BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Definisi...
Transcript of BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Definisi...
5
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Definisi Pangan
Pangan merupakan salah satu kebutuhan dasar manusia yang
paling hakiki dan pemenuhan akan kebutuhan pangan merupakan hak asasi
setiap orang, dengan demikian, pangan bagi penduduk harus tersedia
setiap saat dimana saja penduduk membutuhkannya (Fardiaz dan Fardiaz,
2003). Hal serupa juga dinyatakan oleh Wirakartakusumah (2001) bahwa
pangan adalah kebutuhan dasar bagi manusia dan pemenuhannya
merupakan hak asasi setiap warga masyarakat, sehingga pangan harus
tersedia dalam jumlah yang cukup, aman, bermutu, bergizi, beragam
dengan harga yang terjangkau oleh kemampuan daya beli masyarakat.
Pangan memiliki pengertian yang luas, mulai dari pangan esensial
bagi kehidupan manusia yang sehat dan produktif (keseimbangan kalori,
karbohidrat, protein, lemak, vitamin, serat, dan zat esensial lain) serta
pangan yang dikonsumsi atas kepentingan sosial dan budaya seperti untuk
kesenangan, kebugaran, kecantikan dan sebagainya. Jadi pangan tidak
hanya berarti pangan pokok dan jelas tidak hanya berarti beras, melainkan
pangan yang terkait dengan berbagai hal lain (Krisnamurti, 2003).
Dalam pemenuhannya, saat ini manusia tidak hanya bergantung
dari makanan segar, namun juga memilih dan mengkonsumsi makanan
kemasan sudah menjadi kebiasaan dalam kehidupan sehari – hari.
B. Makanan Kemasan
Definisi makanan kemasan memang tidak ada yang baku, sehingga
setiap orang dapat mendefinisikan makanan kemasan dengan pengertian
apa saja. Kamus besar bahasa Indonesia mendefinisikan kemasan yaitu
6
teratur, bersih dan rapi. Undang-undang No. 7 Tahun 1996 tentang
Pangan, dalam Pasal 1 ayat (10) mendefinisikan kemasan pangan yaitu
bahan yang digunakan untuk mewadahi dan atau membungkus pangan,
baik yang bersentuhan langsung dengan pangan maupun tidak.
Dari beberapa definisi diatas, dapat disimpulkan bahwa makanan
kemasan adalah makanan yang terbungkus dengan teratur, bersih, rapi, dan
mempunyai label kemasan serta masa kadaluarsa untuk dijual dalam waktu
yang diperkirakan.
C. Label Kemasan Pangan
Semua informasi tentang sebuah produk umumnya berada pada
label yang tercantum pada produk tersebut. Label dapat didefinisikan
sebagai tulisan, tag, gambar atau pengertian lain yang tertulis, dicetak,
distensil, diukir, dihias atau dicantumkan dengan cara apapun, pemberi
kesan yang terdapat pada suatu wadah atau pengemas (Wijaya, 2001).
Secara garis besar, tujuan pelabelan adalah sebagai berikut:
1. Memberi informasi tentang isi produk yang diberi kemasan
tanpa harus membuka kemasan.
2. Memberi petunjuk yang tepat bagi konsumen sehingga
diperoleh fungsi produk yang optimum.
3. Berfungsi sebagai sarana komunikasi produsen kepada
konsumen tentang hal - hal yang perlu diketahui oleh
konsumen tentang produk tersebut, terutama hal - hal yang
tak dapat diketahui secara fisik.
4. Sarana periklanan bagi produsen.
5. Memberi “rasa aman” pada konsumen. (Wijaya, 2001)
Berdasarkan UndangUndang Republik Indonesia Nomor 7 tahun
1996 tentang Pangan pasal 30 ayat 1, “Setiap orang yang memproduksi
atau memasukkan ke dalam wilayah Indonesia pangan yang dikemas untuk
7
diperdagangkan wajib mencantumkan label pada, di dalam, dan atau di
kemasan pangan.” Pada pasal yang sama ayat 2, “Label memuat sekurang
– kurangnya keterangan mengenai nama produk, daftar bahan yang
digunakan, berat bersih atau isi bersih, nama dan alamat pihak yang
memproduksi atau memasukkan pangan ke wilayah Indonesia, keterangan
tentang halal, tanggal, bulan, dan tahun kadaluarsa”. Menurut Wijaya
(2001) kriteria penulisan label mencakup:
1. Tulisan menggunakan huruf latin atau arab.
2. Ditulis dengan bahasa Indonesia dengan huruf latin.
3. Ditulis jelas, lengkap, mudah dibaca (ukuran minimal 0,75
mm dan warna kontras).
4. Tidak boleh mencantumkan segala hal baik kata, tanda,
atau gambar yang menyesatkan.
5. Tidak boleh mencantumkan nasihat, referensi, pernyataan
dari siapapun dengan tujuan menaikkan penjualan.
Adapun isi label mencakup:
1. Informasi yang harus dicantumkan pada label yaitu nama
makanan/produk, komposisi atau daftar ingredient, isi
netto, nama dan alamat pabrik/importir, nomor pendaftaran,
kode produksi, tanggal kadaluarsa, petunjuk atau cara
penggunaan, nilai gizi, tulisan atau pernyataan khusus.
2. Pernyataan (claim) pada label dan periklanan yaitu
pernyataan tentang gizi dan pernyataan tentang kondisi dan
penyakit tertentu (theurapetic claim)
3. Gambar pada label atau iklan.
Label pangan adalah setiap keterangan mengenai pangan yang
berbentuk gambar, tulisan, kombinasi keduanya, atau bentuk lain yang
disertakan pada pangan, dimasukkan ke dalam, ditempelkan pada, atau
merupakan bagian kemasan pangan. Label makanan seharusnya
mencantumkan nama makanan atau nama produk, komposisi atau daftar
8
ingredient, isi netto, nama dan alamat pabrik atau importir, nomor
pendaftaran, kode produksi, tanggal kadaluarsa, petunjuk atau cara
penyimpanan, petunjuk atau cara penggunaan, nilai gizi, tulisan atau
pernyataan khusus. Nama makanan memberikan informasi mengenai sifat
atau keadaan makanan yang sebenarnya. Nama makanan untuk produk
dalam negeri ditulis menggunakan bahasa Indonesia dan dapat ditambah
dengan bahasa Inggris. Begitu pula nama makanan bagi produk impor,
menggunakan nama Indonesia atau nama Inggris.
Tanggal kadaluarsa memberikan informasi mengenai waktu atau
tanggal yang menunjukkan suatu produk makanan masih memenuhi syarat
mutu dan keamanan untuk dikonsumsi. Komposisi makanan memberikan
informasi daftar lengkap ingredient penyusun makanan termasuk bahan
tambahan makanan dengan urutan menurun mulai dari bagian yang
terbanyak, kecuali vitamin dan mineral. Bahan tambahan makanan harus
mencantumkan nama golongan, misalnya pemanis buatan, antioksidan,
anti kempal, pengukur keasaman dan lainlain. Khusus untuk pewarna
disebutkan nomor indeksnya. Penyedap rasa alamiah identik dan sintetik
harus ditulis berbeda. Nilai gizi yang harus dicantumkan pada label
makanan yaitu nilai gizi makanan yang diperkaya, nilai gizi makanan diet,
dan makanan lain yang ditentukan Menteri Kesehatan, mencakup jumlah
energi, protein, lemak, karbohidrat, vitamin, dan mineral atau kadar
komponen tertentu. Petunjuk atau cara penyimpanan memberikan
informasi mengenai hal yang mungkin mempengaruhi sifat dan mutu dari
produk makanan, seperti produk susu, daging, dan lain - lain (POM, 2004).
Menurut Engel et. Al., (1995), konsumen memberikan perhatian
pada label kemasan dengan anggapan bahwa informasi yang tertera dalam
label mungkin benar, namun informasi pada kemasan tersebut lebih
banyak digunakan oleh konsumen dengan status sosio ekonomi tinggi.
Status sosio ekonomi diantaranya ditunjukkan dari pendidikan, pekerjaan
dan pendapatan yang dimiliki konsumen. Konsumen yang memiliki
9
pendidikan lebih tinggi biasanya lebih terbuka menerima informasi yang
baru dalam hal ini konsumen akan memiliki perhatian yang lebih terhadap
label. Disamping itu konsumen, konsumen akan memiliki kesempatan
memperoleh pekerjaan yang lebih layak dan penghasilan lebih baik.
Namun demikian, label biasanya tidak digunakan setuntas mungkin oleh
konsumen, sehingga tidak jarang informasi pada label dipandang secara
keliru, digunakan sebagian atau di abaikan sama sekali.
Peranan label pada suatu produk sangat penting untuk memperoleh
produk yang sesuai dengan yang diinginkan konsumen. Label produk yang
dijamin kebenarannya akan memudahkan konsumen dalam menentukan
beragam produk dan subtitusi di pasaran. Selain sebagai sarana pendidikan
pada masyarakat, label juga dapat memberikan nilai tambah bagi produk.
Kompetitor produk di pasaran yang semakin bertambah dapat menjadikan
label sebagai strategi yang menarik dalam pemasaran. Meskipun dengan
label pula, pihak produsen dapat secara sadar atau tidak sadar mengelabui
atau bahkan mengorbankan konsumen.
D. Undang – Undang (UU) Republik Indonesia (RI) dan Peraturan
Pemerintah (PP) tentang Label Pangan
a. Undang – undang RI no 7 tahun 1996 tentang pangan pasal 30 ayat
1 : “Setiap orang yang memproduksi atau memasukkan ke dalam
wilayah Indonesia pangan yang dikemas untuk diperdagangkan
wajib mencantumkan label pada, di dalam, dan atau di kemasan
pangan.” Penjelasan pasal 30 ayat 1 menyatakan bahwa tujuan
pemberian label pada pangan dikemas adalah agar masyarakat
yang membeli atau mengkonsumsi pangan memperoleh informasi
yang benar dan jelas tentang setiap produk pangan yang dikemas
baik menyangkut asal, keamanan, mutu, kandungan gizi, maupun
keterangan lain yang diperlukan sebelum memutuskan akan
membeli atau mengkonsumsi pangan. Undang – undang RI no 7
10
tahun 1996 tentang pangan pasal 30 ayat 1 menyatakan bahwa
label memuat sekurang – kurangnya keterangan mengenai nama
produk, daftar bahan yang digunakan, berat bersih atau isi bersih,
nama dan alamat pihak yang memproduksi atau memasukkan
pangan ke wilayah Indonesia, keterangan tentang halal, tanggal,
bulan, dan tahun kadaluarsa.
b. Peraturan Pemerintah no 69 tahun 1999 tentang label dan iklan
pangan menyatakan bahwa label pada produk pangan merupakan
keterangan mengenai pangan yang berbentuk gambar, tulisan,
kombinasi keduanya, atau bentuk lain yang disertakan pada, atau
merupakan bagian kemasan pangan, baik yang berupa makanan
maupun minimum hasil dari cara dan metode produksi tertentu.
Peraturan ini juga menyatakan bahwa tujuan pencantuman label
adalah sebagai berikut:
1. Terciptanya perdagangan pangan yang jujur dan
bertanggung jawab.
2. Label dan iklan merupakan sarana yang penting, sehingga
perlu diatur agar informasinya benar dan tidak
menyesatkan.
3. Masyarakat berhak mendapatkan informasi yang benar dan
tidak menyesatkan mengenai pangan yang akan
dikonsumsinya, khususnya yang disampaikan melalui label
dan iklan pangan.
Peraturan Pemerintah no 69 tahun 1999 bab II mengenai label
pangan pada pasal 2 menyebutkan bahwa produsen atau importir
wajib mencantumkan label dan label harus tidak mudah lepas,
luntur atau rusak dan terletak pada bagian kemasan yang mudah
dilihat dan dibaca. Pasal 3 menyebutkan bahwa:
1. Label berisi tentang keterangan pangan.
11
2. Syarat minimum keterangan mencakup nama produk, daftar
bahan yang digunakan, berat bersih atau isi bersih, nama
dan alamat produsen/importir, tanggal, bulan, dan tahun
kadaluarsa.
c. Undang – Undang RI no 8 tahun 1999 tentang perlindungan
konsumen. Pada pasal 4 ayat 3 yang berisi tentang hak dan
kewajiban konsumen menyatakan bahwa “konsumen memiliki hak
untuk hak atas informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai
kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa”. Penjelasan dari pasal
tersebut adalah setiap konsumen memiliki hak untuk mengetahui
semua informasi yang ada pada barang atau jasa dalam hal ini
adalah makanan dengan benar, jelas, dan jujur. Untuk itulah, label
kemasan yang ada pada makanan kemasan seharusnya
mencantumkan informasi dengan benar, jelas, dan jujur mengenai
apa saja yang terkandung di dalamnya.
d. Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor 180/Menkes/Per/IV/1985
tentang makanan daluarsa. Pada pasal 2 ayat 1 menyatakan bahwa
“Pada label dari makanan tertentu yang diproduksi, diimpor dan
diedarkan harus dicantumkan tanggal daluarsa secara jelas”.
Penjelasan dari pasal tersebut adalah untuk label dari makanan
kemasan sebaiknya mencantumkan tanggal daluarsa, karena
dengan adanya tanggal daluarsa yang tercatum pada kemasan
secara tidak langsung produsen akan melindungi konsumen dari
bahaya yang dapat ditimbulkan dari makanan daluarsa. Selain itu,
sebaiknya pula konsumen untuk bisa lebih teliti dalam memilih
bahan makanan terutama bahan makanan kemasan
.
E. Peran Label Pangan dalam Pemilihan Produk Makanan Kemasan
yang Aman, Sehat, dan Bergizi Seimbang
Di Indonesia, kebijakan dan peraturan pelabelan produk pangan
olahan termaktub dalam undang-undang pangan No. 7 tahun 1996, Bab I,
12
Pasal 1 (15) tentang label pangan, Bab I, pasal 1 (14) tentang gizi pangan,
dan pasal 1 (16) tentang iklan pangan, Bab IV, pasal 30 – 35 tentang label
dan iklan pangan. Peraturan lainnya tertera dalam peraturan Menteri
Kesehatan RI no 79/Menkes/PER/III/1979, dan Peraturan Pemerintah (PP)
No. 69 tahun 1996 tentang labelisasi pangan. Dalam peraturan tentang
label dan periklanan makanan ini diatur tentang tata cara pelabelan serta
ketentuan-ketentuan yang menyertainya. Peraturan ini telah dilengkapi
dengan keputusan Direktur Jenderal Pengawasan Obat dan Makanan
(Dirjen POM).
Label berfungsi sebagai alat penyampai informasi, alat promosi
perusahaan, sebagai sarana komunikasi produsen dan konsumen. Oleh
karena itu sudah selayaknya informasi yang dimuat pada label adalah
sebenar-benarnya dan tidak menyesatkan. Hanya saja, mengingat label
dapat berfungsi sebagai iklan, disamping sudah menjadi sifat manusia
untuk mudah jatuh dalam kekhilafan dan berbuat kecurangan baik yang
disengaja maupun tidak sengaja. Seharusnya fungsi label adalah juga
memberi rasa aman dan percaya konsumen.
Informasi yang harus dicantumkan pada label adalah sebagai
berikut: nama makanan/nama produk, komposisi atau ingredient, isi netto,
nama dan alamat pabrik/importer, nomor pendaftaran, kode produksi,
tanggal kadaluarsa, petunjuk atau cara penggunaannya, petunjuk atau cara
penyimpanannya, nilai gizi, tulisan atau pernyataan lain. Bahan tambahan
pangan (BTP) juga harus dicantumkan secara lengkap.
F. Perilaku Konsumen
Perilaku adalah tanggapan atau reaksi individu terhadap
rangsangan atau lingkungan (Depdiknas, 2005). Dari pandangan biologis
perilaku merupakan suatu kegiatan atau aktifitas organisme yang
bersangkutan. Robert Kwick (1974), menyatakan bahwa perilaku adalah
13
tindakan atau perbuatan suatu organisme yang dapat diamati dan bahkan
dapat dipelajari. (dikutip dari Notoatmodjo, 2003).
Perilaku konsumen didefinisikan sebagai tindakan yang langsung
terlibat dalam mendapatkan, mengkonsumsi, dan menghabiskan produk
dan jasa, termasuk proses keputusan yang mendahului tindakan ini (Engel
et. al, 1995). Sikap biasanya memainkan peranan utama dalam membentuk
perilaku. Sikap yang positif akan menimbulkan perilaku yang positif dan
sikap yang negatif akan menimbulkan perilaku yang negatif. Perilaku
muncul sebagai hasil interaksi antara individu dan lingkungannya.
Sehingga perilaku juga bisa dikatakan sebagai reaksi yang terjadi karena
adanya stimulus atau interaksi antara individu dengan lingkungannya dan
benar – benar dilakukan seseorang dalam bentuk tindakan.
Tahapan ini meliputi pengenalan kebutuhan, pencarian informasi,
evaluasi alternatif, keputusan pembelian dan terakhir yaitu hasil penilaian
konsumen terhadap produk yang telah dibeli. Tahapan – tahapan ini tidak
selalu dilakukan oleh konsumen, kecuali untuk produk - produk yang
relatif baru di pasaran, sedangkan untuk produk – produk yang sudah biasa
dikonsumsi oleh konsumen biasanya ada proses yang tidak dilakukan,
seperti pencarian informasi.
Perilaku konsumen dalam memilih produk selalu berbeda - beda,
jika dicermati, perilaku konsumen dipusat – pusat perbelanjaan modern
atau tempat lainnya, akan didapatkan setidaknya tiga kelompok. Pertama,
konsumen yang hanya mempertimbangkan faktor harga (murah atau
tidak). Kedua, konsumen yang hati – hati dalam memilih produk karena
dorongan agama. Ketiga, konsumen yang membeli karena faktor
kesehatan, atau karena kualitas dan lebih tertarik pada tabel komposisi
bahan yang tertera pada kemasan produk (AlAsyhar, 2002).
Tindakan membeli yang dilakukan oleh konsumen berwujud pada
pilihan – pilihan konsumen terhadap merk, jumlah produk, tempat, waktu
dan frekuensi pembelian. Keputusan konsumen yang dilaksanakan dalam
14
bentuk tindakan membeli tidak muncul begitu saja, tetapi melalui suatu
tahapan tertentu seperti telah dijelaskan di atas. Selain itu keputusan
pembelian oleh konsumen juga dipengaruhi oleh beberapa faktor.
Menurut Lawrence Green, perilaku dipengaruhi oleh tiga faktor
utama, yaitu:
1. Faktor – faktor Predisposisi (pre disposing factors)
Yaitu, pengetahuan dan sikap masyarakat terhadap
kesehatan, tradisi dan kepercayaan masyarakat terhadap
hal-hal yang berkaitan dengan kesehatan, sistem nilai yang
dianut oleh masyarakat, tingkat pendidikan, tingkat sosial
ekonomi dan lain sebagainya. Ikhwal ini dapat dijelaskan
sebagai berikut. Untuk perilaku kesehatan misalnya:
pemeriksaan kesehatan bagi ibu hamil diperlukan
pengetahuan dan kesadaran ibu tersebut tentang manfaat
periksa hamil, baik bagi kesehatan ibu sendiri dan janinnya.
disamping itu kadang-kadang kepercayaan, tradisi dan
sistem nilai masyarakat juga dapat mendorong atau
menghambat ibu tersebut untuk periksa kehamilan.
Misalnya orang hamil tidak boleh di suntik (periksa hamil
termasuk suntik anti tetanus), karena suntikan bisa
menyebabkan anak cacat. Faktor-faktor ini terutama yang
positif mempermudah terwujudnya perilaku, maka sering
disebut faktor pemudah.
2. Faktor-faktor pemungkin (enabling factors)
Faktor-faktor ini mencakup ketersediaan sarana dan
prasarana atau fasilitas kesehatan bagi masyarakat,
misalnya: air bersih, temapat pembuangan sampah, tempat
pembuangan tinja, ketersediaan makanan yang bergizi dan
sebagainya. Termasuk juga fasilitas pelayanan kesehatan
15
seperti puskesmas, rumah sakit, poliklinik, posyandu,
polindes, pos obat desa, dokter atau bidan praktek swasta,
dan sebagainya. Untuk berperilaku sehat, masyarakat
memerlukan sarana dan prasarana pendukung, misalnya:
perilaku pemeriksaan kehamilan. ibu hamil yang mau
periksa hamil tidak hanya karena dia tahu dan sadar
manfaat periksa hamil saja, melainkan ibu tersebut dengan
mudah harus dapat memperoleh fasilitas atau tempat
periksa hamil, misalnya: puskesmas, polindes, bidan
praktek, ataupun rumah sakit. fasilitas ini pada hakekatnya
mendukung atau memungkinkan terwujudnya perilaku
kesehatan, maka faktor-faktor ini disebut faktor pendukung,
atau faktor pemungkin.
3. Faktor-faktor penguat (reinforcing factors)
Faktor-faktor ini meliputi sikap dan perilaku tokoh
masyarakat (toma), tokoh agama (toga), sikap dan perilaku
para petugas kesehatan. termasuk juga disini undang-
undang, peraturan-peraturan baik dari pusat maupun
pemerintah daerah yang terkait dengan kesehatan. untuk
berperilaku sehat, masyarakat kadang-kadang bukan hanya
perlu pengetahuan dan sikap positif, dan dukungan fasilitas
saja, melainkan diperlukan perilaku contoh (acuan) dari
para tokoh masyarakat, tokoh agama, para petugas, lebih-
lebih pada petugas kesehatan. disamping itu undang-
undang juga diperlukan untuk memperkuat perilaku
masyarakat tersebut seperti perilaku periksa hamil, serta
kemudahan memperoleh fasilitas periksa hamil, juga
diperlukan peraturan atau perundang-undangan yang
mengharuskan ibu hamil periksa hamil (Notoatmodjo,
2003).
16
Menurut Engel et. al. (1995) ada dua faktor yang menentukan
pembelian oleh konsumen, yaitu pengaruh lingkungan dan perbedaan
individu
1. Faktor individu konsumen
Faktor individu (karakteristik demografi konsumen) terdiri dari
jenis kelamin, usia, dan pengetahuan konsumen. Karakteristik
demografi konsumen akan menggambarkan adanya pertukaran nilai,
kebutuhan, kebiasaan maupun perilaku yang berbeda antara suatu
kelompok konsumen dengan lainnya (Mowen dan Minor, 2002).
a) Jenis kelamin.
Jenis kelamin terdiri atas pria dan wanita. Faktor jenis kelamin
mempunyai pengaruh dalam keputusan pembelian oleh konsumen.
Konsumen wanita umumnya memiliki lebih banyak kriteria dalam
membeli suatu produk.
b) Usia.
Umur adalah rentang kehidupan yang diukur dengan tahun,
dikatakan masa awal dewasa adalah usia 18 tahun sampai 40 tahun,
dewasa Madya adalah 41 sampai 60 tahun, dewasa lanjut >60
tahun, umur adalah lamanya hidup dalam tahun yang dihitung
sejak dilahirkan (Harlock, 2004).
Konsumen melakukan pembelian sepanjang hidupnya dan setiap
tahapan kehidupan dari mulai bayi hingga dewasa akan membeli
barang atau jasa sesuai dengan adanya perbedaan kebutuhan.
Pemilihan dan selera terhadap pangan dan barang lainnya
dipengaruhi oleh faktor usia (Kotler, 2002).
c) Pengetahuan.
Pengetahuan yang dimiliki konsumen dapat meningkatkan
kemampuan konsumen untuk mengerti suatu pesan, membantu
mengamati logika yang salah, dan dapat menghindari penafsiaran
yang tidak benar (Engel et al., 1995). Menurut Setiadi (2003),
pengetahuan yang dimiliki seseorang merupakan unsur dari
17
kepribadiannya. Semakin tinggi pengetahuan yang dimiliki
seseorang maka akan semakin mantap serta lebih berhati - hati
dalam menentukan keputusan.
Pengetahuan merupakan hasil dari usaha manusia untuk tahu.
Pekerjaan tahu tersebut adalah hasil dari kenal, insaf, mengerti, dan
pandai (Salam, 2003). Menurut Notoatmodjo (2003), pengetahuan
(knowledge) adalah hasil tahu dari manusia yang sekedar
menjawab pertanyaan “What”. Pengetahuan merupakan hasil dari
tahu, dan ini terjadi setelah orang melakukan penginderaan
terhadap suatu objek tertentu. Penginderaan, penciuman, rasa, dan
raba. Pengetahuan atau kognitif merupakan domain yang sangat
penting dalam membentuk tindakan seseorang (overt behavior).
Pengetahuan adalah segala sesuatu yang diketahui, segala sesuatu
yang diketahui berkenaan dengan hal (mata pelajaran) (Tim
penyusun Kamus Besar Bahasa Indonesia, 2002).
Menurut Bloom dan Skinner pengetahuan adalah kemampuan
seseorang untuk mengungkapkan kembali apa yang diketahuinya
dalam bentuk bukti jawaban baik lisan atau tulisan, bukti atau
tulisan tersebut merupakan suatu reaksi dari suatu stimulasi yang
berupa pertanyaan baik lisan atau tulisan (Notoatmodjo, 2003).
a. Kategori Pengetahuan
Menurut Arikunto (2006), pengetahuan dibagi dalam 3
kategori, yaitu:
1. Baik : Bila subyek mampu menjawab dengan
benar 76% - 100% dari seluruh petanyaan
2. Cukup : Bila subyek mampu menjawab dengan
benar 56% - 75% dari seluruh pertanyaan
3. Kurang: Bila subyek mampu menjawab dengan
benar 40% - 55% dari seluruh pertanyaan
18
Sedangkan menurut Ali Khomsan (2000), yaitu :
1. Baik, jika > 80%
2. Sedang, jika 60% - 80%
3. Kurang, jika < 60%
2. Faktor lingkungan
Pengaruh lingkungan merupakan faktor diluar individu yang akan
mempengaruhi seseorang dalam mengambil keputusan. Berbagai
rangsangan ataupun stimulus diluar individu tersebut dapat berupa
iklan ataupun promosi yang dapat dijadikan sumber informasi bagi
konsumen (Kotler, 2002).
a) Sumber informasi.
Sumber informasi diartikan sebagai subjek ataupun karakter
penyampai pesan. Keahlian dan validitas sumber informasi
sangat mempengaruhi konsumen. Semakin ahli dan terpercaya
sumber informasi maka konsumen akan semakin percaya
(Mowen dan Minor, 2002). Menurut Kotler (2002), sumber
informasi dapat dikelompokkan menjadi empat:
a) Sumber pribadi, yaitu informasi yang berasal dari
keluarga, teman, tetangga maupun kenalan.
b) Sumber komersial, yaitu informasi yang berasal dari
iklan, wiraniaga, distributor, kemasan maupun model
produk yang dipajang.
c) Sumber publik, yaitu media massa maupun organisasi.
d) Sumber pengalaman, yaitu evaluasi dan pemakaian
produk.
Karakteristik konsumen dan produk akan memberikan pengaruh
yang berbeda terhadap sumber informasi yang digunakan.
Sebagian besar konsumen memperoleh informasi dari sumber
komersial. Akan tetapi sumber informasi yang efektif berasal dari
sumber pribadi. Sumber komersial umumnya berperan sebagai
pemberi informasi, sedangkan sumber pribadi berperan sebagai
19
evaluator. Pada kondisi tertentu, konsumen mencari informasi
secara aktif yaitu dengan mencari bahan bacaan, menelpon teman,
maupun mengevaluasi produk dengan berkunjung ke toko (Kotler,
2002)
G. Teknik Sampling
Teknik sampling merupakan teknik dalam pengambilan sampling.
Pada dasarnya teknik sampling dikelompokkan menjadi dua (Sukardi,
2003), yaitu:
1. Probability Sampling
Probability sampling adalah teknik sampling yang memberikan
peluang atau kesempatan yang sama bagi setiap unsur (anggota) populasi
untuk dipilih menjadi anggota sampel. Pemilihan sampel dengan cara
probabilitas (probability) ini sangat dianjurkan pada penelitian
kuantitatif.
Dalam Probability sampling, ada 4 macam teknik yang dapat
digunakan (Sukardi, 2003), antara lain:
a. Sampling Acak (Random Sampling)
Sampling acak adalah sampling dimana elemen – elemen
sampelnya ditentukan atau dipilih berdasarkan nilai probabilitas dan
pemilihannya dilakukan secara acak (Supranto, 1998). Sampling acak
ini mempunyai kelemahan (Nasution, 2003), antara lain: sampling
jenis ini sukar atau sulit, ada kalanya tidak mungkin memperoleh data
lengkap tentang keseluruhan populasi. Sedangkan ciri sampling acak
yaitu, setiap unsure dari keseluruhan populasi mempunyai kesempatan
yang sama untuk dipilih (Nasution, 2003).
Dalam penelitian hal penting yang harus diperhatikan untuk
mendapatkan responden yang akan dijadikan sempel, maka peneliti
20
harus mengetahui jumlah responden yang ada dalam populasi. Teknik
memilih sampling acak ini dapat dilakukan dengan beberapa cara
(Sukardi,2003), antara lain:
1. Cara manual atau tradisional
2. Menggunakan tabel random
Langkah – langkah dalam penarikan sampel adalah menetapkan
ciri – ciri populasi yang menjadi sasaran dan akan diwakili oleh sampel
di dalam penyelidikan. Penarikan sampel dalam penelitian bertujuan
untuk memperoleh informasi mengenai populasi tersebut. Dalam
teknik acak ini ada beberapa macam sampling acak (Nana Syaodih,
2009), yaitu:
1. Sampling Acakan yang Sederhana (Simple Random Sampling)
Dalam pengambilan acakan sederhana (Simple Random
Sampling) seluruh individu yang menjadi anggota populasi
memiliki peluang yang sama dan bebas dipilih sebagai anggota
sampel. Setiap individu memiliki peluang yang sama untuk diambil
sebagai sampel, karena individu – individu tersebut memiliki
karakteristik yang sama. Setiap individu juga bebas dipilih karena
pemilihan individu – individu tersebut tidak akan mempengaruhi
individu yang lain.
2. Sampling Acakan dengan Stratifikasi (Stratified Random
Sampling)
Populasi biasanya perlu digolongkan menurut ciri
(stratifikasi) tertentu untuk keperluan penelitian.
3. Sampling Acakan secara Proporsional (Proportionate Stratified
Random Sampling)
4. Sampling Acakan secara tak Proporsional menurut Stratifikasi
(Disproportionate Stratified Random Sampling)
21
Sampling ini hampir sama dengan sampling stratifikasi,
bedanya proporsi sub kategori – kategorinya tidak didasarkan atas
proporsi yang sebenarnya dalam populasi. Hal ini dilakukan karena
sub kategori tertentu terlampau sedikit jumlah sampelnya.
5. Sampling Acak Klaster-Berstrata (Stratified-Cluster)
Random ini merupakan gabungan atau perpaduan dari cara
pengambilan sampel acak berstrata dengan sampel acak cluster.
Setiap populasi memiliki karakteristik yang berbeda. Populasi yang
memiliki strata saja terjadi karena peneliti sendiri sudah membatasi
populasinya pada klaster tertentu tapi klaster ini masih cukup luas.
b. Teknik Klaser/Sampling Daerah/Area sampling (Cluster Sampling)
Area sampling ini merupakan sampling menurut daerah atau
pengelompokannya (Nasution, 2003). Teknik klaser ini memilih
sample berdasarkan pada kelompok, daerah, atau kelompok subjek
secara alami berkumpul bersama. Teknik klaser atau yang sering
disebut dengan area sampling ini mempunyai beberapa keuntungan
dan kelemahan (Nasution, 2003), antara lain:
i. Keuntungan:
1. Teknik ini dapat digunakan peneliti yang melibatkan
jumlah populasi yang besar dan tersebar di daerah yang
luas.
2. Pelaksanaanya lebih mudah, biaya yang digunakan
lebih murah kerana berpusat pada daerah yang terbatas.
3. Generalisasi yang diperoleh berdasarkan penelitian
daerah – daerah tertentu dapat berlaku pada daerah –
daerah diluar sampel.
ii. Kelemahan: jumlah individu dalam setiap daerah tidak sama.
22
c. Teknik Secara Stratifikasi
Teknik stratifikasi ini harus digunakan sejak awal, ketika
peneliti mengetahui bahwa kondisi populasi terdiri atas beberapa
anggota yang memiliki stratifikasi atau lapisan yang berbeda antara
satu dengan lainnya. Ketepatan teknik stratifikasi dapat ditingkatkan
dengan menggunakan proporsional besar kecilnya anggota lapisan dari
populasi ditentukan oleh besar kecilnya jumlah anggota populasi
dalam lapisan yang ada (Sukardi, 2003).
d. Teknik Secara Sistematis (Systematic Sampling)
Teknik pemilihan sampel ini menggunakan prinsip
proporsional, dengan cara menentukan pilihan sampel pada setiap 1/k
dimana k adalah suatu angka pembagi yang telah ditentukan (misal:
5,6 atau 10) (Sukardi, 2003)
2. Non Probability Sampling
Teknik non probability sampling merupakan cara pengambilan
sampel yang pada prinsipnya menggunakan pertimbangan tertentu yang
digunakan oleh peneliti. Teknik ini dapat dalakukan dengan mudah dalam
waktu yang sangat singkat. Tapi kelemahan tehnik ini adalah hasilnya
tidak dapat diterima dan berlaku bagi seluruh populasi, karena sebagian
besar dari populasi tidak dilibatkan dalam penelitian (Nasution, 2003).
Dalam teknik non probability sampling ini ada 6 macam teknik memilih
sampel (Nasution, 2003), yaitu:
a. Teknik memilih sampel secara kebetulan (Accidental Sampling)
Teknik ini dikatakan secara kebetulan karena peneliti memang
sengaja memilih sampel kepada siapapun yang ditemui peneliti atau by
accident pada tempat, waktu, dan cara yang telah ditentukan (Sukardi,
2003). Sampel aksidental adalah sampel yang diambil dari siapa saja
yang kebetulan ada (Nasution, 2003).
23
Teknik ini juga mempunyai kelebihan, metode ini sangat
mudah, murah, dan cepat untuk dilakukan. Sedangkan kekurangan
teknik ini adalah sampel ini sama sekali tidak representatif tentu saja
tak mungkin diambil suatu kesimpulan yang bersifat generalisasi.
Teknik ini mempunyai kekurangan dan kelebihan, kelebihan
dari teknik ini adalah mudah untuk dilakukan dan mudah memperoleh
informasi yang diinginkan, sedangkan kekurangan dari teknik ini jika
orang yang lewat bukan orang yang diharapkan dipilih sabagai sampel,
sehingga akan terjadi bias responden dan bias informasi.
b. Teknik Sampling Sistematis
Sampling sistematis yaitu memilih sampel dari suatu
daftar menurut urutan tertentu (Nasution, 2003). Misal, tiap
individu yang ke-10 atau ke-n dalam anggota perkumpulan
buruh.
Sampling sistematis ini mempunyai keuntungan dan
kekurangan (Nasution, 2003), yaitu:
i. Keuntungan, cara ini mudah dalam pelaksanaannya dan
cepat diselesaikan serta kesalahan tentang memilih
individu mudah diketahui dan tidak mempengaruhi hasil.
ii. Kerugian, bahwa individu yang berada diantara yang
kesekian dan kesekian dikesampingkan, sehingga cara ini
tidak sebaik sampling acakan.
c. Memilih Sampel dengan Teknik Bertujuan (Purposive Sampling)
Penelitian tertentu dilakukan secara intensif untuk
memperoleh gambaran utuh tentang suatu kasus. Teknik ini biasanya
dilakukan dalam penelitian kualitatif, penelitian ini bertujuan
mempelajari kasus-kasus tertentu. Teknik ini mempunyai beberapa
kelebihan dan kekurangan, (Nasution, 2003), yaitu:
24
i. Kelebihan
a) Sampel ini dipilih sedemikian rupa, sehingga relevan
dengan desain penelitian.
b) Cara ini relatif mudah dan murah untuk dilaksanakan.
c) Sampel yang dipilih adalah individu yang menurut
pertimbangan penelitian dapat didekati.
ii. Kekurangan
a) Tidak ada jaminan sepenuhnya bahwa sampel itu
representatif seperti halnya dengan sampel acakan atau
random.
b) Setiap sampling yang acakan atau random yang tidak
memberikan kesempatan yang sama untuk dipilih kepada
semua anggota populasi .
c) Tidak dapat dipakai penggolongan statistik guna
mengambil kesimpulan.
d. Memilih Sampel dengan Kuota atau Jatah (Quota Sampling)
Sampling kuota ini merupakan metode memilih sampel yang
mempunyai ciri – ciri tertentu dalam jumlah atau kuota yang
diinginkan (Nasution, 2003). Teknik ini juga mempunyai kekurangan
dan kelebihan (Nasution, 2003), yaitu:
i. Kelebihan
a) Dalam pelaksanaannya mudah, murah, dan cepat.
b) Hasilnya berupa kesan-kesan umum yang masih kasar yang
tak dapat dipandang sebagai generalisasi umum.
c) Dalam sampel dapat dengan sengaja kita masukan orang-
orang yang mempunyai ciri – ciri yang kita inginkan
ii. Kekurangan,
a) Kecenderungan memilih orang yang mungkin didekati
bahkan yang dekat pada kita yang mungkin ada biasnya.
25
b) Memiliki ciri yang tidak dimiliki populasi dalam
keseluruhannya.
e. Memilih Sampel dengan Cara ”Getok Tular” (Snowball Sampling)
Sampling ini digunakan untuyk menyelidiki hubungan antar
manusia dalam kelompok yang akrab atau menyelidiki cara-cara
informasi tersebar dikalangan tertentu (Nasution, 2003). Sampling ini
mempunyai kelebihan dan kekurangan (Nasution, 2003), yaitu:
i. Kelebihan
a) Sampling ini digunakan untuk meneliti penyebaran informasi
tertentu dikalangan kelompok terbatas sampling serupa ini
sangat bermanfaat.
ii. Kekurangan
a) Dalam penentuan kelompok bermula ada unsur subyektif,
jadi tidak dipilih secara random atau acak.
b) Penanganannya sukar sekali dikendalikan jika jumlah
sampel melebihi 100 orang.
f. Sampling Jenuh dan Padat
Sampling dikatakan jenuh (tuntas) bila seluruh populasi
dijadikan sampel (Nasution, 2003). Sedangkan dikatakan padat bila
jumlah sampel lebih dari setengah dari populasi (Nasution, 2003).
Sampling jenuh baik digunakan jika julah populasinya dibawah 1000
orang. Tetapi, apabila jumlah samplingnya lebih dari 1000 orang
maka sampling jenuh tidak praktis lagi dikarenakan biaya dan waktu
yang digunakan sangat banyak.
26
H. Kerangka Teori
Faktor – faktor yang mempengaruhi dalam memilih produk makanan
kemasan
Sumber: Mowen and Minor, Kotler (2002) dan Lawrence Green dalam
Notoatmodjo (2010)
FAKTOR ENABLING:
A. Kondisi Fisik
Makanan Kemasan
B. Keanekaragaman
Produk
C. Kemudahan
Mendapat
FAKTOR
PREDISPOSISI:
A. Pengetahuan
Tentang Makanan
Kemasan:
a. Label
Makanan
Kemasan
b. Kualitas
c. Jenis Bahan
d. Berat Bahan
e. Kemasan
B. Karakteristik
Konsumen:
a. Usia
b. Jenis
Kelamin
c. Ras/Suku
d. Agama
FAKTOR REINFORCING:
A. Sumber Informasi
Pribadi Dari Keluarga,
Teman, Tetangga,
Kenalan
B. Media
Massa/Organisasi
C. Sumber Pengalaman
Pemakaian Produk
D. Harga dan Iklan
KEPUTUSAN
MEMILIH
27
I. Kerangka Konsep
J. Hipotesis
a. Ada hubungan antara tingkat pengetahuan konsumen tentang label
makanan kemasan dengan praktek pemilihan makanan kemasan.
b. Ada hubungan antara jenis kelamin dengan praktek pemilihan
makanan kemasan.
c. Ada hubungan antara usia dengan praktek pemilihan makanan
kemasan.
TINGKAT
PENGETAHUAN
TENTANG LABEL
MAKANAN KEMASAN PRAKTEK
PEMILIHAN
MAKANAN
KEMASAN JENIS KELAMIN
USIA KONSUMEN