BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. 1. -...

27
8 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tuberculosis Paru 1. Definisi Tuberkulosis adalah penyakit menular langsung yang disebabkan oleh kuman Tuberkulosis (Mycobacterium tuberculosa) yang ditularkan melalui udara (droplet nuclei) saat seorang pasien Tuberkulosis batuk dan percikan ludah yang mengandung bakteri tersebut terhirup oleh orang lain saat bernapas.(Widoyono, 2008). Tuberkulosis adalah penyakit menular langsung yang disebabkan oleh kuman TB (Mycobacterium Tuberculosis). Sebagian besar kuman TB menyerang paru, tetapi dapat juga mengenai organ tubuh lainnya (Kemenkes RI, 2011). 2. Etiologi Tuberkulosis paru disebabkan oleh Mycobacterium Tuberculosa. Ditemukan pertama kali oleh Robert Koch pada tahun 1882. Hasil penemuan ini diumumkan di Berlin pada tanggal 24 Maret 1882 dan tanggal 24 Maret setiap tahunnya diperingati sebagai hari Tuberkulosis. Karakteristik kuman Mycobacterium Tuberculosa adalah mempunyai ukuran 0,5-4 mikron x 0,3-0,6 mikron dengan bentuk batang tipis, lurus atau agak bengkok, bergranular atau tidak mempunyai selubung, tetapi mempunyai lapisan luar tebal yang terdiri dari lipoid (terutama asam mikolat). Dapat bertahan terhadap pencucian warna dengan asam dan alkohol, sehingga disebut basil tahan asam (BTA), tahan terhadap zat kimia dan fisik, serta tahan dalam keadaan kering dan dingin, bersifat dorman (dapat tertidur lama) dan aerob.

Transcript of BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. 1. -...

8

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Tuberculosis Paru

1. Definisi

Tuberkulosis adalah penyakit menular langsung yang disebabkan oleh

kuman Tuberkulosis (Mycobacterium tuberculosa) yang ditularkan melalui

udara (droplet nuclei) saat seorang pasien Tuberkulosis batuk dan percikan

ludah yang mengandung bakteri tersebut terhirup oleh orang lain saat

bernapas.(Widoyono, 2008).

Tuberkulosis adalah penyakit menular langsung yang disebabkan oleh

kuman TB (Mycobacterium Tuberculosis). Sebagian besar kuman TB

menyerang paru, tetapi dapat juga mengenai organ tubuh lainnya (Kemenkes

RI, 2011).

2. Etiologi

Tuberkulosis paru disebabkan oleh Mycobacterium Tuberculosa.

Ditemukan pertama kali oleh Robert Koch pada tahun 1882. Hasil penemuan

ini diumumkan di Berlin pada tanggal 24 Maret 1882 dan tanggal 24 Maret

setiap tahunnya diperingati sebagai hari Tuberkulosis.

Karakteristik kuman Mycobacterium Tuberculosa adalah mempunyai

ukuran 0,5-4 mikron x 0,3-0,6 mikron dengan bentuk batang tipis, lurus atau

agak bengkok, bergranular atau tidak mempunyai selubung, tetapi mempunyai

lapisan luar tebal yang terdiri dari lipoid (terutama asam mikolat). Dapat

bertahan terhadap pencucian warna dengan asam dan alkohol, sehingga

disebut basil tahan asam (BTA), tahan terhadap zat kimia dan fisik, serta tahan

dalam keadaan kering dan dingin, bersifat dorman (dapat tertidur lama) dan

aerob.

9

Bakteri tuberkulosis ini mati pada pemanasan 100ºC selama 5-10 menit atau

pada pemanasan 60ºC selama 30 menit, dan dengan alkohol 70-95% selama

15-30 detik. Bakteri ini tahan selama 1-2 jam di udara, di tempat yang lembab

dan gelap bisa berbulan-bulan namun tidak tahan terhadap sinar matahari atau

aliran udara. Data pada tahun 1993 melaporkan bahwa untuk mendapatkan

90% udara bersih dari kontaminasi bakteri memerlukan 40 kali pertukaran

udara per jam (Widoyono, 2008)

3. Klasifikasi Penyakit dan Tipe Pasien TB Paru

a. Klasifikasi pasien tuberkulosis

Klasifikasi penyakit Tuberkulosis paru berdasarkan pemeriksaan dahak

menurut Kemenkes RI (2011), dibagi dalam :

1) Tuberkulosis paru BTA positif.

a) Sekurang-kurangnya 2 dari 3 spesimen dahak SPS hasilnya BTA

positif.

b) 1 spesimen dahak SPS hasilnya BTA positif dan foto toraks dada

menunjukkan gambaran tuberkulosis.

c) 1 spesimen dahak SPS hasilnya BTA positif dan biakan kuman

Tuberkulosis positif.

d) 1 atau lebih spesimen dahak hasinya positif setelah 3 spesimen

dahak SPS pada pemeriksaan sebelumnya hasilnya BTA negatif

dan tidak ada perbaikan setelah pemberian antibiotika non OAT.

2) Tuberkulosis paru BTA negatif.

Kasus yang tidak memenuhi definisi pada Tuberkulosis paru BTA

positif. Kriteria diagnostik Tuberkulosis paru BTA negatif harus

meliputi :

a) Paling tidak 3 spesimen dahak SPS hasilnya negative.

b) Foto toraks abnormal menunjukkan gambaran Tuberkulosis.

c) Tidak ada perbaikan setelah pemberian antibiotika non OAT.

10

d) Ditentukan (dipertimbangkan) oleh dokter untuk diberi

pengobatan.

b. Tipe Pasien Tuberkulosis Paru

Kemenkes RI (2011) mengklasifikasi pasien Tuberkulosis Paru

berdasarkan riwayat pengobatan sebelumnya dibagi menjadi beberapa tipe,

yaitu :

1) Baru

Adalah pasien yang belum pernah diobati dengan OAT atau sudah

pernah menelan OAT kurang dari satu bulan (4 minggu).

2) Kambuh (Relaps)

Adalah pasien Tuberkulosis yang sebelumnya pernah mendapat

pengobatan Tuberkulosis dan telah dinyatakan sembuh atau pengobatan

lengkap, didiagnosis kembali dengan BTA positif (apusan atau kultur).

3) Pengobatan setelah putus berobat (Default).

Adalah pasien yang telah berobat dan putus berobat 2 bulan atau lebih

dengan BTA positif.

4) Gagal (Failure)

Adalah pasien yang hasil pemeriksaan dahaknya tetap positif atau

kembali menjadi positif pada bulan kelima atau lebih selama

pengobatan.

5) Pindahan (Transfer In)

Adalah pasien yang dipindahkan dari UPK yang memiliki register

Tuberkulosis lain untuk melanjutkan pengobatannya.

6) Lain-lain

Adalah semua kasus yang tidak memenuhi ketentuan diatas. Kelompok

ini termasuk Kasus Kronik, yaitu pasien dengan hasil pemeriksaan

masih BTA positif setelah selesai pengobatan ulangan.

11

4. Patofisiologi

Tempat masuk kuman M. tuberculosis adalah saluran pernafasan,

saluran pencernaan dan luka terbuka pada kulit. Kebanyakan infeksi

tuberculosis terjadi melalui udara (airborne), yaitu melalui inhalasi droplet

yang mendukung kuman-kuman basil tuberkel yang berasal dari orang yang

terinfeksi. Saluran pencernaan merupakan tempat masuk utama bagi jenis

bovin, yang penyebarannya melalui susu yang terkontaminasi.

Tuberkulosis adalah penyakit yang dikendalikan oleh respon imunitas

perantara sel. Sel efektornya adalah makrofag, sedangkan limfosit (biasanya

limfosit T) adalah sel imunosupresifnya. Tipe imunitas seperti ini biasanya

local, melibatkan makrofag yang diaktifkan ditempat infeksi oleh limfosit dan

limfokinnya . Respon ini disebut sebagai reaksi hipersensitivitas.

Pada waktu batuk atau bersin, penderita menyebarkan kuman ke udara dalam

bentuk droplet (percikan dahak). Droplet yang mengandung Mycobakterium

tuberkulosis dapat menetap dalam udara bebas selama 1-2 jam. Orang dapat

terifeksi kalau droplet tersebut terhirup ke dalam saluran pernapasan. Setelah

Mycobacterium tuberkulosis masuk ke dalam saluran pernapasan, masuk ke

alveoli, tempat dimana mereka berkumpul dan mulai memperbanyak diri.

Basil juga secara sistemik melalui sistem limfe dan aliran darah ke bagian

tubuh lainnya (ginjal, tulang, korteks serebri), dan area paru-paru lainnya

(lobus atas) (Sylvia A. Price & Wilson,2006).

Sistem imun tubuh berespons dengan melakukan reaksi inflamasi.

Fagosit (neutrofil dan makrofag) menelan banyak bakteri; limfosit melisis

(menghancurkan) basil dan jaringan normal. Reaksi jaringan ini

mengakibatkan penumpukan eksudat dalam alveoli, menyebabkan

bronkopneumonia. lnfeksi awal biasanya terjadi 2 sampai 10 minggu setelah

pemajanan.

Massa jaringan baru, yang disebut granulomas, yang merupakan

gumpalan basil yang masih hidup dan yang sudah mati, dikelilingi oleh

12

makrofag yang membentuk dinding protektif. Granulomas diubah menjadi

massa jaringan fibrosa. Bagian sentral dari massa fibrosa ini disebut tuberkel

Ghon. Bahan (bakteri dan makrofag) menjadi nekrotik, membentuk massa

seperti keju. Massa ini dapat mengalami kalsifikasi, membentuk skar

kolagenosa. Bakteri menjadi dorman, tanpa perkembangan penyakit aktif.

Setelah pemajanan dan infeksi awal, individu dapat mengalami penyakit

aktif karena gangguan atau respons yang inadekuat dari respons sistem imun.

Penyakit aktif dapat juga terjadi dengan infeksi ulang dan aktivasi bakteri

dorman. Dalam kasus ini, tuberkel Ghon memecah, melepaskan bahan seperti

keju ke dalam bronki. Bakteri kemudian menjadi tersebar di udara,

mengakibatkan penyebaran penyakit lebih jauh. Tuberkel yang memecah

menyembuh, membentuk jaringan parut. Paru yang terinfeksi menjadi lebih

membengkak, mengakibatkan terjadinya bronkopneumonia lebih lanjut,

pembentukan tuberkel dan selanjutnya. Kecuali proses tersebut dapat

dihentikan, penyebarannya dengan lambat mengarah ke bawah ke hilum paru-

paru dan kemudian meluas ke lobus yang berdekatan. Proses mungkin

berkepanjangan dan ditandai oleh remisi lama ketika penyakit dihentikan,

hanya supaya diikuti dengan periode aktivitas yang diperbaharui. Hanya

sekitar 10% individu yang awalnya terinfeksi mengalami penyakit aktif .

(Smeltzer & Bare, 2002)

5. Manifestasi klinis

Gejala klinis pasien Tuberkulosis Paru menurut Komite DOTS (2004), adalah :

a. Batuk berdahak selama 2-3 minggu atau lebih.

b. Dahak bercampur darah.

c. Batuk berdarah.

d. Sesak napas.

e. Badan lemas.

f. Nafsu makan menurun.

13

g. Berkeringat malam hari tanpa kegiatan fisik.

h. Demam meriang lebih dari satu bulan.

6. Resiko dan cara penularan

a. Faktor yang mempengaruhi kemungkinan seseorang menjadi pasien TB

paru adalah daya tahan tubuh yang rendah, diantaranya infeksi HIV/AIDS

dan malnutrisi (gizi buruk).

b. Infeksi HIV mengakibatkan kerusakan luas sistem daya tahan tubuh

seluler (cellular immunity) dan merupakan faktor risiko paling kuat bagi

yang terinfeksi TB paru untuk menjadi sakit TB (TB Aktif). Bila jumlah

orang terinfeksi HIV meningkat, maka jumlah pasien TB akan meningkat,

dengan demikian penularan TB paru di masyarakat akan meningkat pula.

c. Risiko tertular tergantung dari tingkat pajanan dengan percikan dahak.

Pasien TB paru dengan BTA positif memberikan kemungkinan risiko

penularan lebih besar dari pasien TB paru dengan BTA negatif.

d. Sumber penularan adalah pasien TB paru BTA positif.

e. Pada waktu batuk atau bersin, pasien menyebarkan kuman ke udara dalam

bentuk percikan dahak (droplet nuclei). Sekali batuk dapat menghasilkan

sekitar 3000 percikan dahak.

f. Umumnya penularan terjadi dalam ruangan dimana percikan dahak berada

dalam waktu yang lama. Ventilasi dapat mengurangi jumlah percikan,

sementara sinar matahari langsung dapat membunuh kuman. Percikan

dapat bertahan selama beberapa jam dalam keadaan yang gelap dan

lembab.

g. Daya penularan seorang pasien ditentukan oleh banyaknya kuman yang

dikeluarkan dari parunya. Makin tinggi derajat kepositifan hasil

pemeriksaan dahak, makin menular pasien tersebut.

14

h. Faktor yang memungkinkan seseorang terpajan kuman TB paru ditentukan

oleh konsentrasi percikan dalam udara dan lamanya menghirup udara

tersebut (Widoyono, 2008).

7. Pemeriksaan penunjang

a. Pemeriksaan dahak mikroskopis

Pemeriksaan dahak berfungsi untuk menegakkan diagnosis, menilai

keberhasilan pengobatan dan menentukan potensi penularan. Pemeriksaan

dahak untuk penegakan diagnosis dilakukan dengan mengumpulkan 3

spesimen dahak yang dikumpulkan dalam dua hari kunjungan yang

berurutan berupa Sewaktu-Pagi-Sewaktu (SPS) (Kemenkes RI, 2011).

1) S (Sewaktu): dahak dikumpulkan pada saat suspek TB datang

berkunjung pertama kali. Pada saat pulang, suspek membawa sebuah

pot dahak untuk mengumpulkan dahak pagi pada hari kedua.

2) P (Pagi): dahak dikumpulkan di rumah pada pagi hari kedua, segera

setelah bangun tidur. Pot dahak dibawa dan diserahkan sendiri kepada

petugas di Fasyankes.

3) S (Sewaktu): dahak dikumpulkan di Fasyankes pada hari kedua, saat

menyerahkan dahak pagi.

Pengambilan 3 spesimen dahak masih diutamakan dibanding dengan 2

spesimen dahak mengingat masih belum optimalnya fungsi sistem dan

hasil jaminan mutu eksternal pemeriksaan laboratorium.

b. Pemeriksaan Biakan

Peran biakan dan identifikasi M. Tuberkulosis pada pengendalian TB

adalah untuk menegakkan diagnosis TB pada pasien tertentu, yaitu :

1) Pasien TB Ekstra Paru

2) Pasien Tb Anak

3) Pasien TB BTA Negatif

15

Pemeriksaan tersebut dilakukan jika keadaan memungkinkan dan tersedia

laboratorium yang telah memenuhi standar yang ditetapkan (Kemenkes RI,

2011).

c. Indikasi Pemeriksaan Foto Toraks

Pada sebagian besar TB paru, diagnosis terutama ditegakkan dengan

pemeriksaan dahak secara mikroskopis dan tidak memerlukan foto toraks.

Namun pada kondisi tertentu pemeriksaan foto toraks perlu dilakukan

sesuai dengan indikasi sebagai berikut: (Depkes RI, 2002).

1) Hanya 1 dari 3 spesimen dahak SPS hasilnya BTA positif. Pada kasus

ini pemeriksaan foto toraks dada diperlukan untuk mendukung

diagnosis TB paru BTA positif.

2) Ketiga spesimen dahak hasilnya tetap negatif setelah 3 spesimen dahak

SPS pada pemeriksaan sebelumnya hasilnya BTA negatif dan tidak ada

perbaikan setelah pemberian antibiotika non OAT(non fluoroquinolon).

3) Pasien tersebut diduga mengalami komplikasi sesak nafas berat yang

memerlukan penanganan khusus (seperti: pneumotorak, pleuritis

eksudativa, efusi perikarditis atau efusi pleural) dan pasien yang

mengalami hemoptisis berat (untuk menyingkirkan bronkiektasis atau

aspergiloma).

8. Penatalaksanaan

a. Pengobatan Tuberkulosis

Pengobatan tuberkulosis bertujuan untuk menyembuhkan pasien,

mencegah kematian, mencegah kekambuhan, memutuskan rantai

penularan dan mencegah terjadinya resistensi kuman terhadap OAT. Obat

yang digunakan untuk tuberkulosis digolongkan atas dua kelompok yaitu

kelompok pertama dan kelompok kedua. Kelompok obat pertama yaitu

rifampisin, isoniazid, pirazinamid, etambutol dan streptomisin. Kelompok

16

obat ini memperlihatkan efektivitas yang tinggi dengan toksisitas yang dapat

diterima (Kemenkes RI, 2011).

Jenis dan dosis OAT dapat dilihat pada Tabel 2.1.

Tabel 2.1 Jenis dan dosis OAT

Jenis OAT Dosis harian (mg/kg) Dosis 3 kali seminggu

(mg/kg)

Rifampisin (R) 10 (8-12) 10 (8-12)

Isoniazid (H) 5 (4-6) 10 (8-12)

Pirazinamid (Z) 25 (20-30) 35 (30-40)

Etambutol (E) 15 (15-20) 30 (20-35)

Streptomisin (S) 15 (12-18) 15 (12-18)

Penggunaan OAT kelompok kedua misalnya golongan aminoglikosida

(misalnya kanamicin) dan golongan kuinolon tidak dianjurkan diberikan

kepada pasien baru tanpa indikasi yang jelas karena potensi obat tersebut

jauh lebih rendah daripada OAT kelompok pertama juga meningkatkan

terjadinya risiko resistensi pada OAT kelompok kedua (Kemenkes RI,

2011).

b. Panduan Obat Antituberkulosis yang Digunakan di Indonesia

Paduan obat anti tuberkulosis yang digunakan oleh program nasional

penanggulangan tuberkulosis di Indonesia dibagi dalam dua kategori.

1) Kategori satu diobati dengan kombinasi 2(HRZE)/4(HR)3. Tahap

intensif terdiri dari HRZE diberikan setiap hari selama dua bulan,

kemudian diteruskan dengan tahap lanjutan yang terdiri dari HR

diberikan tiga kali dalam seminggu selama empat bulan.

Pasien yang termasuk kategori satu yaitu pasien baru tuberkulosis paru

dengan hasil uji BTA positif, pasien tuberkulosis paru dengan hasil uji

BTA negatif tetapi hasil foto toraks positif dan pasien tuberkulosis

ekstra paru. (Kemenkes RI, 2011)

17

Tabel 2.2 Dosis OAT kategori satu

Berat badan Tahap intensif tiap hari Tahap lanjutan 3 kali

(kg) selama 56 hari RHZE seminggu selama 16 minggu (150/75/400/275) RH (150/150)

30-37 2 tablet 4KDT 2 tablet 4KDT

38-54 3 tablet 4KDT 3 tablet 4KDT

55-70 4 tablet 4KDT 4 tablet 4KDT

≥ 71 5 tablet 4KDT 5 tablet 4KDT

2) Kategori dua

Kategori dua diobati dengan kombinasi

2(HRZE)S/(HRZE)/5(HRE)3. Tahap intensif diberikan selama

tiga bulan, yang terdiri dari dua bulan dengan HRZES setiap hari,

dilanjutkan 1 bulan dengan HRZE setiap hari. Setelah itu

diteruskan dengan tahap lanjutan selama 5 bulan dengan HRE yang

diberikan tiga kali dalam seminggu. Paduan obat antituberkulosis

ini diberikan untuk pasien BTA positif yang telah diobati

sebelumnya yaitu pasien kambuh, pasien gagal, pasien dengan

pengobatan setelah default (terputus). (Kemenkes RI 2011)

Tabel 2.3 Dosis OAT kategori dua

Berat Tahap intensif tiap hari RHZE Tahap lanjutan 3 kali

badan (150/75/400/275) + Seminggu selama 5

(kg) bulan RH (150/150)

+ E(275)

Selama 56 Hari Selama 28 hari 2 tablet 2KDT + 2

tablet Etambutol

30-37 2 tablet 4KDT + 500 mg 2 tablet 4KDT 2 tablet 2KDT + 2

Streptomisin injeksi tablet Etambutol

38-54 3 tablet 4KDT + 750 mg 3 tablet 4KDT 3 tablet 2KDT + 3

Streptomisin injeksi tablet Etambutol

55-70 4 tablet 4KDT + 1000mg 4 tablet 4KDT 4 tablet 2KDT + 4

Streptomisin injeksi tablet Etambutol

18

9. Komplikasi

a. Batuk Darah (Haemoptoe)

Pada dasarnya proses TB Paru adalah proses nekrotis, dan jaringan yang

mengalami nekrotis terdapat pada pembulub darah. Jumlah darah yang

dibatukkan keluar bervariasi mulai dari sangat sedikit sampai banyak

sekali, tergantung pada pembuluh darah yang terkena.

b. Hematogen

Penyebaran hematogen terjadi bilamana proses nekrotis mengenai

pembuluh darah. Bahan-bahan nekrotis yang penuh basil-basil TB akan

tertumpah dalam aliran darah. Basil-basil ini kemudian akan bersarang di

organorgan tubuh. hariya ada dua organ tubuh yang memang secara

alamiah tidak dapat diserang TB, yaitu otot sekiet dan otot jantung.

c. TB Larings

Karena tiap kali dahak yang mengandung basil TB dikeluarkan melalui

lanings, maka basil yang tersangkut di larings akan menimbulkan proses

TB di larings. Maka terjadilah TB larings.

d. Pneumothoraks

Apabila proses riekrotis dekat dengan pleura maka pleura akan bocor.

Sehingga terjadilah penumathorules (pecahnya dinding kavitas yang

berdekatan dengan pleura).

e. Abses paru

Infeksi sekunder dapat pula mengenai jaringan nekrotis itu langsung,

sehingga terjadi abses paru (Depkes RI, 2002).

B. Konsep dan Teori Perilaku

1. Definisi

Perilaku adalah tindakan atau aktivitas dari manusia itu sendiri yang

mempunyai bentangan yang sangat luas antara lain: berjalan, berbicara,

menangis, tertawa, bekerja, kuliah, menulis, membaca, dan sebagainya. Dari

19

uraian ini dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud perilaku manusia adalah

semua kegiatan atau aktivitas manusia, baik yang diamati langsung, maupun

yang tidak dapat diamati oleh pihak luar (Notoatmodjo, 2003).

Skiner (1938) dalam Notoatmodjo (2010) merumuskan perilaku sebagai

respon atau reaksi seseorang terhadap stimulus (rangsang dari luar). Dengan

demikian perilaku manusia terjadi melalui proses : Stimulus – Organisme –

Respon, sehingga teori ini disebut teori “S–O–R “.

2. Faktor – faktor yang mempengaruhi perilaku

Beberapa teori yang telah dicoba untuk mengungkapkan faktor-faktor yang

memengaruhi perilaku, khususnya perilaku yang berhubungan dengan

kesehatan, antara lain teori Green (1980) dalam Notoatmodjo, 2003

mengatakan bahwa perilaku dipengaruhi oleh 3 faktor utama yaitu:

a. Faktor predisposisi (predisposing factor), faktor ini mencakup

pengetahuan dan sikap masyarakat terhadap kesehatan, tradisi dan

kepercayaan masyarakat terhadap hal-hal yang berkaitan dengan

kesehatan, sistem nilai yang dianut masyarakat, tingkat pendidikan,

tingkat sosial ekonomi dan sebagainya.

Faktor-faktor predisposisi (predisposing factor) terwujud dalam:

1) Pengetahuan

Pengetahuan adalah hasil dari tahu yang terjadi melalui proses sensori

khususnya mata dan telinga terhadap obyek tertentu. Pengetahuan

merupakan domain yang sangat penting untuk terbetuknya perilaku

terbuka (overt behavior). Perilaku yang didasari pengetahuan umumnya

bersifat langgeng .

2) Sikap

Sikap adalah respon tertutup seseorang terhadap suatu stimulus atau

obyek, baik yang bersifat intern maupun ekstern sehingga manifestasinya

tidak dapat langsung dilihat, tetapi hanya dapat ditafsirkan terlebih dahulu

20

dari perilaku yang tertutup tersebut. Tingkatan respon adalah menerima

(receiving), merespon,(responding), enghargai (valuing), dan bertanggung

jawab (responsible).

3) Nilai-nilai

Nilai-nilai atau norma yang berlaku akan membentuk perilaku yang sesuai

dengan nilai-nilai atau norma yang telah melekat pada diri seseorang.

4) Kepercayaan

Seseorang yang mempunyai atau meyakini suatu kepercayaan tertentu

akan mempengaruhi perilakunya dalam menghadapi suatu penyakit yang

akan berpengaruh terhadap kesehatannya .

5) Persepsi

Persepsi merupakan proses yang menyatu dalam diri individu terhadap

stimulus yang diterimanya. Persepsi merupakan proses pengorganisasian,

penginterpretasian terhadap rangsang yang diterima oleh organisme atau

individu sehingga merupakan sesuatu yang berarti dan merupakan respon

yang menyeluruh dalam diri individu. Oleh karena itu dalam

penginderaan orang akan mengaitkan dengan stimulus, sedangkan dalam

persepsi orang akan mengaitkan dengan obyek.

Persepsi pada individu akan menyadari tentang keadaan sekitarnya dan

juga keadaan dirinya. Orang yang mempunyai persepsi yang baik tentang

sesuatu cenderung akan berperilaku sesuai dengan persepsi yang

dimilikinya (Notoatmodjo, 2003 ).

b. Faktor pemungkin (enabling factor), faktor-faktor ini mencakup

ketersediaan sarana dan prasarana atau fasilitas kesehatan bagi masyarakat

seperti, Puskesmas, Rumah Sakit, Poliklinik, Posyandu, Polindes, Pos

Obat Desa, Dokter atau Bidan Praktek Swasta. Fasilitas ini pada

hakikatnya mendukung atau memungkinkan terwujudnya perilaku

kesehatan.

21

c. Faktor penguat (reinforcing factor), faktor-faktor ini meliputi faktor sikap

dan perilaku tokoh masyarakat, tokoh agama dan para petugas kesehatan,

termasuk juga disini undang-undang, peraturan-peraturan baik dari pusat

maupun pemerintah daerah yang terkait dengan kesehatan. Untuk

berperilaku sehat, masyarakat kadang-kadang bukan hanya perlu

pengetahuan dan sikap positif serta dukungan fasilitas saja, melainkan

diperlukan perilaku contoh (acuan) dari para tokoh masyarakat, tokoh

agama dan para petugas terlebih lagi petugas kesehatan. Di samping itu,

undang-undang juga diperlukan untuk memperkuat perilaku masyarakat

tersebut.

3. Perilaku kesehatan

Perilaku kesehatan menurut skinner (1938), sebagaimana dikutip oleh

Notoatmodjo (2007), perilaku kesehatan adalah suatu respon seseorang

(organisme) terhadap stimulus atau objek yang berkaitan dengan sakit dan

penyakit, sistem pelayanan kesehatan, makanan, dan minuman, serta

lingkungan. Becker (1979) dalam Notoatmodjo (2007), membuat klasifikasi

tentang perilaku kesehatan yang terdiri dari :

a. Perilaku Hidup Sehat

Perilaku hidup sehat adalah perilaku yang berkaitan dengan upaya atau

kegiatan seseorang untuk mempertahankan dan meningkatkan

kesehatannya yang mencakup antara lain :

1) Makan dengan menu seimbang (appropriate diet)

2) Olahraga teratur

3) Tidak merokok

4) Tidak minum minuman keras dan narkoba

5) Istirahat yang cukup

6) Mengendalikan stress

22

7) Perilaku atau gaya hidup lain yang positif bagi kesehatan, misalnya

tidak berganti-ganti pasangan dalam hubungan seks.

b. Perilaku Sakit (Illness Behaviour)

Perilaku sakit ini mencakup respon seseorang terhadap sakit dan penyakit,

persepsinya terhadap sakit, pengetahuan tentang : gejala dan penyebab

penyakit, dan sebagainya.

c. Perilaku Peran Sakit (The Sick Role Behaviour)

Orang sakit (pasien) mempunyai hak dan kewajiban sebagai orang sakit,

yang harus diketahui oleh orang lain (terutama keluarganya). Perilaku ini

disebut perilaku peran sakit (the sick role) yang meliputi :

1) Tindakan untuk memperoleh kesembuhan.

2) Mengenal / mengetahui fasilitas atau sarana pelayanan/penyembuhan

penyakit yang layak.

3) Mengetahui hak (misalnya ; hak memperoleh perawatan, memperoleh

pelayanan kesehatan, dan sebagainya) dan kewajiban orang sakit

(memberitahukan penyakitnya kepada orang lain terutama kepada

dokter/petugas kesehatan, tidak menularkan penyakitnya kepada

orang lain, dan sebagainya).

Untuk berperilaku sehat, masyarakat kadang-kadang bukan hanya perlu

pengetahuan dan sikap positif dan dukungan fasilitas saja, melainkan

diperlukan perilaku contoh (acuan) dari para tokoh masyarakat, tokoh agama,

dan para petugas terutama petugas kesehatan dan diperlukan juga undang-

undang kesehatan untuk memperkuat perilaku tersebut (Notoatmodjo, 2003).

4. Perilaku Pencarian Pelayanan Kesehatan

Masyarakat atau anggota masyarakat yang mendapat penyakit dan tidak

merasakan sakit (disease but no illness) tentu tidak bertindak apa-apa terhadap

penyakit tersebut. Tetapi bila mereka diserang penyakit dan juga merasakan

sakit, maka baru akan timbul berbagai macam perilaku dan usaha, antara lain :

23

a. Tidak bertindak/kegiatan apa-apa (no action).

b. Bertindak mengobati diri sendiri (self treatment).

c. Mencari pengobatan ke fasilitas-fasilitas pengobatan alternatif (traditional

remedy).

d. Mencari pengobatan dengan membeli obat-obat ke warung obat (chemist

shop) dan sejenisnya termasuk tukang-tukang jamu.

e. Mencari pengobatan dengan pengobatan ke fasilitas-fasilitas pengobatan

modren yang diadakan oleh pemerintah atau lembaga-lembaga kesehatan

swasta, yang dikategorikan ke dalam pengobatan Puskesmas dan Rumah

Sakit.

f. Mencari pengobatan ke fasilitas pengobatan modren yang diselenggarakan

oleh dokter (private medicine) (Notoatmodjo, 2003)

5. Perilaku Pencegahan

Perilaku pencegahan adalah mengambil tindakan terlebih dahulu

sebelum kejadian (Noor, 2008). Pada dasarnya ada empat tingkatan

pencegahan penyakit secara umum, yakni:

a. Pencegahan tingkat dasar (primordial prevention)

Pencegahan tingkat dasar (primordial prevention) adalah usaha mencegah

terjadinya risiko atau mempertahankan keadaan risiko rendah dalam

masyarakat terhadap penyakit secara umum. Pencegahan ini meliputi usaha

memelihara dan mempertahankan kebiasaan atau pola hidup yang sudah

ada dalam masyarakat yang dapat mencegah meningkatnya risiko terhadap

penyakit dengan melestarikan pola atau kebiasaan hidup sehat yang dapat

mencegah atau mengurangi tingkat risiko terhadap penyakit tertentu atau

terhadap berbagai penyakit secara umum (Noor, 2008).

24

b. Pencegahan tingkat pertama (primary prevention)

Pencegahan tingkat pertama (primary prevention) merupakan suatu usaha

pencegahan penyakit melalui usaha mengatasi atau mengontrol faktor-

faktor risiko dengan sasaran utamanya orang sehat melalui usaha

peningkatan derajat kesehatan secara umum (promosi kesehatan) serta

usaha pencegahan khusus terhadap penyakit tertentu. Pencegahan tingkat

pertama ini didasarkan pada hubungan interaksi antara penjamu (host),

penyebab (agent/pemapar), lingkungan dan proses kejadian penyakit.

Sasaran pencegahan tingkat pertama ini ditujukan kepada faktor penjamu

seperti perbaikan gizi, pemberian imunisasi, peningkatan kehidupan sosial

dan psikologis individu dan masyarakat serta peningkatan ketahanan fisik

individu (Noor, 2008).

c. Pencegahan tingkat kedua (secondary prevention)

Sasaran utama pada mereka yang baru terkena penyakit atau yang terancam

akan menderita penyakit tertentu melalui diagnosis dini serta pemberian

pengobatan yang cepat dan tepat. Tujuan utama pencegahan tingkat kedua

ini, antara lain untuk mencegah meluasnya penyakit/terjadinya wabah pada

penyakit menular dan untuk menghentikan proses penyakit lebih lanjut

serta mencegah komplikasi (Noor, 2008).

Salah satu kegiatan pencegahan tingkat kedua adalah menemukan penderita

secara aktif pada tahap dini. Kegiatan ini meliputi pemeriksaan berkala

pada kelompok populasi tertentu, melakukan penyaringan (screening)

untuk mencari penderita secara dini, surveilans epidemiologi untuk

mendapatkan keterangan tentang proses penyakit yang ada dalam

masyarakat (Noor, 2008).

d. Pencegahan tingkat ketiga (tertiary prevention)

Pencegahan tingkat ketiga (tertiary prevention) merupakan pencegahan

dengan sasaran utamanya adalah penderita penyakit tertentu, dalam usaha

mencegah bertambah beratnya penyakit atau mencegah terjadinya cacat

25

serta program rehabilitasi. Tujuan utamanya adalah mencegah proses

penyakit lebih lanjut, seperti pengobatan dan perawatan khusus penderita

kencing manis, tekanan darah tinggi, gangguan saraf dan lain-lain serta

mencegah terjadinya cacat maupun kematian karena penyebab tertentu,

serta usaha rehabilitasi (Noor, 2008).

6. Domain perilaku

Menurut Bloom (1908) dalam Notoatmodjo (2010) membedakan

adanya 3 (tiga) area atau domain perilaku, yakni kognitif (cognitive), afektif

(affective), dan psikomotor (psychomotor). Kemudian oleh ahli pendidikan di

Indonesia ketiga domain diterjemahkan kedalam cipta, rasa, dan karsa.

Berdasarkan pembagian domain oleh Bloom ini, dikembangkan 3 tingkatan

ranah perilaku, sebagai berikut :

a. Pengetahuan

Pengetahuan adalah hal apa yang diketahui oleh orang atau responden

terkait dengan sehat dan sakit atau kesehatan, misal : tentang penyakit

(penyebab, cara penularan, cara pencegahan), gizi, sanitasi, pelayanan

kesehatan, kesehatan lingkungan. Pengetahuan seseorang terhadap obyek

mempunyai intensitas atau tingkat yang berbeda – beda yang di dalam

domain kognitif mempunyai 6 tingkatan yaitu (Notoatmodjo, 2010).

1) Tahu (Know)

Tahu diartikan sebagai mengingat suatu materi yang telah dipelajari

sebelumnya. Termasuk ke dalam pengetahuan tingkat dari adalah

mengingat kembali terhadap sesuatu yang spesifik dari seluruh bahan

yang dipelajari atau rangsangan yang djterima. Oleh sebab itu, tahu ini

merupakan tingkatan yang paling rendah.

26

2) Memahami

Memahami diartikan sebagai suatu kemampuan menjelaskan secara

benar tentang objek yang diketahui dan dapat menginterprestasikan

materi tersebut secara benar.

3) Aplikasi

Aplikasi diartikan sebagai kemampuan untuk menggunakan materi

yang telah dipelajari pada situasi atau kondisi riil atau sebenarnya.

4) Analisis

Analisis adalah suatu kemampuan untuk menjabarkan materi atau

suatu objek ke dalam komponen-komponen tetapi masih dalam suatu

struktur organisasi tersebut, dan masih ada kaitannya satu sama lain.

5) Sintesis

Sintesis menunjukkan kepada suatu kemampuan untuk merangkum

atau meletakkan dalam satu hubungan yang logis dari komonen –

komponen pengetahuan yang dimiliki.

6) Evaluasi

Evalausi berkaitan dengan kemampuan seseorang untuk melakukan

justifikasi atau penilaian terhadap suatu obyek tertentu. Penilaian ini

dengan sendirinya didasarkan pada suatu kriteria yang ditentukan

sendiri atau norma – norma yang berlaku dimasyarakat. Menurut

Arikunto (2005) pengetahuan seseorang dapat diketahui dan

diinterprestasikan dengan skala yang bersifat kualitatif, yaitu:

Pengetahuan baik jika hasil presentase 76- 100%, pengetahuan cukup

jika hasil persentase 56-75% dan pengetahuan kurang jika hasil

persentase <56%.

Menurut Notoatmodjo (2003), pengetahuan seseorang dapat

dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu:

1) Pengalaman

27

Pengalaman dapat diperoleh dari pengalaman sendiri maupun orang

lain. Pengalaman dari diri sendiri maupun orang lain yang

meninggalkan kesan yang paling dalam akan menambah pengetahuan

seseorang.

2) Tingkat Pendidikan

Pendidikan dapat membawa wawasan atau pengetahuan seseorang.

Semakin tinggi tingkat pendidikan seseorang, maka dia akan lebih

mudah untuk menerima hal-hal baru.

3) Keyakinan

Biasanya keyakinan diperoleh secara turun-temurun dan tanpa adanya

pembuktian terlebih dahulu. Keyakinan ini biasa mempengaruhi

pengetahuan seseorang, baik keyakinan itu sifatnya positif maupun

negatif.

4) Fasilitas

Fasilitas-fasilitas sebagai sumber informasi yang dapat mempengaruhi

pengetahuann seseorang, misalnya radio, televisi, majalah, koran, dan

buku.

5) Penghasilan

Penghasilan tidak berpengaruh langsung terhadap pengetahuan

seseorang. Namun bila seseorang berpenghasilan cukup besar maka

dia akan mampu untuk menyediakan atau membeli fasilitas-fasilitas

sumber informasi.

6) Sosial Budaya

Kebudayaan setempat dan kebiasaan dalam keluarga dapat

mempengaruhi pengetahuan, persepsi, dan sikap seseorang terhadap

sesuatu.

28

b. Sikap

Sikap adalah juga respon tertutup seseorang terhadap stimulus atau

obyek tertentu yang sudah melibatkan faktor pendapat dan emosi yang

bersangkutan. Manifestasi sikap tidak dapat dilihat langsung tetapi hanya

dapat ditafsirkan terlebih dahulu dari perilaku yang tertutup. Sikap secara

nyata menunjukkan konotasi adanya kesesuaian reaksi terhadap stimulus

tertentu yang dalam kehidupan sehari-hari merupakan reaksi yang bersifat

emosional terhadap stimulus sosial (Notoatmodjo, 2010)

Azwar (2010) mengatakan bahwa sikap juga merupakan evaluasi

atau reaksi perasaan mendukung atau memihak (favorable) maupun

perasaan tidak memihak (unfavorable) pada objek tertentu, sementara

Sekord dan Backman dalam Azwar (2010) mendefinisikan sikap sebagai

keteraturan tertentu dalam hal perasaan (afeksi), pemikiran (kognisi), dan

predisposisi tindakan (konasi) seseorang terhadap suatu aspek di

lingkungan sekitarnya. Sikap yang ditunjukkan seseorang merupakan

bentuk respon batin dari stimulus yang berupa materi atau obyek di luar

subyek yang menimbulkan pengetahuan berupa subyek yang selanjutnya

menimbulkan respon batin dalam bentuk sikap si subyek terhadap yang

diketahuinya itu (Notoatmodjo, 2010).

Azwar (2010) menjelaskan bahwa sikap itu mempunyai 3

komponen pokok yang saling menunjang yaitu:

1) Komponen kognitif, merupakan representasi apa yang dipercayai oleh

individu pemilik sikap, komponen ini berisi kepercayaan stereotipe

yang dimiliki individu mengenai sesuatu dapat disamakan.

2) Komponen afektif merupakan perasaan yang menyangkut asfek

emosional.

3) Komponen konatif merupakan asfek kecenderungan berperilaku

tertentu sesuai dengan sikap yang dimiliki oleh seseorang dan berisi

tendensi atau kecenderungan untuk bertindak/bereaksi terhadap

29

sesuatu dengan cara-cara tertentu. Ketiga komponen ini secara

bersama-sama membentuk sikap yang utuh (total attitude). Dalam

Penentuan sikap yang utuh ini, pengetahuan, pikiran, keyakinan, dan

emosi memegang peranan penting.

Sikap mempunyai ciri-ciri sebagai berikut :

1) Sikap dibentuk dan diperoleh sepanjang perkembangan seseorang

dalam hubungannya dengan objek tertentu

2) Sikap dapat berubah sesuai dengan keadaan dan syarat-syarat tertentu

terhadap suatu kelompok.

3) Sikap dapat berupa suatu hal tertentu tetapi dapat juga kumpulan dari

hal-hal tersebut.

4) Sikap mempunyai segi-segi motivasi dari segi-segi perasaan

Seperti halnya dengan pengetahuan, sikap juga terdiri dari berbagai

tingkatan yakni (Notoatmodjo, 2007) :

1) Menerima (Receiving)

Menerima, diartikan bahwa orang (subjek) mau dan memperhatikan

stimulus yang diberikan (objek).

2) Merespons (Responding)

Merespon, diartikan sebagai memberikan jawaban apabila ditanya,

mengerjakan dan menyelesaikan tugas yang diberikan.

3) Menghargai (Valuing)

Menghargai, diartikan sebagai mengajak orang lain untuk

mengerjakan dan mendiskusikan suatu masalah.

4) Bertanggung jawab (Responsible)

Bertanggung jawab atas segala sesuatu yang telah dipilihnya dengan

segala risiko.

30

Mengukur sikap agak berbeda dengan mengukur pengetahuan.

Sebab mengukur sikap berarti menggali pendapat atau penilaian orang

terhadap obyek yang berupa fenomena, gejala, kejadian dan sebagainya

yang kadang – kadang bersifat abstrak. Beberapa konsep tentang sikap

yang dapat dijadikan acuan untuk pengukuran sikap antara lain sebagai

berikut: (Notoatmodjo, 2010).

1) Sikap merupakan tingkatan afeksi yang positif atau negatif yang

dihubungkan dengan objek (Thrustone).

2) Sikap dilihat dari individu yang menghubungkan efek yang positif

dengan objek atau negatif dengan objek (Edward)

c. Tindakan atau praktik

Praktik adalah hal yang dilakukan oleh responden terkait dengan

kesehatan (penyakitnya), cara peningkatan kesehatan, cara memperoleh

pengobatan yang tepat dan sebagainya (Notoatmodjo, 2010). Suatu sikap

belum otomatis terwujud dalam suatu tindakan (overt behavior). Untuk

mewujudkan sikap menjadi suatu perbuatan nyata diperlukan faktor

pendukung atau suatu kondisi yang memungkinkan antara lain adalah

fasilitas. Disamping faktor fasilitas juga diperlukan faktor dukungan

(support) dari pihak lain. Menurut Notoatmodjo (2007), tindakan memiliki

4 tingkatan yaitu :

1) Persepsi (Perception)

Persepsi adalah mengenal dan memilih berbagai objek sehubungan

dengan tindakan yang akan diambil.

2) Respon Terpimpin (Guided Response)

Respon terpimpin adalah dapat melakukan sesuatu dengan urutan yang

benar dan sesuai dengan contoh.

31

3) Mekanisme (Mechanism)

Mekanisme adalah suatu kondisi dimana seseorang mampu melakukan

sesuatu dengan benar secara otomatis, atau sesuatu itu sudah

merupakan kebiasaan.

4) Adopsi (Adoption)

Adopsi adalah suatu praktik atau tindakan yang sudah berkembang

dengan baik, artinya tindakan itu sudah dimodifikasinya tanpa

mengurangi kebenaran dari tindakan tersebut.

Pengukuran tindakan dapat dilakukan secara tidak langsung dan

langsung. Secara langsung dengan wawancara terhadap kegiatan-kegiatan

yang sudah dilakukan beberapa jam, hari, atau bulan yang lalu (recall).

Pengukuran secara langsung dengan mengobservasi tindakan atau kegiatan

responden (Notoatmodjo, 2007).

Teknik skala yang dapat digunakan untuk mengukur perilaku

adalah dengan menggunakan teknik skala Guttman. Skala ini merupakan

skala yang bersifat tegas dan konsisten dengan memberikan jawaban yang

tegas seperti jawaban dari pertanyaan/pernyataan: ya dan tidak, positif dan

negatif, setuju dan tidak setuju, benar dan salah. Skala guttman ini pada

umumnya dibuat seperti cheklist dengan interpretasi penilaian, apabila skor

benar nilainya 1 dan apabila salah nilainya 0 dan analisanya dapat

dilakukan seperti skala likert (Aziz. 2007).

7. Motivasi

a. Pengertian Motivasi

Motivasi mempunyai arti dorongan, berasal dari bahasa Latin “movere”,

yang berarti mendorong atau menggerakkan. Banyak batasan pengertian

tentang motivasi antara lain :

Menurut rumusan Terry G (1986) dalam Notoatmodjo (2010) motivasi

adalah keinginan yang terdapat pada diri seseorang individu yang

32

mendorongnya untuk melakukan perbuatan – perbuatan, tindakan, tingkah

laku, atau perilaku.

Motivasi menurut Stooner (1992) dalam Notoatmodjo (2010) didefinisikan

sebagai suatu hal yang menyebabkan dan yang mendukung tindakan atau

perilaku seseorang.

b. Teori-teori motivasi

Teori-teori motivasi manusia dibagi menjadi 3 yaitu: teori hedonisme, teori

naluri dan teori berdasarkan kebutuhan Maslow.

1) Teori hedonisme

Teori hedonisme adalah motivasi yang berhubungan dengan senang atau

gembira.

2) Teori naluri

Teori naluri adalah motivasi yang ada dalam diri manusia, atau motivasi

yang akan menimbulkan perilaku kebudayaan.

3) Teori berdasarkan kebutuhan Maslow

Sedangkan teori berdasarkan kebutuhan Maslow merupakan motivasi

perilaku seseorang atau individu.

c. Faktor-faktor yang mempengaruhi motivasi manusia

Menurut Walgito (2004), faktor-faktor yang mempengaruhi motivasi berasal

dari faktor internal dan eksternal. Faktor internal itu sendiri terdiri atas jenis

kelamin, sifat fisik, sifat kepribadian dan intelegensi.

1) Fisik

Motivasi seseorang dikaitkan dengan tipe fisiknya

2) Kepribadian

Corak kebiasaan manusia yang terhimpun dalam dirinya yang digunakan

untuk bereaksi serta menyesuaikan diri terhadap rangasang dari dalam

maupun lingkungannya, sehingga corak dan cara kebiasaannya itu

merupakan kesatuan fungsional yang khas pada manusia itu sendiri.

33

3) Intelegensi

Merupakan kemampuan individu untuk berfikir dan bertindak secara

terarah serta efektif. Sehingga, orang yang mempunyai inteligensi tinggi

akan lebih mudah menyerap informasi, saran dan nasehat terhadap

kebiasaan yang dilakukan banyak orang (Walgito, 2004).

Faktor-faktor pendorong (reinforcing factor) juga mencakup program

kesehatan, peraturan, undang-undang, kebijakan-kebijakan, dan perilaku

serta sikap petugas kesehatan yang lain.

C. Kerangka Teori

Perilaku Utama

Bagan 2.1. Kerangka Teori Penelitian

(Notoatmodjo, 2010)

Dari bagan 2.1 dapat dikemukakan bahwa perilaku dipengaruhi oleh tiga faktor

yang meliputi faktor predisposisi, faktor pendorong dan faktor pendukung.

Praktik Pencegahan

Terhadap Penularan

Resiko penularan kepada

orang lain

Pasien TB Paru

Faktor predisposisi (predisposing factor)

1. Pengetahuan

2. Sikap

3. Nilai

4. Kepercayaan

5. Persepsi

Faktor pendukung (enabling factor)

1. Ketersediaan sarana

2. Sumber daya/dana

3. Keterjangkauan

Faktor pendorong (reinforcing factor)

1. Perilaku tokoh masyarakat

2. Perilaku petugas kesehatan

3. Undang-undang

34

D. Kerangka Konsep

Bagan 2.2. Kerangka Konsep Penelitian

(Notoatmodjo, 2010 )

E. Veriabel Penelitian

Variabel dalam penelitian ini adalah terdiri dari :

1. Variabel Dependen

Variabel dependen dalam penelitian ini adalah pengetahuan dan sikap.

2. Variabel Independen

Variabel independen dalam penelitian ini adalah praktik pencegahan.

F. Hipotesis

1. Ada hubungan pengetahuan penderita dengan praktik pencegahan penularan

TBC paru di BKPM kota Semarang.

2. Ada hubungan sikap penderita dengan praktik pencegahan penularan TBC

paru di BKPM kota Semarang.

Variabel Independen

1. Pengetahuan

2. Sikap

Variabel Dependen

Praktik Pencegahan

Penularan TBC terhadap keluarga