BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Landasan Teoretis 1. Model ...repository.uinbanten.ac.id/4219/4/BAB...
Transcript of BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Landasan Teoretis 1. Model ...repository.uinbanten.ac.id/4219/4/BAB...
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Landasan Teoretis
1. Model Pembelajaran
Model pembelajaran pesantren biasanya dilakukan secara
alami dengan pola managerial yang tetap (sama) dalam tiap
tahunnya perubahan-perubahan mendasar dalam pengelolaan
pesantren agaknya belum terlihat. Penerimaan santri baru,
misalnya masih dilakukan secara „‟terbuka‟‟ untuk semua
individu yang mempnyai latar belakang dan kemampuan beragam
tanpa mengadakan usaha pree tes terlebih dahulu usaha
kategorisasi dan klasifikasi santtri secara kualitatif tidak pernah
dilakukan.1
Secara umumnya, model pembelajaran adalah cara atau
teknik penyajian sistematis yang digunakan oleh guru dalam
mengorganisasikan pengalaman proses pembelajaran agar
tercapai tujuan dari sebuah pembelajaran. Definisi singkat lainnya
yaitu suatu pendekatan yang digunakan dalam kegiatan
pembelajaran.
1 Suwendi, Sejarah dan pemikiran pendidikan islam (Jakarta: PT.
PrajaGrapindo persada, 2004), 125
Model pembelajaran bisa juga diartikan sebagai seluruh
rangkaian penyajian materi yang meliputi segala aspek sebelum,
sedang dan sesudah pembelajaran yang dilakukan guru serta
segala fasilitas yang terkait yang digunakan secara langsung atau
tidak langsung dalam proses belajar mengajar. Model
pembelajaran sendiri memiliki makna yang lebih luas dari pada
strategi, metode atau sekedar prosedur pembelajaran.
Setiap pembelajaran, seorang guru/ustadz pasti
mempunyai cara yang berbeda dengan guru lain. Perbedaan
tersebut dapat diperoleh dari kebiasaan guru mengajar, wawasan
pengetahuan guru tentang pendidikan, ataupun dengan
pengalaman-pengalaman guru dalam mengajar.
Sebuah pondok pesantren pada dasarnya sebuah asrama
pendidikan Islam tradisional dimana siswanya tinggal bersama
dan belajar dibawaah bimbingan seorang (atau lebih) guru yang
lebih dikenal dengan sebutan „‟Kyai‟‟. Asrama untuk para santri
berada dalam lingkungan komplek pesantren dimana Kyai
bertempat tinggal yang juga menyediakan masjid atau mushollah
untuk beribadah, ruangan untuk belajar dan kegiatan-kegiatan
keagamaan yang lain. 2
2 Zamakhsyari Dhofier, Tradisi Pesantren, (Jakarta : LP3ES, 2011) ,79.
Pentingnya pondok pesantren sebagi asramanya para
santri tergatung jumlah para santri yang datang dari daerah-
daerah yang jauh. Untuk pesantren yang kecil misalnya, para
santri banyak pula yang tinggal dirumah-rumah penduduk
disekitar pesantren; mereka menggunakan pondok hanya untuk
keperluan-keperluan pondok saja.3
Setiap pembelajaran, seorang Guru/Ustadz pasti
mempunyai cara yang berbeda dengan guru lain. Perbedaan
tersebut dapat diperoleh dari kebiasaan guru mengajar, wawasan
pengetahuan guru tentang pendidikan, ataupun dengan
pengalaman-pengalaman guru dalam mengajar.
Perbedaan tersebut sangatlah mempengaruhi siswa/santri
dalam hal motivasi belajar. Secara tidak disadari santri selalu
menilai dan membandingkan apa dan bagaimana cara seorang
guru menyampaikan pelajaran.
Menurut beberapa ahli, model - model pembelajaran yang
ada dipondok pesantren, meliputi:
a. Model Wetonan Halaqah
Wetonan istilah ini berasal dari kata wektu (bahasa
jawa) yang berarti waktu, sebab pengajian tersebut diberikan
3 Zamakhsyari Dhofier, Tradisi Pesantren, (Jakarta : LP3ES, 2011) ,83.
pada waktu-waktu tertentu, yaitu sebelum dan atau sesudah
melakukan shalat fardhu. Metode wetonan ini merupakan
metode kuliah, dimana para santri mengikuti pelajaran dengan
duduk di sekeliling Kyai yang menerangkan pelajaran secara
kuliah, santri menyimak kitab masing-masing dan membuat
catatan padanya. Istilah wetonan ini di Jawa Barat disebut
dengan bandongan.4
Model wetonan halaqah, yaitu model yang
didalamnya terdapat seorang Kyai yang membaca suatu kitab
dalam waktu tertentu, sedangkan santrinya membawa kitab
yang sama lalu santri mendengar dan menyimak bacaan Kyai.
model ini dapat dikatakan sebagai proses pembelajaran
kolektif. Sedangkan sorogan adalah model pembelajaran yang
santrinya cukup pandai men-sorog-kan (mengajukan) sebuah
kitab kepada kyai untuk dibaca dihadapannya. Model
pembelajaran ini dapat dikatakan sebagai proses pembelajaran
individual. 5
Dalam model pembelajaran ini, santri secara kolektif
mendengarkan dan mencatat uraian yang disampaikan oleh
4 http://makalahpendidikanislamlengkap.blogspot.com/2015/06/model-
pembelajaran-pesantren.html 5 http://makalahpendidikanislamlengkap.blogspot.com/2015/06/model-
pembelajaran-pesantren.html
Kyai, dengan menggunakan bahasa daerah setempat,
dilaksanakan pada waktu-waktu tertentu, materi (kitab) dan
tempat sepenuhnya ditentukan oleh Kyai.
Keunggulan metode ini adalah lebih cepat dan praktis
sedangkan kelemahannya metode ini dianggap tradisional.
Biasanya metode ini masih digunakan pada pondok-pondok
pesantren salaf.
Model utama sistem pengaran di pesantren ialah
sistem bandoengan atau seringkali juga disebut sistem wathon
dalam sekelompok ini murid (antara 5 sampai 500 murid)
mendengarka seorang guru membaca, menerjemahkan,
menerangkan, bahkan sering kali mengulas buku-buku islam
dalam bahasa arab. Tentu ulasan dalam bahasa arab buku-
buku tingkat tinggi dibetikan kepada kelompok santri senior
yang diketahui oleh seorng guru besar dapat dipahami oleh
para santri. Kelompok santri khusus ini disebut „‟kelas
musyawarah. Setiap murid menyimak kitabnya sendiri dan
membuat catatan (baik arti maupun keterangan) tentang kata-
kata atau buah fikiran yang sulit. Kelompok metode
bandoengan ini disebut halaqoh ysng arti bahasanya lingkaran
santri, atau kelompok santri yang belajar dibawah bimbingan
seorangan guru. Semua pesantren tentu memberikan juga
metode sorogan tetapi hanya diberikan kepada santri-santri
yang baru dan yang masih membutuhkan bimbingan
individual.6
Pesantren, sebagai lembaga pendidikan Islam tertua di
Indonesia, sejarah perkembangan pesantren memiliki model-
model pembelajaran yang bersifat non klasikal, yaitu model
sistem pendidikan dengan metode pengajaran wetonan dan
sorogan. Di Jawa Barat dikenal pula dengan model
bandungan atau halaqah.
Dalam metode wethonan halaqoh atau bandoengan
seorang murid tidak harus menunjukan bahwa ia mengerti
pelajaran yang sedang dihadapi. Para Kyai biasanyan
membaca dan menerjemahkan kalimat-kalimat secara cepat
dan tidak menerjemakan kata-kata yang mudah. Denga cara
ini, Kyai dapat meyelesaikan kitab-kitab pendek dalam
beberapa minggu saja. Metode bandoengan karena
dimaksudkan untuk murid-murid tingkatt menengah dan
tigkat tinggi hanya epektif bagi santri-santri yang telah
mengikuti metode sorogan secara intensif.
6 Zamakhsyari Dhofier, Tradisi Pesantren, (Jakarta : LP3ES, 2011) ,54.
Kebanyakan pesantren, terutama pesantren-pesantren
besar, bisanya hanya menelenggarakan bermacam-macam
halaqoh (kelas bandoengan), yang mengajarkan mulai dari
kitab-kitab elementer sampai kttingkatan tinggi, yang
isleenggarakan setiap hari (kecuali hari jum‟at), dari pagi-pagi
buta setelah sembahyang subuh sampai larut malam,
penyelenggaraan bermacam-macam cara ustadz (guru). Para
asatidz (guru-guru) ini dapat dikelompokan kedalam dua
setrata itu senior (ustadz muda) dan senior, yang biasanya
sudah menjadi anggota kelas musyawarah.
b. Model Sorogan
Sorogan berasal dari kata sorog (bahasa jawa), yang
berarti menyodorkan, sebab setiap santri menyodorkan
kitabnya dihadapan Kyai atau pembantunya (badal, asisten
Kyai). Sistem sorogan ini termasuk belajar secara individual,
dimana seorang santri berhadapan dengan seorang guru, dan
terjadi interaksi saling mengenal antara keduanya.7
Hal ini seperti yang dikatakan oleh Zamakhsyari
Dhofir, merupakan sosok yang sangat disegani oleh santrinya,
bahkan oleh masyarakat luas. Hal ini dinyatakan pula oleh
7 Zamakhsyari Dhofier, Tradisi Pesantren, (Jakarta : LP3S, 1985), 112.
H.M. Arifin tersebut menunjukkan telah terjadi pergeseran
mengenai subjek pendidikan agama Islam, yang tidak hanya
terbatas pada Kyai dan alumni pesantren, tetapi juga di
ajarkan oleh oleh orang yang diluluskan dari sekolah formal.8
Model pengajaran yang dipakai di pesantren
tradisional pada umumnya adalah metode sorogan (tiap-tiap
santri membawa buku yang sedang dipelajarinya kepada
seorang Kyai dan kalau tiba gilirannya ia menyodorkan sorog
atau buku itu kehadapan Kyai yang membacakan apa yang
disodorkan tersebut kalimat perkalimat, kemudian
menerjemahkan dan menjelaskan. Sedangkan metode
watthonan sama dengan metode halaqoh atau metode ceramah
yang dipakai Kyai untuk buku yang sedang diajarkannya.
Kyai membacakanya, menerjemahkan dan menerangkan
masalah-masalah yang sedang diajarkan. 9
Model sorogan dalam pengajian ini merupakan bagian
yang paling sulit dari keseluruhan metode pendidikan
pesantren, sebab metode sorogan menuntutt kesabaran,
kerajinan, ketaatan dan disiplin pribadi guru pembimbing dan
8 Zamaksyari Dhofier, Tradisi Pesantren dalam Masyarakat Jawa,
(Jakarta : LP3ES, 1982), 97. 9 Ali Hasan, Kapita Selekta Pendidikan Agama Islam, (Jakarta : Pedoman
Ilmu Jaya, 2009), 98.
murid. Kebanyakan murid-murid pengajian gagal dalam
pendidikan dasar ini. Di samping itu, kebanyakan di antara
mereka yang tidak menyadari bahwa mereka seharusnya
mematangkan diri pada tingkat sorogan ini sebelum dapat
mengikuti pendidikan selanjutnya di pesantren, sebab pada
dasanya hanya santri-santri yang telah menguasai metode
sorogan sajahlah yang dapat memetik keuntungan dari metode
bandongaan pesantren.
Metode sorogan terbukti sangat efektif sebagai tarap
pertama bagi seorang murid yang bercita-cita menjadi
seorang alim. Metode ini memungkinkan seorang guru
mengawasi menilai dan membimbing secarra maksimal
kemampuan seorang santri dalam menguasi bahasa arab.
Hal ini sangat penting untuk diketahui oleh para santri,
sebab seperti yang diuraikan tadi, kitab-kitab yang diajarkan
dalam metode sorogan dan bandoengan ditulis tanpa hurup
hidup, untuk dapat membacanya dengan benar dan cocok
artinya para santri hrus menguasai kata bahasa arab.
Metode sorogan merupakan salah satu metode efektif
yang dapat digunakan seorang ustadz dalam proses belajar
membaca kitab, ustadz sangat bersemangat dengan
pembelajaran dengan metode ini, karena mempunyai
kelebihan dan kekurangan yang tidak terlalu membebani
ustadz dalam proses pembelajarannya. Diantara kelebihan-
kelebihan metode sorogan adalah sebagai berikut:
1. Terjadi hubungan yang harmonis dan erat antara ustadz
dan santri.
2. Memungkinkan bagi seorang ustadz untuk membimbing
secara maksimal.
3. Ustadz mengetahui secara pasti kualitas yang di capai
santrinya.
4. Santri yang IQ-nya tinggi akan cepat menyelesailkan
materi pelajaran (kitab), sedangkan santri yang IQ-nya
rendah, ia membutuhkan waktu yang cukup lama untuk
menyelesaikanya.
Adapun diantara beberapa kekurangan metode sorogan adalah
sebagai berikut:
1. Tidak efesien, karena hanya menghadapi beberapa orang
santri saja, sehingga kalau menghadapi santri banyak,
metode ini kurang begitu cepat.
2. Membuat santri cepat bosan karena metode ini menuntut
kesabaran, kerajinan, ketaatan, dan kedisiplinan pribadi.
3. Santri kadang menangkap kesan verbalisme semata,
terutama mereka yang tidak mengerti terjemahan dari
bahasa tertentu.
Model sorogan merupakan metode pembelajaran yang
diterapkan pesantren hingga kini, terutama di pesantren-
pesantren salaf. Usia dari metode ini diperkirakan lebih tua
dari pesantren itu
sendiri. Karena metode ini telah dikenal semenjak pendidikan
Islam dilangsungkan di langgar, saat anak-anak belajar
Alquran kepada seorang ustaz atau kiai di kampung-kampung.
Model sorogan yang pernah dominan digunakan
pondok pesantren, kemudian berkembang dengan model -
model lain. Kenyataan seperti ini, secara sosiologis
menunjukkan bahwa pesantren tidak terbebas dari pengaruh
luar, misalnya dari perkembangan metodologi pengajaran di
sekolah. Munculnya metode diskusi, metode resitasi, yang
semula hanya memberikan tugas-tugas yang berkaitan dengan
materi pelajaran keagamaan, dikembangkan dengan model -
model lain dari ajaran yang lain pula. Seperti pemberian tugas
pada mata pelajaran umum, dan tugas-tugas ilmu yang lain.
c. Model Diskusi
Metode musyawarah atau dalam istilah lain bahtsul
masa'il merupakan metode pembelajaran yang lebih mirip
dengan metode diskusi atau seminar. Beberapa orang santri
dengan jumlah tertentu membentuk halaqah yang dipimpin
langsung oleh Kyai atau ustadz, atau mungkin juga senior,
untuk membahas atau mengkaji suatu persoalan yang telah
ditentukan sebelumnya. Dalam pelaksanaannya, para santri
dengan bebas mengajukan pertanyaan-pertanyaan atau
pendapatnya.10
Dalam model diskusi, dalam model pengajaranya
sangat berbeda dari metode sorogan dan bandoengan para
santri harus mempelajari sendiri kitab-kitab yag ditunjuk dan
dirujuk. Kiyai memimpin model diskusi seperti dalam suatu
seminar dan lebih banyak dalam bentuk tanya jawab, biasanya
hampir seluruhnya diselenggarakan dalam bahasa arab, dan
merupakan latihan bagi para santri untuk menguji
keterampilannya dalam menyadap sumber-sumber
argumentasi dalam kitab-kitab islam klasik.
10
http://makalahpendidikanislamlengkap.blogspot.com/2015/06/model-
pembelajaran-pesantren.html
Seringkali, pimpinan pesantren beberapa hari sebelum
metode musyawarah dimulai menyiapkan sejumlah
pertannyaan (masail diniah) bagi santri kelompok diskusi
yang akan bersidang.
Mereka yang dinilai oleh kiyai sudah cukup matang
untuk menggali sumber-sumber referensi, memiliki keluasan
bahan-bahan bacaan dan mampu menemukan atau
menyelesaikan problem-problem menurut metode imam besar
madzhab imam Syafi‟i.11
Kegiatan penilaian oleh Kyai atau ustadz dilakukan
selama kegiatan musyawarah berlangsung. Hal-hal yang
menjadi perhatiannya adalah kualitas jawaban yang diberikan
oleh peserta yang meliputi kelogisan jawaban, ketepatan dan
kevalidan referensi yang disebutkan, serta bahasa yang
disampaikan dapat mudah difahami oleh santri yang lain. Hal
lain yang dinilai adalah pemahaman terhadap teks bacaan,
juga kebenaran dan ketepatan peserta dalam membaca dan
menyimpulkan isi teks yang menjadi persoalan atau teks yang
menjadi rujukan.
11
Zamakhsyari Dhofier, Tradisi Pesantren, (Jakarta : LP3ES, 2011), 57.
Dari segi pengunaan model, persamaan antara
pendidikan Islam di pondok pesantren dan sekolah pada
umumnya, adalah model diskusi yang diberikan di sekolah,
saat ini juga digunakan di pesantren-pesantren.
Model ini dapat berfungsi seperti apa yang
diungkapkan oleh Abu Bakar Muhammad, bahwa model
berfungsi untuk lebih membangkitkan pikiran dan minat
murid untuk aktif, dia sendiri lebih mampu menyiapkan diri
sendiri untuk menyampaikan ilmu pengetahuan itu kepada
murid dengan cara-cara yang mudah diterima dan lebih
mudah difahami.
d. Model Hafalan
Metode hapalan ialah kegiatan belajar santri dengan
cara menghapal suatu teks tertentu di bawah bimbingan dan
pengawasan Kyai/ustadz. Para santri diberi tugas untuk
menghapal bacaan-bacaan dalam jangka waktu tertentu.
Hapalan yang dimiliki santri ini kemudian dihapalkan di
hadapan Kyai/ustadz secara periodik atau insidental
tergantung kepada petunjuk Kyai/ustadz yang
bersangkutan. Materi pelajaran dengan metode hapalan
umumnya berkenaan dengan Al Qur‟an, nazham-nazham
nahwu, sharaf, tajwid ataupun teks-teks nahwu, sharaf dan
fiqih.12
Model hafalan, yakni suatu metode dimana santri
menghafal teks atau kalimat tertentu dari kitab yang
dippelaajarinya.13
Dalam metode hafalan ini, santri harus lebih aktif
jadwal hafalan diluar jam belajar dikelas kemudian untuk
membantu mmelancarkan hafalan (jawa;ngelanyabake) maka
diadakan hafalan masal yang dibagi menjadi beberapa kelas
pada waktu ba‟da sholat maghrib setiap malam
jum‟at,kegiatan ini disebut dengan „‟lalaran‟‟ diamana semua
santri mengenakan baju putih dan sarung berwarna gelap
dengan lmpu yang dimatikan, kecuali beberapa lilin-lilin
dinyalakan dibagian depan. Mereka menghafalkan nadzoman
secara berjamaah yang dipimpin oleh seorang kiyai.
Disekeliling mereka adalah para ustadz dan ustadzah yang
ikut memantau jalannya acara. Kemudian setelah acara usaai
yaitu menjelang sholat isya ada salah seorang ustadz atau
12
http://makalahpendidikanislamlengkap.blogspot.com/2015/06/model-
pembelajaran-pesantren.html 13
Nizar Samsul, Sejara Pendidikan Islam, (Pernada Media Group), 287.
ustadzah yang memberika motifasi atau nasehat dihadapan
paara santri.14
2. Pendidikan Pondok Pesantren Al-Hidayah
Pendidikan berasal dari kata "didik", lalu kata ini
mendapat awalan me sehingga menjadi "mendidik", artinya
memelihara dan memberi latihan. Dalam memelihara dan
memberi latihan diperlukan adanya ajaran, tuntutan, dan
pimpinan mengenai akhlak dan kecerdasan pikiran. Selanjutnya,
pengertian "pendidikan" menurut kamus besar bahasa Indonesia
ialah proses pengubahan sikap dan tata laku seseorang atau
kelompok orang dalam usaha mendewasakan manusia melalui
upaya pengajaran dan pelatihan.
Dalam bahasa Inggris, Education (pendidikan) berasal
dari kata educate(mendidik) artinya memberi peningkatan (to
elicit, to give rise to), dan mengembangkan (to evolve, to
develop). Dalam pengertian yang sempit, Education atau
pendidikan berarti perbuatan atau proses perbuatan untuk
memperoleh pengetahuan (McLeod, 1989).
14
Suparta Munzier, Kritik Nalar Fiqh Pesantren,( Jakarta : Pernada
Media Group, 2008), 230.
Dalam pengertian yang agak luas, pendidikan dapat
diartikan sebagai sebuah proses dengan metode-metode tertentu
sehingga orang memperoleh pengetahuan, pemahaman, dan cara
bertingkah laku yang sesuai dengan kebutuhan.
Sebagaian orang memahami arti pendidikan sebagai
pengajaran karena pendidikan pada umumnya selalu
membutuhkan pengajaran. Jika pengertian seperti ini kita
pedomani, setiap orang yang berkewajiban mendidik (seperti
guru dan orangtua) tentu harus melakukan perbuatan mengajar.
Padahal, mengajar pada umumnya diartikan secara sempit dan
formal sebagai kegiatan menyampaikan materi pelajaran kepada
siswa agar ia menerima dan menguasai pelajaran tersebut, atau
dengan kata lain agar siswa tersebut memiliki ilmu pengetahuan.
Selanjutnya, menurut Poerbakawatja dan Harahap (1981),
Pendidikan adalah: Usaha secara sengaja dari orang dewasa
untuk dengan pengaruhnya meningkatkan si anak kedewasaan
yang selalu diartikan mampu menimbulkan tanggung jawab
moril dari segala perbuatannya. Orang dewasa itu adalah orang
tua si anak atau orang tua yang atas dasar tugas dan
kedudukannya mempunyai kewajiban untuk mendidik misalnya
guru sekolah, pendeta atau kyai dalam lingkungan keagamaan,
kepala-kepala asrama dan sebagainya.
Selain itu Pendidikan islam menurut Zarkowi Soedjati
terbagi dalam tiga pengertian; pertama, „‟Pendidikan Islam‟‟
adalah jenis pendidikan yang pendirian dan penyelenggaraanya
didorong oleh hasrat dan semangat cita-cita untuk
mengejawantahkan nilai-nilai Islam, baik yang tercermin dalam
nama lembaganya, maupun dalam kegiatan-kegiatan yang
diselenggarakan. Disini kata Islam ditempatkaan sebagai sumber
nilai yang akan diwujudkaan dalam seluruh kegiatan pendidikan.
Kedua, jenis pendidikan yang memberikan perhatian sekaligus
menjadikan ajaran islam sebagai pengetahuan untuk program
studi yang diselenggarakan.
Pendidikan islam tidak tertuju kepada pembentukan akal
saja, melainkan tertuju kepada setiap bagian jiwa sehingga setiap
bagian jiwa itu menjadi mampu melaksanakan tugasnya sebagai
mana yang dikehendaki oleh Allah S.W.T. Pendidikan Islam
bukan hanya membentuk dan meningkatkan kemampuan kerja
setiap bagian jiwa itu, tetapi juga membentuk metode kerja setiap
bagian jiwa itu persis yang Allah kekhendaki dan juga
membentuk kemaampuan memanifestasikan isi jiwa kedalam
bicara yang benar dan baik.15
Selanjutnya kata pendidikan secara umum adalah upaya
mempengaruhi orang lain agar berubah fikir, ucapan, perbuatan,
sifat, dan otaknya. Sesuai dengan tujuan pendidikan yang telah
ditetapkan. Dengan demikiaan, antara kata pendidikan dan
karakter memiliki hubungan substtansial yang amat
berdekatan.16
Sedangkan kata pendidikan mengandung arti memberikan
bimbingan pengetahuan pengalaman, ketermpilan,
menumbuhkan dan mengembangkan bakat, minat, potensi fisik,
intelektual, jiwa, sosial, kesenian, morl dan spiritual yang
terdapat pada setiap orang, agar berbagai potensi, minat, bakat
dan kecenderungan tersebut dapat diaktualisasikan dalam
kenyataan, sehiingga dapat menolong dirinya, keluarganya,
masyarakat, bangsa, umat, negar dan dunia.17
a. Sejarah Pondok Pesantren
15
Ali Hasan, Kapita Selekta Pendidikan Agama Islam, (Jakarta : Pedoman
Ilmu Jaya, 2009), 45. 16
Abuddin Nata, Akhlak Tasawuf dan Karakter Mulia, (Jakarta : PT. Raja
Grapindo Persada, 2014), 266. 17
Abuddin Nata, Akhlak Tasawuf dan Karakter Mulia, (Jakarta : PT. Raja
Grapindo Persada, 2014), 287.
Secara etimologi perkataan pesantren berasal dari kata
santri dengan awalan „‟Pe‟‟ dan akhiran „‟An‟‟ berarti „‟tempat
tinggal santri, selain itu, asal kata pesantren terkadang dianggap
gabungan dari kata „‟Sant‟‟ (manusia baik) dengan suku kata
„‟ira‟‟ (suka menolong), sehingga kata pesantren berarti tempat
pendidikan manusia baik-baik.
Perkataan pesantren berasal dari kata santri, yang dengan awalan
„‟pe’’ di depan dan akhiran „‟an‟‟ berarti tempat tinggal para
santri.18
Adapun secara terminologis Steenbrink menjelaskan
bahwa pendidikan pesantren, dilihat dari segi bentuk dan
sistemnya berasal dari india. Sebelum proses penyebaran islam di
Indonesia, sistem tersebut telah digunakan secara umum untuk
pendidikan dan pengajaran agama Hindu di Jawa. Setelah islam
masuk dan tersebar di Jawa sistem tersebut kemudian diambil
oleh islam. Istilah pesantren sendiri seperti halnya isitilah
mengaji, langgar, atau surau, di Minangkabau Rangkang di Aceh
bukan berasal dan istilah arab melainkan india.
Menurut Sudjoko Prasodjo, „‟pesantren adalah lembaga
pendidikan dan pengajaran agama, umumnya dengan cara
18
Johns, Tradisi Pesantren (Jakarta : LP3ES, 2011), 41.
nonklasikal, dimana seorang kiyai mengajarkan ilmu ilmu agama
Islam kepada santri-santrinya berdasarkan kitab-kitab yang ditulis
dalam bahasa Arab oleh ulama abad pertengahan, dan para antri
biasanya tinggal dipondok (asrama) dalam pesantren tersebut.‟‟19
Dari pemaparan pendapat para ahli diatas. Maka dapat
digambarkan bahwa pesantren adalah lembaga pendidikan ke
agamaan yang memiliki kekhasan sendiri dan berbeda dengan
lembaga pendidikan lainya dalam menyelenggarakan sistem
pendidikan dan pengajaran agama. Ditinjau dari segi historis nya
pesantren sudah dikenal jauh sebelum Indonesia merdeka bahkan
sebelum islam datang dan masuk ke Indonesia sebab lembaga
serupa sudah ada semenjak hindu dan budha.
Pondok atau asrama adalah tempat tinggal santri
dipesantren. Pada mulanya pondok dipesantren dibangun dengan
alakadarnya. Sebutan pondok sendiri berkonotasi pada banngunan
yang sangat sederhana yang terbuat dari bambu tetapi mengiringi
semakin banyaknnya santri kemudian perpondokan itu direnovasi
dan diadakan pemakaran yang lebih luas lagi dalam bentuk
bangunan beton bertingkat. Tetapi asrama-asrama dipesantren
biasanya dibangun dengan tanpa perencaan tata ruang yang
19
Prasodjo Sudjoko, Profil Pesantren, dalam Nizar Samsul, (Kencana
Prenada Group : 2002), 286.
bagus, karena waktu pembangunanya tidak bersamaan, sehingga
kurang tampak teratur dan terkadang ada kelihatan „‟kumuh‟‟.
Meskipun demikian kondisi yang seperti itu tidak mempengaruhi
bagi aktifitas belajar santri justru mengandung pengertian sebagai
bagian pembelajaran kepribadian yang tabah dan sabar.
Asrama dipesantren biasanya dibagi menjadi beberapa
kompleks dengan nama sendiri-sendiri. Terkadang pembagian
asrama itu berasarkn asal daerah para peghuninya yang dikenaal
istilah kobongan, disamping juga ada yang dicampur.
Asrama atau kompleks pesantren biasanya dibangun
diatas tanah wakap Kyai atau orang luar pesantren yang beamal
jariyah kepada pesantren tetapi ada juga. Tetapi ada juga yang
dibangun diatas tanah milik pribadi keluarga Kyai. Namun
demikian pada umumnya masyarakat terutama yang masih
sefaham dengan ajaran pesantren atau para alumni, tidak terlalu
mempersoalkan status tanah tersebut karena sudah ada
kepercayaan terhadap jaminan kelangsungan hidup pesantren,
terutama pesantren yang sudah besar dan establizedhed. Tetapi
dalam kondisi tertentu tanah komplek pesantren yang statusnya
belum disertifikatkan sebagai tanah wakap, terkadang juga
menjadi kendala dalam pencarian dana bangunan, terutama ketika
menghadapi orang-orang terpelajara dijalur pendidikan formal
atau yang tidak sefaham, meskipun tidak semuanya.
Terlepas dari asal-usul kata itu berasal dari mana, yang
jelas ciri-ciri umum keseluruhan pesantren adalah lembaga
pendidikan agama Islam asli Indonesia yang terus berkembang,
bahkan saat memasuki millennium ketiga ini salah satu menjadi
penyangga yang sangat penting bagi kehidupan berbangsa dan
bernegara bangsa Indonesia.20
Pesanrren sebagai salah satu pintu transformasi sosial,
selalu menarik dan sekaligus menjadi sorotan kaum intelektual
bahkan menjadi lirikan para penguasa demi menarik masa.
Pondok pesantren sebagai lembaga pendidikan islam tertua
dinusantara. Dalam sejarah perkembangan pesantren memiliki
peranan yang sangat besar dalam sejarah perjuangan bangsa
indonesiaa. Pondok pesantren telah memmbuktikan eksistensi
dan kiprahnnya menjadi dinamisator dalam setiap peroses
perjuangan dan pembangunan bangsa. Kiprahnya tidak hanya
sebatas lembaga pendidikan, namun juga merupakan lembaga
perjuangan, lembaga sosial, ekonomi, lembaga spiritual dan
dakwah.
20
Zamakhsya Dhofier, Tradisi Pesantren, (Jakarta : LP3ES, 2011), 41.
Dunia pesantren, dengan meminjam kerangka hossein
nashr sebagai mana diungkapkan adjiyumardi arja bahwa dunia
tradisional isla, yakni dunia yang mewarisi dan memelihara
kontinunitas traadisi islam yang dikembangkan oleh ulama daari
masa ke masa tidak terbatas pada periode tertenttu dalam sejarah
islam, seperti periode kaum salaf, yaitu periode para sahabat Nabi
Muhammad dan Thabii‟in senior. Meskipun demikian, menurut
adiyumardi, istilah „‟salafi‟‟ juga digunakan oleh kalangan
pesantren,misalnya „‟pesantrren salafi‟‟ meskipun pengertianya
jauh berbeda jika tidak bertolak belakang dengan pengertian
umum mengenai salaf.
Dalam pandangan syaknur, dari sisi hostoris pesantren
tidak hannya identic dengan makna keislaman, tetapi juga
mengandung keaslian Indonesia. Karena menurut caknur,
lmmbaga yang serupa pesantren sesungguhnya telah ada sejak
pemerintahan Hindia-Belanda. Sehingga Islam tinggal
meneruskan atau dalam bahasa caknur, mmenngislamkan
lembaga pendidikan yang sudah ada. Meskipun uga bukan berarti
mengucilkan peranan Islam dalam mempelopori Pendidikan di
Indonesia. 21
Dengan demikian, dalam lembaga pendidikan islam yang
disebut dengan pesantren tersebut, sekurang-kurangnya memiliki
unsur-unsur : Kyai, santri, masjid, sebagai tempat
penyelenggaraan pendidikan dan pondok atau asrama sebagai
tempat tinggal para santri serta kitab-kitab klasik sebagai sumber
atau bahan pelajaran.
Adapun pengertian lain dari pondok pesantren adalah
sebuah asrama pendidikan Islam tradisional di mana siswanya
tinggal bersama dan belajar di bawah bimbingan seorang (atau
lebih) guru yang lebih dikenal dengan sebutan “Kyai”.
Perlu ditekankan disini, bahwa dalam tradisi pesantren,
seorang tidak akan memiliki status dan keasyuran hanya karena
kepribadian yang dimilikinya. Ia menjadi kiyai karena ada yang
mengajarnya. Ia pada dasarnnya mewakili watak pesantren dan
gurunya dimana ia belajar. Keabsahan illmunya dan jaminan
yang dimiliki sebagai orang yang diakui sebagai Kyai yang
terkenal dapat ia buktikan melalui mata rantai tranmisi yang ia
tulis dengan rapid an dapat dibenarkan oleh kiyai-kiyai yang
21
Dede Rosyada, Studi Islam I,(Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada,
2016), 232.
mashur yang seaangkatan dengan dirinya. Namun para Kyai
ternyata menyadari sepenuhnya masalah ini. Seorang kiyai selalu
memikirkan kelangsungan hidup pesantrenya ketia iameninggal
nanti. Disamping itu, ia pun berfikir dan berusaha keras agar
traadisi pesantren tidak perna punah.22
b. Pola Pembelajaran Akhlaq di Pondok Pesantren Al-Hidayah
Pola pembelajaran atau Pembinaan di Pondok Pesantren
itu Secara konseptual, pembinaan atau pemberkuasaan
(empowerment), berasal dari kata ‟power‟ (kekuasaan atau
keberdayaan). Karenanya, ide utama pembinaan bersentuhan
dengan konsep mengenai kekuasaan. Kekuasaan seringkali
dikaitkan dan dihubungkan dengan kemampuan individu untuk
membuat individu melakukan apa yang diinginkan, terlepas dari
keinginan dan minat mereka. Pembinaan menunjuk pada
kemampuan orang atau kelompok masyarakat, khususnya
kelompok rentan dan lemah sehingga mereka memiliki kekuatan
atau kemampuan dalam memenuhi kebutuhan dasarnya sehingga
mereka memiliki kebebasan (freedom), dalam arti bukan saja
bebas mengemukakan pendapat melainkan bebas dari kelaparan,
bebas dari kesakitan. Menjangkau sumber-sumber produktif yang
22
Zamakhsyari Dhofier, Tradisi Pesantren, (Jakarta :LP3ES, 2011), 101.
memungkinkan mereka dapat meningkatkan pendapatannya dan
memperoleh barang-barang dan jasa yang mereka perlukan.
Menurut Wiranto (1999), pembinaan merupakan upaya
untuk meningkatkan kapasitas masyarakat dan pemberian
kesempatan yang seluas-luasnya bagi penduduk kategori miskin
untuk melakukan kegiatan sosial ekonomi yang produktif,
sehingga mampu menghasilkan nilai tambah yang lebih tinggi
dan pendapatan yang lebih besar. Dengan demikian, pembinaan
Olahraga pada hakekatnya diarahkan untuk meningkatkan akses
bagi individu, keluarga dan kelompok masyarakat terhadap
sumber daya untuk melakukan proses produksi dan kesempatan
berusaha. Untuk dapat mencapai hal tersebut diperlukan berbagai
upaya untuk memotivasi dalam bentuk antara lain bantuan modal
dan pengembangan sumber daya manusia.
Salah satu pendekatan yang kini sering digunakan dalam
meningkatkan kualitas kehidupan dan mengangkat harkat dan
martabat keluarga miskin adalah pembinaan masyarakat. Konsep
ini menjadi sangat penting terutama karena memberikan
perspektif positif terhadap orang miskin. Orang miskin tidak
dipandang sebagai orang serba kekurangan (misalnya, kurang
makan, kurang pendapatan, kurang sehat, kurang dinamis) dan
objek pasif penerima pelayanan belaka. Melainkan sebagai orang
yang memiliki beragam kemampuan yang dapat di mobilisasi
untuk perbaikan hidupnya. Konsep pembinaan memberi
kerangka acuan mengenai kekuasaan (power) dan kemampuan
(kapabilitas) yang melingkup arah sosial, ekonomi, budaya,
politik dan kelembagaan.23
Menurut Dadang S. Suharmawijaya :”inovasi program
pembinaan ekonomi merupakan upaya mengatasi persoalan
ekonomi masyarakat komunitas tertentu. Hanya, pada
perjalanannya, yang memiliki problem ekonomi merupakan
kelompok masyarakat miskin. Kenyataan itulah yang menjadikan
sebagian program kabupaten/ kota menyatukan antara pembinaan
ekonomi dan pemberantasan kemiskinan.” Dengan demikian,
pembinaan adalah sebuah proses dan tujuan. Sebagai proses,
pembinaan kelompok di dalam lingkungan kehidupan
masyarakat, termasuk individu-individu yang mengalami
masalah dalam berbagai aspek kesejahteraan dalam kehidupan.
Sebagai tujuan, maka pembinaan menunjuk pada keadaan atau
hasil yang ingin dicapai dalam perubahan sosial : yaitu
masyarakat yang berdaya, memiliki kekuasaan atau mempunyai
23
http://tugasakhiramik.blogspot.com/2013/05/pengertian-pembinaan.html
pengetahuan dan kemampuan dalam memenuhi kebutuhan
hidupnya baik yang bersifat fisik, ekonomi , maupun sosial
seperti memiliki kepercayaan diri, mampu menyampaikan
aspirasi, mempunyai mata pencaharian, berpartisipasi dalam
kegiatan sosial, dan mandiri dalam melaksanakan tugas-tugas
kehidupannya.
a. Akhlak
Istilah akhlak sudah sangat akrab di tengah kehidupan
kita. Mungkin hampir semua orang mengetahui arti kata
“Akhlak” karena perkataan akhlak selalu dikaitkan dengan
tingkah laku manusia. Akan tetapi, agar lebih jelas dan
menyakinkan kata “Akhlak” masih perlu diartikan seara
bahasa maupun istilah. Dengan demikian, pemahaman
terhadap kata “Akhlak” tidak sebatas kebiasaan praktis yang
setiap hari kita dengar tetapi sekaligus dipahami secara
filosofis, terutama makna substansinya.
Kata “Akhlak” berasal dari bahasa Arab yaitu jama
dari kata “khuluqun” yang secara lingustik diartikan dengan
budi pekerti, perangai, tingkahlaku atau tabiat, tata krama,
sopan santun, adab, dan tindakan. Katab” Akhlak” juga
berasal dari kata “Khalaqa” atau “Khalqun”, artinya kejadian,
serta erat hubungannya dengan “Khaliq”, artinya
menciptakan, tindakan atau perbuatan, sebagaimana terdapat
kata “Al-khaliq” artinya pencipta dan “Makhluq” artinya yang
diciptakan.24
Sebenarnya, ada dua pendekatan yang dapat
digunakan untuk mendefinisikan kata “Akhlaq”, yaitu
pendekatan linguistik (kebhasaan), dan pendekatan
terminologik (peristilahan). Dari sudut kebahasaan, akhlak
berasal dari bahasa Arab, yaitu isim mashdar (bentuk
infinitive)vdari kata “al-akhlaqa-yukhliqu-ikhlakan”, sesuai
dengan timbangan (wazan) tsulasi majid af’ala-yuf’ilu-if’alan,
berarti as-sajiyah (perangai), ath-thabi’ah (kelakuan, tabiat,
watak dasar), al-adat (kebiasaan, kelaziman), al-maru’ah
(peradaban yang baik), dan ad-din (agama). Kata “akhlaq”
juga isim masdar dari kata “akhalaqa”, yaitu “ikhlaq”.
Berkenaan dengan ini, timbulah pendapat bahwa secara
linguistik, akhlak merupakan isim jamid atau isim ghair
mustaq, yaitu isim yang tidak memiliki akar kata. Kata
“akhlaq” secara etimologis brasal dari bahasa Arab, yaitu dari
kata “khalaqa”, kata asalnya adalah “khuliqun”, berarti adat,
24
Ahmad Beni Saebani, Ilmu Akhlaq, (Bandung : CV. Pustaka Settia,
2012), 13.
perangai, atau tabiat. Secara terminologis, dapat dikatakan
bahwa akhlak merupakan prantara perilaku manusia dalam
segala aspek kehidupan. Dalam pengertian umum, akhlak
dapat dipadankan dengan etika atau nilai moral.
Pembinaan akhlak merupakan tumpuan perhatian
pertama dalam Islam. Hal ini dapat dilihat dari salah satu misi
kerasulan Nabi Muhammad SAW. Yang utama adalah untuk
menyempurnakan akhlak yang mulia.
Sebagaimana hadits Nabi Muhammad S.A.W dalam
salah satu hadistnya beliau menegaskan :
م مكارم األخالق Hanya saja aku diutus untuk“ إوما بعثت ألتم
menyempurnakan akhlak yang mulia”.25
Pembinaan akhlaq dalam Islam juga terintegrasi
dengan pelaksanaan rukun iman hasil analisi Muhammad
Alghozali terdapat rukun islam yang kelima telah menunjukan
dengan jelas,
bahwa dalam rukun Islam yang lima itu terkandung konsep
pembinaan akhlaq.26
25
Abuddin Nata, Akhlak Tasawuf dan Karakter Mulia (Jakarta : PT
RajaGrafindo Persada, 2015), 136.
Perhatian Islam yang demikian terhadap pembinaan
akhlak ini dapat pula dilihat dari perhatian islam terhadap
pembinaan jiwa yang harus didahulukan dari pada pembinaan
fisik, karena dari jiwa yang baik inilah akar lahir perbuatan-
perbuatan yang baik pada tahap selanjutnya akan
mempermudah menghasilkan kebaikan dan kebahagiaan pada
seluruh kehidupan manusia, lahir dan batin.
Perhatian Islam dalam pembinaan akhlak selanjutnya
dapat dianalisi pada muatan akhlak yang terdapat pada
seluruh aspek ajaran Islam. Ajaran Islam tentang keimanan
misalnya sangat berkaitan erat dengan mengerjakan
serangkaian amal shalih dan
perbuatan terpuji. Iman yang tidak disertai dengan amal shalih
dinilai sebagai iman yang palsu, bahkan dianggap sebagai
kemunafikan.
Dalam Al-Qur‟an kita misalnya membaca ayat
yang berbunyi:
يه ى م ؤ م م ب ا ه م ر و خ م ال و ي ال ب و الل ا ب ى ول آم ق ه ي اس م الى
ه م و
26
Abuddin Nata, Akhlak Tasawuf dan Karakter Mulia (Jakarta : PT
RajaGrafindo Persada, 2015), 137.
Artinya : Dan di antara manusia (orang
munafik) itu ada orang yang mengatakan “beriman
kepada Allah dan hari akhir, sedang yang sebenarnya
mereka bukan orang yang beriman.” (QS Al -Baqarah
(2):8)27
Ayat di atas menunjukkan dengan jelas bahwa iman
yang dikehendaki Islam bukan iman yang hanya sampai pada
ucapan dan keyakinan, tetapi iman yang disertai dengan
perbuatan dan akhlak yang mulia, seperti tidak ragu-ragu
menerima ajaran yang dibawa Rasul, mau memanfaatkan
harta dan dirinya untuk berjuang di jalan Allah dan
seterusnya. Ini menunjukkan bahwa keimanan harus
membuahkan akhlak, dan juga memperlihatkan bahwa Islam
sangat mendambakan terwujudnya akhlak yang mulia.
Hasil analisis Muhammad al-Ghazali.28
Dijelaskan
didalam rukun Islam yang lima telah menunjukkan dengan
27
Abuddin Nata, Akhlak Tasawuf dan Karakter Mulia, (Jakarta : PT. Raja
Grapindo Persada, 2014), 136. 28
Abuddin Nata, Akhlak Tasawuf dan Karakter Mulia, (Jakarta : PT. Raja
Grapindo Persada, 2014), 305.
jelas, bahwa dalam rukun Islam yang lima itu terkandung
konsep pembinaan akhlak.29
Rukun islam yang pertama adalah mengucapkan dua
kalimah syahadat, yaitu bersaksi bahwa tiada Tuhan selain
Allah. Kalimat ini mengandung pernyataan bahwa selama
hidupnya manusia hanya tunduk kepada aturan dan tuntunan
Allah. Orang yang tunduk dan patuh aturan Allah dan
Rasullnya sudah dapat dipastikan akan menjadi orang yang
baik.
Selanjutnya rukun Islam yang kedua adalah
mengerjakan shalat lima waktu. Shalat yang dikerjakan akan
membawa pelakunya terhindar dari perbuatan yang keji dan
munkar. Shalat yang dilakukan diharapkan dapat
menghasilkan akhlak yang mulia, yaitu bersikap tawadlu.
Mengagungkan Allah, berzikir, membantu fakir miskin, ibn
sabil, janda dan orang yang mendapatkan musibah.
Selanjutnya dalam rukun Islam yang ketiga, yaitu
zakat juga mengandung didikan akhlak, yaitu agar orang yang
melaksanakannya dapat memberikan dirinya dari sifat kikir,
mementingkan diri sendiri, dan membersihkan hartanya dari
29
Abuddin Nata, Akhlak Tasawuf dan Karakter Mulia, (Jakarta : PT. Raja
Grapindo Persada, 2014), 137.
hak orang lain, yaitu hak fikir miskin dan seterusnya.
Muhammad al-Ghazali mengatakan bahwa hakikat zakat
adalah untuk membersihkan jiwa dan mengangkat derajat
manusia ke jenjang yang lebih mulia.
Begitu juga islam mengajarkan ibadah puasa sebagai
rukun islam yang keempat, bukan hanya sekedar menahan diri
dari makan dan minum dalam waktu yang terbatas, tetapi
lebih dari itu merupakan latihan menahan diri dari keinginan
melakukan perbuatan keji yang dilarang.
Selanjutnya rukun Islam yang kelima adalah ibadah
haji. Dalam ibadah haji ini pun nilai pembinaan akhlaknya
lebih besar lagi dibandingan dengan nilai pembinaan akhlak
yang ada pada ibadah dalam rukun Islam lainnya. Hal ini bisa
dipahami karena ibadah haji ibadah dalam Islam bersifat
komprehensif yang menuntut persyaratan yang banyak, yaitu
disamping harus menguasai ilmunya, juga harus sehat
fisiknya, ada kemauan keras, bersabar dalam menjalankannya
dan harus mengeluarkan biaya yang tidak sedikit, serta rela
meninggalkan tanah air, harta kekayaan dan lainnya.
Berdasarkan analisis diatas dapat mengatakan bahwa
islam sangat memberi perhatian yang besar terhadap
pembinaan akhlak sebagaimana digambarkan di atas,
menujukkan bahwa pembinaan akhlak yang ditempuh islam
adalah menggunakan ara atau sistem yang integrated, yaitu
sistem yang menggunakan berbagai sarana peribadataan dan
lainnya secara simultan untuk diarahkan pada pembinaan
akhlak.
Cara lain yang dapat ditempuh untuk pembinaan
akhlak ini adalah pembiasaan yang dilakukan sejak kecil dan
berlangsung secara kontinyu.
Berkenaan dengan ini Imam al-Ghazali mengatakan
bahwa kepribadian manusia itu pada dasarnya dapat
menerima segala usaha pembentukan melalui pembiasaan.
Jika manusia membiasakan berbuat jahat, maka ia akan
menjadi orang jahat, untuk ini al-Ghazali menganjurkan agar
akhlak diajarkan, yaitu dengan cara melaith jiwa kepada
pekerjaan atau tingkah laku yang mulia.30
Dalam tahapan-tahapan tertentu, pembinaan akhlak,
khususnya akhlak lahiriah dapat pula dilakukan dengan cara
paksaan yang lama-kelamaan tidak lagi terasa dipaksa.
Seseorang yang ingin menulis dan mengatakan kata-kata yang
30
Abuddin Nata, Akhlak Tasawuf dan Karakter Mulia, (Jakarta : PT. Raja
Grapindo Persada, 2014), 141.
bagus misalnya, pada mulanya ia harus memaksakan tangan
dan mulutnya menuliskan atau mengatakan kata-kata dan
huruf yang bagus. Apabila pembinaan ini sudah berlangsung
lama, maka paksaan tersebut sudah tidak terasa lagi sebagai
paksaan.
Cara lain yang tak kalah ampuhnya dari cara-cara di
atas dalam hal pembinaan akhlak ini adalah melalui
keteladanan. Akhlak yang baik tidak dapat dibentuk hanya
dengan pelajaran, intruksi dan larangan, sebab tabi‟at jiwa
untuk menerima keutamaan itu tidak cukup dengan hanya
seorang guru mengatakan kerjakan ini dan jangan kerjakan
itu. Menanamkan sopan-santun memerlukan pendidikan yang
panjang dan harus ada pendekatan yang lestari. Pendidikan itu
tidak akan sukses, melainkan jika disertai dengan pemberian
contoh teladan yang baik dan nyata.
Cara yang demikian itu telah dilakukan oleh
Rasulullah SAW. Keadaan ini dinyatakan dalam ayat yang
berbunyi:
ر خ م ال و ي ل ا و و للا ج ر ان ي ه ك م ة ل ى س ة ح و س أ ول للا س م في ر ك ان ل ك
د ق ل
ا ير ث ك ر للا ك ذ و
Artinya : Sesungguhnya telah ada pada (diri)
Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi
orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari
kiamat dan dia banyak menyebut Allah. (QS Al-Ahzab 33:
21).31
Selain itu pembinaan akhlak dapat ditempuh dengan
cara senantiasa menganggap diri ini sebagai banyak
kekurangannya dari pada kelebihannya.
Dalam hubungan ini Ibn Sina mengatakan jika
seseorang menghendaki dirinya berakhlak utama, hendaknya
ia lebih dahulu mengetahui kekurangan dan cacat yang ada
dalam dirinya, dan membatasi sejauh mungkin untuk tidak
berbuat kesalahan, sehingga kecacatannya itu tidak terwujud
dalam kenyataan.32
Namun, ini bukan berarti bahwa ia menceritakan
dirinya sebagai orang yang paling bodoh, paling miskin dan
sebagainya di hadapan orang-orang, dengan tujuan justru
31
Nandang Burhanuddin, Mushaf Al-Burhan Edisi Wanita Tajwid, QS Al-
Ahzab 33: 21, (Bandung :Cv), 421.
32
Abuddin Nata, Akhlak Tasawuf dan Karakter Mulia, (Jakarta : PT. Raja
Grapindo Persada, 2014), 142.
merendahkan orang lain. Hal yang demikian dianggap tercela
dalam islam.
Pembinaan akhlak secara efektif dapat pula dilakukan
dengan memperhatikan faktor kejiwaan sesaran yang akan
dibina. Menurut hasil penelitian para psikolog bahwa
kejiwaan manusia berbeda-beda menurut perbedaan tingkat
usia. Pada usia kanak-kanak misalnya lebih menyukai kepada
hal-hal yang bersifat rekreatif dan bermain. Untuk itu ajaran
akhlak dapat disajikan dalam bentuk permainan. Hal ini
pernah dilakukan oleh para ulama di masa lalu. Mereka
menyajikan ajaran akhlak lewat syair yang berisi sifat-sifat
Allah dan rasul, anjuran beribadah dan berakhlak mulia dan
lain-lainnya. Syair tersebut dibaca pada saat menjelang
dilangsungkannya pengajian, ketika akan melaksanakan shalat
lima waktu, dan acara-acara peringatan hari-hari besar islam.
b. Santri
Santri adalah siswa yang belajar ilmu agama Islam di
pesantren. Tetapi tidak semua santri tinggal di asrama
(pondok) pesantren. Ada santri penduduk lingkungan
pesantren yang belajar (Jawa: Ngaji) di pesantren dengan cara
"dilaju" dari rumah masing-masing, yang dikenal dengan
santri "kalong" (santri "laju atau santri"nduduk"). Pada akhir-
akhir ini santri mengalami perluasan terminologis, yaitu
termasuk siswa anak-anak yang belajar Al-Qur'an di Taman
Pendidikan Al-Qur'an (TPA), masjid atau musholah mereka
juga disebut santri, termasuk santri dalam kegiatan pesantren
kilat di sekolah-sekolah formal dalam waktu-waktu tertentu.
Khususnya di pesantren, terminologi santri memiliki
dua makna, yaitu makna yang sempit dan makna yang luas.
Makna sempit santri adalah para siswa yang masih belajar di
pesantren dengan mengecualikan para guru (ustaz) sebagai
pembantu kyai. Sedangkan makna luasnya adalah orang yang
pernah belajar di pesantren, baik santri dalam pengertian
pertama tadi maupun ustaz, dan baik yang masih tinggal di
pesantren maupun para alumni yang sudah tinggal di luar
pesantren. Hampir sama dengan di pedesaan santri sering di
konotasikan sebagai orang yang pernah belajar di pesantren
(Jawa: Mondok), sebagai pembeda dari orang yang belum
pernah belajar di pesantren atau hanya mengenal sekolah
umum saja. Salah satu derivat dari term "santri" ini adalah
nyatri, sebutan untuk karakter orang yang tahu agama dan
memiliki kepribadian yang baik.
Menurut pengertian yang dipakai dalam lingkungan
orang-orang pesantren seorang alim yang hanya bisa tersebut
kiyai bila mana memilliki pesantren santri untuk mempelajari
kitab-kitab islam klasik. Oleh karena itu, santri merupakan
elemen-elemen penting, dalam suatu lembaga pesan-pesan.
Perlu diketahui, menurut tradasi pesntren, santri terdiri dari
dua :
1. Santri Mukim, yaitu murid-murid yang berasal dari yang
jauh dan menetap dalam kelompok pesantren. Santri
muim yang paling lama tinggal dipesantren biasanya
merupakan satu kelompok tersendiri yang memang
bertanggung jawab mengurusi kepentinngan pesantren
sehari-hari; mereka juga memikul tanggung jawab
mengajar santri-santri muda tentang kitab-kitab dasar dan
menengah. Dalam sebuah pesantren yang besar dan
masyhur terdapat putra-putra kyai dari pesantren-
pesantren lain yang belajar di sana; mereka ini biasanya
akan menerima perhatian istimewa dari kyai.
2. Santri Kalong, yaitu murid-murid yang berasal dari desa-
desa di sekitar pesantren, biasanya tidak menetap dalam
pesantren. Untuk mengikuti pelajarannya di pesantren,
mereka bolak-balik (nglaju) dari rumahnya sendiri.
Biasanya perbedaan antara pesantren besar dan pesantren
kecil dapat dilihat dari komposisi santri kalong. Semakin
besar sebuah pesantren, semakin besar jumlah santri
mukimnya. Dengan kata lain, pesantren kecil memiliki
lebih banyak santri kalong dari pada santri mukim.
Seorang santri pergi dan menetap di suatu
pesantren karena berbagai alasan:
1. Ia ingin mempelajari kitab-kitab lain yang membahas
islam secara lebih mendalam di bawah bimbingan kyai
yang memimpin pesantren.
2. Ia ingin memperoleh pengalaman kehidupan pesantren,
baik dalam bidang pengajaran, keorganisasian maupun
hubungan dengan pesantren-pesantren terkenal.
3. Ia ingin memusatkan studinya di pesantren tanpa
disibukkan oleh kewajiban sehari-hari di rumah
keluarganya. Di samping itu, dengan tinggal di sebuah
pesantren yang sangat jauh letaknya dari rumahnya
sendiri ia tidak mudah pulang-balik meskipun kadang-
kadang menginginkannya.
Di masa silam, pergi dan menetap di sebuah pesantren
yang jauh dan masyhur merupakan suatu keistimewaan bagi
seorang santri yang penuh cita-cita. Ia harus memiliki
keberanian yang cukup, penuh ambisi, dapat menekan
perasaan rindu kepada keluarga maupun teman-teman
sekampungnya, sebab setelah selesai pelajarannya di
pesantren ia diharapkan menjadi seorang alim yang dapat
mengajar kitab-kitab dan memimpin masyarakat dalam
kegiatan keagamaan. Ia juga diharapkan dapat memberikan
nasihat-nasihat mengenai persoalan-persoalan kehidupan
individual dan masyarakat yang bersangkut-paut erat dengan
agama.
B. Hasil Penelitian Terdahulu Yang Relavan
Pada bagian ini, peneliti mencantumkan penelitian yang
pernah dilakukan oleh mahasiswa sebelumnya, yaitu yang bernama
Neng Fitri Yani mahasiswa STAISMAN pada tahun 2015 yang
berjudul „‟ Peran Pondok Pesantren Al-Hidayah Dalam Pembinaan
Akhlak Santri ‟‟
Hasil dari penelitian yang terdahulu ini persamaannya terletak
pada „‟Pembinaan Akhlaq Santri‟‟. Adapun perbedaanya dengan
peneliti yang terdahulu itu „‟Peran Pondok Pesantren‟‟ sedangkan
yang saya akan teliti yaitu „‟Model Pendidikan Pondok Pesantren‟‟
Hal ini merupakan titik perbedaannya.
Dari pemaparan di atas telah jelas mengenai perbedaan dan
persamaan peneliti yang akan dilakukan dengan hasil penelitian yang
sudah dilakukan. Oleh karena itu penelitian yang berjudul “Metode
Pendidikan Pondok Pesantren Al-Hidayah Dalam Pembinaan Akhlak
Santri” dapat dilakukan karena masalah yang diteliti bukan duplikasi
dari penelitian-penelitian yang sebelumnya.
C. Kerangka Pemikiran
Pondok Pesanten Al-Hidayah ini adalah meneruskan estafet
perjuangan Nabi Muhammad SAW. Begitupun idealitas pesantren
sebagai basic pertahanan ajaran-ajaran Islam. Namun realitanya
justru terbalik. Ternyata prinsip-prinsip pesantren mulai bergeser
dikalangan siswa, khususnya para remaja. Pergeseran ini disebabkan
kecenderungan mereka mengikuti budaya-budaya luar yang tak
sejalan dengan prinsip pesantren.
Mengingat kualitas Akhlak santri sangat penting bagi
kehidupan sehari-hari terutama bagi para santri-santri tersebut,
karena, menurut peneliti diantara sekian santri ada saja santri-santri
yang kurang mempunyai akhlaq yang benar-benar mengamalkan apa
yang dia dapati dari hasil pengajianya bersama Kiyai dan Ustadznya,
karena dari perikaraan peneliti masih ada saja santri yang seperti :
tidak patuh terhadap perintah guru, berbicara yang kasar terhadap
sesama santri dan sebagainya.
Dimana telah kita ketahui bersama bahwa pondok pesantren
di dirikan untuk mendidik anak bangsa agar menjadi santri yang
berakhlak mulia, berilmu dan mempunyai kemandirian, agar tingkah
laku atau pengalaman sehari-hari yang dilakukan sesuai dengan
norma-norma agama, karena akhlak itu sangat penting bagi umat
manusia, pada dasarnya telah dicontohkan oleh Uswatun hasanah
yaitu Nabi Muhammad SAW.
Karena suatu bangsa atau lembaga yang bermoral buruk dapat
merusak agamanya, karena sering terjadi pelanmggaran agama yang
sering dilakukan oleh warga negara, sehingga agama menjadi suatu
permainan imatnya, padahal agama harus difungsikan sebagai alat
pengendali dan pengontrol bai perbuatan manusia.33
Oleh karena itu penelitian ini akan dilakukan dengan benar-
benar signifikan sesuai judul, peneliti akan menggunakan metode-
metode yang yang mudah di cerna oleh para santri, untuk membantu
perubahan akhlaq santri ke yang lebih positif lagi dan bisa di amalkan
33
Mahjuddin, Akhlaq Tasawuf Mu’jizat Nabi Karomah Wali Ma’rifa Sufi
Cet, Ke 2 (Jakarta: Kalam Mulia, 2011), 53.
dalam kehidupan sehari-hari terutama dalam kehidupan di pondok
tersebut terhadap sesam santri.