan apendisitis infiltrat. Urine rutin penting untuk melihat

apa ada infeksi pada ginjal. Pemeriksaan radiologi pada foto tidak

dapat menolong untuk menegakkan diagnosa apendisitis akut, kecuali

bila terjadi peritonitis, tapi kadang kala dapat ditemukan gambaran

sebagai berikut: adanya sedikit fluid level disebabkan karena adanya

udara dan cairan. Kadang ada fekalit (sumbatan). Pada keadaan

perforasi ditemukan adanya udara bebas dalam diafragma.

30

6. Penatalaksanaan Appendiktomi

Penatalaksanaan yang dilakukan sebaiknya konservatif dengan

pemberian antibiotik dan istirahat di tempat tidur. Penatalaksanaan

pembedahan hanya dilakukan bila dalam perawatan terjadi abses dengan

atau tanpa peritonitis umum. Penatalaksanaan apendisitis menurut

Mansjoer (2001) antara lain:

a. Sebelum operasi

1. Pemasangan sonde lambung untuk dekompresi

2. Pemasangan kateter untuk kontrol produksi urin

3. Rehidrasi

4. Antibiotik dengan spektrum luas, dosis tinggi dan diberikan secara

intravena

5. Obat-obatan penurun panas diberikan setelah rehidrasi tercapai

6. Bila demam, harus diturunkan sebelum diberi anestesi.

b. Operasi

1. Apendiktomi

2. Apendiks dibuang, jika apendiks mengalami perforasi bebas, maka

abdomen dicuci dengan garam fisiologis dan antibiotika

3. Abses apendiks diobati dengan antibiotika IV, massanya mungkin

mengecil atau abses mungkin memerlukan drainase dalam jangka

waktu beberapa hari

4. Apendiktomi dilakukan bila abses dilakukan operasi elektif

sesudah 6 minggu sampai 3 bulan.

c. Pasca operasi

1. Observasi Tanda-tanda vital

2. Angkat sonde lambung bila pasien telah sadar sehingga aspirasi

cairan lambung dapat dicegah

3. Baringkan pasien dalam posisi semi fowler

31

4. Pasien dikatakan baik bila dalam 12 jam tidak terjadi gangguan,

selama pasien dipuasakan

5. Bila ada tindakan operasi lebih besar, misalnya pada perforasi,

puasa dilanjutkan sampai fungsi usus kembali normal

6. Berikan minum mulai 15ml/jam selama 4-5 jam lalu naikkan

menjadi 30ml/jam. Keesokan harinya berikan makanan saring, dan

hari berikutnya diberikan makanan lunak.

7. Satu hari pasca operasi pasien dianjurkan untuk duduk tegak di

tempat tidur selama 2x30 menit

8. Pada hari kedua pasien dapat berdiri dan duduk di luar kamar

9. Hari ke-7 jahitan dapat diangkat dan pasien diperbolehkan pulang.

Keadaan massa apendiks dengan proses radang yang masih aktif

ditandai dengan :

1. Keadaan umum pasien masih terlihat sakit, suhu tubuh masih

tinggi

2. Pemeriksaan local pada abdomen kuadran kanan bawah masih

jelas terdapat tanda-tanda peritonitis

3. Laboratorium masih terdapat lekositosis dan pada hitungjenis

terdapat pergeseran ke kiri

4. Sebaiknya dilakukan tindakan pembedahan segera setelah pasien

dipersiapkan, karena dikuatirkan akan terjadi abses apendiks dan

peritonitis umum.

Persiapan dan pembedahan harus dilakukan sebaik-baiknya

mengingat penyulit infeksi luka lebih tinggi daripada pembedahan

pada apendisitis sederhana tanpa perforasi.

Keadaan massa apendiks dengan proses radang yang telah mereda

ditandai dengan :

1. Keadaan umum telah membaik dengan tidak terlihat sakit, suhu

tubuh tidak tinggi lagi

32

2. Pemeriksaan local abdomen tidak terdapat tanda-tanda peritonitis

dan hanya teraba massa dengan jelas dan nyeri tekan ringan

3. Laboratorium hitung lekosit dan hitung jenis normal.

(Asuhan Keperawatan Pada Pasien Dengan Gangguan Sistem

Pencernaan, 2018).