BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Perilaku Merokok …eprints.mercubuana-yogya.ac.id/4219/3/BAB...
Transcript of BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Perilaku Merokok …eprints.mercubuana-yogya.ac.id/4219/3/BAB...
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Perilaku Merokok pada Remaja
1. Pengertian Perilaku Merokok pada Remaja
Perilaku merokok merupakan segala bentuk kegiatan individu
dalam membakar rokok kemudian menghisap dan menghembuskannya
keluar sehingga menimbulkan asap yang dapat terhirup oleh orang
disekitarnya (Nasution, 2007). Sedangkan menurut Sitepoe (dalam
Sanjiwani & Budisetyani, 2014), perilaku merokok adalah suatu perilaku
yang melibatkan proses membakar tembakau yang kemudian dihisap
asapnya, baik menggunakan rokok ataupun pipa. Kemudian tokoh lain,
Shiffman (dalam Astuti, 2012) menjelaskan bahwa merokok adalah
menghirup atau menghisap asap rokok yang dapat diamati atau diukur
dengan melihat volume atau frekuensi merokok. Berdasarkan uraian-uraian
pengertian perilaku merokok menurut para ahli di atas, dapat disimpulkan
bahwa perilaku merokok adalah segala bentuk aktivitas individu dalam
membakar tembakau yang kemudian dihisap dan dihembuskan kembali
asapnya, yang dapat diamati atau diukur dengan melihat volume atau
frekuensi merokok.
Selanjutnya, remaja atau masa remaja adalah periode transisi dari
masa kanak-kanak menuju masa dewasa awal yang dimulai dari usia 12
tahun dan berakhir pada usia 21 tahun, dengan perincian 12-15 tahun adalah
masa remaja awal, 15-18 tahun adalah masa remaja tengah, dan 18-21 tahun
2
adalah masa remaja akhir (Mönks., dkk, 2014). Remaja merupakan pribadi
yang terus berkembang menuju kedewasaan, dan sebagai proses
perkembangan yang berjalan natural, remaja mencoba berbagai perilaku
yang terkadang merupakan perilaku berisiko (Smet dalam Lestary &
Sugiharti, 2011). Adolescence (remaja dalam bahasa latin) diartikan
Hurlock (dalam Nasution, 2007) sebagai tumbuh atau tumbuh menjadi
dewasa. Dari pengertian remaja menurut beberapa tokoh di atas, dapat
disimpulkan bahwa remaja adalah individu yang sedang tumbuh dan
berkembang menuju kedewasaan atau berada dalam masa transisi dari masa
kanak-kanak menuju masa dewasa.
Berdasarkan pengertian-pengertian dari para ahli, perilaku merokok
pada remaja adalah segala bentuk aktivitas individu dalam membakar
tembakau yang kemudian dihisap dan dihembuskan kembali asapnya, yang
dapat diamati atau diukur dengan melihat volume atau frekuensi merokok
dan dilakukan oleh individu yang berusia antara 12 hingga 21 tahun.
2. Aspek-aspek Perilaku Merokok pada Remaja
Aspek-aspek perilaku merokok menurut Aritonang (dalam Solehah
& Mulyana, 2018) yaitu:
a. Fungsi merokok dalam kehidupan sehari-hari
Erickson (dalam Komalasari & Helmi, 2000) menyampaikan bahwa
merokok berkaitan dengan masa pencarian jati diri pada remaja.
Silvans & Tomkins (dalam Mu’tadin, 2002) menyatakan fungsi
3
merokok ditunjukkan dengan perasaan yang dialami perokok, seperti
perasaan positif maupun negatif.
b. Intensitas merokok
Smet (2010) membagi intensitas merokok berdasarkan banyaknya
rokok yang dihisap, yaitu perokok berat (lebih dari 15 batang per hari),
perokok sedang (menghisap 5 – 14 batang per hari), dan perokok
ringan (1 – 4 batang per hari).
c. Tempat merokok
Tempat merokok terdiri dari tempat umum dan tempat yang bersifat
pribadi (Mu’tadin, 2002). Tempat umum terbagi lagi dalam 2
kelompok yaitu kelompok homogen yang terdiri dari orang-orang
yang juga merupakan perokok aktif dan kelompok heterogen yaitu
merokok di kerumunan orang-orang yang terdiri dari perokok dan
bukan perokok. Untuk tempat yang bersifat pribadi, dibagi menjadi
kantor atau kamar tidur pribadi dan toilet.
d. Waktu merokok
Presty (dalam Smet, 2007) dapat dipengaruhi oleh keadaan yang
dialaminya pada saat itu, seperti cuaca dingin, dimarahi orang tua, dan
saat berkumpul dengan teman sebaya.
4
Tomkins (dalam Eysenck, 1995) membedakan empat jenis perilaku
merokok umum dalam teori manajemen afek, yaitu:
a. Perilaku merokok yang dipengaruhi perasaan positif
Dalam teori ini dikemukakan bahwa individu akan merokok ketika
sedang dalam perasaan positif untuk mendapatkan penambahan
perasaan positif. Green (1997) menambahkan 3 subtipe faktor
psikologis merokok, yaitu:
1) Pleasure relaxation, perilaku merokok hanya untuk
menambah kenikmatan yang sudah diperoleh, seperti merokok
setelah makan atau minum kopi.
2) Stimulation to pick them up, perilaku merokok hanya
dilakukan untuk menyenangkan perasaan.
3) Pleasure of handling the cigarette, kenikmatan yang diperoleh
saat memegang rokok, sangat spesifik pada perokok pipa.
Perokok pipa akan menghabiskan waktu lebih lama untuk
mengisikan tembakau ke dalam pipa sedangkan untuk
menghisapnya hanya dibutuhkan waktu beberapa menit saja
atau perokok pipa lebih senang berlama-lama memainkan
rokoknya dengan jari-jarinya sebelum api dinyalakan.
b. Perilaku merokok yang dipengaruhi perasaan negatif
Individu merokok untuk mengurangi perasaan negatif atau tidak
menyenangkan seperti tertekan, marah, takut, malu, terhina, atau
5
kombinasi dari pengaruh ini. Individu merokok ketika perasaan
negatif terjadi agar terhindar dari perasaan yang lebih tidak enak lagi.
c. Perilaku merokok yang adiktif
Pada tipe ini, perokok akan merokok baik dalam perasaan positif
maupun dalam perasaan negatif, dan cenderung akan menambah dosis
rokok yang digunakan setiap saat setelah efek dari rokok yang
dihisapnya berkurang. Individu pada tipe ini rela melakukan apapun
untuk menjaga ketersediaan rokoknya.
d. Kebiasaan merokok
Pada tipe ini, perokok menghidupkan rokok tidak lagi terkait dengan
pengaruh perasaan melainkan merokok telah menjadi kebiasaan rutin
sehingga perilaku ini akan muncul secara otomatis, seringkali tanpa
dipikir panjang. Individu akan menghidupkan lagi rokoknya bila
rokok terdahulu telah habis.
Dari pemaparan aspek-aspek perilaku merokok menurut tokoh
Aritonang (dalam Solehah & Mulyana, 2018), dapat disimpulkan bahwa
perilaku merokok dapat dilihat apabila individu memenuhi aspek fungsi
merokok dalam kehidupan sehari-hari, intensitas merokok, tempat merokok,
dan waktu merokok. Tokoh lain, Tomkins (dalam Eysenck, 1995) membagi
perilaku merokok ke dalam empat jenis perilaku merokok umum yang dapat
dilihat melalui perilaku merokok yang dipengaruhi perasaan positif yang
terdiri dari pleasure relaxation, stimulation to pick them up, pleasure of
6
handling the cigarette, perilaku merokok yang dipengaruhi perasaan
negatif, perilaku merokok yang adiktif, dan kebiasaan merokok.
Berdasarkan pemaparan aspek-aspek perilaku menurut Aritonang
dan Tomkins, peneliti memilih menggunakan aspek menurut Aritonang
sebagai alat ukur perilaku merokok karena aspek tersebut sudah sering
digunakan sebagai patokan alat ukur dalam penelitian terdahulu serta
memiliki penjelasan lebih lengkap dan jelas sehingga memudahkan peneliti
dalam menyusun skala psikologis.
3. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Perilaku Merokok pada Remaja
Subanada (2008) menyampaikan 3 faktor yang dapat mempengaruhi
perilaku merokok pada remaja, yaitu:
a. Faktor Psikologis
Perasaan stres, cemas, bosan, ingin tahu, serta tekanan teman
sebaya turut andil mempengaruhi individu untuk mulai merokok.
Merokok menjadi cara bagi individu untuk santai dan bersenang-
senang. Remaja yang mengalami stres memiliki kemungkinan lebih
tinggi untuk merokok. Masa remaja merupakan masa dimana individu
menghadapi masalah untuk pertama kalinya, seperti perubahan fisik,
tekanan sekolah, kebosanan, tekanan dari teman sebaya, masalah
finansial, dan sebagainya. Masalah-masalah tersebut menyebabkan
remaja sangat rentan menghadapi stres (Finkelstein., dkk, 2006).
7
b. Faktor Biologis
Faktor genetik dapat mempengaruhi individu untuk memiliki
ketergantungan terhadap rokok. Selain itu, efek dari nikotin juga dapat
meningkatkan kecanduan nikotin pada individu. Proses yang terjadi
dalam tubuh ketika rokok dihisap yakni nikotin diterima reseptor
asetilkolin-nikotinik yang kemudian membagi ke jalur imbalan dan
jalur adrenergenik. Pada jalur imbalan, perokok akan merasakan nikmat
yang memacu sistem dopaminergik, hasilnya perokok merasa lebih
tenang, daya pikir cemerlang, dan mampu menekan rasa lapar.
Di jalur adrenergik, zat nikotin akan mengaktifkan sistem
adrenergik pada bagian otak lokus seruleus untuk mengeluarkan
serotonin. Sistem adrenenergik berfungsi memproduksi norepinefrin,
epinefrin, atau dopamin yang berperan dalam menghasilkan perasaan
senang (Sundberg., dkk, 2007). Sama seperti norepinefrin, epinefrin,
dan dopamin, serotonin juga berperan dalam menghasilkan perasaan
senang. Meningkatnya serotonin menimbulkan rangsangan rasa senang
sekaligus keinginan mencari rokok lagi (Gayatri, 2012). Hal ini
menyebabkan individu sulit meninggalkan rokok karena sudah
mengalami ketergantungan pada nikotin. Saat individu berhenti
merokok maka rasa nikmat yang diperolehnya berkurang.
c. Faktor Lingkungan
Orang tua, teman sebaya, saudara, iklan pada media televisi, dan
reklame merupakan faktor lingkungan yang berpengaruh dalam
8
perilaku merokok individu. Orang tua memiliki peranan penting dalam
perilaku merokok, anak akan menganggap merokok tidak berbahaya
bagi kesehatan karena melihat orang tuanya maupun saudaranya
merokok. Paparan iklan rokok pada berbagai media diperkirakan
memiliki pengaruh lebih kuat daripada orang tua dan teman sebaya, hal
ini mungkin karena iklan mempengaruhi persepsi remaja terhadap
penampilan dan manfaat rokok.
Taylor (2012) menguraikan faktor yang mempengaruhi perilaku
merokok pada remaja sebagai berikut:
a. Pengaruh orang tua dan teman sebaya
Orang tua dan teman sebaya perokok meningkatkan peluang pada
remaja untuk mulai merokok. Perilaku merokok yang dilakukan oleh
lingkungan membuat remaja berpersepsi bahwa merokok tidak akan
membahayakan kesehatan dan pada akhirnya mendorong perilaku
merokok pada remaja. Berasal dari kelas sosial menengah ke bawah,
mengalami tekanan sosial, dan juga terdapat pencetus stres dalam
keluarga seperti pertikaian orang tua, ataupun perselisihan dalam
pertemanan juga dapat memicu remaja untuk merokok.
b. Identitas diri
Remaja dengan gambaran citra diri idealnya adalah perokok memiliki
kecenderungan lebih besar untuk menjadi perokok. Kontrol diri rendah,
ketergantungan, perasaan tidak berdaya, dan isolasi sosial juga
meningkatkan kecenderungan untuk meniru perilaku orang lain seperti
9
perilaku merokok. Perasaan dilecehkan, marah, atau sedih, turut
meningkatkan kemungkinan merokok.
c. Kecanduan Nikotin
Pada dasarnya, penyebab pasti kecanduan nikotin belum diketahui.
Orang merokok untuk menjaga kadar nikotin dalam darah dan
mencegah gejala penarikan. Pada dasarnya, merokok mengatur kadar
nikotin dalam tubuh dan ketika tingkat plasma nikotin tidak sesuai
dengan tingkat idealnya, maka muncul perilaku merokok.
Mu’tadin (dalam Nasution, 2007) mengemukakan faktor-faktor
yang mempengaruhi perilaku merokok remaja, antara lain:
a. Pengaruh Orang Tua
Baer & Corrado, remaja perokok adalah anak-anak yang berasal
dari keluarga yang tidak bahagia dimana orang tua tidak begitu
memperhatikan anaknya dibandingkan dengan keluarga yang bahagia.
Remaja yang berasal dari keluarga konservatif akan lebih sulit terlibat
dengan rokok maupun obat-obatan dibandingkan dengan yang berasal
dari keluarga permisif, terutama bila orang tua sendiri yang menjadi
figure perokok berat maka lebih besar kemungkinan bagi anak untuk
mencontohnya.
b. Pengaruh Teman
Semakin banyak teman sebaya yang merokok, semakin besar
peluang individu menjadi perokok. Di antara remaja perokok terdapat
87% mempunyai setidaknya satu orang sahabat yang perokok, begitu
10
pula dengan remaja non perokok. Individu dalam masa remaja lebih
banyak menghabiskan waktu luangnya untuk berinteraksi dengan teman
sebaya daripada dengan orang tua atau orang dewasa lain. Hal ini dapat
menjadikan nilai-nilai atau aturan yang berkembang dalam
kelompoknya turut mempengaruhi perilaku remaja tersebut.
Santrock (dalam Saputro & Soeharto, 2012) menerangkan bahwa
pengaruh teman sebaya bisa membentuk perilaku remaja menjadi nakal
karena remaja mendapat tekanan yang kuat dari teman sebaya untuk
dapat bersikap konform terhadap tingkah laku sosial dalam kelompok.
Adanya keinginan untuk diterima dalam kelompok dan menjadi populer
akan cenderung membuat remaja lebih konform terhadap tekanan
kelompok.
c. Faktor Kepribadian
Individu mencoba merokok berawal dari rasa ingin tahu atau rasa
ingin lepas dari kebosanan/kesakitan seperti stres. Salah satu sifat
kepribadian yang bersifat pada pengguna obat-obatan termasuk rokok
adalah konformitas sosial.
d. Pengaruh Iklan
Iklan yang menampilkan kesan merokok sebagai lambang
kejantanan atau glamour membuat remaja terpicu untuk menjadi seperti
itu.
11
Hansen et al (dalam Wismanto, 2007) menyatakan ada 3 faktor yang
mempengaruhi perilaku merokok, meliputi:
a. Faktor Lingkungan
Faktor ini dapat memberikan pengaruh langsung seperti menawarkan
rokok, membujuk untuk merokok, menantang dan menggoda untuk
merokok serta pengaruh tidak langsung seperti adanya model yang kuat
di dalam lingkungannya seperti guru dan orang tua.
b. Faktor Psikologis
Individu merokok untuk mendapatkan kesenangan, kenyamanan,
merasa lepas dari kegelisahan, dan juga mendapatkan rasa percaya diri.
c. Faktor Biologis
Orang yang pernah merasakan rokok maka akan mengalami kecanduan
merokok sebagai dampak kadar nikotin di dalam darahnya.
d. Faktor Sosio Cultural
Faktor ini meliputi kebiasaan masyarakat, tingkat ekonomi, pendidikan,
dan pekerjaan. Masyarakat pada daerah pegunungan memiliki
kemungkinan lebih tinggi untuk merokok, sebab dengan merokok
masyarakat merasakan tubuh menjadi hangat.
Berdasarkan pemaparan di atas, dapat disimpulkan bahwa
perilaku merokok dapat dipengaruhi oleh faktor psikologis, biologis,
dan lingkungan. Dalam penelitian ini, faktor psikologis khususnya pada
stres diasumsikan memiliki pengaruh kuat dalam mempengaruhi
perilaku merokok pada remaja sebab individu pada masa remaja sedang
12
dalam masa pencarian identitas yang rentan akan risiko stres. Masalah-
masalah seperti perubahan fisik, tekanan sekolah, kebosanan, tekanan
dari teman sebaya, masalah finansial, dan sebagainya merupakan
masalh pertama yang dihadapi remaja dan menyebabkan remaja sangat
rentan menghadapi stres. Di usianya, remaja akan cenderung memilih
cara singkat untuk mengalihkan stresnya seperti merokok, sehingga
diasumsikan stres berkaitan dengan perilaku merokok remaja.
B. Stres
1. Pengertian Stres
Taylor, dkk (2009) mendefinisikan stres sebagai respon individu
terhadap suatu kejadian atau keadaan yang menyakitkan, mengancam dan
menekan yang dapat mempengaruhi kondisi psikologis, emosi, kemampuan
berpikir dan tingkah laku individu. Hal ini disebabkan oleh naluri tubuh
untuk melindungi diri dari tekanan emosi, tekanan fisik, situasi ekstrim atau
bahaya yang mengancam. Stres juga muncul sebagai reaksi alami tubuh
terhadap ketegangan, tekanan dan perubahan dalam kehidupan.
Lazarus & Folkman (1984) mengartikan stres secara luas sebagai
hubungan antara seseorang dengan lingkungannya yang dinilai melebihi
kemampuan dan mengancam hidupnya. Stres adalah proses transaksional
yang terjadi ketika suatu peristiwa dianggap berhubungan dengan
kesejahteraan individu, memiliki potensi bahaya atau kerugian, dan
13
membutuhkan upaya psikologis, fisiologis, dan/atau perilaku untuk
mengelola keadaan dan hasilnya.
Sarafino & Smith (2014) stres adalah hubungan individu dengan
lingkungannya yang membuat individu melihat adanya kesenjangan antara
tuntutan situasi dengan sumber daya biologis, psikologis, maupun sosial
yang dimiliki. Looker dan Gregson (2005) mendefinisikan stres sebagai
keadaan yang dialami ketika ada ketidaksesuaian antara tuntutan-tuntutan
yang diterima dengan kemampuan untuk mengatasi. Santrock (2003) stres
adalah respon individu terhadap keadaan dan kejadian tertentu, yang dapat
mengancam dan mengganggu kemampuan penguasaan dirinya.
Berdasarkan definisi yang telah dituliskan di atas, dapat disimpulkan
bahwa stres adalah reaksi individu terhadap suatu keadaan yang
menyakitkan, mengancam dan menekan yang dapat mempengaruhi kondisi
psikologis, emosi, kemampuan berpikir dan tingkah laku individu.
2. Penggolongan Stres
Looker & Gregson (2005) menggolongkan stres menjadi dua
golongan yaitu distres dan eustres. Penggolongan ini didasarkan pada
persepsi individu terhadap stres yang dialami:
a. Eustres
Selye (dalam Nasution, 2007) eustres atau stres positif adalah stres yang
bersifat menyenangkan dan merupakan pengalaman yang memuaskan.
Eustres terjadi ketika kemampuan untuk mengatasi melebihi tuntutan-
tuntutan yang dirasakan. Eustres dapat meningkatkan kesiagaan mental,
14
kewaspadaan, kognisi, performansi individu, serta dapat meningkatkan
motivasi individu untuk menciptakan sesuatu.
b. Distres
Selye (dalam Nasution, 2007) distres atau stres negatif adalah stres yang
bersifat merusak atau tidak menyenangkan. Distres terjadi saat tuntutan
yang dihadapi individu dirasa lebih berat dari kemampuan yang dimiliki
sehingga muncul penilaian “saya tidak bisa mengatasinya”. Hal ini
membuat individu merasakan cemas, gelisah, ketakutan, atau
kekhawatiran. Individu yang merasakan keadaan psikologis yang
negatif atau menyakitkan akan berusaha untuk menghindari keadaan
tersebut. Trisnolerah (2016) banyak cara yang dapat digunakan untuk
menghilangkan stres, salah satunya yakni merokok yang banyak
digunakan remaja untuk bebas dari stres. Merokok diasumsikan remaja
sebagai cara yang ampuh untuk keluar dari rasa stres yang dihadapi. Hasil
penelitian Komalasari dan Helmi (2000) menunjukkan bahwa perilaku
merokok erat kaitannya dengan kondisi emosi. Kondisi yang paling
banyak menyebabkan perilaku merokok yaitu ketika seorang remaja
berada dalam tekanan (stres).
Berdasarkan pemaparan penggolongan stres di atas, dapat
disimpulkan bahwa stres dapat menjadi baik ketika kemampuan yang
dimiliki individu dirasa mampu untuk mengatasi tuntutan-tuntutan yang
ada, namun stres menjadi berdampak buruk ketika tuntutan-tuntutan yang
ada dirasa lebih berat dari kemampuan yang dimiliki sehingga muncul
penilaian pada individu bahwa individu tidak mampu mengatasi tuntutan
15
yang ada. Ketika stres negatif muncul, maka hal ini cenderung memicu
munculnya perilaku merokok pada remaja.
3. Aspek-aspek Stres
Sarafino dan Smith (2014) membagi aspek-aspek stres menjadi dua, yaitu:
a. Aspek Biologis
Aspek biologis dari stres yaitu berupa gejala fisik seperti detak jantung
dan pernapasan meningkat dan tidak teratur, badan bergetar, gugup,
cemas, gelisah, sakit kepala, gangguan tidur, gangguan pencernaan,
gangguan makan, dan produksi keringat yang berlebihan.
b. Aspek Psikososial
Aspek psikososial stres yaitu gejala psikis dan tingkah laku, antara lain:
i. Gejala Kognisi (Pikiran)
Kondisi stres dapat mengganggu proses pikir individu. Individu
yang mengalami stres cenderung mengalami gangguan daya
ingat, perhatian, dan konsentrasi.
ii. Gejala Emosi
Kondisi stres dapat mengganggu kestabilan emosi individu.
Individu yang mengalami stres akan menunjukkan gejala mudah
marah, kecemasan yang berlebihan terhadap segala sesuatu,
merasa sedih, dan depresi.
iii. Gejala Tingkah Laku
Kondisi stres dapat mempengaruhi tingkah laku sehari-hari yang
cenderung negatif sehingga menimbulkan masalah dalam
16
hubungan interpersonal. Gejala tingkah laku yang muncul adalah
sulit bekerja sama, kurang peduli, mudah memusuhi, mudah
tersinggung, mudah curiga terhadap orang lain.
Rahman (2009) membagi gejala-gejala stres menjadi empat bagian
sebagai berikut:
a. Gejala fisik adalah gejala stres yang berkaitan dengan kondisi dan fungsi
tubuh, seperti sakit kepala, sulit tidur, kelelahan.
b. Gejala emosional, berkaitan dengan keadaan psikis atau mental,
misalnya; gelisah, cemas, sedih, merasa suasana hati berubah-ubah,
gugup, dan mudah tersinggung.
c. Gejala intelektual, berkaitan dengan pola pikir seseorang atau fungsi
intelek, misal; susah berkonsentrasi atau kurang fokus, sulit mengambil
keputusan, mudah lupa, pikiran kacau, dan daya ingat menurun.
d. Gejala interpersonal adalah gejala stres yang mempengaruhi hubungan
individu dengan orang lain di dalam maupun di luar rumah, misal;
kehilangan kepercayaan kepada orang lain, mudah menyalahkan orang
lain, atau menyerang orang dengan kata-kata.
Dari pemaparan aspek-aspek stres menurut tokoh Sarafino & Smith
(2014) di atas, dapat disimpulkan bahwa stres dapat dilihat apabila individu
memenuhi aspek biologis dan psikosial yang mencakup gejala kognisi,
emosi, dan perilaku. Tokoh lain, Rahman (2009) menyampaikan bahwa
stres dapat dilihat melalui gejala fisik, emosional, intelektual, dan
interpersonal. Berdasarkan pemaparan aspek-aspek stres menurut Sarafino
17
& Smith dan Rahman, peneliti memilih menggunakan aspek menurut
Sarafino & Smith (2014) sebagai alat ukur dalam mengetahui stres yang
terjadi pada individu karena aspek tersebut sudah sering digunakan sebagai
patokan alat ukur dalam penelitian terdahulu serta memiliki penjelasan yang
lebih lengkap sehingga memudahkan peneliti dalam menyusun skala
psikologis.
C. Hubungan antara Stres dengan Perilaku Merokok pada Remaja
Pada masa remaja, individu mengalami berbagai hal baru seperti perubahan
fisik, tekanan dari sekolah terkait ujian dan nilai, berselisih paham dengan teman,
hingga masalah finansial yang dapat menyebabkan stres pada remaja. Booker, dkk
(2004) menemukan bahwa remaja yang tingkat stresnya tinggi lebih mungkin
memiliki tingkat merokok yang tinggi dibandingkan remaja yang tingkat stresnya
rendah. Hasil temuan Komalasari dan Helmi (2000) juga menunjukkan bahwa
kondisi yang paling banyak ditemui perilaku merokok yaitu ketika remaja dalam
tekanan (stres). Merokok dipandang sebagai cara terbaik yang dapat dilakukan
remaja untuk keluar dari stres yang dihadapi.
Stres dapat dilihat melalui aspek biologis dan aspek psikososial (gejala
kognisi, emosi, tingkah laku). Aspek biologis berkaitan dengan perubahan pada
kondisi fisik dan metabolisme tubuh. Individu yang mengalami stres akan
memunculkan detak jantung dan pernapasan meningkat dan tidak teratur, gugup,
cemas, gelisah, sakit kepala, dan gangguan tidur (Sarafino dan Smith, 2014). Saat
stres, hormon kortisol dalam tubuh meningkat yang mempengaruhi tekanan darah
18
individu dan membuat individu menjadi mudah marah dan cemas. Peningkatan
hormon kortisol ini menuntut tubuh untuk menyediakan hormon penyeimbang yang
akan memunculkan perasaan tenang yaitu hormon serotonin, dopamin, dan
noradrenalin (Arora, 2008). Nikotin dalam rokok membantu pelepasan hormon
serotonin, dopamin, dan noradrenalin pada otak, sehingga individu yang sudah
pernah merokok dan merasakan adanya perasaan senang dan rileks pascamerokok,
akan cenderung mengulangi perilaku merokoknya ketika individu stres. Proses ini
dapat dijelaskan melalui kandungan nikotin dan efeknya terhadap metabolisme
tubuh.
Kondisi tubuh manusia, yaitu toleransi jaringan tubuh, dan adaptasi
metabolisme sel menyebabkan individu yang pada awalnya hanya mencoba-coba
rokok menjadi kecanduan. Rokok mengandung bahan kimia yang menyebabkan
keinginan untuk terus melakukan dan bahkan semakin lama meminta dosis atau
takaran yang lebih banyak. Kandungan yang menyebabkan efek kecanduan tersebut
adalah nikotin (Prawitasari, 2012). Kandungan nikotin dalam rokok sebelum
dibakar adalah 8-20 mg. Setelah dibakar, jumlah nikotin yang masuk ke sirkulasi
darah hanya 25% dan akan sampai ke otak dalam waktu 15 detik. Dalam otak,
nikotin diterima oleh reseptor asetilkolin-nikotinik yang kemudian membaginya ke
jalur imbalan dan jalur adrenergik. Pada jalur imbalan di area mesolimbik otak,
nikotin akan memberikan sensasi nikmat sekaligus mengaktivasi sistem
dopaminergik yang akan merangsang keluarnya dopamin, sehingga perokok akan
merasa tenang, daya pikir meningkat, dan menekan rasa lapar. Sedangkan dijalur
andrenergik dibagian lokus seruleus otak, nikotin akan mengaktivasi sistem
19
adrenergik yang akan melepas serotonin sehingga menimbulkan rasa senang dan
memicu keinginan untuk merokok lagi. Ketika individu berhenti merokok maka
terjadi putus zat nikotin, sehingga rasa nikmat yang biasa diperoleh akan berkurang
yang menimbulkan keinginan untuk kembali merokok. Semakin lama zat kimia
rokok berada dalam tubuh, maka semakin sulit seseorang mengontrol perilakunya.
Proses menimbulkan adiksi nikotin membuat perokok semakin sulit untuk berhenti
merokok (Gayatri, 2012). Hal ini menunjukkan bahwa kondisi biologis individu
dapat mempengaruhi intensitas merokok yang merupakan aspek perilaku merokok.
Nikotin akan mengaktifkan area otak yang terlibat dalam menghasilkan
perasaan senang dan kepuasan yakni dopamin dan endorfin. Dopamin adalah zat
kimia yang memunculkan perasaan senang, menenangkan saraf dalam tubuh, serta
membantu tubuh untuk rileks (Patience, 2006). Efek positif (menghilangkan stres
setelah merokok) yang dirasakan individu karena pelepasan dopamin dan endorfin
dalam tubuh perokok ini membuat individu akan merokok kembali saat stres.
Perilaku ini merujuk pada teori Skinner (dalam Walgito, 2010) mengenai
kondisioning operan yang menyatakan bahwa individu akan cenderung mengulangi
perilaku/perbuatan yang memberikan kepuasan dan akan meningkatkan kecepatan
perilaku untuk memperoleh reward. Dalam penelitian ini, perilaku yang dimaksud
adalah merokok sementara reward adalah efek yang didapat dari merokok. Hal ini
menunjukkan bahwa kondisi biologis individu akan mempengaruhi fungsi merokok
yang merupakan aspek perilaku merokok.
Aspek psikososial terbagi menjadi gejala psikis (kognisi dan emosi) dan
tingkah laku. Gejala psikis berkaitan dengan perasaan sedih, marah, tidak bahagia,
20
dan bosan (Sarafino & Smith, 2014). Ketika individu merasa penat dan bosan
terhadap rutinitas maupun tugas-tugas di lingkungannya, maka individu akan
merokok di toilet (Wulandari, 2007). Hal ini menunjukkan bahwa aspek psikologis
akan mempengaruhi tempat merokok yang merupakan aspek dari perilaku
merokok.
Hasil penelitian Komalasari dan Helmi (2000) menunjukkan perilaku
merokok paling banyak ditemui ketika individu berada dalam tekanan (stres) yakni
sebesar 40,80%. Ketika individu stres akan meningkatkan intensitas merokok dan
sebaliknya ketika individu dalam stres ringan maka intensitas merokok cenderung
menurun. Hal tersebut menunjukkan bahwa kondisi psikis dapat mempengaruhi
intensitas merokok yang merupakan aspek dari perilaku merokok.
Pada saat stres, individu cenderung memunculkan perilaku acuh, gelisah,
memusuhi, dan kurang peduli pada sesama (Cohen & Spacapan dalam Sarafino &
Smith, 2014). Ketika individu merasa gelisah (yang disebabkan oleh keadaan pada
saat itu), individu akan merokok untuk menenangkan diri sehingga rasa gelisah
berkurang (Cahyadi dkk, 2018). Hal tersebut menunjukkan bahwa perilaku individu
dapat mempengaruhi waktu merokok yang merupakan aspek perilaku merokok.
Dari penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa aspek stres berupa aspek
biologis dan aspek psikososial (gejala kognisi, emosi, dan tingkah laku) dapat
mempengaruhi aspek perilaku merokok yaitu fungsi merokok, intensitas merokok,
waktu merokok, dan tempat merokok. Semakin tinggi tingkat stres pada remaja
maka cenderung semakin tinggi perilaku merokok pada remaja (Booker dalam
Rohman, 2009).
21
D. Hipotesis
Ada hubungan positif antara stres dengan perilaku merokok pada remaja.
Jika stres tinggi, maka kecenderungan individu untuk merokok akan naik yang
ditandai dengan bertambahnya intensitas merokok, begitu pula sebaliknya, jika
stres rendah, maka kecenderungan individu untuk merokok akan rendah yang
ditandai dengan berkurang atau bertahannya intensitas merokok.