BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Governanceeprints.umm.ac.id/59644/3/BAB II FINIS.pdf · elemen sebuah...
Transcript of BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Governanceeprints.umm.ac.id/59644/3/BAB II FINIS.pdf · elemen sebuah...
21
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Governance
Konsep governance berangkat dari istilah government.Government atau
pemerintah merupakan istilah yang digunakan pada organisasi atau lembaga
yang menyelenggarakan kekuasaan pemerintah pada suatu negara.Konsep
government ini dapat diartikan sebagai konsep lama dalam penyelenggaraan
pemerintahan karaena hanya menekankan pada pemerintah (lembaga/institusi
pemerintah) sebagai pengatur dan pelaksana tunggal penyelenggaraan
pemerintah. Oleh karena itu konsep governance yang menggantikan konsep
government dalam aspek maupun kajian pemerintahan.
Selanjutnya governance berasal dari kat “govern” dengan definisi yakni
mengambil peran yang lebih besar, yang terdiri dari semua proses, aturan dan
lembaga yang memungkinkan pengelolaan dan pengendalian masalah-masalah
kolektif masyarakat. Dengan demikian secara luas, governance termasuk
totalitas dari semua lembaga dan unsur masyarakat, baik pemerintah maupun
non-pemerintah.1 Untuk lebih jelasnya dalam memahami pergeseran makna
antara government dan governance, Leach dan Percy Smith dalam Hetifah
mengungkapkan perbedaan terkait dua konsep tersebut sbahwa goverment
mengandung pengertian politisi dan pemerintah yang mengatur,
1 Dwiyanto, Agus. 2015. Manajemen Pelayanan Publik: Peduli, Inklusif dan
Kolaboratif. Yogyakarta: UGM Press. Hal 1.
22
melakukan sesuatu, memberikan pelayanan dan sementara sisa dari
elemen sebuah negara itu bersifat pasif. Sementara governance meleburkan
makna tersebut, dengan merenggangkan kekakuan antara pemerintah dan yang
diperintah (bagian negara yang pasif), sehingga bagian yang pasif tersebut
memiliki peranan dan andil dari bagian government.2
Berdasarkan pembedaan antara konsep government dan governance
diatas, dapat dinyatakan bahwa konsep government secara makna atau
pengertian lebih mengacu atau mengarah kepada politisi atau lembaga
pemerintah. Government mengarah kepada lembaga pemerintah atau birokrasi
itu sendiri yang bertugas memberikan pelayan kepada masyarakat.Selain itu,
pada government masyarakat hanya bersikap pasif atau hanya semata-mata
sebagai pihak yang menerima pelayanan begitu saja.
Berbeda dengan government, governance disebutkan lebih lunak, dalam
artian tidak hanya lembaga pemerintahan/birokrasi yang mememiliki peran
dalam penyelenggaraan pemerintahan, akan tetapi juga memberikan ruang dan
andil dari masyarakat dan pihak lain non-pemerintah. Sebagai suatu konsep,
governance memiliki beragam pemaknaan yang diungkapkan oleh Dwiyanto
menekankan mengenai konsep governance adalah keterlibatan aktor-aktor di luar
pemerintah yang merespon masalah public.
Praktik governance ini, bertujuan dalam rangka menyediakan pelayanan
publik dengan melibatkan aktor dari unsur masyarakat dan mekanisme
2Hetifah Sj. 2009.Inovasi, Partisipasi dan Good Governance.Jakarta : Yayasan Obor
Indonesia. Hal 2.
23
pasar.3Menurut Chema dalam Keban, governance merupakan suatu sistem nilai,
kebijakan, dan kelembagaan dimana urusan-urusan ekonomi, sosial, politik
dikelola melalui interaksi masyarakat, pemerintah, dan sektor swasta.4 Pendapat
lebih signifikan dikemukan oleh Teguh Kurniawan yang menerangkan bahwa
konsep governance merupakan sebuah proses kebijakan yang dilaksanakan
dengan melibatkan pemerintah, sektor private (swasta) maupun masyarakat.5
Mengacu pada beberapa pendapat-pendapat diatas menunjukkan bahwa
governance merupakan model kepemerintahan yang sangat dinamis. Dengan
kata lain, governance membuka ruang untuk keterlibatan atau partisipasi sektor
lain dalam kepemerintahan. Pemerintah bukanlah aktor yang tunggal atau
dominan dalam kepemerintahan.Selain itu, pendapat tersebut menjelaskan bahwa
terjadi pengurangan terhadap otoritas pemerintah terkait dengan urusan
publik.Pemaknaan tesebut dapat ditinjau dari suaru kondisi yang terjadi ketika
pemerintah dalam penyelenggaraan urusan-urusan publik mengalami
permasalahan di luar kemampuannya, sehingga dalam penangan permasalahan
tersebut perlu melibatkan pihak lain yang memiliki kapasitas atau kemampuan
lebih dan tentunya dapat membantu pemerintah.
3 Dwiyanto, Agus. 2008. Mewujudkan Good Governance Melalui Pelayanan Publik.
Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. Hal. 22 4 Keban, Jeremias T. 2008. Enam Dimensi Strategis Administrasi Publik : Konsep, Teori
dan Isu. Yogyakarta : Penerbit Gava Media. Hal 38 5 Kurniawan, Teguh. 2007. Pergeseran, Paradigma Administrasi Publik; Dari Perilaku
Model Klasik Dan NPM Ke Good Governance. Jurnal Ilmu Administrasi Negara. No.
23A/Dikti/KEP/2004.ISSN. 141-948X, Vol. 7. Hal. 16-17
24
kondisi tersebut terjadi karena dipengaruhi oleh keterbatasan kapabilitas
pemerintah dalam hal sumberdaya dan finansial. Rosidi dan Fajriani memetakan
bahwa terdapat 3 aktor yang berpengaruh dalam proses governance.6Tiga aktor
tersebut yakni pemerintah, swasta, dan masyarakat.ketiga aktor tersebut saling
berkolaborasi dalam proses penyelenggaraan pemerintahan. Pemerintah tidak
lagi menjadi aktor tunggal yang memonopoli penyelenggaraan
pemerintah.melainkan memerlukan aktor lain karena karena keterbatasan
kemampuan pemerintah.
Swasta dengan dukungan finansialnya harus mampu membantu
pemerintah dalam penyelenggaraan pemerintahan.Swasta dalam hal ini tidak
diperbolehkan untuk mengurusi kepentingannya sendiri yakni hanya semata-
mata mencari keuntungan pribadi Selain itu, masyarakat juga harus berperan
aktif.Masyarakat dan diberikan ruang. Akan percuma apabila sebenarnya
masyarakat memiliki niatan yang kuat untuk terlibat dalam penyelenggaraan
pemerintahan, akan tetapi tidak diberikan ruang. Keterlibatan masyarakat ini
mampu membuat masyarakat yang mandiri dan meningkatkan kualitas
masyarakat ke depannya.
B. Collaborative Governance
1. Definisi dan Konsep Collaborative Governance
Salah satu tipe dari konsep penyelenggaraan pemerintahan atau
governance yakni disebut konsep collaborative governance atau
6Abiradin Rosidi dkk. 2013. Reinventing Local Goverment, Demokrasi dan Reformasi
Pelayanan Publik. Yogyakarta: Cv. Andi Offset. Hal. 10
25
penyelenggaraan pemerintahan yang kolaboratif. Menurut pendapat Ansell
dan Grash “Collaborative governance is therefore a type of governance in
which public and private actor work collectively in distinctive way, using
particular processes, to establish laws and rules for theprovision of public
goods”.7Collaborative Governance dapat dikatakan sebagai salah satu dari
tipe governance. Konsep ini menyatakan akan pentingnya suatu kondisi
dimana aktor publik dan aktor privat (bisnis) bekerja sama dengan cara dan
proses terentu yang nantinya akan menghasilkan produk hukum, aturan, dan
kebijakan yang tepat untuk publik atau,masyarakat.
Konsep ini menunujukkan bahwa dalam penyelenggaraan
pemerintahan.Aktor publik yaitu pemerintah dan aktor privat yaitu organisasi
bisnis atau perusahaan bukanlah suatau yang terpisah dan bekerja secara
sendiri-sendiri melainkan bekerja bersama demi kepentingan
masyarakat.Kolaborasi dipahami sebagai kerjasama antar aktor, antar
organisasi atau antar institusi dalam rangka pencapain tujuan yang tidak bisa
dicapai atau dilakukan secara independent. Dalam bahasa Indonesia, istilah
kerjasama dan kolaborasi masih digunakan secara bergantian dan belum ada
upaya untuk menunjukkan perbedaan dan kedalaman makna dari istilah
tersebut.Secara definisi, para ahli mendefinisikan collaborative governance
dalam beberpa makna yang ide utamanya sama,
7Ansell, Chriss dan Alison Gash.2 007.Collaborative Govetnance in Theory and
Practice.Journal of Public Administration Administration Research and Theory. Hal 545
26
yakni adanya kolaborasi antara sektor publik dan non publik atau
privat dalam penyelenggaraan pemerintahan atau governance. Ansell dan
Gash mendefinisikan collaborative governance sebagai berikut ini:
A Governing arrangement where one or more public agencies directly
engage non-state stakeholders in a collective decision-making process tahat
is formal, consensud oriented, and deliberative and that aims to make or
implement public policy or manage public program or assets.
Collaborative governance adalah serangkaianpengaturan dimana satu
atau lebih lembaga publik yang melibatkan secara langsung stakeholder non-
state di dalam proses pembuatan kebijakan yang bersifat formal, berorientasi
consensus dan deliberative yang bertujuan untuk membuat atau
mengimplementasikan kebijakan publik atau mengatur program atau aset.)8
Disamping pendapat tersebut, pendapat lain mengenai collaborative
governance dikemukakan Agranoff dan McGuire yang menyatakan sebagai
berikut:
In Particular, collaborative governance has put much emphasis on voluntary
collaboration and horizontal relationships among multi sectoral
participants, since demands from clents often transcend the capacity and
role of a single public organization, and require interaction among a wide
range organization that are linked and engage in public activities.
Collaboration is necessary to enable governance to be structured so as to
effectively meet the increasing demand that arises from managing across
governmental, organizational, and sectoral boundaries.
Secara khusus, collaborative gvernance telah menempatkan banyak
penekanan pada kolaborasi horisontal sukarela dan hubungan horizontal
anatara partisipan multi sektoral, karena tuntutan dari klien sering melampaui
kapasitas dan peran organisasi publik tunggal, dan membutuhkan interaksi di
8Ibid., Ansell, Chriss dan Alison Gash. Hal 544
27
antara berbagai organisasi yang terkait dan terlibat dalam kegiatan publik.
kolaborasi diperlukan untuk memungkinkan governance menjadi terstruktur
sehingga efektif memenuhi meningkatnya permintaan yang timbul dari
pengelolaan lintas pemerintah, organisasi, dan batas sektoral).9
Berdasarkan pada pendefinisian oleh dua ahli tersebut, sebenarnya
telah mendefinisakan collaborative governance dalam gagasan yang sama.
Akan tetapi pada penjelasan Ansell dan Gash dapat dlihat bahwa aspek
kolaborasi penyelenggaraan pemerintah lebih pada aspek perumusan dan
impletasi kebijakan publik atau program dari lembaga publik, dalam hal ini
yakni pemerintah.Selain itu, dalam praktiknya kolaboasi penyelenggaraan
pemerintah haruslah menjunjung tinggi nilai deliberatif atau musyawarah dan
konsensus antar tiap aktor atau stakeholder ya terlbat dalam kolaborasi
tersebut.Sedangkan pada gagasan Agranoff dan McGuire menunjukkan
bahwa collaborative governance atau kolaborasi penyeggaran pemerintahan
dalam lingkup yang lebih general yakni penyelenggraan pemerintahan secara
keseluruhan.
Collaborative governance dalam hal ini lebih menitik beratkan pada
aspek sukarela dalam praktik kolaborasi.Aspek kesukarelaan tersebut
diharapkan setiap aktor yang terlibat dalam kolaborasi bekerja secara optimal
untuk tercapainya tujuan dalam kolaborasi. Sehingga program atau kebijakan
9 Chang, Hyun Joo. 2009. Collaborative Governance In Welfare Service Delivery :
Focusing On Local Welfare in Korea.Internasional Review of Publik Administration Vol. Hal
76-77
28
yang yang dilaksanakan akan terksana lebih efektif karna melibatkan relasi
oganisasi atau institusi.
2. Alasan Melaksanakan Collaborative Governance
Kolaborasi dalam penyelenggaraan pemerintahan merupakan suatu hal
yang dibutuhkan dalam praktik pemerintahan sekarang ini.Ada berbagai
alasan yang melatarbelakangi adanya kolaborasi tiap lembaga atau
institusi.Hal ini dapat dilihat dari beberapa pendapat bahwaCollaborative
governance tidak muncul secara tiba-tiba karena hal tersebut ada disebabkan
oleh inisiatif dari berbagai pihak yang mendorong untuk dilakukannya
kerjasama dan koordinasi dalam menyelesaikan masalah yang sedang
dihadapi oleh public.10
Collaborative Governance atau kolaborasi penyelenggaraan
pemerintahan muncul sebagai respon atas kegagalan implementasi dan
tingginya biaya dan adanya politisasi terhadap regulasi.11Lebih positif lagi
bahwa orang mungkin berpendapat bahwa kecenderungan ke arah kolaborasi
muncul dari perkembangan ilmu pengetahuan dan kapasitas institusi atau
lembaga.12
Pendapat di atas menyatakan bahwa collaborative governance
muncul tidak begitu saja melainkan dilatarbelakangi berbagai
aspek.munculnyacollaborativegovernance dapat dilihat dari aspek kebutuhan
10Junaidi. 2015. Collaborative Governance dalam Upaya Menyelesaikan Krisis Listrik
di Kota Tanjungpinang. Naskah Publikasi Fisip Umrah. Hal 8 11Ibid Ansell, Chriss dan Alison Gash. Hal 544 12Ibid.
29
dari institusi untuk melakukan kerjasama antarlembaga, karena keterbatasan
kemampuan tiap lembaga untuk melakukan program/kegiatannya sendiri.
Selain itu, kolaborasi juga muncul lantaran keterbatasan dana anggaran dari
suatu lembaga, sehingga dengan adanya kolaborasi anggaran tidak hanya
berasal dari satu lembaga saja, tetapi lembaga lain yang terlibat dalam
kolaborasi.
Kolaborasi pun juga bisa dikatakan sebagai aspek perkembangan dari
ilmu pemerintahan, terutama dengan munculnya konsep governance yang
menekankan keterlibatan beberapa aktor seperti pemerintah, swasta, dan
masyarakat dalam penyelenggaraan pemerintah.Kolaborasi juga dapat
sebagai alternatif dalam mengembangkan keterlibatan kelompok kepentingan
dan adanya kegagalan dalam manajerialisme salah satu institusi atau
organisasi. Kompleksitas yang muncul pada peekembangannya berakibat
pada kondisi saling ketergantungan antar institusi dan berakibat pada
meningkatnya permintaan akan kolaborasi. Selanjutnya penjelasan lainnya
yang lebih spesifik dikemukan oleh Ansell dan Grash dalam Sudarmo bahwa
collaborative governance muncul secara adaptif atau dengan sengaja
diciptakan secara sadar karena alasan-alasan dan pentingnya konsep ini
dilakukan sebagai berikut ini:
a. kompleksitas dan saling ketergantungan antar institusi
b. konflik antar kelompok kepentingan yang bersifat laten dan sulit diredam
c. upaya mencarai cara-cara baru untuk mencapai legitimasi politik.
d. Kegagalan implementasi kebijakan di tataran lapangan.
30
e. Ketidakmampuan kelompok-kelompok, terutama karena pemisahan
rezim-rezim kekuasaan untuk menggunakan arena-arena institusi lainnya
untuk menghambat keputusan.
f. Mobilisasi kelompok kepentingan.
g. Tingginya biaya dan politisasi regulasi.13
Pendapat diatas menyatakan bahwa kolaborasi dikakukan karena
kompleksitas adanya saling ketergantungan dari tiap institusi.Kolaborasi juga
dianggap munucul akibat beragamnya kepentingan antar tiap kelompok
sehingga memunculkan adanya suatu kolaborasi.Sehingga dengan
dilakukannya kolaborasi dapat memobilisasi kelompok-kelompok
kepentingan.Kolaborasi dianggap menjadi solusi untuk buruknya suatu
implementasi program atau kegiatan yang dilakukan oleh satu lembaga saja,
karena keterbatasan lembaga tersebut.Selain ini kolaborasi juga dianggap
sebagai solusi untuk mengatasi tingginya biaya dari suatu program atau
kegiatan.
3. Dimensi-Dimensi dalam Collaborattive Governance
Kolaborasi yang efektif diupayakan untuk pencapaian sasaran klien,
meningkatkan hubungan-hubungan antar organisasi dan pengembangan
organisasi. O’Leary, Gazley, McGuire and Bingham dalam Junadi
menyebutkan mengenai tiga dimensi yang berbeda ini merefleksikan jenis-
13Junaidi. 2015. Collaborative Governance Dalam Upaya Menyelesaikan Krisis Listrik
di Kota Tanjung Pinang Naskah Publikasi Fisip Umrah. Hal 10
31
jenis sasaran organisasi yang tidak sama yang dicari dari kolaborasi antar
organisasi sebagai berikut ini:.
“Dimensi pertama, pencapaian sasaran klien menunjuk pada tujuan
utama dari sebagian usaha sektor publik untuk meningkatkan kolaborasi,
yaitu mendapatkan sumber daya yang akan meningkatkan pelayanan.Kedua,
hubungan antar organisasi ditingkatkan untuk menangkap kedua hal yakni
manfaat kolektif dan potensi kolaborasi organisasi. Jika organisasi dalam
kegiatan kolaboratif sama baiknya, hal ini dapat meningkatkan modal social
pada masyarakat yang dilayani. Hubungan yang lebih baik antara organisasi
bekerja untuk meningkatkan kesempatan memecahkan masalah dan
membuka jalan bagi hubungan masa depan yang lebih baik. Dimensi ketiga,
pengembangan organisasi sebagian besar langsung menguntungkan
organisasi. Jika kolaborasi meningkatkan pengembangan organisasi, hal ini
dapat meningkatkan kapasitasnya untuk bersaing secara efektif atas kontrak
masa depan dan dapat meningkatkan kemampuannya untuk mencapai misi
dan tujuan.”14
Dalam konteks pengembangan pariwisata, dimensi-dimensi
kolaborasi ini perlu dijadikan acuan dalam pelaksanaan praktik
kolaborasi.Dengan adanya pelaksanaan kolaborasi, maka ada upaya untuk
meningkatkan kualitas pelayanan dari suatu objek pariwisata karena adanya
pengembangan dalam aspek sarana dan prasarana pariwisata yang memang
ditujukan untuk kenyamanan para wisatwan atau pengunjung.Kolaborasi
14Ibid Hal 14
32
dalam pengembangan pariwisata pun juga dilakukan dalam upaya menjaga
hubungan antar organisasi atau institusi.Karena memang dalam praktiknya
kolaborasi membutuhkan lebih dari satu organisasi atau institusi yang
terlibat. Hubungan antar organisasi dalam kolaborasi dapat pula memcahkan
masalah pengembangan pariwisata yang dimungkinkan tidak mampu
diselesaikan oleh satu organisasi atau instansi semata, akan tetapi
dimungkinkan dapat terselesaiakan oleh peran institusi atau organisasi lain.
Pelaksanaan kolaborasi ini pun akan saling menguntungakan tiap organisasi
atau institusi yang terlibat dalam pengembangan pariwisata. Hal ini lantaran
tiap intitusi atau organisasi saling mengembangkan kapasitasnya dalam daya
tarik kepariwisataannya dan mampu mecapai tujuannya dalam
pengembangan pariwisata.
C. Pariwisata
1. Pengertian
Secara etimologi pariwisata terdiri dari dua suku kata yaitu “pari” dan
“wisata” yang mana dapat dijelaskan bahwa pari artinya banyak, berkali-kali,
dan wisata dapat diartikan sebagai perjalanan dan berpergian. Atas dasar
tersebut sehingga pariwisata dapat diartikan sebagai perjalanan yang
dilakukan secara berkali-kali dari suatu tempat ke tempat yang lain dalam
waktu yang cukup lama.15
15 Yoeti, Oka A. 1996. Pengantar Ilmu Pariwisata, Penerbit Angkasa, Bandung. Hal
103
33
Musanef menerangkan bahwa pariwisata merupakan kegiatan
berpergian yang bertujuan untuk rekreasi dan bertamsaya.16Oleh karena itu,
dapat disimpulkan bahwa parawisata dapat dimaknai sebagai kegiatan yang
sifatnya rekreasi dan bertamasya yang dilakukan oleh individu atau banyak
orang untuk melakukan perjalanan sari satu tempat ke tempat yang lainnya
demi tujuan menikmati keindahan tempat yang dikunjungi dan bersenang-
senang.
Sebagai suatu konsep, pariwisata memiliki beragam pemkanaan atau
definisi yang dinyatakan oleh beberapa ahli yaitu pendapat Meyers (2009)
menyatakann bahwa pariwisata adalah aktivitas perjalanan yang dilakukan
oleh sementara waktu dari tempat tinggal semula ke daerah tujuan dengan
alasan bukan untuk menetap atau mencari nafkah melainkan hanya untuk
memenuhi rasa ingin tahu, menghabiskan waktu senggang atau libur serta
tujuan-tujuan lainnya.17
Pariwisata dapat diartikan bagai keseluruhan kegiatan yang
berhubungan dengan masuk, tinggal, dan pergerakan penduduk asing dialam
atau di luar suatu negara kota atau wilayah tertentu.18 Definisi luas
dikemukakan oleh Herawati, pariwisata merupakan perjalan di satu tempat
ke tempat lain yang bersifat sementara, dilakukan oleh perorangan atau
16Musanef. 1995. Manajemen Pariwisata di Indonesia. Jakarta: PT Gunung Harta. Hal
11 17Suwantoro, Gamal. 2004. Dasar – Dasar Pariwisata. Jakarta: Penerbit Andi. Hal: 29. 18Muljadi, A.J. dan Siti Nurhayati. 2002. Pengertian Pariwisata. Kursus Tertulis
Pariwisata Tingkat Dasar. Modul I. Badan Pengembangan Kebudayaan dan Pariwisata Pusat
Pendidikan dan Pelatihan. Jakarta Hal 80
34
kelompok, sebagai suatu usaha mencari keseimbangan dan kebahagiaan
dengan lingkungan hidup dalam dimensi sosial, budaya, alam dan ilmu.19
Dengan demikian pariwisata dapat dimaknai sebagai suatu perjalanan
yag dilakukan oleh perorangan atau kelompok dengan tujuan hiburan,
kesenangan, dan kebahagiaan. Pariwisata juga dapat pula bersifat pendidikan
dan pengenalan terhadap budaya daerah atau tempat lain. Pariwisata juga
bersifat sementara dan tidak selamanya.Karena memang tujuan dari
pariwisita itu sendiri yakni sebagai kegiatan untuk memperoleh huburan dan
kesenangan.Pariwisata juga merupakan upaya sesorang untuk berhubungan
secara langsung dengan alam dan lingkungan hidup baik itu lingkungan
hidup dalam dimensi sosial atau masyrakat, budaya setempat, dan
lingkungan alam. Selanjutnya dalam aspek kriteria suatu pariwisata Yoeti
menyatakan bahwa:
a. Perjalanan dilakukan dari suatu tempat ke tempat lain. Perjalanan
dilakukan diluar tempat kediaman dimana orang itu itu biasanya tinggal.
b. Tujuan perjalanan dilakukan semata-mata untuk bersenang-senang tanpa
mencari nafkah di negara, kota, atau daerah tempat wisata yang
dikunjungi.
c. Uang yang dibelanjakan wisatawan tersebut dibawa dari negara asalnya,
dimana dia bisa tinggal untuk berdiam, dan bukan diperoleh karena hasil
19 Herawati, Niluh. 2015. Pengembangan Pariwisata Berkelanjutan Berbasis Subak
Sebagai Bagian Warisan Budaya Unesco di Desa Mengesta Kabupaten Tanaban. Jurnal Master
Pariwisata Vol 02 No 01 Hal 80.
35
usaha selama dalam perjalan wisata yang dilakukan. (4) Perjalanan
dilakukan minimal 24 jam atau lebih.20
Berdasarkan pendapat diatas, Yoeti bahwa suatu kegiatan dapat
dinyatakan sebagai pariwisata didasari oleh beberapa kriteria.Kriteria yang
patut menajadi perhatian yakni bahwa uang yang dimiliki oleh wisatawan
merupakan uang saku yang dibawah dari tempat asal dan bukan diperoleh
hasil usaha atau bekerja di tempat tujuan wisata.Pariwisata juga semata-mata
bertujuan untuk senang-senang tanpa adanya usaha untuk mencari nafkah di
tempat tujuan wisata.Selain itu, suatu kegiatan perjalan wisata dinyatakan
sebagai pariwisata asalkan dilakukan selama minimal 24 jam/sehari atau
lebih dari itu.
2. Macam-Macam Objek Wisata
Objek pariwisata atau wisata memiliki beragam jenis atau
macamnya.Musanef menjelasakan bahwa objek dan daya tarik wisata dapat
digolongkan menjadi.21Objek wisata dan daya tarik wisata alam yang terdiri
dari:
a. Obyek dan daya Tarik wisata terdapat dikawasan konvensional yaitu,
kawasan hutan atau kawasan pelestarian alam yang dikelola dan dibawah
naungan departemen kehutanan. Objek dan daya Tarik wisata seperti ini
meliputi Taman Nasional, Taan Wisata, Taman Laut, Taman Hutan Raya
dan lain-lainnya.
20 Yoeti, Oka A. 2008. Perencanaan dan Pengembangan Pariwisata.Jakarta: PT Pradaya
Pratama. Hal 8 21 Ibid Hal 175
36
b. Objek dan daya Tarik wisata yang terdapat dilar kawasan konservasi.
Objek dan daya Tarik Wisata ini dikelola oleh pemerintah Daerah, Perum
Perhutani, Taman Safari, dan Perkebunan Nasional
c. Objek dan daya Tarik wisata kategori budaya atau sejarah. Objek dan
daya Tarik wisata ini dapat berupa peninggalan sejarah, candi, keratin,
monumen, dan sebagainnya.
d. Objek dan daya Tarik wisata minat khusus. Hal ini yang termasuk di
dalmnya yakni wisata agro,wisata buru, wisata tirta, wisata kesehatan,
dan sebagainnya.
Dari pendapat tersebut dapat dikatakan bahwa kekayaan nilayai
budaya dan keindahan alam sejatinya mampu menjadi daya tarik wisata bagi
wisatawan lokal maupun manca negara.Wisatawan-wisatawan tersebut
berusaha untuk mecari kesenangan dan bertujuan untuk rekreasi dan objek
wisata dan menjadi salah satu pililhan untuk mencapai tujuan yang
wisatawan inginkan.
3. Bentuk-bentuk Pariwisata
Parisawata dalam kenyataannya tentu memiliki bentuk-bentuk yang yang
sesuai dengan kategori atau klasifikasinya.Menurut Pendit (1994:37) bentuk-
bentuk pariwisata dikategorikan berdasarkan22 asal wisatawannya, pariwisata
dikategorikan menjadi pariwisata domestik yang mana wisatawannya berasal
22 Pendit, NS. 1994. Ilmu Pariwisata. Jakarta: PT Pradaya Paramita. Hal 37
37
dari dalam negeri dan pariwisata internasional yang mana wisatawannya
berasal dari luar negeri.
Bentuk kedua yakni pariwisata postif dan pariwisata negatif.Pariwisata
positif ini terjadi apabila banyak wisatawan dari luar negeri yang berwisata
di Indonesia dan memberikan pemasukan bagi daerah di mana pariwisata
tersebut berada.Sedangkan pariwisata negatif terhadi justru apabila
wisatawan dalam negeri berwisata ke luar negeri dan tentunya mengurangi
pemasukan pariwisata dalam negeri.
Bentuk pariwisata yang ketiga dikategorikan berdasarkan jangka waktu
kunjungan wisatawan yaitu pariwisata jangka panjang dan jangka
pendek.Durasi kunjungan pariwisata ini tergantung dari peraturan dari
tempat pariwisata tersebut.Selanjutnya, bentuk pariwisata yang keempat
yakni pariwisata yang didasarkan pada jumlah wisatawannya yakni
pariwisata tunggal dan pariwisata rombongan.
Bentuk kelima dari pariwisata dikategorikan berdasarkan alat tranportasi
yang digunakan untuk berwisata yang mana terdiri dari pariwisata udara,
pariwisata laut, pariwisata kereta api, dan pariwisata mobil. Bentuk
pariwisata ini sangat ditunjang prasana atau infrastruktur tranportasi menuju
lokasi pariwisata terkait.
4. Peranan Pariwisata dalam Pembangunan
Sektor pariwisata apabila dikelola dengan baik dapat menjadi aspek
yang menunjang pembangunan di suatu wilayah atau daerah. Wahab
(2003:77) berpendapat bahwawisatawan yang tiba disuatu negara baik secara
38
individu atau kelompok tentu akan membelanjakan uangnya selama berada
di sana untuk membayar jasa-jasa atau barang wisata. Seluruh jumlah uang
yang dibelanjakan ini akan merupakan jumlah penerimaan dari sektor wisata
dan menjadi pola konsumsi di negara tersebut. semakin bertambah konsumsi
wisatawan, semakin banyak pula jasa-jasa wisata, hal ini tidak dapat
dipungkiri bahwa pariwisata dapat menjadi sumber pendapatan.23
Menurut pendapat tersebut, pariwisata dalam konteks seperti
sekarang ini sangatlah menjanjikan dalam aspek ekonomi.Hal ini patut
disadari bahwa pariwisata dapat mendatangkan manfaat dan keuntungan bagi
negara, daerah, atau wilayah di mana wisata tersebut berada.Oleh karena itu,
potensi pariwisata di suatu negara atau daerah haruslah dikembangkan secara
optimal.Agar manfaat ekonomis dari pariwisata tersebut dapat dicapai. Selain
itu, untuk meningkatkan sektor pariwisata diperlukan udaha yang nyata dari
pemerintah untuk meningkatkan aspek lain yang menunjang pengembangan
pariwisata. Yoeti mengungkapkan empat hal yang harus dipenuhi, yakni
sebagai berikut.24
a. Transportation
Yang melayani angkutan para wisatawan dari satu tempat ke tempat lain,
dari daerah tujuan wisata ke daerah tujuan wisata wisata yang lain yang
berjarak cukup jauh.
b. Accomodation
23 Wahab, Salah. 1997. Pemasaran Pariwisata. Jakarta: Pradnya Paramita. Hal 77 24Ibid Yoeti.2008 Hal 24.
39
Yang melani wisatawan untuk kebutuhan akomodasi bagi wisatwan
seperti: hotel, motel, cottage, villa, atau apartemen.
c. Restaurants
Yaitu melayani wisatawan dalam kebutuhan dalam kebutuhan makan
minum selama di daerah kunjungan wisata.
d. Shopping Center
Yang dimaksud adalah kelompok toko cenderamata, toko barang
kesenian dan lukisan.
Berdasarkan uraian di atas, dapat dikatakan bahwa sektor pariwisata
memiliki peranan yang sangat penting dalam pembangunan daerah.Hal tersebut
dikarena dari sektor pariwasata mampu pula membuka dan menigkatkan
lapangan kerja, menambah pendapatan masyarakat, meningkatkan pembangunan
infrastruktur daerah, dan meingkatkan pendapatan asli daerah tersebut.Sehingga
terjadilah pembangunan daerah yang berbasis pengembangan pariwisata.
D. Pengembangan Pariwisata
Alasan utama dilakukannya pengembangan pariwisata di suatu daerah
baik itu secara lingkup lingkup lokal, regional, nasional, dan internasional yakni
karenaadanya upaya untuk pembangunan perekonomian daerah
tersebut.pengembangan pariwisata sangatlah potensial bagi kebermanfaatn
40
masyarakat sekitar. Menurut Kementrian Kebudayaan dan Pariwisata (2002:29)
strategi pengembangan pariwisata yakni terdiri sebagai berikut ini.25
1. Strategi Pengembangan Produk wisata.
Menunjukkan langkah-langkah yang harus dilakukan untuk
pembangunan obyek dan daya tarik wisata, pengembangan sarana akomodasi
pengembangan aksesibilitas atau angkutan wisata, usaha makan minum dan
lain-lain.
2. Strategi Pengembangan Pasar dan Promosi
a. Strategi pengembangan pasar dalam strategi ini orientasi pasar yang akan
diperloleh dan langkah-langkah yang ada perlu dilakukan untuk menarik
pasar tersebut dengan mempertimbangkan jenis dan potensi obyek, daya
tarik potensial yang ada dan jenis atau bentuk pariwisata yang
dikembangkan.
b. Strategi promosi, langkah-langkah yang perlu dilakukan daerah dalam
mempromosikan daerahnya. Strategi ini dilakukan dengan
memeprtimbangkan sasaran dan target wisata yang akan dicapai.
3. Strategi pemanfaatan ruang
a. Strategi pengembangan ruang pariwisata pada lingkup kabupaten/kota
memberikan gambaran dan indikasi lokasi-lokasi prioritas pengembangan
berdasarkan analisis terhadap potensi dan daya tarik wisata yang ada di
wilayah tersebut, meliputi: penetapan pusat-pusat pengembangan,
25 Amajida, Dini Lali. 2015. Strategi Perum Perhutani KPH Malang da;am
Mengembangankan Objek Wisata Coban Talun Kota Batu. Diakses dari
http://jurnalmahasiswaunesa.ac.id pada 7 desember 2018
41
penetapan kawasan prioritas pengembangan, penetapan jalur wisata, dan
lain-lain.
4. Strategi Pengembangan Sumber Daya Manusia
Yang dimaksud dengan sumber daya masnusia pariwisata potensial
menurut konsep nasional adalah sumberdaya manusia pariwisata sebagai aset
daerah yang mempunyai standar kemampuan menurut kompentensi keahlian
yang diakui dan diterima oleh masyarakat pariwisata serta dilandasi oleh
dedikasi kebangsaan yang tinggi sehingga memiliki niali kompetitif dan
kemampuan untuk berkiprah disekolah nasional maupun internasional.
Pengembangan sumberdaya manusia dibidang pariwisata sangat diperlukan
supaya daerah yang akan mengembangkan pariwisata daerahnya dapat
menyediakan sendiri kebutuhan akan tenaga-tenaga pariwisata yang terlatih,
sehingga dapat menyerap tenaga lokal dan meningkatkan apresisasi dan
pengertian terhadap pariwisata sehingga dapat memberikan pelayanan sesuai
standar.Strategi pengembangan sumber daya manusia antara lain:
a. Penyiapan tenaga terampil dibidang perhotelan, restoran, biro perjalanan
atau travel dan pemandu wisata.
b. Peningkatan kemampuan teknis di bidang manajemen kepariwisataan.
c. Peningkatan kemampuan di bidang pemasaran dan promosi pariwisata
daerah.
E. Dasar dan Tujuan Pengembangan Pariwisata
Penyelenggaraan pengembangan pariwisata dilaksanakan dengan tetap
mengacu pada upaya untuk memelihara kelestarian lingkungan dan mendorong
42
peningkatan kualitas lingkungan hidup serta daya tarik dari wisata itu sendiri.
Berdasar pada Undang-undang No 9 tahun 1990 tentang kepariwisataan,
dikatakan bahwa yang dapat dijadikan onjek dan daya tarik berupa keadaan
alam, flora, dan fauna hasil karya manusia, serta peninggalan sejarah dan budaya
yang merupakan model bagi perkembangan dan peningkatan kepariwisataan di
Indonesia.26Model ini tentunya harus terus dimanfaatnkan dengan optimal agar
pengembangan pariwisata yang dilakukan memberikan dampak kesejahteraan
bagi masyarakat.
Selain itu, Mulyadi.27menambahkan untuk mewujudkan pengembangan
pariwisata harus memperhatikan beberapa hal berikut ini:
1. Kemampuan untuk mendorong dan meningkatkan perkembangan kehidupan
ekonomi dan sosial budaya.
2. Nilai-nilai agama. Adat istiadat, serta pandangan dan nilai-nilai yang hidup
dalam masyarkat.
3. Kelestarian budaya dan mutu lingkungan hidup.
4. Kelanjutan dari usaha pariwisata itu sendiri.
Penyelenggaraan pengembangan kepariwisataan di Indonesia
dimaksudkan agar daya tarik pariwisata yang sedimikian banyak disuatu tempat
atau daerah dapat dikenal oleh masyarakat luas, baik itu masyarakat lokal,
nasional, maupun internasional.Pengembangan pariwisata pun sangat
berhubungan dengan aspek sosial menyangkut kegiatan perekonomian
26Mulyadi, A.J. 2009.Kepariwisataan dan Perjalanan.Jakarta: Raja Grafindo. Hal 31 27Ibid,.
43
masyarakat, sehinga dengan dilakukan pengembangan pariwisata maka ada
upaya peningkatanekonomi masyarakat.
Selain itu, tujuan pengembangan pariwisata sendiri apabila mengacu pada
pasal 4 Undang-undang No 10 Tahun 2009 tentang kepariwisataan menyebutkan
bahwa:
1. Meningkatkan pertumbuhan ekonomi.
2. Meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
3. Menghapus kemiskinan.
4. Mengatasi pengangguran.
5. Melestarikan alam, lingkungan, dan sumber daya
6. Memajukan kebudayaan
7. Mengangkat citra bangsa
8. Memupuk rasa cinta tanah air
9. Memperkukuh jati diri dan kesatuan bangsa
10. Mempererat persahabatan bangsa