BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Akulturasi 1. Definisi...
Transcript of BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Akulturasi 1. Definisi...
1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Akulturasi
1. Definisi Akulturasi
Akulturasi merupakan sebuah istilah yang pertama kali diperkenalkan
lewat disiplin ilmu antropologi lewat Redfield, Linton dan Herskovitz (1939,
dalam Berry, 2005). Akulturasi didefinisikan sebagai fenomena yang terjadi
tatkala kelompok kelompok individu yang memiliki budaya berbeda terlibat
dalam kontak yang terjadi secara langsung, disertai perubahan terus
menerus, sejalan dengan pola-pola budaya asal dari kelompok itu atau dari
kedua kelompok itu. Beberapa penulis lain mendefinisikan akulturasi
sebagai proses belajar dari sosok individu yang memasuki budaya baru yang
berbeda dari budaya yang telah dimilikinya (Berry, 2005). Mengacu pada
Zane dan Mak (2003), akulturasi “merefleksikan seberapa dalam individu
mempelajari nilai, perilaku, gaya hidup dan bahasa dari budaya orang lain”.
Hazuda (1988) mendefinisikan akulturasi sebagai “proses multidimensional
dari hasil kontak antar kelompok dimana individu yang telah memiliki hasil
pembelajaran budaya asli mengambil alih karakteristik tentang cara hidup
budaya lain.
Social Science Research Council (1954), mendeskripsikan akulturasi
sebagai perubahan dan adaptasi. Perubahan akulturasi bisa jadi merupakan
konsekuensi dari transmisi/persinggungan budaya yang terjadi secara
2
langsung; penyebab perubahan ini bisa saja berkembang dari faktor non-
kultural, seperti modifikasi lingkungan dan demografi yang dibawa melalui
pergeseran budaya. Perubahannya bisa saja tertunda, tergantung dari
penyesuaian kondisi internal individu ketika mengikuti penerimaan sebuah
trait atau pola asing; atau perubahannnya bisa saja merupakan adaptasi
reaktif atas kecenderungan cara hidup tradisional.
Dari definisi akulturasi yang disajikan dimuka, unsur-unsur kunci
tentang akulturasi dapat teridentifikasi. Berry (2005) mengemukakan:
pertama, ada kebutuhan untuk melakukan kontak atau interaksi yang terus
menerus dan berhadapan langsung antar dua kutub budaya yang berbeda.
Sejalan dengan kunci pertama, Bochner (1982, dalam Berry, 2005)
menyatakan bahwa hal ini mengesampingkan kontak jangka pendek,
aksidental, dan jangka panjang. Kedua, akibatnya berupa perubahan dalam
fenomena budaya atau psikologis di antara orang-orang dalam kontak, biasa
berlanjut untuk generasi-generasi berikutnya. Ketiga, ada proses dinamis
selama dan sesudah kontak dan ada suatu hasil proses yang mungkin relatif
stabil. Keluaran ini boleh jadi mencangkup tidak hanya perubahan-
perubahan fenomena yang menampak, namun juga beberapa fenomena baru
yang terbawa proses interaksi budaya (Berry, 2005).
Dilihat dari asasnya, setiap budaya dapat mempengaruhi budaya
lainnya secara sama, tetapi dalam praktek, budaya yang satu cenderung
menguasai budaya lain, yang akhirnya menggiring ke arah pembedaan
antara “kelompok dominan” dan “kelompok berakulturasi”. Istilah
3
penggolongan kedua kelompok tersebut menggunakan model mainstream-
minority (Berry, 1992). Yang pertama diandaikan sebagai suatu budaya
dominan tunggal (“mainstream”), dan sejumlah kelompok satelit atau
subordinasi (“minoritas”), dan barangkali beberapa kelompok “pinggiran”
(seperti kelompok setempat dan pengungsi). Dalam konteks penelitian,
kelompok berakulturasi merupakan istilah bagi klasifikasi kelompok minor
yang mengalami perubahan budaya akibat kontak dengan kelompok
dominan. Akibat kontak dan pengaruh itu, aspek-aspek kelompok menjadi
tertransformasikan sedemikian rupa sehingga ciri-ciri budaya menjadi tidak
sepadan dengan ciri-ciri dalam kelompok asal pada saat pertama kali kontak.
Memang, jika kontak masih diutamakan, pengaruh budaya dominan akan
dialami lebih jauh. Suatu fenomena sejajar adalah para individu dalam
kelompok-kelompok yang berakulturasi mengalami perubahan psikologis
(sebagai akibat baik pengaruh perubahan dalam kelompok mereka sendiri
atau dari kelompok dominan) dan kembali jika ada sesuatu kontak yang
berkelanjutan, perubahan-perubahan psikologis lebih lanjut boleh
mengambil tempat.
Berdasarkan definisi dan asas akulturasi diatas peneliti kemudian
mendefinisikan akulturasi sebagai kontak antar individu dari kelompok
budaya berbeda yang mengakibatkan salah satu kelompok mengalami
perubahan ciri-ciri budaya. Mengesampingkan lamanya kontak, setiap
budaya dapat saling mempengaruhi budaya lainnya secara sama, tetapi
dalam prakteknya budaya yang satu cenderung menguasai budaya lain.
4
Penyebab perubahan ciri-ciri budaya terjadi akibat proses mempelajari
budaya baru dan upaya individu untuk menyesuaikan diri ketika mengikuti
penerimaan sebuah trait atau pola asing.
Perlu ditambahkan, perubahan yang terjadi dalam akulturasi menyentuh
dua aras, yaitu aras kelompok dan individu. Dalam psikologi lintas budaya,
penting membedakan antara akulturasi pada aras kelompok dan pada aras
individu. Akulturasi pada aras kelompok menyebabkan terjadinya perubahan
dalam struktur sosial, landasan ekonomi, dan organisasi politik kadang
terjadi. Sementara, pada aras individual, perubahan-perubahan terjadi pada
fenomen semacam jati diri, nilai dan sikap. Pembatasan akulturasi pada
penelitian ini terletak pada perubahan aras individu. T.D. Graves (1967,
dalam Berry 2005) menyodorkan istilah akulturasi psikologis untuk
menunjuk perubahan yang dialami individu akibat kontak dengan budaya
lain dan akibat keikutsertaannya dalam proses akulturasi yang
memungkinkan budaya dan kelompok etniknya menyesuaikan diri. Tidak
semua individu yang berakulturasi berpartisipasi dalam perubahan-
perubahan kolektif yang sedang berlangsung untuk banyak hal dalam cara
yang sama. Kita juga perlu menyadari bahwa akulturasi individu
(sebagaimana fenomena pada tingkat kelompok) tidak lebur sebagai satu
kemasan yang merupakan gugusan beraturan (Omelda dalam Berry, 2005).
Artinya, Kelompok dan individu tidak hanya akan bervariasi menurut
keikutsertaan dan tanggapan mereka terhadap pengaruh akulturasi, beberapa
ranah budaya dan perilaku boleh jadi bergeser tanpa perubahan yang dapat
5
dibandingkan dengan ranah lain. Jadi, proses bersifat tidak menentu dan
tidak berpengaruh pada semua fenomena budaya dan psikologis secara
seragam.
2. Sikap Terhadap Akulturasi
Salah satu bentuk akulturasi pada aras individu (psikologis) adalah
pembentukan sikap yang diakibatkan akulturasi. Sikap individu yang
berakulturasi terhadap masyarakat dominan akan memiliki beberapa kaitan
dengan cara ia masuk kedalam proses akulturasi. Jika sikap-sikap terhadap
kelompok itu sendiri sangat positif dan sikap terhadap kelompok luar sangat
negatif maka pengaruh akulturasi mungkin sudah tersaring, tertahan, tertolak,
atau apa saja yang dapat ditafsirkan sebagai kurang efektif. Di pihak lain, jika
pola sikap yang berlawanan cocok di antara individu-individu yang
mengalami akulturasi maka ragam pengaruh akulturatif mungkin lebih dapat
diterima.
Cara-cara individu (atau kelompok) yang sedang berakulturasi ingin
berhubungan dengan masyarakat dominan diistilahkan dengan strategi
akulturasi (Berry, 2005). Secara psikologis, individu akan dihadapkan dua
persoalan inti ketika memilih strategi akulturasi. Persoalan inti pertama
mengenai derajat sikap yang memungkinkan orang menginginkan tinggal
secara budaya ketika telah merangkul budaya itu bila dihadapkan dengan
keadaan berhenti menjadi bagian dari budaya yang lebih besar. Yang kedua,
6
persoalan intinya, sejauh mana seseorang ingin menjalin interaksi sehari-hari
dengan anggota kelompok lain dalam masyarakat yang lebih besar (kelompok
dominan) ketika dilawankan dengan menjauh dari kelompok lain dan hanya
berhubungan dengan kelompok sendiri. Tatkala kedua persoalan inti ini
disajikan bersama, suatu kerangka konseptual diberlakukan. Berry (2005)
menunjukkan kerangka konseptual tersebut sebagai varietas akulturasi,
skemanya dapat ditunjukan pada halaman selanjutnya.
SOAL I
SOAL II
Gambar 1. Empat varietas akulturasi, yang dikemukakan oleh Berry (2005)
Ketika individu tidak ingin memelihara budaya dan jati dirinya dan
melakukan interaksi sehari-hari dengan masyarakat dominan, maka jalur atau
strategi asimilasi didefinisikan. Sebaliknya, kalau ada suatu nilai yang
Apakah soal melestarikan jati diri dan ciri
budaya menjadi hal yang bernilai?
“YA” “TIDAK”
Apakah soal memelihara “YA
hubungan dengan kelompok lain
menjadi hal yang bernilai? “TIDAK”
INTEGRASI ASIMILASI
SEPARASI MARJINALISASI
7
ditepatkan pada pengukuhan budaya asal seseorang dan suatu keinginan
untuk menghindari interaksi dengan orang dari kelompok lain, maka
alternatif separasi didefinisikan. Kalau ada minat dalam keduanya, baik
memelihara budaya asal dan melakukan interaksi dengan orang dari
kelompok lain, integrasi adalah opsinya. Disini ada beberapa derajat
integritas budaya diutamakan seraya bergerak berpartisipasi sebagai suatu
bagian utuh dari jaringan sosial yang lebih besar. Integrasi merupakan
strategi yang berusaha “membuat yang terbaik dari kedua dunia (yang
berbeda)”. Akhirnya, kalau ada keniscayaan kecil atau minat kecil untuk
pelestarian budaya (kadang karena alasan kehilangan budaya menjadi
sandaran) dan sedikit keniscayaan atau minat melakukan hubungan dengan
orang diluar kelompok (karena alasan pengucilan atau diskriminasi,
marjinalisasi didefinisikan.
B. Budaya dan Definisinya
Kata budaya digunakan dalam berbagai diskursus lintas pengetahuan dan
ini diakui karena luasnya aspek kehidupan yang disentuh. Istilah budaya sangat
umum dipergunakan dalam bahasa sehari-hari. Paling sering budaya dikaitkan
dengan pengertian ras, bangsa atau etnis. Kata budaya juga kadang dikaitkan
dengan seni, musik, tradisi-ritual, ataupun artefak peninggalan masa lalu
(Dayakisni, 2003). Sementara dalam konsep Koentjaraningrat (dalam
Dayakisni, 2003) kebudayaan diartikan sebagai wujudnya, yaitu mencangkup
keseluruhan dari: (1) gagasan; (2) kelakuan; dan (3) hasil-hasil kelakuan.
8
Dengan demikian, disini kebudayaan diyakini sebagai produk, baik itu berupa
gagasan ataupun sudah berwujud suatu perilaku tampak maupun material.
Ahli lainnya, Lonner dan Malpass (1994) menggunakan istilah budaya
untuk mengkarakteristikan berbagai macam cara dari sekumpulan individu
dalam menjalani hidup, dan bagaimana cara mereka mewariskannya pada
generasi penerus. Hal ini meliputi segala aspek luas pada kehidupan manusia,
mulai dari benda yang dimiliki, cara membuat dan mentransaksikannya dalam
aktivitas jual beli, struktur keluarga, prinsip dalam menjalani hidup, cara
mengambil keputusan, alat dan cara memainkannya, cara seseorang melakukan
aktivitas peribadatan sampai pada cara mereka menggunakan sistem sanitasi
(toilet). Berry (2005, dalam Dayakisni, 2003) mengkategorikan budaya dalam
delapan aktifitas kehidupan, meliputi: (1) karakteristik umum; (2) makanan dan
pakaian; (3) rumah dan teknologi; (4) ekonomi dan transportasi; (5) aktivitas
individual dan keluarga; (6) komunitas dan pemerintahan; (7) kesejahteraan,
religi, dan ilmu pengetahuan; (8) seks dan lingkaran kehidupan. Berdasarkan
pendapat para ahli diatas terdapat beberapa kesamaan yang dapat ditarik dari
pemaparan tentang definisi serta kategori budaya. Secara umum budaya
menyentuh pada semua aspek hidup dan kehidupan. Beberapa dari aspek
tersebut merujuk pada hal yang sifatnya material, seperti: makanan, pakaian,
alat atau kepemilikan benda. Beberapa yang lain merujuk pada hal yang
bersifat sosial kemasyarakatan dan strukturnya, seperti: organisasi
pemerintahan, struktur
9
keluarga, dan struktur pemerintahan. Yang lain merujuk pada perilaku individu,
seperti: religi, pengetahuan, reproduksi, penggunaan sanitasi dan aktivitas
perekonomian.
Luasnya pengertian budaya sebagai konsep yang menyentuh semua aspek
kehidupan sehingga mungkin menjadi kehidupan sendiri membuka peluang
untuk turut ditelaah dari sudut pandang yang bersifat lebih manifes melalui
perspektif psikologi, terutama untuk menjelaskan kemunculan kelakuan atau
perilaku dari gagasan yang dimiliki oleh manusia. Definisi dari Matsumoto
(1996) kiranya dapat memberikan pemahaman komprehensif tentang isitilah
budaya yang terpaparkan diatas dari tinjauan ilmu psikologi. Disini apa yang
disebut budaya adalah seperangkat fenomena psikologis seperti sikap, nilai,
keyakinan dan perilaku yang muncul dalam konstruk sosiopsikologis, yakni
suatu kesamaan dalam sekelompok orang dalam fenomena psikologis. Akan
tetapi, ada derajat perbedaan pada setiap individu, dan dikomunikasikan dari
satu generasi ke generasi berikutnya. Definisi Matsumoto diatas kompatibel
dalam menyatakan budaya sebagai gagasan, baik yang muncul sebagai perilaku
maupun ide seperti nilai dan keyakinan, sekaligus sebagai material, budaya
sebagai produk maupun sesuatu yang hidup dan menjadi panduan bagi individu
anggota kelompok. Selain itu, definisi tersebut juga mampu menggambarkan
budaya sebagai konstruk sosial sekaligus konstruk individu. Ada dua hal yang
ditekankan, pertama tentang sesuatu yang dimiliki dan kedua tentang
pembagian atau penyebaran kepemilikan dari aspek-aspek kehidupan dan
perilaku.
10
Ragam paparan diatas dapat membantu peneliti untuk menarik suatu
pemahaman tentang budaya. Disini budaya dapat dipahami sebagai sebuah
konsep abstrak berisikan ideasional, nilai, sikap, dan keyakinan yang hasilnya
dapat terlihat dalam bentuk material dan perilaku, misalnya: artefak, aktivitas
perekonomian, seni, tradisi-ritual, cara ber-reproduksi dan ilmu pengetahuan.
Dalam menjelaskan kemunculan perilaku, budaya sebagai konstruk sosial
menjadi faktor pemberi pengaruh yang bersifat eksternal terhadap individu.
Keberadaaannya menjadi bagian dari individu karena kepemilikan atas budaya
diwariskan lintas generasi.
C. Abdi Dalem Keraton Yogyakarta
1. Pengertian Abdi Dalem
Abdi Dalem Keraton Yogyakarta adalah semua orang, baik laki-laki
maupun perempuan, yang bekerja di dalam lingkungan Keraton Yogyakarta,
lebih dari sekedar pembantu rumah tangga. Mereka mencakup juga aparat
pemerintahan yang mendukung seluruh aktivitas di Keraton Yogyakarta.Pada
zaman pemerintahan Hamengku Buwono VIII, Abdi Dalem Kraton
Yogyakarta secara umum dibagi ke dalam dua golongan.Pertama adalah Abdi
Dalem perempuan, yang biasa disebut Abdi Dalem Keparak, dan kedua
adalah Abdi Dalem laki-laki. Khusus Abdi Dalem laki-laki tidak ada sebutan
khusus, cukup dengan sebutan Abdi Dalem. Abdi Dalem adalah orang-orang
yang dengan suka rela memberikan pelayanannya pada keraton, Sultan dan
keluarga keraton. Mereka menyiapkan hampir semua kebutuhan keseharian
11
Sultan dan menjalankan upacara tradisional Jawa baik di dalam kraton
maupun di luar kraton. Abdi Dalem diorganisir berdasarkan pelayanan
fungsionalnya. Abdi Dalem tidak sekedar pesuruh atau pembantu, tapi
merupakan ujung tombak dalam mempromosikan keraton, mensosialisasikan
sejarah keraton, dan mentransformasikan pernak-pernik keraton pada
masyarakat. Abdi Dalem merupakan living monument (monument hidup). Ia
menjadi saksi hidup dari rangkaian sejarah yang terukir dari zaman ke zaman,
hingga saat ini. Keterkaitan Abdi Dalem dengan kraton sudah berlangsung
lama yaitu sejak berdirinya Kasultanan Yogyakarta dan sejak itulah istilah
Abdi Dalem lahir (Joyokusumo, dalam Kabare Jogja edisi XIV 2003).
Bagi mereka imbalan berupa gaji bukanlah ukuran sehingga mereka
tertarik menjadi Abdi Dalem. Bagi mereka, pengakuan sebagai Abdi Dalem
oleh pihak Kraton Yogyakarta merupakan anugerah karena mereka bisa
ngabehi dan lelabuh kepada raja atau sering disebut Ngarso Dalem.Untuk
menjadi Abdi Dalem Keraton Yogyakarta terbuka bagi siapa saja, baik laki-
laki maupun perempuan. Bagi laki-laki yang ingin mendaftarkan diri menjadi
Abdi Dalem bisa mendaftarkan diri di kantor Kawedanan Ageng Punokawan
Puraraksa, sedang bagi wanita mendaftarkan diri di kantor Keparak Sebelum
diangkat menjadi Abdi Dalem kraton, calon yang memenuhi syarat harus
menempuh masa magang terlebih dahulu selama kurang lebih dua tahun.
Dalam masa pengabdiannya selama magang tersebut prestasi kerja calon
akan dinilai. Para magang yang dinilai memenuhi syarat dan bekerja dengan
baik mempunyai kesempatan untuk diangkat secara resmi menjadi Abdi
12
Dalem Keraton Yogyakarta. Pengangkatan seorang magang menjadi Abdi
Dalem resmi di Keraton Yogyakarta, ditandai dengan surat kekancingan
yang ditandatangani langsung oleh Sri Sultan yang sedang berkuasa. Surat
kekancingan yang dikeluarkan tersebut hanya bersifat sementara. Surat
kekancingan yang asli baru akan dikeluarkan pada saat Tingalan Dalem Sri
Sultan yang berkuasa pada saat itu (Joyokusumo, dalam Kabare Jogja edisi
XIV 2003).
Berdasarkan beberapa pengertian Abdi Dalem tersebut dapat disimpulkan
bahwa Abdi Dalem ialah semua orang yang bekerja untuk mendukung
seluruh aktivitas kraton yang pengangkatannya ditandai dengan surat
kekancingan yang ditandatangani oleh Sri Sultan yang
sedang berkuasa pada masanya (Joyokusumo, dalam Kabare Jogja edisi XIV
2003).
2. Motivasi atau Faktor Pendorong Menjadi Abdi Dalem
a. Ketentraman atau Ketenangan Hidup
Fenomena Kehidupan masyarakt Jawa yang menitikberatkan pada
kesederhanaan, harmoni selaras dengan alam akhir-akhir ini semakin
ditinggalkan. Hal ini karena orang lebih cenderung mengutamakan
kehidupan duniawi daripada rohani. Para Abdi Dalem yang masih kental
filsafat hidup kejawaannya tidak mau larut dalam kehidupan duniawi yang
hanya memikirkan materi atau harta semata. Bagi mereka ada kehidupan
yang lebih berarti yaitu memperkaya rohani atau kehidupan batin. Dalam
13
Upaya mewujudkan kehidupan batin tersebut ketentraman dan ketenangan
jiwa menjadi utama. Pengabdian mereka terhadap Keraton umumnya
dilandasi pemikiran akan perlunya ketentraman dan ketenangan dalam
hidup. Walaupun rejeki dari Keraton jumlahnya kecil namun mereka
percaya bahwa aka nada suatu jalan lain untuk mendapatkan rejeki, baik
melalui keterampilan maupun jasa/kepandaian yang mereka punyai.
Kebanyakan para Abdi Dalem ini menjadi menyadari bahwa urip mung
mampir ngombe (hidup manusia itu ibarat hanya numpang minum) sehingga
mereka dalam hidupnya dapat tenang dan tentram.Sikap dan pandangan
yang seperti ini mengakibatkan mereka menjadi narima ing pandum. Hal ini
selaras dengan peribahasa Jawa yang menyatakan bahwa bandhaiku mung
titipan,anak titipan lan nyawa gadhuhan (harta itu hanya titipan, anak
titipan dan nyawa pinjaman). Dengan begitu, Abdi Dalem memahami bahwa
seseorang akan kaya atau miskin itu sudah suratan takdir masing-masing
individu. Keadaan hidup berbeda antara orang satu dengan lainnya itu
merupakah sunatulah (Hukum Allah). Prinsip nerima ing pandum
(menerima takdir secara iklas) ini tampaknya menjadi motor pengerak dan
motivator mereka sehingga hari dan pikiran akan menjadi tenang dalam
menghadapi masalah kehidupan (Sudaryanto, 2008).
b. Berkah
Berkah atau sawab (Jawa) adalah kata kunci untuk memahami
motivasi dan pendorong Abdi Dalem dalam mengabdi di kraton.Berkah
sifatnya abstrak tetapi nilainya begitu kuat dan dijadikan pengangan para
14
Abdi Dalem. Mereka bekerja karena mengharapkan berkah dari
sultan.Berkah merupakan sesuatu yang sifatnya non material, yaitu
berupa kedamaian dan ketentraman hidup. Berkah selalu dicari dalam
hidup orang Jawa, karena hal ini berarti ada pengaruh yang akan
menuntun manusia untuk hidup tenang, kecukupan, dan selamat.
Para Abdi Dalem meyakini, bahwa apabila seseorang telah
mendapat berkah dari sultan, maka masalah kecukupan materi tidak lagi
menjadi prioritas mereka.Ketentraman hati dan keselamatan itulah yang
mereka cari karena hal ini nilainya lebih tinggi dari pada masalah materi.
Jika dilihat dari gaji, maka dapat dikatakan tidak akan cukup untuk
ongkos perjalanan pulang pergi dari rumah ke Keraton. Semua Abdi
Dalem menyatakan bahkan masalah gaji yang besar bukan merupakan
tujuan tetapi ketentraman hati dan keselamatan merupakan hal lebih
penting sebagai modal utama hidup.Seseorang tidak akan mampu
menjalani hidup dengan baik jika hatinya tidak semeleh (iklas pada
takdir), tenang, dan kecukupan. Oleh karena harapan bagi para Abdi
Dalem adalah berkah sultan akan membawa implikasi pada keselamatan
dan kebahagiaan hidupnya (Sudaryanto, 2008).
c. Mempertahankan Identitas Diri dan Pelestarian Budaya
Salah satu alasan menjadi Abdi Dalem adalah agar mereka dapat
memahami dan menjalani sopan santun (unggah-ungguh) menurut
budaya Jawa. Para Abdi Dalem ini menyadari bahwa sekarang ini
15
sopan santun yang bersumber dari budaya Jawa sudah mulai luntur dan
banyak yang tidak dimengerti oleh orang Jawa itu sendiri.Padahal
sopan santun yang ada di kalangan orang Jawa itu sebenarnya sangat
halus dan mempunyai nilai luhur. Hal ini dikarenakan orang Jawa
selalu berpegang pada rasa dalam sikap dan tindakannya (wong Jawa
kuwi papaning rasa).
Sopan santun atau tatakrama (suba sita) tidak dapat dipisahkan
dengan masalah budi pekerti.Orang Jawa dikatakan berbudi pekerti
luhur bila mampu menerapkan tatakrama secara baik dan benar. Jika
penerapan tatakrama kurang tepat, maka dapat dikatakan bahwa
seseorang itu sudah tidak atau belum berjiwa Jawa (wong Jawa ning
ora njawani atau ilang Jawane). Sebagai orang Jawa hendaknya mau
merendahkan diri, merasa bodoh, dan berwatak menerima.Hal ini tidak
berarti bodoh itu tidak tahu, orang yang tahu dirinya bodoh
sesungguhnya seseorang itu cerdas. Apalagi didasari watak dan
perilaku mau mengakui diri, mau menerima kenyataan bahwa semua
kejadian yang dijalani dan menimpa kepada manusia itu sesungguhnya
kehendak Tuhan. Dengan bersikap begitu, maka pasrah merupakan
bagian budi pekerti dasar yang sangat ensensial dalam kehidupan.
Identitas diri orang Jawa yang berdasarkan pada perasaan dan mau
menjalani kehidupan apa adanya sebagaimana yang ditentukan oleh
Yang Maha Kuasa ini dalam perkembangan menemui erosi budaya
dari budaya Instan (pragmatis). Atmosfer Yogyakarta yang mulanya
16
bernuansa spiritual telah didesak oleh semangat pragmatism. Hal-hal
yang menyangkut kepentingan fisik (materi) menjadi penting. Predikat
Yogyakarta sebagai kota budaya menjadi tergoncang. Menurut
Joyokusumo semakin lama budaya instan semakin merasuki generasi
muda, banyak yang bersifat dhahirriyah, bersifat kulit semata.Para
pemuda inipun dalam memahami budaya Islam atau Jawa juga bersifat
kulit belaka. Sikap hidup, tatakrama dan budi pekerti yang merupakan
warisan masa lalu (heritage) tersebut. Jika dimungkinakan
dikompromikan dengan budaya pendatang. Dengan demikian nantinya
akan tampak suatu pacific penetration antara kedua budaya yang ada
(Sudaryanto, 2008).
d. Tanah Magersari
Motivasi menjadi Abdi Dalem yang lain adalah karena mereka
menempati tanah milik sultan (Sultan Ground). Hal ini berkaitan dengan
nilai yang terdapat pada budaya Jawa mengajarkan adanya balas budi.
Ada suatu kewajiban bagi seseorang yang telah menerima kebaikan untuk
mbales budi. Pembalasan kebaikan kepada orang lain, seseorang tidak
harus diperhitungkan secara kaku tentang kesetaraan nilai suatu kebaikan.
Nilai budaya Jawa mengajarkan bahwa membalas kebaikan
hendaknya disesuaikan dengan kemampuan yang menerima bantuan Para
Abdi Dalem yang mendapat kebaikan dari sultan untuk mengunakan
tanah sultan baik sebagai tempat kediaman maupun sebagai lahan
pertanian merasa berhutang budi pada Keraton. Dalam hutang budi ini
17
orang akan merasa tidak enak jika belum dapat membalas kebaikan pihak
yang memberi. Masalah tersebut mengindikasikan bahwa pengaruh nafsu
kebendaan dan mementingkan pribadi masih terkendali.
Apabila diamati hubungan antara Abdi Dalem dengan Keraton didominasi
interaksi yang bersifat resiprokal. Para pihak secara timbal balik masing-
masing mempertukarkan sumber daya (exchange of resources) yang
dimilikinya. Abdi Dalem memberikan tenaga dan pikiran pada keraton
sedangkan keraton memberikan tanah magersari kepada Abdi Dalem
untuk digunakan sebagai tempat tinggal atau lahan usaha.Interaksi timbal
balik ini sejalan dengan prinsip tolong-menolong yang menjadi dasar
hubungan kemasyarakatan. Para pengguna tanah magersari atau indung
ini sudah sewajarnya membantu dan membalas kepentingan atau
keperluan pemiliknya. Menurut Hadikusuma Abdi Dalem sebagai
pengguna tanah magersari tersebut, sudah selayaknya mempunyai
kewajiban moral untuk membalas kebaikan pihak Keraton (Sudaryanto,
2008).
e. Meneruskan Tradisi Orangtua
Biasanya Abdi Dalem bertempat tinggal tidak jauh dari lokasi Keraton
Yogyakarta. Abdi Dalem menyatakan bahwa pengabdiannya dilakukan
dalam rangka menjaga nama baik keturunan serta kebiasaan yang telah
turun temurun dari nenek moyangnya menjadi Abdi Dalem (Sudaryanto,
2008).
18
3. Kewajiban Abdi Dalem
a. Caos
Hak dan kewajiban bukanlah merupakan kumpulan peraturan atau kaedah
melainkan merupakan perimbangan kekuasaan dalam bentuk hal individu
di satu pihak yang tercermin pada kewajiban pada pihak lain. Kalau ada
hak maka ada kewajiban, tanpa ada hak tentunya tidak ada kewajiban.
Kewajiban atara satu Abdi Dalem dengan Abdi Dalem yang lain berbeda
dan sangat bervariasi. Hal tersebut tergantung kepada kelompok, tugas,
dan pangkat yang dimiliki Abdi Dalem. Bagi Abdi Dalem Punakawan
terdapat dua tipe atau jenis, yaitu Punakawan caos dan punakawan tepas.
Punakawan caos ini berkerja secara normal sesuai aturan pada umumnya,
yaitu sowan atau kerja normal 12 hari sekali dan datang pada Hari Selasa
Wage saat wiyosipun dalem.Bagi para Abdi Dalem Punakawan Tepas
berkerja di kantor pemerintahan Keraton, maka sowan atau datangnya
datangnya setiap hari, contohnya seperti membersihkan museum kereta
Keraton atau di bagian administrasi pemerintah Keraton Yogyakarta. Pada
saat Abdi Dalem caosatau menjalankan tugas, maka mereka diwajibkan
memakai pakaian mataraman/ Jawa (pranakan). Bagi Abdi Dalem
kaprajan, jika masih aktif sebagai PNS maka kewajibannya hanya caos
(datang) dalam upacara-upacara adat yang dilakukan oleh pihak keraton;
seperti syawalan, labuhan, siraman pusaka, Selasa Wage (penobatan
Sultan), dan Mauludan atau Grebegan. Jika sudah pension atau tidak aktif
sebagai PNS dan diminta membantu di kantor (tepas) pemerintahan
19
Keraton, maka selain diwajibkan mengikuti upacara-upacara adat tersebut
diwajibkan juga caos atau sowanbakti lebih intensif lagi. Pada abdi dale
mini paling tidak mempunyai kewajiban datang ke Keraton 1-3 kali dalam
seminggu dari jam 09.00 sampai dengan 12.00 WIB (Sudaryanto, 2008).
b. Presensi
Untuk mengetahui Abdi Dalem datang atau tidak, maka pihak Keraton
dapat melihat daftar presensi yang disediakan.Adapun bukti kedatangan
para Abdi Dalem Keraton diketahui oleh atasannya (pengirit) atau teman
pada waktu tugas yang dipercaya oleh atasan untuk memberikan presensi
bagi Abdi Dalem yang datang.Dalam hal ini presensi cukup penting, karena
bukti kedatangan ini sangat signifikan terhadap kelancaran kenaikan
pangkat. Jika sudah menduduki pangkat selama lima tahun dan persyaratan
yang berkaitan dengan ketaatan, kedisiplinan maupun tata kramanya
memadai, maka Abdi Dalem tersebut pada prinsipnya berhak mengajukan
kenaikan pangkat (weling ngunjuk).
Adapun kenaikan pangkat ini diajukan oleh kedua kelompok, bukan oleh
Abdi Dalem sendiri. Dengan demikian, masalah presensi merupakan hal
yang esensial dalam pembuktian tentang ketaaan dan kedisiplinan pada
Keraton bagi para Abdi Dalem (Sudaryanto, 2008).
c. Mengikuti Upacara Adat
Sebagai penjaga dan penyangga budaya Keraton, maka keberadaan Abdi
Dalem sama penting nilainya dengan berlangsungnya upacara adat. Raja
atau kerabat Keraton sendiri
20
tidak mampu melaksanakan upacara adat tanpa keikutsertaan para Abdi
Dalem. Dalam kaitan ini proses pelembagaan terhadap upacara adat
Keraton hendaknya terus dijalankan agar norma tersebut diterima oleh para
pihak. Adapun proses agar berbagai upacara adat menjadi melembaga,
maka norma itu perlu diketahui, dipahami, ditaati dan dihargai ole para
stakeholder. Berbagai upacara adat ini idealnya tidak hanya dilembagakan
(institutionalized) tetapi lebih dari itu yaitu diperlukan diinternalisasikan
(internalized). Upacara adat yang dilakukan oleh pihak Keraton adalah:
Gerebeg Besar (Hari Raya „Idul Adha), Gerebeg Mulud (memperingati
kelahiran Nabi Muhammad SAW), Gerebeg Syawal (Hari Raya „Idul Fitri),
Siraman Pusaka (membersihkan pusaka Keraton, Labuhan (membuang
barang ke tempat yang dianggap suci, yaitu laut atau gunung). Berbagai
macam upacara adat tersebut, secara moral wajib dihadiri oleh semua Abdi
Dalem Keraton, baik Abdi Dalem Punakawan maupun Abdi Dalem
Kaprajan. Apabila Abdi Dalem tidak aktif datang pada upacara adat ini
dapat dikatakan masalah
kepatuhannya pada Keraton dipandang masih kurang memadai. Akibatnya
nanti akan berpengaruh terhadap proses kelancaran kenaikan pangkat para
Abdi Dalem. Pihak Keraton memandang sangat penting keterlibatan para
Abdi Dalem dalam upacara ini, karena diharapkan agar Abdi Dalem ini
memahami dan menjalankan ajaran Pangeran Samber Nyawa yang dikenal
sebagai Tri Darma, yaitu mulat sarira, hangrasa wani (Introspeksi),
21
rumangsa melu handarbeni (merasa memiliki) dan wajib melu hanggodeli
(ikut mempertahankan) (Sudaryanto, 2008).
4. Manfaat yang didapatkan Abdi Dalem dari Keraton Yogyakarta
a. Gaji
Gaji terendah Abdi Dalem berpangkat jajar caos sebesar Rp.
8.000,00, untuk Abdi Dalem berpangkat bupati caos menerima sekitar
Rp. 34.000,00 ditambah uang makan sekali sehari sebesar Rp. 150,00
sekali caos (bekerja), sedangkan gaji tertinggi yang
diberikan kepada Abdi Dalem sebesar Rp.40.000,00 untuk Abdi Dalem
yang berpangkat bupati tepas seseorang yang sudah menjadi Abdi Dalem
Kraton Yogyakarta kedudukannya berlaku selama dia masih hidup atau
masih kuat dan tidak mengenal masa pensiun. Abdi Dalem yang dari sisi
usia sudah tidak kuat menjalankan tugasnya namun masih menunjukkan
kesetiaan kepada keraton digolongkan menjadi Miji Sadana Mulya.
Golongan ini mendapatkan 45 persen gaji dengan kalenggahan
tetap.Bagi yang tidak melaksanakan tugas atau mengabaikan kewajiban
digolongkan ke dalam Miji Tumpukan.Untuk golongan ini mendapatkan
25 persen gaji dengan kedudukan yang tetap, tetapi tidak ada pekerjaan.
Status ini akan berlangsung sekitar enam bulan. Apabila selama enam
bulam tidak ada klarifikasi atau perbaikan maka pangkat dan kedudukan
yang bersangkutan akan ditarik. Pemecatan dilakukan apabila seorang
22
Abdi Dalem telah mencemarkan nama kraton (Joyokusumo, dalam
Kabare Jogja edisi XIV 2003).
b. Jaminan Kesehatan, Asuransi Kematian, dan Tunjangan
Pendidikan
Keraton Yogyakarta memberikan hak dan jaminan kepada para Abdi
Dalem yang dibagi dalam tiga bidang, yaitu Banda Kasmolo atau jaminan
kesehatan, Banda Pralaya atau semacam asuransi jiwa dan Banda
Pasinaon atau bantuan dana bagi anakanak Abdi Dalem untuk sekolah Bagi
Abdi Dalem yang sakit dan berobat di rumah sakit pemerintah akan
mendapatkan jaminan biaya dari keraton. Abdi Dalem yang sakit dan
berobat di rumah sakit pemerintah ini hanya diberikan bagi mereka yang
sakit tidak menahun sebesar seratus persenBagi Abdi Dalem yang
meninggal akan mendapat jaminan sebesar Rp. 100.000,00, sementara jika
istri Abdi Dalem yang meninggal akan mendapat bantuan dana sebesar Rp.
25.000,00. Banda Pasinaon diberikan kepada Abdi Dalem yang anak-
anaknya membutuhkan bantuan dana untuk proses belajar mengajar.
Bantuan diberikan dalam bentuk pinjaman yang diangsur tanpa bunga, yang
besar pinjamannya disesuaikan dengan kedudukan Abdi Dalem Keraton
Yogyakarta memberikan gaji pada Abdi Dalem sesuai dengan jenjang
kepangkatannya (Joyokusumo, dalam Kabare Jogja edisi XIV 2003).
c. Jenjang Karier
23
Jika dilihat dari jenjang kepangkatannya terdapat (kalenggahan) terdapat
sebelas macam yang berhak disandang oleh abdi dalam, baik Abdi Dalem
Punakawan maupun Kaprajan.
Adapun macan atau Jenis kepangkatan tersebut adalah jajar, bekel, luruh ,
penewu, wedana, riyo bupati anom, bupati anom, bupati sepuh, bupati
kliwon, bupati nayoko, dan Kanjeng Pangeran Haryo (KPH). Penetapan
pangkat dan gelar itu merupakan hak prerogative sultan tepati dalam
prosedur pelaksanaannya melalui dan diketahui terlebih dahulu oleh adik
sultan. Abdi Dalem mempunyai kesempatan menyandang pangkat dari jajar
sampai KPH. Pada umumnya masa magang (calon Abdi Dalem) berkisar
antara 2-5 tahun dan masa ini dijadikan pertimbangan tentang kedisiplinan
serta kesetiaannya pada Keraton Yogyakarta.Kenaikan pangkat dari satu
pangkat ke pangkat lainnya kurang lebih 4-5 tahun.Walaupun demikian jika
Sultan sedang berkenan, maka kepangkatan seorang
Abdi Dalem dapat dipercepat maupun melompat (Sudaryanto, 2008).
d. Gelar
Para Abdi Dalem selain berhak menyandang suatu pangkat tertentu juga
mempunyai hak untuk mendapatkan gelar nama yang diselaraskan dengan
bidang pekerjaan atau keahliannya. Pemberian gelar nama ini diberikan
kepada Abdi Dalem atas nama Sultan yang diketahui dan ditandatangani
24
oleh kepala bagian kerjanya (Kawedanan atau tepas) dan Parentah Hageng
Kraton (Sudaryanto, 2008).
e. Tanah Magersari
Tanah magersari dapat diberikan oleh Keraton Yogyakarta kepada Abdi
Dalem sebagai balas jika Abdi Dalem keraton mempunyai kontribusi yang
besar bagi keraton.Namun manfaat berupa pemberian tanah magersari ini
sudah jarang dilakukan oleh Keraton karena untuk mendapatkan atau
memakai tanah magersari ini biasanya diperhitungkan atau melalui
pertimbangan khusus Sultan yang berkuasa pada saat itu (Sudaryanto,
2008).
D. Pertanyaan Penelitian
1. Pertanyaan utama dalam penelitian ini adalah
Bagaimana dinamika proses akulturasi para abdi dalem Keraton
Yogyakarta berdasarkan strategi asimilasi, separasi, integrasi, dan
marginalisasi?
2. Pertanyaan tambahan
a. Pelestarian Jati diri
Bagaimana proses pelestarian jati diri dan ciri budaya
sendiri?
b. Hubungan dengan kelompok lain
Bagaimana hubungan abdi dalem Keraton Yogyakarta
dengan para pendatang dan generasi muda?
25
Apa pandangan abdi dalem Keraton Yogyakarta dengan
para pendatang dan generasi muda sekarang?
c. Strategi akulturasi apakah yang digunakan oleh abdi dalem
Keraton Yogyakarta?