BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Tanaman...

39
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Tanaman Jeringau Menurut Kardinan (2004) dalam Anonim (2008) bahwa jeringau merupakan tumbuhan dengan tinggi sekitar 75 cm. Tumbuhan ini biasa hidup di tempat yang lembab, batangnya basah, pendek, membentuk rimpang, dan berwarna putih kotor. Daunnya tunggal, bentuk lanset, ujung runcing, tepi rata, panjang 60 cm, lebar sekitar 5 cm, dan warna hijau. Bunga majemuk bentuk bonggol, ujung meruncing, panjang 20-25 cm terletak di ketiak daun dan berwarna putih. Jeringau dapat diperbanyak dengan cara setek batang, rimpang, atau dengan tunas-tunas yang muncul dari buku- buku rimpang. Jeringau mempunyai akar berbentuk serabut. Menurut Nugrahadi (2001) dalam Balafif (2011) bahwa klasifikasi ilmiah tanaman jeringau dalam adalah sebagai berikut: Kingdom : Plantae (Tumbuhan) Subkingdom : Tracheobionta (Tumbuhan berpembuluh) Super Divisi : Spermatophyta (Menghasilkan biji) Divisi : Magnoliophyta (Tumbuhan berbunga) Kelas : Liliopsida (Berkeping satu / monokotil) Sub Kelas : Arecidae Ordo : Arales Family : Acoraceae Genus : Acorus Spesies : Acorus calamus L.

Transcript of BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Tanaman...

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Tanaman Jeringau

Menurut Kardinan (2004) dalam Anonim (2008) bahwa jeringau merupakan

tumbuhan dengan tinggi sekitar 75 cm. Tumbuhan ini biasa hidup di tempat yang

lembab, batangnya basah, pendek, membentuk rimpang, dan berwarna putih kotor.

Daunnya tunggal, bentuk lanset, ujung runcing, tepi rata, panjang 60 cm, lebar sekitar

5 cm, dan warna hijau. Bunga majemuk bentuk bonggol, ujung meruncing, panjang

20-25 cm terletak di ketiak daun dan berwarna putih. Jeringau dapat diperbanyak

dengan cara setek batang, rimpang, atau dengan tunas-tunas yang muncul dari buku-

buku rimpang. Jeringau mempunyai akar berbentuk serabut.

Menurut Nugrahadi (2001) dalam Balafif (2011) bahwa klasifikasi ilmiah

tanaman jeringau dalam adalah sebagai berikut:

Kingdom : Plantae (Tumbuhan)

Subkingdom : Tracheobionta (Tumbuhan berpembuluh)

Super Divisi : Spermatophyta (Menghasilkan biji)

Divisi : Magnoliophyta (Tumbuhan berbunga)

Kelas : Liliopsida (Berkeping satu / monokotil)

Sub Kelas : Arecidae

Ordo : Arales

Family : Acoraceae

Genus : Acorus

Spesies : Acorus calamus L.

Gambar 1. Profil Tanaman Jeringau (Koleksi Pribadi, 2013)

Beberapa nama daerah dari jeringau adalah sebagai berikut:

Tabel 1. Nama daerah jeringau (Nugrahadi (2001) dalam Balafif (2011))

Daerah Nama

Tanaman Daerah Nama Tanaman

Malaysia

Indonesia

Aceh

Batak

Sunda

Madura

Flores

Makasar

Bugis

Gorontalo

Jerangau

Jeringau

Jeurunger

Jerango

Daringo

Djarango

Kaliraga

Kareango

Areango

Olumongo

Gayo

Nias

Jawa Tengah

Bali

Sasak

Minahasa

Ambon

Buru

Bolaang Mongondow

Jerango

Sarango

Dlingo

Jangu

Jeringo

Kalamunga

Ai Wahu

Bila

Koimbonga

Dalam pertumbuhannya, rimpang jeringau membentuk tunas ke kanan dan ke

kiri. Banyaknya cabang ditentukan oleh kesuburan tanah. Rimpang jeringau dalam

keadaan segar kira-kira sebesar jari kelingking sampai sebesar ibu jari, isinya

berwarna putih tetapi jika kering berubah menjadi berwarna merah muda sampai

kecoklatan (Anonim, 2008).

Gambar 2. Rimpang Jeringau (Koleksi Pribadi, 2013)

Menurut Onasis (2001) dalam Anonim (2008) bahwa bentuk rimpang agak

petak bulat beruas, dengan panjang ruas 1-3 cm, sebelah sisi akar batang memiliki

akar serabut. Kebanyakan dari akar ini tumbuh pada bagian bawah akar batangnya.

Bila umur tanaman lebih dari 2 tahun, akarnya dapat mencapai 60-70 cm. Bau akar

sangat menyengat (keras) seperti bau rempah atau bumbu lainnya. Rimpang jeringau

Jika diletakkan di lidah rasanya tajam, pedas, dan sedikit pahit tetapi tidak panas. Jika

rimpang dimemarkan, akan keluar bau yang lebih keras lagi karena rimpang jeringau

mengandung minyak atsiri.

2.1.2 Kandungan dan Manfaat Tumbuhan Rimpang Jeringau

Menurut Syahrial (2005) dalam Balafif (2011) bahwa komposisi minyak

rimpang jeringau terdiri dari asaron 82%, kolamenol (5%), kolamen 4%, kolameone

1%, metil eugenol 1%, dan eugenol 0,3%. Rimpang dan daun jeringau mengandung

saponin dan flavonoida. Menurut Onasis (2001) dalam Anonim (2008) bahwa

manfaat rimpang jeringau adalah campuran dalam industri makanan dan minuman,

bahan penyedap, pewangi, deterjen, sabun dan krem kecantikan. Menurut

Rimunandar (1988) dalam Anonim (2008) bahwa jeringau adalah tanaman yang

mengandung bahan kimia aktif pada bagian rimpang baik dalam bentuk tepung

maupun minyak yang dikenal sebagai minyak atsiri. Tanaman ini mudah tumbuh dan

dikembangbiakkan serta tidak beracun bagi manusia, karena secara tradisional

banyak digunakan sebagai obat sakit perut.

Jeringau adalah tumbuhan yang rimpangnya dijadikan bahan obat-obatan

(Rahmawati, 2004). Rimpang jeringau mempunyai banyak manfaat antara lain

sebagai obat penenang, obat lambung dan obat limpa disamping itu merupakan bahan

baku kosmetik (Soehardi, 2008). Menurut Nugrahadi (2001) dalam Balafif (2011)

bahwa rimpang jeringu berkhasiat sebagai obat anti muntah, dalam bentuk infus

dalam kelebihan asam lambung, demam, obat limpa, obat batuk dan pilek.

Menurut Agusta (2008) dalam Anonim (2008) bahwa dalam dosis yang

rendah jeringau dapat memberikan efek relaksasi pada otot dan menimbulkan efek

sedatif (penenang) terhadap sistem saraf pusat, karena senyawa asaron memiliki

struktur kimia mirip senyawa golongan amfetamin dan ekstasi. Namun jika jeringau

digunakan dalam dosis yang tinggi dan dalam jangka waktu yang lama, dapat

meningkatkan aktivitas mental (psikoaktif) bahkan potensial sebagai karsinogen jika

antibodi yang ada di dalam tubuh tidak bisa mengeliminasi efek karsinogen jeringau.

2.2 Flavonoid

Menurut Achmad (1986) bahwa flavonoid adalah suatu kelompok senyawa

fenol terbesar yang ditemukan di alam. Senyawa-senyawa ini merupakan zat warna

merah, ungu, biru, dan sebagian warna kuning ditemukan dalam tumbuh-tumbuhan.

2.2.1 Senyawa Flavonoid

Menurut Achmad (1986) bahwa flavonoid mempunyai kerangka dasar karbon

yang terdiri dari 15 atom karbon, dimana dua cincin benzen (C6) terikat pada suatu

rantai propan (C3) sehingga membentuk suatu susunan C6-C3-C6.

A

B

1

2

3

Gambar 3. Struktur Umum Flavonoid (Achmad, 1986)

Susunan ini dapat menghasilkan tiga jenis struktur, yakni 1,3-diarilpropan

atau flavonoid, 1,2-diaril propan atau isoflavonoid, 1,1-diarilpropan atau

neoflavonoid. Kelompok senyawa ini kemudian diberi nama flavonoid berasal dari

kata flavon, karena flavon adalah jenis yang paling besar jumlahnya dan paling

banyak ditemukan. Struktur dasar senyawa dapat dilihat pada gambar 4 berikut

A

B

1

2

3

A

B1

2

3

A

B

1 2

3

Flavonoid Isoflavonoid Neoflavonoid

Gambar 4. Struktur Dasar Flavonoid (Achmad, 1986)

Menurut Supriyati (2006) dan Sutjipto (2006) dalam Marlina (2008) bahwa

flavonoid merupakan senyawa fenol yang dimiliki oleh sebagian besar tumbuhan

hijau dan biasanya terkonsentrasi pada biji, buah, kulit buah, kulit kayu, daun dan

bunga.

Istilah “flavonoid” yang diberikan untuk senyawa-senyawa fenol ini berasal

dari kata flavon, yakni nama dari salah satu jenis flavonoid yang terbesar jumlahnya

dan juga lazim ditemukan. Senyawa-senyawa flavon ini mempunyai kerangka 2-

fenilkroman (Gambar 5), dimana posisi orto dari cincin A dan atom karbon yang

terikat pada cincin B dari 1,3-diarilpropan dihubungkan oleh jembatan oksigen,

sehingga membentuk suatu cincin heterosiklik yang baru (cincin C) (Waji dan

Sugrani, 2009).

O

A

B

5

6

7

81

2

3

4

1

2 3

4

56

Gambar 5. 2-fenilkroman (Flavan) (Waji dan Sugrani, 2009).

Senyawa-senyawa flavonoid terdiri atas beberapa jenis, bergantung pada

tingkat oksidasi dari rantai propan dan sistem 1,3-diarilpropan. Dalam hal ini, flavan

mempunyai tingkat oksidasi yang terendah sehingga senyawa ini dianggap sebagai

senyawa induk dalam tatanama senyawa-senyawa turunan flavon. Sebagian besar

flavonoid alam ditemukan dalam bentuk glikosida, dimana unit flavonoid terikat pada

suatu gula. Flavonoid dapat ditemukan sebagai mono-, di-, atau triglikosida, dimana

satu, dua, atau tiga gugus hidroksil dalam molekul flavonoid terikat oleh gula. (Waji,

dan Sugrani, 2009).

2.2.2 Klasifikasi Flavonoid

Menurut Usman (2002) dalam Mandjurungi (2006) dilihat dari tingkat

oksidasinya maka flavonoid dibedakan atas beberapa jenis yang memiliki tingkat

oksidasi rendah, sehingga senyawa ini dianggap senyawa induk dalam tatanama

senyawa turunan flavon. Berbagai jenis senyawa flavonoid utama dapat dilihat pada

gambar 6 dibawah ini:

O

O

O

O

OH

O

O

Flavon Flavonol Flavanon

O

CH

1

2 3

4

56

1

2

34

5

6

7

O

O

O

OH

Auron Dihidrokalkon Flavanonol

O

O

OH

O

OH

OH

Kalkon Katekin Leukoantosianidin

+

O

OH

+

O

O

A

B

Antosianidin Garam flavilium Flavan

Gambar 6. Jenis-jenis Flavonoid (Achmad, 1986)

Flavon, flavonol dan antosianidin adalah jenis flavonoid yang paling banyak

ditemukan di alam, sehingga seringkali dinyatakan sebagai flavonoid utama.

Sedangkan, jenis-jenis flavonoid yang tersebar di alam dalam jumlah yang terbatas

ialah kalkon, auron, katekin, flavanon, dan leukoantosianidin.

2.2.3 Identifikasi Flavonoid

Senyawa-senyawa flavonoid terdapat pada semua bagian tumbuhan tinggi

seperti bunga, daun, buah, kayu, akar, dan kulit kayu. Sebagian besar dari flavonoid

alam ditemukan dalam bentuk glikosida, dimana unit flavonoid terikat pada suatu

gula. Jika dihidrolisis dengan asam, maka suatu glikosida terurai kembali atau

komponen-komponennya menghasilkan gula dan alkohol (Mandjurungi, 2006).

Menurut Ahmad (1986) dalam Mandjurungi (2006) bahwa dari segi struktur,

senyawa-senyawa flavonoid turunan flavon dapat dianggap sebagai 2-arilkroman.

Oleh karena itu, sebagaimana kroman dan kumarin, flavonoid dapat dideteksi

berdasarkan warnanya dibawah sinar tampak atau sinar ultraviolet. Selain dengan

identifikasi reaksi warna, yang mana dengan pereaksi AlCl3 1% dalam etanol

menghasilkan warna kuning, pereaksi benedict menghasilkan warna biru, dan

pereaksi Willstatter menghasilkan warna merah.

2.2.4 Kelarutan Flavonoid

Aglikon flavonoid adalah polifenol dan karena itu mempunyai sifat kimia

senyawa fenol, yaitu bersifat agak asam sehingga dapat larut dalam basa, karena

mempunyai sejumlah hidroksil yang tak tersulih atau suatu gula. Flavonoid

merupakan senyawa polar dan umumnya flavonoid larut dalam pelarut polar seperti

etanol, metanol, butanol, aseton, dimetilsulfoksida (DMSO), dimetilformamida

(DMF), dan air (Mandjurungi, 2006). Menurut Markham (1988) dalam Mandjurungi

(2006) bahwa aglikon yang kurang polar seperti isoflavon, flavanon, flavon, dan

flavonol yang termetoksi cenderung lebih mudah larut dalam pelarut seperti eter dan

kloroform.

2.2.5 Karakterisasi Flavonoid

Menurut Achmad (1986) dalam Mahajani (2012) bahwa senyawa-senyawa

flavonoid terdapat dalam semua bagian tumbuhan tinggi, seperti bunga, daun, ranting,

buah, kayu, kulit kayu, dan akar. Akan tetapi, senyawa flavonoid tertentu seringkali

terkonsentrasi dalam suatu jaringan tertentu, misalnya antosianidin adalah zat warna

dari bunga, buah, dan daun.

Tabel 2. Reaksi warna dari berbagai jenis flavonoid

Golongan

Flavonoid

Reaksi Warna

NaOH H2SO4 Mg-HCl

Kalkon Jingga, Merah Jingga, Merah

Magneta

-

Dihidroksi

Kalkon

Tak berwarna-

Kuning muda

Tak berwarna-Kuning

muda

-

Auron Merah-ungu Merah

Magneta

-

Flavanon

Kuning/jingga

(dingin)

Merah/ungu (panas)

Jingga-merah tua

Merah

magneta,

ungu, biru

Flavon Kuning Kuning-jingga Kuning

Flavonol Kuning-jingga Kuning-jingga Merah-

magneta

Leukontasianin,

Antosianin dan

Proantosianidin

Kuning biru-ungu Merah tua

Kuning-jingga

Merah-merah

muda

Katekin Kuning-merah

Coklat Merah

-

Isoflavon Kuning Kuning Kuning

Isoflavonon Kuning Kuning Kuning

(Harbone (2006) dalam Mahajani (2012))

Karakterisasi kandungan kimia suatu tumbuhan pertama-tama harus diisolasi

dan dimurnikan, kemudian ditentukan terlebih dahulu golongannya barulah

ditentukan jenis senyawa dalam golongan tersebut. Senyawa tersebut harus diperiksa

dengan cermat, yakni harus membentuk bercak tunggal dalam beberapa sistem

KLT/KKt. Selain itu dapat juga ditentukan melalui uji warna, penentuan kelarutan,

bilangan Rf. Meskipun demikian, tidak dapat langsung disimpulkan sebelum

dilakukan identifikasi dengan spektrofotometer UV. Reaksi warna dari berbagai jenis

flavonoid dapat dilihat pada Tabel 2 (Mahajani, 2012).

2.2.6 Manfaat Flavonoid

Flavonoid termasuk senyawa fenolik alam yang potensial sebagai antioksidan

dan mempunyai bioaktivitas sebagai obat. Flavonoid dalam tubuh manusia berfungsi

sebagai antioksidan sehingga sangat baik untuk pencegahan kanker. Manfaat

flavonoid antara lain untuk melindungi struktur sel, meningkatkan efektivitas vitamin

C, antiinflamasi, mencegah keropos tulang dan sebagai antibiotik (Waji dan Sugrani,

2009).

Menurut Tuminah (2000) dalam Marlina (2008) bahwa selain untuk

antihiperglekimia flavonoid juga merupakan senyawa bioaktif yang berguna sebagai

antioksidan. Flavonoid yang terdapat dalam sayuran, teh, dan minuman dapat

mengurangi radikal bebas. Menurut Jawi (2007) dalam Marlina (2008) bahwa salah

satu komponen flavonoid dari tumbuh-tumbuhan yang dapat berfungsi sebagai

antioksidan adalah zat warna alami yang disebut antosianin, yang merupakan salah

satu zat antioksidan yang mampu mencegah berbagai jenis kerusakan akibat oxidative

stress. Menurut Darusman (2001) dalam Marlina (2008) bahwa senyawa flavonoid

juga dapat meningkatkan aktivitas enzim lipase.

2.3 Antioksidan

Menurut Rohdiana (2001) dan Sunarni (2005) dalam Sunardi (2007) bahwa

tubuh manusia tidak mempunyai cadangan antioksidan dalam jumlah berlebih,

sehingga jika terjadi paparan radikal berlebih maka tubuh membutuhkan antioksidan

eksogen. Adanya kekhawatiran akan kemungkinan efek samping yang belum

diketahui dari antioksidan sintetik menyebabkan antioksidan alami menjadi alternatif

yang sangat dibutuhkan.

2.3.1 Pengertian Antioksidan

Menurut Suhartono (2002) dalam Sunardi (2007) bahwa antioksidan adalah

senyawa kimia yang dapat menyumbangkan satu atau lebih elektron kepada radikal

bebas, sehingga radikal tersebut dapat diredam. Menurut Lindsay (1985) dalam

Suryani (2012) bahwa antioksidan adalah semua bahan yang dapat menghambat

oksidasi tanpa memperhatikan mekanismenya.

Antioksidan adalah substansi yang diperlukan tubuh untuk menetralisir

radikal bebas dan mencegah kerusakan yang ditimbulkan oleh radikal bebas terhadap

sel normal, protein dan lemak. Antioksidan menstabilkan radikal bebas dengan

melengkapi kekurangan elektron yang dimiliki radikal bebas, dan menghambat

terjadinya reaksi berantai dari pembentukan radikal bebas yang dapat menimbulkan

oksidative stress. Ada beberapa bentuk antioksidan, diantaranya vitamin, mineral dan

fitokimia. Antioksidan adalah suatu inhibitor yang bekerja menghambat oksidasi

dengan cara bereaksi dengan radikal bebas reaktif membentuk radikal bebas tak

reaktif yang relatif lebih stabil (Waji dan Sugrani, 2009). Menurut Dalimartha dan

soedibyo (1999) dalam Sunardi (2007) bahwa berdasarkan sumber perolehannya ada

dua macam antioksidan, yaitu antioksidan alami dan antioksidan buatan (sintetik).

2.3.2 Antioksidan Alami

Menurut Sunarni (2005) dalam Sunardi (2007) bahwa antioksidan alami

mampu melindungi tubuh terhadap kerusakan yang disebabkan spesies oksigen

reaktif, mampu menghambat terjadinya penyakit degeneratif serta mampu

menghambat peroksidase lipid pada makanan. Meningkatnya minat untuk

mendapatkan antioksidan alami terjadi beberapa tahun akhir ini. Antioksidan alami

umumnya mempunyai gugus hidroksi dalam struktur molekulnya. Menurut Markham

(1988) dalam Daud dkk., (2011) bahwa antioksidan alami yang terkandung dalam

tumbuhan merupakan senyawa fenolik atau polifenolik yang dapat berupa golongan

flavonoid, turunan asam sinamat, kumarin, tokoferol, dan asam-asam polifungsional.

Golongan flavonoid yang memiliki aktivitas antioksidan meliputi flavon, flavonol,

flavanon, isoflavon, katekin dan kalkon.

Dari sejumlah penelitian tanaman obat dilaporkan bahwa banyak tanaman

obat yang mengandung antioksidan dalam jumlah besar. Efek antioksidan terutama

disebabkan karena adanya senyawa fenol seperti flavonoid, asam fenolat. Biasanya

senyawa-senyawa yang memiliki aktivitas antioksidan adalah senyawa fenol yang

mempunyai gugus hidroksi yang tersubstitusi pada posisi orto dan para terhadap

gugus –OH dan –OR (Waji dan Sugrani, 2009).

Menurut Suryani (2012) contoh-contoh antioksidan alami:

Flavonoid merupakan senyawa yang terdiri dari 15 atom karbon yang

umumnya tersebar di dunia tumbuhan umumnya meliputi: flavon, flavonol, isoflavon,

kateksin, dan kalkon. Turunan asam sinamat yang meliputi asam kafeat, asam ferulat,

asam klorogenat, dan lain-lain. Senyawa antioksidan alami ini bersifat

multifungsional dan dapat bereaksi sebagai pereduksi, penangkap radikal bebas,

pengkelat logam, peredam terbentuknya singlet oksigen. Tokoferol merupakan

antioksidan alami yang dapat ditemukan disetiap minyak tanaman. Tokoferol

memiliki karakteristik berwarna kuning terang, cukup larut dalam lipida karena rantai

C yang panjang, tokoferol yang terkenal adalah α tokoferol dikenal sebagai sumber

vitamin E.

Menurut Cahyadi (2006) dalam Anonim () bahwa salah satu antioksidan

adalah vitamin C (L-asam askorbat). Menurut Winarsi (2007) dalam Anonim () Asam

askorbat mudah mengalami kerusakan jika terkena cahaya dan suhu tinggi. Asam

askorbat dalam keadaan murni berbentuk Kristal putih dengan berat molekul 176,13

dan rumus molekul C6H8O6. Antioksidan asam askorbat mampu bereaksi dengan

radikal bebas, kemudian mengubahnya menjadi radikal askorbil. Senyawa radikal

terakhir ini akan berubah menjadi askorbat atau dehidroaskorbat. Asam askorbat

dapat bereaksi dengan oksigen teraktivasi seperti anion super oksida dan radikal

hidroksil. Pada konsentrasi rendah asam askorbat dapat bereaksi dengan radikal

hidroksil menjadi askorbil yang sedikit reaktif sementara pada kadar tinggi asam ini

tidak bereaksi.

2.3.3 Antioksidan Sintesis

Antioksidan sintesis adalah senyawa antioksidan yang dapat diperoleh dari

hasil sintesis reaksi kimia dan telah diproduksi untuk tujuan komersil.

Menurut Suryani (2012) contoh-contoh antioksidan sintesis:

Butil Hidroksil Anisol (BHA) memiliki antioksidan yang baik pada lemak

hewan dalam sistem makanan panggang, namun relative tidak efektif pada minyak

tanaman. BHA bersifat larut lemak dan tidak larut air. Berbentuk padat putih dan

dijual dalam bentuk tabelt atau serpih, bersifat volatile sehingga berguna untuk

penambahan ke materi pengemas. Butil Hidroksi Toluen memiliki sifat serupa

dengan BHA, akan member efek sinrgis bila dimanfaatkan bersama BHA, berbentuk

Kristal padat putih dan digunakan secara luas karena relatif murah. Propel Gallat

mempunyai karakteristik sensitif terhadap panas, terdekomposisi pada titik cairnya

148oC, dapat membentuk kompleks warna dengan ion metal, sehingga kemampuan

antioksidannya rendah. Propel gallat memiliki sifat berbentuk Kristal padat putih,

sedikit tidak larut lemak tetapi larut air, serta memberi efek sinergis dengan BHA dan

BHT. TBHQ dikenal sebagai antioksidan paling efektif untuk lemak dan minyak,

khusunya minyak tanaman. TBHQ memiliki kemampuan antioksidan yang baik pada

penggorengan tetapi rendah pada pembakaran. TBHQ dikenal berbentuk bubuk putih

sampai cokelat terang, mempunyai kelarutan cukup pada lemak dan minyak, tidak

membentuk kompleks warna dengan Fe dan Cu tetapi dapat berubah pink dengan

adanya basa.

2.3.4 Manfaat Antioksidan

Antioksidan merupakan zat penetral radikal bebas dalam tubuh. Antioksidan

ini akan menghentikan reaksi berantai radikal bebas dalam tubuh bergantung pada

jenis antioksidannya. Antioksidan primer akan bekerja mencegah pembentukan

radikal bebas baru dengan cara mengubah radikal bebas yang ada menjadi molekul

yang kurang mempunyai dampak negatif. Contoh antioksidan primer adalah

superoksida dismustase (SOD), glutation peroksidase (GPx), dan protein pengikat

logam. Kedua adalah antioksidan sekunder yang bekerja dengan cara mengkhelat

logam yang bertindak sebagai pro-oksidan, menangkap radikal dan mencegah

terjadinya reaksi berantai. Contohnya: vitamin E, vitamin C, b-karoten. Terakhir

antioksidan tersier yang bekerja memperbaiki kerusakan biomolekul yang disebabkan

radikal bebas. Contohnya enzim-enzim yang memperbaiki DNA dan metionin

sulfosida reduktase (Putra, 2008).

Menurut Tahir dkk., (2003) dalam Sunardi (2007) bahwa penggunaan

antioksidan atau antiradikal saat ini semakin meluas seiring dengan semakin besarnya

pemahaman masyarakat tentang peranannya dalam menghambat penyakit degeneratif

seperti penyakit jantung, arterioscleroses, kanker, dan gejala penuaan. Masalah-

masalah ini berkaitan dengan kemampuan antioksidan untuk bekerja sebagai

inhibitor (penghambat) reaksi oksidasi oleh radikal bebas reaktif yang menjadi salah

satu pencetus penyakit-penyakit di atas.

Menurut Tahir dkk., (2003) dalam Sunardi (2007) bahwa fungsi utama

antioksidan digunakan sebagai upaya untuk memperkecil terjadinya proses oksidasi

dari lemak dan minyak, memperkecil terjadinya proses kerusakan dalam makanan,

memperpanjang masa pemakaian dalam industri makanan, meningkatkan stabilitas

lemak yang terkandung dalam makanan serta menjaga hilangnya kualitas sensori dan

nutrisi. Lipid peroksidasi merupakan salah satu faktor yang cukup berperan dalam

kerusakan selama dalam penyimpanan dan pengolahan makanan.

Menurut Rohdiana (2001) dalam Sunardi (2007) bahwa antioksidan dalam

bahan makanan dapat berasal dari kelompok yang terdiri atas satu atau lebih

komponen pangan, substansi yang dibentuk dari reaksi selama pengolahan atau dari

bahan tambahan pangan yang khusus diisolasi dari sumber-sumber alami dan

ditambahkan ke dalam bahan makanan. Adanya antioksidan alami maupun sintetis

dapat menghambat oksidasi lipid, mencegah kerusakan, perubahan dan degradasi

komponen organik dalam bahan makanan sehingga dapat memperpanjang umur

simpan. Menurut Sofia dkk., (2006) dalam Sunardi (2007) bahwa tubuh manusia

menghasilkan senyawa antioksidan, tetapi jumlahnya seringkali tidak cukup untuk

menetralkan radikal bebas yang masuk ke dalam tubuh. Sebagai contoh tubuh

manusia dapat menciptakan Glutathione, salah satu antioksidan yang sangat kuat.

Tubuh memerlukan asupan vitamin C sebesar 1000 mg untuk menghasilkan

glutathione ini. Kekurangan antioksidan dalam tubuh membutuhkan asupan

antioksidan dari luar. Keseimbangan antara antioksidan dan radikal bebas menjadi

kunci utama penjagaan stress oksidatif dan penyakit-penyakit kronis yang dihasilkan.

2.4 Radikal Bebas

Radikal bebas adalah atom, molekul, atau senyawa yang tidak stabil dan

sangat reaktif karena memilki satu atau lebih elektron tak berpasangan pada orbital

terluarnya. Untuk mencapai kestabilan atom atau molekul, radikal bebas akan

bereaksi dengan molekul disekitarnya untuk memperoleh pasangan elektron. Reaksi

ini akan berlangsung terus menerus dalam tubuh dan bila tidak dihentikan akan

menimbulkan berbagai penyakit seperti kanker, jantung, katarak, penuaan dini, serta

penyakit degeneratif lainnya. Oleh karena itu tubuh memerlukan suatu substansi

penting yaitu antioksidan yang mampu menangkap radikal bebas tersebut. Sehingga

tidak dapat menginduksi suatu penyakit (Waji dan Sugrani, 2009).

Radikal bebas dapat berasal dari polutan lingkungan, radiasi, zat-zat kimia,

racun, makanan cepat saji, dan makanan yang digoreng pada suhu tinggi (Suryani,

2012). Karena secara kimia, molekulnya tidak berpasangan, radikal bebas cenderung

untuk bereaksi dengan molekul sel tubuh. Kemudian menimbulkan senyawa tidak

normal (radikal bebas baru yang lebih reaktif) dan memulai reaksi berantai yang

dapat merusak sel-sel penting. Beberapa komponen tubuh yang rentan terhadap

serangan radikal bebas antara lain: kerusakan DNA, membran sel, protein, lipid,

peroksida, proses penuaan, dan autoimun manusia. Dalam bidang medis, diketahui

bahwa radikal bebas merupakan akibat berbagai keadaan patologis seperti penyakit

liver, jantung koroner, kanker, diabetes, katarak, penyakit hati, dan berbagai proses

penuaan dini (Putra, 2008).

Contoh radikal bebas adalah superoksida (O2-

), hidroksil (OH-), nitroksida

(NO), hidrogen peroksida (H2O2), asam hipoklorit (HOCl), dan lain-lain. Derajat

kekuatan tiap radikal bebas ini berbeda, dan senyawa paling berbahaya adalah radikal

hidroksil (OH-) karena memiliki reaktivitas paling tinggi. Radikal bebas diatas

terdapat dalam tubuh dengan berbagai cara, tetapi secara umum timbul akibat

berbagai proses biokimia dalam tubuh, berupa hasil samping dari proses oksidasi,

atau pembakaran sel yang berlangsung pada waktu bernafas, metabolisme sel,

olahraga yang berlebihan, peradangan, atau ketika tubuh terpapar polusi lingkungan

seperti asap kendaraan, asap rokok, bahan pencemar dan radiasi matahari (Putra,

2008).

2.5 Metode DPPH

. Menurut Prakash (2001) bahwa salah satu cara untuk menguji aktivitas suatu

senyawa sebagai zat antioksidan adalah mereaksikannya dengan reagen DPPH secara

spektrofotometri. Metode DPPH tidak spesifik untuk komponen antioksidan tertentu,

tetapi untuk semua senyawa antioksidan dalam sampel. pengukuran kapasitas total

antioksidan tertentu, dapat membantu memahami sifat fungsional suatu makanan.

Menurut Prakash (2001) Metode DPPH digunakan secara luas untuk menguji

kemampuan senyawa yang berperan sebagai pendonor elektron atau hidrogen.

Metode DPPH merupakan metode yang dapat mengukur aktivitas antioksidan baik

dalam pelarut polar maupun non polar. Beberapa metode lain terbatas mengukur

komponen yang terlarut dalam pelarut yang digunakan dalam analisis. Metode DPPH

mengukur semua komponen antioksidan baik larut dalam lemak maupun dalam air.

Menurut Miller dkk., (2000) dalam Yulia (2007) bahwa metode DPPH merupakan

salah satu metode uji aktivitas antioksidan yang sederhana dengan menggunakan 1,1-

difenil-2-pikrilhidrazil (DPPH) sebagai senyawa pendeteksi. Menurut Simanjuntak

dkk., (2004) dalam Yulia (2007) bahwa DPPH (1,1-difenil-2-pikrilhidrazil) adalah

senyawa radikal bebas yang stabil yang dapat bereaksi dengan atom hidrogen yang

berasal dari suatu antioksidan membentuk DPPH tereduksi. Menurut Kubo dkk.,

(2002) dalam Yulia (2007) bahwa reaksi antara DPPH dengan senyawa antioksidan

dapat dilihat pada gambar 7.

+ O2N

NO2

NO2

N N A + O2N

NO2

NO2

HN N

AH

radikal bebas yang reaktif radikal bebas baru yang tidak reaktif

(a) (b)

Gambar 7. Struktur DPPH: (a) DPPH bentuk radikal, (b) DPPH bentuk

tereduksi. Sumber : Molyneux, 2003

Pengukuran kapasitas antioksidan dengan metode DPPH menggunakan

spektrofotometer dengan panjang gelombang 517 nm. Penurunan absorbansi

menunjukkan adanya aktivitas scavenging (aktivitas antioksidan).

Menurut Kardono dan Dewi (1998) dalam Yulia (2007) bahwa metode

aktivitas kemampuan mereduksi digunakan untuk menentukan antioksidan total pada

sampel.

Parameter yang biasa digunakan untuk menginterpretasikan hasil uji aktivitas

antioksidan dengan peredaman radikal DPPH adalah inhibition concentration (IC50)

dan AEAC (Ascorbic Acid Equivalent Antiokxidant Capacity). Nilai IC50 merupakan

bilangan yang menunjukan konsentrasi ekstrak yang mampu menghambat aktivitas

radikal sebesar 50% (Molyneux, 2003), sedangkan nilai AEAC digunakan untuk

membandingkan sampel dengan vitamin C (sebagai antioksidan standar) . Nilai

AEAC menyatakan mg asam askorbat yang setara dengan satu gram sampel kering.

2.6 Ekstraksi

Menurut Depkes RI (1986) dalam Reniza (2003) bahwa ekstraksi adalah

proses penyarian konstituen dalam simplisia dengan menggunakan cairan penyari

yang sesuai dan metode yang tepat, sehingga konstituen yang diinginkan dapat tersari

dengan sempurna. Efektifitas ekstraksi dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain

ukuran partikel bahan yang disari, tekstur bahan atau jaringan simplisia, faktor fisika

seperti suhu, tekanan, kelarutan, jenis dan polaritas cairan penyari dan teknik

penyarian yang digunakan. Menurut Depkes RI (1986) dalam Reniza (2003) bahwa

dalam proses ekstraksi, memperkecil ukuran partikel dimaksudkan untuk

memperbesar luas permukaan total dari simplisia yang akan disari. Hal ini akan

memperbesar terjadinya kontak antara partikel simplisia dengan cairan penyari, yang

selanjutnya dapat memperbesar efek ekstraksi.

Menurut Harbone (1996) dalam Reniza (2003) bahwa metode ekstraksi

dikelompokkan menjadi dua yaitu ekstraksi sederhana dan ekstraksi khusus. Ekstraksi

sederhana terdiri atas: (a) Maserasi yaitu metode ekstraksi dengan cara merendam

sampel dengan larutan penyari berdasarkan waktu tertentu dengan atau tanpa

pengadukkan sehingga simplisia menjadi lunak; (b) Perkolasi yaitu metode ekstraksi

yang dilakukan dengan cara mengalirkan cairan penyari melalui serbuk simplisia di

dalam perkolator sampai senyawa kimia tersari; (c) Reperkolasi yaitu perkolasi

dimana perkolat pertama (hasil perkolasi) digunakan untuk menyari simplisia di

dalam perkolator sampai senyawa kimia tersari; (d) Evakolasi yaitu perkolasi dengan

pengurangan tekanan udara; (e) Diakolasi yaitu perkolasi dengan penambahan

tekanan udara. Menurut Harbone (1996) dalam Reniza (2003) bahwa ekstraksi khusus

yaitu : (a) sokletasi yaitu metode ekstraksi yang dilakukan secara berkesinambungan

untuk menyari simplisia kering dengan menggunakan larutan penyari yang bervariasi;

(b) arus balik yaitu metode ekstraksi yang dilakukan secara berkesinambungan

dimana simplisia dan larutan penyari saling bertemu melalui gerakan aliran yang

berlawanan; (c) ultrasonik yaitu metode ekstraksi dengan menggunakan alat yang

menghasilkan frekuensi bunyi atau getaran 25-100 kHz.

Menurut Harbone (1996) dalam Reniza (2003) bahwa faktor yang

mempengaruhi berhasilnya proses ekstraksi adalah mutu dari pelarut yang digunakan.

Ada dua pertimbangan utama dalam pemilihan pelarut yang akan digunakan untuk

menyari, yaitu harus memiliki daya larut yang tinggi dan pelarut tersebut tidak

berbahaya atau tidak beracun.

2.6.1 Maserasi

Menurut Hamdani (2011) dalam Mahajani (2012) bahwa maserasi merupakan

proses ekstraksi menggunakan pelarut diam atau dengan beberapa kali pengocokkan

pada suhu ruangan. Pada dasarnya metode ini dengan cara merendam sampel dengan

sekali-kali dilakukan pengocokkan. Umumnya perendaman dilakukan 24 jam dan

selanjutnya pelarut diganti dengan pelarut baru. Ada juga maserasi kinetik yang

merupakan metode maserasi dengan pengadukan secara sinambung tapi yang ini agak

jarang dipakai.

2.6.2 Prinsip Maserasi

Menurut Hamdani (2011) dalam Mahajani (2012) bahwa penyarian zat aktif

yang dilakukan dengan cara merendam serbuk simplisia dalam cairan penyari yang

sesuai tiga hari pada temperatur kamar terlindung dari cahaya, cairan penyari akan

masuk ke dalam sel melewati dinding sel. Isi sel akan larut karena adanya perbedaan

konsentrasi antara larutan di dalam sel dengan di luar sel. Larutan yang

konsentrasinya tinggi akan terdesak keluar dan diganti oleh cairan penyari dengan

konsentrasi rendah (proses difusi). Peristiwa tersebut berulang sampai terjadi

keseimbangan konsentrasi antara larutan di luar sel dan di dalam sel. Selama proses

maserasi dilakukan pengadukan dan penggantian cairan penyari selama 1 x 24 jam.

Endapan yang diperoleh dipisahkan dan filtratnya dipekatkan.

2.7 Kromatografi

Kromatografi pertama kali diperkenalkan oleh Michael Tawest (1906)

seorang ahli botani dari Rusia. Dalam percobaannya dia berhasil memisahkan klorofil

dan pigmen-pigmen warna lain dalam ekstrak tumbuhan dengan menggunakan serbuk

kalsium karbonat yang diisikan ke dalam kolom kaca dan petroleum eter sebagai

pelarut. Proses pemisahan ini diawali dengan menempatkan larutan cuplikan pada

permukaan atas kalsium karbonat, kemudian dialirkan pelarut petroleum eter.

Hasilnya berupa pita-pita berwarna yang terlihat sepanjang kolom sebagai hasil

pemisahan komponen-komponen dalam ekstrak tumbuhan. Dari pita-pita berwarna

tersebut muncul istilah kromatografi yang bersal dari kata “chroma” dan “grafhein”.

Dalam bahasa yunani kedua kata tersebut berarti “warna” dan “menulis”. Dalam

perkembangan selanjutnya timbulnya warna bukan lagi prasyarat mutlak untuk

metode pemisahan secara kromatografi (Soebagio dkk., 2003).

2.7.1 Pengertian Kromatografi

Pengertian kromatografi menyangkut metode pemisahan yang didasarkan atas

distribusi diferensial komponen sampel diantara dua fasa. Menurut pengertian ini

kromatografi selalu melibatkan dua fasa, yaitu fasa diam (stationary phase) dan fasa

gerak (gerak phase). Fasa diam bisa berupa padatan atau cairan yang terikat pada

permukaan padatan (kertas atau adsorben), sedangkan fasa gerak bisa berupa cairan

disebut eluen atau pelarut, atau gas pembawa yang inert. Gerakan fasa gerak ini

mengakibatkan terjadinya migrasi diferensial komponen-komponen dalam sampel

(Soebagio dkk., 2003). Komponen yang dipisahkan harus larut dalam fasa gerak dan

harus mempunyai kemampuan untuk berinteraksi dengan fasa diam dengan cara

melarut di dalamnya, teradsorpsi atau bereaksi secara kimia (penukar ion). Pemisahan

terjadi berdasarkan perbedaan migrasi zat-zat yang menyusun suatu sampel. Hasil

pemisahan dapat digunakan untuk keperluan identifikasi (analisis kualitatif),

penetapan kadar (analisi kuantitatif), dan pemurnian suatu senyawa (pekerjaan

preparatif) (Soebagio dkk., 2003).

Keuntungan pemisahan dengan metode kromatografi dibandingkan dengan

metode pemisahan lainnya ialah: (a) dapat digunakan untuk sampel dan konstituen

yang sangat kecil (semi mikro dan makro); (b) cukup selektif terutama untuk

senyawa-senyawa organik multi komponen; (c) proses pemisahan dapat dilakukan

dalam waktu yang relatif singkat; (d) seringkali murah dan sederhana, karena

umumnya tidak memerlukan alat yang mahal dan rumit (Soebagio dkk., 2003).

Metode pemisahan secara kromatografi terus berkembang dengan peralatan

yang lebih modern, dengan hasil pemisahan yang lebih selektif, akurat dan dapat

digunakan untuk sampel dengan jumlah yang sangat kecil (Soebagio dkk., 2003).

2.7.2 Jenis-Jenis Pemisahan Dengan Metode Kromatografi

Jenis-jenis pemisahan dengan metode kromatografi dapat diklasifikasikan ke

dalam beberapa cara, misalnya berdasarkan jenis fasa yang digunakan, mekanisme

pemisahannya, teknik pengembangan sampelnya. Tabel 3 akan lebih memperjelas

klasifikasi tersebut (Soebagio dkk., 2003).

Tabel 3. Klasifikasi Metode Kromatografi (Soebagio dkk., 2003).

No Fasa Gerak Fasa Diam Mekanisme Teknik Pengembangan

Sampel

1.

2.

3.

4.

Gas

Gas

Cairan

Cairan

Cairan

Padatan

Cairan

Padatan

Adsorpsi

Partisi

Adsorpsi

Partisi

Eksklusi

Penukar Ion

Kolom

Planar

Kolom

Kolom

Kolom

Elusi

Frontal

Pendesakan Elusi

Elusi Bergradien

Berdasarkan mekanisme pemisahannya dikenal 4 macam jenis kromatografi

yaitu: (a) kromatografi adsorpsi; (b) kromatografi partisi; (c) kromatografi penukar

ion; (d) dan kromatografi eksklusi. Pada kromatografi adsorpsi, fasa diam berupa

padatan dan fasa geraknya dapat berupa cairan atau gas. Zat terlarut diadsorpsi oleh

permukaan partikel padat. Contoh jenis kromatografi ini adalah kromatografi lapis

tipis (KLT) (Soebagio dkk., 2003).

Pada kromatografi penukar ion mekanisme pemisahannya terjadi berdasarkan

kesetimbangan pertukaran ion. Fasa diam berupa padatan resin sedangkan fasa

geraknya berupa cairan. Emberlit merupakan contoh resin yang diperdagangkan

untuk proses pembuatan air minum. Resin tersebut berfungsi untuk menghilang ion-

ion yang tidak dikehendaki dalam air minum (Soebagio dkk., 2003). Kromatografi

eksklusi merupakan jenis kromatografi yang teknik pemisahannya bekerja atas dasar

ukuran molekul zat terlarut. Molekul-molekul zat terlarut dengan ukuran lebih besar

dari pori-pori padatan fasa diam akan bertahan. Contoh jenis kromatografi ini adalah

kromatografi filtrasi gel (Soebagio dkk., 2003).

Ditinjau dari pengembangan sampel dikenal kromatografi elusi, kromatografi

analisi frontal; kromatografi pergeseran dan kromatografi dengan analisis gradient.

Pengembangan ialah memperlakukan cuplikan sampel dengan fasa gerak agar

komponen-komponen yang dikehendaki terpisah dari komponen-komponen lainnya

(Soebagio dkk., 2003). Dalam kromatografi elusi proses pemisahan terjadi karena

molekul-molekul komponen cuplikan didorong melalui kolom oleh penambahan

pelarut segar sebagai fasa gerak yang disebut eluen. Pemisahan terjadi karena

perbedaan migrasi (diferential migration) zat-zat terlarut dalam fasa gerak.

Pengembangan dengan teknik elusi paling banyak digunakan dalam kromatografi

karena mudah dilakukan (Soebagio dkk., 2003).

Pada kromatografi analisis frontal larutan cuplikan dalam fasa gerak dialirkan

terus menerus terhadap zat perngadsorpsi (fasa diam) dalam suatu kolom. Tiap

komponen mempunyai harga koefisien distribusi yang berbeda dan kolom

mempunyai kapasitas yang berbeda dalam menahan komponen yang ada. Komponen

tertahan paling lemah akan keluar lebih dahulu daripada komponen lainnya (Soebagio

dkk., 2003). Pada teknik pergeseran atau teknik pemindahan (pendesakan) digunakan

fasa gerak aktif. Fasa gerak aktif ini akan mendesak molekul-molekul komponen

yang terikat kurang kuat pada adsorben. Molekul-molekul komponen yang tertahan

kuat oleh fasa diam akan mendesak atau memindahkan keluar molekul-molekul

komponen yang tertahan kurang kuat oleh fasa diam (Soebagio dkk., 2003).

Dalam jenis kromatografi dengan teknik elusi gradient digunakan fasa gerak

(eluen) yang bervariasi. Variasi fasa gerak ini dapat berupa tingkatan pH dan susunan

atau komposisi fasa gerak. Dengan kata lain pada teknik ini digunakan lebih dari zat

pengelusi, dari tingkatan yang paling jelek sampai yang terbagus (Soebagio dkk.,

2003).

2.8 Kromatografi Lapis Tipis (KLT atau TLC = Thin Layer Chromatography)

Kromatografi jenis ini mirip dengan kromatografi kertas. Bedanya kertas

digantikan lembaran kaca atau plastik yang dilapisi dengan lapisan tipis adsorben

seperti alumina, silika gel, selulosa atau materi lainnya. Kromatografi lapis tipis lebih

bersifat reprodusibel (bersifat boleh ulang) daripada kromatografi kertas (Soebagio

dkk., 2003).

2.8.1 Pengertian Kromatografi Lapis Tipis (KLT)

Fasa diam KLT terbuat dari serbuk halus dengan ukuran 5 sampai 50 µm.

Serbuk halus ini dapat berupa suatu adsorben, suatu penukar ion, suatu pengayak

molekul atau dapat merupakan penyangga yang dilapisi suatu cairan. Untuk membuat

lapisan tipis perlu dibuat bubur (slurry) berair dari serbuk halus tadi. Zat pengikat

seperti gips, barium sulfat, polivinil alkohol atau kanji perlu ditambahkan untuk

membantu pelekatan lapisan tipis tadi pada papan penyangga (kaca, plastik atau

aluminium) secara merat, sehingga diperoleh tebal lapisan 0,1-0,3 mm. lapisan tipis

adsorben ini diaktifkan dengan cara pengeringan di dalam oven pada suhu 110oC

selama beberapa jam (Soebagio dkk., 2003).

Bahan adsorben sebagai fasa diam dapat digunakan silika gel, alumina, dan

serbuk selulosa. Parikel silika gel mengandung gugus hidroksil dipermukaannya yang

akan membentuk ikatan hidrogen dengan molekul-molekul polar.

2.8.2 Fasa Mobil KLT

Perimbangan untuk pemilihan pelarut pengembang (eluen) umumnya sama

denga pemilihan eluen untuk kromatografi kolom. Dalam kromatografi adsorbsi

pengelusi eluen naik sejalan dengan polaritasnya (misal dari heksana aseton

alkohol air). Eluen pengembang dapat berupa pelarut tunggal dan campuran

pelarut dengan susunan tertentu. Pelarut-pelarut pengembang harus mempunyai

kemurnian yang tinggi. Terdapatnya sejumlah kecil air atau zat pengotor lainnya

dapat menghasilkan kromatogram yang tidak diharapkan (Soebagio dkk., 2003).

2.8.3 Pengembangan Kromatogram

Teknik pengembangan dalam KLT sama dengan kromatografi kertas. Proses

pengembangan umumnya lebih cepat, memerlukan waktu 10 menit hingga 1 jam

lebih. Pengembangan 5 menit dapat dilakukan secara sempurna dengan menggunakan

kaca obyek miroskopik sebagai papan KLT. Pemisahan pendahuluan dengan cara ini

enak digunakan untuk menentukan kondisi optimum pengembangan. Cara ini untuk

mengurangi terjadinya ekoran dengan hasil pemisahan yang lebih tajam.

Penggunaannya terutama untuk ukuran sampel dengan rentangan 10-100 µg. Noda

atau bercak sampel akan mempunyai diameter 2-5 mm, jika digunakan larutan sampel

1-10 µL dengan kadar 1% (Soebagio dkk., 2003).

2.8.4 Deteksi Noda

Deteksi noda KLT terkadang lebih mudah dibandingkan dengan kromatografi

kertas karena dapat digunakan teknik-teknik umum yang lebih banyak. Noda tidak

berwarna atau tidak berpendar jika dikenai sinar ultraviolet dapat ditampakkan

dengan cara mendedahkan papan pengembang pada uap iod. Uap iod akan

berinteraksi dengan komponen-komponen sampel baik secara kimia atau berdasarkan

kelarutan membentuk warna-warna tertentu (Soebagio dkk., 2003). Pada saat ini

tersedia di pasaran berbagai lapisan tipis yang sudah terpasang pada papan penyangga

sehingga siap pakai. Untuk memudahkan pendeteksian noda tersedia lapisan adsorben

KLT yang dimasuki zat warna pendar fluor. Jika diperlakukan dengan sinar

ultraviolet akan nampak noda-noda gelap, dimana sampel noda mengalami

perpendaran pada papan penyangga terfluorisensi (Soebagio dkk., 2003). Menurut

Harbone (1996) dalam Reniza (2003) bahwa hasil KLT dapat dikatakan baik bila

noda yang terbentuk berada pada nilai selang Rf 0,3-0,9. Nilai Rf adalah

perbandingan jarak tempuh senyawa dengan jarak tempuh pelarut.

Suatu teknik pendeteksian yang biasa dilakukan untuk senyawa-senyawa

organik adalah dengan penyemprotan larutan H2SO4. Langkah ini kemudian diikuti

dengan pemanasan untuk mengarangkan dan mengembangkan noda-noda hitam.

Untuk keperluan analisa kuantitatif noda dapat dikerok, kemudian diekstrak dengan

pelarut polar tertentu. Kadar analit yang diinginkan diperiksa secara instrumental dari

larutan hasil ekstraksi (Soebagio dkk., 2003). Tehnik kromatografi lapis tipis

dikembangkan oleh Stahl (1985) dengan menghamparkan penyerap pada lempeng

gelas, sehingga terbentuk lapis tipis. KLT adalah suatu metode pemisahan, dimana

lapisan yang memisahkan terdiri atas bahan berbutir-butir (fase diam), yang

ditempatkan pada penyangga berupa pelat gelas, logam atau bahan yang cocok

(Reniza, 2003).

Menurut gritter (1991) dala Reniza (2003) KLT digunakan untuk pemisahan

analitik preparatif. KLT analitik dipakai pada tahap permulaan pemisahan suatu

cuplikan, sedangkan KLT preparatif hanya dilakukan jika diperlukan fraksi tertentu

dari suatu campuran. Menurut Winarno dkk. (1980) dalam Reniza (2003) bahwa KLT

memiliki penerapan keuntungan yaitu pemisahan dapat dilakukan dengan cepat, zat-

zat yang bersifat asam atau basa kuat dapat digunakan, analisis dapat dilakukan lebih

sensitif dengan alat sederhana sehingga penggunaannya mudah.

2.8.5 Menotolkan Cuplikan

Menurut Gritter (1991) dalam Mahajani (2012) bahwa cuplikan yang akan

dikromatografi harus dilarutkan di dalam pelarut yang agak nonpolar untuk ditotolkan

pada lapisan. Pada umumnya, dipakai larutan 0,1-1%. Pelarut yang digunakan pada

umumnya mempunyai titik didih antara 50-100 oC. Pelarut demikian mudah ditangani

dan mudah menguap dari lapisan. Menurut Gritter (1991) dalam Mahajani (2012)

bahwa penotolan dilakukan dengan memakai kapiler halus yang dibuat dari pipa kaca

yang menyerupai peniti. Cuplikan berupa larutan, harus ditotolkan sekitar 8-10 mm

dari salah satu ujung plat KLT terlapisi sempurna. Beberapa kali penotolan dapat

dilakukan pada tempat yang sama asal saja lapisan kering dulu sebelum penotolan

berikutnya, dan sebanyak tiga kali bercak cuplikan dapat ditotolkan pada satu plat.

Hanya satu cuplikan yang dikromatografi, dianjurkan untuk menotolkannya dengan

tiga konsentrasi yang berbeda. Bercak yang berasal dari cuplikan dengan konsentrasi

terendah akan tampak tajam dan pembentukan ekor kurang. Bercak yang berasal dari

cuplikan yang konsentrasinya lebih besar akan memberikan informasi mengenai

cemaran sesepora di dalam cuplikan.

Menurut Gritter (1991) dalam Mahajani (2012) bahwa pelarut yang dipakai

untuk penotolan harus betul-betul dihilangkan dari lapisan sebelum kromatografi, jika

perlu dengan penyemprot udara panas atau pengering rambut listrik. Pelarut yang

digunakan atau sering dikombinasikan dalam kromatografi lapis tipis adalah n-

heksana, petroleum eter, karbon tetraklorida, eter, kloroform, etil asetat, asam asetat

glacial, aseton, etanol, metanol, dan air.

2.8.6 Perhitungan Rf

Menurut Wiryawan (2011) dalam Mahajani (2012) bahwa data yang diperoleh

dari analisis dengan KLT adalah nilai Rf, nilai Rf berguna untuk identifikasi suatu

senyawa. Nilai Rf suatu senyawa dalam sampel dibandingkan dengan nilai Rf dari

senyawa murni. Nilai Rf didefinisikan sebagai perbandingan jarak tempuh oleh

senyawa pada permukaan fase diam dibagi dengan jarak yang ditempuh oleh pelarut

sebagai fasa gerak.

Rf = jarak tempuh senyawa

jarak tempuh pelarut

2.8.7 Kromatografi Kolom

Kromatografi kolom merupakan teknik kromatografi yang paling awal

ditemukan. Ditinjau dari mekanismenya kromatografi kolom merupakan

kromatografi serapan atau adsorpsi. Kromatografi kolom digolongkan ke dalam

kromatografi cair-padat (KCP) kolom terbuka (Soebagio dkk., 2003). Peralatan utama

kromatografi sederhana terdiri dari kolom dan labu erlenmeyer penampung eluen.

Kolom umumnya terbuat dari pipa kaca dengan ukuran bervariasi tergantung kepada

keperluannya. Umumnya ukuran panjang kolom minimal 10 kali diameter pipa kaca

yang digunakan. Kolom dilengkapi dengan kran untuk mengatur aliran pelarut. Diatas

kran dipasang wol kaca (glass wool) untuk menahan fasa diam (Soebagio dkk.,

2003).

Fasa diam berupa adsorben yang tidak boleh larut dalam fasa gerak, ukuran

partikel fasa diam harus seragam. Zat pengotor yang terdapat pada fasa diam dapat

menyebabkan adsorpsi tidak reversibel. Sebagai fasa diam dapat digunakan alumina,

silika gel, arang, bauksit, magnesium karbonat, kalsium karbonat, pati, selulosa, gula,

dan tanah diatom. Pengisian fasa diam ke dalam kolom dapat dilakukan dengan cara

kering dan cara basah. Dalam cara basah, fasa diam diubah dulu menjadi bubur

(slurry), dengan pelarut yang akan digunakan sebagai fasa gerak, kemudian baru

diisikan ke dalam kolom (Soebagio dkk., 2003). Fasa gerak pada kromatografi kolom

dapat berupa pelarut tunggal atau campuran beberapa pelarut dengan komposisi

tertentu. Pelarut dapat merupakan pelarut polar dan pelarut non polar. Umumnya

senyawa non polar dengan berat molekul kecil lebih cepat meninggalkan fasa diam

(Soebagio dkk, 2003).

Dalam pelaksanaan pemisahan dengan teknik kromatografi kolom, pertama-

tama sampel yang akan dipisahkan dilarutkan dalam pelarut yang sesuai. Sampel ini

kemudian diletakkan di bagian atas kolom yang sudah berisi fasa diam (adsorben).

Fasa gerak kemudian dialirkan pelan-pelan dan dibiarkan mengalir melalui kolom

tersebut. Pada saat fasa gerak mengalir sepanjang kolom, fasa gerak akan membawa

campuran komponen ke bawah. Kesetimbangan dinamis antara komponen yang

teradsorbsi pada fasa diam dengan komponen yang terlarut dalam fasa gerak akan

terjadi selama fasa gerak mengalir ke bawah. Tetapan kesetimbangannya disebut

koefisien distribusi. Karena setiap komponen dalam campuran mempunyai koefisien

distribusi yang berbeda, maka kecepatan migrasinya juga berbeda. Perbedaan

kecepatan migrasi inilah yang menyebabkan terjadi pemisahan komponen-komponen

dalam campuran. Komponen-komponen yang terpisah nampak sebagai pita-pita

dalam fasa diam yang selanjutnya masing-masing pita dapat didorong keluar kolom

dengan penambahan fasa gerak, ditampung, dipisahkan, diidentifikasi (Soebagio

dkk., 2003). Pemisahan dengan metode kromatografi kolom merupakan metode

pemisahan yang baik untuk pemisahan campuran dalam jumlah besar (lebih dari 1

gram) dalam perkembangan selanjutnya, terutama untuk sampel yang sangat kecil

metode kromatografi kolom yang semula merupakan kromatografi cair,

dikembangkan untuk kromatografi gas dan kromatografi cair kinerja tinggi (KCKT).

Pengembangan ini dilakukan antara lain dengan digunakannya: (a) adsorben yang

lebih kecil dan lebih halus; (b) tekanan dari suatu pompa untuk mendorong pelarut;

(c) detektor untuk mendeteksi baik secara kualitatif maupun kuantitatif senyawa-

senyawa terelusi; (d) dan cara-cara pengemasan baru adsorben dalam kolom

(Soebagio dkk., 2003).

Menurut Gritter (1991) dalam Reniza (2003) bahwa tujuan kromatografi

kolom adalah memisahkan komponen cuplikan menjadi pita atau fraksi yang lebih

sederhana, ketika cuplikan itu bergerak melalui media. Ukuran kolom yang

digunakan sangat beragam, tetapi biasanya panjang kolom yang digunakan sekurang-

kurangnya sepuluh kali garis tengah kolom. Perbandingan panjang terhadap lebar

ditentukan oleh mudah sukarnya pemisahan, sedangkan ukuran kolom dan penyerap

yang digunakan ditentukan oleh bobot campuran yang akan dipisahkan. Menurut

Scenk (1978) dalam Reniza (2003) bahwa pada kromatografi kolom, fase diam akan

berinteraksi dengan sampel dan tiap komponen akan diadsorbsi oleh pelarut oleh

adsorben pada tingkat tertentu. Adsorben yang digunakan adalah alumina, silika gel,

pati dan sebagainya. Kromatografi ini dilakukan pada tekanan sekitar satu atmosfer

dengan diameter dalam kolom 1-5 cm. Teknik pemisahan dilakukan dengan

memasukkan sampel secara hati-hati ke dalam kolom dan elusi terjadi secara lambat

mulai dari 30 menit sampai beberapa jam.

Menurut Scenk (1978) dalam Reniza (2003) bahwa kecepatan bergeraknya zat

dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain: (a) Daya serap zat penyerap yaitu

besarnya suatu zat tertahan oleh penyerap didalam kolom. Suatu senyawa yang

diserap lemah akan bergerak lebih cepat daripada yang diserap kuat; (b) Sifat pelarut;

(c) Suhu dan sistem kromatografi. Pemisahan sebaiknya dilakukan pada suhu tetap

untuk mencegah terjadinya perubahan dalam komposisi pelarut yang disebabkan

penguapan. Menurut Adnan (1997) dalam Reniza (2003) bahwa pelarut mempunyai

peranan penting dalam menentukan baik buruknya pemisahan. Pelarut yang mampu

menjalankan elusi terlalu cepat tidak akan mampu melakukan pemisahan yang

sempurna. Sebaliknya elusi yang tidak terlalu lambat akan menyebabkan waktu

retensi yang terlalu lama. Menurut Gritter (1991) bahwa ada tiga pendekatan yang

dilakukan untuk memperoleh pelarut yang cocok untuk kromtografi kolom, yaitu

melalui penelusuran pustaka, mencoba menerapkan data kromatografi lapis tipis,

pada pemisahan dengan kolom dan pemakaian elusi yang umum mulai dari pelarut

yang nonpolar sampai pelarut yang lebih polar.

2.9 Spektrofotometer UV-Vis

Menurut Seran (2011) dalam Mahajani (2012) bahwa spektrofotometer UV-

Vis merupakan gabungan antara spektrofotometer UV dan Visibel. Pada

spektrofotometer UV-Vis menggunakan dua buah sumber cahaya berbeda yakni

sumber cahaya UV dan sumber cahaya visibel. Spektrofotometer UV-Vis merupakan

spektrofotometer berkas ganda sedangkan pada spektrofotometer Vis ataupun UV

termasuk spektrofotometer berkas tunggal. Pada spektrofotometer berkas ganda

blanko dan sampel dimasukkan atau disinari secara bersamaan, sedangkan

spektrofotometer berkas tunggal blanko dimasukkan atau disinari secara terpisah. Zat

yang dapat dianalisis dengan spektrofotometer UV-Vis yaitu zat dalam bentuk larutan

dan zat yang tidak berwarna maupun berwarna. Jenis spektroskopi UV-Vis terutama

berguna untuk analis kuantitatif langsung misalnya kromofor, nitrat, nitrit, dan

kromat sedangkan secara tak langsung misalnya ion logam transisi.

Pada spektrofotometri digunakan alat yang disebut spektrofotometer. Adapun

prinsipnya menggunakan radiasi elektromagnetik (REM) yakni sinar yang digunakan

pada sinar ultraviolet dan sinar visibel dapat dianggap sebagai energi yang merambat

dalam bentuk gelombang. Adapun yang diukur pada spektrofotometri adalah nilai

absorban (A) yakni adanya absorpsi pada panjang gelombang maksimum yang

kemudian dihitung konsentrasinya. Metode ini disebut metode basah karena sampel

yang digunakan adalah larutan dimana harus diketahui batas konsentrasi terkecil

sampel yang diukur (Nurfaisyah, 2011).

Menurut Creswell dkk., (2005) dalam Mahajani (2012) bahwa spektrum

ultraviolet senyawa biasanya diperoleh dengan melewatkan cahaya memiliki panjang

gelombang tertentu (cahaya monokrom ekawarna) melalui larutan encer senyawa

tersebut dalam pelarut yang tidak menyerap misalnya air, etanol, dan heksana.

Menurut Creswell dkk., (2005) bahwa spektrofotometri ultraviolet berguna pada

penentuan struktur molekul organik pada analisis kuantitatif. Untuk sistem

spektrofotmetri UV-Vis paling banyak tersedia dan paling populer digunakan.

Menurut Riyadi (2009) dalam Mahajani (2012) bahwa kemudahan metode ini adalah

dapat digunakan baik untuk sampel berwarna juga sampel tak berwarna.

Menurut Harbone (1987) dalam Mahajani (2012) bahwa spektrum serapan

kandungan tumbuhan dapat diukur dalam larutan yang sangat encer dengan

pembanding blanko pelarut serta menggunakan spektrofotometri yang merekam

otomatis. Senyawa tak berwarna diukur pada jangka 200 sampai 400 nanometer (nm),

senyawa berwarna pada jangka 200 sampai 700 nm. Panjang gelombang serapan

maksimum dan minimum pada spektrum serapan yang diperoleh direkam (dalam

nm), demikian juga dengan kekuatan absorbansi (keterserapan) (atau kerapatan optik)

pada maksimum dan minimum yang khas. Pengukuran spektrum yang demikian itu

penting pada identifikasi kandungan kimia, yaitu untuk memantau eluat dari

kromatografi sewaktu pemurnian untuk mendeteksi golongan senyawa tertentu,

misalnya poliasitilena, pada waktu penyaringan ekstrak kasar tumbuhan. Menurut

Sjahid (2008) dalam Mahajani (2012) mengemukakan bahwa spektrofotometer UV-

Vis dapat digunakan untuk membantu mengidentifikasi jenis flavonoid dan

menentukan pola oksigenasi. Di samping itu, kedudukan gugus hidroksil dan fenol

bebas pada inti flavonoid dapat ditentukan dengan menambahkan pereaksi diagnostik

ke dalam larutan cuplikan dan mengamati pergeseran puncak serapan yang terjadi.

Dengan demikian, secara tidak langsung cara ini berguna untuk menentukan

kedudukan gula atau metil yang terikat pada salah satu gugus hidroksi fenol

(Markham, 1988).

Tabel 4. Rentangan Serapan Spektrum UV-Vis Flavonoid

Pita II (nm) Pita I (nm) Jenis flavonoid

250-280

250-280

250-280

245-275

275-295

230-270

(rendah)

230-270

(rendah)

270-280

310-350

330-360

350-385

310-330 bahu

kira-kira 320 puncak

300-330 bahu

340-390

Kekuatan 380-430 rendah

Kekuatan 465-560 rendah

Flavon

Flavonol (3-OH tersubstitusi)

Flavonol (3-OH bebas)

Isoflavon

Isoflavon (5-deoksi-5,7-

dioksigenasi)

flavanon dan dihidro flavonol

Khalkon

Auron

Antosianidin dan antosianin

Markham (1988) dalam Mahajani (2012)

2.9.1 Spektrofotometer IR

Menurut Riyadi (2009) dalam Mahajani (2012) bahwa daerah inframerah dan

spektrum elektronegatif meliputi panjang gelombang kurang lebih antara 0,70-300

µm (12.000-10-1

), akan tetapi untuk penggunaan pengukuran serapan terbatas pada

daerah antara 4.000-670 cm-1

(2,5-15µm). Pada spektro inframerah meskipun bisa

digunakan untuk mengidentifikasi gugus fungsi pada suatu senyawa, terutama

senyawa organik. Setiap serapan pada panjang gelombang tertentu menggambarkan

adanya suatu gugus fungsi spesifik. Menurut Harbone (1987) dalam mahajani (2012)

daerah pada spektrum inframerah di atas 1200 cm-1

menunjukkan spektrum atau

puncak yang disebabkan oleh getaran ikatan kimia atau gugus fungsi dalam molekul

yang ditelaah. Daerah dibawah 1200 cm-1

menunjukkan pita yang disebabkan oleh

getaran seluruh molekul, dan karena kerumitannya dikenal sebagai daerah „sidik jari‟.

Tabel 5. Serapan Khas Beberapa Gugus Fungsi

Gugus Jenis Senyawa Daerah Serapan (cm-1

)

C-H Alkana 2850-2960, 1350-1470

C-H Alkena 3020-3080, 675-870

C-H Aromatic 3000-3100, 675-870

C-H Alkuna 3300

C=C Alkena 1640-1680

C=C Aromatic (cincin) 1500-1600

C-O Alkohol, eter, asam karboksilat, ester 1080-1300

C=C Aldehida, keton, asam karboksilat,

ester

1690-1760

O-H Alkohol, fenol (monomer) 3610-3640

O-H Alkohol, fenol (ikatan H) 2000-3600

O-H Asam Karboksilat 3000-3600

N-H Amina 3310-3500

C-N Amina 1180-1360

-NO2 Nitro 1515-1560, 1345-1385

Harbone (1987) dalam Mahajani (2012)

Spektroskopi inframerah membantu dalam mengidentifikasi macam ikatan

yang terdapat dalam suatu senyawa. Dengan mengetahui ikatan kovalen yang ada dan

mana yang tidak maka dapat kita perkirakan gugus fungsional yang ada atau tidak ada

dalam suatu struktur. Misalnya, bila suatu senyawa mempunyai ikatan O-H, maka

senyawa dapat berupa asam karboksilat (RCO2H), alkohol (ROH), atau suatu fenol

(ArOH). Spektrum inframerah adalah grafik dari presentase transmitan dengan

kenaikan panjang gelombang atau penurunan frekuensi (Fessenden & Fessenden,

1997).

Ada persyaratan agar molekul dapat menyerap inframerah. Persyaratan

tersebut adalah bahwa vibrasi dan rotasi molekul harus disertai perubahan netto

momen dipolnya (net change in dipole moment). Bila kondisi ini terpenuhi, maka

medan listrik bolak balik dari sinar akan dapat berinteraksi dengan molekul yang

dapat menyebabkan perubahan dalam gerakan vibrasi dan rotasinya.