BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Resiliensi 1. Pengertian...
Transcript of BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Resiliensi 1. Pengertian...
13
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Resiliensi
1. Pengertian Resiliensi
Asosiasi Psikologi Amerika (APA) mendefinisikan resiliensi sebagai
proses beradaptasi ketika menghadapi kemalangan, trauma, bencana atau
ancaman yang dapat mengakibatkan stress (Bonanno, Brick, dan Yehuda,
2014). Masten (2001) menguraikan resiliensi sebagai suatu sistem yang
dinamis untuk beradaptasi dengan baik terhadap gangguan yang mengancam
kelangsungan hidup, fungsi dan perkembangan sebuah sistem. Resiliensi
didefinisikan oleh Grotberg (Schoon, 2006) sebagai kapasitas manusia untuk
menghadapi, mengatasi, dan bahkan berubah menjadi lebih baik akibat
pengalaman traumatik yang menimpa hidup seseorang.
Fiksel (Carlson dkk, 2012) mengungkapkan bahwa resiliensi adalah
kemampuan atau kapasitas dari sebuah system dalam diri untuk bertahan,
beradaptasi dan kemudian berkembang secara lebih baik saat menghadapi
perubahan dan kehidupan yang tak pasti. Reivich dan Shatte (2002)
menjelaskan resiliensi sebagai kemampuan untuk mengatasi dan beradaptasi
14
bila terjadi sesuatu yang merugikan. Resiliensi adalah sebuah proses yang
bersifat kontinum
14
sehingga tiap individu dapat meningkatkan daya resiliensi dari waktu ke waktu
saat menghadapi kesengsaraan hidup sehari-hari. Henderson & Milstein (dalam
Sari, 2014) mengartikan resiliensi sebagai kemampuan dalam diri seseorang
untuk bangkit dari pengalaman negatif yang dialami, bahkan menjadi lebih
kuat menghadapi pengalaman hidup selanjutnya.
Voysoy (2014) menguraikan resiliensi sebagai kemampuan membuat
lompatan setelah orang mengalami hantaman dalam hidup. Seorang yang
memiliki daya lenting bisa jadi berada dalam kondisi terjatuh tetapi mampu
bangkit kembali, bahkan menjadi jauh lebih kuat dari sebelumnya. Daya
resiliensi menurut Mulyani (2011) disebut sebagai sebuah sikap yang mampu
mendorong seseorang menemukan pengalaman baru dan memiliki pandangan
bahwa kehidupan adalah sebuah proses yang makin hari makin memiliki
peningkatan, memiliki rasa percaya diri berinteraksi dengan orang lain serta
memiliki keberanian dalam mengambil risiko atas tindakan atau perbuatan
yang telah dilakukan. Hasil penelitian lain mengungkapkan resiliensi
merupakan proses perkembangan untuk memiliki kemampuan beradaptasi
dengan menggunakan sumber dari dalam dan luar diri seseorang agar mencapai
kemampuan positif saat menghadapi kesengsaraan atau kemalangan (Yates,
Egeland & Sroufe, 2003)
Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa resiliensi adalah
kemampuan individu untuk beradaptasi dengan keadaan yang sulit atau
kesengsaraan (adversity), individu menjadi lebih produktif dalam menghadapi
15
dan mengatasi tekanan hidup kemudian menemukan kehidupan yang lebih baik
dari sebelumnya serta menunjukan kualitas hidup yang lebih baik.
2. Aspek-Aspek Resiliensi
Resiliensi bukan sebuah bakat tetapi kemampuan dasar yang dimiliki
semua orang yang harus selalu dikembangkan. Reivich dan Shatte (2002),
menguraikan tujuh aspek yang membentuk kemampuan daya lentur atau
resiliensi pada diri seseorang yaitu regulasi emosi, pengendalian impuls,
optimisme, empati, analisis penyebab masalah, efikasi diri, dan reaching out.
1. Regulasi Emosi
Rahmawati (dalam Ismuninggar, 2017) menyampaikan bahwa regulasi
emosi adalah kemampuan seseorang dalam menata emosi sehingga tetap
menunjukan sikap tenang ketika berada dalam situasi yang banyak tekanan.
Kemampuan ini sangat nampak dalam diri seseorang ketika kesal, sedih atau
marah yang berdampak baik pada proses pemecahan masalah. Kemampuan
mengatur, mengawasi, dan mengontrol emosi ketika menghadapi masalah
dengan diri sendiri, orang lain atau pekerjaan adalah tanda orang yang
mempunyai kecerdasan emosional. Kemampuan mengekspresikan emosi, baik
emosi positif maupun negative, secara tepat merupakan bagian dari resiliensi
(Reivich & Shatte, 2002).
Regulasi emosi menekankan kemampuan seseorang dalam
mengendalikan dorongan emosi, baik mengurangi tekanan emosi yang
berlebihan maupun membangkitkan motivasi demi mencapai keseimbangan
16
emosi dan perasaan positif. Regulasi emosi membantu seseorang untuk
menyesuaikan emosinya dengan situasi yang dihadapi, menjauhkan dari emosi
negatif dan menjaga emosi tetap terkendali. Reivich dan Shatte (2002)
menyampaikan bawa regulasi emosi ditandai dengan dua keterampilan yaitu
tenang (calming) dan fokus (focusing). Dua keterampilan tersebut membantu
individu untuk mengontrol emosi yang tidak terkendali dengan menunjukan
sikap tenang dan tidak mudah terprovokasi oleh keadaan, serta tetap fokus pada
usaha menghadapi dan menyelesaikan masalah ketika banyak hal-hal yang
mengganggu, hingga sampai pada keberhasilan mengurangi stress yang
dialami.
- Tenang (Calming)
Tekanan atau stress yang dialami oleh individu dapat dengan segera
dihadapi dan dikelola dengan cara merubah cara berpikir ketika
berhadapan dengan stressor. Individu tersebut tidak selalu mampu
menghindari keseluruhan stress yang dialami tetapi ia terdorong untuk
dapat menemukan cara untuk membuat diri berada dalam kondisi
tenang ketika stress menghadang.
Keterampilan ini adalah kemampuan untuk meningkatkan kontrol diri
terhadap respon tubuh dan pikiran saat berhadapan dengan stress
melalui berbagai cara relaksasi. Kegiatan relaksasi dapat mengontrol
jumlah stress yang dialami. Beberapa cara yang dapat digunakan
untuk relaksasi dan membuat diri dalam keadaan tenang, yaitu dengan
17
mengontrol pernapasan, relaksasi otot serta dengan menggunakan
teknik positive imagery, yaitu membayangkan suatu tempat yang
tenang dan menyenangkan.
- Fokus (Focusing)
Keterampilan diri untuk tetap fokus pada permasalahan yang ada
sangat membantu individu menemukan jalan keluar dari
permasalahan yang dihadapi (Reivich & Shatte, 2002). Individu
yang memiliki ketrampilan fokus mampu menganalisis dan
membedakan antara sumber permasalahan yang sebenarnya dengan
permasalahan yang justru timbul sebagai akibat dari sumber
permasalahan yang sebenarnya. Pada akhirnya keterampilan fokus
membantu individu dalam mencari solusi yang tepat. Hal ini
tentunya akan mengurangi stres yang dialami oleh individu.
Remaja dengan kehamilan di luar pernikahan yang memiliki kemampuan
mengelola emosi akan sangat terbantu dalam usaha mengendalikan kemarahan,
kesedihan, perasaan bersalah, keputusasaan, kecemasan bahkan depresi yang
tentu saja akan berpengaruh bagi kesehatan fisik dan mental diri serta
perkembangan janin dalam kandungan. Kemampuan untuk fokus dan bersikap
tenang akan membantu remaja dengan kehamilan di luar pernikahan dalam
menemukan cara-cara dan orang-orang yang dapat membantu melewati masa-
masa sulit.
18
2. Pengendalian Impuls
Kemampuan mengendalikan emosi sangat berhubungan dengan
kemampuan mengendalikan impuls dalam diri. Pengendalian impuls
merupakan kemampuan untuk mengendalikan keinginan, dorongan, kesukaan
atau tekanan dalam diri seseorang. Kemampuan mengendalikan impuls
menghindarkan seseorang dari kekakuan pada pola pikir tertentu sehingga
dapat mendeteksi efek negatif dari situasi atau keinginan yang muncul (Reivich
& Shatte, 2002).
Reivich & Shatte (2002) mengungkapkan bahwa kemampuan mengontrol
dorongan-dorongan dalam diri mencakup kemampuan mengelola tindakan,
tindak tanduk dan emosi-emosi dengan cara yang realistis selama mengalami
kesengsaraan. Resiliensi bukan kondisi dimana seseorang terbebas dari
dorongan-dorongan impul tetapi tentang bagaimana seseorang mampu
mempertimbangkan sebelum mengikuti dorongan emosinya. Seorang yang
resilien akan mampu melihat secara jernih terhadap dorongan-dorongan
keinginan dalam diri agar terhindar dari permasalahan baru yang dapat
memperburuk keadaan.
Remaja dengan kehamilan di luar pernikahan yang memilliki
kemampuan mengontrol dorongan dari dalam diri akan mampu menahan diri
sebelum mengambil keputusan akibat dorongan atau keinginan yang muncul
saat mengalami kekacauan dan keputusasaan, misalnya keinginan mengakhiri
19
hidup, menggugurkan kandungan atau bahkan menyakiti orang yang dianggap
sudah merusak kehidupannya. Dia akan melihat lebih dahulu resiko yang akan
dihadapi bila memutuskan untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu
tidak hanya mengejar rasa puas semata.
3. Optimisme
Reivich & State (2002) mengungkapkan orang yang memiliki
kemampuan resiliensi adalah pribadi yang optimis dimana dia melihat bahwa
masa depannya cemerlang. Sikap optimis menjadi pendukung untuk tetap kuat
dan yakin pada harapan di masa depan sehingga seseorang tetap mampu
mengendalikan jalan hidupnya. Seorang yang optimis adalah pribadi yang
memiliki efikasi diri (self-efficacy) dimana ia selalu yakin dapat menyelesaikan
masalah dengan baik serta mengendalikan hidupnya sendiri tanpa dipengaruhi
oleh situasi di luar dirinya.
Reivich dan Shatte (2002) menyampaikan bahwa hasil penelitian tentang
sikap optimis secara jelas menunjukan bahwa orang-orang yang memiliki sikap
optimis dalam hidup lebih bahagia, lebih sehat dan lebih produktif. Mereka
memiliki hubungan yang sehat dengan orang lain, lebih sukses, serta menjadi
pribadi yang mampu menyelesaikan masalah dengan lebih baik, dan terhindar
dari depresi. Kondisi ini sangat berbeda jika dibandingkan dengan orang-orang
yang memiliki jiwa pesimis yang selalu fokus pada hal-hal negatif dalam
hidupnya sehingga tidak dapat melihat masa depan secara baik.
20
Keadaan hamil sebelum melakukan pernikahan terlebih dahulu adalah
suatu keadaan yang sangat berat bagi remaja. Remaja dengan kondisi tersebut
dapat saja merasa hidupnya tak berguna, merasa bersalah dan tak memiliki
meraih masa depan. Kemampuan bersikap optimis sangat membantu remaja
dengan permasalahan hamil sebelum menikah. Mereka akan memiliki
kemampuan melihat masa depan meski sedang berada dalam kondisi sulit dan
penuh kesengsaraan. Mereka masih memiliki keyakinan bahwa kesempatan
menata hidup, melihat peluang untuk lebih sukses di masa yang akan datang
masih menjadi milik mereka.
4. Kemampuan menganalisis Penyebab Masalah (Causal-Analysis)
Kemampuan menganalisis penyebab masalah membantu individu
mengenali dan mengidentifikasi permasalahan secara baik dan akurat.
Kemampuan ini membantu seseorang menjelaskan hal buruk dan baik yang
menimpa dirinya sehingga tidak terkurung pada prasangka buruk. Orang yang
tidak memiliki kemampuan menganalisis masalah cenderung membuat
kesalahan yang sama. Kemampuan menganalisis penyebab masalah
memampukan seseorang untuk fokus pada apa yang harus dilakukan untuk
keluar dari kesulitan dan tidak terjebak pada tindakan menyalahkan lingkungan
di luar dirinya.
Reivich dan Shatte (2002) mengungkapkan bahwa usaha mencari
penjelasan dari suatu kejadian ditentukan oleh kemampuan menganalisis
masalah. Terdapat tiga dimensi gaya berpikir yang digunakan untuk melihat
21
penyebab sebuah masalah yang muncul, yaitu 1) gaya berpikir personal (saya-
bukan-saya), 2) gaya berpikir permanen (selalu-tidak selalu), dan pervasive
(meluas-tidak meluas).
Remaja dengan kehamilan di luar pernikahan dengan dimensi
personal “saya” memiliki keyakinan bahwa masalah yang dihadapi
bersumber dari dirinya sendiri. Sementara remaja dengan kehamilan di
luar nikah dengan dimensi berpikir “selalu” memiliki kecenderungan
untuk menjelaskan bahwa masalah yang dihadapi tidak akan bisa
diselesaikan dan tidak akan bisa dirubah. Remaja dengan kehamilan di luar
pernikahan yang memiliki gaya berpikir “meluas” akan mampu
menjelaskan persoalan atau masalah yang dihadapi sebagai sesuatu yang
berdampak bagi kehidupannya.
Remaja dengan kehamilan di luar pernikahan yang memiliki
kemampuan refleksi “saya, selalu, seluruhnya’ menganggap bahwa
persoalan yang muncul bersumber dari dalam dirinya. Sedangkan remaja
dengan kehamilan di luar pernikahan yang memiliki pandangan “bukan
saya, tidak selalu, tidak seluruhnya” berpandangan bahwa penyebab dari
persoalan yang muncul berasal dari faktor di luar dirinya.
Kemampuan remaja melihat dan merespon kehamilannya sangat
dipengaruhi oleh caranya melihat dan menganalisis masalah tersebut. Cara
menganalisis yang tepat akan mempengaruhi caranya menyikapi
persoalan. Secara tepat remaja dengan kehamilan di luar pernikahan dapat
22
melihat dan menganalisis berbagai penyebab dari kesengsaraan yang
dialami karena kondisi hamil. Kemampuan menganalisis tersebut
membantu remaja tersebut untuk mengambil langkah selanjutnya da
menghindari kesalahan yang sama.
5. Empati
Empati adalah kemampuan untuk mengenali berbagai
kemungkinan perilaku orang lain yang akan dilakukan. Seorang dengan
kemampuan berempati juga mempunyai kepekaan untuk membaca bahasa
tubuh orang dan merasakan apa yang orang lain alami atau kondisi emosi
orang lain. Pribadi semacam ini akan memiliki hubungan yang baik
dengan orang lain Empati terhadap orang lain adalah merasakan apa yang
orang lain rasakan dan mengalami apa yang orang lain alami dari sudut
pandang orang lain tanpa kehilangan identitas diri sendiri. Kemampuan
berempati adalah kemampuan memposisikan dirinya pada posisi orang lain
yang sama-sama mengalami kesulitan, dan keberhasilan orang lain dalam
menghadapi kesulitan atau permasalahan (Reivich & Shatte, 2002).
Sebaliknya, individu dengan empati yang rendah akan memiliki pola dari
individu dengan resiliensi yang rendah. Individu ini tidak memiliki
kemampuan memahami dan menghargai orang lain sehingga
mengakibatkan tidak baiknya hubungan dengan orang lain (Reivich &
Shatte, 2002).
23
Remaja dengan kehamilan di luar pernikahan yang memiliki
kemampuan berempati mudah memahami dan merasakan apa yang orang
lain rasakan terkait dengan perbuatan yang telah dilakukan. Ia menjadi
peka pada apa yang orang-orang terdekatnya rasakan, misalnya orang tua
dan keluarga dekat lainnya, bayi yang tak berdosa yang berhak untuk
hidup. Bagi remaja dengan kehamilan di luar pernikahan yang tinggal di
rumah pengungsian, kemampuan berempati akan menjadi dukungan yang
baik dalam membangun hubungan dengan residen lain.
6. Efikasi Diri (Self-efficacy)
Efikasi diri merupakan keyakinan bahwa seseorang dapat secara
efektif menjalani hidup. Keyakinan ini adalah wujud dari rasa percaya
diri bahwa ia mampu mengatasi kesulitan yang akan dihadapi (Reivich &
Shatte, 2002). Kemampuan ini menjadi salah satu faktor pendukung dalam
resiliensi. Menurut Bandura (dalam Junianto, 2015) individu yang
memiliki kemampuan efikasi diri lebih mudah menghadapi tantangan
karena memiliki rasa percaya diri yang sehat terkait kemampuan yang
dimiliki. Individu ini akan secara efektif menghadapi masalah, bangkit dari
kegagalan, kemudian mendapat hidup yang lebih bahagia.
Individu yang memiliki efikasi diri tinggi saat memiliki persoalan
dalam hidup menunjukan komitmen yang tinggi. Individu tersebut
menunjukan sikap tidak mudah menyerah saat mengalami kegagalan.
24
Efikasi diri nampak dalam diri seseorang yang memiliki keyakinan bahwa
masih ada acara lain yang dapat dilakukan agar dapat keluar dari persoalan
yang dihadapi. Efikasi diri juga menjadi salah satu kemampuan yang
dimiliki seorang yang resilien.
Kemampuan efikasi diri pada remaja yang mengalami kehamilan
di luar pernikahan dengan percaya diri menghadapi persoalan yang
dihadapi, memiliki jiwa yang sehat untuk mempertanggungjawabkan
perbuatannya dengan mencari berbagai cara agar keluar dari persoalan
yang dihadapi tetapi tidak membuat kesalahan baru. Secara wajar remaja
tersebut menunjukan sikap percaya diri bahwa ia mampu melewati
kesulitan hidup yang sedang dialami, mencari solusi dan berhubungan
dengan orang-orang yang dapat membantunya. Remaja dengan kehamilan
di luar pernikahan tidak menghabiskan waktu dengan menyalahkan
keadaan dan orang di luar dirinya tetapi menunjukan komitmen yang
tinggi untuk bertangung jawab atas kesalahan yang dilakukan.
7. Reaching Out
Reivich dan Shatte (2002) menyampaikan aspek positif dalam
hidup merupakan gambaran individu yang resilien. Aspek positif tersebut
memampukan seseorang untuk membedakan resiko yang realistis dan
tidak realistis. Individu memiliki makna, tujuan dan gambaran hidup yang
jelas.
25
Reaching out merupakan kemampuan untuk meraih apa yang
diinginkan, meskipun harus melampaui perkiraan atau batasan
kemampuan yang dimiliki sebelumnya. Kemampuan menjangkau keluar
ini merupakan sumber internal dalam diri individu untuk melakukan hal
yang baru. Kemampuan ini menjadi bagian terpenting bagi individu untuk
menemukan hidup yang lebih baik dan tetap optimis meski menghadapi
kesulitan hidup.
Remaja dengan kehamilan di luar pernikahan berada dalam kondisi
sulit. Sikap optimis mencapai cita-cita dan harapan dibalik kesulitan yang
dihadapi mendukung mereka dalam melihat peluang dan rencana-rencana
baru bagi hidupnya setelah melahirkan bayinya dan optimis menghadapi
hidup barunya.
Berdasarkan uraian tersebut maka dapat disimpulkan bahwa aspek-aspek
resiliensi sangat berperan dalam diri seseorang ketika menghadapi persoalan
hidup. Aspek-aspek tersebut mendorong seseorang untuk mengatasi persoalan
yang dihadapi tanpa merusak diri dan hubungannya dengan orang lain. aspek-
aspek positif tersebut akan membantu seseorang untuk tetap merasa bahagia dan
percaya diri menatap masa depannya.
3. Ciri-Ciri Orang dengan Resiliensi
Daya resilien tidak dimaknai sebagai kondisi dimana seseorang hanya
sekedar mampu bertahan dalam kesulitan tetapi pada situasi dimana seseorang
26
mengalami pertumbuhan dan perubahan baru dalam hidup (Mowbray, 2011).
Siebert (2005) menguraikan ciri-ciri individu yang memiliki kemampuan
resiliensi adalah sebagai berikut:
a. Mampu mengatasi perubahan-perubahan dalam hidup
Hidup pada dasarnya sangat dinamis. Manusia selalu dihadapkan pada
perubahan-perubahan yang bisa datang kapan saja dan tidak terduga.
Pribadi yang resilien selalu mampu mengatasi perubahan dengan
tenang dan fokus.
b. Mampu mempertahankan kesehatan dan energi yang baik.
Perubahan yang dapat berupa kemalangan atau masalah yang sulit
dalam hidup tentu sangat mempengaruhi kesehatan fisik maupun
psikologis. Beberapa orang menjadi sangat sedih dan putus asa atau
bahkan mengalami simpton patologis. Seorang yang resilien mampu
mengatasi situasi sulit dalam hidupnya, menunjukan indvidu yang
sehat lahir dan batin untuk melanjutkan kehidupannya. Secara dewasa
ia dapat memahami dan membuat pilihan agar tetap dalam kondisi
sehat.
c. Mampu bangkit dari keterpurukan
Setiap orang pasti pernah mengalami kegagalan dalam hidupnya, baik
yang sebabkan oleh kesalahan sendiri maupun karena orang lain.
Individu yang memiliki daya resilien memiliki kemampuan untuk
bangkit dari kejatuhannya dan berusaha menemukan semangat baru.
27
d. Mampu mengatasi kesulitan-kesulitan hidup
Masalah adalah bagian yang tidak dapat dipisahkan dari hidup.
Individu yang resilien memiliki kemampuan menyelesaikan kesulitan
hidup dan menemukan kehidupan yang lebih bahagia dari
sebelumnya.
e. Mampu merubah cara berfikir dan cara mengatasi masalah ketika cara
yang lama tidak berhasil
Seorang yang memiliki daya resiliensi dapat secara kreatif
menemukan cara-cara baru dan tidak menunjukan sikap pesimis.
Seorang yang resilien memiliki keyakinan bahwa terdapat lebih dari
satu cara untuk menyelesaikan persoalan hidup ketika cara yang
dipilih menemui jalan buntu.
f. Fokus pada tujuan dan mampu memperhitungkan resiko yang realistis
dan tidak realistis.
Individu yang memiliki daya resilien tidak menggunakan cara-cara
tanpa perhitungan. Resiko yang kemungkinan akan muncul akan
menjadi dilihat secara baik, tidak membabi buta dan memperhatikan
secara seksama apakah resiko tersebut cukup realistis untuk dihadapi
atau harus dihindari.
4. Sumber-sumber Resiliensi
28
Selain aspek-aspek yang diuraikan oleh Reivich dan Shatte, Grotberg
(1999) menjelaskan dalam teori resiliensinya bahwa terdapat tiga sumber pada
individu yang dapat membangkitkan daya resiliensi. Ketiga sumber tersebut
adalah mengetahui siapa diri mereka (I AM), apa yang mereka miliki (I HAVE),
dan apa yang dapat mereka lakukan (I CAN). Sumber resiliensi tersebut menjadi
daya dukung bagi individu dalam menghadapi kesulitan atau kesengsaraan yang
dihadapi.
Sumber kekuatan pribadi (I Am) merupakan kekuatan yang berasal dari
dalam diri seseorang. Kekuatan tersebut meliputi perasaan dicintai dan perilaku
yang menarik, sikap dan keyakinan diri dan harga diri, bangga pada diri sendiri,
optimisme, kreatifitas, otonomi diri dan tanggung jawab, mencintai, empati dan
jiwa altruistik. Kemampuan ini ditandai dengan adanya usaha individu untuk
selalu mencintai orang lain dan bersikap agar orang lain mencintainya. Selain
memiliki kebanggaan pada diri, individu tersebut memiliki sikap emphati dan
peduli pada orang lain. kemampuan-kemampuan tersebut mendukung individu
untuk memiliki rasa percaya diri dalam menghadapi kesulitan dan kepahitan
hidup, tidak tergantung pada orang dan memiliki kesiapan menghadapi
konsekwensi dari keputusannya dengan penuh kesadaran dan tanggung jawab.
Selain itu, individu juga dipenuhi dengan semangat hidup yang selalu ada harapan
dalam situasi apapun serta berusaha untuk selalu setia dalam pilihan hidupnya
dalam moralitas dan keimanan.
29
Apa yang dimiliki (I Have) adalah sumber resiliensi dari luar diri
seseorang. I Have berupa dukungan, cinta, perhatian dan penerimaan dari orang-
orang yang dekat dengan kehidupan seseorang seperti orang tua, anggota keluarga
lain, guru, dan teman. I Have ditunjukan dalam sebuah hubungan yang sehat
dengan orang-orang di sekitarnya, seperti keluarga, lingkungan sekolah maupun
lingkungan yang lebih luas. Dukungan dari luar individu sangat bermakna dalam
membangun kemandirian, rasa percaya diri, tanggung jawab dan keinginan
memahami dan berempati dengan orang lain
Sumber ketiga adalah apa yang dapat mereka lakukan (I Can). I Can
berupa kemampuan untuk mengelola perasaan dan impuls dari dalam diri,
membangun hubungan yang sehat dengan orang lain, mengenali emosi diri dan
orang lain serta yang terpenting adalah kemampuan memecahkan masalah.
Kemampuan memecahkan masalah adalah kemampuan dasar untuk
mengidentifikasi sebuah masalah dan kemudian menentukan langkah selanjutnya
agar masalah tersebut dapat diselesaikan (Kim dan Choi, 2014). Kirkley, (2003)
menegaskan kemampuan memecahkan masalah melibatkan keterampilan berpikir
tingkat tinggi seperti visualiasi, asosiasi, abstraksi, manipulasi, penalaran, analisis,
sintesis, dan generalisasi (Mahmudi, 2008). Resiliensi tidak harus secara utuh
memiliki ketiga sumber tersebut tetapi bila hanya memiliki satu saja tentu tidak
cukup. Resiliensi bersumber pada ketiga hal tersebut yang masing-masing saling
mendukung satu sama lain.
30
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa sumber resiliensi dapat
ditemukan dari dalam diri seseorang dan dukungan dari orang lain. Pribadi yang
resilien tidak perlu mendapat ketika sumber tersebut. Salah satu sumber mencapai
dan meningkatkan resiliesi salah satunya dipengaruhi oleh kecerdasan kognitif
seseorang sebagai salah satu sumber untuk menyelesaikan permasalahan yang
terjadi.
B. Remaja
1. Pengertian Remaja
Peraturan Menteri Kesehatan No. 25 Tahun 2014 mendefinisikan remaja
adalah penduduk dengan rentang usia 10-18 tahun. Sementara BKKBN menyebut
remaja adalah mereka yang berusia 10-24 tahun dan belummenikah
(depkes.go.id). Hurlock (1981) menyebutkan remaja adalah mereka yang berusia
12 hingga 18 tahun. Monks, Knoers dan Haditono (2000) memberi batasan usia
remaja pada usia 12 sampai 21 tahun. WHO memberi batasan usia remaja antara
10-20 tahun.
Bapak Psikologi Remaja, Stanley Hall menyebutkan rentang usia remaja
lebih panjang dibanding para ahli lain, yaitu usia 12-23 tahun (Santrock, 2013).
Konopka (dalam Yusuf, 2011) membagi masa remaja dalam tiga fase, antara lain
31
Remaja Awal (12-15 tahun), Remaja Madya (15-18 tahun), dan Remaja Akhir
(19-22 tahun).
Berdasarkan uraian tentang remaja di atas, secara kronologis dapat
dikatakan bahwa berakhirnya masa remaja terdapat perbedaan yang cukup
bervariasi tetapi hampir semua ahli memiliki kesamaan pendapat tentang
dimulainya masa remaja. Pada penelitian ini, peneliti membatasi masa remaja
adalah mereka yang berusia 12-23 tahun sebagaimana disampaikan oleh Stanley
Hall (dalam Santrock, 2013).
2. Karakteristik Remaja
Remaja berada dalam tahap peralihan yaitu dari masa anak-anak menuju
masa dewasa. Remaja sedang mengalami perubahan yang cepat dan banyak di
berbagai aspek, khususnya fisik, sosial dan emosional. Perkembangan fisik
ditandai dengan ternyadinya proses pematangan dan berfungsinya alat reproduksi
pada organ seksual remaja (Sarwono, 2001). Hurlock (2013) menyebutkan bahwa
masyarakat umum menyebut masa pematangan alat reproduksi tersebut sebagai
masa pubertas dimana seseorang sedang berada dalam proses pemasakan organ-
organ seksual. Tidak ada lagi tanda-tanda biologi yang berarti yang menandai
berakhirnya masa remaja tetapi faktor-faktor sosial biasanya digunakan untuk
menandai seseorang memasuki masa dewasa (Situmorang, 2003).
32
Pada aspek sosial-emosional, remaja berada di tahap “sense of identity vs
role confusion” (Yusuf, 2006). Proses pencarian jati diri berkembang seiring
dengan kesadaran remaja akan sangat pentingnya pandangan orang lain terhadap
keberadaannya. Remaja sangat ingin diakui, melakukan berbagai hal untuk
memperkuat kepercayaan diri, dan menegaskan kemandirian (Agustiani, 2006).
Menurut Oswelt (dalam Herlina, 2011) remaja mengalami perkembangan yang
lebih mendalam dalam membangun hubungan dengan orang lain dibanding pada
masa anak-anak. Remaja menginginkan dan menuntut kebebasan diri tetapi disisi
lain masih takut dan ragu-ragu untuk bertanggung jawab untuk mengatasi
persoalan yang dihadapi (Hurlock, 1981).
Bapak Psikologi Remaja, Stanley Hall, menyebut masa remaja adalah
masa “storm and stress". Masa tersebut ditandai dengan situasi dimana remaja
mengalami kegoncangan, penderitaan, asmara dan pemberontakan pada orang tua.
Masa badai dan stress banyak terjadi pada tiga hal utama yaitu konflik dengan
orang tua, mood yang sangat mudah berubah serta perilaku yang beresiko,
misalnya terlibat dalam tindakan kenakalan remaja, masalah-masalah emosional
dan kehamilan (Arnett, 2015).
Hurlock (1981) menguraikan bahwa otak remaja sedang dalam tahap
perkembangan dimana ketrampilan kognitif baru akan muncul. Terjadi
peningkatan sambungan saraf di otak tetapi tidak dibarengi dengan kematangan
emosi. Otak lebih mengandalkan sistem limbik yang mendahulukan emosi
daripada korteks prefrontal yang berfungsi mengolah informasi secara rasional.
33
Sistem limbik mengambil peran lebih banyak dibanding korteks pre-frontal yang
berhubungan dengan kemampuan perencanaan, pengendalian dorongan dan daya
nalar yang lebih tinggi. Johnson (2009) mengungkapkan “"The brain continues to
change throughout life, but there are huge leaps in development during
adolescence," diungkapkan bahwa otak manusia terus berubah sepanjang hidup
tetapi terjadi lompatan besar pada masa remaja. Pada tahap tersebut terjadinya
perubahan hormonal sehingga terjadi dinamika emosi yang lebih intens, misalnya
kemarahan, ketakutan, agresi, kegembiraan dan daya tarik seksual (Johnson,
2012).
Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa remaja adalah
manusia yang sedang berada di tahap sangat kritis dimana mereka memasuki
tahap meninggalkan masa anak-anak untuk menjadi manusia dewasa. Terdapat
berbagai perkembangan yang banyak dan cepat yang kemudian sangat
mempengaruhi perilaku remaja. Keberhasilan atau kegagalan remaja menjalani
masa transisi akan mempengaruhi kehidupan di masa dewasa.
3. Tugas Perkembangan Remaja
Havinghurst (1972) mendefinisikan tugas perkembangan sebagai hal yang
muncul pada satu periode kehidupan, sebuah pencapaian yang akan menuntun
manusia pada kebahagiaan dan kesuksesan di tugas perkembangan selanjutnya.
Tugas perkembangan berhubungan dengan domain sikap, perilaku dan
34
ketrampilan yang seharusnya dimiliki oleh semua individu sesuai usia dan tahap
perkembangannya (Yusuf, 2011)
Terdapat tiga sumber pada tugas perkembangan menurut Havighurst
(1972), pertama tugas perkembangan yang muncul dari kematangan fisik seperti
belajar berjalan, belajar berbicara dan sikap menerima perbedaan jenis kelamin di
masa remaja, menyesuaikan atau menyiapkan diri memasuki masa menopause di
usia pertengahan; kedua disebut oleh Havighurst (1972) sebagai tugas
perkembangan dari sumber-sumber diri seseorang. Sumber-sumber diri seseorang
dipandang sebagai sumber yang berasal dari dalam diri seseorang. Salah satu
contoh dari sumber-sumber diri sesorang adalah munculnya kematangan
kepribadian dan pembentukan nilai dan cita-cita, belajar berbagai ketrampilan
yang diperlukan untuk bekerja; sumber ketiga adalah tugas perkembangan dimana
seseorang menggunakan sumber-sumber dalam dirinya di tengah masyarakat,
misalnya belajar membaca atau mempelajari peran apa yang dapat diambil
sebagai bentuk tanggung jawab sebagai warga Negara
Tugas-tugas perkembangan remaja menurut Havighurts (dalam Monks,
2001), adalah :
a. Mencapai relasi baru dan lebih matang dengan teman sebaya baik teman
perempuan maupun laki-laki
b. Mencapai peran di masyarakat sebagai seorang pria maupun wanita
c. Menerima kondisi fisik dan menggunakannya secara efektif
35
d. Mencapai kebebasan emosional dari orang tua maupun orang dewasa
lainnya
e. Menyiapkan pernikahan dan kehidupan berkeluarga
f. Menyiapkan diri untuk berkarir
g. Belajar seperangkat nilai dan adat istiadat sebagai dasar untuk bertindak
dan mengembangkan ideology
h. Mulai memiliki tanggung jawab untuk terlibat dalam aktivitas
kemasyarakatan dan politik
C. Kehamilan di Luar Pernikahan
1. Definisi Kehamilan di Luar Pernikahan
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, hamil adalah saat dimana
wanita mengandung janin dalam rahim karena sel telur dibuahi oleh spermatozoa.
Seseorang benar-benar dikatakan hamil hanya ketika terjadi proses implant yang
telah lengkap. Proses implant adalah saat dimana sebuah telur yang subur telah
ditanam di dalam uterus atau rahim wanita (Gold, 2005). Badan Kependudukan
dan Keluarga Berencana (2015) mendefinisikan hamil adalah keluarnya sel telur
matang pada saluran telur lalu bertemu dengan sperma.
Kehamilan dimaknai sebagai tumbuhnya janin di dalam rahim seorang
perempuan. Kehamilan pada manusia berkisar 40 minggu atau 9 bulan, dihitung
dari awal periode menstruasi terakhir sampai melahirkan (Sarwono, 2001).
36
Kehamilan adalah dikandungnya janin hasil pembuahan sel telur oleh sel sperma
(Kushartanti, 2004).
Undang-undang Perkawinan Tahun 1974 Perkawinan menurut Undang-
Undang Nomor 1 Tahun 1974 Pasal 1, ialah ikatan lahir batin antara seorang pria
dengan seorang wanita sebagai isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah
tangga) yang bahagia kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Kartono
(1992) perkawinan atau pernikahan diuraikan sebagai peristiwa sepasang
mempelai atau sepasang laki-laki dan perempuan yang dipertemukan secara resmi
di hadapan penghulu/ kepala agama tertentu, saksi dan hadirin, dan diresmikan
sebagai suami-istri dengan ucapan dan tata cara tertentu.
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa kehamilan di luar
pernikahan adalah hadirnya janin di dalam rahim seorang perempuan sebelum
secara resmi disahkan sebagai suami istri sesuai undang-undang yang berlaku di
Indonesia.
D. Dinamika Resiliensi pada Remaja dengan
Kehamilan di Luar Pernikahan
Zulkifli (2005) pada saat menuju masa dewasa, remaja mengalami
perubahan-perubahan, salah satunya adalah perubahan fisik. Kematangan organ
reproduksi tersebut ditandai dengan munculnya ciri kelamin primer dan
pertumbuhan kelenjar-kelenjar seks. Perubahan pada diri remaja tersebut
memunculkan dorongan seksual kepada lawan jenis. Pada tahap ini sering muncul
37
keinginan untuk mencoba hal baru sekaligus memenuhi rasa ingin tahu dalam
bentuk membangun hubungan dengan lawan jenis hingga perilaku seksual
pranikah. Perilaku seksual pranikah adalah semua bentuk tingkah laku yang
didorong oleh hasrat seksual yang dilakukan oleh individu dengan individu lain
sebelum menikah. Hurlock (2002) mengungkapan perilaku seksual pranikah
adalah salah satu bentuk ungkapan tingkah laku atau rasa cinta yang
dilampiaskan dimulai pada tahap berdekatan, berciuman sampai melakukan
senggama tanpa adanya ikatan pernikahan.
Sulistyana (2007) menjelaskan bahwa hamil di luar nikah sulit diterima
oleh masyarakat. Kehamilan menjadi sebuah aib dan masalah besar bagi diri
remaja, keluarga dan orang-orang terdekatnya. Masyarakat Indonesia masih
memandang remaja yang hamil di luar nikah sebagai pribadi dengan perilaku
yang menyimpang di masyarakat. Paul B. Horton dan Chester L. Hunt (dalam
Bungin, 2001) menjelaskan penyimpangan adalah setiap perilaku yang dinyatakan
sebagai suatu pelanggaran terhadap norma-norma kelompok atau masyarakat.
Hidayana (2004) mengungkapan kondisi hamil di luar pernikahan
berakibat negatif bagi perkembangan psikologis dan sosial. Remaja akan
mengalami dikucilkan, stigma, diskriminasi, trauma, kehilangan banyak hak,
mengalami depresi, dan sebagainya. Reivich dan Shatte (2002) mengungkap
beberapa emosi yang pada umumnya dialami oleh remaja yang mengalami
kehamilan di luar pernikahan, yaitu rasa sedih dan depresi, perasaan
bersalah, marah, kecemasan dan perasaan malu. Remaja tersebut juga
38
mengalami perubahan mood yang kuat, cepat dan sering, perasaan mudah
tersinggung, kesepian, pola tidur dan nafsu makan yang bermasalah, putus asa
dan juga bingung. Respon remaja dalam menghadapi kesengsaraan akibat
kehamilan yang dialami berbeda-beda. Siebert (2005) mengungkapkan bahwa
reaksi tiap individu dalam menghadapi persoalan atau perubahan dalam hidup
berbeda-beda. Terdapat individu yang menghadapi persoalan dengan sikap
emotional bahkan kecenderungan melakukan kekerasan dengan menyakiti orang
lain, ada individu yang pasrah dan merasa tidak berdaya (helpless) menghadapi
persoalan dan perubahan dalam hidup. Namun ada individu yang berani
menghadapi persoalan, beradaptasi dengan kenyataan dan menjadi individu yang
lebih kuat serta menemukan kehidupan yang lebih baik.
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa remaja dengan kehamilan di
luar pernikahan memiliki dinamika resiliensi yang berbeda satu sama lain. Remaja
dengan persoalan yang sama, dapat saja menunjukan respon yang berbeda.
Beberapa ada yang berupaya keras untuk keluar dari kesulitan bahkan
menemukan kehidupan yang lebih baik tetapi beberapa menunjukan sikap
menyerah atau hanya sekedar bertahan saja.
E. Pertanyaan Penelitian
Penelitian ini hendak melihat dari dekat kehidupan remaja di sebuah
rumah pengungsian yang berada di Kota Y memiliki layanan khusus yaitu
memberi pendampingan bagi remaja yang mengalami kehamilan di luar nikah.
39
Kehamilan di luar pernikahan atau yang terjadi tanpa dilalui dengan proses
pengesahan secara agama maupun negara melahirkan penderitaan yang mendalam
bagi para remaja. Penderitaan yang dialami akibat kehamilan diterima secara
berbeda oleh setiap remaja yang tinggal di rumah pengungsian tersebut. Beberapa
nampak cukup kuat dan optimis menghadapi masa depan tetapi ada juga remaja
yang menunjukkan sikap pesimis dan putus asa. Terkait respon yang berbeda
tersebut peneliti berminat untuk melihat bagaimana gambaran resiliensi pada
remaja yang dipilih dalam penelitian. Maka peneliti mengajukan pertanyaan
penelitian yaitu bagaimana gambaran resiliensi pada remaja dengan kehamilan di
luar pernikahan?