BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Penelitian Terdahulueprints.umm.ac.id/65009/3/BAB II.pdf · 2020. 8....
Transcript of BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Penelitian Terdahulueprints.umm.ac.id/65009/3/BAB II.pdf · 2020. 8....
10
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Penelitian Terdahulu
1. Stevani dan Sudirgo (2018) melakukan penelitian dan menemukan hasil
bahwa rasio CAR dan BOPO berpengaruh positif signifikan terhadap ROA
pada bank yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia tahun 2015-2017, serta
variabel NPL dan LDR berpengaruh negatif signifikan terhadap ROA.
2. Dewi, dkk (2016) melakukan penelitian dan menemukan bahwa rasio CAR
dan BOPO berpengaruh positif terhadap ROA. Rasio LDR dan NPL
berpengaruh negatif terhadap ROA.
3. Eprima, dkk (2015) melakukan penelitian dan menemukan bahwa rasio
NIM dan BOPO berpengaruh positif terhadap ROA sedangkan rasio NPL
dan LDR berpengaruh negatif terhadap ROA.
B. Teori dan Kajian Pustaka
1. Profitabilitas
Profitabilitas adalah kemampuan perusahaan memperoleh laba, semakin
besar tingkat keuntungan yang diperoleh oleh perusahaan (Sutrisno
2003:30). Profitabilitas sebagai alat ukur untuk mengetahui laba begitu
penting apakah sebuah perusahaan telah menjalankan kegaiatannya secara
efisien. Efisiensi sebuah usaha baru dapat diketahui dengan
membandingkan laba terhadap aktiva yang menghasilkan laba tersebut.
Profitabilitas dapat diartikan sebagai kemampuan perusahaan dalam
memperoleh laba yang berhubungan dengan penjualan, totatl aktiva,
11
maupun hutang jangka panjang. Profitabilitas atau kemampuan laba
merupakan kemampuan perusahaan didalamenghasilkan laba.
Rasio profitabilitas merupakan rasio untuk mengukur kemampuan
perusahaan dalam memperoleh laba yang diperoleh dari penjualan, total
aktiva, maupun modal sendiri (Sartono 2010:122). Rasio ini sangat
diperhatikan oleh calon investor karena berkaitan dengan harga saham serta
dividen yang diterima. Profitabilitas sebagai tolak ukur dari alternatif
pembiayaan, namun cara mencari profitabilitas pada perusahaan berbeda-
beda dan tergantung dari laba dan aktiva yang akan dibandingkan dengan
laba yang diperoleh dari operasi perusahaan atau laba netto sesudah pajak
dengan modal sendiri, dengan adanya perbedaan dalam menghitung laba
perusahaan tidak heran bila perusahaan berbeda-beda dalam menentukan
alternatif untuk memperoleh laba.
Bank Indonesia menilai kondisi profitabilitas bank di Indonesia
didasarkan pada dua indikator yaitu Return On Asset atau tingkat
pengembalian asset dan rasio Biaya Operasional terhadap Pendapatan
Operasional (BOPO). Suatu bank dapat dikatakan sehat apabila rasio Return
On Asset (ROA) atau tingkat pengembalian asset sekurang-kurangnya 1,2%
dan rasio Biaya Operasional terhadap Pendapatan Operasional (BOPO)
tidak melebihi dari 93,5%. Rasio profitabilitas ini menggambarkan tentang
efisiensi suatu perusahaan. Semakin tinggi profitabilitas yang diperoleh
maka semakin baik suatu perusahaan tersebut karena kemakmuran yang
12
dimilikinya yang berasal dari laba tersebut. Menurut Kasmir (2013:199) ada
bermacam-macam cara untuk mencari profitabilitas, yaitu :
a. Gross Profit Margin (GPM)
Rasio Gross Profit Margin atau disebut dengan margin keuntungan
kotor berguna untuk mengetahui laba kotor dari setiap barang yang
dijual. GPM sangat dipengaruhi oleh harga pokok penjualan, apabila
harga pokok penjualan meningkat maka GPM akan menurun begitupun
sebaliknya, dengan kata lain rasio ini mengendalikan harga pokok atau
biaya produksinya dan mengindikasikan perusahaan untuk berproduksi
secara efisien.
b. Net Profit Margin (NPM)
Rasio ini menggambarkan laba bersih yang diperoleh perusahaan
pada setiap barang yang terjual, dengan kata lain rasio ini mengukur laba
bersih setelah pajak terhadap penjualan.
c. Return On Investment (ROI)
Rasio ini menunjukkan perusahaan menghasilkan laba dari aktiva
yang dilakukan, dengan rasio ini dapat diketahui apakah perusahaan
efisiensi memanfaatkan aktivanya dalam kegiatan operasionalnya. ROI
dalam analisa keuangan mempunyai arti yang sangat penting sebagai
salah satu teknik analisa keuangan yang bersifat menyeluruh. Analisa
ROI ini merupakan teknik analisa yang sudah lazim digunakan oleh
pimpinan perusahaan untuk mengukur efektifitas dari seluruh operasi
perusahaan.
13
d. Return On Equity (ROE)
Rasio ini merupakan rasio yang digunakan untuk mengukur
kemampuan perusahaan dalam memeproleh laba bagi pemegang saham
atau untuk mengetahui besarnya pengembalian yang diberikan oleh
perusahaan pada setiap rupiah dari pemilik modal. Rasio ini dipengaruhi
oleh besar kecilnya utang yang dimiliki perusahaan, apabila proporsi
utang makin besar maka rasio ini juga akan semakin besar.
e. Return On Asset (ROA)
Rasio yang digunakan untuk mengukur kemampuan manajemen
bank dalam memperoleh seluruh keuntungan (laba). Rasio ini juga
sekaligus mencerminkan efektifitas dari kinerja suatu bank. ROA sangat
penting karena rasio ini mengutamakan nilai profitabilitas suatu bank
yang diukur dengan asset produktif di mana dana tersebut sebagian besar
berasal dari Dana Pihak Ketiga (DPK). Semakin besar tingkat ROA
suatu bank maka semakin besar tingkat keuntungan yang diperoleh bank
dan semakin baik pula dalam penggunaan assetnya.
Rasio profitabilitas dapat diukur dari dua pendekatan yaitu pendekatan
penjualan dan investasi. Ukuran yang banyak digunakan adalah Return On
Asset (ROA) dan Return On Equity (ROE), rasio profitabilitas yang diukur
dengan ROA dan ROE mencerminkan daya tarik bisnis. ROA merupakan
pengukuran kemampuan perusahaan secara keseluruhan dalam menghasilkan
keuntungan dengan jumlah keseluruhan aktivanya. ROA digunakan untuk
melihat tingkat efisiensi suatu perusahaan. Semakin tinggi ROA maka semakin
14
baik efisiensi suatu perusahaan. Ukuran profitabilitas yang sering digunakan
juga yaitu Return On Equity (ROE) yang merupakan tolak ukur perusahaan
untuk memperoleh keuntungan dengan total modal sendiri yang digunakan.
Rasio ini menunjukkan tingkat efisiensi investasi yang nampak pada efektivitas
pengelolaan modal sendiri.
2. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Profitabilitas
Adapun faktor-faktor yang mempengaruhi profitabiltas menurut Sawir
(2004:101)
a. Ukuran Perusahaan
Ukuran perusahaan dinyatakan sebagai determinan dari struktur
keuangan. Ukuran perusahaan adalah suatu skala atau nilai dimana
perusahaan dapat diklasifikasikan besar kecilnya berdasarkan total
aktiva, log size, nilai saham, dan lain sebagainya. Pada dasarnya ukuran
perusahaan hanya terbagi dalam tiga kategori yaitu perusahaan besar
(large firm), perusahaan menengah (medium-size) dan perusahaan kecil
(small firm). Ukuran perusahaan atau firm size merupakan suatu skala
untuk menentukan besar kecilnya suatu perusahaan yang dilihat melalui
total aktiva , jumlah penjalan, dan rata-rata penjualan dengam total
aktiva .
b. Risiko Kredit
Risiko kredit merupakan bentuk ketidakmampuan suatu perusahaan,
institusi, lembaga maupun pribadi dalam menyelesaikan kewajiban-
kewajibannya secara tepat waktu baik pada saat jatuh tempo maupun
15
sesudah jatuh tempodan itu semua sesuai dengan aturan kesepakatan
yang ada. Tipe risiko kredit dibagi ke dalam dua bagian, yaitu :
1) Risiko yang bersifat jangka pendek
Risiko yang bersifat jangka pendek adalah risiko yang disebabkan
perusahaan tidak mampu membayar kewajiban jangka pendeknya.
2) Risiko yang bersifat jangka panjang
Risiko yang bersifat jangka panjang adalah risiko yang disebabkan
perusahaan tidak mampu membayar kewajiban jangka panjangnya.
c. Tingkat Bunga
Suku bunga adalah tingkat bunga yang dinyatakan dalam persen,
jangka waktu tertentu. Bunga merupakan suatu ukuran harga ukuran
sumber daya yang digunakan oleh debitur yang harus dibayarkan kepada
kreditur. Suku bunga juga berarti penghasilan yang diperoleh oleh
orang-orangyang memberikan kelebihan uangnya untuk digunakan
sementara waktu oleh orang-orang yanag membutuhkan dan
menggunakan uang tersebut untuk menutupi kekurangannya.
3. Capital Adequacy Ratio (CAR)
Salah satu faktor yang penting dalam perbankan menurut Darmawi
(2011:91) adalah kecukupan modal. Rasio yang digunakan untuk
menghitung kecukupan modal bank adalah Capital Adequacy Ratio (CAR).
Definisi dari CAR menurut Kasmir (2008:46) adalah perbandingan antara
modal dengan aktiva tertimbang menurut resiko yang digunakan untuk
menghitung kecukupan modal suatu bank. Capital Adequacy Ratio
16
merupakan salah satu indikator untuk mengukur tingkat kesehatan bank
dilihat dari kecukupan modal yang dimiliki untuk menunjang aktiva yang
meghasilkan risiko. Semakin tinggi nilai CAR yang dimiliki bank maka
semakin tinggi pendapatan yang dimiliki sehingga bank dapat lebih mampu
meminimalisir risiko serta dapat lebih mampu untuk melakukan ekspansi.
Capital Adequacy Ratio menggambarkan kondisi perbankan sebagai berikut
:
a. Indikasi permodalan apakah telah memadai untuk menutup risiko yang
ditimbulkan dari penanaman dana dalam aktiva produktif. Capital
Adequacy Ratio mengukur kemampuan permodalan bank dalam
mengantisipasi kerugian akibat timbulnya risiko yang dihadapi. Capital
Adequacy Ratio yang rendah mencerminkan bank buruk dalam menutup
kegagalan pembiayaan yang disebabkan oleh risiko.
b. Kemampuan membiayai operasional dan investasi bank. Capital
Adequacy Ratio yang tinggi mencerminkan bahwa bank tersebut
mempunyai modal yang cukup untuk melaksanakan kegiatan
operasionalnya serta mampu untuk melakukan pengembangan bisnis
dengan aman.
c. Kemampuan bank dalam meningkatkan rentabilitas. Capital Adequacy
Ratio yang tinggi mencerminkan bank memiliki modal yang besar
dalam meningkatkan cadangan kas yang digunakan untuk memperluas
pembiayaannya sehingga akan membuka kesempatan yang lebih besar
bagi bank untuk meningkatkan rentabilitasnya.
17
d. Ketahanan dan efisiensi perbankan. Capital Adequacy Ratio yang
rendah menyebabkan bank untuk survive semakin susah karena modal
akan cepat habis digunakan untuk kelangsungan kegiatan
operasionalnya.
Bank Indonesia menetapkan ketentuan modal minimum bank
sebagaimana ketentuan dalam standar Bank for International Statement
(BIS) bahwa setiap bank umum diwajibkan untuk memiliki modal
minimum 8% dari total Aktiva Tertimbang Menurut Risiko. Adapun
klasifikasi tingkatan Capital Adequacy Ratio menurut Bank Indonesia
adalah :
Tabel 2.1
Klasifikasi Tingkatan Capital Adequacy Ratio
Tingkat CAR Predikat
8% ke atas Sehat
6,4%-7,9% Kurang Sehat
Di bawah 6,4% Tidak Sehat
Sumber : www.bi.go.id
Penilaian permodalan merupakan penilaian terhadap kecukupan
modal untuk membiayai risiko yang dihadapi di saat ini dan mengantisipasi
risiko di masa mendatang. Keberhasilan sebuah bank bukan terletak pada
jumlah modalnya saja tetapi juga bagaimana bank tersebut menggunakan
modal itu untuk menarik sebanyak mungkin dana simpanan masyarakat
yang kemudian disalurkannya kembali kepada masyarakat yang
18
membutuhkannya sehingga membentuk pendapatan bagi bank tersebut.
Menurut Peraturan Bank Indonesia Nomor 15/12/PBI/2013 tentang
Kewajiban Penyediaan Modal Minimum Bank Umum mengatakan bahwa
Bank wajib menyediakan modal minimum sesuai profil risiko. Penyediaan
modal minimum dihitung dengan menggunakan rasio Kewajiban
Penyediaan Modal Minimum (KPMM). Penyediaan modal minimum
ditetapkan paling rendah sebagai berikut:
a. 8% dari Aset Tertimbang Menurut Risiko (ATMR) untuk bank dengan
profil risiko peringkat 1.
b. 9% sampai dengan kurang dari 10% dari ATMR untuk Bank dengan
profil risiko peringkat 2.
c. 10% sampai dengan kurang dari 11% dari ATMR untuk bank dengan
profil risiko peringkat 3.
d. 11% sampai dengan 14% dari ATMR untuk bank dengan profil risiko
peringkat 4 atau peringkat 5.
Selain kewajiban penyediaan modal minimum sesuai profil risiko, bank
wajib membentuk tambahan modal sebagai penyangga (buffer) sesuai
dengan kriteria yang diatur dalam ketentuan ini.Tambahan modal
sebagaimana dimaksud dapat berupa Capital Conservation Buffer,
Countercyclical Buffer, Capital Surcharge untuk D-SIB. Besarnya
tambahan modal tersebut adalah :
19
a. Capital Conservation Buffer ditetapkan sebesar 2,5% (dua komalima
persen) dari ATMR
b. Countercyclical Buffer ditetapkan dalam kisaran sebesar 0% (nol
persen) sampai dengan 2,5% (dua koma lima persen) dari ATMR
c. Capital Surcharge untuk D-SIB ditetapkan dalam kisaran sebesarr1%
(satu persen) sampai dengan 2,5% (dua koma lima persen) dari ATMR.
Besarnya Capital Adequacy Ratio diukur dari rasio antara modal
bank terhadap Aktiva Tertimbang Menurut Risiko (ATMR). Menurut PBI
No.10/15/PBI/2008 Pasal 2 Bank wajib menyediakan modal minimum
sebesar 8% (delapan persen) dari Aset Tertimbang Menurut Risiko
(ATMR). Sebuah bank mengalami risiko modal apabila tidak dapat
menyediakan modal minimum sebesar 8%. Berdasarkan ketentuan yang
telah di buat oleh Bank Indonesia menetapkan bahwa modal terdiri dari :
a. Modal inti adalah jenis modal yang terdapat dalam komponen modal dan
merupakan bagian terpenting dalam bank, apabila terdapat goodwill
maka perhitungan atas jumlah seluruh modal inti harus
dikurangi dengan goodwill tersebut. Modal inti terdiri atas:
1) Modal disetor adalah modal yang telah disetor secara efektif oleh
pemiliknya (pemegang saham) bagi bank yang berbadan hukum.
Koperasi modal disetor terdiri atas simpanan pokok dan simpanan wajib
anggotanya.
2) Agio saham adalah selisih lebih setoran modal yang diterima oleh
bank sebagai akibat dari harga saham yang melebihi nilai nominalnya.
20
3) Cadangan umum adalah cadangan yang dibentuk dari penyisihan
laba ditahan atau laba bersih setelah dikurangi pajak dan mendapat
persetujuan Rapat Umum pemegang Saham (RUPS) atau rapat
anggota sesuai anggaran dasar masing-masing.
4) Cadangan tujuan adalah bagian laba setelah dikurangi pajak yang
disisihkan untuk tujuan tertentu dan telah mendapat persetujuan dari
Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) atau rapat anggota.
5) Laba ditahan adalah saldo laba bersih setelah dikurangi pajak, yang
oleh Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) atau rapat anggota
diputuskan untuk tidak dibagikan.
6) Laba tahun lalu adalah laba bersih tahun-tahun lalu setelah dikurangi
pajak dan belum ditentukan penggunaannya oleh Rapat Umum
Pemegang Saham (RUPS) atau rapat anggota. Jumlah laba tahun lalu
yang diperhitungkan sebagai modal inti hanya sebesar 50%, jika bank
mempunyai saldo rugi pada tahun-tahun lalu, seluruh kerugian tersebut
menjadi faktor pengurang dari modal inti.
7) Laba tahun berjalan adalah laba yang diperoleh dalam tahun buku
berjalan setelah dikurangi taksiran utang pajak. Jumlah laba tahun buku
berjalan yang diperhitungkan sebagai modal inti hanya sebesar 50%.
Jika bank mempunyai saldo rugi pada tahun-tahun lalu, seluruh kerugian
tersebut menjadi faktor pengurang dari modal inti.
8) Bagian kekayaan bersih anak perusahaan yang laporan keuangannya
dikonsolidasikan (minority interest) adalah bagian kekayaan bersih anak
21
perusahaan yang laporan keuangannya yang dikonsolidasikan yaitu
modal inti anak perusahaan setelah dikompensasikan dengan nilai
penyertaan bank pada anak perusahaan tersebut, yang dimaksud anak
perusahaan adalah bank lain, lembaga keuangan atau lembaga
pembiayaan (Lembaga Keuangan Bukan Bank / LKBB) yang mayoritas
sahamnya dimiliki oleh bank.
b. Modal pelengkap yaitu modal yang terdiri dari cadangan-cadangan yang
dibentuk tidak dari laba setelah pajak, serta pinjaman yang sifatnya
dapat dipersamakan dengan modal, modal pelengkap dapat berupa:
1) Cadangan revaluasi aktiva tetap adalah cadangan yang dibentuk dari
selisih penilaian kembali aktiva tetap yang telah mendapat persetujuan
Direktorat Jenderal Pajak.
2) Cadangan Penyisihan Penghapusan Aktiva Produktif (PPAP) adalah
cadangan yang dibentuk dengan cara membebani laba-rugi tahun
berjalan, dengan maksud untuk menampung kerugian yang mungkin
timbul sebagai akibat dari tidak diterimanya kembali sebagian atau
seluruh aktiva produktif, dalam kategori cadangan ini termasuk
cadangan piutang ragu-ragu dan cadangan penurunan nilai surat-surat
berharga. Jumlah cadangan penghapusan aktiva yang diklasifikasikan
yang dapat diperhitungkan sebagai komponen modal pelengkap adalah
maksimum sebesar 12,5% dari jumlah Aktiva Tertimbang Menurut
Risiko (ATMR).
22
3) Modal kuasi adalah modal yang didukung oleh instrumen atau warkat
yang memiliki sifat seperti modal atau hutang.
Menurut Hasibuan (2006:58) ATMR aktiva neraca dihitung dengan
mengalikan nominal masing-masing aktiva dengan bobot resiko dari
masing-masing pos aktiva neraca tersebut, setelah mengetahui tentang
Capital Adequacy Ratio maka dapat disimpulkan bahwa hal-hal yang dapat
mempengaruhi Capital Adequacy Ratio adalah sebagai berikut :
a. Tingkat kualitas manajemen dan tingkat kualitas operasionalnya.
b. Tingkat kualitas serta besarnya risiko.
c. Kualitas dan tingkat kolektibilitasnya.
d. Struktur posisi dan permodalan bank.
e. Kemampuan bank untuk meningkatkan pendapatan dan laba.
f. Tingkat likuiditas yang dimiliki.
g. Kapasitas untuk memenuhi kebutuhan jangka panjangnya.
4. Loan to Deposit Ratio
Loan to Deposit Ratio merupakan rasio antara seluruh kredit yang
diterima oleh bank dengan dana yang diterima oleh bank. Rasio ini
menunjukkan seberapa likuiditas suatu bank. LDR menyatakan kemampuan
bank dalam membayar kembali penarikan dana yang dilakukan deposan
dengan mengandalkan kredit sebagai sumber likuiditasnya, dengan kata lain
seberapa jauh pemberian kredit kepada nasabah dapat mengimbangi
kewajiban bank untuk memberikan uang kepada deposan yang ingin
menarik kembali uangnya. Semakin tinggi rasio LDR memberikan indikasi
23
bahwa semakin buruk kualitas bank tersebut dalam kemampuan
likuiditasnya, hal ini disebabkan karena bank membutuhkan dana yang
besar untuk membiayai kredit yang juga semakin besar (Dendawijaya
2009:115).
Menurut Peraturan Bank Indonesia Nomor 15/7/PBI/2013 tentang
Giro Wajib Minimum Bank Umum pada Bank Indonesia dalam Rupiah dan
Valuta Asing Loan to Funding Ratio yang selanjutnya disingkat LFR yang
pada saat ini disebut dengan Loan to Deposit Ratio adalah rasio kredit yang
diberikan kepada pihak ketiga dalam Rupiah dan valuta asing, tidak
termasuk kredit kepada bank lain, terhadap:
a. Dana pihak ketiga yang mencakup giro, tabungan, dan deposito dalam
Rupiah dan valuta asing, tidak termasuk dana antar bank.
b. Surat-surat berharga dalam Rupiah dan valuta asing yang memenuhi
persyaratan tertentu yang diterbitkan oleh Bank untuk memperoleh sumber
pendanaan.
Batas atas LDR Target untuk Bank ditetapkan sebesar 94% dalam hal bank:
a. Memenuhi Rasio Kredit UMKM lebih cepat dari target waktu tahapan
pencapaian Rasio Kredit UMKM sebagaimana dimaksud dalam ketentuan
Bank Indonesia yang mengatur mengenai pemberian kredit atau
pembiayaan oleh bank umum dan bantuan teknis dalam rangka
pengembangan usaha mikro, kecil, dan menengah;
b. memenuhi Rasio NPL Total Kredit secara bruto (gross) kurang dari 5%.
24
c. memenuhi Rasio NPL Kredit UMKM secara bruto (gross) kurang dari
5%.
Menurut Kasmir (2008:272) tujuan pentingnya dari Loan to Deposit
Ratio adalah untuk mengetahui serta menilai sampai seberapa jauh bank
memiliki kondisi yang sehat dalam melaksanakan kegiatan usahanya,
dengan kata lain LDR berfungsi untuk mengetahui tingkat kerawanan suatu
bank. LDR begitu penting bagi dunia perbankan maka angka tersebut saat
ini telah dijadikan persyaratan antara lain :
a. Sebagai salah satu indikator penilaian tingkat kesehatan bank
b. Sebagai salah satu indikator kriteria penilaian Bank Jangkar (Loan to
Deposit Ratio minimum 50%).
c. Sebagai faktor penentu besar kecilnya GWM (Giro Wajib Minimum)
sebuah bank.
d. Sebagai salah satu persyaratan pemberian keringanan pajak bagi bank
yang akan merger.
5. Net Interest Margin
Menurut Frianto (2012:72) Net Interest Margin adalah rasio yang
digunakan untuk mengukur kemampuan bank dalam mengelola aktiva
produktifnya untuk mendapatkan bunga bersih. Pendapatan bunga bersih
diperoleh dari pendapatan bunga dikurangi beban bunga. Semakin besar
rasio ini maka semakin besar pendapatan bunga yang diperoleh suatu bank,
maka laba dari bank akan semakin meningkat dan bank dalam kondisi
25
bermasalah semakin kecil. Sesuai surat edaran Bank Indonesia Nomor
15/7/DPNP/2013 standar menentukan besaran tingkat rasio NIM adalah 6%
ke atas.
6. Non Performing Loan
Non Performing Loan adalah salah satu pengukuran dari rasio risiko
usaha bank yang menunjukkan besarnya suatu kredit bermasalah pada bank.
kredit bermasalah disebabkan oleh ketidaklancaran pembayaran pinjaman
pokok dan bunga yang dapat menurunkan kinerja bank dan menyebabkan
bank menjadi tidak efisien (Darmawi 2011:56). Penilaian pada kredit
bermasalah dapat dilakukan secara kuantitatif dan kualitatif. Penilaian
kuantitatif dapat dilihat dari debitur membayar angsuran, yaitu angsuran
pokok maupun pinjaman bunganya, sedangkan penilaian kualitatif dapat
dilihat dari prospek usaha dan keuangan debitur. Menurut Ismail (2010:125)
Non Performing Loan atau kredit bermasalah dikrlompokkan menjadi tiga,
yaitu :
a. Kredit Kurang Lancar
Kredit kurang lancar adalah kredit yang mengalami penunggakan atau
pembayarannya mundur dari waktu yang telah disepakati antara debitur
dengan pihak bank, yang tergolong kredit kurang lancar adalah:
1) Pengembalian pokok dan pembayaran bunganya telah melampaui
90-180 hari.
2) Hubungan antara debitur dan bank memburuk.
3) Informasi keuangan debitur tidak dapat diyakini oleh bank.
26
b. Kredit Diragukan
Kredit diragukan adalah kredit yang mengalami penundaan pembayaran
pinjaman pokok maupun pinjaman bunganya, yang tergolong kredit
diragukan adalah :
1) Penundaan pembayaran pinjaman pokok maupun pinjaman bunga
antara 180-270 hari.
2) Hubungan debitur dengan bank semakin memburuk.
3) Informasi keuangan sudah tidak dapat dipercaya.
c. Kredit Macet
Kredit Macet adalah kredit yang mengalami penunggakan lebih dari 270
hari dan bahkan bank telah mengalami kerugiam atas kejadian tersebut.
Adapun faktor-faktor penyebab pembiayaan bermasalah menurut
Ismail (2010:127) yaitu :
a. Faktor Intern Bank, yang menyebabkan terjadinya kredit bermasalah
yaitu :
1) Analisis kurang tepat, sehingga tidak dapat memprediksi apa yang
akan terjadi selama jangka waktu kredit berlangsung, misalnya
kredit tidak diberikan sesuai kemampuan membayar.
2) Adanya kolusi antara pejabat bank yang menangani kredit dengan
nasabah, sehingga bank memutuskan kredit yang seharusnya tidak
diberikan.
27
3) Keterbatasan pejabat bank pada jenis pekerjaan debitur sehingga
analisis tidak tepat.
4) Campur tangan terlalu besar dari pihak terkait sehingga tidak adil
dalam memutuskan kredit.
5) Kelemahan dalam melakukan pembinaan dan pengawasan kredit
debitur.
b. Faktor Ekstern Bank, yang menyebabkan kredit macet yaitu :
1) Unsur kesengajaan yang dilakukan oleh debitur seperti sengaja tidak
membayar pinjaman pokok serta pinjaman bunga.
2) Unsur ketidaksengajaan yang dilakukan oleh debitur seperti
terjadinya bencana alam sehingga kehilangan harta dan pekerjaan.
Adapun dampak yang disebabkan oleh pembiayaan bermasalah atau kredit
macet adalah :
a. Laba menurun yang menyebabkan bank rugi.
b. Bad Debt Ratio menjadi lebih besar sehingga aktiva produktif menurun.
c. Biaya pencadangan penghapusan kredit meningkat.
Penyelesaian pembiayan bermasalah atau kredit macet dapat dilakukan
dengan cara bank harus melakukan analisis yang mendalam terkait dengan
kredit apakah akan diberikan kepada debitur atau tidak, hal ini dimaksudkan
agar tidak terjadi permasalahan pembiayaan atau kredit macet. Upaya yang
dapat dilakukan untuk menangani kredit bermasalah adalah :
28
a. Rescheduling, yaitu melakukan penjadwalan ulang dengan debitur yang
memiliki itikad baik namun tidak mampu membayar pinjaman pokok
maupun pinjaman bunga.
b. Reconditioing, dalam hal ini bank melakukan perubahan pada persyaratan
yang ada seperti penundaan pembayaran bunga sampai waktu tertentu dan
penurunan suku bunga sehingga debitur lebih ringan dalam
membayarnya.
c. Restructuring, yaitu penataan ulang pada persyaratan yang telah ada
sebelumnya seperti penmabahan dana bank mengkonversi sebagian atau
seluruh tunggakan bunga menjadi pokok kredit baru.
d. Kombinasi, merupakan pencampuran ketiga upaya di atas.
e. Eksekusi atau penyitaan jaminan, hal ini merupakan langkah terakhir
yang dilakukan jika debitur benar-benar lari dari tanggung jawab untuk
membayar pinjaman.
Besarnya NPL yang ditentukan oleh Bank Indonesia saat ini adalah sebesar
maksimal 5%, jika melebihi 5% maka akan mempengaruhi kesehatan bank
yaitu berada pada kondisi yang tidak sehat. Semakin besar nilai NPL suatu bank
maka mencerminkan bank tersebut tidak profesional dalam mengelola
kreditnya sehingga pendapatan dari bunga yang dihasilkan kredit semakin
berkurang dan menyebabkan laba bank menurun. Menurut Surat Edaran Bank
Indonesia 13/24/DPNP tanggal 25 Oktober 2011adapun kriteria penilaian
berdasarkan peringkat NPL :
Tabel 2.2
29
Kriteria Peringkat Komponen NPL
NPL Nilai Risiko Predikat
<10% 1 Sangat Baik
10%<NPL<15% 2 Baik
15%<NPL<20% 3 Cukup
20%<NPL<25% 4 Tidak Baik
25%<NPL 5 Sangat Tidak Baik
Sumber : SE BI No. 13/24/DPNP tanggal 25 Oktober 2011
7. Biaya Operasional Pendapatan Operasional
Aspek manajemen dalam penilaian kesehatan bank salah satunya yaitu
tingkat efisiensi yang dicapai bank dalama menjalankan kegiatan
operasinya. Menurut Bank Indonesia pengukuran tingkat efisiensi suatu
bank diperoleh dari perbandingan biaya operasional dengan pendapatan
operasional, maka dari itu disebut BOPO. Rasio ini digunakan untuk
mengukur kemampuan manajemen bank dalam mengendalikan biaya
operasional terhadap operasional. Semakin kecil rasio ini maka semakin
efisien biaya operasional yang dikeluarkan bank sehingga kondisi bank
bermasalah akan semakin kecil. Menurut Dendawijaya (2012:60) biaya
operasional terdiri dari :
a. Biaya bunga
Biaya bunga adalah semua biaya atas dana-dana yang berasal dari Bank
Indonesia, bank-bank lain, dan pihak ketiga bukan bank.
30
b. Biaya Valuta Asing Lainnya
Semua biaya yang dilakukan bank untuk melakukan berbagai transaksi
devisa.
c. Biaya Tenaga Kerja
Seluruh biaya yang dikeluarkan bank untuk membiayai pegawainya,
seperti gaji, upah, uang lembur, dan perawatan kesehatan.
d. Penyusutan
Seluruh biaya yang dikeluarkan untuk penyusutan benda-benda tetap
serta inventaris.
e. Biaya Lainnya
Biaya langsung dari kegiatan usaha bank yang belum termasuk pada pos
biaya di atas, misalnya premi asuransi atau jaminan kredit.
Tabel 2.3
Klasifikasi Tingkat BOPO
Tingkat BOPO Predikat
Di bawah 93,52% Sehat
93,52%-94,72% Cukup Sehat
94,72%-95,92% Kurang Sehat
Di atas 95,92% Tidak Sehat
Sumber : www.bi.go.id
Selain sebagai indikator kinerja dan kesehatan bank, efisiensi yang diwakili
oleh rasio BOPO juga memberikan gambaran mengenai :
31
a. Kemampuan manajemen bank dalam mengelola sumber daya yang ada
untuk menghasilkan keuntungan optimal. Semakin rendah BOPO maka
semakin tinggi efisiensi operasional bank dalam menggunkan aktiva
untuk menambah kecukupan modal.
b. Kemampuan bank dalam hal pengendalian biaya. Semakin rendah BOPO
maka semakin efisiensi bank tersebut dalam melakukan kegiatan
operasionalnya, sebaliknya semakin tinggi BOPO maka menunjukkan
ketidakmampuan bank dalam mengatur dan mengendalikan biaya.
c. Kemampuan bank dalam menghasilkan profitabilitas. BOPO yang rendah
mencerminkan semakin efisiennya bank dalam mengendalikan biaya
operasionalnya maka mampu mendorong naiknya profitabilitas.
d. Kemampuan bank dalam meminimalkan risiko operasional. Risiko
operasional berasal dari kerugian pendapatan operasional yang dipengaruhi
oleh struktur biaya operasional bank dan kemungkinan terjadinya kegagalan
atas jasa-jasa serta produk-produk yang dihasilkan bank.
C. Kerangka Pemikiran
Berdasarkan teori yang sudah dikemukakan di atas, maka kerangka pemikiran
dalam penelitian ini sebagai berikut :
𝐻1
CAR (𝑋1)
LDR(𝑋2)
32
𝐻2
𝐻3
𝐻4
𝐻5
𝐻6
Gambar 2.1
Kerangka Pemikiran
Kerangka pemikiran di atas menunjukkan pengaruh secara parsial dan
simultan variabel bebas seperti CAR, LDR, NIM, NPL, dan BOPO terhadap
variabel terikat yaitu ROA.
D. Hipotesis
Berdasarkan tujuan penelitian, tinjauan teori, penelitian terdahulu, dan
kerangka pemikiran, maka diperoleh hipotesis sebagai berikut :
1. Penelitian yang dilakukan oleh Mario, dkk (2014) menemukan hasil bahwa
variabel CAR, LDR, NIM, NPL, dan BOPO secara simultan berpengaruh
signifikan terhadap ROA, secara parsial variabel CAR, NIM dan BOPO
berpengaruh positif signifikan sedangkan variabel LDR dan NPL berpengaruh
negatif terhadap ROA.
ROA (Y) NIM (𝑋3)
NPL (𝑋4)
BOPO (𝑋5)
33
Variabel CAR, NIM, dan BOPO berpengaruh positif signifikan terhadap ROA
dan variabel LDR dan NPL tidak berpengaruh terhadap profitabilitas Bank Go
Public BEI. Secara simultan variabel CAR, LDR, NIM, NPL, dan BOPO
berpengaruh signifikan terhadap profitabilitas Bank Go Public yang Terdaftar
Di Bursa Efek Indonesia.
2. Penelitian yang dilakukan oleh Ayu (2014) menemukan hasil bahwa CAR,
LDR, dan BOPO berpengaruh signifikan terhadap ROA dengan variabel
BOPO sebagai variabel yang berpengaruh dominan terhadap ROA.
Variabel BOPO adalah variabel yang berpengaruh dominan terhadap profitabilitas
Bank Go Public yang Terdaftar di Bursa Efek Indonesia