BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. 1. - abstrak.uns.ac.id · dalam usaha mencapai sasaran atau garis...

75
BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kajian Teori 1. Kebijakan Pemerintah a. Kebijakan Setiap saat pemerintah selalu dihadapkan pada berbagai macam masalah mulai dari yang sederhana sampai dengan permasalahan yang rumit. Dibutuhkan sebuah kebijakan untuk mengatasi setiap permasalahan yang ada. Syarat untuk memecahkan masalah yang rumit adalah tidak bisa disamakan dengan syarat untuk memecahkan masalah yang sederhana. Masalah yang sederhana memungkinkan analisis menggunakan metode-metode konvensional, sementara masalah yang rumit menuntut analisis untuk mengambil bagian aktif dalam mendefenisikan hakekat dari masalah itu sendiri. Gambaran tentang pemecahan masalah bertolak dari pandangan bahwa kerja kebijakan bermula dari masalah-masalah yang sudah terartikulasi dan ada dengan sendirinya. Semestinya, kebijakan bermula ketika masalah-masalah yang telah diketahui kemudian membuat hipotesis tentang serangkaian tindakan yang mugkin untuk dilakukan melalui kajian yang cermat tentang masalah-masalah tersebut agar dapat merumuskan kebijakan yang harus ditetapkan dan mengimplementasikan kebijakan tersebut dalam sebuah tindakan nyata. Di Negara-negara maju kebijakan yang dibuat oleh pemerintahnya sangat mengutamakan kepentingan rakyatnya. Kebijakan dipelajari dalam ilmu kebijakan (policy science), yaitu ilmu yang berorientasi kepada masalah kontekstual, multi disiplin, dan bersifat normatif, serta dirancang untuk menyoroti masalah fundamental yang sering diabaikan, yang muncul ketika warga negara dan penentu kebijakan menyesuaikan keputusannya dengan perubahan-perubahan sosial dan transformasi politik untuk melayani tujuan- tujuan demokrasi Lasswell dalam Kartodiharjo, (2009). Beberapa penulis besar dalam ilmu ini, seperti William N. Dunn, Charles Jones, Lee Friedman, dan lain-lain, menggunakan istilah public policy dan public 8

Transcript of BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. 1. - abstrak.uns.ac.id · dalam usaha mencapai sasaran atau garis...

8

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Kajian Teori

1. Kebijakan Pemerintah

a. Kebijakan

Setiap saat pemerintah selalu dihadapkan pada berbagai macam masalah

mulai dari yang sederhana sampai dengan permasalahan yang rumit. Dibutuhkan

sebuah kebijakan untuk mengatasi setiap permasalahan yang ada. Syarat untuk

memecahkan masalah yang rumit adalah tidak bisa disamakan dengan syarat

untuk memecahkan masalah yang sederhana. Masalah yang sederhana

memungkinkan analisis menggunakan metode-metode konvensional, sementara

masalah yang rumit menuntut analisis untuk mengambil bagian aktif dalam

mendefenisikan hakekat dari masalah itu sendiri.

Gambaran tentang pemecahan masalah bertolak dari pandangan bahwa

kerja kebijakan bermula dari masalah-masalah yang sudah terartikulasi dan ada

dengan sendirinya. Semestinya, kebijakan bermula ketika masalah-masalah yang

telah diketahui kemudian membuat hipotesis tentang serangkaian tindakan yang

mugkin untuk dilakukan melalui kajian yang cermat tentang masalah-masalah

tersebut agar dapat merumuskan kebijakan yang harus ditetapkan dan

mengimplementasikan kebijakan tersebut dalam sebuah tindakan nyata. Di

Negara-negara maju kebijakan yang dibuat oleh pemerintahnya sangat

mengutamakan kepentingan rakyatnya. Kebijakan dipelajari dalam ilmu

kebijakan (policy science), yaitu ilmu yang berorientasi kepada masalah

kontekstual, multi disiplin, dan bersifat normatif, serta dirancang untuk

menyoroti masalah fundamental yang sering diabaikan, yang muncul ketika

warga negara dan penentu kebijakan menyesuaikan keputusannya dengan

perubahan-perubahan sosial dan transformasi politik untuk melayani tujuan-

tujuan demokrasi Lasswell dalam Kartodiharjo, (2009).

Beberapa penulis besar dalam ilmu ini, seperti William N. Dunn, Charles

Jones, Lee Friedman, dan lain-lain, menggunakan istilah public policy dan public

8

9

policy analysis dalam pengertian yang tidak berbeda. Istilah kebijaksanaan atau

kebijakan yang diterjemahkan dari kata policy memang biasanya dikaitkan

dengan keputusan pemerintah, karena pemerintahlah yang mempunyai wewenang

atau kekuasaan untuk mengarahkan masyarakat, dan bertanggung jawab melayani

kepentingan umum. Ini sejalan dengan pengertian public itu sendiri dalam bahasa

Indonesia yang berarti pemerintah, masyarakat atau umum. Kebijakan (policy)

adalah solusi atas suatu masalah. Kebijakan seringkali tidak efektif akibat tidak

cermat dalam merumuskan masalah. Dengan kata lain, kebijakan sebagai obat

seringkali tidak manjur bahkan mematikan, akibat diagnose masalah atau

penyakitnya keliru (Dunn, 2000).

Harold D. Lasswell dan Abraham Kaplan dalam Islamy, (2002 : 17)

memberi arti kebijakan sebagai “a projected program of goals, value and

practice” (suatu program pencapaian tujuan, nilai-nilai dan praktek-praktek yang

terarah). Sedangkan Carl Friedrich dalam Wahab, (2001:3) menyatakan, bahwa

“kebijakan adalah suatu tindakan yang mengarah pada tujuan yang diusulkan

oleh seseorang, kelompok atau pemerintah dalam lingkungan tertentu

sehubungan dengan adanya hambatan-hambatan tertentu seraya mencari peluang-

peluang untuk mencapai tujuan atau mewujudkan sasaran yang diinginkan”.

Kajian tentang ilmu kebijakan menjadi penting untuk dipahami karena

ilmu kebijakan salah satunya diimplementasikan untuk kepentingan publik.

James E. Anderson dalam Bambang S, (1994 : 23) mengatakan bahwa “publik

policies are those policies developed by govermental bodies and officials”

(kebijakan publik adalah kebijakan-kebijakan yang dikembangkan oleh badan-

badan dan pejabat-pejabat pemerintah). Selanjutnya Anderson menjelaskan

implikasi dari pengertian kebijakan publik adalah:

1) Bahwa kebijakan publik itu selalu mempunyai tujuan tertentu atau

merupakan tindakan yang berorientasi pada tujuan.

2) Bahwa kebijakan itu berisi tindakan-tindakan atau pola-pola tindakan

pejabat-pejabat pemerintah.

3) Bahwa kebijakan itu adalah apa yang benar-benar dilakukan oleh

pemerintah, jadi bukan merupakan apa yang pemerintah bermaksud akan

melakukan sesuatu atau menyatakan akan melakukan sesuatu

4) Bahwa kebijakan publik itu bisa bersifat positif dalam arti merupakan

beberapa bentuk tindakan pemerintah mengenai suatu masalah tertentu

10

atau bersifat negatif dalam arti merupakan keputusan pejabat pemerintah

untuk tidak melakukan sesuatu.

5) Bahwa kebijakan pemerintah dalam arti yang positif didasarkan atau

selalu dilandaskan pada peraturan perundang-undangan yang bersifat

memaksa (otoritif).

b. Bentuk-Bentuk Kebijakan

Seorang pimpinan dalam hal ini Pemerintah haruslah mampu membuat

sebuah kebijakan yang baik dan bermanfaat bagi semua. Pada prinsipnya

Pemerintah ialah perwujudan rakyat yang mempunyai tugas menjalankan

pemerintahan atas dasar kehendak dan kebutuhan rakyat dalam sebuah negara.

Oleh karena itu, semua tindakan dan keputusan harus dilatarbelakangi oleh

kepentingan rakyat itu sendiri. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia arti

Kebijakan adalah “kepandaian dan kemahiran. Kebijakan sebagai rangkaian

konsep dan asas yang menjadi garis besar dan dasar rencana pelaksanaan suatu

pekerjaan, kepemimpian, dan cara bertindak (Pemerintah/Organisasi), pernyataan

cita-cita, tujuan, prinsip, atau maksud sebagai garis pedoman untuk manajemen

dalam usaha mencapai sasaran atau garis haluan”.

David Easton dalam Pandji Santosa, (2008 : 27) menjelaskan bahwa

kebijakan adalah “pengalokasian nilai-nilai kepada seluruh masyarakat secara

keseluruhan”. Pendapat ini memperkuat definisi kebijakan dalam Kamus Besar

Bahasa Indonesia karena mengisyaratkan adanya sifat otoritatif yang dimiliki

pemerintah. Kebijakan pemerintah pada dasarnya tidak hanya berupa sebuah

tindakan yang diambil dalam sebuah kasus namun bisa bermakna lebih luas lagi.

Kebijakan tersebut bisa berupa ucapan dari seorang pimpinan, dukungan,

perhatian dan lain sebagainya. Setiap respon atau tindakan yang dilakukan oleh

seorang pimpinan bisa diartikan sebagai kebijakan yang dia tetapkan bahkan

meskipun pemerintah tidak melakukan sesuatu terkait sebuah kasus namun hal itu

tetap menjadi sebuah kebijakan dimana akan sangat mempengaruhi atau memberi

dampak terhadap masyarakat. Brian W. Hogwood dan Lewis A. Gunn dalam

Wahab, (2011 : 16), mengelompokkan kebijakan ke dalam sepuluh macam yaitu:

1) Policy as a Label for a Feld of Activity (Kebijakan sebagai Sebuah Label

atau Merk bagi Suatu Bidang Kegiatan Pemerintah).

2) Policy as an Expression of General Purpose or Desired State of Affairs

11

(Kebijakan sebagai Suatu Pernyataan Mengenai Tujuan Umum atau

Keadaan Tertentu yang dikehendaki).

3) Policy as Spesific Proposals (Kebijakan sebagai Usulan-Usulan Khusus).

4) Policy as Decision of Government (Kebijakan sebagai Keputusan-

Keputusan Pemerintah).

5) Policy as Formal Authorization (Kebijakan sebagai Bentuk Otorisasi

atau Pengesahan Formal).

6) Policy as Programme (Kebijakan sebagai Program).

7) Policy as Output (Kebijakan sebagai Keluaran).

8) Policy as Outcome (Kebijakan sebagai Hasil Akhir).

9) Policy as a Theory or Model (Kebijakan sebagai Teori atau Model).

10) Policy as Process (Kebijakan sebagai Proses)

Weimer & Vining dalam Kartodiharjo, (2009) menjelaskan mengenai

lingkup kebijakan, yang terdiri dari: Riset kebijakan dan analisis kebijakan. Riset

kebijakan merupakan prediksi dampak perubahan beberapa variabel akibat

perubahan kebijakan, untuk aktor dalam arena kebijakan yang relevan melalui

metodologi yang formal. Sedangkan analisis kebijakan merupakan perbandingan

dan evaluasi dari solusi yang tersedia untuk memecahkan masalah, untuk orang

atau lembaga tertentu melalui sintesis, riset-riset dan teori. Kemudian dengan

analisis atau kajian kebijakan akan dihasilkan pengetahuan mengenai baik atau

buruknya kinerja kebijakan yang dihasilkan saat ini melalui identifikasi arena

kebijakan dengan menggunakan metode yang valid serta dapat

dipertanggungjawabkan.

Kebijakan pemerintah yang telah disahkan, tidak akan bermanfaat apabila

tidak diimplimentasikan. Hal ini disebabkan karena implimentasi kebijakan

pemerintah berusaha untuk mewujudkan kebijakan yang masih bersifat abstrak ke

dalam realita nyata. Suatu kebijakan pemerintah akan berhasil apabila

dilaksanakan dan menghasilkan dampak positif bagi masyarakat banyak.

Kebijakan sendiri secara umum dapat dibedakan dalam tiga tingkatan, yaitu:

1) Kebijakan Umum

Kebijakan umum adalah kebijakan yang menjadi pedoman atau

petunjuk pelaksanaan baik yang bersifat positif ataupun bersifat negatif yang

meliputi keseluruhan wilayah atau instansi yang bersangkutan. Suatu hal

yang perlu diingat adalah pengertian umum disini bersifat relatif. Maksudnya,

12

untuk wilayah negara, kebijakan umum mengambil bentuk undang-undang

atau keputusan presiden dan sebagainya. Sementara untuk suatu provinsi,

selain dari peraturan dan kebijakan yang di ambil pada tingkat pusat juga ada

keputusan gubernur atau peraturan daerah yang diputuskan oleh DPRD.

Agar suatu kebijakan umum dapat menjadi pedoman bagi tingkatan

kebijakan di bawahnya, ada beberapa kriteria yang harus dipenuhi. Pertama,

cakupan kebijakan itu meliputi keseluruhan wawasannya. Artinya, kebijakan

itu tidak hanya meliputi dan ditujukan pada aspek tertentu atau sektor

tertentu. Kedua, tidak berjangka pendek. Masa berlakunya atau tujuan yang

ingin dicapai dengan kebijakan tersebut berada dalam jangka panjang atau

pun tidak mempunyai batas waktu tertentu. Karena itu tujuan yang

digambarkan sebagai kebijakan sering kali dianggap orang tidak jelas. Istilah

“tidak jelas” ini tidak tepat. Tujuan jangka panjang lebih dapat disebut

“samar-samar” karena gambarannya yang bersifat umum. Keadaan ini hampir

dapat disamakan dengan penglihatan kita bila melihat seorang wanita cantik

dari jarak dua kilometer. Sosoknya tidak akan terlihat dengan jelas.

Kecantikannya hanya tergambar secara umum dalam bentuk keseluruhan.

Gambarannya jelas berada dari penglihatan dalam jarak 50 meter. Bahkan

dapat dikatakan aneh kalau dalam jarak dua kilometer dia terlihat dengan

jelas. Dengan kata lain, dalam suatu kebijakan umum tidak tepat untuk

menetapkan sasarannya secara sangat jelas dan rumusannya secara teknis.

Rumusan yang demikian akan menghadapi kekakuan dalam perubahan waktu

jangka panjang dan akan mengalami kesulitan untuk diberlakukan dalam

wilayah-wilayah kecil yang berbeda.

Ketiga, strategi kebijakan umum tidak bersifat operasional. Seperti

halnya pada pengertian umum, pengertian operasional atau teknis juga

bersifat relatif. Sesuatu yang dianggap umum untuk tingkat kabupaten

mungkin dianggap teknis atau operasional untuk tingkat provinsi dan sangat

operasional dalam pandangan tingkat nasional. Namun, sekalipun suatu

kebijakan bersifat umum, tidak berarti kebijakan tersebut bersifat sederhana.

Makin umum suatu kebijakan, makin kompleks dan dinamis kebijakan

13

tersebut. Hal ini disebabkan karena pada tingkat kebijakan umum banyak

aspek yang terlibat, banyak dimensi ilmu yang diperlukan untuk

menganalisisnya dan banyak pihak yang terkait. Sebaliknya semakin teknis

suatu kebijakan, semakin tidak kompleks kebijakan itu.

2) Kebijakan Pelaksanaan

Kebijaka pelaksanaan adalah kebijakan yang menjabarkan kebijakan

umum. Untuk tingkat pusat, peraturan pemerintah tentang pelaksanaan suatu

undang-undang, atau keputusan menteri yang menjabarkan pelaksanaan

keputusan presiden adalah contoh dari kebijakan pelaksanaan. Untuk tingkat

provinsi, keputusan bupati atau keputusan seorang kepala dinas yang

menjabarkan keputusan Gubernur atau peraturan daerah bisa jadi suatu

kebijakan pelaksanaan.

3) Kebijakan Teknis

Kebijakan teknis adalah kebijakan operasional yang berada di bawah

kebijakan pelaksanaan itu. Secara umum dapat disebutkan bahwa kebijakan

umum adalah kebijakan tingkat pertama, kebijakan pelaksanaan adalah

kebijakan tingkat ke dua, dan kebijakan teknis adalah kebijakan tingkat ke

tiga atau yang terbawah.

Wewenang membuat kebijakan hanya ada pada jabatan-jabatan yang

tinggi. Ini bisa dimengerti karena pada jabatan-jabatan tersebut terdapat

fungsi mengatur (regulasi) masyarakat. Pada jabatan-jabatan yang lebih

rendah terdapat fungsi pelaksanaan atau teknis. Meskipun birokrasi harus

bersikap netral atau bebas dari politik, namun mereka yang menduduki

jabatan tinggi tidak boleh melepaskan diri dari pengaruh politik. Seorang

birokrat tidak boleh mewakili kepentingan sesuatu partai, namun dia harus

dapat memahami orientasi politik partai-partai yang ada, sehingga dapat

mengambil keputusan yang mewakili semua aspirasi dalam masyarakat.

Sikap netral seorang pejabat tidak boleh diartikan bahwa keputusan yang

diambil harus lepas dari semua kepentingan partai, karena ini dapat berakibat

ruang gerak untuk mengidentifikasi alternatif kebijakan menjadi sempit.

14

c. Analisis dan Formulasi Kebijakan

Analisis kebijakan sebagai suatu disiplin ilmu sosial terapan yang

menggunakan argumentasi rasional dengan menggunakan fakta-fakta untuk

menjelaskan, menilai dan membuahkan pemikiran untuk memecahkan masalah

publik, Macrae dalam Rusdiana (2015: 69). Dalam analisis kebijakan, kata

analisis digunakan dalam pengertian yang luas, termasuk penggunaan intuisi dan

mengungkapkan pendapat dan tidak hanya menguji kebijakan melalui memilah-

milah kedalam sejumlah komponen-komponen tetapi juga perancangan dan

sintesis alternatif-alternatif baru. Kemudian menurut Stokey dan Zekhauser dalam

Rusdiana (2015: 69) menjelaskan bahwa, “analisis kebijakan adalah suatu proses

nasional dengan menggunakan metode dan teknik yang rasional pula”.

Selanjutnya mempersempit analisis kebijakan hanya untuk para pembuat

keputusan yang rasional sebagai penentu tujuan kebijakan dan yang menggunakan

proses logika dalam menelusuri cara terbaik untuk mencapai suatu tujuan.

Menurut Sabatier dalam Wahab, (2012:34) bahwa:

“Agar dapat menilai perkembangan sebuah kebijakan dengan baik, seseorang

harus mencermati kebijakan itu setidaknya selama satu dekade atau lebih.

Dalam penelitian seperti itu, unit analisisnya ialah subsistem kebijakan yang

terdiri atas koalisi advokasi yang saling bersaing atau interaksi antar aktor

dari beragam lembaga dan tingkatan pemerintahan yang tertarik terhadap

bidang kebijakan tersebut”.

Menurut Rusdiana (2015: 69) analisis kebijakan menggunakan dua

pendekatan berikut, yaiti: a) pendekatan deskriptif untuk menyajikan informasi

apa adanya pada pengambilan keputusan, agar pengambil keputusan memahami

permasalahan yang sedang di soroti dari suatu isu kebijakan. b) Pendekatan

normatife dimaksudkan untuk membantu para pengambil keputusan dalam

memberikan gagasan hasil pemikiran sehingga mampu memecahkan suatu

kebijakaan.

Analisis evaluasi kebijakan sering juga disebut analisis dampak kebijakan,

yang mengkaji akibat-akibat implementasi suatu kebijkan membahas hubungan

diantara cara yang digunakan dan hasil yang dicapai. Analisis kebijakan publik

berdasarkan kajian kebijakannya dapat dibedakan antara analisis kebijakan

15

sebelum adanya kebijakan publik tertentu dan sesudah adanya kebijakan publik

tertentu. Analisis kebijakan sebelum adanya kebijakan publik berpijak pada

permasalahan publik semata sehingga hasilnya benar-benar sebuah rekomendasi

kebijakan publik yang baru.

Keduanya baik analisis kebijakan sebelum maupun sesudah adanya

kebijakan mempunyai tujuan yang sama yakni memberikan rekomendasi

kebijakan kepada penentu kebijakan agar didapat kebijakan yang lebih

berkualitas. Dunn (2000:117) membedakan tiga bentuk utama analisis kebijakan

publik:

1) Analisis Kebijakan Prospektif

Analisis Kebijakan Prospektif yang berupa produksi dan transformasi

informasi sebelum aksi kebijakan dimulai dan diimplementasikan.

Analisis kebijakan di sini merupakan suatu alat untuk mensintesakan

informasi untuk dipakai dalam merumuskan alternatif dan preferensi

kebijakan yang dinyatakan secara komparatif, diramalkan dalam bahasa

kuantitatif dan kualitatif sebagai landasan atau penuntun dalam

pengambilan keputusan kebijakan.

2) Analisis Kebijakan Retrospektif

Analisis Kebijakan Retrospektif adalah sebagai penciptaan dan

transformasi informasi sesudah aksi kebijakan dilakukan. Terdapat 3 tipe

analis berdasarkan kegiatan yang dikembangkan oleh kelompok analis ini

yakni analis yang berorientasi pada disiplin, analis yang berorientasi pada

masalah dan analis yang berorientasi pada aplikasi. Tentu saja ketiga tipe

analisis retrospektif ini terdapat kelebihan dan kelemahan.

3) Analisis Kebijakan yang Terintegrasi

Analisis Kebijakan yang terintegrasi merupakan bentuk analisis yang

mengkombinasikan gaya operasi para praktisi yang menaruh perhatian

pada penciptaan dan transformasi informasi sebelum dan sesudah

tindakan kebijakan diambil. Analisis kebijakan yang terintegrasi tidak

hanya mengharuskan para analis untuk mengkaitkan tahap penyelidikan

retrospektif dan perspektif, tetapi juga menuntut para analis untuk terus

menerus menghasilkan dan mentransformasikan informasi setiap saat.

d. Peraturan Daerah

Otonomi berasal dari bahasa Yunani, yaitu autos dan nomos. Autos

artinya sendiri, sedangkan nomos berarti hukum atau aturan. Sebagai istilah,

pengertian otonomi autos nomos atau autonomous dalam bahasa Inggris kata

sifat yang berarti: (1) keberadaan atau keberfungsian secara bebas atau

independen (functioning or existing independently); dan (2) memiliki

16

pemerintahan sendiri, sebagai negara atau kelompok dan sebagainya (of or

having self-government, as astate, group, etc.). Sedangkan pengertian

otonomi (autonomy) sebagai kata benda (noun) adalah (1) keadaan atau

kualitas yang bersifat independen, khususnya kekuasaan atau hak memiliki

pemerintahan sendiri (the power or right of having self-government); dan atau

(2) negara, masyarakat, atau kelompok yang memiliki pemerintahan sendiri

yang independen (a self-governing state, community orgroup). Beranjak dari

rumusan pengertian otonomi tersebut dapat disimpulkan bahwa otonomi

daerah secara ringkas adalah daerah yang menyelenggarakan pemerintahan

sendiri, atau daerah yang memiliki pemerintahan sendiri yang berdaulat atau

independen.

Indonesia pada dasarnya menganut pemahaman otonomi daerah yang

bersifat administratif, yaitu kebebasan untuk menyelenggarakan administrasi

pemerintahan sendiri yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari

Sistem Administrasi Negara Republik Indonesia (SANKRI). Dengan

demikian dalam konteks Indonesia, pengertian otonomi daerah menunjukkan

hubungan keterikatan antara daerah yang memiliki hak untuk

menyelenggarakan pemerintahan sendiri dengan kesatuan yang lebih besar

yaitu Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Bukan berarti daerah

otonom yang merdeka dan berdiri sendiri bebas dari ikatan dengan NKRI.

Dengan berlakunya otonomi daerah maka Pemerintah daerah berhak untuk

mengatur daerahnya sendiri dan membuat kebijakan lokal dengan tujuan

pengembangan dan pembangunan daerah. Salah satunya yaitu dengan

menerbitkan Peraturan Daerah (PERDA). Peraturan daerah merupakan

bentuk nyata implementasi kebijakan yang dibuat oleh Pemerintah Daerah

dalam mengatasi permasalahan yang ada maupun untuk mengembangkan

potensi daerahnya.

Sejak disahkannya Undang-Undang No. 22 Tahun 1999 tentang

Pemerintahan Daerah (yang kemudian direvisi pada tahun 2004) yang

diimplementasikan sejak januari 2001, maka beberapa kewenangan daerah

dilaksanakan oleh birokrasi pemerintah daerah (PEMDA). Mulai saat itulah

17

Pemda mempunyai kewenangan yang luar biasa untuk merencanakan,

merumuskan, melaksanakan, serta mengevaluasi kebijakan-kebijakan yang

sesuai dengan keperluan dan tuntutan masyarakat setempat (Agustinus, 2011 :

69). Sejak masa itu pemerintah daerah (Pemda) tidak lagi sekedar sebagai

pelaksana operasional kebijakan-kebijakan yang telah ditetapkan dan

ditentukan oleh pusat seperti pada zaman Orde Baru yang bersifat top-down

policy, tetapi telah menjadi agen penggerak pembangunan. Sekarang, melalui

otonomi daerah apapun yang dilaksanakan oleh pemerintah daerah dapat

dengan mudah dinilai bahkan dikritisi oleh masyarakat sendiri.

Peraturan daerah merupakan bentuk legitimasi Pemda untuk mencapai

tujuan-tujuan pembangunan daerah secara sah terhadap masyarakat lokal.

Tujuan-tujuan pembangunan daerah yang dilakukan salah satunya ialah

mengatasi persoalan masyarakat yang dianggap penting, yaitu penyediaan

sarana dan prasarana olahraga di Kabupaten Lombok Timur. Dalam Undang-

Undang Nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, setidaknya ada

3 (tiga) jenis produk hukum daerah otonom. Dua produk hukum hasil

pengaturan dan sebuah produk hasil pengurusan. Hal ini seperti yang

diungkapkan oleh pakar Otonomi Daerah Hoessein (2009:151-156), bahwa:

“Produk hukum hasil pengaturan adalah peraturan daerah (Perda) dan

peraturan kepala daerah, sedangkan sebuah produk hukum hasil

pengurusan adalah keputusan kepala daerah. Perda adalah keputusan

kepala daerah dengan persetujuan DPRD, sedangkan peraturan kepala

daerah adalah keputusan kepala daerah tanpa persetujuan DPRD.

Kedua produk hukum tersebut sebagai norma hukum umum dan

abstrak. Keputusan kepala daerah sebagai produk hukum pengurusan

adalah keputusan yang bersifat penetapan”.

Dalam hukum positif di Indonesia dibedakan beberapa produk hokum

daerah otonom, namun baik jenis maupun hierarkinya diatur secara berbeda

dalam peraturan perundang-undangan. Jenis dan kedudukan Perda dalam

hierarki perundang-undangan diatur dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun

2004 tentang Pembentukan Perundang-undangan. Dalam ayat (1) Pasal 7

mengatur jenis hierarki Peraturan Perundang-undangan sebagai berikut:

1) Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945(UUD 1945)

18

2) Undang-Undang (UU)/ Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-

Undang

3) Peraturan Pemerintah (PP)

4) Peraturan Presiden (Perpres)

5) Peraturan Daerah (Perda).

Kelima produk diatas merupakan bentuk pertama kebijakan publik,

yaitu peraturan perundangan yang terkodifikasi secara formal dan legal.

Setiap peraturan dari tingkat “Pusat” atau “Nasional” hingga tingkat “lokal”

desa atau kelurahan adalah kebijakan publik karena mereka adalah aparat

publik atau administrator yang dibayar oleh uang publik melalui pajak dan

penerimaan Negara lainnya (Penerimaan Negara Bukan Pajak), dan

karenanya secara hukum formal bertanggung jawab kepada public (Nugroho,

2008: 62). Pada hakikatnya peraturan daerah dan kebijakan publik itu

memiliki pengertian yang hampir sama. Dimana keduanya merupakan suatu

alat intervensi pemerintah (lokal) yang bertujuan untuk mengubah kondisi

yang ada atau mempengaruhi arah dan kecepatan dari perubahan yang sedang

berlangsung dalam masyarakat guna mewujudkan kondisi yang dicita-

citakan. Intervensi itu dilakukan melalui suatu atau serangkaian strategi

kebijakan dengan menggunakan berbagai peralatan atau instrumen kebijakan.

Dalam hal ini, kondisi yang ada dan perubahan yang berlangsung yang ingin

dipengaruhi serta kemungkinan perubahan dari kecenderungan perubahan

yang ada itu, sangat bersifat spesifik.

Dari penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa PERDA adalah

produk hukum daerah otonom yang bersifat pengaturan. Dalam hal ini

Peraturan Daerah dibuat untuk mengatur orang atau sekelompok orang untuk

mencapai ke keadaan yang dinginkan. Secara prosedural, pembentukan perda

didahului dengan penyampaian rancangan peraturan daerah (Raperda) atas

prakarsa kepala daerah atau prakarsa DPRD.

2. Hakikat Olahraga

Olahraga saat ini sudah menjadi sebuah trend atau gaya hidup bagi

sebagian orang, bahkan untuk sebagian orang yang lain olahraga menjadi sebuah

19

kebutuhan mendasar dalam hidupnya. Olahraga yang sebelumnya dipandang

sebelah mata dan merupakan sebuah aktivitas rekreasi semata, seiring

perkembangan zaman dan kemajuan ilmu pengetahuan olahraga menjelma

menjadi sesuatu yang memiliki nilai vital dalam kehidupan sehari-hari umat

manusia. Olahraga menjadi sangat penting karena tidak terlepas dari kebutuhan

mendasar manusia itu sendiri yang pada prinsipnya selalu bergerak. Olahraga itu

sendiri merupakan serangkaian gerak raga yang teratur dan terencana untuk

memelihara dan meningkatkan kemampuan gerak yang bertujuan untuk

mempertahankan hidup serta meningkatkan kualitas hidup seseorang.

Tujuan seseorang berolahraga adalah untuk meningkatkan derajat sehat

dinamis (sehat dalam gerak), dan sehat statis (sehat dikala diam). Prestasi

melalui kegiatan olahraga pun menjadi suatu alasan sesorang menekuni

olahraga. Hal tersebut sejalan dengan isi Undang-undang RI nomor 3 tahun 2005

tentang Sistem Keolahragaan Nasional yang menyatakan bahwa “Olahraga

adalah segala kegiatan yang sistematis untuk mendorong, membina, serta

mengembangkan potensi jasmani, rohani, dan sosial”.

Olahraga bisa dilakukan oleh siapapun, kapanpun, dan dimanapun tanpa

memandang dan membedakan jenis kelamin, suku, agama, ras, dan sebagainya.

Olahraga mempunyai peran penting dan strategis dalam pembangunan bangsa.

Hal tersebut sejalan dengan pendapat Mutohir (2005), hakekat olahraga adalah

sebagai refleksi kehidupan masyarakat suatu bangsa. Di dalam olahraga

tergambar aspirasi serta nilai-nilai luhur suatu masyarakat, yang terpantul lewat

hasrat mewujudkan diri melalui prestasi olahraga. Kita sering mendengar kata-

kata bahwa kemajuan suatu bangsa salah satunya dapat tercermin dari prestasi

olahraganya. Harapannya adalah olahraga di Indonesia dijadikan alat pendorong

gerakan kemasyarakatan bagi lahirnya insan manusia unggul, baik secara fisikal,

mental, intelektual, sosialnya serta mampu membentuk manusia Indonesia yang

sehat jasmani dan rohani seutuhnya.

Pemahaman tentang konsep olahraga dipengaruhi oleh ilmu pengetahuan

dan teknologi. Menurut Engkos Kosasih (1980:20) istilah sport berasal dari

bahasa Latin ”disportare” atau ”deporate” didalam bahasa Itali menjadi

20

”diporte” yang artinya penyenangan, pemeliharaan atau menghibur untuk

bergembira. Istilah olahraga dan sport itu berubah sepanjang waktu, namun

mempunyai pengertian yang sama yaitu esensi pengertiannya kebanyakan

berkaitan dengan 3 unsur pokok yaitu bermain, latihan fisik, dan kompetisi.

Sedangkan menurut Wirjasantosa (1984 : 21) olahraga berarti

memperkembangkan, memasak, mematangkan, menyiapkan manusia

sedemikian rupa, sehingga dapat melaksanakan gerakan-gerakan dengan efektif

dan efisien”. Nuansa usaha keras mengandung ciri permainan dan konfrontasi

melawan tantangan tercermin dalam definisi UNESCO tentang sport, yaitu

setiap aktifitas fisik berupa permainan yang berisikan perjuangan melawan

unsur-unsur dan orang lain ataupun diri sendiri. Dari beberapa uraian di atas

dapat ditarik kesimpulan. Olahraga (sport) tidak digunakan dalam pengertian

olahraga kompetitif yang sempit, karena pengertiannya bukan hanya sebagai

himpunan aktifitas fisik yang resmi terorganisasi (formal) dan tidak resmi

(informal) yang tampak dalam kebanyakan cabang-cabang olahraga namun juga

dalam bentuk yang mendasar seperti senam, latihan kebugaran jasmani atau

aerobik.

Olahraga juga memiliki keterbatasan. Keterbatasan dalam olahraga yang

dimaksud adalah adanya aturan-aturan yang harus dipatuhi, baik itu dalam

olahraga yang bersifat play (bermain), games maupun sport. Aturan dalam

olahraga yang bersifat play, tidak terlalu ketat, karena play merupakan aktivitas

fisik yang bersifat sukarela dan dilakukan secara bebas. Misalnya ketika kita lari

di sore hari/ jogging, yang kita perhatikan adalah kita harus menggunakan

pakaian dan lari di tempat yang tidak mengganggu aktivitas orang lain.

Kemudian, olahraga yang bersifat games, aturannya sudah mulai ketat. Karena

dibuat oleh pemain yang akan melakukan permainan untuk ditaati bersama.

Misalnya, pada waktu kita ingin bermain bola voli dengan teman yang lain,

sebelum permainan dimulai, kita sudah menentukan kesepakatan atas aturan

yang akan kita gunakan, baik itu penentuan set, skor, jumlah pemain dan lain

sebagainya. Olahraga dalam bentuk sport, aturan yang harus dipatuhi sudah

sangat kompleks, dibuat secara formal oleh organisasinya. Misalnya dalam

21

permainan sepak bola atau pun permainan lainnya. Semua sudah ada

ketentuannya. Di situ sudah ada paraturan/pembatasan ruang, luas, jumlah

pemain dan aturan-aturan lain yang harus dipakai sesuai dengan kesepakatan

yang telah ditentukan sebelumnya. Di dalam olahraga, aturan-aturan yang telah

dibuat bukan merupakan suatu hal yang dapat menghambat pengembangan

kemampuan dalam berekspresi atau juga bukan merupakan pengekang

kebebasan, melainkan suatu bentuk tindakan untuk menjadikan olahraga itu

menjadi lebih baik, penuh dengan seni dan etika.

Pada zaman modern ini manusia telah berhasil mengembangkan berbagai

macam teknologi termasuk mengembangkan beberapa teknik olahraga, namun

dengan semakin berkembangnya teknologi justru sebagian manusia menjadi

korban dari perkembangan teknologi tersebut karena dengan semakin

berkembangnya teknologi maka akan mempermudah kinerja seseorang, dengan

kata lain teknologi akan mengurangi aktifitas fisik seseorang. Dengan

berkurangnya aktifitas fisik seseorang, maka akan berpengaruh terhadap

kebugaran tubuhnya dan nantinya akan berpengeruh juga terhadap aktifitas fisik

lainnya. Oleh karena hal tersebutlah disarankan untuk tetap menjaga kesehatan

dan kebugaran dengan berolahraga secara baik dan benar.

Aktivitas gerak sangat penting baik untuk kelangsungan hidup maupun

komunikasi dengan dewa, maka aktivitas fisik tersebut merupakan yang

terpenting untuk eksistensi manusia. Oleh karena itu, mereka mulai menyusun

struktur geraknya ke dalam bentuk-bentuk yang bermanfaat, tepat dan sadar.

Semua peristiwa penting dalam siklus kehidupan orang primitif yang memiliki

makna praktis dan religius disimbolkan dalam gerakan-gerakan tubuh yang

terstruktur. Di seluruh periode evolusinya, aktivitas fisik sangat penting untuk

kelangsungan hidup dan tetap penting untuk pertumbuhan dan perkembangan

yang optimum. Harrow (1977 : 5) mengemukakan bahwa ada tujuh pola gerak

yang sangat penting untuk eksistensi orang primitif yang merupakan dasar

gerakan keterampilan. Aktivitas gerak ini adalah inheren dalam diri manusia,

yakni lari, lompat/loncat, memanjat, mengangkat, membawa, menggantung, dan

melempar. Hingga kini aktivitas fisik atau gerak, juga tidak dapat dipisahkan

22

dari kehidupan manusia, karena gerak dipandang sebagai kunci untuk hidup dan

untuk keberadaan dalam semua bidang kehidupan. Jika manusia melakukan

gerakan yang memiliki tujuan tertentu, maka ia mengkoordinasikan aspek-aspek

kognitif, psikomotor, dan afektif.

Olahraga juga sebagai sarana untuk pertukaran budaya dari berbagai

negara, berbagi informasi dan mengembangkan pemahaman budaya timbal

balik. Ini berarti olahraga sering menjadi barang ekspor budaya dari Negara

maju dan menyatu dengan hidup sehari-hari orang di negara lain. Partisipasi

even olahraga internasional sering bermakna bahwa negara lemah harus mencari

negara tangguh atau yang disebut adikuasa dalam olahraga untuk mendapat

bimbingan dan sumber daya. Menurut Adolf Ogi, mantan Presiden Swiss yang

kini bertugas sebagai penasehat khusus Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-

Bangsa (PBB) mengenai olahraga untuk pembangunan dan perdamaian

menyatakan bahwa,“Nilai-nilai olahraga identik dengan nilai-nilai PBB.

Kegiatan olahraga perlu terus dipromosikan demi keselamatan umat manusia”.

Lebih lanjut Piere De Cerbertin dalam beberapa tulisannya menyatakan bahwa,

“Olympic Games bukan hanya event atletik saja, tetapi Olympic Games

merupakan inti dari gerakan sosial yang luas.

Melalui kegiatan olahraga akan meningkatkan pengembangan kualitas

sumberdaya manusia dan saling pengertian secara Internasional” IOC,Tode, Ian

Seagrave dalam Maksum, (2004). Moto Olimpik “Citius, Altius, fortius” (lebih

cepat, lebih tinggi, lebih kuat) telah menjadi suatu filsafat hidup, mengagungkan

dan mengkombinasi suatu keseluruhan yang seimbang, kualitas tubuh, akal dan

pikiran serta mencampur olahraga dengan kultur dan pendidikan sedangkan

Olympism mencari untuk menciptakan suatu jalan hidup berdasar pada

kegembiraan, nilai bidang pendidikan dari contoh dan rasa hormat yang baik

untuk prinsip etis pokok yang universal.

Adapun prinsip dasar paham Olimpik menurut Harsuki (2012 : 32-33)

sebagai berikut:

1) Paham Olimpik (Olympism) ialah suatu falsafah hidup yang

mengagungkan dalam suatu keseluruhan keseimbangan dan kualitas

badan, kemauan, dan jiwa (pikiran). Memadukan olahraga dengan budaya

23

dan pendidikan, paham olimpik mencari dan menciptakan suatu cara

hidup yang didasarkan atas kegembiraan berusaha, nilai pendidikan

dengan suatu contoh yang baik dan menghormati akan prinsip etis yang

fundamental serta berlaku umum.

2) Tujuaa dari paham Olimpik adalah menempatkan olahraga sebagai

pelayanan dari pengembangan manusia yang harmonis, dengan visi untuk

mempromosikan suatu masyarakat yang damai yang terkait dengan

pemeliharaan martabat manusia.

3) Gerakan Olimpik (Olympic Movement) ialah kesepakatan bersama,

diorganisasi, semesta, dan kegiatan tetap, yang dilaksanakan di bawah

otoritas tertinggi dari IOC, bagi semua individu yang diilhami oleh nilai-

nilai dari paham Olimpik, yang kejadiannya meliputi lima benua. Hal

tersebut akan mencapai puncaknya dengan membawakan secara bersama-

sama atlet dunia dalam suatu festival olahraga yang besar yaitu Olympic

Games. Simbolnya berupa lima lingkaran yang saling berkaitan.

4) Praktik melakukan olahraga merupakan hak asasi manusia. Setiap

individu harus memiliki kesempatan untuk berolahraga tanpa ada

diskriminasi apapun dan dalam semangat olimpik yang mensyaratkan

saling pengertian dengan semangat persaudaraan, solidaritas, dan fair

play. Organisasi, administrasi, dan manajemen olahraga harus dikontrol

oleh organisasi olahraga yang independen.

5) Segala bentuk diskriminasi yang berkaitan pada perorangan yang

didasarkan atas rasial, agama, politik, gender, atau lainnya yang

bertentangan dengan kepemilikan gerakan Olimpik.

6) Kepemilikan pada Gerakan Olimpik mewajibkan kepatuhan pada Piagam

Olimpik (Olympic Charter) dan pengakuan oleh IOC.

Perkembangan olahraga di Indonesia sendiri saat ini memang belum

mampu menghasilkan suatu perubahan pada masyarakat secara signifikan.

Selain prestasi olahraga Indonesia yang kian menurun sebagai dampak dari

adanya krisis ekonomi yang berkepanjangan, olahraga seakan-akan tidak

mendapat perhatian secara serius dari pemerintah dan apalagi masyarakat.

Pemerintah dengan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) bersama-sama telah

menyepakati Undang-Undang Republik Indonesia tentang Sistem Keolahragaan

Nasional. Petikan perundang-udangan keolahragaan itu mengamanatkan bahwa

masyarakat harus ikut serta dalam mengembangkan olahraga nasional, terutama

industri olahraga.

Sumber utama yang sering menjadi penghalang pembinaan prestasi

adalah ketidakmampuan organisasi dalam memperoleh dana pembinaan yang

tidak kecil jumlahnya. Mungkin sudah saatnya kita bercermin pada negara-

24

negara lain yang telah mampu mengelola olahraga sebagai sebuah industri. Salah

satu kunci keberhasilan adalah kemampuan mengemas olahraga menjadi

tontonan menarik dan layak jual. Atau, menjadikan olahraga sebagai suatu

kebutuhan yang senantiasa dicari. Hal ini dikarenakan bahwa keberhasilan

olahraga tidak bisa diukur dari berhasil tidaknya meraih medali, tetapi lebih

kepada kemampuan untuk menggerakkan olahraga itu menjadi tontonan yang

menghibur, menggembirakan, dan yang paling puncak adalah menjadi industri

olahraga.

Semboyan yang dikumandangkan setiap tanggal 9 September, yaitu

“memasyarakatkan olahraga dan mengolahragakan masyarakat” sangat baik bila

maknanya dapat diamalkan semua pihak. Bilamana olahraga benar-benar

memasyarakat dan masyarakat telah membutuhkan olahraga, institusi olahraga

dapat berharap akan memperoleh dana dari masyarakat. Dalam hal ini,

masyarakat tampaknya menjadi kata kunci keberhasilan pengelolaan olahraga

secara mandiri. Karena itu, masyarakat inilah yang harus digarap terlebih dulu.

Sebagian besar dari masyarakat kita lebih senang bila dapat menyaksikan

tontonan dengan gratis. Mereka yang biasa disebut kalangan atas gemar

dimanjakan dengan tiket gratis, sementara masyarakat bawah berupaya

menerobos pintu gerbang atau memanjat pagar agar dapat menikmati tontonan

secara gratis. Simpulannya, masyarakat kita masih sangat menikmati dan merasa

bangga apabila dapat menonton suatu pertandingan akbar dan bergengsi secara

gratis.

Pengembangan olahraga di Indonesia harus dilaksanakan secara

berkesinambungan, terprogram, dan menuntut kerja keras agar tercapainya

prestasi dan budaya olahraga guna meningkatkan kualitas manusia Indonesia

yang memiliki tingkat kesehatan dan kebugaran yang baik. Pembinaan olahraga

dimulai sejak usia dini baik pada lembaga non formal maupun lembaga formal,

karena telah dirasakan bahwa olahraga akan dapat memberikan sumbangan yang

berarti terhadap seluruh elemen kehidupan manusia. Pemerintah bahkan

menjadikan olahraga sebagai pendukung terwujudnya manusia Indonesia yang

sehat dengan menempatkan olahraga sebagai salah satu arah kebijakan

25

pembangunan yang dituangkan dalam Tap MPR No.IV/MPR/1999 (GBHN)

yaitu menumbuhkan budaya olahraga guna meningkatkan kualitas manusia

Indonesia sehingga memiliki tingkat kesehatan dan kebugaran yang cukup.

Pembangunan olahraga pada dasarnya adalah upaya yang diarahakan

dalam rangka meningkatkan partisipasi masyarakat dalam kegiatan olahraga.

Sejalan dengan itu, pembangunan olahraga seyogyanya harus dilakukan sesuai

dengan kondisi serta karakteritik masyarakat dan lingkungan masyarakat yang

akan menjadi sasaran atau target pembangunan. Partisipasi masyarakat dapat

dilihat dari beberapa aspek, yaitu: tingkat dan pola partisipasi masyarakat dalam

berolahraga, tujuan dan motivasi berolahraga, dan karakteristik kegiatan

olahraga masyarakat yang meliputi jenis olahraga, jalur olahraga yang

digunakan dan frekuensi serta intensitas berolahraga.

Tujuan akhir pembinaan olahraga itu tidak lain untuk meningkatkan

kualitas hidup masyarakat, sehingga secara konsisten perlu menempatkan

olahraga sebagai bagian integral dari pembangunan. Dengan demikian, olahraga

ditempatkan bukan sekadar merespons tuntutan perubahan sosial, ekonomi, dan

budaya, tetapi ikut bertanggung jawab untuk memberikan arah perubahan yang

diharapkan.

Keteguhan terhadap komitmen ini didukung oleh begitu banyak fakta dan

pengalaman bahwa olahraga yang dikelola dan dibina dengan baik akan

mendatangkan banyak manfaat bagi warga masyarakat. Seperangkat nilai dan

manfaat dari aspek sosial, kesehatan, ekonomi, psikologis dan pedagogis

merupakan landasan yang kuat untuk mengklaim bahwa olahraga merupakan

instrumen yang ampuh untuk melaksanakan pembangunan yang seimbang antara

material, mental, dan spiritual.

Menurut Direktorat Jendral Olahraga (2004) bahwa, ada beberapa

indikator yang menjadi dasar maju-mundurnya masyarakat untuk melakukan

kegiatan olahraga. Indikator-indikator tersebut meliputi partisipasi

(partisipation), ruang terbuka (open spece), kebugaran jasmani (physical fitness),

dan sumberdaya manusia (human resources). Keempat indikator tersebut

memiliki hubungan yang tidak dapat dipisahkan, karena apabila salah satu

26

indikator ini tidak ada ataupun kurang memadai, maka akan terjadi kepincangan

dalam perkembangan olahraga di suatu daerah.

a. Pengertian Olahraga

Tidak mudah merumuskan pengertian sport (olahraga) itu sendiri, istilah

sport berasal dari kata desport yang berarti dalam bahasa Prancis kuno, yaitu

seluruh sarana yang memberikan ruang waktu yang menyenangkan baik dalam

bentuk percakapan, hiburan, senda gurau, dan permainan. Kata kerja sport

adalah se desporter yang berarti melompat-lompat kegirangan atau bersenang-

senang. Kata desport diambil oleh bangsawan inggris dan berubah menjadi

disport pada abad ke-14 dan kemudian mendapatkan bentuknya seperti saat ini,

yaitu sport.

Pada masa itu sport diartikan sebagai aktifitas yang sangat

menyenangkan dari golongan bangsawan sebagai bagian dari gaya hidupnya

yang khusus. Selanjutnya sport mencakup beberapa permainan yang lebih

populer dengan tetap mempertahankan acuannya kepada jiwa aristokratik dan

untuk kesenangan. Di Prancis pada tahun 1820-an, istilah sport pada mulanya

berarti pacuan kuda, serta beberapa permainan yang bersifat konfrontasi seperti

tinju. Tahun 1873 , pengertian sport dipakai untuk menunjukkan latihan di alam

terbuka, seperti pacuan kuda, dayung, berburu, memancing, panahan, senam,

dan anggar (Pandjaitan, 2011: 129).

Sementara itu di Indonesia sendiri pengertian olahraga (sport)

dirumuskan dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 2005

Tentang Sistem Keolahragaan Nasianal pasal 1 ayat 4 dijelaskan bahwa definisi

olahraga, adalah segala kegiatan yang sistematis untuk mendorong, membina,

serta mengembangkan potensi jasmani, rohani, dan sosial. Rumusan dari

pengertian ini sangat luas maknanya, karena tidak disebutkan apakah aktivitas

yang dimaksudkan sebagai olahraga. Kata kuncinya adalah segala kegitan yang

sistematis. Dengan demikian rumusan ini memperlihatkan bahwa aktivitas

olahraga yang dimaksud sepanjang tujuannya yaitu tujuanya untuk mendorong,

membina, serta mengembangkan potensi jasmani, rohani, dan sosial.

27

b. Ruang Lingkup Olahraga

Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2005 tentang Sistem Keolahragaan

Nasional Bab II Pasal 4 menetapkan bahwa keolahragaan nasional bertujuan

memelihara dan meningkatkan kesehatan, kebugaran, prestasi, kualitas manusia,

menanamkan nilai moral dan akhlak mulia, sportivitas, disiplin, mempererat dan

membina persatuan dan kesatuan bangsa memperkokoh ketahanan nasional, serta

mengangkat, harkat, martabat dan kehormatan bangsa. Kemudian pada Bab VI

Pasal 17, Ruang lingkup olahraga itu sendiri mencakup tiga pilar yaitu olahraga

pendidikan, olahraga rekreasi, dan olahraga prestasi. Ketiga pilar olahraga ini

dilaksanakan melalui pembinaan dan pengembangan olahraga secara terencana,

sistematik, berjenjang, dan berkelanjutan, yang dimulai dari pembudayaan

dengan pengenalan gerak pada usia dini, pemassalan dengan menjadikan

olahraga sebagai gaya hidup, pembibitan dengan penelusuran bakat dan

pemberdayaan sentra-sentra keolahragaan, serta peningkatan prestasi dengan

pembinaan olahraga unggulan nasional sehingga olahragawan andalan dapat

meraih puncak pencapaian prestasi.

1) Olahraga Pendidikan

Olahraga pendidikan adalah pendidikan jasmani dan olahraga yang

dilaksanakan sebagai bagian proses pendidikan yang teratur dan

berkelanjutan untuk memperoleh pengetahuan, kepribadian, keterampilan,

kesehatan, dan kebugaran jasmani. Olahraga pendidikan diselenggarakan

sebagai bagian proses pendidikan, dilaksanakan baik pada jalur pendidikan

formal maupun non formal, biasanya dilakukan oleh satuan pendidikan pada

setiap jenjang pendidikan, guru pendidikan jasmani dengan dibantu oleh

tenaga olahraga membimbing terselenggaranya kegiatan keolahragaan.

Di sekolah atau satuan pendidikan, penjasorkes berperan penting, hal

ini terkait dari dua hal, yakni sisi pendidikan jasmani yang mengarah kepada

aspek edukatif dan sisi olahraga yang mengarah kepada aspek prestasi. Kedua

hal ini merupakan hal yang inheren dalam penjasorkes, karena disitulah

ditempa pribadi peserta didik agar memiliki jasmaniah dan rohaniah yang

sehat, segar, dan sekaligus memungkinkan untuk prestasi, tentu saja termasuk

28

prestasi di bidang olahraga. Disamping itu, masih ada dimensi terpendam

pendidikan jasmani yang bisa mengembangkan dan membentuk kemampuan

serta kepribadian setiap individu misalnya sikap, semangat, emosi, kejiwaan

dan sebagainya.

Adapun ruang lingkup mata pelajaran Pendidikan jasmani, olahraga

dan kesehatan (Penjasorkes) sesuai Badan Standar Nasional Pendidikan

(BSNP) Tahun 2006 adalah sebagai berikut:

a) Permainan dan olahraga meliputi: olahraga tradisional, permainan.

eksplorasi gerak, keterampilan lokomotor non-lokomotor, dan

manipulatif, atletik, kasti, rounders, kippers, sepak bola, bola basket,

bola voli, tenis meja, tenis lapangan, bulu tangkis, dan beladiri, serta

aktivitas lainnya

b) Aktivitas pengembangan meliputi: mekanika sikap tubuh, komponen

kebugaran jasmani, dan bentuk postur tubuh serta aktivitas lainnya

c) Aktivitas senam meliputi: ketangkasan sederhana, ketangkasan tanpa

alat, ketangkasan dengan alat, dan senam lantai, serta aktivitas lainnya

d) Aktivitas ritmik meliputi: gerak bebas, senam pagi, SKJ, dan senam

aerobic serta aktivitas lainnya

e) Aktivitas air meliputi: permainan di air, keselamatan air, keterampilan

bergerak di air, dan renang serta aktivitas lainnya

f) Pendidikan luar kelas, meliputi: piknik/karyawisata, pengenalan

lingkungan, berkemah, menjelajah, dan mendaki gunung.

g) Kesehatan, meliputi penanaman budaya hidup sehat dalam kehidupan

sehari-hari, khususnya yang terkait dengan perawatan tubuh agar tetap

sehat, merawat lingkungan yang sehat, memilih makanan dan

minuman yang sehat, mencegah dan merawat cidera, mengatur waktu

istirahat yang tepat dan berperan aktif dalam kegiatan P3K dan UKS.

Aspek kesehatan merupakan aspek tersendiri, dan secara implisit

masuk ke dalam semua aspek.

Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) menganggap pendidikan jasmani

dan olahraga penting karena dapat mendukung bagi pencapaian Millenium

Development Goals (MDGs) dibidang kesehatan, pendidikan, dan

kemiskinan. Dalam hal ini penjasorkes dapat menjadi instrumen yang efektif

bagi penanggulangan dan peningkatan secara tidak langsung masalah

kesehatan dan kemiskinan. Misalnya, olahraga dapat menyumbang atau

berpengaruh kepada meningkatnya kebugaran masyarakat. Di Indonesia lebih

dikenal dengan nama Pendidikan Jasmani, Olahraga dan Kesehatan

(Penjasorkes), hal tersebut sesuai dengan yang diamanatkan dalam Standar

29

Nasional Pendidikan (PP RI No. 19 Tahun 2005 pasal 7 ayat 8 dalam

Sugiyanto 2012 ). Selanjutnya dijelaskan bahwa Pendidikan Jasmani,

Olahraga dan Kesehatan di dalamnya terkandung 3 (tiga) komponen isi yang

seharusnya ada, yaitu: Pendidikan Jasmani; Pendidikan Olahraga; dan

Pendidikan Kesehatan.

a) Pendidikan Jasmani

Pendidikan jasmani memiliki kajian tersendiri namun sebenarnya

merupakan satu kesatuan dalam konsep Penjasorkes. Definisi Pendidikan

Jasmani menurut Charles A. Bucher dalam Sugiyanto (2012) menyatakan

“Pendidikan Jasmani, suatu bagian integral dari proses pendidikan total ,

adalah suatu bidang upaya yang bertujuan mengembangkan warga

negara yang segar (fit) secara fisik, mental, emosi dan sosial melalui

medium aktivitas fisik yang dipilih sesuai sudut pandang perealisasian

tujuan tersebut.

Pendidikan jasmani merupakan proses pendidikan yang

melibatkan aktifitas fisik dengan alat untuk mencapai tujuan pendidikan.

Menurut Lutan (1998: 113) “Pendidikan Jasmani adalah proses

pendidikan via aktivitas jasmani, permainan dan/atau cabang olahraga

yang terpilih dengan maksud untuk mencapai tujuan pendidikan”.

Tujuan yang ingin dicapai bersifat menyeluruh, mencakup aspek fisik,

intelektual, emosional, sosial dan moral. Berkenaan dengan aspek fisik,

tujuan utama pendidikan jasmani adalah untuk memperkaya

perbendaharaan gerak dasar anak-anak dengan aktivitas fisik, sesuai

dengan tingkat pertumbuhan dan perkembangannya.

Sebagai alat pendidikan, pendidikan jasmani bukan hanya

bertujuan untuk mengembangkan kemampuan jasmani siswa, tetapi

melalui aktivitas jasmani dikembangkan pola potensi lainnya, seperti

kognitif, afektif dan psikomotor anak. Pendidikan jasmani berperan

penting terhadap pencapaian tujuan belajar mengajar secara keseluruhan.

Melalui pendidikan jasmani diharapkan dapat merangsang perkembangan

dan pertumbuhan jasmani siswa, merangsang perkembangan sikap,

30

mental, sosial, emosi yang seimbang serta keterampilan gerak siswa.

Menurut Depdiknas, (2003) mengemukakan bahwa “Pendidikan jasmani

merupakan proses pendidikan yang memanfaatkan aktivitas jasmani yang

direncanakan secara sistematik bertujuan untuk mengembangkan dan

meningkatkan individu secara organik, neuromuskuler, perceptual,

kognitif, dan emosional, dalam kerangka sistem pendidikan nasional.

Pendidikan jasmani lebih menekankan proses pembelajarannya pada

penguasaan gerak manusia.

Tidak dipungkiri bahwa dalam menjalankan proses pendidikan

Jasmani di sekolah, guru mengalami banyak kendala misalnya

keterbatasan sarana dan prasarana olahraga. Dengan kondisi tersebut,

guru penjasorkes dituntut untuk lebih kreatif dan inovatif. Model-model

pembelajaranpun banyak dibuat untuk menanggulangi keterbatasan

tersebut. Salah satu bentuk pembelajaran tersebut berkonsep pada joyful

learning atau belajar yang menyenangkan. Desain atau rancangan

pembelajaran tersebut kemudian dielaborasi konsepnya menjadi konsep

PAIKEM yaitu Pembelajaran Aktif, Inovatif, Kreatif, Efektif, dan

menyenangkan (Kristiyanto 2012 : 15-16).

b) Pendidikan Olahraga

Pendidikan olahraga merupakan sebuah konsep hasil

pengembangan dari Penjasorkes dimana memiliki tujuan yang lebih

spesifik yaitu mengarah kepada prestasi olahraga dari peserta didik.

Olahragawan yang pintar berarti memahami nilai-nilai peraturan, tatacara

dan tradisi dalam olahraga dan dapat membedakan antara praktik

olahraga yang baik dan yang buruk baik pada anak-anak atau

olahragawan profesional. Olahragawan yang antusias berarti

berpartisipasi dan berperilaku dalam cara yang memelihara, melindungi

dan mempertinggi budaya olahraga. Sebagai anggota kelompok olahraga

turut mengembangkan olahraga pada tingkat lokal, nasional dan

internasional.

31

Pembinaan olahraga yang dilakukan secara sistematis, tekun dan

berkelanjutan pada pelajar SD, SMP dan SMA diharapkan akan

menghasilkan prestasi yang tinggi. Dengan dimulainya pembinaan

olahraga pada usia muda, akan terwujud dalam proses awal dari

pembinaan olahraga sendiri dimulai dari pembinaan pelajar yang salah

satunya dengan cara pemanduan bakat pada usia dini. Usia anak Sekolah

Menegah Pertama merupakan masa-masa yang strategis dalam upaya

pembinaan olahraga, karena pada masa ini anak-anak masih mempunyai

waktu dan kesempatan yang cukup panjang, sehingga dapat meraih

prestasi yang maksimal dikemudian hari.

Dalam penerapan olahraga pendidikan seorang guru Penjasorkes

di sekolah harus diperhatikan porsi latihan atau aktivitas fisik yang

diberikan kepada peserta didik. Pada usia anak-anak, aktivitas fisik harus

benar-benar diperhitungkan dengan baik karena jika porsi yang diberikan

berlebihan maka dapat menganggu pertumbuhan dan perkembangan anak

itu sendiri. Program latihan atau pembelajaran yang diberikan harus

disesuaikan dengan usia dan kemampuan masing-masing anak.

Rekomendasi yang diberikan oleh Federasi Sports Medicine Australia

dalam Giriwijoyo dan Sidik (2012 : 76) untuk olahraga (lari) aerobik

bagi anak-anak sebagai berikut:

Tabel 2.1. Rekomendasi Aktivitas Fisik Aerobik (lari)

Usia di Bawah Jarak Lari Tidak Boleh Lebih Dari

12 tahun

15 tahun

15-16 tahun

16-18 tahun

18 tahun

5 km

10 km

20 km

30 km

Marathon

Sumber: Federasi Sport Medicine Australia dalam

Giriwijoyo dan Sidik, (2012: 76)

32

c) Pendidikan Kesehatan.

Kesehatan merupakan kebutuhan dasar bagi setiap aktivitas

kehidupan dimana kesehatan harus selalu dijaga dan ditingkatkan. Cara

termurah untuk menjaga kesehatan adalah dengan berolahraga. Menurut

Lutan (1995:50-51) bahwa upaya pembinaan kesehatan pada dasarnya

hanya terdiri atas dua bidang garapan yaitu: (1) pembinaan kesehatan

pada faktor manusia dan (2) pembinaan kesehatan pada faktor

lingkungan.

Slogan yang berbunyi “kesehatan merupakan harta yang paling

berharga” adalah benar adanya. Banyak orang yang tidak perduli akan

kesehatan bahkan tidak mementingkan kesehatan untuk dirinya sendiri.

Ketidaktahuan akan cara yang benar untuk menjaga kesehatan menjadi

salah satu faktor penyebabnya. Kehidupan sekolah yang terlalu

membebankan kepada tugas-tugas berkombinasi pula dengan kehidupan

di rumah dan lingkungan luar sekolah. Jika di sekolah anak kurang

bergerak, di rumah keadaannya juga demikian. Kemajuan teknologi yang

dicapai pada saat ini, malah menjebak anak-anak ke dalam lingkungan

kurang gerak. Anak semakin asyik dengan kesenangannya seperti

menonton TV atau bermain video game. Tidak mengherankan bila ada

kerisauan bahwa kebugaran anak-anak semakin menurun.

Seiring semakin rendahnya kebugaran jasmani, kian meningkat

pula gejala penyakit hipokinetik (kurang gerak) seperti kegemukan,

tekanan darah tinggi, kencing manis, nyeri pinggang bagian bawah,

adalah contoh dari penyakit kurang gerak . Akibatnya penyakit jantung

tidak lagi menjadi monopoli orang dewasa, tetapi juga sudah menyerang

pada anak-anak. Sejalan dengan itu, pengetahuan dan kebiasaan makan

yang tidak sehatpun semakin memperburuk masalah kesehatan anak-

anak. Dengan pola gizi yang tidak seimbang, mereka menghadapkan diri

mereka sendiri pada resiko penyakit degenaratif (menurunnya fungsi

organ) yang semakin besar. Sangat penting untuk menjaga kesehatan

baik jasmani maupun rohani oleh karena itu pendidikan kesehatan

33

menjadi sangat krusial khususnya untuk pelajar di sekolah. Hal tersebut

sejalan dengan pendapat Giriwijoyo dan Sidik (2012 : 28) bahwa,

“Olahraga kesehatan meningkatkan derajat sehat dinamis (sehat

dalam gerak), pasti juga sehat statis (sehat dikala diam), tetapi tidak

pasti sebaliknya. Gemar berolahraga: mencegah penyakit, hidup sehat

dan nikmat. Malas berolahraga: mengundang penyakit. Tidak

berolahraga: menelantarkan diri”.

Pendidikan kesehatan pada dasarnya merupakan kajian yang

bersifat multidisiplin. Isinya diambil dari banyak bidang ilmu antara lain

kedokteran, kesehatan masyarakat, kejasmanian, psikologi, biologi dan

sosiologi. Lingkup kajiannyapun luas yang mencakup antara lain hakekat

sehat dan penyakit, kegizian, pencegahan cedera, pertolongan pertama

pada kecelakaan, pencegahan penggunaan narkotika dan obat-obat

terlarang, hakekat perilaku dan kebiasaan hidup sehat dan pemeliharaan

kesehatan. Aspek layanan yang termasuk didalamnya meliputi

penanganan kehidupan sekolah yang sehat, layanan kesehatan dan

pengajaran kesehatan (Sugiyanto, 2012)

2) Olahraga Prestasi

Olahraga prestasi merupakan sebuah olahraga yang membina dan

mengembangkan olahragawan secara terencana, berjenjang, dan

berkelanjutan melalui kompetisi untuk mencapai prestasi dengan dukungan

ilmu pengetahuan dan teknologi keolahragaan. Selain itu juga dalam

pengembangan olahraga perlu dilakukan sebuah pendekatan keilmuan yang

menyeluruh dengan jalan pemanfaatan ilmu pengetahuan dan teknologi.

Pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi keolahragaan adalah

peningkatan kualitas dan kuantitas pengetahuan dan teknologi yang bertujuan

memanfaatkan kaedah dan teori ilmu pengetahuan yang telah terbukti

kebenarannya untuk peningkatan fungsi, manfaat, dan aplikasi ilmu

pengetahuan dan teknologi yang telah ada atau menghasilkan teknologi baru

bagi kegiatan keolahragaan.

Hal tersebut sejalan dengan pendapat Kristiyanto (2012:12), yang

menyatakan bahwa “Dalam lingkup olahraga prestasi, tujuannya adalah

34

untuk menciptakan prestasi yang setinggi-tingginya. Artinya bahwa berbagai

pihak seharusnya berupaya untuk mensinergikan hal-hal dominan dalam

menentukan prestasi gemilang”.

Sudut pandang teknologi berkaitan dengan penerapan prinsip-prinsip

teknik, termasuk mekanika gerak yang terbungkus dalam kajian biomekanika,

dalam bentuk analisis efisien gerak, momentum, akselerasi, dan sebagainya.

Teknologi juga berarti pemutakhiran peralatan-peralatan olahraga yang sesuai

dengan kaidah mekanika gerak tubuh manusia. Telaahan sosiologis perlu

dilakukan dalam upaya membantu mensosialisasikan olahraga kepada

berbagai tingkatan usia dan golongan. Teori struktural fungsionalisme,

konflik, dan kritik perlu dimanfaatkan untuk memantapkan posisi olahraga di

masyarakat sehingga masyarakat dapat mengakses dengan mudah segala

kebutuhan untuk berolahraga. Gerakan sosialisasi olahraga perlu dilakukan

agar masyarakat dapat memahami makna dan tujuan olahraga sebenarnya.

Untuk mendapatkankan atlet berprestasi, disamping proses latihan

yang harus dijalankan dengan baik, perlu juga dibarengi dengan menciptakan

kompetisi-kompetisi agar proses latihan yang diterapkan dapat diuji dan

dievaluasi melalui kompetisi-kompetisi yang ada. Oleh karena itu semakin

besar volume dan frekuensi kejuaraan/kompetisi, maka semakin besar

peluang untuk menghasilkan atlet berprestasi.

Para pemerhati olahraga Indonesia harus segera menyatukan suara

dalam membangun olahraga di Indonesia. Salah satunya adalah menetapkan

National Sport Policy yang akan menjadi acuan bersama, tanpa melihat siapa

yang menjadi penguasaannya, serta menciptakan situasi konduksif untuk

efisiensi dan efektivitas penerapan kebijakan olahraga itu sendiri.

Membangun strategi pembinaan olahraga secara nasional memerlukan

waktu dan penataan sistem secara terpadu. Pemerintah dalam hal ini adalah

Kemenpora tidak dapat bekerja sendiri tanpa sinergi dengan kelembagaan

lain yang terkait dengan pembinaan sistem keolahragaan secara nasional.

Penataan olahraga prestasi harus dimulai dari permasalahan olahraga di

masyarakat yang diharapkan akan memunculkan bibit-bibit atlet berpotensi

35

dan ini akan didapat pada atlet yang dimulai dari usia sekolah.

Inteligensi juga harus diteliti pada saat merekrut calon atlet yang

masih anak-anak. Apakah anak itu cukup cerdas dalam mengambil keputusan

singkat pada saat bertanding dalam suasana menekan dan apakah aspek

psikologinya juga tangguh untuk mendukungnya mempunyai mental juara

sejati, bukan mental pecundang yang sombong dan angkuh dan hanya

berorientasi uang. Setelah aspek-aspek itu terpenuhi, pembinaan dilakukan

menggunakan teknologi olahraga untuk pembentukan fisik, psikologi dan

rohani. Harus ada keseimbangan juga antara latihan spartan dan istirahat.

Oleh karena itu penataan harus dilakukan secara terpadu dan berjenjang

sehingga hasil yang dicapai merupakan produk yang sangat optimal.

Untuk dapat menggerakkan pembinaan olahraga harus

diselenggarakan dengan berbagai cara yang dapat mengikutsertakan atau

memberi kesempatan seluas-luasnya kepada masyarakat umum untuk turut

berpartisipasi dalam kegiatan olahraga secara aktif, berkesinambungan, dan

penuh kesadaran akan tujuan olahraga yang sebenarnya. Pembinaan olahraga

yang seperti ini hanya dapat terselenggara apabila ada suatu system

pengelolaan keolahragaan nasional yang terencana, terpadu, dan

berkesinambungan dalam semangat kebersamaaan dari seluruh lapisan

masyarakat. Pembinaan atlet usia pelajar sering kali tidak terjadi

kesinambungan dengan pembinaan cabang olahraga prioritas. Hal ini bisa

dilihat dari berbagai cabang olahraga yang merupakan andalan untuk meraih

medali emas tidak dibina secara berjenjang. Untuk itu perlu dilakukan

penyusunan program pembibitan atlet dari usia dini dengan cabang olahraga

yang menjadi prioritas. Sebagai langkah berikutnya perlu melakukan kerja

sama antara Menteri Pemuda dan Olahraga dengan Komite Olahraga

Nasional Indonesia Pusat serta Induk Organisasi Cabang Olahraga untuk

membicarakan cabang-cabang olahraga yang menjadi prioritas utama baik di

daerah, nasional, maupun Internasional.

3) Olahraga Rekreasi

Olahraga rekreasi adalah olahraga yang dilakukan oleh masyarakat

36

dengan kegemaran dan kemampuan yang tumbuh dan berkembang sesuai

dengan kondisi dan nilai budaya masyarakat setempat untuk kesehatan,

kebugaran, dan kegembiraan. Pada pasal 19 Bab VI UU nomor 3 tahun 2005

dinyatakan bahwa “olahraga rekreasi bertujuan untuk memperoleh kesehatan,

kebugaran jasmani dan kegembiraan, membangun hubungan sosial dan atau

melestarikan dan meningkatkan kekayaan budaya daerah dan nasional”.

Selanjutnya dinyatakan bahwa Pemerintah, pemerintah daerah dan

masyarakat berkewajiban menggali, mengembangkan dan memajukan

olahraga rekreasi.

Kristiyanto (2012 : 6) menyatakan bahwa “olahraga rekreasi terkait

erat dengan aktivitas waktu luang dimana orang bebas dari pekerjaan rutin.

Waktu luang merupakan waktu yang tidak diwajibkan dan terbebas dari

berbagai keperluan psikis dan sosial yang telah menjadi komitmennya”.

Sedangkan Menurut Aip Syaifuddin (1990) olahraga rekreasi adalah jenis

kegiatan olahraga yang dilakukan pada waktu senggang atau waktu-waktu

luang. Sementara Haryono (1974:10), menjelaskan bahwa “Olahraga rekreasi

adalah kegiatan “fisik” (khususnya olahraga) yang dilakukan pada waktu

senggang berdasarkan keinginan atau kehendak pribadi yang timbul (motivation)

karena memberikan kepuasan dan kesenangan”.

Kegiatan yang umum dilakukan untuk rekreasi adalah pariwisata,

olahraga, permainan, dan hobi dan kegiatan rekreasi umumnya dilakukan

pada akhir pekan. Secara psikologi banyak orang di lapangan yang merasa

jenuh dengan adanya beberapa kesibukan dan masalah, sehingga mereka

membutuhkan istirahat dari bekerja, tidur dengan nyaman, bersantai sehabis

latihan, keseimbangan antara pengeluaran dan pendapatan, mempunyai teman

bekerja yang baik, kebutuhan untuk hidup bebas, dan merasa aman dari

resiko buruk. Melihat beberapa pernyataan di atas, maka rekreasi dapat

disimpulkan sebagai suatu kegiatan yang dilakukan sebagai pengisi waktu

luang untuk satu atau beberapa tujuan, diantaranya untuk kesenangan,

kepuasan, penyegaran sikap dan mental yang dapat memulihkan kekuatan

baik fisik maupun mental.

37

Beragam jenis olahraga rekreasi, yang merupakan kekayaan asli dan

jati diri bangsa Indonesia perlu dilestarikan, dipelihara dan diperkenalkan

kepada generasi muda penerus, serta didokumentasikan dengan serius dan

cermat, sehingga asset budaya dan jati diri bangsa Indonesia tidak hilang atau

diakui oleh bangsa lain. Disamping itu, gerakan “Sport for All” yang

menjadikan olahraga sebagai bagian dari upaya mendukung pembangunan

kualitas sumber daya manusia, pendidikan, kesehatan dan kebugaran

masyarakat, serta aspek lain yang dibutuhkan oleh pembentukan karakter dan

jati diri suatu bangsa, menjadikannya sebagai kekuatan yang ampuh dalam

upaya mempersatukan bangsa Indonesia dalam kerangka Negara Kesatuan

Republik Indonesia.

Guna mendukung upaya dan semangat kebangkitan bangsa Indonesia

yang dimulai sejak peringatan 100 tahun Kebangkitan Nasional tahun 2008,

maka Kebangkitan Olahraga Nasional melalui upaya pemberdayaan dan

pengembangan olahraga rekreasi dan gerakan “Sport for All” di Indonesia,

menjadi salah satu solusi dan cara yang tepat untuk mendorong percepatan

Kebangkitan Bangsa Indonesia sebagai bangsa yang sehat, bugar, produktif,

kuat, mandiri, demokratis, berjati diri dan berdaya saing di era globalisasi.

Atas dasar pemikiran tersebut, Visi “Indonesia Bugar 2020” harus

dapat dijabarkan melalui penyelenggaraan event berskala nasional yaitu

Kongres Nasional Pengembangan Olahraga Rekreasi dan “Sport for All” di

Indonesia dan sekaligus didukung oleh seluruh jajaran dan jejaring Olahraga

Rekreasi di Indonesia yang berhimpun dalam Federasi Olahraga Rekreasi

Masyarakat Indonesia (FORMI), yang akan mengindentifikasi dan

menginventarisasi segenap potensi yang terkait, serta menentukan peran, arah

dan sasaran pengembangan olahraga rekreasi dan “Sport for All” di

Indonesia dalam sepuluh tahun kedepan.

3. Kebijakan Pemerintah Bidang Olahraga

Kebijakan pemerintah dalam bidang keolahragaan diposisikan pada

upaya-upaya memotivasi dan memfasilitasi agar masyarakat dari berbagai

38

lapisan usia gemar berolahraga dan menjadikan olahraga sebagai salah satu gaya

hidup sehat yang harus digalakkan. Dalam rangka meningkatkan budaya

olahraga sebagai bagian dari proses dan pencapaian tujuan pembangunan

nasional, keberadaan dan peran olahraga dalam kehidupan bermasyarakat,

berbangsa, dan bernegara harus mendapatkan kedudukan yang sejajar dengan

sektor pembangunan lainnya terutama untuk meningkatkan kesehatan,

kebugaran, pergaulan sosial, dan kesejahteraan individu, kelompok, atau

masyarakat pada umumnya secara terencana dan sistemik.

Kebijakan yang dibuat oleh Pemerintah Daerah haruslah memenuhi

kriteria-kriteria karakteristik sebagaimana yang di sebutkan oleh Mazmanian dan

Sabatier dalam Subarsono, (2015:97-98) bahwa kebijakan harus memiliki

karakteristik sebagai berikut:

1) Kejelasan isi kebijakan

Ini berarti semakin jelas dan rinci isi sebuah kebijakan akan mudah

diimplementasikan, karena implementor mudah memahami dan

menterjemahkandalam tindakan nyata. Sebaliknya ketidakjelasan isi

kebijakan merupakan potensi lahirnya distorsi dalam implementasi

kebijakan.

2) Seberapa jauh kebijakan tersebut memiliki dukungan teoritis.

Kebijakan yang memiliki dasar teoritis memiliki sifat lebih mantap karena

sudah teruji, walaupun untuk beberapa lingkungan social tertentu perlu

ada modifikasi.

3) Besarnya alokasi sumber daya finansial dalam kebijakan tersebut.

Sumber daya keuangan adalah faktor krusial untuk setiap program sosial.

Setiap program juga memerlukan dukungan staf untuk melakukan

pekerjaan-pekerjaan administrasi dan teknis, serta memonitoring

program, yang semuanya itu perlu biaya.

4) Seberapa besar adanya keterpautan dan dukungan antar berbagai institusi

pelaksana. Kegagalan program sering disebpkan kurangnya koordinasi

vertikal dan horizontal antar instansi yang terlibat dalam implementasi

program.

5) Kejelasan dan konsistensi aturan yang ada pada badan pelaksana.

6) Tingkat komitmen aparat terhadap tujuan kebijakan.

Kasus korupsi yang terjadi di Negara-Negara Dunia Ketiga, khususnya di

Indonesia salah satu sebabnya adalah rendahnya tingkat komitmen aparat

untuk melaksanakan tugas dan pekerjaan atau program-program.

7) Seberapa luas akses kelompok-kelompok luar untuk berpartisipasi dalam

implementasi kebijakan.

Suatu program yang memberikan peluang luas bagi masyarakat untuk

terlibat akan relatife mendapat dukungan daripada program yang tidak

39

melibatkan masyarakat. Masyarakat akan merasa asing apabila hanya

menjadi penonton terhadap program yang ada di wilayahnya.

Bukan hanya itu saja tetapi sebuaah kebijakan yang nantinya akan di

implementasikan sebaiknya memperhatikan lingkungan dimana nantinya

kebijakan tersebut akan diterapkan. Menurut Mazmanian dan Sabatier dalam

Subarsono, (2015:98) menyebutkan ada 5 (Lima) lingkungan kebijakan yaitu:

1) Kondisi sosial ekonomi masyarakat dan tingkat kemajuan teknologi.

Masyarakat yang sudah terbuka atau terdidik akan relatip mudah

menerima program-program pembaruan dibandingkan dengan masyarakat

yang masih tertutup dan tradisional. Demikian juga kemajuan teknologi

akan membantu dalam proses keberhasilan implementasi program, karena

program-program tersebut dapat disosialisasikan dan diimplementasikan

dengan teknologi modern.

2) Dukungan public terhadap sebuah kebijakan. Kebijakan yang

memberikan insentif biasanya mudah mendapatkan dukungan publik.

Sebaliknya kebijakan yang bersifat dis-insentif seperti kenaikan harga

BBM atau kenaikan pajak akan kurang mendapatkan dukungan

masyarakat.

3) Sikap dari kelompok pemilih (constituenciy groups). Kelompok pemilih

yang ada dalam masyarakat dapat mempengaruhi implementasi kebijakan

melalui melalui berbagai cara antara lain: (1) kelompok pemilih dapat

intervensi terhadap keputusan yang di buat badan-badan pelaksanaan

melalui berbagai komentar dengan maksud untuk mengubah keputusan;

(2) kelompok pemilih dapat memiliki kemampuan untuk mempengaruhi

badan-badan pelaksana secara tidak langsung melalui kritik yang di

publikasikan terhadap kinerja badan-badan pelaksan, dan membuat

pernyataanyang ditujukan kepada badan legislatif.

4) Tingkat komitmen dan keterampilan dari aparat dan implementor. Pada

akhirnya, komitmen aparat pelaksana untuk merealisasikan tujuan yang

telah tertuang dalam kebijakan adalah variabel yang paling krusial.

Aparat badan pelaksana harus memiliki keterampilan dalam membuat

40

prioritas tujuan dan selanjutnya merealisasikan prioritas tujuan tersebut.

Dalam pembangunan olahraga, hasil utama yang telah dicapai adalah

terumuskannya konsep kebijakan yang mendukung perkembangan olahraga

nasional dan pedoman mekanisme pembinaan olahraga dan kesegaran jasmani;

serta tersusunnya Rancangan Undang-Undang Olahraga untuk mendukung

perkembangan olahraga nasional, dan tersusunnya Sport Development Index

(SDI).

Permasalahan dan tantangan program pembangunan pemuda dan

olahraga adalah lemahnya sumber daya manusia di bidang pemanduan bakat,

lemahnya manajemen olahraga, kurang intensifnya upaya-upaya pembibitan,

menurunnya pembinaan dan kurangnya penerapan dan pemanfaatan iptek secara

tepat dan benar dalam olahraga, minimnya sarana dan prasarana umum untuk

berolahraga sehingga masyarakat enggan berolahraga, kurangnya kompetisi

olahraga baik dalam skala regional maupun nasional, masih rendahnya tingkat

pendidikan dikalangan pemuda dan minimnya ruang-ruang publik bagi kalangan

pemuda untuk mengekspresikan dirinya.

Tindak lanjut yang diperlukan dalam pembangunan pemuda dan olahraga

adalah melaksanakan peningkatan kapasitas (capacity building) dibidang

pembangunan olahraga, mengembangkan olahraga rekreasi, olahraga lanjut usia,

olahraga penyandang cacat, dan olahraga tradisional, melakukan pembinaan

olahraga usia dini, kelas olahraga, klub olahraga pelajar dan mahasiswa, dan

kelompok berlatih olahraga, melakukan bimbingan dan kompetisi olahraga

pelajar secara berjenjang dan teratur dalam rangka menanamkan disiplin, nilai-

nilai portivitas, dan menggali bakat olahraga, meningkatkan kepedulian

masyarakat dan dunia usaha mengenai pentingnya dukungan pendanaan

olahraga terutama olahraga prestasi, meningkatkan keterampilan kerja pemuda,

mengembangkan kewirausahaan pemuda, meningkatkan partisipasi lembaga

kepemudaan dalam pembangunan ekonomi, memperluas kesempatan pemuda

terdidik untuk berpartisipasi dalam pembangunan di pedesaan, mengembangkan

jaringan kerjasama pemuda antar daerah, antar provinsi dan antar bangsa,

41

meningkatkan peran aktif pemuda dalam penanggulangan masalah

penyalahgunaan narkoba, minuman keras (miras), penyebaran penyakit

HIV/AIDS serta penyakit menular seksual, dan kriminalitas di kalangan pemuda.

Dengan terbitnya Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 3 Tahun

2005 tentang Sistem Keolahragaan Nasional, merupakan dasar bagi setiap

Pemerintah Daerah untuk selalu menaati dan melaksanakan isinya sehingga apa

yang dicita-citakan oleh Pemerintah, khususnya dalam bidang olahraga dapat

dicapai secara maksimal. Sehingga dapat menjadikan bangsa Indonesia memiliki

kebugaran jasmani yang baik serta memiliki etos kerja tinggi. Hal inilah yang

akan mampu menyokong bangsa Indonesia agar tidak kalah saing dengan bangsa

lain dalam menghadapi era globalisasi seperti yang berjalan pada saat sekarang

ini.

Selain dibuatnya Undang-Undang Republik Indonesia No 3 Tahun 2005

Tentang Sistem Keolahragaan Nasional, Pemerintah juga mebuat beberapa

kebijakan yang tertuang baik itu dalam bentuk Undang-undang, peraturan

Pemerintah, peraturan Presiden, maupun dalam bentuk Anggaran Dasar dan

Anggaraan Rumah Tangga (ADART) KONI, sehingga tidak ada alasan bagi

pemerintah daerah untuk tidak memperhatikan kemajuan olahraga di daerahnya

masing-masing. Adapun landasan hukum yang menjadi dasar bagi pemerintah

ataupun pelaku olahraga lain dalam membina olahraga adalah:

a. Undang –Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang

Sistem Pendidikan Nasional;

b. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2004 tentang

Pemerintah Daerah;

c. Peraturan Pemerintah Nomor 16 Tahun 2007 tentang Penyelenggaraan

Keolahragaan;

d. Peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun 2007 tentang Penyelenggaraan

Pekan dan Kejuaraan Olahraga;

e. Peraturan Pemerintah Nomor 18 Tahun 2007 tentang Pendanaan

Keolahragaan;

f. Anggaran Dasar dasn Anggaran Rumah Tangga KONI Tahun 2013.

42

Dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 2005

tentang Sistem Keolahragaan Nasional pada Bab V dengan sangat jelas sekali

bahwa pemerintah maupun pemerintah daerah diberikan tugas, wewenang dan

tanggung jawab sebagaimana yang disebutkan dalam pasal 12 ayat 2 bahwa “

Pemerintah daerah mempunyai tugas untuk melaksanakan kebijakan dan

mengoordinasikan pembinaan dan pengembangan keolahragaan serta

melaksanakan standardisasi bidang keolahragaan di daerah. Kemudian dalam

pasal 13 ayat 2 juga mennyebutkan bahwa ”Pemerintah daerah mempunyai

kewenangan untuk mengatur, membina, mengembangkan, melaksanakan, dan

mengawasi penyelenggaraan keolahragaan di daerah”. Selanjutnya diperjelas

lagi di pasal 14 ayat 3 yang menyebutkan bahwa ”Dalam melaksanakan tugas

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (2), pemerintah daerah membentuk

sebuah dinas yang menangani bidang keolahragaan sesuai dengan peraturan

perundang-undangan”.

Sementara itu mengenai tanggung jawab pemerintah daerah diatur dalam

Peraturan Pemerintah Nomor 16 tahu 2007 yang disebutkan dalam pasal 12 ayat

1, 2 dan 3 dengan rincian sebagai berikut:

(1) Pemerintah kabupaten/kota mempunyai kewenangan untuk mengatur,

membina, mengembangkan, melaksanakan, dan mengawasi

penyelenggaraan keolahragaan di kabupaten/kota.

(2) Kewenangan pemerintah kabupaten/kota sebagaimana dimaksud pada

ayat (1) meliputi:

a. penyelenggaraan olahraga pendidikan, olahraga rekreasi, dan olahraga

prestasi;

b. pembinaan dan pengembangan olahraga;

c. pengelolaan keolahragaan;

d. penyelenggaraan kejuaraan olahraga;

e. pembinaan dan pengembangan pelaku olahraga;

f. peningkatan kualitas dan kuantitas prasarana dan sarana olahraga;

g. pendanaan keolahragaan;

h. pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi keolahragaan;

43

i. peran serta masyarakat dalam kegiatan keolahragaan;

j. pengembangan kerja sama dan informasi keolahragaan;

k. pembinaan dan pengembangan industri olahraga;

l. penerapan standardisasi, akreditasi, dan sertifikasi keolahragaan;

m. pencegahan dan pengawasan terhadap doping;

n. pemberian penghargaan;

o. pelaksanaan pengawasan; dan

p. evaluasi terhadap pencapaian standar nasional keolahragaan.

(3) Dalam melaksanakan kewenangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)

dan ayat (2), pemerintah kabupaten/kota dapat mengikutsertakan komite

olahraga kabupaten/kota, organisasi cabang olahraga tingkat

kabupaten/kota, organisasi olahraga fungsional tingkat kabupaten/kota,

masyarakat, dan/atau pelaku usaha.

4. Sarana dan Prasarana Olahraga

Olahraga telah dijadikan sebagai gerakan nasional dan merupakan

implementasi dari pembangunan olahraga di Indonesia. Sejalan dengan itu, maka

dicetuslah slogan “Tiada hari tanpa olahraga” dengan harapan olahraga dapat tumbuh

dan mengakar dalam kehidupan sehari-hari masyarakat disegala lapisan, mulai dari

perkotaan sampai ke pedesaan. Ketika olahraga telah menjadi sebuah kebutuhan

setiap orang dalam hidupnya maka timbulah sebuah permasalahan yaitu kebutuhan

akan sarana dan prasarana yang bisa menunjang aktivitas olahraga. Demi

kenyamanan dan kelancaran dalam melakukan aktivitas olahraga tersebut maka

diperlukan pula sarana dan prasarana yang baik dan memenuhi standar keolahragaan.

Dalam hal ini Pemerintah sebagai pembuat kebijakan mempunyai kewajiban dan

tanggungjawab untuk memenuhi kebutuhan tersebut sebagaimana yang diamanatkan

Undang-Undang Sistem Keolahragaan Nasional Nomor 3 Tahun 2005. Wirjasantosa

(1984 : 157) mengungkapkan bahwa, “Prasarana olahraga adalah suatu bentuk yang

permanen, baik untuk ruangan di dalam maupun di luar. Misalnya: gymnasium

(ruang senam), kolam renang, lapangan-lapangan permainan, dan sebagainya”.

Sarana dan Prasarana olahraga didalamnya terdiri dari sarana dan prasarana

44

penunjang aktivitas olahraga. Sarana sendiri merupakan salah satu unsur penting

yang harus tersedia dalam olahraga. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (2001:

999) dijelaskan bahwa Sarana adalah segala sesuatu yang dipakai sebagai alat dalam

mencapai maksud dan tujuan”. Dalam olahraga sendiri terdapat banyak alat yang

digunakan baik untuk bermain, berlatih maupun bertanding dalam event olahraga.

Sedangkan Soepartono (1999/2000 : 6) menyatakan bahwa : “Istilah sarana olahraga

adalah terjemahan dari facilitie yaitu sesuatu yang dapat digunakan atau

dimanfaatkan dalam proses pembelajaran pendidikan jasmani”. Sarana olahraga

dapat dibedakan menjadi dua kelompok:

a. Peralatan (apparatus) Peralatan ialah sesuatu yang digunakan contoh: peti

lompat, palang tunggal, gelang-gelang dan sebagainya.

b. Perlengkapan (device) ialah:

1) Semua yang melengkapi kebutuhan prasarana misalnya: net, bendera

untuk tanda, garis batas

2) Sesuatu yang dapat dimainkan atau dimanipulasi dengan tangan atau

kaki misalnya: bola, raket, pemukul.

Prasarana olahraga pada dasarnya merupakan sesuatu yang bersifat

permanen. Tanpa didukung dengan prasarana yang baik maka sulit untuk melakukan

aktivitas olahraga yang berkualitas dan bahkan sulit memperoleh prestasi olahraga

yang tinggi. Menurut Soepartono (1999/2000 : 5) bahwa “Prasarana olahraga adalah

sesuatu yang merupakan penunjang terlaksananya suatu proses pembelajaran

pendidikan jasmani. Sedangkan Kamus Besar Bahasa Indonesia (2001 : 893)

menjelaskan bahwa “Prasarana adalah segala sesuatu yang merupakan penunjang

utama terselenggaranya suatu proses usaha, pembangunan proyek dan lain

sebagainya”. Berdasarkan penjelasan diatas maka penulis menyimpulkan bahwa

prasarana olahraga adalah gedung olahraga, ruang serbaguna, lapangan dan kolam

renang yang digunakan sebagai tempat pelaksanaan kegiatan olahraga. Sarana

olahraga adalah alat yang digunakan untuk mempraktekkan setiap cabang olahraga

guna mencapai ketrampilan tertentu atau prestasi. Kemudian sarana dan prasarana

olahraga adalah suatu alat dan bangunan yang dirancang sesuai dengan persyaratan

tertentu yang digunakan sebagai alat bantu dan tempat melaksanakan kegiatan

45

olahraga.

Dengan budaya berolahraga yang tinggi di lingkungan masyarakat, maka

sarana dan prasarana olahraga merupakan salah satu faktor yang sangat

mempengaruhi tingkat partisipasi masyarakat untuk melakukan aktivitas olahraga.

Beranjak dari banyaknya sarana dan prsarana olahraga yang tersedia disuatu wilayah,

maka masyarakat semakin mudah untuk menggunakan dan memanfaatkan dalam

melakukan berbagai kegiatan olahraga sesuai dengan hobi, kebutuhan dan keinginan

mereka masing-masing dengan sarana dan prasarana olahraga yang tersedia tersebut.

Namun jika sarana dan prasarana olahraga yang tersedia di daerah-daerah terbatas

maka semakin terbatas pula kesempatan bagi masyarakat untuk melakukan atau

menggunakan sarana dan prasarana olahraga, yang berdampak pada menurunnya

minat dan partisipasi mereka untuk melakukan kegiatan olahraga.

Peningkatan minat masyarakat terhadap olahraga sering tidak diimbangi

dengan peningkatan kualitas maupun kuantitas sarana dan prasarana olahraga bahkan

terjadinya kecenderungan menurunnya kualitas sarana dan prasarana olahraga

karena kurangnya perawatan. Bahkan saat ini banyak klub-klub atau kelompok-

kelompok olahraga yang tidak tertampung kegiatannya, sehingga mereka berlatih

dengan sarana dan prasarana seadanya atau berlatih di tempat-tempat yang kurang

representatif.

Sarana dan prasarana olahraga di Indonesia secara umum masih sangat

kurang baik dari sisi jumlah maupun mutu mengingat Indonesia termasuk salah satu

dari 4 (empat) Negara yang terpadat di dunia, sehingga tidak memungkinkan untuk

dapat dikembangkan standar pelatihan bermutu tinggi. Indonesia telah merintis

pendirian sentra olahraga seperti pendirian Pusat Pendidikan dan Latihan Pelajar

(PPLP), Pusat Pendidikan dan Latihan Mahasiswa (PPLM), yang tersebar di seluruh

Indonesia. Pusat pelatihan daerah yang idealnya ada disetiap provinsi, memerlukan

pembenahan. Tujuannya adalah untuk menyediakan, dan membangun sarana dan

prasarana olahraga untuk mendukung kegiatan pembinaan dan pengembangan

olahraga, serta pencapaian prestasi olahraga yang lebih baik kedepannya.

Pembangunan maupun pengembangan sarana dan prasarana olahraga harus

melalui kajian yang seksama agar kelak sarana dan prasarana tersebut dapat

46

digunakan dalam jangka waktu yang lama. Berhubungan dengan fungsi bangunan

yaitu bangunan olahraga. Sarana dan prasarana Olahraga memerlukan suatu ruang

yang luas dan mengharuskan menggunakan sistem struktur bentang Iebar agar

kegiatan yang berlangsung, baik kegiatan fisik maupun kegiatan visual tidak

terganggu. Selain berfungsi untuk meningkatkan minat masyarakat terhadap

olahraga, Gedung Olahraga tertutup juga harus dapat memberikan citra dan daya

tarik visual bagi pengamatnya. Memberikan keindahan (estetika) pada penampilan

bangunannya, dengan menonjolkan strukturnya tanpa ditutup-tutupi. Sistem struktur

dan rangkaian elemen-elemen yang saling terkait satu dengan yang lain harus

mewujudkan kestabilan, kekakuan dan kekuatan banguan serta menyalurkan gaya-

gaya yang bekerja dengan baik ke tanah, sehingga bangunan tersebut dapat berdiri

dengan kokoh. Oleh karena itu ada beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam

pembangunan sebuah sarana dan prasarana olahraga di suatu tempat yaitu: (a)

Tinjauan Terhadap Iklim, (b) Tinjauan Terhadap Lokasi Tapak dan (c) Studi

Banding.

Hal yang paling pokok dan dipahami oleh arsitek adalah iklim setempat.

Karena arsitektur yang baik adalah arsitektur yang dapat memanfaatkan dampak

positif dan mengatasi masalah iklim. Lokasi tapak berada di daerah dengan iklim

tropis, yang pada umumnya memiliki perbedaan musim panas dan musim hujan yang

kecil. Untuk daerah yang beriklim tropis lembab hal yang perlu diperhatikan adalah

curah hujan, penghindaran terhadap radiasi matahari dan pemanfaatan angin untuk

ventilasi. Bagaimana menyesuaikan iklim terhadap bangunan, yaitu dengan cara

Lay out bangunan harus memperhatikan lintasan matahari, perlindungan panas

matahari dengan sistem bayangan, contoh diberikan kisi-kisi (sunscreen). Keadaan

alam disekitar tapak tidak menunjukkan adanya potensial alam berupa pohon-pohon,

dan sebagainya.

a. Jenis Sarana dan Prasarana Olahraga

Sarana dan prasarana olahraga secara keseluruhan meliputi sarana dan

prsarana fisik dan nonfisik. Sarana dan prasarana fisik mencakup antara lain

berupa stadion, gelanggang dan lapangan olahraga. Sedangkan sarana dan

47

prsarana olahraga nonfisik mencakup seperti sasana/perkumpulan olahraga,

tenaga pelatih dan guru pendidikan jasmani/olahraga. Ketersediaan kedua jenis

sarana dan prsarana olahraga tersebut dalam jumlah yang cukup memadai

selain akan mampu meningkatkan partisipasi masyarakat untuk berolahraga, pada

gilirannya juga akan mampu menggeser persepsi masyarakat tentang berolahraga

dari hanya sekedar untuk berekreasi dan menjaga kesehatan semata, menjadi

kegiatan untuk memperoleh prestasi.

Sarana dan prsarana olahraga merupakan salah satu aitem dalam sebuah

penjaminan mutu keberhasilan pembangunan olahraga. Keberadaan, jenis, jumlah

dan kualitas dari sarana dan prsarana olahraga ini tergantung dari kebutuhan dan

kondisi masing-masing daerah serta arah kebijakan Pemerintah daerah tersebut.

Tidak semua sarana dan prsarana olahraga mampu disediakan oleh suatu daerah,

oleh karena itu perlu kecermatan dan kejelian Pemerintah dalam menentukan

kebijakan penyediaan sarana dan prsarana olahraga disuatu daerah agar kebijakan

yang ditetapkan dapat benar-benar tepat sasaran sehingga dapat digunakan oleh

seluruh kalangan masyarakat yang membutuhkan. Menurut Harsuki (2012 : 183)

Sarana dan prsarana olahraga dapat dibagi kedalam beberapa macam atau tipe,

yaitu :

1) Sarana dan prsarana tunggal, artinya sarana dan prsarana itu umumnya

hanya digunakan untuk satu cabang olahraga saja, misalnya stadion

baseball, bowling valley, kolam renang, lapangan golf, sirkuit motor

dan rnobil, trek lapangan balap kuda, dan lain-lain.

2) Sarana dan prsarana serba guna. Dapat dalam kategori indoors

maupun outdoors. Yang termasuk indoors, misalnya istana olahraga

(Istora) di Kompleks Gelora Bung Karno, Senayan, Jakarta, dapat

dikategorikan serba guna, karena dapat untuk bermain dan bertanding,

bola basket, bola voli, bulu tangkis, sepak takraw, olahraga bela diri,

dan lain-lain. Untuk lapangan terbuka, misalkan dapat digunakan

untuk motor cross, show untuk kendaraan, rekreasi, konser, dan lain-

lain. Termasuk dalam serba guna ini juga antara lain Gedung Fitness

Centre, yang dapat digunakan untuk senam, tenis, renang, joging, dan

lain-lain.

3) Sarana dan prsarana pada rumah klab (club house), seperti yang

banyak kita dapati di negara-negara Eropa, diperlengkapi dengan

fasilitas terbuka maupun tertutup, dan diperlengkapi dengan kotak

penyimpanan barang (locker), toilet, shower, restoran, dan toko alat

peralatan olahraga.

48

4) Sarana dan prsarana olahraga yang besar, tidak hanya menyediakan

ruangan untuk berpraktik olahraga saja, tetapi juga menyediakan

ruangan untuk para penonton. Misalnya Stadion Utama Gelora Bung

Karno mempunyai kapasitas tempat duduk untuk 100.000 orang,

sedangkan Istana Olahraga memiliki tempat duduk 10.000 orang,

Sedangkan Hall Basket di Senayan berkapasitas tempat duduk 3.000

orang.

Khusus untuk gedung olahraga, IAKS (Internationaler Arbeitskreis

Sport-und Freizeiteinrichtungen, Koln, dalam Harsuki, (2012 : 184),

memperkenalkan tiga tipe gedung olahraga sebagai berikut:

1) Gedung olahraga untuk Penggunaan Multifungsi (Sport Hall forMulti-

Fungsional Use), yaitu suatu gedung olahraga yang melayani berbagai

macam penggunaan.

2) Gedung olahraga untuk penggunaan berbagai penggunaan olahraga

(Sport Hall for Games Use, atau Games Half), yaitu suatu gedung

olahraga yang dipergunakan terutama untuk olahraga seperti senam,

latihan fisik yang menggunakan perlengkapan kecil (seperti bangku

Swedia, kotak lompatan, parallel bar, uneven bar, ring, dan sebagainya),

dan permainan guna pengisian waktu luang.

3) Gedung olahraga yang serbaguna (Sport Hall with Multi-Purpose Use,

atau Multi Purpose Hall), yang adalah suatu gedung multifungsi atau

gedung permainan (games hall), khususnya untuk masyarakat kecil,

dengan fasilitas tambahan yang memadai dapat digunakan dari waktu

kewaktu untuk sosial dan artistik even serta even kebudayaan lainnya.

Sarana penunjang gedung olahraga harus memenuhi ketentuan

sebagai berikut.:

1) Ruang Ganti Atlet

Penempatannya harus dapat langsung menuju lapangan melalui koridor

yang berada dibawah tempat duduk. Kelengkapan ruang ganti atlet antara

lain berupa toilet, ruang bilas dan ruang ganti pakaian.

2) Ruang Ganti Pelatih & Wasit:

Lokasinya harus dapat langsung menuju lapangan melalui koridor yang

ada dibawah tempat duduk penonton. Kelengkapan ruang sama dengan

kelengkapan ruang ganti atlet.

3) Lokasi ruang P3K:

Harus berada dekat dengan ruang ganti atau ruang bilas dan

direncanakan untuk tipe A, B dan C minimal 1 unit dapat melayani

20.000 penonton dengan luasan minimal 15 m2

4) Ruang pemanasan:

Direncanakan untuk tipe A minimal 150 m2, tipe B minimal 81 m

2 dan

maksimal 196 m2 sedangkan tipe C minimal 81 m

2 .

5) Toilet penonton:

Direncanakan untuk tipe A, B dan C dengan perbandingan penonton

49

wanita dan pria adalah 1:4.

6) Ruang mesin:

Dengan luas ruangan sesuai dengan kapasitas mesin yang dibutuhkan dan

lokasi mesin tidak menimbulkan suara bising yang mengganggu ruang

arena dan penonton.

7) Ruang kantin:

Direncanakan hanya untuk tipe A

8) Ruang pers:

Harus disediakan kabin untuk awak TV dan film. Perlu disediakan ruang

telepon dan ruang telex

9) Tempat parker:

Jarak maksimal dari tempat parkir, pool atau tempat pemberhentian

kendaraan umum menuju pintu masuk gedung olahraga adalah 15 m. 1

ruang parkir mobi dibutuhkan minimal untuk 4 orang pengunjung pada

saat jam sibuk.

10) Toilet penyandang cacat:

Toilet untuk pria dipisahkan dengan toilet wanita. Toilet harus

dilengkapi dengan pegangan untuk perpindahan dari kursi roda ke kakus

duduk yang diletakkan didepan dan disamping kakus duduk setinggi 80

cm.

11) Jalur sirkulasi untuk penyandang cacat:

Tanjakan harus mempunyai kemiringan 8% dengan panjang maksimal

10m. Permukaan lantai selasar tidak boleh licin, harus terbuat dari

bahan-bahan yang keras dan tidak boleh ada genangan air. Pada ujung

tanjakan harus disediakan bagian datar minimal 180 cm. Selasar harus

cukup lebar untuk melakukan perputaran kursi roda 180o.

12) Kompartemensi penonton:

Daerah penonton harus dibagi dalam kompartemen masing-masing

mampu menampung minimal 1000 orang maksimal 3000 orang. Antara

dua kompartemen yang bersebelahan harus dipisahkan dengan pagar

permanent transparan minimal setinggi 1,2 m maksimal 2 m

13) Tata cahaya:

Tingkat penerangan horizontal pada orang 1 m diatas permukaan lantai

untuk ketiga tipe. Untuk atihan dibutuhkan minima 200 lux.Untuk

pertandingan dibutuhin minimal 300 lux. Untuk pengambilan video

dokumen dibutuhkan minimal 300 lux. Sumber cahaya lampu atau

bukaan harus diletakkan dalam satu area pada langit-langit yang

menghubungkan sumber cahaya tersebut dengan titik yang terjauh dari

arena setinggi 1,5 m garis horisontalnya minimal 30o. Apabila

menggunakan tata cahaya buatan, harus disediakan generator set yang

kapasitas dayanya minimum 10% dari daya terpasang generator harus

dapat bekerja maksimal 10 detik pada saat aliran PLN padam.

14) Tata Udara:

Tata udara dapat mempergunakan ventilasi alami atau mekanis dengan

memenuhi ketentuan: apabila menggunakan ventilasi alami harus diatur

mengikuti pergerakan udara siang Luas bukan minimum adalah 6% dariu

50

luas lantai efektif. (Departemen PU, 1994)

b. Ruang Terbuka Olahraga

Ketika berbicara masalah sarana dan prsarana olahraga, maka yang ada

dibenak kita adalah “sarana dan prsarana olahraga yang tersedia minim kualitas

dan kuantitas”. Hal tersebut sangat memprihatinkan mengingat misi yang selalu

diusung oleh Pemerintah yaitu pembangunan olahraga di Indonesia. Namun

kemudian muncul pertanyaan, seberapa jauh keberhasilan pembangunan olahraga

yang telah dilaksanakan. Melihat kenyataan dilapangan, nampaknya sulit untuk

mencapai tujuan tersebut dimana kurangnya perhatian Pemerintah akan hal-hal

yang mendukung terlaksananya program bahkan yang kita rasakan yaitu semakin

merosotnya dunia olahraga di Indonesia jika kita lihat dari sudut pandang

perkembangan prestasi olahraga dan pola management keolahragaan yang ada

saat ini. Menanggulangi hal tersebut, para pelaku olahraga dan ahli olahraga di

Indonesia telah melakukan kajian mengenai pembangunan olahraga versi Sport

Development Index (SDI). Salah satu dimensi inti kajian dalam SDI yaitu ruang

terbuka yang dapat mengukur seberapa jauh keberhasilan pembangunan olahraga

disuatu wilayah.

Untuk melakukan aktivitas fisik maka dibutuhkan sebuah ruang terbuka

yang bisa diakses oleh masyarakat. Menurut Mutohir dan Maksum (2007 : 37)

bahwa :

“Ruang terbuka merujuk pada suatu tempat yang diperuntukkan bagi kegiatan

olahraga oleh sejumlah orang (masyarakat) dalam bentuk bangunan dan/atau

lahan. Bangunan dan/atau lahan tersebut dapat berupa lapangan olahraga

yang standar atau tidak, yang tertutup (in-door) maupun terbuka (out-door)

atau berupa lahan yang memang diperuntukkan untuk kegiatan berolahraga

masyarakat. Angka ruang terbuka diukur berdasarkan rasio luas rung terbuka

dengan jumlah penduduk usia 7 tahun keatas di suatu wilayah”.

Sebagai bahan perbandingan, Unesco juga telah merekomendasikan bahwa

“Ruang gerak statis yang ideal adalah lebih kurang 2m2 per orang. Jika olahraga

membutuhkan ruang gerak yang bukan statis melainkan dinamis, maka dapat

dianalogikan ruang gerak yang diperlukan adalah dua kali ruang gerak statis yaitu

51

lebih kurang 4m2.” Sementara itu, Clerici dalam Kristiyanto, (2012:193)

berpendapat bahwa angka standar ruang terbuka adalah 3,5m2 per orang. Hal ini

didasarkan pada argumentasi bahwa kelompok penduduk yang terdiri dari 3500

orang dapat menggunakan sekurang-kurangnya 12.000m2 ruang terbuka untuk

kegiatan olahraga. Tampaknya pendapat Clerici inilah yang kemudian diadopsi

oleh Komite Olimpiade sebagai standar Internasional.

Seiring perkembangan jaman, keberadaan ruang terbuka saat ini semakin

terkikis sebagai dampak dari pembangunan gedung atau perumahan warga.

Semakin bertambahnya jumlah penduduk maka semakin bertambah pula

kebutuhan wilayah atau tempat untuk dijadikan daerah pemukiman. Disisi lain,

semakin berkurang pula wilayah terbuka atau lapangan-lapangan yang bisa

digunakan untuk aktivitas olahraga. Badan usaha yang bergerak dalam bidang

pembangunan perumahan dan permukiman berkewajiban menyediakan prasarana

olahraga sebagai fasilitas umum dengan standar dan kebutuhan yang ditetapkan

oleh Pemerintah. Setiap orang dilarang meniadakan atau mengalihfungsikan

prasarana olahraga yang telah disediakan tanpa rekomendasi dan persetujuan dari

yang berwenang sesuai dengan peraturan yang berlaku. Oleh karenanya penting

untuk meyediakan ruang terbuka untuk aktivitas olahraga. Menurut Mutohir dan

Maksum (2007 : 38) bahwa :

“Untuk dapat dikatakan sebagai ruang terbuka olahraga harus memenuhi

syarat-syarat sebagai berikut:

1) Didesain untuk olahraga

Syarat ini merujuk pada pengertian bahwa prasarana yang ada memang

sengaja dirancang untuk kegiatan olahraga. Banyak tempat yang

digunakan masyarakat untuk melakukan aktivitas olahraga, tetapi

sebenarnya tempat itu bukan didesain untuk kegiatan olahraga. Misalnya,

taman-taman di perkotaan, badan jalan, lahan kosong di sekitar

pemukiman dan sebagainya. Aktivitas olahraga dilakukan bukan pada

tempatnya, selain dapat merusak fungsi sebenarnya dari tempat tersebut,

juga bisa jadi berbahaya bagi pelaku olahraga sendiri.

2) Digunakan untuk olahraga

Syarat ini sangat jelas bahwa tempat yang disebut ruang terbuka tersebut

digunakan untuk kegiatan olahraga. Pertanyaannya, apakah ada tempat

yang didesain untuk olahraga? Jawabannya ada, yaitu tempat olahraga

yang telah beralih fungsi. Meskipun secara fisik tidak berubah, tetapi

tempat tersebut lebih banyak digunakan untuk kegiatan selain olahraga.

52

Misalnya untuk kegiatan jual-beli atau pasar, tempat parkir dan lain-lain.

3) Bisa diakses oleh masyarakat luas

Syarat ini pada hakikatnya melekat pada makna dari ruang terbuka itu

sendiri. Artinya tempat tersebut harus dapat digunakan oleh masyarakat

umum dari berbagai latarbelakang sosial, ekonomi, budaya serta dapat

diakses oleh berbagai kondisi fisik manusia. Dengan syarat ini, tempat-

tempat olahraga seperti lapangan golf, kolam renang pribadi dan jogging

track pribadi yang tidak dapat diakses oleh masyarakat luas tidak

termasuk dalam definisi ruang terbuka.

c. Penyediaan Sarana dan Prasarana Olahraga

Mengkaji tentang pelayanan publik, maka tidak terlepas dari pembahasan

tentang teori-teori kebijakan secara umum maupun implementasi kebijakan

publik itu sendiri. Penyediaan sarana dan prsarana olahraga merupakan salah

satu bentuk kebijakan publik yang mana telah diatur dalam Undang-Undang

Sistem Keolahragaan Nasional Nomor 3 Tahun 2005. Kebijakan publik yang baik

tidak terlepas dari proses perumusan kebijakan yang mencerminkan kebutuhan

masyarakat. Pemerintah sebagai pelaksana program-program kegiatan

pemerintahan berkewajiban untuk mampu meningkatkan pelayanan kepada

masyarakat maupun kepada publik.

Melalui otonomi daerah memberikan kesempatan bagi pemerintah

kabupaten/kota untuk lebih mampu memberikan kualitas pelayanan yang

semakin baik kepada masyarakat di wilayahnya. Disamping itu, pemeritah

kabupaten/kota juga mempunyai tugas, wewenang dan tanggung jawab dalam

membuat suatu kebijakan yang mengatur tentang penyediaan sarana dan prsarana

olahraga. Hal ini sejalan dengan isi Undang-Undang Sistem Keolahragaan

Nasional (UUSKN) Nomor 3 Tahun 2005, Pasal 12 ayat 1dan 2 menyatakan:

1) Pemerintah mempunyai tugas menetapkan dan melaksanakan kebijakan

serta standardisasi bidang keolahragaan secara nasional

2) Pemerintah daerah mempunyai tugas untuk melaksanakan kebijakan dan

mengordinasikan pembinaan dan pengembangan keolahragaan serta

melaksanakan standardisasi bidang keolahragaan di daerah.

UUSKN Nomor 3 Tahun 2005 juga menjelaskan mengenai kewajiban

pemerintah untuk menyediakan prasarana olahraga. Sebagai mana yang tertuang

dalam Pasal 67 ayat 2 yang berbunyi “Pemerintah dan pemerintah daerah

53

menjamin ketersediaan prasarana olahraga sesuai dengan standar dan kebutuhan

pemerintah dan pemerintah daerah”. Tentunya pemerintah harus memperhatikan

asas desentralisasi, otonomi, peran serta masyarakat, keprofesionalan, kemitraan,

transparansi, dan akuntabilitas. Sistem pengelolaan, pembinaan, dan

pengembangan keolahragaan nasional diatur dengan semangat kebijakan otonomi

daerah guna mewujudkan kemampuan daerah dan masyarakat yang mampu secara

mandiri mengembangkan kegiatan keolahragaan. Dengan demikian merupakan

sebuah keharusan bagi pemerintah daerah untuk menyusun suatu kebijakan dalam

upaya penyediaan sarana dan prsarana olahraga di Kabupaten Lombok Timur

sesuai dengan UUSKN Nomor 3 Tahun 2005.

1) Perencanaan Sarana dan Prasarana Olahraga

Perencanaan merupakan proses awal untuk memutuskan tujuan

dan cara pencapaiannya. Perencanaan merupakan hal yang sangat

esensial karena dalam kenyataanya perencanaan memegang peranan

lebih bila dibanding dengan fungsi-fungsi manajemen yang lainnya,

seperti pengorganisasian, pengarahan, dan pengawasan. Penyusunan

sebuah rencana hendaknya didasarkan pada latar belakang yang jelas

misalnya menyangkut kebutuhan dan tujuan atau cita-cita yang hendak

dicapai oleh pembuat rencana. Menurut Terry dalam Harsuki, (2012 : 85)

bahwa:

“Perencanaan yang pada dasarnya adalah penyusunan sebuah pola

tentang aktivitas-aktivitas masa yang akan datang yang terintegrasi

dan dipredeterminasi. Hal tersebut mengharuskan adanya

kemampuan untuk meramalkan, memvisualisasikan dan melihat ke

depan yang dilandasi dengan tujuan-tujuan tertentu”.

Banyak hal yang perlu diperhatikan dalam menyusun sebuah

perencanaan. Salah satu dimensi yang tidak terpisahkan dari perencanaan

itu sendiri yaitu dimensi waktu. Menurut Harsuki (2012:87-88) bahwa

rencana yang dikaitkan dengan waktu dapat dibagi sebagai berikut:

a) Perencanaan jangka pendek (SR = Short Range) yang

biasanya mencakup waktu kurang dari 1 tahun

b) Perencanaan jangka menengah (IR = Intermediate Range)

yang meliputi waktu 1 tahun lebih, namun kurang dari 5tahun.

54

c) Perencanaan jangka panjang (LR = Long Range) yang

meliputi waktu lebih dari 5 tahun.

Perencanaan jangka panjang dalam hal ini tentang penyediaan

sarana dan prasarana olahraga, hendaknya mengacu pada sebuah Grand

Desain di suatu daerah/wilayah yang didalamnya juga mencakup rencana

pengembangan wilayah atau perkotaan sehingga akan terjadi sinkronisasi

antara penyediaan sarana dan prasarana olahraga dan pengelolaan kota

yang baik. Perencanaan tipe ini biasanya lebih bersifat administratif dan

berkenaan dengan perencanaan strategik. Perencanaan jangka menengah

lebih bersifat penunjang yang diarahkan untuk mencapai tujuan utama

yaitu terlaksananya perencanaan jangka panjang. Sedangkan perencanaan

jangka pendek, didalamnya memuat tentang butir-butir operatif mengenai

hal-hal penting yang harus segera dilaksanakan/dilakukan sebagai

langkah awal mensukseskan rencana jangka menengah.

Menurut Internasional Olympic Committee dalam Harsuki

(2012:90) Pengembangan sebuah perencanaan menggunakan

terminologi/tipe-tipe perencanaan sebagai berikut:

a) Strategic Plan yang memberikan pengertian misi (mission),

maksud (goals) dan tujuan (objective) serta tujuan taktis

(tactical end) dengan apa mereka mencapai tujuannya dan

memberikan evaluasi.

b) Business Plan yang menjabarkan suatu strategic plan dengan

cara menerangkan bagaimana melangkah ke depan,

memperhitungkan resiko, tantangan, aktivitas yang spesifik

dan program, biaya dari berbagai kegiatan, ketepatan waktu,

tanggung jawab siapa berbagai bagian yang harus

melaksanakan perencanaan dan unsur lainnya lagi.

Rencana strategik atau yang biasa disebut renstra merupakan

sebuah rencana yang dibuat sebagai acuan dalam menentukan tujuan

jangka panjang dengan memanfaatkan berbagai sumber daya yang

dimiliki, oleh karena itu para pembuat kebijakan harus menyiapkan

berbagai rencana strategik yang akan dilaksanakan. Pendekatan yang

digunakan dalam proses perencanaan tentunya harus melalui beberapa

tahapan agar perencanaan tersebut dapat berjalan dengan baik dan sesuai

55

harapan. Menurut Bangun dalam Lauh (2013:63) tahapan-tahapan

perencanaan sebagai berikut:

a) Menetapkan tujuan

b) Merumuskan keadaan sekarang

c) Mengidentifikasi kemudahan-kemudahan dan hambatan-

hambatan

d) Mengembangkan rencana

Unsur-unsur dalam sebuah perencanaan menurut Harsuki (2012:91-

93) sebagai berikut:

a) Pernyataan deskriptif (Deskriptive Statement)

b) Pernyataan visi (Vision Statement)

c) Pernyataan misi (Mission Statement)

d) Filsafat yang jadi pedoman

e) Prinsip-prinsip pengoperasian (Operating Principles)

f) Tujuan (Objectives)

g) Tanda-tanda keberhasilan

h) Program

Kompleksitas dan dinamika perencanaan penyediaan sarana dan

prasarana olahraga semakin mengemuka pada era otonomi daerah yang

dewasa ini ditandai dengan pelimpahan kewenangan yang besar kepada

daerah Kabupaten/Kota. Dengan kata lain, kewenangan yang luas dan nyata

telah menimbulkan tantangan tersendiri yang perlu mendapatkan perhatian

dalam perencanaan penyediaan sarana dan prasarana olahraga. Sarana dan

prasarana yang bermutu didukung dengan program berkualitas yang dimulai

dengan perencanaan yang seksama. Ada kriteria umum yang harus dipatuhi

dalam perencanaan, pembangunan, dan pemeliharaan. Kriteria umum untuk

perencanaan sarana dan prasarana olahraga menurut Handoko, (1999 : 32)

adalah:

a) Melayani kebutuhan yang telah teridentifikasi

b) Konstruksi yang bermutu dan mempertimbangkan keselamatan.

c) Multiguna

d) Lokasi yang strategis

e) Mudah dijangkau

f) Harga yang efektif

g) Mudah disupervisi

h) Pemeliharaan/penjagaan yang efisien

i) Bisa diperluas

j) Memperhatikan segi keindahan

56

Perencanaan sarana dan prasarana olahraga yang dibuat oleh

Pemerintah suatu Kabupaten juga harus memperhatikan beberapa hal

diantaranya didasarkan pada potensi dan kemampuan yang dimiliki daerah

tersebut. Potensi setiap daerah berbeda-beda, karena secara khusus

karakteristik daerahnya juga berbeda mulai dari letak geografis, kebudayaan

masyarakat sampai pola hidup masyarakat, sehingga menuntut pemerintah

untuk jeli melihat potensi-potensi yang tumbuh dan berkembang di

masyarakat. Dari aspek kemampuan daerah juga perlu diperhatikan karena

tidak mungkin sebuah daerah mampu menyediakan semua jenis sarana dan

prasarana yang diperlukan oleh masyarakat. Oleh sebab itu perlu adanya

suatu prioritas pada cabang-cabang olahraga unggulan yang memang harus

dipenuhi sarana dan prasarananya dengan baik. Hal tersebut bisa berdasarkan

pada minat masyarakat maupun cabang olahraga yang diunggulkan.

Prinsip dan garis besar menejemen untuk perencanaan sarana dan

prasarana yang akan diaplikasikan dalam semua level pendidikan serta

organisasi menurut Bruce dan Krotee dalam Harsuki, (2012: 200-201)

sebagai berikut:

a) Sarana dan prasarana harus dirancang terutama bagi peserta dan

kelompok pengguna.

b) Sarana dan prasarana harus dirancang untuk penggunaan secara

bersama dengan mempertimbangkan pola dan arah secara potensial.

c) Semua perencanaan harus didasarkan pada tujuan bahwa pengenalan

lingkungan baik fisik maupun non fisik haruslah aman, terjamin,

menarik, nyaman, bersih, praktis, dapat dijangkau, dapat

menyesuaikan dengan kebutuhan individu.

d) Sarana dan prasarana haruslah ekonomis dan mudah untuk

dioperasikan, dikontrol dan dipelihara.

e) Perencanaan harus memasukkan pertimbangan sarana dan prasarana

pendidikan jasmani dan olahraga bagi masyarakat secara terpadu.

Program dan fasilitas dari beberapa area bergabung secara

berdekatan dan perencanaan harus dikoordinasikan dan erat

kaintannya, yaitu yang berdasarkan pada kebutuhan dari masyarakat

secara keseluruhan.

f) Perencanaan sarana dan prasarana harus mempertimbangkan

perlindungan bagi masyarakat misalnya lalu lintas, pengeras suara

dan lampu penerangan. Sarana dan prasarana harus dapat dijangkau

bagi kelompok pengguna meskipun terisolasi sehingga aktivitas

tidak terganggu oleh program yang lain.

57

g) Sarana dan prasarana harus dapat menggerakkan kesehatan,

keamanan dan serta kode standar legal yang sangat penting dalam

melindungi kesehatan, kesejahteraan dan keselamatan para

kelompok pengguna dan juga lingkungan.

h) Sarana dan prasarana harus direncanakan sedemikian rupa sehingga

dapat diakses dengan mudah dan aman bagi semua individu

termasuk para penyandang cacat.

i) Perencanaan sarana dan prasarana harus berjangka panjang

penggunanya dan termasuk kesanggupan untuk penyesuaian, mudah

diubah, dan diperluas guna memenuhi kebutuhan masyarakat yang

berubah.

j) Sarana dan prasarana memainkan satu bagian dalam lingkungan yang

sehat. Yang perlunya organisasi menyediakan ruang bermain yang

cukup aman, dilengkapi dengan situasi dan ventilasi yang memadai,

serta kebersihan yang pada gilirannya akan menentukan sebesar

keefektifan kesehatan dan kesejahteraan dipromosikan.

2) Realisasi Penyediaan Sarana dan Prasarana Olahraga

Pada umumnya masyarakat cenderung lebih mementingkan

membangun prasarana perekonomian dari pada prasarana umum untuk

olahraga. Disisi lain masyarakat juga belum menjadikan kegiatan

olahraga sebagai kebutuhan hidup sehari-hari, apalagi untuk berprestasi,

sehingga partisipasi masyarakat dalam keolahragaan masih terbilang

kurang. Olahraga yang terarah dan terbina memerlukan waktu dan

keseriusan dari pihak-pihak yang berkompeten di bidang olahraga baik

pemerintah, praktisi olahraga maupun pelaku olahraga, sehingga waktu

luang pemuda dapat dialihkan untuk berolahraga dengan didukung

pengembangan sarana dan prasarana oalhraga yang memadai.

Usaha untuk merealisasikan penyediaan sarana dan prasarana

olahraga oleh pemerintah hendaknya memperhatikan rasio penduduk dan

konsep ruang terbuka, dimana jumlah penduduk disuatu wilayah harus

diimbangi dengan ruang terbuka yang dapat dimanfaatkan sebagai tempat

untuk beraktifitas olahraga bagi masyarakat. Satu hal yang juga harus

menjadi pertimbangan pemerintah dalam merealisasikan perencaan

tersebut, yaitu bagaimana caranya agar penyediaan sarana dan prasarana

tersebut dapat terealisasikan dengan baik dan tepat guna.

58

Dalam upaya merealisasikan penyediaan sarana dan prasarana

olahraga untuk masyarakat dibutuhkan suatu perangkat yang disebut

dengan evaluasi kebutuhan. Menurut Harsuki (2012: 188) bahwa, “secara

ringkas dijelaskan bahwa evaluasi kebutuhan ialah perangkat yang

digunakan untuk menentukan apakah sarana dan prasarana baru sudah

diperlukan, jika sudah diperlukan, bagaimana tipe dan spesifikasi sarana

dan prasarana tersebut”. Selanjutnya dijelaskan bahwa fokus dari

evaluasi kebutuhan adalah:

a) Harapan masyarakat

(1) Sejarah olahraga setempat

(2) Harapan dan kebutuhan masyarakat

b) Akses dan kesempatan

(1) Agar dikaji bagaimana masyarakat dapat mengakses fasilitas

(2) Memastikan seluruh komponen masyarakat mempunyai

kesempatan menggunakan fasilitas.

c) Demografi

Mempertimbangkan angka pertumbuhan penduduk yang

dapat mempengaruhi penggunaan fasilitas, misalnya:

(1) Dalam 10 tahun mendatang bagaimana perbandingan antara usia

muda dan usia lanjut

(2) Bagaimana kecenderungan perpindahan penduduk dari desa ke

kota

d) Keberlanjutan

(1) Apakah dapat diperoleh pemasukan yang memadai untuk biaya

operasional

(2) Memastikan bahwa peralatan yang rusak maupun kadaluwarsa

dapat diganti, sehingga fasilitas selalu dapat digunakan sesuai

desain yang telah dirancang.

e) Mempertimbangkan lingkungan local

(1) Jika iklimnya panas, pertimbangkan pembangunan fasilitas

untuk aquatics.

(2) Jika iklimnya berangin, pertimbangkan fasilitas parasailing,

layang-layang dan lain-lain

f) Perubahan iklim

Selalu pertimbangkan pola cuaca, seperti banjir tahunan,

angin kencang dan lain-lain.

Menurut Harsuki, (2003 : 384) penyiapan prasarana olahraga selalu

dikaitkan dengan kegiatan olahraga yang mempunyai sifat:

a) Horisontal, dalam arti bersifat menyebar atau meluas yang sesuai dengan

konsep “Sport For All” atau dengan semboyan yang kita miliki

“Memasyarakatkan Olahraga dan Mengolahragakan Masyarakat” yang

59

tujuannya untuk kebugaran dan kesehatan

b) Vertikal, dalam arti bersifat mengarah keatas dengan tujuan mencapai

prestasi tertinggi dalam cabang olahraga tertentu, baik untuk tingkat

daerah, nasional maupun internasional.

Selanjutnya dijelaskan pula bahwa guna memenuhi dua arah kegiatan

tersebut, kebutuhan prasarana olahraga perlu memperhatikan tiga faktor,

yaitu:

a) Kuantitas

Guna menampung kegiatan pemassalan olahraga perlu prasarana

olahraga yang jumlahnya mencukupi sesuai dengan kebutuhan seperti

yang ditentukan didalam pedoman penyiapan prasarana. Tersebar secara

merata di seluruh wilayah.

b) Kualitas

Guna menampung kegiatan olahraga prestasi, prasarana olahraga yang

disiapkan perlu memenuhi kualitas sesuai dengan syarat dan ketentuan

masing-masing cabang olahraga:

(1) Memenuhi standar ukuran internasional

(2) Kualitas bahan/material yang dipakai harus memenuhi syarat

c) Dana.

Untuk menunjang kedua faktor diatas, diperlukan dana yang cukup

sehingga dapat disiapkan prasarana yang mencukupi jumlah serta

kualitasnya memenuhi syarat.

Tabel 2.2 Pedoman Menpora tentang Prasarana Olahraga

N

o

Jumlah

Penduduk Prasarana

Perkitaan Jumlah

(M2)

Jumlah

Seluruhnya

Luas

(M2) Luas

(M2)

I 250-500 1. Taman Bermain

2. Lapangan

Bulutangkis

3. Lapangan

Bolavoli

1

1

1 12.000 600 4x4x12x10 1.152.000

60

II

2.500-

4.000

1. Lapangan

Bulutangkis

2. Lapangan

Bolavoli

3. Lapangan

Bolabasket

4. Lapangan Tenis

1

1

1

1

16.000 2.100 4x4x12 403.200

III 30.000-

50.000

1. Lapangan

Bulutangkis

2. Lapangan

Bolavoli

3. Lapangan

Bolabasket

4. Lapangan Tenis

5. Lapangan Bola

dan Lintasan

Atletik

2

2

1

2

1

28.000 18.800 4x4x 300.800

IV 120.000

(Kecamata

n)

1. Stadion

2. Gedung

Olahraga

3. Kolam Renang

4. Lapangan

Bolavoli

5. Lapangan

Bolabasket

6. Lapangan Tenis

1

1

1

2

2

2

41.500 27.500 4x 110.000

V 480.000 1. Stadion

2. Edung Olahraga

3. Kolam Renang

4. Lapangan

Bolavoli

5. Lapangan

Bolabasket

6. Lapangan Tenis

1

1

1

2

2

2

81.000 33.900 1x 33.900

480.000 4,2m2/orang

1.999.900

Sumber: Harsuki, (2003)

Berdasarkan data Podes 2008 dalam data kementerian Pemuda dan

Olahraga (2008: 39- 42), untuk ketersediaan fasilitas lapangan olahraga,

lapangan sepakbola banyak terdapat didesa/kelurahan di wilayah Propinsi

Bangka Belitung (93,02%), Riau (85,72%), Kalimantan Barat (83,75%) dan

Kepulauan Riau (83,44%). Lapangan bola voli relatif lebih banyak dibanding

lapangan sepakbola. Terdapat 5 propinsi yang memiliki persentase

desa/kelurahan yang memiliki lapangan bola voli lebih dari 95 persen, yaitu

61

Riau (97,92 %), D.I. Yogyakarta (97,72%), Bangka Belitung (96,57%) dan

Kalimantan Barat (95,25%). Sedangkan ketersediaan lapangan bulu tangkis

paling banyak ditemui di desa/kelurahan wilayah Propinsi DKI Jakarta.

Sebanyak 96,25 % desa/kelurahan di DKI Jakarta terdapat lapangan bulu

tangkis. Terbanyak ke dua adalah D.I. Y (94,52%), kemudian diikuti Jawa

Barat (82,52%). Sedangkan ketersediaan untuk lapangan bola basket hanya

menonjol dibeberapa Provinsi. Persentase yang tinggi untuk lapangan bola

basket terdapat di DKI Jakarta (65,17%), D.I. Yogyakarta (24,66%) dan

Sumatera Barat (21,75%).

Demikian pula untuk lapangan tenis dan renang yang tampak

menonjol di DKI Jakarta dan D.I. Yogyakarta. Berdasarkan data Podes 2008

bahwa, lapangan yang banyak tersedia sampai ke tingkat desa/kelurahan

berturut-turut bola voli, sepakbola dan bulu tangkis. Pada tahun 2008

sebanyak 78,10 persen, sedikit menurun dibandingkan dibandingkan tahun

2005 yang sebesar 79,35 persen desa/kelurahan memiliki lapangan bola voli;

56,11 persen desa/kelurahan memiliki lapangan sepak bola sama banyak

dengan tahun 2005 dan 49,36 persen desa/kelurahan memiliki lapangan bulu

tangkis sedikit meningkat dari tahun 2005 yang sebesar 47,3 persen.

Hal ini merupakan sinyalemen bahwa ketiga jenis olahraga tersebut

merupakan olahraga rakyat yang digemari dan dilakukan banyak orang.

Sementara lapangan/gelanggang untuk bola basket, tenis lapangan dan kolam

renang masih sangat terbatas. Ke tiga jenis olahraga yang terakhir ini pada

umumnya dilakukan oleh masyarakat perkotaan sehingga wajar apabila

ketersediaan lapangan untuk olahraga tersebut sangat terbatas hanya

disebagian kecil Desa/Kelurahan saja. Keberadaan kelompok kegiatan

olahraga pada umumnya seiring dengan ketersediaan sarana lapangan

olahraga yang ada. Berdasarkan data Podes 2008, untuk keberadaan

kelompok kegiatan olahraga sepak bola banyak terdapat di desa/kelurahan di

wilayah Propinsi Bangka Belitung (96,22%) hampir sama dengan tahun 2005

yang sebesar 96,57 %, Jawa Barat (91,23%), Banten (89,69%), Kepulauan

Riau (88,65%), dan D.I. Yogyakarta (88,58%). Kelompok kegiatan bola voli

62

relatif lebih banyak disbanding kelompok kegiatan sepak bola. Hanya satu

propinsi yang memiliki persentase desa/kelurahan yang memiliki lapangan

voli lebih dari 95 persen, yaitu Kepulauan Riau (98,16%). Sedangkan

kelompok kegiatan bulu tangkis paling banyak ditemui di desa/kelurahan

wilayah Propinsi D.I. Yogyakarta. Sebanyak 94,75 persen desa/kelurahan di

D.I. Yogyakarta terdapat kelompok kegiatan bulu tangkis. Terbanyak kedua

adalah DKI Jakarta (89,51%), kemudian diikuti Jawa Barat (83,43%).

Sedangkan ketersediaan untuk kelompok kegiatan bola basket hanya

menonjol di beberapa propinsi. Persentase yang tinggi untuk kelompok

kegiatan bola basket terdapat di DKI Jakarta (50,56%), D.I. Yogyakarta

(19,63%) dan Kepulauan Bangka Belitung (18,02%). Demikian pula untuk

kelompok kegiatan tenis lapangan, renang, tenis meja dan bela diri tampak

menonjol di DKI Jakarta dan D.I. Yogyakarta.

Adapun standar sarana dan prasarana olahraga menurut Peraturan

Pemerintah Nomor 16 Tahun 2007 pasal 89 tentang penyelenggaraan

keolahragaan sebagai berikut:

(1) Standar prasarana dan sarana olahraga terdiri atas standar prasarana

olahraga dan standar sarana olahraga.

(2) Standar prasarana olahraga sebagaimana dimaksud pada ayat (1)

mencakup persyaratan:

a. Ruang dan tempat berolahraga yang sesuai persyaratan teknis

cabang olahraga

b. Lingkungan yang terbebas dari polusi air, udara, dan suara

c. Keselamatan yang sesuai dengan persyaratan keselamatan bangunan

d. Keamanan yang dinyatakan dengan terpenuhinya persyaratan sistem

pengamanan

e. Kesehatan yang dinyatakan dengan tersedianya perlengkapan medik

dan kebersihan.

3) Standar Sarana Olahraga sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mencakup

persyaratan:

a. Perlengkapan dan peralatan yang sesuai persyaratan teknis cabang

olahraga

b. Keselamatan yang sesuai dengan persyaratan keselamatan

perlengkapan dan peralatan

c. Kesehatan yang dinyatakan dengan dipenuhinya persyaratan

kebersihan dan higienis

63

d. Pemenuhan syarat produk yang ramah lingkungan.

Klasifikasi dan penggunaan bangunan gedung olahraga sebagai

berikuta:

a) Type A, menyediakan minimal:

1 lapangan bola basket

1 lapangan bola voli

5 lapangan buku tangkis

1 lapangan tennis

Ukuran minimal hall: 50 x 30 dengan tinggi 12,5 m

Kapasitas penonton: diatas 3.000 orang

b) Type B, menyediakan minimal:

1 lapangan bola basket

1 lapangan bola voli

3 lapangan buku tangkis

Ukuran minimal hall: 32 x 22 dengan tinggi 12,5 m

Kapasitas penonton: 1000 - 3.000 orang

c) Type C, menyediakan minimal:

1 lapangan bola basket

1 lapangan bola voli

Ukuran minimal hall: 24 x 16 dengan tinggi 9 m

Kapasitas penonton: 1000 orang. (http://rinarchilicious.blogspot.

com/2012/12/gedung-olah-raga.html)

Selanjutnya dijelaskan bahwa, berdasarkan skala pelayanannya,

gedung olahraga dibagi atas:

a) Skala Nasional

Sarana dan prasarana olahraga ini menampung atau melayani

kegiatan-kegiatan di antaranya kompetisi utama, pertandingan,

latihan dan mengajar dengan standar internasional seperti PON, Sea

Games, dan sejenisnya. Contoh : Gedung Istora Senayan Jakarta

b) Skala Regional

Sarana dan prasarana olahraga yang melayani satu atau beberapa

daerah denga populasi sebesar 200.000 sampai dengan 350.000

penduduk dan merupakan fasilitas pelengkap di suatu daerah atau

wilayah.

Contoh: Gelanggang Olahraga Penjaringan, Gelanggang Olahraga

Grogol.

c) Skala Lingkungan

Sarana dan prasarana olahraga yang melayani satu lingkungan,

dalam hal ini lingkungan pemukiman dengan populasi 2.000 sampai

dengan 10.000 orang, dan biasannya disediakan dalam suatu

kompleks perumahan sebagai satu pelengkap sarana.Contoh: Kelapa

Gading Sport Club di kompeks perumahan Kelapa Gading.

Bimantara Sport Club di kompleks perumahan Green Village.

Persada Sport Centre di kompleks AURI Halim.

64

d) Skala Sekolahan

Sarana dan prasarana olahraga ini melayani olahraga di suatu

sekolahan, biasanya berbentuk aula, serbaguna dan dapat berbentuk

lapangan terbuka serta digunakan hanya untuk latihan olahraga

standar saja.

e) Skala Khusus

Sarana dan prasarana olahraga yang menangani olahraga jenis

tertentu yang sifatnya komersial atau yang diperuntukkan khusus

bagi penyandang cacat, biasanya dibentuk oleh pihak

swasta.(sumber: http://rinarchilicious.blogspot.com/2012/12/gedung-

olah-raga.html)

3) Pengelolaan Sarana dan Prasaran Olahraga

Sarana dan prasarana olahraga adalah daya pendukung yang

terdiri dari segala bentuk jenis peralatan dan tempat berbentuk bangunan

yang digunakan dalam memenuhi persyaratan yang di tetapkan untuk

pelaksanaan program olahraga. Pengelolaan olahraga dapat menjadi

lahan bisnis dan menghasilkan keuntungan, tetapi keuntungan yang dapat

diraih tergantung pada mutu sarana dan prasarana, produk, pertandingan

atau jasa yang dijual, memiliki daya tarik dan ditampilkan pada saat yang

tepat dan ditempat strategis.

Pengelolaan sarana dan prasarana olahraga erat kaitannya dengan

bagaimana konsep managemen dalam pengelolaan itu sendiri.

Pengelolaan sarana dan prasarana olahraga sebagaimana terdapat dalam

managemen pada umumnya. Menurut Harsuki, (2012 : 206-207) bahwa

“Managemen olahraga pada dasarnya dapat dibagi menjadi dua bagian

besar yaitu managemen olahraga pemerintah dan managemen olahraga

swasta”. Kemudian Terry dalam Harsuki (2012 : 79) menerangkan

bahwa fungsi managemen diklasifikasikan dalam empat bagian yaitu:

Perencanaan (Planning), Pengorganisasian (Organizing), Penggerakan

(Actuating), Pengawasan (Controlling).

Menurut Parks, Quarterman dan Thibault dalam Harsuki, (2012 :

197-198) bahwa secara umum, tiga posisi yang terdapat dalam

manajemen fasilitas terdiri dari:

a) Direktur Fasilitas

65

Direktur fasilitas seringkali disebut sebagai manager fasilitas atau

CEO (Chief executive Officer), mempunyai tanggung jawab

menyeluruh atas semua fasilitas. Pejabat ini terutama bertanggung

jawab atas pengadministrasian yang tepat dan pembuatan

prosedur operasi yang baku akan fasilitas (fasility’s standard

operating procedurs, SOPs)

b) Manager Operasi

Manager operasional melapor langsung kepada direktur fasilitas

dan bertanggung jawab terhadap semua karyawan, prosedur dan

kegiatan yang terkait dengan fasilitas. Tugasnya yaitu

merumuskan peranan, tanggung jawab dan wewenang dari staf

fasilitas.

c) Koordinator Event

Koordinator even juga melapor kepada direktur fasilitas,

bertanggung jawab kepada pengelolaan even individual yang

dilaksanakan di dalam fasilitas. Tanggung jawabnya meliputi

transportasi, memasang, mendirikan dan menyimpan alat-alat;

menciptakan sistem kontrol untuk venue dan logistik peralatan;

perekrutan, pelatihan dan memberikan supervisi pada karyawan

khusus, memberikan bantuan dalam memelihara venue dan

peralatannya selama berlangsungnya even; memfasilitasi

penjualan karcis dan pendistribusian karcis di dalam venue; serta

mengevaluasi pengoperasian venue dan peralatannya.

Sarana dan prasarana yang dipelihara dan diatur dengan baik

merupakan faktor yang menentukan untuk menarik kedatangan pengguna

atau konsumen. Beberapa hal yang juga harus diperhatikan dalam

pengelolaan sarana dan prasarana olahraga yaitu:

a) Pedoman Kebijakan.

Sebuah pedoman kebijakan tertulis dalam dokumen merupakan

sesuatu yang perlu untuk menjalankan sarana dan prasarana.

Persyaratan-persyaratan yang mengatur hal-hal sebagai berikut

perlu ditetapkan. (1) kebijakan umum, (2) prosedur penjadwalan

dan waktu penggunaan fasilitas, (3) ketersediaan fasilitas dan

peralatan, dan (4) pengaturan penyewaan dan persetujuan kontrak.

b) Supervisi dan Keam anan Fasilitas.

Untuk menjamin layanan yang efektif bagi setiap pengguna

perorangan dan kelompok besar, beberapa hal perlu diperhatikan.

Perangkat aturan tertulis yang mengatur pemanfaatan dan

keamanan fasilitas. Perangkat aturan terpampang di semua pintu

masuk dan tempat strategis. Tim supervisor dan keamanan mudah

dikenali Sikap yang ramah dan membantu harus ditampilkan oleh

anggota tim supervisor dan keamanan.

c) Pemeliharaan Fasilitas.

66

Untuk memperpanjang keawetan fasilitas dan menurunkan

keharusan perbaikan, pemeliharan yang tetap perlu dikerjakan.

Agar pekerjaan pemeliharaan berjalan dengan baik perlu dipilih

koordinator pemeliharaan yang tepat.

d) Pengontrolan (inventory control).

Melakukan pengawasan yang cermat terhadap segala fasilitas dan

peralatan yang dimiliki oleh organisasi.

e) Penjadwalan Fasilitas.

Jadwal pemakaian harus ditata dengan baik sehingga memberi

kenyamanan bagi pengguna. Contoh daftar prioritas penggunaan

fasilitas olahraga yang dimiliki oleh sekolah: (a) pelajaran

pendidikan jasmani terjadwal, (b) kegiatan latihan dan

perlombaan/pertandingan olahraga, (c) kegiatan olahraga rekreasi

dan intramural, (d) kelompok akademik dalam sekolah, (e)

kelompok nonakademik dalam kampus, (f) kelompok luar

kampus.

Undang-Undang Nomor 3 tahun 2005 tentang Sistem

Keolahragaan Nasional Pasal 38 ayat 1, menyatakan bahwa “Pengelolaan

olahraga pada tingkat kabupaten/kota dilakukan oleh pemerintah

kabupaten/kota dengan dibantu oleh komite olahraga kabupaten/kota”.

Dengan demikian, pengelolaan sarana dan prasarana olahraga yang

dibangun dengan menggunakan APBN perlu dikelola dengan baik karena

sarana dan prasarana olahraga merupakan aset yang dapat mendorong

perkembangan olahraga di suatu daerah dan sebagai cerminan seberapa

besar perhatian pemerintah daerah terhadap olahraga di daerahnya

masing-masing. Oleh karenanya sarana dan prasarana olahraga perlu

didokumentasikan dengan baik, dipelihara dan dimanfaatkan secara

efektif, efisien dan terintegrasi melalui sebuah sistem pengelolaan yang

jelas. Adapun ciri-ciri sarana dan prasarana yang dikelola dengan baik

menurut Harsuki, (2012 : 187) yaitu:

a) Beroperasi pada jam yang ditentukan setiap harinya dengan

memberikan pelayanan yang ramah

b) Pelanggan baru diterima secara baik dan mereka mendapat

petunjuk sehingga dapat menggunakan fasilitas sebaik-baiknya.

c) Karyawan yang terlatih dengan baik, peran dan tanggung

jawabnya dapat dikenali oleh setiap pengguna.

d) Prosedur keselamatan, PPPK, pertolongan darurat dan lain-lain

telah didokumentasikan dan siap untuk beroperasi.

67

e) Melalui pengoperasiannya, fasilitas dapat menghasilkan manfaat

ekonomi.

Sarana dan prasarana olahraga perlu didayagunakan dan dikelola

untuk berbagai kepentingan olahraga. Pengelolaan tersebut bertujuan

memberikan layanan secara profesional berkaitan dengan penggunaan

fasilitas olahraga agar dapat berjalan lancar, efektif dan efisien dalam

waktu yang lama. Adapun Administrasi atau pengelolaan sarana dan

prasarana olahraga meliputi:

a) Pemeliharaan Sarana dan Prasarana Olahraga

Menurut Hisyam, (1991 : 31-32) bahwa “Tujuan pemeliharaan atau

peralatan dalam kegiatan olahraga adalah untuk menentukan dan

meyakinkan bahwa alat-alat dalam keadaan aman dan memuaskan

untuk digunakan kegiatan-kegiatan tersebut”. Selanjutnya dijelaskan

bahwa prinsip-prinsip dalam pemeliharaan sarana dan prasarana

olahraga yaitu:

(1) Kebijaksanaan dan tata cara memelihara sarana olahraga harus

direncanakan untuk memperpanjang umur peralatan

sedemikian rupa sehingga mungkin akan menghasilkan modal

lagi yang maksimal.

(2) Pemeliharaan hendaknya direncanakan untuk menjamin

keselamatan bagi semua orang yang menggunakan alat-alat.

(3) Hanya orang-orang yang berhak hendaknya diberi kedudukan

sebagai pemimpin, kepala tata usaha.

(4) Alat-alat seharusnya diawasi secara periodik untuk

memperoleh dan mencapai keselamatan dan kondisi alat-alat.

(5) Perbaikan dan pemulihan kembali kondisi peralatan

dibenarkan apabila alat alat atau bahan yang diperbaiki atau

dibangun dengan biaya yang murah.

(6) Menutupi dan melindungi peralatan yang layak dapat

menolong dan menjamin pemeliharaan secara ekonomis dan

aman.

b) Inventarisasi Sarana dan Prasarana Olahraga

Inventarisasi adalah upaya untuk mencatat dan membuat pembukuan

keberadaan sarana prasarana olahraga. Inventarisasi akan

memudahkan pengelolaan sarana dan prasarana olahraga dan

mencegah hilang serta rusaknya sarana prasarana olahraga. Langkah-

langkah melakukan inventarisasi sebagai berikut:

(1) Siapkan buku inventarisasi

(2) Inventarisasi dilakukan seorang yang ahli dan teliti.

(3) Lakukan pelabelan dan tanda register semua sarana prasarana

dengan teliti dan Benar

(4) Buat papan data keadaan sarana prasarana yang bisa diketahui

68

semua orang.

(5) Pemeliharaan barang merupakan kegiatan penjagaan atau

pencegahan dari kerusakan suatu sarana prasarana olahraga,

sehingga sarana prasarana tersebut dalam kondisi baik dan siap

pakai. Pemeliharaan dilakukan secara kontinyu terhadap semua

barang-baranginventaris. (Didik, 2011).

Dewasa ini, perkembangan olahraga cukup pesat dan sudah mulai

merambah ke dunia bisnis, hal ini dikarenakan olahraga sudah

merupakan konsumsi bagi masyarakat umum dan dengan sendirinya

bermunculan bisnis-bisnis baru dalam dunia olahraga untuk memenuhi

kebutuhan olahraga dalam berbagai jenis sehingga perlu sebuah sistem

pemasaran yang baik akan produk-produk dan jasa yang dikomersilkan.

Begitu pula halnya dengan pengelolaan sarana dan prasarana olahraga,

demi menjaga kelangsungan dan keawetan sarana dan prasarana olahraga

yang sudah tersedia maka diperlukan sebuah sistem managemen

pemasaran olahraga yang baik. Di Indonesia istilah pemasaran olahraga

mulai dikembangkan khususnya pada cabang-cabang olahraga yang

popular di masyarakat. Mullin dalam Harsuki, (2012:210) memberikan

pengertian pemasaran olahraga sebagai berikut:

“Pemasaran olahraga terdiri dari semua aktivitas yang terencana

untuk memenuhi kebutuhan dan keinginan pelanggan pada

partisipasi pertama, kedua dan ketiga dan penonton pertama,

kedua dan ketiga melalui proses pertukaran. Oleh karena itu,

pemasaran olahraga telah berkembang dengan dua arah yaitu: a.

Pemasaran produk dan service olahraga kepada pelanggan

olahraga, dan b. Pemasaran yang menggunakan olahraga sebagai

suatu wahana promosi untuk pelanggan dan service serta produk

industri”.

Proses pemasaran olahraga didalamnya memerlukan beberapa

komponen penting, diantaranya yaitu: strategi pemasaran, taktik

pemasaran dan value pemasaran yang harus disusun secara seksama dan

baik. Strategi pemasaran olahraga adalah cara untuk mencapai tujuan

jangka panjang, dalam ruang lingkup strategi pemasaran olahraga ada

tiga konsep yang harus diperhatikan diantaranya communitization,

confirmation dan clarification. Taktik pemasaran olahraga adalah

69

rentetan dari pelaksanaan pekerjaan dari suatu strategi, agar mencapai

tujuan, dalam ruang lingkup taktik pemasaran olahraga ada enam konsep

yang harus diperhatikan diantaranya codification, co-creation, currency,

communual activation, conversation and commercialization. Value

pemasaran olahraga adalah kemapuan yang dapat diberikan produsen

kepada konsumen untuk memuaskan konsumen itu sendiri. Dalam ruang

lingkup value yang harus diperhatikan antara lain character, care and

collaboration. Bila kita lihat dari sudut pandang produk industri

olahraga, maka yang menjadi ruang lingkup pemasaran olahraga antara

lain: sarana dan prasarana yang diproduksi, diperjualbelikan dan/atau

disewakan, barang-barang olahraga seperti peralatan dan perlengkapan

olahraga, dan Jasa penjualan kegiatan olahraga. (Poernomo, 2012)

4) Pemanfaatan Sarana dan Prasarana Olahraga

Pembangunan sarana dan prsarana olahraga merupakan sebuah

keharusan agar dapat mendukung proses pemassalan olahraga bagi

masyarakat. Adanya sebuah perencanaan yang baik serta sistem

penyediaan yang maksimal harus diiringi pula dengan pola pemanfaatan

yang tepat, karena jika salah dalam pola pemanfaatannya, maka akan

berdampak negatif bagi perkembangan olahraga itu sendiri. Kesalahan

dalam pemanfaatan sarana dan prsarana olahraga misalnya dengan

mengeluarkan kebijakan untuk memberikan ijin penggunaan sarana dan

prsarana olahraga seperti stadion sepakbola untuk kegiatan di luar

olahraga misalnya untuk kampanye atau hiburan.

Kebijakan seperti ini tidak baik bagi kelangsungan sarana dan

prsarana olahraga, karena sarana dan prsarana yang digunakan tersebut

bisa rusak bahkan beralih fungsi. Hal ini harus disadari oleh pembuat

kebijakan di suatu wilayah. Salah satu tujuan disediakannya sarana dan

prsarana olahraga yaitu agar dapat dimanfaatkan semua kalangan

sehingga menunjang perkembangan olahraga disuatu wilayah akan

tetapai harus tetap memperhatikan prosedur-prosedur dalam

70

pemanfaatannya. Konsumen sarana dan prsarana olahraga adalah pelaku

olahraga itu sendiri, mulai dari pelaku olahraga prestasi, olahraga

rekreasi sampai dengan olahraga pendidikan. Pola pemanfaatan setiap

ruang lingkup olahraga berbeda tergantung dari hakikat dan tujuan

masing-masing namun dengan satu harapan bahwa olahraga dapat

memasyarakat dan menjadi pola hidup sehat bagi setiap orang.

a) Pemanfaatan sarana dan prsarana Olahraga Prestasi

Olahraga prestasi yang cenderung menitik beratkan pada

pencapaian prestasi yang setinggi-tingginya membutuhkan sarana

dan prsarana dengan kualitas yang baik pada setiap cabang

olahraga yang ada sehingga dapat menunjang pencapaian prestasi

cabang olahraga tersebut. sarana dan prsarana olahraga prestasi

lebih dikhususkan untuk prestasi, dalam artian bukan untuk sarana

dan prsarana yang bisa diakses secara umum karena jika fasilitas

tersebut salah dalam penggunaannya maka sarana dan prsarana

tersebut akan menjadi rusak, sehingga tidak semua orang bisa

mengakses sarana dan prsarana olahraga prestasi kecuali mereka

yang berkecimpung di olahraga prestasi.

b) Pemanfaatan sarana dan prsarana Olahraga Rekreasi

Pemanfaatan sarana dan prsarana olahraga rekreasi memiliki

keunikan sendiri dimana sarana dan prsarana tersebut dirancang

sedemikian rupa dengan tujuan agar mampu menarik minat

masyarakat sebanyak-banyaknya sehingga mau melakukan

olahraga yang aktifitasnya dikemas dalam sebuah permainan atau

bersifat rekreasi. Untuk sarana dan prsarana olahraga rekreasi,

semua orang memiliki kesempatan yang besar untuk mengaksesnya

dan semakin banyak masyarakat yang memanfaatkannya maka

semakin baik.

c) Pemanfaatan Sarana dan Prasarana Olahraga Pendidikan

Pemanfaatan sarana dan prsarana olahraga pendidikan di sekolah

disesuaikan dengan tujuan dari pembelajaran itu sendiri. Dalam

71

pemanfaatannya, sarana dan prsarana tersebut bisa dimanfaatkan

oleh siswa dan guru untuk mendukung proses belajar mengajar.

d) Pemanfaatan Sarana dan Prasarana Olahraga bagi Masyarakat

Untuk mendukung program memasyarakatkan olahraga dan

mengolahragakan masyarakat maka hal yang harus menjadi

perhatian adalah tingkat kemudahan bagi masyarakat untuk

mengakses dan memanfaatkan sarana dan prsarana olahraga yang

ada. Tujuan yang ingin dicapai adalah untuk menciptakan

sebanyak-banyaknya sarana dan prsarana olahraga dan dapat

memfasilitasi masyarakat dalam berolahraga. pemanfaatannya

harus mengedepankan kemudahan untuk mengakses tanpa harus

dipersulit dengan prosedur tertentu dan lebih baik lagi jika sarana

dan prsarana tersebut bisa diakses secara gratis oleh masyarakat.

Contohnya yaitu sebuah lapangan terbuka, alun-alun dan Car Free

Day yang dapat menampung banyak orang untuk beraktifitas

olahraga.

Berbagai kemajuan pembangunan dibidang keolahragaan

bermuara pada meningkatnya budaya dan prestasi olahraga. Hal ini

antara lain ditunjukkan oleh tumbuhnya kesadaran masyarakat dalam

melakukan kegiatan olahraga terutama dalam lingkup satuan pendidikan

mengalami peningkatan sebagaimana ditunjukkan oleh data Susenas

2003 dan 2006 bahwa persentase penduduk berumur 10 tahun ke atas

yang melakukan olahraga di sekolah meningkat dari 54,1% pada tahun

2003 menjadi 58,2% pada tahun 2006. Partisipasi masyarakat dalam

melakukan kegiatan olahraga semakin meningkat yang ditunjukkan

dengan peningkatan partisipasi masyarakat pada Indeks Pembangunan

Olahraga (SDI) dari 0,345 pada tahun 2005 menjadi 0,422 pada tahun

2006, dimana pengukuran SDI sesungguhnya meliputi perkembangan

banyaknya anggota masyarakat suatu wilayah yang melakukan kegiatan

olahraga. Luasnya tempat yang diperuntukkan untuk kegiatan

berolahraga bagi masyarakat dalam bentuk lahan, bangunan, atau ruang

72

terbuka yang digunakan untuk kegiatan berolahraga dan dapat diakses

oleh masyarakat luas, kebugaran jasmani yang merujuk pada

kesanggupan tubuh untuk melakukan aktivitas tanpa mengalami

kelelahan yang berarti, serta jumlah pelatih olahraga, guru Pendidikan

Jasmani dan Kesehatan (Penjaskes), dan instruktur olahraga dalam suatu

wilayah tertentu. Hal ini tercermin dari tingkat kemajuan pembangunan

olahraga Indonesia yang hanya mencapai 34 % (Sports Development

Index) pada tahun 2004. Indeks ini dihitung berdasarkan angka indeks

partisipasi, ruang terbuka, sumber daya manusia, dan kebugaran.

Dalam rangka menumbuhkan budaya olahraga untuk

meningkatkan kemajuan pembangunan olahraga, beberapa permasalahan

yang harus diatasi adalah belum terwujudnya peraturan perundang-

undangan tentang keolahragaan, rendahnya kesempatan untuk

beraktivitas olahraga karena semakin sempitnya ruang terbuka serta

sarana dan prasarana untuk berolahraga, dan lemahnya koordinasi lintas

lembaga dalam hal penyediaan ruang publik untuk sarana dan prasarana

olahraga bagi masyarakat umum dan tempat permukiman.

Kegiatan fisik (physical activity) yang dilakukan secara teratur

dan berkesinambungan merupakan kegiatan yang sangat bermanfaat

untuk menjaga dan meningkatkan kesehatan. Dari sekian banyak jenis

dan bentuk kegiatan fisik, kegiatan olahraga merupakan bentuk kegiatan

fisik yang paling banyak memiliki kelebihan. Selain berfungsi untuk

menjaga dan meningkatkan kesehatan, olahraga juga berfungsi sebagai

aktivitas untuk rekreasi atau hiburan dan sekaligus sebagai sarana untuk

mencapai prestasi. Sejalan dengan itu, sebagai salah satu upaya dalam

rangka peningkatan kualitas hidup dan kesehatan masyarakat serta

pembudayaan perilaku hidup sehat masyarakat, pemerintah

menyelenggarakan berbagai program untuk meningkatkan partisipasi

olahraga di masyarakat.

Badan Pusat Statistik dalam penelitiannya menemukan bahwa

struktur demografis masyarakat, pengetahuan masyarakat tentang

73

manfaat olahraga, selera atau preferensi, ketersediaan fasilitas olahraga

dan lingkungan tempat tinggal merupakan faktor-faktor internal yang

mempengaruhi partisipasi masyarakat dalam berolahraga. Prestasi atlet

terutama pada event internsional, motivasi guru/pelatih, dan intervensi

pemerintah juga diyakini sebagai faktor eksternal yang dapat merangsang

tumbuhnya partisipasi masyarakat untuk berolahraga, Dirjen Olahraga

(2004). Penelitian lainnya memperlihatkan bahwa ketersediaan prasarana

mempengaruhi motivasi mereka melakukan olahraga. Hal ini sekaligus

menunjukkan bahwa partisipasi aktif olahraga tidak cukup hanya

menyerahkan sepenuhnya kepada kemauan orang per orang saja, akan

tetapi perlu didorong dengan menciptakan situasi yang memungkinkan

masyarakat melakukan olahraga, misalnya dengan memberikan sarana

dan prasarana yang memadai (Dirjen Olahraga 2004).

d. Perencanaan Profesional Arsitektur Sarana dan Prasarana Olahraga

Perencana profesional arsitektur sarana dan prsarana olahraga adalah

perencana yang memenuhi kriteria dan aturan organisasi profesi. Lingkup

tugas pengembangan profesi perencana menjadi perencana profesional sarana

dan prsarana olahraga dimulai dari pengembangan sebelum menjadi profesi,

mulai mendapatkan pengakuan sebagai profesional dan mengembangkan

profesional lebih tinggi kelasnya, antara lain sebagai berikut: (1) lingkup

keanggotaan organisasi profesi, dimana mendapatkan rekomendasi minmal

2 orang anggota profesional kelas A untuk menjadi anggota IAI DKI Jakarta

(belum profesional), (2) lingkup pengembangan kemampuan profesional,

dimana untuk mengembangkan diri menjadi profesi dan profesional

dibidangnya mengikuti persyaratan yang diberlakukan organisasi profesi

yaitu IAI DKI Jakarta dan Pemerintah Provinsi setempat, dan (3) lingkup

profesional dibidang perencana arsitektur sarana dan prsarana olahraga.

Pengembangan perencana profesional prsarana olahraga menjadi

suatu perencanaan yang profesional berdasarkan perkembangannya ternyata

melaui proses yang panjang. Salah satu tahap yang harus dilalui adalah

74

mendaftarkan diri terlebih dahulu sebagai anggota organisasi profesi yang

diminati (IAI DKI Jakarta, 1986). Misalnya sebagai perencana prfesional

dibidang arsitektur, Ikatan Arsitek Indonesia (IAI), Perencana Konstruksi,

Himpunan Ahli Konstruksi Indonesia (HAKI) atau Perencana Mekanikal dan

Elektrikal (PME), Himpunan Mekanikal dan Elektrikal (HME). Karena

dalam pokok bahasan ini dibatasi sebagai perencana arsitektur sarana dan

prsarana olahraga, berarti peminat harus mendaftarkan dirinya kepada

organisasi IAI.

Tahap berikutnya perencana sesuai peminatannya harus mengikuti

penataran sesuai kelasnya, yakni pemula masuk strata 1, apabila telah

berpengalaman minimal 2 kali merencanakan sarana dan prsarana olahraga

dapat mendaftarkan kembali untuk mengikuti strata 2 dan berhak

mendapatkan Sertifikat Ijin Bekerja Perencana Arsitektur (SIBP) C, yang

dikeluarkan untuk wilayah DKI Jakarta oleh Kepala Dinas Pengawas dan

Penataan Bangunan (P2B). Di sini perencana arsitektur sarana dan prsarana

olahraga sudah dapat dikatakan profesional. Selanjutnya setelah minimal dua

kali lagi berhasil merencanakan sarana dan prsarana olahraga yang telah

dinilai oleh Majelis IAI dan Tim Penasehat Arsitektur (TPAK) DKI Jakarta,

boleh mengajukan lagi untuk menempuh strata 3. Setelah lulus dari Tim

Majelis IAI, maka perencana berhak mendapatkan SIBP B dengan melunasi

kewajiban iuran anggota profesional dan kewajiban yang diberlakukan P2B,

maka SIBP B dapat dimiliki. Selanjutnya setelah setiap criteria menjadi

arsitek yang profesional dibidang perencana sarana dan prsarana olahraga

dilalui semakin tinggi strata yang diperoleh semakin berat tanggung jawabnya

dan sudah tentu makin besar imbalan yang didapat sesuai aturan organisasi

profesi atau IRTA (perhitungan imbalan jasa perencanaan bangunan-

bangunan gedung) yang telah diberlakukan IAI DKI Jakarta, (1986).

Selanjutnya apabila perencanaan sudah benar-benar profesional dan

minimal pernah menangani proyek-proyek skala besar/nasional, 1 kali saja

dan lolos dari penilaian Tim TPAK dan Tim Majelis IAI, maka perencana

berhak mendapatkan sertifikat SIBP A dari P2B, merupakan SIBP yang

75

paling tinggi. Dikatakan perencana arsitektur yang profesional dibidang

fasilitas olahraga harus sudah memiliki kemampuan mendiagnosis tugas-

tugas yang di bebankan.

Persyaratan-persyaratan perencanaan sarana dan prsarana olahraga

yang ditugaskan sudah harus menjadi bahan pertimbangnya, dan tidak

menjadi masalah dan hambatan setelah pekerjaan dimulai, antara lain sebagai

berikut: Legal aspek sudah tidak bermasalah: (a) Surat-surat tanah

bersertifikat, PBB lunas dibayar sesuai tahun yang sudah berjalan dan tidak

dalam keadaan sengketa; (b) Lokasi sesuai dengan peruntukkan tata ruang,

aksesbilitas tingkat kemudahan tinggi, tidak dalam lokasi yang rawan

bencana, aman, kondisi tanah tidak mudah longsor, konus (daya tahan tanah)

rendah tanah yang labil sulit untuk dibangun, tidak banjir bukan pantai yang

rawan tsunami dan keamanan iklim serta pengaruh kondisi alam lainnya; (c)

Terukur dengan luas yang memadai, dan diukur oleh stakholder atau pihak

terkait (Tata Kota dan BPN), serta diikuti keterangan rencana kota yang

berlaku jelas perutukannya, besaran lebar jalanya, garis sempadan, intensitas

bangunannya, ada rencana site dan rencana blok (block plan).

Secara teknik teknologis, rencana sarana dan prsarana olaharaga

secara profesional dipersiapkan:

(a) Desain perencanaan arsitektur sarana dan prsarana olahraga harus

direncanakan secara profesional, artinya telah mempertimbangkan

aspek wawasan identitas arsitektur, aspek penampilan sebagai

bangunan sarana dan prsarana olahraga memenuhi persyaratan

pemanfaatan sebagai kecabangan olahraga tertentu, aspek

lingkungan dan kondisi alam sekitarnya serta dampak multliplier

efek pembangunan maupun aspek ketahanan untuk pemeliharaan

& aspek keamanan bangunan

(b) Perhitungan konstruksi bagungan sarana dan prsarana olahraga

harus dapat dipertanggungjawabkan dengan mempertimbangkan

bahan bangunan yang dipergunakan serta keamanan teknik

pelaksanan pembangunannya.

76

(c) Dokumen kontrak harus dipersiapakan secara profesional. Artinya

secara keseluruhan terkoordinasi sejak kapan kegiatan perencanaan

dilakukan, kapan pelaksanaan dan pasca pembangunan bagaimana

operasionalisasi.

Pemanfaatan bangunan sarana dan prsarana olahraga di kelola juga

secara profesional. Pengembangan perencana profesional arsitektur sarana

dan prsarana olahraga ternyata satu disiplin keilmuan saja tidak cukup untuk

menangani perencanaan sarana dan prsarana olahraga secara nasional.

Pengalaman penulis membuktikan, ternyata ilmu yang berkaitan dengan

perencananaan arsitektur sarana dan prsarana olahraga secara nasional begitu

luas dan menarik untuk dipelajari, ditekuni dan di terapkan serta dapat

bermanfaat bagi bangsa dan umat manusia. Ternyata, menurut pernyataan

Sekjen PBB Kofianan dipembukaan konferensi pendidikan jasmani sedunia

di Thailand, bahwa olahraga sudah menjadi kebutuhan hidup manusia,

bahkan sebagai instrumen kesejahteraan paripurna.

Perencanaan arsitektur sarana dan prsarana olahraga yang ada saat ini

secara nasional dan profesional memang sudah baik dan professional

pengembangannya, namun masih secara incremental (sporadis). Nampaknya

secara konfrehensif selama Republik ini berdiri belum pernah disiapkanya

secara holistik dan konfrehensif (Ditjora Depdiknas, 2004). Oleh karena itu

untuk pengembangan perencanaan sarana dan prsarana olahraga secara

nasional masih diperlukan pula pengembangan perencana profesional

arsitektur sarana dan prsarana olahraga.

Adapun secara runtun dapat ditampilkan sebagai berikut : (1) Dari sisi

disiplin keilmuan teknik arsitektur, memerlukan teknik pengembangan

pengelolaan mekanisme perencanaan, maka diperlukan disiplin manajemen

konstruksi supaya perencanaan; (2) dapat terkelola dengan lancar, hambatan

dapat diminimalisir, penyelesaian dapat efektif dan efisien mengingat

cakupan perencanaan secara nasional memerlukan sinkronisasi dan tehnis

administrasi dan menejerial yang holistik, terpadu dengan stakholder (pihak

terkait); (3) Merencanakan sarana dan prsarana olahraga secara nasional

77

dengan dua disiplin: teknik arsitektur, teknik sipil dan manejemen saja masih

belum cukup, perencana harus mengembangkan profesionalisme kemampuan

dirinya dengan mempelajari ilmu keolahragaan dan pendidikan jasmani.

Berkaitan dengan ilmu olahraga, sehingga dapat digabungkan dengan ilmu

yang dimiliki penulis yaitu tenical architechture dan spatial planning serta

manajemen, hingga lengkap menjadi suatu disiplin olahraga dan teknik

arsitekur serta tata ruang (Sports Engineering); (4) Sebagai profesional yang

handal secara disiplin keilmuan dapat diasumsikan cukup, namun teknik

dilapangan masih memerlukan pengembangan wawasan bagi perencana

secara internasional, baru ada input (masukkan) untuk merencanakan lebih

profesional betul. Untuk menyiapkan perencanaan sarana dan prsarana

olahraga nasional yang konprehensif atau holistik membutuhkan proses

pengembangan perencana dengan waktu yang cukup memadai.

Perencana sarana dan prsarana olahraga yang profesional harus

memperhatikan mekanisme prosedur perencanaan sarana dan prasarana

olahraga nasional (Ditjora Depdiknas, 2004): (a) Aspek perencanaan macro

spatial planning harus memahami wawasan nusantara dan rencana tata ruang

nasional; (b) Aspek perencanaan meso arsitektur tata kawasan kota dan

lingkungan perencana harus memahami desain bangunan sarana dan prsarana

olahraga, mengingat ciri dari bangunan sarana dan prsarana olahraga dengan

bentangan panjang dan pemanfaatannya spesifik menurut kecabangan

olahraganya; (c) Aspek perencanaan mikro yaitu perencanaan teknik

konstruksi harus memahami perhitungan konstruksi beton, baja kayu dan

batu; (d) Aspek pelaksanaan pembangunan harus memahami administrasi

bangunan dan perijinan; (e) Aspek pembiayaan harus memahami analisa

rencana biaya dan alokasi pendanaan yang tepat guna serta berhasil guna,

dengan memperhatikan iptek olahraga dan material/bahan bangunan yang

dipergunakan; (f) Aspek pengawasan dan pengendalian harus mehami

menejemen konstruksi supaya pelaksanaan sesuai dengan perencanaan dan

desain arsitektur yang estetis konstruksi yang kokoh kuat dapat dipertangung

jawabkan serta terjangkau.

78

Ketersediaan perencana profesional sarana dan prsarana olahraga

kunci untuk mewujudkan pembangunan yang berkualitas dan professional.

Profesionalitas sumberdaya manusia perencana arsitektur sarana dan prsarana

olahraga sangat menetukan keberhasilan kualitas kerja yang professional.

Berpegang pada kode etik profesi yang telah ditetapkan oleh organisasi

profesi. Untuk menunjang peningktan kualitas kinerja perencana profesional

arsitektur sarana dan prsarana asilitas olahraga, maka disarankan untuk:

memiliki dan mengembangkan selalu keilmuan bidang teknik, olahraga dan

manajemen, serta tekun dan sabar. Untuk pengembangan profesionalitas

perlu mempersiapkan kemampuan dengan menambah pendidikan

pengembangan profesional, baik penjenjangan strata yang diselenggarakan

organisasi profesi maupun dengan pendidikan secara formal. Pendidikan

formal, memberi kesempatan seluas-luasnya bagi para perencana arsitektur

sarana dan prsarana olahraga yang berstatus pejabat, swasta dan masyarakat

seperti: strata pendidikan S1, S2 dan S3.

B. Penelitian Yang Relevan

Penelitian yang relevan dengan penitian yang dilaksanakan oleh peneliti

mengenai “Kebijakan Pemerintah Tentang Ketersediaan Sarana dan Prasarana

Olahraga” adalah penelitian yang dilakukan oleh:

1. Nama : Agus Kristiyanto

Judul : Kajian Fasilitas Olahraga Prestasi “Warisan” Penyelenggaraan

Pekan Olahraga Nasional (PON) XVII Tahun 2008 Di

Kalimantan Timur.

Tahun : 2010

Sumber : Buku Pembangunan Olahraga Untuk Kesejahteraan Rakyat Dan

Kejayaan Bangsa.

Penelitian tersebut bertujuan untuk menyusun sebuah kebijakan manajemen

berbasis keunggulan lokal. Dalam pembahasannya penelitian tersebut mengulas

tentang dasar yuridis Pengembangan sarana dan prasarana olahraga dan survey

kelayakan sarana dan prasarana olahraga prestasi “Warisan” penyelenggaraan Pekan

Olahraga Nasional (PON) XVII Tahun 2008 Di Kalimantan Timur.

79

Dari hasil penelitian tersebut, terungkap bahwa tersedianya sarana dan

prasarana olahraga merupakan prasyarat aksi dalam mendorong terlaksananya

aktivitas olahraga dikalangan masyarakat dan merupakan sebuah keharusan terutama

terkait dengan penyelenggaraan Event Olahraga Nasional seperti Pekan Olahraga

Pelajar Nasional (POPNAS), Pekan Olahraga Nasional (PON), bahkan jika

memungkinkan Sea Games dan Asian Games.

Dari hasil kajian yang dilakukan, terbukti adanya beberapa bentuk Kebijakan

Pemerintah yang mendukung dalam usaha penyediaan sarana dan prasarana olahraga

di setiap daerah. Selain itu, berdasarkan hasil analisis kelayakan pada 5 (lima) sarana

dan prasarana olahraga di Balikpapan, terungkap dimana sarana dan prasarana yang

tersedia bisa dibilang representatif dan memenuhi kriteria Standar Keolahragaan

Nasional. Kemudian dari data yang ada, dapat diartikan bahwa tingkat pendapatan

lebih besar dari biaya perawatan yang dikeluarkan dalam pengelolaan sarana dan

prasarana tersebut.

2 Nama : Arnold Meka

Judul : Kebijakan Koni Dalam Bidang Olahraga (Studi tentang usaha KONI

Surakarta dalam pencapaian prestasi bidang olahraga)

Tahun : 2011

Sumber : Skripsi (Jurusan Ilmu Administrasi, Fakultas Ilmu Sosial Dan Ilmu

Politik, Universitas Sebelas Maret Surakarta)

Penelitian tersebut bertujuan untuk mengetahui implementasi kebijakan yang

dilakukan KONI dan hal-hal yang mempengaruhi kebijakan tersebut dalam

pembinaan olahraga di Surakarta. Dari hasil kajian yang dilakukan diperoleh

kesimpulan bahwa Pemerintah Kota Surakarta melalui KONI telah

mengimplementasikan UU No.3 Tahun 2005 tentang Sistem Keolahragaan

Nasional kedalam berbagai upaya untuk pembinaan olahraga di kota Surakarta.

Dalam penelitian ini juga dijelaskan bahwa implementasi dari UU No.3 Tahun 2005

belum berjalan secara maksimal dimana masih terdapat kelemahan dalam pembinaan

dan pengawasan KONI kepada pengurus cabang olahraga. Pendanaan bidang

olahraga masih tertinggal dibanding daerah-daerah disekitarnya padahal Kota

Surakarta memiliki kondisi ekonomi yang cukup mendukung.

80

C. Kerangka Berfikir

Gambar 1. Bagan Kerangka Berfikir

Kebijakan Pemerintah Daerah tentang olahraga diwujudkan dalam bentuk

perundang-undangan atau Peraturan Daerah (PERDA), Peraturan Bupati (PERBUB),

Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD), Rencana Kerja

Pemerintah Daerah (RKPD), Rencana Strategis (Renstra) dan Instruksi yang

ditetapkan oleh pemerintah daerah yang bersangkutan yang mengatur salah satunya

tentang penyediaan sarana dan prasarana olahraga sebagaimana yang tercantum

dalam Undang-Undang Sistem Keolahragaan Nasional Nomor 3 tahun 2005.

Kebijakan Pemerintah

Daerah Tentang Olahraga

INSTRUKSI RKPD RPJMD

Perkembangan Olahraga di

Kabupaten Lombok Timur

4. Pemanfaatan

Sarana dan

Prasarana

Olahraga

1. Perencanaan

sarana dan

Prasarana

Olahraga

2. Realisasi

sarana dan

prasarana

Olahraga

3. Pengelolaan

Sarana dan

Prasarana

Olahraga

RENSTRA PERBUB PERDA

81

Kebijakan yang dibuat tersebut diantaranya mengatur tentang perencanaan sarana

dan prasarana olahraga, Realisasi penyediaan sarana dan prasarana olahraga,

pengelolaan sarana dan prasarana olahraga dan pemanfaatan sarana dan prasarana

olahraga. Proses implementasi kebijakan pemerintah dimulai dari adanya suatu

kebijakan yang telah siap dilaksanakan. Outcomes yang dihasilkan melalui proses

implementasi terdiri atas hasil segera kebijakan (policy effect) dan hasil akhir (policy

impact). Hasil segera dan dampak yang ditimbulkan suatu program sangat berguna

untuk menilai kinerja implementasi suatu program. Policy effect merupakan

pengaruh jangka pendek yang dihasilkan dari pelaksanaan kebijakan sedangkan

policy impact adalah sejumlah outcomes yang dihasilkan suatu program melalui

proses jangka panjang. Dampak akhir baru dapat diteliti dan diketahui hasilnya

setelah suatu program sekian lama dilaksanakan (Bambang S, 1994 : 139). Dengan

perencanaan dan mekanisme yang sudah ditetapkan dan dijalankan maka Outcomes

yang diharapkan dalam kebijakan ini yaitu tersedianya sarana dan prasarana olahraga

yang memadai dan dapat dipergunakan olaeh masyarakat umum di Kabupaten

Lombok Timur

Sebuah Kebijakan Pemerintah memerlukan penyusunan rencana yang baik

Hal-hal yang harus dijalankan untuk mendukung implementasi kebijakan tersebut,

misalnya dalam bentuk (Rencana Strategis). Rencana tersebut merupakan sebuah

proyek konkret yang akan dilaksanakan dalam suatu jangka waktu tertentu dimana

target-target harus dapat dipenuhi sesuai patokan yang sudah ditetapkan sebelumnya.

Dengan perencanaan yang baik maka diharapkan pemerintah daerah dapat

merealisasikannya dalam bentuk nyata, yaitu dengan membangun atau menyediakan

sarana dan prasarana olahraga yang memadai, sehingga terwujudnya ketersediaan

sarana dan prasarana olahraga di Lombok Timur. Dengan tersedianya sarana dan

prasarana olahraga maka masyarakat semakin terfasilitasi untuk berolahraga. Hal

tersebut diharapkan memberikan dampak positif bagi dunia olahraga di Kabupaten

Lombok Timur.

Dalam pengelolaan sarana dan prasarana olahraga, pada umumnya diserahkan

kepada lembaga-lembaga pemerintahan dari berbagai jenjang mulai dari tingkat

pusat sampai ketingkat daerah, bahkan tidak jarang dilimpahkan kepada pihak swasta

82

namun harus dalam pengawasan pemerintah secara ketat. Agar keberadaan sarana

dan prasarana tetap terjaga maka diperlukan juga adanya sebuah system pengelolaan

sarana dan prasarana olahraga yang baik. Tanpa adanya pengelolaan yang baik, maka

segala sarana dan prasarana yang ada tidak akan terawat dan pada akhirnya sarana

dan prasarana tersebut terbengkalai bahkan rusak. Maka dari itu, sebuah sistem

pengelolaan yang baik juga berperanan penting dalam implementasi kebijakan

pemerintah tentang sarana dan prasarana olahraga.

Sarana dan prasarana yang sudah tersedia semestinya dimanfaatkan sesuai

dengan kegunaannya. Kemudahan dalam mengakses dan memanfaatkan sarana dan

prasarana olahraga yang ada sebaiknya diimbangi dengan standar kualitas yang

memadai, sehingga dapat mendukung kemajuan dalam pencapaian prestasi olahraga

dan minat masyarakat untuk berolahraga mulai dari perkotaan sampai dengan

pelosok desa di Kabupaten Lombok Timur Provinsi Nusa Tenggara Barat.