BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. 1. -...
Transcript of BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. 1. -...
8
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Tuberculosis Paru
1. Definisi
Tuberkulosis adalah penyakit menular langsung yang disebabkan oleh
kuman Tuberkulosis (Mycobacterium tuberculosa) yang ditularkan melalui
udara (droplet nuclei) saat seorang pasien Tuberkulosis batuk dan percikan
ludah yang mengandung bakteri tersebut terhirup oleh orang lain saat
bernapas.(Widoyono, 2008).
Tuberkulosis adalah penyakit menular langsung yang disebabkan oleh
kuman TB (Mycobacterium Tuberculosis). Sebagian besar kuman TB
menyerang paru, tetapi dapat juga mengenai organ tubuh lainnya (Kemenkes
RI, 2011).
2. Etiologi
Tuberkulosis paru disebabkan oleh Mycobacterium Tuberculosa.
Ditemukan pertama kali oleh Robert Koch pada tahun 1882. Hasil penemuan
ini diumumkan di Berlin pada tanggal 24 Maret 1882 dan tanggal 24 Maret
setiap tahunnya diperingati sebagai hari Tuberkulosis.
Karakteristik kuman Mycobacterium Tuberculosa adalah mempunyai
ukuran 0,5-4 mikron x 0,3-0,6 mikron dengan bentuk batang tipis, lurus atau
agak bengkok, bergranular atau tidak mempunyai selubung, tetapi mempunyai
lapisan luar tebal yang terdiri dari lipoid (terutama asam mikolat). Dapat
bertahan terhadap pencucian warna dengan asam dan alkohol, sehingga
disebut basil tahan asam (BTA), tahan terhadap zat kimia dan fisik, serta tahan
dalam keadaan kering dan dingin, bersifat dorman (dapat tertidur lama) dan
aerob.
9
Bakteri tuberkulosis ini mati pada pemanasan 100ºC selama 5-10 menit atau
pada pemanasan 60ºC selama 30 menit, dan dengan alkohol 70-95% selama
15-30 detik. Bakteri ini tahan selama 1-2 jam di udara, di tempat yang lembab
dan gelap bisa berbulan-bulan namun tidak tahan terhadap sinar matahari atau
aliran udara. Data pada tahun 1993 melaporkan bahwa untuk mendapatkan
90% udara bersih dari kontaminasi bakteri memerlukan 40 kali pertukaran
udara per jam (Widoyono, 2008)
3. Klasifikasi Penyakit dan Tipe Pasien TB Paru
a. Klasifikasi pasien tuberkulosis
Klasifikasi penyakit Tuberkulosis paru berdasarkan pemeriksaan dahak
menurut Kemenkes RI (2011), dibagi dalam :
1) Tuberkulosis paru BTA positif.
a) Sekurang-kurangnya 2 dari 3 spesimen dahak SPS hasilnya BTA
positif.
b) 1 spesimen dahak SPS hasilnya BTA positif dan foto toraks dada
menunjukkan gambaran tuberkulosis.
c) 1 spesimen dahak SPS hasilnya BTA positif dan biakan kuman
Tuberkulosis positif.
d) 1 atau lebih spesimen dahak hasinya positif setelah 3 spesimen
dahak SPS pada pemeriksaan sebelumnya hasilnya BTA negatif
dan tidak ada perbaikan setelah pemberian antibiotika non OAT.
2) Tuberkulosis paru BTA negatif.
Kasus yang tidak memenuhi definisi pada Tuberkulosis paru BTA
positif. Kriteria diagnostik Tuberkulosis paru BTA negatif harus
meliputi :
a) Paling tidak 3 spesimen dahak SPS hasilnya negative.
b) Foto toraks abnormal menunjukkan gambaran Tuberkulosis.
c) Tidak ada perbaikan setelah pemberian antibiotika non OAT.
10
d) Ditentukan (dipertimbangkan) oleh dokter untuk diberi
pengobatan.
b. Tipe Pasien Tuberkulosis Paru
Kemenkes RI (2011) mengklasifikasi pasien Tuberkulosis Paru
berdasarkan riwayat pengobatan sebelumnya dibagi menjadi beberapa tipe,
yaitu :
1) Baru
Adalah pasien yang belum pernah diobati dengan OAT atau sudah
pernah menelan OAT kurang dari satu bulan (4 minggu).
2) Kambuh (Relaps)
Adalah pasien Tuberkulosis yang sebelumnya pernah mendapat
pengobatan Tuberkulosis dan telah dinyatakan sembuh atau pengobatan
lengkap, didiagnosis kembali dengan BTA positif (apusan atau kultur).
3) Pengobatan setelah putus berobat (Default).
Adalah pasien yang telah berobat dan putus berobat 2 bulan atau lebih
dengan BTA positif.
4) Gagal (Failure)
Adalah pasien yang hasil pemeriksaan dahaknya tetap positif atau
kembali menjadi positif pada bulan kelima atau lebih selama
pengobatan.
5) Pindahan (Transfer In)
Adalah pasien yang dipindahkan dari UPK yang memiliki register
Tuberkulosis lain untuk melanjutkan pengobatannya.
6) Lain-lain
Adalah semua kasus yang tidak memenuhi ketentuan diatas. Kelompok
ini termasuk Kasus Kronik, yaitu pasien dengan hasil pemeriksaan
masih BTA positif setelah selesai pengobatan ulangan.
11
4. Patofisiologi
Tempat masuk kuman M. tuberculosis adalah saluran pernafasan,
saluran pencernaan dan luka terbuka pada kulit. Kebanyakan infeksi
tuberculosis terjadi melalui udara (airborne), yaitu melalui inhalasi droplet
yang mendukung kuman-kuman basil tuberkel yang berasal dari orang yang
terinfeksi. Saluran pencernaan merupakan tempat masuk utama bagi jenis
bovin, yang penyebarannya melalui susu yang terkontaminasi.
Tuberkulosis adalah penyakit yang dikendalikan oleh respon imunitas
perantara sel. Sel efektornya adalah makrofag, sedangkan limfosit (biasanya
limfosit T) adalah sel imunosupresifnya. Tipe imunitas seperti ini biasanya
local, melibatkan makrofag yang diaktifkan ditempat infeksi oleh limfosit dan
limfokinnya . Respon ini disebut sebagai reaksi hipersensitivitas.
Pada waktu batuk atau bersin, penderita menyebarkan kuman ke udara dalam
bentuk droplet (percikan dahak). Droplet yang mengandung Mycobakterium
tuberkulosis dapat menetap dalam udara bebas selama 1-2 jam. Orang dapat
terifeksi kalau droplet tersebut terhirup ke dalam saluran pernapasan. Setelah
Mycobacterium tuberkulosis masuk ke dalam saluran pernapasan, masuk ke
alveoli, tempat dimana mereka berkumpul dan mulai memperbanyak diri.
Basil juga secara sistemik melalui sistem limfe dan aliran darah ke bagian
tubuh lainnya (ginjal, tulang, korteks serebri), dan area paru-paru lainnya
(lobus atas) (Sylvia A. Price & Wilson,2006).
Sistem imun tubuh berespons dengan melakukan reaksi inflamasi.
Fagosit (neutrofil dan makrofag) menelan banyak bakteri; limfosit melisis
(menghancurkan) basil dan jaringan normal. Reaksi jaringan ini
mengakibatkan penumpukan eksudat dalam alveoli, menyebabkan
bronkopneumonia. lnfeksi awal biasanya terjadi 2 sampai 10 minggu setelah
pemajanan.
Massa jaringan baru, yang disebut granulomas, yang merupakan
gumpalan basil yang masih hidup dan yang sudah mati, dikelilingi oleh
12
makrofag yang membentuk dinding protektif. Granulomas diubah menjadi
massa jaringan fibrosa. Bagian sentral dari massa fibrosa ini disebut tuberkel
Ghon. Bahan (bakteri dan makrofag) menjadi nekrotik, membentuk massa
seperti keju. Massa ini dapat mengalami kalsifikasi, membentuk skar
kolagenosa. Bakteri menjadi dorman, tanpa perkembangan penyakit aktif.
Setelah pemajanan dan infeksi awal, individu dapat mengalami penyakit
aktif karena gangguan atau respons yang inadekuat dari respons sistem imun.
Penyakit aktif dapat juga terjadi dengan infeksi ulang dan aktivasi bakteri
dorman. Dalam kasus ini, tuberkel Ghon memecah, melepaskan bahan seperti
keju ke dalam bronki. Bakteri kemudian menjadi tersebar di udara,
mengakibatkan penyebaran penyakit lebih jauh. Tuberkel yang memecah
menyembuh, membentuk jaringan parut. Paru yang terinfeksi menjadi lebih
membengkak, mengakibatkan terjadinya bronkopneumonia lebih lanjut,
pembentukan tuberkel dan selanjutnya. Kecuali proses tersebut dapat
dihentikan, penyebarannya dengan lambat mengarah ke bawah ke hilum paru-
paru dan kemudian meluas ke lobus yang berdekatan. Proses mungkin
berkepanjangan dan ditandai oleh remisi lama ketika penyakit dihentikan,
hanya supaya diikuti dengan periode aktivitas yang diperbaharui. Hanya
sekitar 10% individu yang awalnya terinfeksi mengalami penyakit aktif .
(Smeltzer & Bare, 2002)
5. Manifestasi klinis
Gejala klinis pasien Tuberkulosis Paru menurut Komite DOTS (2004), adalah :
a. Batuk berdahak selama 2-3 minggu atau lebih.
b. Dahak bercampur darah.
c. Batuk berdarah.
d. Sesak napas.
e. Badan lemas.
f. Nafsu makan menurun.
13
g. Berkeringat malam hari tanpa kegiatan fisik.
h. Demam meriang lebih dari satu bulan.
6. Resiko dan cara penularan
a. Faktor yang mempengaruhi kemungkinan seseorang menjadi pasien TB
paru adalah daya tahan tubuh yang rendah, diantaranya infeksi HIV/AIDS
dan malnutrisi (gizi buruk).
b. Infeksi HIV mengakibatkan kerusakan luas sistem daya tahan tubuh
seluler (cellular immunity) dan merupakan faktor risiko paling kuat bagi
yang terinfeksi TB paru untuk menjadi sakit TB (TB Aktif). Bila jumlah
orang terinfeksi HIV meningkat, maka jumlah pasien TB akan meningkat,
dengan demikian penularan TB paru di masyarakat akan meningkat pula.
c. Risiko tertular tergantung dari tingkat pajanan dengan percikan dahak.
Pasien TB paru dengan BTA positif memberikan kemungkinan risiko
penularan lebih besar dari pasien TB paru dengan BTA negatif.
d. Sumber penularan adalah pasien TB paru BTA positif.
e. Pada waktu batuk atau bersin, pasien menyebarkan kuman ke udara dalam
bentuk percikan dahak (droplet nuclei). Sekali batuk dapat menghasilkan
sekitar 3000 percikan dahak.
f. Umumnya penularan terjadi dalam ruangan dimana percikan dahak berada
dalam waktu yang lama. Ventilasi dapat mengurangi jumlah percikan,
sementara sinar matahari langsung dapat membunuh kuman. Percikan
dapat bertahan selama beberapa jam dalam keadaan yang gelap dan
lembab.
g. Daya penularan seorang pasien ditentukan oleh banyaknya kuman yang
dikeluarkan dari parunya. Makin tinggi derajat kepositifan hasil
pemeriksaan dahak, makin menular pasien tersebut.
14
h. Faktor yang memungkinkan seseorang terpajan kuman TB paru ditentukan
oleh konsentrasi percikan dalam udara dan lamanya menghirup udara
tersebut (Widoyono, 2008).
7. Pemeriksaan penunjang
a. Pemeriksaan dahak mikroskopis
Pemeriksaan dahak berfungsi untuk menegakkan diagnosis, menilai
keberhasilan pengobatan dan menentukan potensi penularan. Pemeriksaan
dahak untuk penegakan diagnosis dilakukan dengan mengumpulkan 3
spesimen dahak yang dikumpulkan dalam dua hari kunjungan yang
berurutan berupa Sewaktu-Pagi-Sewaktu (SPS) (Kemenkes RI, 2011).
1) S (Sewaktu): dahak dikumpulkan pada saat suspek TB datang
berkunjung pertama kali. Pada saat pulang, suspek membawa sebuah
pot dahak untuk mengumpulkan dahak pagi pada hari kedua.
2) P (Pagi): dahak dikumpulkan di rumah pada pagi hari kedua, segera
setelah bangun tidur. Pot dahak dibawa dan diserahkan sendiri kepada
petugas di Fasyankes.
3) S (Sewaktu): dahak dikumpulkan di Fasyankes pada hari kedua, saat
menyerahkan dahak pagi.
Pengambilan 3 spesimen dahak masih diutamakan dibanding dengan 2
spesimen dahak mengingat masih belum optimalnya fungsi sistem dan
hasil jaminan mutu eksternal pemeriksaan laboratorium.
b. Pemeriksaan Biakan
Peran biakan dan identifikasi M. Tuberkulosis pada pengendalian TB
adalah untuk menegakkan diagnosis TB pada pasien tertentu, yaitu :
1) Pasien TB Ekstra Paru
2) Pasien Tb Anak
3) Pasien TB BTA Negatif
15
Pemeriksaan tersebut dilakukan jika keadaan memungkinkan dan tersedia
laboratorium yang telah memenuhi standar yang ditetapkan (Kemenkes RI,
2011).
c. Indikasi Pemeriksaan Foto Toraks
Pada sebagian besar TB paru, diagnosis terutama ditegakkan dengan
pemeriksaan dahak secara mikroskopis dan tidak memerlukan foto toraks.
Namun pada kondisi tertentu pemeriksaan foto toraks perlu dilakukan
sesuai dengan indikasi sebagai berikut: (Depkes RI, 2002).
1) Hanya 1 dari 3 spesimen dahak SPS hasilnya BTA positif. Pada kasus
ini pemeriksaan foto toraks dada diperlukan untuk mendukung
diagnosis TB paru BTA positif.
2) Ketiga spesimen dahak hasilnya tetap negatif setelah 3 spesimen dahak
SPS pada pemeriksaan sebelumnya hasilnya BTA negatif dan tidak ada
perbaikan setelah pemberian antibiotika non OAT(non fluoroquinolon).
3) Pasien tersebut diduga mengalami komplikasi sesak nafas berat yang
memerlukan penanganan khusus (seperti: pneumotorak, pleuritis
eksudativa, efusi perikarditis atau efusi pleural) dan pasien yang
mengalami hemoptisis berat (untuk menyingkirkan bronkiektasis atau
aspergiloma).
8. Penatalaksanaan
a. Pengobatan Tuberkulosis
Pengobatan tuberkulosis bertujuan untuk menyembuhkan pasien,
mencegah kematian, mencegah kekambuhan, memutuskan rantai
penularan dan mencegah terjadinya resistensi kuman terhadap OAT. Obat
yang digunakan untuk tuberkulosis digolongkan atas dua kelompok yaitu
kelompok pertama dan kelompok kedua. Kelompok obat pertama yaitu
rifampisin, isoniazid, pirazinamid, etambutol dan streptomisin. Kelompok
16
obat ini memperlihatkan efektivitas yang tinggi dengan toksisitas yang dapat
diterima (Kemenkes RI, 2011).
Jenis dan dosis OAT dapat dilihat pada Tabel 2.1.
Tabel 2.1 Jenis dan dosis OAT
Jenis OAT Dosis harian (mg/kg) Dosis 3 kali seminggu
(mg/kg)
Rifampisin (R) 10 (8-12) 10 (8-12)
Isoniazid (H) 5 (4-6) 10 (8-12)
Pirazinamid (Z) 25 (20-30) 35 (30-40)
Etambutol (E) 15 (15-20) 30 (20-35)
Streptomisin (S) 15 (12-18) 15 (12-18)
Penggunaan OAT kelompok kedua misalnya golongan aminoglikosida
(misalnya kanamicin) dan golongan kuinolon tidak dianjurkan diberikan
kepada pasien baru tanpa indikasi yang jelas karena potensi obat tersebut
jauh lebih rendah daripada OAT kelompok pertama juga meningkatkan
terjadinya risiko resistensi pada OAT kelompok kedua (Kemenkes RI,
2011).
b. Panduan Obat Antituberkulosis yang Digunakan di Indonesia
Paduan obat anti tuberkulosis yang digunakan oleh program nasional
penanggulangan tuberkulosis di Indonesia dibagi dalam dua kategori.
1) Kategori satu diobati dengan kombinasi 2(HRZE)/4(HR)3. Tahap
intensif terdiri dari HRZE diberikan setiap hari selama dua bulan,
kemudian diteruskan dengan tahap lanjutan yang terdiri dari HR
diberikan tiga kali dalam seminggu selama empat bulan.
Pasien yang termasuk kategori satu yaitu pasien baru tuberkulosis paru
dengan hasil uji BTA positif, pasien tuberkulosis paru dengan hasil uji
BTA negatif tetapi hasil foto toraks positif dan pasien tuberkulosis
ekstra paru. (Kemenkes RI, 2011)
17
Tabel 2.2 Dosis OAT kategori satu
Berat badan Tahap intensif tiap hari Tahap lanjutan 3 kali
(kg) selama 56 hari RHZE seminggu selama 16 minggu (150/75/400/275) RH (150/150)
30-37 2 tablet 4KDT 2 tablet 4KDT
38-54 3 tablet 4KDT 3 tablet 4KDT
55-70 4 tablet 4KDT 4 tablet 4KDT
≥ 71 5 tablet 4KDT 5 tablet 4KDT
2) Kategori dua
Kategori dua diobati dengan kombinasi
2(HRZE)S/(HRZE)/5(HRE)3. Tahap intensif diberikan selama
tiga bulan, yang terdiri dari dua bulan dengan HRZES setiap hari,
dilanjutkan 1 bulan dengan HRZE setiap hari. Setelah itu
diteruskan dengan tahap lanjutan selama 5 bulan dengan HRE yang
diberikan tiga kali dalam seminggu. Paduan obat antituberkulosis
ini diberikan untuk pasien BTA positif yang telah diobati
sebelumnya yaitu pasien kambuh, pasien gagal, pasien dengan
pengobatan setelah default (terputus). (Kemenkes RI 2011)
Tabel 2.3 Dosis OAT kategori dua
Berat Tahap intensif tiap hari RHZE Tahap lanjutan 3 kali
badan (150/75/400/275) + Seminggu selama 5
(kg) bulan RH (150/150)
+ E(275)
Selama 56 Hari Selama 28 hari 2 tablet 2KDT + 2
tablet Etambutol
30-37 2 tablet 4KDT + 500 mg 2 tablet 4KDT 2 tablet 2KDT + 2
Streptomisin injeksi tablet Etambutol
38-54 3 tablet 4KDT + 750 mg 3 tablet 4KDT 3 tablet 2KDT + 3
Streptomisin injeksi tablet Etambutol
55-70 4 tablet 4KDT + 1000mg 4 tablet 4KDT 4 tablet 2KDT + 4
Streptomisin injeksi tablet Etambutol
18
9. Komplikasi
a. Batuk Darah (Haemoptoe)
Pada dasarnya proses TB Paru adalah proses nekrotis, dan jaringan yang
mengalami nekrotis terdapat pada pembulub darah. Jumlah darah yang
dibatukkan keluar bervariasi mulai dari sangat sedikit sampai banyak
sekali, tergantung pada pembuluh darah yang terkena.
b. Hematogen
Penyebaran hematogen terjadi bilamana proses nekrotis mengenai
pembuluh darah. Bahan-bahan nekrotis yang penuh basil-basil TB akan
tertumpah dalam aliran darah. Basil-basil ini kemudian akan bersarang di
organorgan tubuh. hariya ada dua organ tubuh yang memang secara
alamiah tidak dapat diserang TB, yaitu otot sekiet dan otot jantung.
c. TB Larings
Karena tiap kali dahak yang mengandung basil TB dikeluarkan melalui
lanings, maka basil yang tersangkut di larings akan menimbulkan proses
TB di larings. Maka terjadilah TB larings.
d. Pneumothoraks
Apabila proses riekrotis dekat dengan pleura maka pleura akan bocor.
Sehingga terjadilah penumathorules (pecahnya dinding kavitas yang
berdekatan dengan pleura).
e. Abses paru
Infeksi sekunder dapat pula mengenai jaringan nekrotis itu langsung,
sehingga terjadi abses paru (Depkes RI, 2002).
B. Konsep dan Teori Perilaku
1. Definisi
Perilaku adalah tindakan atau aktivitas dari manusia itu sendiri yang
mempunyai bentangan yang sangat luas antara lain: berjalan, berbicara,
menangis, tertawa, bekerja, kuliah, menulis, membaca, dan sebagainya. Dari
19
uraian ini dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud perilaku manusia adalah
semua kegiatan atau aktivitas manusia, baik yang diamati langsung, maupun
yang tidak dapat diamati oleh pihak luar (Notoatmodjo, 2003).
Skiner (1938) dalam Notoatmodjo (2010) merumuskan perilaku sebagai
respon atau reaksi seseorang terhadap stimulus (rangsang dari luar). Dengan
demikian perilaku manusia terjadi melalui proses : Stimulus – Organisme –
Respon, sehingga teori ini disebut teori “S–O–R “.
2. Faktor – faktor yang mempengaruhi perilaku
Beberapa teori yang telah dicoba untuk mengungkapkan faktor-faktor yang
memengaruhi perilaku, khususnya perilaku yang berhubungan dengan
kesehatan, antara lain teori Green (1980) dalam Notoatmodjo, 2003
mengatakan bahwa perilaku dipengaruhi oleh 3 faktor utama yaitu:
a. Faktor predisposisi (predisposing factor), faktor ini mencakup
pengetahuan dan sikap masyarakat terhadap kesehatan, tradisi dan
kepercayaan masyarakat terhadap hal-hal yang berkaitan dengan
kesehatan, sistem nilai yang dianut masyarakat, tingkat pendidikan,
tingkat sosial ekonomi dan sebagainya.
Faktor-faktor predisposisi (predisposing factor) terwujud dalam:
1) Pengetahuan
Pengetahuan adalah hasil dari tahu yang terjadi melalui proses sensori
khususnya mata dan telinga terhadap obyek tertentu. Pengetahuan
merupakan domain yang sangat penting untuk terbetuknya perilaku
terbuka (overt behavior). Perilaku yang didasari pengetahuan umumnya
bersifat langgeng .
2) Sikap
Sikap adalah respon tertutup seseorang terhadap suatu stimulus atau
obyek, baik yang bersifat intern maupun ekstern sehingga manifestasinya
tidak dapat langsung dilihat, tetapi hanya dapat ditafsirkan terlebih dahulu
20
dari perilaku yang tertutup tersebut. Tingkatan respon adalah menerima
(receiving), merespon,(responding), enghargai (valuing), dan bertanggung
jawab (responsible).
3) Nilai-nilai
Nilai-nilai atau norma yang berlaku akan membentuk perilaku yang sesuai
dengan nilai-nilai atau norma yang telah melekat pada diri seseorang.
4) Kepercayaan
Seseorang yang mempunyai atau meyakini suatu kepercayaan tertentu
akan mempengaruhi perilakunya dalam menghadapi suatu penyakit yang
akan berpengaruh terhadap kesehatannya .
5) Persepsi
Persepsi merupakan proses yang menyatu dalam diri individu terhadap
stimulus yang diterimanya. Persepsi merupakan proses pengorganisasian,
penginterpretasian terhadap rangsang yang diterima oleh organisme atau
individu sehingga merupakan sesuatu yang berarti dan merupakan respon
yang menyeluruh dalam diri individu. Oleh karena itu dalam
penginderaan orang akan mengaitkan dengan stimulus, sedangkan dalam
persepsi orang akan mengaitkan dengan obyek.
Persepsi pada individu akan menyadari tentang keadaan sekitarnya dan
juga keadaan dirinya. Orang yang mempunyai persepsi yang baik tentang
sesuatu cenderung akan berperilaku sesuai dengan persepsi yang
dimilikinya (Notoatmodjo, 2003 ).
b. Faktor pemungkin (enabling factor), faktor-faktor ini mencakup
ketersediaan sarana dan prasarana atau fasilitas kesehatan bagi masyarakat
seperti, Puskesmas, Rumah Sakit, Poliklinik, Posyandu, Polindes, Pos
Obat Desa, Dokter atau Bidan Praktek Swasta. Fasilitas ini pada
hakikatnya mendukung atau memungkinkan terwujudnya perilaku
kesehatan.
21
c. Faktor penguat (reinforcing factor), faktor-faktor ini meliputi faktor sikap
dan perilaku tokoh masyarakat, tokoh agama dan para petugas kesehatan,
termasuk juga disini undang-undang, peraturan-peraturan baik dari pusat
maupun pemerintah daerah yang terkait dengan kesehatan. Untuk
berperilaku sehat, masyarakat kadang-kadang bukan hanya perlu
pengetahuan dan sikap positif serta dukungan fasilitas saja, melainkan
diperlukan perilaku contoh (acuan) dari para tokoh masyarakat, tokoh
agama dan para petugas terlebih lagi petugas kesehatan. Di samping itu,
undang-undang juga diperlukan untuk memperkuat perilaku masyarakat
tersebut.
3. Perilaku kesehatan
Perilaku kesehatan menurut skinner (1938), sebagaimana dikutip oleh
Notoatmodjo (2007), perilaku kesehatan adalah suatu respon seseorang
(organisme) terhadap stimulus atau objek yang berkaitan dengan sakit dan
penyakit, sistem pelayanan kesehatan, makanan, dan minuman, serta
lingkungan. Becker (1979) dalam Notoatmodjo (2007), membuat klasifikasi
tentang perilaku kesehatan yang terdiri dari :
a. Perilaku Hidup Sehat
Perilaku hidup sehat adalah perilaku yang berkaitan dengan upaya atau
kegiatan seseorang untuk mempertahankan dan meningkatkan
kesehatannya yang mencakup antara lain :
1) Makan dengan menu seimbang (appropriate diet)
2) Olahraga teratur
3) Tidak merokok
4) Tidak minum minuman keras dan narkoba
5) Istirahat yang cukup
6) Mengendalikan stress
22
7) Perilaku atau gaya hidup lain yang positif bagi kesehatan, misalnya
tidak berganti-ganti pasangan dalam hubungan seks.
b. Perilaku Sakit (Illness Behaviour)
Perilaku sakit ini mencakup respon seseorang terhadap sakit dan penyakit,
persepsinya terhadap sakit, pengetahuan tentang : gejala dan penyebab
penyakit, dan sebagainya.
c. Perilaku Peran Sakit (The Sick Role Behaviour)
Orang sakit (pasien) mempunyai hak dan kewajiban sebagai orang sakit,
yang harus diketahui oleh orang lain (terutama keluarganya). Perilaku ini
disebut perilaku peran sakit (the sick role) yang meliputi :
1) Tindakan untuk memperoleh kesembuhan.
2) Mengenal / mengetahui fasilitas atau sarana pelayanan/penyembuhan
penyakit yang layak.
3) Mengetahui hak (misalnya ; hak memperoleh perawatan, memperoleh
pelayanan kesehatan, dan sebagainya) dan kewajiban orang sakit
(memberitahukan penyakitnya kepada orang lain terutama kepada
dokter/petugas kesehatan, tidak menularkan penyakitnya kepada
orang lain, dan sebagainya).
Untuk berperilaku sehat, masyarakat kadang-kadang bukan hanya perlu
pengetahuan dan sikap positif dan dukungan fasilitas saja, melainkan
diperlukan perilaku contoh (acuan) dari para tokoh masyarakat, tokoh agama,
dan para petugas terutama petugas kesehatan dan diperlukan juga undang-
undang kesehatan untuk memperkuat perilaku tersebut (Notoatmodjo, 2003).
4. Perilaku Pencarian Pelayanan Kesehatan
Masyarakat atau anggota masyarakat yang mendapat penyakit dan tidak
merasakan sakit (disease but no illness) tentu tidak bertindak apa-apa terhadap
penyakit tersebut. Tetapi bila mereka diserang penyakit dan juga merasakan
sakit, maka baru akan timbul berbagai macam perilaku dan usaha, antara lain :
23
a. Tidak bertindak/kegiatan apa-apa (no action).
b. Bertindak mengobati diri sendiri (self treatment).
c. Mencari pengobatan ke fasilitas-fasilitas pengobatan alternatif (traditional
remedy).
d. Mencari pengobatan dengan membeli obat-obat ke warung obat (chemist
shop) dan sejenisnya termasuk tukang-tukang jamu.
e. Mencari pengobatan dengan pengobatan ke fasilitas-fasilitas pengobatan
modren yang diadakan oleh pemerintah atau lembaga-lembaga kesehatan
swasta, yang dikategorikan ke dalam pengobatan Puskesmas dan Rumah
Sakit.
f. Mencari pengobatan ke fasilitas pengobatan modren yang diselenggarakan
oleh dokter (private medicine) (Notoatmodjo, 2003)
5. Perilaku Pencegahan
Perilaku pencegahan adalah mengambil tindakan terlebih dahulu
sebelum kejadian (Noor, 2008). Pada dasarnya ada empat tingkatan
pencegahan penyakit secara umum, yakni:
a. Pencegahan tingkat dasar (primordial prevention)
Pencegahan tingkat dasar (primordial prevention) adalah usaha mencegah
terjadinya risiko atau mempertahankan keadaan risiko rendah dalam
masyarakat terhadap penyakit secara umum. Pencegahan ini meliputi usaha
memelihara dan mempertahankan kebiasaan atau pola hidup yang sudah
ada dalam masyarakat yang dapat mencegah meningkatnya risiko terhadap
penyakit dengan melestarikan pola atau kebiasaan hidup sehat yang dapat
mencegah atau mengurangi tingkat risiko terhadap penyakit tertentu atau
terhadap berbagai penyakit secara umum (Noor, 2008).
24
b. Pencegahan tingkat pertama (primary prevention)
Pencegahan tingkat pertama (primary prevention) merupakan suatu usaha
pencegahan penyakit melalui usaha mengatasi atau mengontrol faktor-
faktor risiko dengan sasaran utamanya orang sehat melalui usaha
peningkatan derajat kesehatan secara umum (promosi kesehatan) serta
usaha pencegahan khusus terhadap penyakit tertentu. Pencegahan tingkat
pertama ini didasarkan pada hubungan interaksi antara penjamu (host),
penyebab (agent/pemapar), lingkungan dan proses kejadian penyakit.
Sasaran pencegahan tingkat pertama ini ditujukan kepada faktor penjamu
seperti perbaikan gizi, pemberian imunisasi, peningkatan kehidupan sosial
dan psikologis individu dan masyarakat serta peningkatan ketahanan fisik
individu (Noor, 2008).
c. Pencegahan tingkat kedua (secondary prevention)
Sasaran utama pada mereka yang baru terkena penyakit atau yang terancam
akan menderita penyakit tertentu melalui diagnosis dini serta pemberian
pengobatan yang cepat dan tepat. Tujuan utama pencegahan tingkat kedua
ini, antara lain untuk mencegah meluasnya penyakit/terjadinya wabah pada
penyakit menular dan untuk menghentikan proses penyakit lebih lanjut
serta mencegah komplikasi (Noor, 2008).
Salah satu kegiatan pencegahan tingkat kedua adalah menemukan penderita
secara aktif pada tahap dini. Kegiatan ini meliputi pemeriksaan berkala
pada kelompok populasi tertentu, melakukan penyaringan (screening)
untuk mencari penderita secara dini, surveilans epidemiologi untuk
mendapatkan keterangan tentang proses penyakit yang ada dalam
masyarakat (Noor, 2008).
d. Pencegahan tingkat ketiga (tertiary prevention)
Pencegahan tingkat ketiga (tertiary prevention) merupakan pencegahan
dengan sasaran utamanya adalah penderita penyakit tertentu, dalam usaha
mencegah bertambah beratnya penyakit atau mencegah terjadinya cacat
25
serta program rehabilitasi. Tujuan utamanya adalah mencegah proses
penyakit lebih lanjut, seperti pengobatan dan perawatan khusus penderita
kencing manis, tekanan darah tinggi, gangguan saraf dan lain-lain serta
mencegah terjadinya cacat maupun kematian karena penyebab tertentu,
serta usaha rehabilitasi (Noor, 2008).
6. Domain perilaku
Menurut Bloom (1908) dalam Notoatmodjo (2010) membedakan
adanya 3 (tiga) area atau domain perilaku, yakni kognitif (cognitive), afektif
(affective), dan psikomotor (psychomotor). Kemudian oleh ahli pendidikan di
Indonesia ketiga domain diterjemahkan kedalam cipta, rasa, dan karsa.
Berdasarkan pembagian domain oleh Bloom ini, dikembangkan 3 tingkatan
ranah perilaku, sebagai berikut :
a. Pengetahuan
Pengetahuan adalah hal apa yang diketahui oleh orang atau responden
terkait dengan sehat dan sakit atau kesehatan, misal : tentang penyakit
(penyebab, cara penularan, cara pencegahan), gizi, sanitasi, pelayanan
kesehatan, kesehatan lingkungan. Pengetahuan seseorang terhadap obyek
mempunyai intensitas atau tingkat yang berbeda – beda yang di dalam
domain kognitif mempunyai 6 tingkatan yaitu (Notoatmodjo, 2010).
1) Tahu (Know)
Tahu diartikan sebagai mengingat suatu materi yang telah dipelajari
sebelumnya. Termasuk ke dalam pengetahuan tingkat dari adalah
mengingat kembali terhadap sesuatu yang spesifik dari seluruh bahan
yang dipelajari atau rangsangan yang djterima. Oleh sebab itu, tahu ini
merupakan tingkatan yang paling rendah.
26
2) Memahami
Memahami diartikan sebagai suatu kemampuan menjelaskan secara
benar tentang objek yang diketahui dan dapat menginterprestasikan
materi tersebut secara benar.
3) Aplikasi
Aplikasi diartikan sebagai kemampuan untuk menggunakan materi
yang telah dipelajari pada situasi atau kondisi riil atau sebenarnya.
4) Analisis
Analisis adalah suatu kemampuan untuk menjabarkan materi atau
suatu objek ke dalam komponen-komponen tetapi masih dalam suatu
struktur organisasi tersebut, dan masih ada kaitannya satu sama lain.
5) Sintesis
Sintesis menunjukkan kepada suatu kemampuan untuk merangkum
atau meletakkan dalam satu hubungan yang logis dari komonen –
komponen pengetahuan yang dimiliki.
6) Evaluasi
Evalausi berkaitan dengan kemampuan seseorang untuk melakukan
justifikasi atau penilaian terhadap suatu obyek tertentu. Penilaian ini
dengan sendirinya didasarkan pada suatu kriteria yang ditentukan
sendiri atau norma – norma yang berlaku dimasyarakat. Menurut
Arikunto (2005) pengetahuan seseorang dapat diketahui dan
diinterprestasikan dengan skala yang bersifat kualitatif, yaitu:
Pengetahuan baik jika hasil presentase 76- 100%, pengetahuan cukup
jika hasil persentase 56-75% dan pengetahuan kurang jika hasil
persentase <56%.
Menurut Notoatmodjo (2003), pengetahuan seseorang dapat
dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu:
1) Pengalaman
27
Pengalaman dapat diperoleh dari pengalaman sendiri maupun orang
lain. Pengalaman dari diri sendiri maupun orang lain yang
meninggalkan kesan yang paling dalam akan menambah pengetahuan
seseorang.
2) Tingkat Pendidikan
Pendidikan dapat membawa wawasan atau pengetahuan seseorang.
Semakin tinggi tingkat pendidikan seseorang, maka dia akan lebih
mudah untuk menerima hal-hal baru.
3) Keyakinan
Biasanya keyakinan diperoleh secara turun-temurun dan tanpa adanya
pembuktian terlebih dahulu. Keyakinan ini biasa mempengaruhi
pengetahuan seseorang, baik keyakinan itu sifatnya positif maupun
negatif.
4) Fasilitas
Fasilitas-fasilitas sebagai sumber informasi yang dapat mempengaruhi
pengetahuann seseorang, misalnya radio, televisi, majalah, koran, dan
buku.
5) Penghasilan
Penghasilan tidak berpengaruh langsung terhadap pengetahuan
seseorang. Namun bila seseorang berpenghasilan cukup besar maka
dia akan mampu untuk menyediakan atau membeli fasilitas-fasilitas
sumber informasi.
6) Sosial Budaya
Kebudayaan setempat dan kebiasaan dalam keluarga dapat
mempengaruhi pengetahuan, persepsi, dan sikap seseorang terhadap
sesuatu.
28
b. Sikap
Sikap adalah juga respon tertutup seseorang terhadap stimulus atau
obyek tertentu yang sudah melibatkan faktor pendapat dan emosi yang
bersangkutan. Manifestasi sikap tidak dapat dilihat langsung tetapi hanya
dapat ditafsirkan terlebih dahulu dari perilaku yang tertutup. Sikap secara
nyata menunjukkan konotasi adanya kesesuaian reaksi terhadap stimulus
tertentu yang dalam kehidupan sehari-hari merupakan reaksi yang bersifat
emosional terhadap stimulus sosial (Notoatmodjo, 2010)
Azwar (2010) mengatakan bahwa sikap juga merupakan evaluasi
atau reaksi perasaan mendukung atau memihak (favorable) maupun
perasaan tidak memihak (unfavorable) pada objek tertentu, sementara
Sekord dan Backman dalam Azwar (2010) mendefinisikan sikap sebagai
keteraturan tertentu dalam hal perasaan (afeksi), pemikiran (kognisi), dan
predisposisi tindakan (konasi) seseorang terhadap suatu aspek di
lingkungan sekitarnya. Sikap yang ditunjukkan seseorang merupakan
bentuk respon batin dari stimulus yang berupa materi atau obyek di luar
subyek yang menimbulkan pengetahuan berupa subyek yang selanjutnya
menimbulkan respon batin dalam bentuk sikap si subyek terhadap yang
diketahuinya itu (Notoatmodjo, 2010).
Azwar (2010) menjelaskan bahwa sikap itu mempunyai 3
komponen pokok yang saling menunjang yaitu:
1) Komponen kognitif, merupakan representasi apa yang dipercayai oleh
individu pemilik sikap, komponen ini berisi kepercayaan stereotipe
yang dimiliki individu mengenai sesuatu dapat disamakan.
2) Komponen afektif merupakan perasaan yang menyangkut asfek
emosional.
3) Komponen konatif merupakan asfek kecenderungan berperilaku
tertentu sesuai dengan sikap yang dimiliki oleh seseorang dan berisi
tendensi atau kecenderungan untuk bertindak/bereaksi terhadap
29
sesuatu dengan cara-cara tertentu. Ketiga komponen ini secara
bersama-sama membentuk sikap yang utuh (total attitude). Dalam
Penentuan sikap yang utuh ini, pengetahuan, pikiran, keyakinan, dan
emosi memegang peranan penting.
Sikap mempunyai ciri-ciri sebagai berikut :
1) Sikap dibentuk dan diperoleh sepanjang perkembangan seseorang
dalam hubungannya dengan objek tertentu
2) Sikap dapat berubah sesuai dengan keadaan dan syarat-syarat tertentu
terhadap suatu kelompok.
3) Sikap dapat berupa suatu hal tertentu tetapi dapat juga kumpulan dari
hal-hal tersebut.
4) Sikap mempunyai segi-segi motivasi dari segi-segi perasaan
Seperti halnya dengan pengetahuan, sikap juga terdiri dari berbagai
tingkatan yakni (Notoatmodjo, 2007) :
1) Menerima (Receiving)
Menerima, diartikan bahwa orang (subjek) mau dan memperhatikan
stimulus yang diberikan (objek).
2) Merespons (Responding)
Merespon, diartikan sebagai memberikan jawaban apabila ditanya,
mengerjakan dan menyelesaikan tugas yang diberikan.
3) Menghargai (Valuing)
Menghargai, diartikan sebagai mengajak orang lain untuk
mengerjakan dan mendiskusikan suatu masalah.
4) Bertanggung jawab (Responsible)
Bertanggung jawab atas segala sesuatu yang telah dipilihnya dengan
segala risiko.
30
Mengukur sikap agak berbeda dengan mengukur pengetahuan.
Sebab mengukur sikap berarti menggali pendapat atau penilaian orang
terhadap obyek yang berupa fenomena, gejala, kejadian dan sebagainya
yang kadang – kadang bersifat abstrak. Beberapa konsep tentang sikap
yang dapat dijadikan acuan untuk pengukuran sikap antara lain sebagai
berikut: (Notoatmodjo, 2010).
1) Sikap merupakan tingkatan afeksi yang positif atau negatif yang
dihubungkan dengan objek (Thrustone).
2) Sikap dilihat dari individu yang menghubungkan efek yang positif
dengan objek atau negatif dengan objek (Edward)
c. Tindakan atau praktik
Praktik adalah hal yang dilakukan oleh responden terkait dengan
kesehatan (penyakitnya), cara peningkatan kesehatan, cara memperoleh
pengobatan yang tepat dan sebagainya (Notoatmodjo, 2010). Suatu sikap
belum otomatis terwujud dalam suatu tindakan (overt behavior). Untuk
mewujudkan sikap menjadi suatu perbuatan nyata diperlukan faktor
pendukung atau suatu kondisi yang memungkinkan antara lain adalah
fasilitas. Disamping faktor fasilitas juga diperlukan faktor dukungan
(support) dari pihak lain. Menurut Notoatmodjo (2007), tindakan memiliki
4 tingkatan yaitu :
1) Persepsi (Perception)
Persepsi adalah mengenal dan memilih berbagai objek sehubungan
dengan tindakan yang akan diambil.
2) Respon Terpimpin (Guided Response)
Respon terpimpin adalah dapat melakukan sesuatu dengan urutan yang
benar dan sesuai dengan contoh.
31
3) Mekanisme (Mechanism)
Mekanisme adalah suatu kondisi dimana seseorang mampu melakukan
sesuatu dengan benar secara otomatis, atau sesuatu itu sudah
merupakan kebiasaan.
4) Adopsi (Adoption)
Adopsi adalah suatu praktik atau tindakan yang sudah berkembang
dengan baik, artinya tindakan itu sudah dimodifikasinya tanpa
mengurangi kebenaran dari tindakan tersebut.
Pengukuran tindakan dapat dilakukan secara tidak langsung dan
langsung. Secara langsung dengan wawancara terhadap kegiatan-kegiatan
yang sudah dilakukan beberapa jam, hari, atau bulan yang lalu (recall).
Pengukuran secara langsung dengan mengobservasi tindakan atau kegiatan
responden (Notoatmodjo, 2007).
Teknik skala yang dapat digunakan untuk mengukur perilaku
adalah dengan menggunakan teknik skala Guttman. Skala ini merupakan
skala yang bersifat tegas dan konsisten dengan memberikan jawaban yang
tegas seperti jawaban dari pertanyaan/pernyataan: ya dan tidak, positif dan
negatif, setuju dan tidak setuju, benar dan salah. Skala guttman ini pada
umumnya dibuat seperti cheklist dengan interpretasi penilaian, apabila skor
benar nilainya 1 dan apabila salah nilainya 0 dan analisanya dapat
dilakukan seperti skala likert (Aziz. 2007).
7. Motivasi
a. Pengertian Motivasi
Motivasi mempunyai arti dorongan, berasal dari bahasa Latin “movere”,
yang berarti mendorong atau menggerakkan. Banyak batasan pengertian
tentang motivasi antara lain :
Menurut rumusan Terry G (1986) dalam Notoatmodjo (2010) motivasi
adalah keinginan yang terdapat pada diri seseorang individu yang
32
mendorongnya untuk melakukan perbuatan – perbuatan, tindakan, tingkah
laku, atau perilaku.
Motivasi menurut Stooner (1992) dalam Notoatmodjo (2010) didefinisikan
sebagai suatu hal yang menyebabkan dan yang mendukung tindakan atau
perilaku seseorang.
b. Teori-teori motivasi
Teori-teori motivasi manusia dibagi menjadi 3 yaitu: teori hedonisme, teori
naluri dan teori berdasarkan kebutuhan Maslow.
1) Teori hedonisme
Teori hedonisme adalah motivasi yang berhubungan dengan senang atau
gembira.
2) Teori naluri
Teori naluri adalah motivasi yang ada dalam diri manusia, atau motivasi
yang akan menimbulkan perilaku kebudayaan.
3) Teori berdasarkan kebutuhan Maslow
Sedangkan teori berdasarkan kebutuhan Maslow merupakan motivasi
perilaku seseorang atau individu.
c. Faktor-faktor yang mempengaruhi motivasi manusia
Menurut Walgito (2004), faktor-faktor yang mempengaruhi motivasi berasal
dari faktor internal dan eksternal. Faktor internal itu sendiri terdiri atas jenis
kelamin, sifat fisik, sifat kepribadian dan intelegensi.
1) Fisik
Motivasi seseorang dikaitkan dengan tipe fisiknya
2) Kepribadian
Corak kebiasaan manusia yang terhimpun dalam dirinya yang digunakan
untuk bereaksi serta menyesuaikan diri terhadap rangasang dari dalam
maupun lingkungannya, sehingga corak dan cara kebiasaannya itu
merupakan kesatuan fungsional yang khas pada manusia itu sendiri.
33
3) Intelegensi
Merupakan kemampuan individu untuk berfikir dan bertindak secara
terarah serta efektif. Sehingga, orang yang mempunyai inteligensi tinggi
akan lebih mudah menyerap informasi, saran dan nasehat terhadap
kebiasaan yang dilakukan banyak orang (Walgito, 2004).
Faktor-faktor pendorong (reinforcing factor) juga mencakup program
kesehatan, peraturan, undang-undang, kebijakan-kebijakan, dan perilaku
serta sikap petugas kesehatan yang lain.
C. Kerangka Teori
Perilaku Utama
Bagan 2.1. Kerangka Teori Penelitian
(Notoatmodjo, 2010)
Dari bagan 2.1 dapat dikemukakan bahwa perilaku dipengaruhi oleh tiga faktor
yang meliputi faktor predisposisi, faktor pendorong dan faktor pendukung.
Praktik Pencegahan
Terhadap Penularan
Resiko penularan kepada
orang lain
Pasien TB Paru
Faktor predisposisi (predisposing factor)
1. Pengetahuan
2. Sikap
3. Nilai
4. Kepercayaan
5. Persepsi
Faktor pendukung (enabling factor)
1. Ketersediaan sarana
2. Sumber daya/dana
3. Keterjangkauan
Faktor pendorong (reinforcing factor)
1. Perilaku tokoh masyarakat
2. Perilaku petugas kesehatan
3. Undang-undang
34
D. Kerangka Konsep
Bagan 2.2. Kerangka Konsep Penelitian
(Notoatmodjo, 2010 )
E. Veriabel Penelitian
Variabel dalam penelitian ini adalah terdiri dari :
1. Variabel Dependen
Variabel dependen dalam penelitian ini adalah pengetahuan dan sikap.
2. Variabel Independen
Variabel independen dalam penelitian ini adalah praktik pencegahan.
F. Hipotesis
1. Ada hubungan pengetahuan penderita dengan praktik pencegahan penularan
TBC paru di BKPM kota Semarang.
2. Ada hubungan sikap penderita dengan praktik pencegahan penularan TBC
paru di BKPM kota Semarang.
Variabel Independen
1. Pengetahuan
2. Sikap
Variabel Dependen
Praktik Pencegahan
Penularan TBC terhadap keluarga