BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Governanceeprints.umm.ac.id/38678/3/BAB II.pdf · government. dan ....

21
25 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Governance Konsep governance berangkat dari istilah government. Government atau pemerintah merupakan istilah yang digunakan pada organisasi atau lembaga yang menyelenggarakan kekuasaan pemerintah pada suatu negara. Konsep government ini dapat dikatakan sebagai konsep lama dalam penyelenggaraan pemerintahan karaena hanya menekankan pada pemerintah (lembaga/institusi pemerintah) sebagai pengatur dan pelaksana tunggal penyelenggaraan pemerintah. Oleh karena itu muncullah konsep governance yang menggantikan konsep government dalam aspek maupun kajian pemerintahan. Selanjutnya governance berasal dari kat “govern” dengan definisi yakni mengambil peran yang lebih besar, yang terdiri dari semua proses, aturan dan lembaga yang memungkinkan pengelolaan dan pengendalian masalah- masalah kolektif masyarakat. Dengan demikian secara luas, governance termasuk totalitas dari semua lembaga dan unsur masyarakat, baik pemerintah maupun non- pemerintah. 37 Untuk lebih jelasnya dalam memahami pergeseran makna antara government dan governance, Leach dan Percy Smith dalam Hetifah mengungkapkan perbedaan terkait dua konsep tersebut sebagai berikut: bahwa goverment mengandung pengertian politisi dan pemerintah yang mengatur, melakukan sesuatu, memberikan pelayanan dan sementara sisa dari elemen sebuah negara itu bersifat pasif. Sementara governance meleburkan 37 Dwiyanto, Agus. 2015. Manajemen Pelayanan Publik: Peduli, Inklusif dan Kolaboratif . Yogyakarta: UGM Press. Hal 1.

Transcript of BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Governanceeprints.umm.ac.id/38678/3/BAB II.pdf · government. dan ....

25

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Governance

Konsep governance berangkat dari istilah government. Government atau

pemerintah merupakan istilah yang digunakan pada organisasi atau lembaga yang

menyelenggarakan kekuasaan pemerintah pada suatu negara. Konsep government ini

dapat dikatakan sebagai konsep lama dalam penyelenggaraan pemerintahan karaena

hanya menekankan pada pemerintah (lembaga/institusi pemerintah) sebagai pengatur

dan pelaksana tunggal penyelenggaraan pemerintah. Oleh karena itu muncullah

konsep governance yang menggantikan konsep government dalam aspek maupun

kajian pemerintahan. Selanjutnya governance berasal dari kat “govern” dengan

definisi yakni mengambil peran yang lebih besar, yang terdiri dari semua proses,

aturan dan lembaga yang memungkinkan pengelolaan dan pengendalian masalah-

masalah kolektif masyarakat. Dengan demikian secara luas, governance termasuk

totalitas dari semua lembaga dan unsur masyarakat, baik pemerintah maupun non-

pemerintah.37

Untuk lebih jelasnya dalam memahami pergeseran makna antara government

dan governance, Leach dan Percy Smith dalam Hetifah mengungkapkan perbedaan

terkait dua konsep tersebut sebagai berikut:

bahwa goverment mengandung pengertian politisi dan pemerintah yang

mengatur, melakukan sesuatu, memberikan pelayanan dan sementara sisa dari

elemen sebuah negara itu bersifat pasif. Sementara governance meleburkan

37 Dwiyanto, Agus. 2015. Manajemen Pelayanan Publik: Peduli, Inklusif dan Kolaboratif.

Yogyakarta: UGM Press. Hal 1.

26

makna tersebut, dengan merenggangkan kekakuan antara pemerintah dan

yang diperintah (bagian negara yang pasif), sehingga bagian yang pasif

tersebut memiliki peranan dan andil dari bagian government.38

Berdasarkan pembedaan antara konsep government dan governance diatas,

dapat dinyatakan bahwa konsep government secara makna atau pengertian lebih

mengacu atau mengarah kepada politisi atau lembaga pemerintah. Government

mengarah kepada lembaga pemerintah atau birokrasi itu sendiri yang bertugas

memberikan pelayan kepada masyarakat. Selain itu, pada government masyarakat

hanya bersikap pasif atau hanya semata-mata sebagai pihak yang menerima

pelayanan begitu saja. Berbeda dengan government, governance disebutkan lebih

lunak, dalam artian tidak hanya lembaga pemerintahan/birokrasi yang mememiliki

peran dalam penyelenggaraan pemerintahan, akan tetapi juga memberikan ruang dan

andil dari masyarakat dan pihak lain non-pemerintah.

Sebagai suatu konsep, governance memiliki beragam pemaknaan yang

diungkapkan oleh beberapa ahli sebagai berikut:

Dwiyanto menekankan mengenai konsep governance adalah keterlibatan

aktor-aktor di luar pemerintah yang merespon masalah publik. Praktik

governance ini, bertujuan dalam rangka menyediakan pelayanan publik

dengan melibatkan aktor dari unsur masyarakat dan mekanisme pasar.39

Menurut Chema dalam Keban, governance merupakan suatu sistem nilai,

kebijakan, dan kelembagaan dimana urusan-urusan ekonomi, sosial, politik

dikelola melalui interaksi masyarakat, pemerintah, dan sektor swasta.40

Pendapat lebih signifikan dikemukan oleh Teguh Kurniawan yang

menerangkan bahwa konsep governance merupakan sebuah proses kebijakan

38 Hetifah Sj. 2009. Inovasi, Partisipasi dan Good Governance. Jakarta : Yayasan Obor Indonesia. Hal

2. 39 Dwiyanto, Agus. 2008. Mewujudkan Good Governance Melalui Pelayanan Publik. Yogyakarta:

Gadjah Mada University Press. Hal. 22 40 Keban, Jeremias T. 2008. Enam Dimensi Strategis Administrasi Publik : Konsep, Teori dan Isu.

Yogyakarta : Penerbit Gava Media. Hal 38

27

yang dilaksanakan dengan melibatkan pemerintah, sektor private (swasta)

maupun masyarakat.41

Mengacu pada beberapa pendapat-pendapat diatas menunjukkan bahwa

governance merupakan model kepemerintahan yang sangat dinamis. Dengan kata

lain, governance membuka ruang untuk keterlibatan atau partisipasi sektor lain

dalam kepemerintahan. Pemerintah bukanlah aktor yang tunggal atau dominan dalam

kepemerintahan. Selain itu, pendapat tersebut menjelaskan bahwa terjadi

pengurangan terhadap otoritas pemerintah terkait dengan urusan publik. Pemaknaan

tesebut dapat ditinjau dari suaru kondisi yang terjadi ketika pemerintah dalam

penyelenggaraan urusan-urusan publik mengalami permasalahan di luar

kemampuannya, sehingga dalam penangan permasalahn tersebut perlu melibatkan

pihak lain yang memiliki kapasitas atau kemampuan lebih dan tentunya dapat

membantu pemerintah. kondisi tersebut terjadi karena dipengaruhi oleh keterbatasan

kapabilitas pemerintah dalam hal sumberdaya dan finansial.

Bagan 2.1 Aktor Governance

Sumber : Abidarin Rosidi dan Anggraeni Fajriani, 2013

41 Kurniawan, Teguh. 2007. Pergeseran, Paradigma Administrasi Publik; Dari Perilaku Model Klasik

Dan NPM Ke Good Governance. Jurnal Ilmu Administrasi Negara. No. 23A/Dikti/KEP/2004. ISSN.

141-948X, Vol. 7. Hal. 16-17

Pemerintah

Swasta Masyarakat

28

Rosidi dan Fajriani memetakan bahwa terdapat 3 aktor yang berpengaruh

dalam proses governance.42 Tiga aktor tersebut yakni pemerintah, swasta, dan

masyarakat. ketiga aktor tersebut saling berkolaborasi dalam proses penyelenggaraan

pemerintahan. Pemerintah tidak lagi menjadi aktor tunggal yang memonopoli

penyelenggaraan pemerintah. melainkan memerlukan aktor lain karena karena

keterbatasan kemampuan pemerintah. Swasta dengan dukungan finansialnya harus

mampu membantu pemerintah dalam penyelenggaraan pemerintahan. Swasta dalam

hal ini tidak diperbolehkan untuk mengurusi kepentingannya sendiri yakni hanya

semata-mata mencari keuntungan pribadi.

Selain itu, masyarakat juga harus berperan aktif. Masyarakat dan diberikan

ruang. Akan percuma apabila sebenarnya masyarakat memiliki niatan yang kuat

untuk terlibat dalam penyelenggaraan pemerintahan, akan tetapi tidak diberikan

ruang. Keterlibatan masyarakat ini mampu membuat masyarakat yang mandiri dan

meningkatkan kualitas masyarakat ke depannya.

B. Collaborative Governance

1. Definisi dan Konsep Collaborative Governance

Salah satu tipe dari konsep penyelenggaraan pemerintahan atau governance

yakni disebut konsep collaborative governance atau penyelenggaraan pemerintahan

yang kolaboratif. Menurut pendapat Ansell dan Grash “Collaborative governance is

therefore a type of governance in which public and private actor work collectively in

distinctive way, using particular processes, to establish laws and rules for the

42Abiradin Rosidi dkk. 2013. Reinventing Local Goverment, Demokrasi dan Reformasi Pelayanan

Publik. Yogyakarta: Cv. Andi Offset. Hal. 10

29

provision of public goods”.43 Collaborative Governance dapat dikatakan sebagai

salah satu dari tipe governance. Konsep ini menyatakan akan pentingnya suatu

kondisi dimana aktor publik dan aktor privat (bisnis) bekerja sama dengan cara dan

proses terentu yang nantinya akan menghasilkan produk hukum, aturan, dan

kebijakan yang tepat untuk publik atau,masyarakat. Konsep ini menunujukkan bahwa

dalam penyelenggaraan pemerintahan. Aktor publik yaitu pemerintah dan aktor privat

yaitu organisasi bisnis atau perusahaan bukanlah suatau yang terpisah dan bekerja

secara sendiri-sendiri melainkan bekerja bersama demi kepentingan masyarakat.

Kolaborasi dipahami sebagai kerjasama antar aktor, antar organisasi atau antar

institusi dalam rangka pencapain tujuan yang tidak bisa dicapai atau dilakukan secara

independent. Dalam bahasa Indonesia, istilah kerjasama dan kolaborasi masih

digunakan secara bergantian dan belum ada upaya untuk menunjukkan perbedaan dan

kedalaman makna dari istilah tersebut.Secara definisi, para ahli mendefinisikan

collaborative governance dalam beberpa makna yang ide utamanya sama, yakni

adanya kolaborasi antara sektor publik dan non publik atau privat dalam

penyelenggaraan pemerintahan atau governance. Ansell dan Gash mendefinisikan

collaborative governance sebagai berikut ini:

A Governing arrangement where one or more public agencies directly engage

non-state stakeholders in a collective decision-making process tahat is formal,

consensud oriented, and deliberative and that aims to make or implement

public policy or manage public program or assets. (Collaborative governance

adalah serangkainpengaturan dimana satu atau lebih lembaga publik yang

melibatkan secara langsung stakeholder non-state di dalam proses pembuatan

kebijakan yang bersifat formal, berorientasi consensus dan deliberative yang

43 Ansell, Chriss dan Alison Gash. 2 007. Collaborative Govetnance in Theory and Practice. Journal of Public Administration Administration Research and Theory. Hal 545

30

bertujuan untuk membuat atau mengimplementasikan kebijakan publik atau

mengatur program atau aset.)44

Disamping pendapat tersebut, pendapat lain mengenai collaborative

governance dikemukakan Agranoff dan McGuire yang menyatakan sebagai berikut:

In Particular, collaborative governance has put much emphasis on voluntary

collaboration and horizontal relationships among multi sectoral participants,

since demands from clents often transcend the capacity and role of a single

public organization, and require interaction among a wide range

organization that are linked and engage in public activities. Collaboration is

necessary to enable governance to be structured so as to effectively meet the

increasing demand that arises from managing across governmental,

organizational, and sectoral boundaries. (secara khusus, collaborative

gvernance telah menempatkan banyak penekanan pada kolaborasi horisontal

sukarela dan hubungan horizontal anatara partisipan multi sektoral, karena

tuntutan dari klien sering melampaui kapasitas dan peran organisasi publik

tunggal, dan membutuhkan interaksi di antara berbagai organisasi yang terkait

dan terlibat dalam kegiatan publik. kolaborasi diperlukan untuk

memungkinkan governance menjadi terstruktur sehingga efektif memenuhi

meningkatnya permintaan yang timbul dari pengelolaan lintas pemerintah,

organisasi, dan batas sektoral).45

Berdasarkan pada pendefinisian oleh dua ahli tersebut, sebenarnya telah

mendefinisakan collaborative governance dalam gagasan yang sama. Akan tetapi

pada penjelasan Ansell dan Gash dapat dlihat bahwa aspek kolaborasi

penyelenggaraan pemerintah lebih pada aspek perumusan dan impletasi kebijakan

publik atau program dari lembaga publik, dalam hal ini yakni pemerintah. Selain itu,

dalam praktiknya kolaboasi penyelenggaraan pemerintah haruslah menjunjung tinggi

nilai deliberatif atau musyawarah dan konsensus antar tiap aktor atau stakeholder ya

terlbat dalam kolaborasi tersebut.

44 Ibid Ansell, Chriss dan Alison Gash. Hal 544 45 Chang, Hyun Joo. 2009. Collaborative Governance In Welfare Service Delivery : Focusing On Local Welfare in Korea.Internasional Review of Publik Administration Vol. Hal 76-77

31

Sedangkan pada gagasan Agranoff dan McGuire menunjukkan bahwa

collaborative governance atau kolaborasi penyeggaran pemerintahan dalam lingkup

yang lebih general yakni penyelenggraan pemerintahan secara keseluruhan.

Collaborative governance dalam hal ini lebih menitik beratkan pada aspek sukarela

dalam praktik kolaborasi. Aspek kesukarelaan tersebut diharapkan setiap aktor yang

terlibat dalam kolaborasi bekerja secara optimal untuk tercapainya tujuan dalam

kolaborasi. Sehingga program atau kebijakan yang yang dilaksanakan akan terksana

lebih efektif karna melibatkan relasi oganisasi atau institusi.

2. Alasan Melaksanakan Collaborative Governance

Kolaborasi dalam penyelenggaraan pemerintahan merupakan suatu hal yang

dibutuhkan dalam praktik pemerintahan sekarang ini. Ada berbagai alasan yang

melatarbelakangi adanya kolaborasi tiap lembaga atau institusi. Gal ini dapat dilihat

dari pendapat berikut ini:

Collaborative governance tidak muncul secara tiba-tiba karena hal tersebut

ada disebabkan oleh inisiatif dari berbagai pihak yang mendorong untuk

dilakukannya kerjasama dan koordinasi dalam menyelesaikan masalah yang

sedang dihadapi oleh publik.46 Collaborative Governance atau kolaborasi

penyelenggaraan pemerintahan muncul sebagai respon atas kegagalan

implementasi dan tingginya biaya dan adanya politisasi terhadap regulasi.47

Lebih positif lagi bahwa orang mungkin berpendapat bahwa kecenderungan

ke arah kolaborasi muncul dari perkembangan ilmu pengetahuan dan

kapasitas institusi atau lembaga.48

Pendapat di atas menyatakan bahwa collaborative governance muncul tidak

begitu saja melainkan dilatarbelakangi berbagai aspek. munculnya collaborative

46 Junaidi. 2015. Collaborative Governance dalam Upaya Menyelesaikan Krisis Listrik di Kota Tanjungpinang. Naskah Publikasi Fisip Umrah. Hal 8 47 Ibid Ansell, Chriss dan Alison Gash. Hal 544 48 Ibid.

32

governance dapat dilihat dari aspek kebutuhan dari institusi untuk melakukan

kerjasama antarlembaga, karena keterbatasan kemampuan tiap lembaga untuk

melakukan program/kegiatannya sendiri. Selain itu, kolaborasi juga muncul lantaran

keterbatasan dana anggaran dari suatu lembaga, sehingga dengan adanya kolaborasi

anggaran tidak hanya berasal dari satu lembaga saja, tetapi lembaga lain yang terlibat

dalam kolaborasi. Kolaborasi pun juga bisa dikatakan sebagai aspek perkembangan

dari ilmu pemerintahan, terutama dengan munculnya konsep governance yang

menekankan keterlibatan beberapa aktor seperti pemerintah, swasta, dan masyarakat

dalam penyelenggaraan pemerintah. Kolaborasi juga dapat sebagai alternatif dalam

mengembangkan keterlibatan kelompok kepentingan dan adanya kegagalan dalam

manajerialisme salah satu institusi atau organisasi. Kompleksitas yang muncul pada

peekembangannya berakibat pada kondisi saling ketergantungan antar institusi dan

berakibat pada meningkatnya permintaan akan kolaborasi.

Selanjutnya penjelasan lainnya yang lebih spesifik dikemukan oleh Ansell dan

Grash dalam Sudarmo bahwa collaborative governance muncul secara adaptif atau

dengan sengaja diciptakan secara sadar karena alasan-alasan dan pentingnya konsep

ini dilakukan sebagai berikut ini:

(1) kompleksitas dan saling ketergantungan antar institusi, (2) konflik antar

kelompok kepentingan yang bersifat laten dan sulit diredam, dan (3) upaya

mencarai cara-cara baru untuk mencapai legitimasi politik. (4) Kegagalan

implementasi kebijakan di tataran lapangan. (5) Ketidakmampuan kelompok-

kelompok, terutama karena pemisahan rezim-rezim kekuasaan untuk

menggunakan arena-arena institusi lainnya untuk menghambat keputusan. (6)

Mobilisasi kelompok kepentingan. (7) Tingginya biaya dan politisasi

regulasi.49

49 Junaidi. 2015. Collaborative Governance Dalam Upaya Menyelesaikan Krisis Listrik di Kota Tanjung Pinang Naskah Publikasi Fisip Umrah. Hal 10

33

Pendapat diatas menyatakan bahwa kolaborasi dikakukan karena

kompleksitas adanya saling ketergantungan dari tiap institusi. Kolaborasi juga

dianggap munucul akibat beragamnya kepentingan antar tiap kelompok sehingga

memunculkan adanya suatu kolaborasi. Sehingga dengan dilakukannya kolaborasi

dapat memobilisasi kelompok-kelompok kepentingan. Kolaborasi dianggap menjadi

solusi untuk buruknya suatu implementasi program atau kegiatan yang dilakukan oleh

satu lembaga saja, karena keterbatasan lembaga tersebut. Selain ini kolaborasi juga

dianggap sebagai solusi untuk mengatasi tingginya biaya dari suatu program atau

kegiatan.

3. Dimensi-Dimensi dalam Collaborattive Governance

Kolaborasi yang efektif diupayakan untuk pencapaian sasaran klien,

meningkatkan hubungan-hubungan antar organisasi dan pengembangan organisasi.

O’Leary, Gazley, McGuire and Bingham dalam Junadi menyebutkan mengenai tiga

dimensi yang berbeda ini merefleksikan jenis-jenis sasaran organisasi yang tidak

sama yang dicari dari kolaborasi antar organisasi sebagai berikut ini:.

“Dimensi pertama, pencapaian sasaran klien menunjuk pada tujuan utama dari

sebagian usaha sektor publik untuk meningkatkan kolaborasi, yaitu

mendapatkan sumber daya yang akan meningkatkan pelayanan. Kedua,

hubungan antar organisasi ditingkatkan untuk menangkap kedua hal yakni

manfaat kolektif dan potensi kolaborasi organisasi. Jika organisasi dalam

kegiatan kolaboratif sama baiknya, hal ini dapat meningkatkan modal social

pada masyarakat yang dilayani. Hubungan yang lebih baik antara organisasi

bekerja untuk meningkatkan kesempatan memecahkan masalah dan membuka

jalan bagi hubungan masa depan yang lebih baik. Dimensi ketiga,

pengembangan organisasi sebagian besar langsung menguntungkan

organisasi. Jika kolaborasi meningkatkan pengembangan organisasi, hal ini

dapat meningkatkan kapasitasnya untuk bersaing secara efektif atas kontrak

34

masa depan dan dapat meningkatkan kemampuannya untuk mencapai misi

dan tujuan.”50

Dalam konteks pengembangan pariwisata, dimensi-dimensi kolaborasi ini

perlu dijadikan acuan dalam pelaksanaan praktik kolaborasi. Dengan adanya

pelaksanaan kolaborasi, maka ada upaya untuk meningkatkan kualitas pelayanan dari

suatu objek pariwisata karena adanya pengembangan dalam aspek sarana dan

prasarana pariwisata yang memang ditujukan untuk kenyamanan para wisatwan atau

pengunjung. Kolaborasi dalam pengembangan pariwisata pun juga dilakukan dalam

upaya menjaga hubungan antar organisasi atau institusi. Karena memang dalam

praktiknya kolaborasi membutuhkan lebih dari satu organisasi atau institusi yang

terlibat. Hubungan antar organisasi dalam kolaborasi dapat pula memcahkan masalah

pengembangan pariwisata yang dimungkinkan tidak mampu diselesaikan oleh satu

organisasi atau instansi semata, akan tetapi dimungkinkan dapat terselesaiakan oleh

peran institusi atau organisasi lain. Pelaksanaan kolaborasi ini pun akan saling

menguntungakan tiap organisasi atau institusi yang terlibat dalam pengembangan

pariwisata. Hal ini lantaran tiap intitusi atau organisasi saling mengembangkan

kapasitasnya dalam daya tarik kepariwisataannya dan mampu mecapai tujuannya

dalam pengembangan pariwisata.

C. Pariwisata

1. Pengertian

Secara etimologi pariwisata terdiri dari dua suku kata yaitu “pari” dan

“wisata” yang mana dapat dijelaskan bahwa pari artinya banyak, berkali-kali, dan

50 Ibid Hal 14

35

wisata dapat diartikan sebagai perjalanan dan berpergian. Atas dasar tersebut

sehingga pariwisata dapat diartikan sebagai perjalanan yang dilakukan secara berkali-

kali dari suatu tempat ke tempat yang lain dalam waktu yang cukup lama51. Musanef

menerangkan bahwa pariwisata merupakan kegiatan berpergian yang bertujuan untuk

rekreasi dan bertamsaya52. Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa parawisata

dapat dimaknai sebagai kegiatan yang sifatnya rekreasi dan bertamasya yang

dilakukan oleh individu atau banyak orang untuk melakukan perjalanan sari satu

tempat ke tempat yang lainnya demi tujuan menikmati keindahan tempat yang

dikunjungi dan bersenang-senang.

Sebagai suatu konsep, pariwisata memiliki beragam pemkanaan atau definisi

yang dinyatakan oleh beberapa ahli sebagai berikut ini:

Meyers (2009) menyatakann bahwa pariwisata adalah aktivitas perjalanan

yang dilakukan oleh sementara waktu dari tempat tinggal semula ke daerah

tujuan dengan alasan bukan untuk menetap atau mencari nafkah melainkan

hanya untuk memenuhi rasa ingin tahu, menghabiskan waktu senggang atau

libur serta tujuan-tujuan lainnya.53Pariwisata dapat diartikan bagai

keseluruhan kegiatan yang berhubungan dengan masuk, tinggal, dan

pergerakan penduduk asing dialam atau di luar suatu negara kota atau wilayah

tertentu54. Definisi luas dikemukakan oleh Herawati, pariwisata merupakan

perjalan di satu tempat ke tempat lain yang bersifat sementara, dilakukan oleh

perorangan atau kelompok, sebagai suatu usaha mencari keseimbangan dan

kebahagiaan dengan lingkungan hidup dalam dimensi sosial, budaya, alam

dan ilmu.55

51 Yoeti, Oka A. 1996. Pengantar Ilmu Pariwisata, Penerbit Angkasa, Bandung. Hal 103 52 Musanef. 1995. Manajemen Pariwisata di Indonesia. Jakarta: PT Gunung Harta. Hal 11 53 Suwantoro, Gamal. 2004. Dasar – Dasar Pariwisata. Jakarta: Penerbit Andi. Hal: 29. 54 Muljadi, A.J. dan Siti Nurhayati. 2002. Pengertian Pariwisata. Kursus Tertulis Pariwisata Tingkat Dasar. Modul I. Badan Pengembangan Kebudayaan dan Pariwisata Pusat Pendidikan dan Pelatihan. Jakarta Hal 80 55 Herawati, Niluh. 2015. Pengembangan Pariwisata Berkelanjutan Berbasis Subak Sebagai Bagian Warisan Budaya Unesco di Desa Mengesta Kabupaten Tanaban. Jurnal Master Pariwisata Vol 02 No 01 Hal 80.

36

Dengan demikian pariwisata dapat dimaknai sebagai suatu perjalanan yag

dilakukan oleh perorangan atau kelompok dengan tujuan hiburan, kesenangan, dan

kebahagiaan. Pariwisata juga dapat pula bersifat pendidikan dan pengenalan terhadap

budaya daerah atau tempat lain. Pariwisata juga bersifat sementara dan tidak

selamanya. Karena memang tujuan dari pariwisita itu sendiri yakni sebagai kegiatan

untuk memperoleh huburan dan kesenangan. Pariwisata juga merupakan upaya

sesorang untuk berhubungan secara langsung dengan alam dan lingkungan hidup baik

itu lingkungan hidup dalam dimensi sosial atau masyrakat, budaya setempat, dan

lingkungan alam.

Selanjutnya dalam aspek kriteria suatu pariwisata Yoeti menyatakan bahwa:

(1)Perjalanan dilakukan dari suatu tempat ke tempat lain. Perjalanan

dilakukan diluar tempat kediaman dimana orang itu itu biasanya tinggal. (2)

Tujuan perjalanan dilakukan semata-mata untuk bersenang-senang tanpa

mencari nafkah di negara, kota, atau daerah tempat wisata yang dikunjungi.

(3) Uang yang dibelanjakan wisatawan tersebut dibawa dari negara asalnya,

dimana dia bisa tinggal untuk berdiam, dan bukan diperoleh karena hasil

usaha selama dalam perjalan wisata yang dilakukan. (4) Perjalanan dilakukan

minimal 24 jam atau lebih.56

Berdasarkan pendapat diatas, Yoeti bahwa suatu kegiatan dapat dinyatakan

sebagai pariwisata didasari oleh beberapa kriteria. Kriteria yang patut menajadi

perhatian yakni bahwa uang yang dimiliki oleh wisatawan merupakan uang saku

yang dibawah dari tempat asal dan bukan diperoleh hasil usaha atau bekerja di tempat

tujuan wisata. Pariwisata juga semata-mata bertujuan untuk senang-senang tanpa

adanya usaha untuk mencari nafkah di tempat tujuan wisata. Selain itu, suatu kegiatan

56 Yoeti, Oka A. 2008. Perencanaan dan Pengembangan Pariwisata. Jakarta: PT Pradaya Pratama. Hal 8

37

perjalan wisata dinyatakan sebagai pariwisata asalkan dilakukan selama minimal 24

jam/sehari atau lebih dari itu.

2. Macam-Macam Objek Wisata

Objek pariwisata atau wisata memiliki beragam jenis atau macamnya.

Musanef menjelasakan bahwa objek dan daya tarik wisata dapat digolongkan

menjadi57:

1) Objek wisata dan daya tarik wisata alam yang terdiri dari:

a) Obyek dan daya Tarik wisata terdapat dikawasan konvensional yaitu,

kawasan hutan atau kawasan pelestarian alam yang dikelola dan dibawah

naungan departemen kehutanan. Objek dan daya Tarik wisata seperti ini

meliputi Taman Nasional, Taan Wisata, Taman Laut, Taman Hutan Raya

dan lain-lainnya.

b) Objek dan daya Tarik wisata yang terdapat dilar kawasan konservasi.

Objek dan daya Tarik Wisata ini dikelola oleh pemerintah Daerah, Perum

Perhutani, Taman Safari, dan Perkebunan Nasional.

2) Objek dan daya Tarik wisata kategori budaya atau sejarah. Objek dan daya Tarik

wisata ini dapat berupa peninggalan sejarah, candi, keratin, monumen, dan

sebagainnya.

3) Objek dan daya Tarik wisata minat khusus. Hal ini yang termasuk di dalmnya

yakni wisata agro,wisata buru, wisata tirta, wisata kesehatan, dan sebagainnya.

Dari pendapat tersebut dapat dikatakan bahwa kekayaan nilayai budaya dan

keindahan alam sejatinya mampu menjadi daya tarik wisata bagi wisatwan lokal

57 Ibid Hal 175

38

maupun manca negara. Wisatawan-wisatawan tersebut berusaha untuk mecari

kesenangan dan bertujuan untuk rekreasi dan objek wisata dat menjadi salah satu obsi

untuk mencapai tujuan yang wisatawan inginkan.

3. Bentuk-bentuk Pariwisata

Parisawata dalam kenyataannya tentu memiliki bentuk-bentuk yang yang

sesuai dengan kategori atau klasifikasinya. Menurut Pendit (1994:37) bentuk-bentuk

pariwisata dikategorikan berdasarkan berikut ini58:

a. Menurut asal wisatawan. pertama-tama yakni perlu diketahui asal wisatawan

tersebut dari luar negeri atau dalam negeri. Kalau berasal dari dalam negeri

berarti sang wisatawan hanya pindah tempat sementara dalam lingkungan

wilayah negerinya sendiri dan selamanya mengadakan peralanan, maka dari itu

disebut pariwisata domestik. Sedangkan apabila berasal dari luar negeri disebut

pariwisata intersional.

b. Menurut akibatnya terhadap neraca pembayaran. Kedatangan wisatawan dari

luar negeri adalah membawa ata uang asing. Pemasukan valuta asing ini berarti

memberi dampak positif tehadaperaca pembayaran luar negeri suatu negara yang

dikunjunginya. Hal ini disebut pariwisata aktif. Sedangkan keperga seseorang

keluar negeri memberikan dampak negative terhadap neracapembayaran luar

negerinya, disebut pariwisata negatif.

c. Menurut jangka waktu kedatangan seorag wisatawan di suatu tempat atau

negara, diperhitungkan pula menurut waktu lamanya tinggal dtempat atau negara

58 Pendit, NS. 1994. Ilmu Pariwisata. Jakarta: PT Pradaya Paramita. Hal 37

39

yang bersangkutan. Hal ini menimbulkan istilah-istilah pariwisata jangka

panjang dan jangka pendek yang man tergantung pada ketentuan-ketentuan yang

diberlakukan suatu negara untuk mengukur pendek atau panjangnya waktu yang

dimaksudkan.

d. Menurut jumah wisawan. Perbedaan ini diperhitungkan atas jumlah wisatawan

yang datang, apakah apakah wisatawan yang datang sifatnya sendian atau dalam

bentuk rombongan. Maka dari itutimullah istilah pariwisata tnggal dan

pariwisata rombongan.

e. Menurut alat angkut yang dipergunakan untuk wisata. Dilihat dari segi

penggunaan yang dipergunakan oleh sang wisatawan, maka kategori wisata

dapat dibagmenjadi pariwisata udara, pariwisata laut, pariwisata kerta api, dan

pariwisata mobil. Tergantung apakah sang wisatawan tiba dengan pesawat udara,

kapal laut, kereta api atau mobil.

Berdasarakan pendapat di atas, bentuk-bentuk pariwisata dikategorikan dalam

5 bentuk. Berdasarkan asal wisatawannya, pariwisata dikategorikan menjadi

pariwisata domestik yang mana wisatawannya berasal dari dalam negeri dan

pariwisata internasional yang mana wisatawannya berasal dari luar negeri. Bentuk

kedua yakni pariwisata postif dan pariwisata negatif. Pariwisata positif ini terjadi

apabila banyak wisatawan dari luar negeri yang berwisata di Indonesia dan

memberikan pemasukan bagi daerah di mana pariwisata tersebut berada. Sedangkan

pariwisata negatif terhadi justru apabila wisatawan dalam negeri berwisata ke luar

negeri dan tentunya mengurangi pemasukan pariwisata dalam negeri.

40

Bentuk pariwisata yang ketiga dikategorikan berdasarkan jangka waktu

kunjungan wisatawan yaitu pariwisata jangka panjang dan jangka pendek. Durasi

kunjungan pariwisata ini tergantung dari peraturan dari tempat pariwisata tersebut.

Selanjutnya, bentuk pariwisata yang keempat yakni pariwisata yang didasarkan pada

jumlah wisatawannya yakni pariwisata tunggal dan pariwisata rombongan. Bentuk

kelima dari pariwisata dikategorikan berdasarkan alat tranportasi yang digunakan

untuk berwisata yang mana terdiri dari pariwisata udara, pariwisata laut, pariwisata

kereta api, dan pariwisata mobil. Bentuk pariwisata ini sangat ditunjang prasana atau

infrastruktur tranportasi menuju lokasi pariwisata terkait.

4. Peranan Pariwisata dalam Pembangunan

Sektor pariwsata apabila dikelola dengan baik dapat menjadi aspek yang

menunjang pembangunan di suatu wilayah atau daerah. Wahab (2003:77)

berpendapat bahwa:

“wisatawan yang tiba disuatu negara baik secara individu atau kelompok tentu

akan membelanjakan uangnya selama berada di sana untuk membayar jasa-

jasa atau barang wisata. Seluruh jumlah uang yang dibelanjakan ini akan

merupakan jumlah penerimaan dari sektor wisata dan menjadi pola konsumsi

di negara tersebut. semakin bertambah konsumsi wisatawan, semakin banyak

pula jasa-jasa wisata, hal ini tidak dapat dipungkiri bahwa pariwisata dapat

menjadi sumber pendapatan”.59

Menurut pendapat tersebut, pariwisata dalam konteks seperti sekarang ini

sangatlah menjanjikan dalam aspek ekonomi. Hal ini patut disadari bahwa pariwisata

dapat mendatangkan manfaat dan keuntungan bagi negara, daerah, atau wilayah di

mana wisata tersebut berada. Oleh karena itu, potensi pariwisata di suatu negara atau

59 Wahab, Salah. 1997. Pemasaran Pariwisata. Jakarta: Pradnya Paramita. Hal 77

41

daerah haruslah dikembangkan secara optimal. Agar manfaat ekonomis dari

pariwisata tersebut dapat dicapai.

Selain itu, untuk meningkatkan sektor pariwisata diperlukan udaha yang nyata

dari pemerintah untuk meningkatkan aspek lain yang menunjang pengembangan

pariwisata. Yoeti mengungkapkan empat hal yang harus dipenuhi, yakni sebagai

berikut60:

a. Transportation

Yang melayani angkutan para wisatawan dari satu tempat ke tempat lain,

dari daerah tujuan wisata ke daerah tujuan wisata wisata yang lain yang

berjarak cukup jauh.

b. Accomodation

Yang melani wisatawan untuk kebutuhan akomodasi bagi wisatwan

seperti: hotel, motel, cottage, villa, atau apartemen.

c. Restaurants

Yaitu melayani wisatawan dalam kebutuhan dalam kebutuhan makan

minum selama di daerah kunjungan wisata.

d. Shopping Center

Yang dimaksud adalah kelompok toko cenderamata, toko barang kesenian

dan lukisan.

Berdasarkan uraian di atas, dapat dikatakan bahwa sektor pariwisata memiliki

peranan yang sangat penting dalam pembangunan daerah. Hal tersebut dikarena dari

sektor pariwasata mampu pula membuka dan menigkatkan lapangan kerja,

menambah pendapatan masyarakat, meningkatkan pembangunan infrastruktur daerah,

dan meingkatkan pendapatan asli daerah tersebut. Sehingga terjadilah pembangunan

daerah yang berbasis pengembangan pariwisata.

D. Pengembangan Pariwisata

Alasan utama dilakukannya pengembangan pariwisata di suatu daerah baik itu

secara lingkup lingkup lokal, regional, nasional, dan internasional yakni karena

60 Ibid Yoeti. 2008 Hal 24.

42

adanya upaya untuk pembangunan perekonomian daerah tersebut. pengembangan

pariwisata sangatlah potensial bagi kebermanfaatn masyarakat sekitar. Menurut

Kementrian Kebudayaan dan Pariwisata (2002:29) strategi pengembangan pariwisata

yakni terdiri sebagai berikut ini61:

1. Strategi Pengembangan Produk wisata.

Menunjukkan langkah-langkah yang harus dilakukan untuk pembangunan obyek

dan daya tarik wisata, pengembangan sarana akomodasi pengembangan

aksesibilitas atau angkutan wisata, usaha makan minum dan lain-lain.

2. Strategi Pengembangan Pasar dan Promosi

a. Strategi pengembangan pasar dalam strategi ini orientasi pasar yang akan

diperloleh dan langkah-langkah yang ada perlu dilakukan untuk menarik pasar

tersebut dengan mempertimbangkan jenis dan potensi obyek, daya tarik

potensial

yang ada dan jenis atau bentuk pariwisata yang dikembangkan.

b. Strategi promosi, langkah-langkah yang perlu dilakukan daerah dalam

mempromosikan daerahnya. Strategi ini dilakukan dengan

memeprtimbangkan

sasaran dan target wisata yang akan dicapai.

3. Strategi pemanfaatan ruang

a. Strategi pengembangan ruang pariwisata pada lingkup kabupaten/kota

memberikan gambaran dan indikasi lokasi-lokasi prioritas pengembangan,

61 Amajida, Dini Lali. 2015. Strategi Perum Perhutani KPH Malang da;am Mengembangankan Objek Wisata Coban Talun Kota Batu. Diakses dari http://jurnalmahasiswaunesa.ac.id pada 27 Maret 2017

43

berdasarkan analisis terhadap potensi dan daya tarik wisata yang ada di

wilayah tersebut, meliputi: penetapan pusat-pusat pengembangan, penetapan

kawasan prioritas pengembangan, penetapan jalur wisata, dan lain-lain.

4. Strategi Pengembangan Sumber Daya Manusia

Yang dimaksud dengan sumber daya masnusia pariwisata potensial menurut

konsep nasional adalah sumberdaya manusia pariwisata sebagai aset daerah yang

mempunyai standar kemampuan menurut kompentensi keahlian yang diakui dan

diterima oleh masyarakat pariwisata serta dilandasi oleh dedikasi kebangsaan yang

tinggi sehingga memiliki niali kompetitif dan kemampuan untuk berkiprah disekolah

nasional maupun internasional. Pengembangan sumberdaya manusia dibidang

pariwisata sangat diperlukan supaya daerah yang akan mengembangkan pariwisata

daerahnya dapat menyediakan sendiri kebutuhan akan tenaga-tenaga pariwisata yang

terlatih, sehingga dapat menyerap tenaga lokal dan meningkatkan apresisasi dan

pengertian terhadap pariwisata sehingga dapat memberikan pelayanan sesuai standar.

1. Strategi pengembangan sumber daya manusia antara lain:

a. Penyiapan tenaga terampil dibidang perhotelan, restoran, biro perjalanan

atau travel dan pemandu wisata.

b. Peningkatan kemampuan teknis di bidang manajemen kepariwisataan.

c. Peningkatan kemampuan di bidang pemasaran dan promosi pariwisata

daerah.

44

1. Dasar dan Tujuan Pengembangan Pariwisata

Penyelenggaraan pengembangan pariwisata dilaksanakan dengan tetap

mengacu pada upaya untuk memelihara kelestarian lingkungan dan mendorong

peningkatan kualitas lingkungan hidup serta daya tarik dari wisata itu sendiri.

Berdasar pada Undang-undang No 9 tahun 1990 tentang kepariwisataan, dikatakan

bahwa yang dapat dijadikan onjek dan daya tarik berupa keadaan alam, flora, dan

fauna hasil karya manusia, serta peninggalan sejarah dan budaya yang merupakan

model bagi perkembangan dan peningkatan kepariwisataan di Indonesia.62 Model ini

tentunya harus terus dimanfaatnkan dengan optimal agar pengembangan pariwisata

yang dilakukan memberikan dampak kesejahteraan bagi masyarakat.

Selain itu, Mulyadi63 menambahkan untuk mewujudkan pengembangan

pariwisata harus memperhatikan beberapa hal berikut ini:

1. Kemampuan untuk mendorong dan meningkatkan perkembangan kehidupan

ekonomi dan sosial budaya.

2. Nilai-nilai agama. Adat istiadat, serta pandangan dan nilai-nilai yang hidup dalam

masyarkat.

3. Kelestarian budaya dan mutu lingkungan hidup.

4. Kelanjutan dari usaha pariwisata itu sendiri.

Penyelenggaraan pengembangan kepariwisataan di Indonesia dimaksudkan

agar daya tarik pariwisata yang sedimikian banyak disuatu tempat atau daerah dapat

dikenal oleh masyarakat luas, baik itu masyarakat lokal, nasional, maupun

62 Mulyadi, A.J. 2009. Kepariwisataan dan Perjalanan. Jakarta: Raja Grafindo. Hal 31 63

45

internasional. Pengembangan pariwisata pun sangat berhubungan dengan aspek sosial

menyangkut kegiatan perekonomian masyarakat, sehinga dengan dilakukan

pengembangan pariwisata maka ada upaya peningkatanekonomi masyarakat.

Selain itu, tujuan pengembangan pariwisata sendiri apabila mengacu pada

pasal 4 Undang-undang No 10 Tahun 2009 tentang kepariwisataan menyebutkan

bahwa:

a. Meningkatkan pertumbuhan ekonomi.

b. Meningkatkan kesejahteraan masyarakat.

c. Menghapus kemiskinan.

d. Mengatasi pengangguran.

e. Melestarikan alam, lingkungan, dan sumber daya

f. Memajukan kebudayaan

g. Mengangkat citra bangsa

h. Memupuk rasa cinta tanah air

i. Memperkukuh jati diri dan kesatuan bangsa

j. Mempererat persahabatan bangsa.