BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 State of The Art Review. BAB II.pdf · output daya yang maksimal. Panel...

25
5 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 State of The Art Review Hanif M., M.Ramzam, dan M. Rahman dalam tulisannya yang berjudul Studying Power Output of PV Solar Panels at Different Temperatures and Tilt Angles di Pakistan. Percobaan dilakukan terhadap panel surya untuk mencapai maksimum output daya, kekuatan output panel surya PV diperiksa dengan kemiringan yang berbeda, sudut (0°, 20°, 35°, 50° dan 90°) dan temperatur yang berbeda (15°C hingga 45°C) dari panel surya PV. Panel surya PV menunjukkan output daya yang maksimum pada sudut kemiringan 35° dan pada suhu 15°C. Output daya PV surya panel akan menurun ketika sudut kemiringan meningkat dari 35° sampai 90° atau ketika sudut kemiringan menurun dari 35° sampai 0°. Disimpulkan bahwa panel surya harus dipasang di sudut kemiringan 35° (sama dengan lintang Jamrud, Khyber Agency, Pakistan) untuk mendapatkan hasil output daya yang maksimal. Panel surya juga harus di pasang di tempat-tempat yang memiliki ruang udara agar proses pendinginan solar panel terjadi melalui konveksi alami (Hanif, 2012). Muchammad, Eflita Yohana, dan Budi Heriyanto dalam tulisannya tentang Pengaruh Suhu Permukaan Photovoltaic Module 50 Watt Peak Terhadap Daya Keluaran Yang Dihasilkan Menggunakan Reflektor Dengan Variasi Sudut Reflektor 0°, 50°, 60°, 70°, 80°. Energi matahari dapat dimanfaatkan sebagai sumber energi alternatif yang potensial karena energinya yang sangat besar serta ramah lingkungan. Alat yang dapat dapat digunakan untuk mengkonversi secara langsung cahaya matahari menjadi listrik disebut photovoltaic. Pada penelitian ini diujikan Photovoltaic module tanpa reflektor pada posisi yang tetap/horizontal terhadap bumi, dan pengukuran terhadap Photovoltaic module yang diberi reflector dengan variasi sudut 50°, 60°, 70°, 80°. Hasil pengujian menunjukkan bahwa kenaikan suhu diikuti dengan kenaikan daya dan efisiensi. Daya maksimal

Transcript of BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 State of The Art Review. BAB II.pdf · output daya yang maksimal. Panel...

5

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 State of The Art Review

Hanif M., M.Ramzam, dan M. Rahman dalam tulisannya yang berjudul

Studying Power Output of PV Solar Panels at Different Temperatures and Tilt

Angles di Pakistan. Percobaan dilakukan terhadap panel surya untuk mencapai

maksimum output daya, kekuatan output panel surya PV diperiksa dengan

kemiringan yang berbeda, sudut (0°, 20°, 35°, 50° dan 90°) dan temperatur yang

berbeda (15°C hingga 45°C) dari panel surya PV. Panel surya PV menunjukkan

output daya yang maksimum pada sudut kemiringan 35° dan pada suhu 15°C.

Output daya PV surya panel akan menurun ketika sudut kemiringan meningkat

dari 35° sampai 90° atau ketika sudut kemiringan menurun dari 35° sampai 0°.

Disimpulkan bahwa panel surya harus dipasang di sudut kemiringan 35° (sama

dengan lintang Jamrud, Khyber Agency, Pakistan) untuk mendapatkan hasil

output daya yang maksimal. Panel surya juga harus di pasang di tempat-tempat

yang memiliki ruang udara agar proses pendinginan solar panel terjadi melalui

konveksi alami (Hanif, 2012).

Muchammad, Eflita Yohana, dan Budi Heriyanto dalam tulisannya tentang

Pengaruh Suhu Permukaan Photovoltaic Module 50 Watt Peak Terhadap Daya

Keluaran Yang Dihasilkan Menggunakan Reflektor Dengan Variasi Sudut

Reflektor 0°, 50°, 60°, 70°, 80°. Energi matahari dapat dimanfaatkan sebagai

sumber energi alternatif yang potensial karena energinya yang sangat besar serta

ramah lingkungan. Alat yang dapat dapat digunakan untuk mengkonversi secara

langsung cahaya matahari menjadi listrik disebut photovoltaic. Pada penelitian ini

diujikan Photovoltaic module tanpa reflektor pada posisi yang tetap/horizontal

terhadap bumi, dan pengukuran terhadap Photovoltaic module yang diberi

reflector dengan variasi sudut 50°, 60°, 70°, 80°. Hasil pengujian menunjukkan

bahwa kenaikan suhu diikuti dengan kenaikan daya dan efisiensi. Daya maksimal

6

yang dicapai yaitu pada pengujian menggunakan reflektor sudut 70 derajat sebesar

53,67 Watt dengan Efisiensi 15,66% pada pukul 11:45 WIB (Muchammad, 2010).

J Zorrilla Casanova, M. Piliougin, dkk dalam tulisannya mengenai

Akumulasi debu pada permukaan modul fotovoltaik mengurangi radiasi mencapai

sel surya dan menghasilkan kerugian daya di Universitas of Malaga. Dengan

mengukur kerugian yang disebapkan oleh akumulasi debu pada permukaan

fotovoltaik. Debu tidak hanya mengurangi radiasi pada sel surya, tetapi juga

perubahan ketergantungan pada sudut datang radiasi tersebut. Hasil dari

penelitian menunjukkan bahwa rata-rata kehilangan energi harian sepanjang tahun

yang disebabkan oleh debu diendapkan pada permukaan modul PV sekitar 4,4 %.

Dalam waktu yang lama tanpa hujan, kehilangan energi harian bisa lebih tinggi

dari 20%. Selain itu, kerugian radiasi tidak konstan sepanjang hari dan sangat

tergantung pada sudut sinar matahari insiden dan rasio antara difus dan radiasi

langsung. Ketika dipelajari sebagai fungsi waktu surya, kerugian radiasi yang

simetris terhadap siang, di mana mereka mencapai nilai minimum. Kami juga

mengusulkan sebuah model teoritis sederhana yang, dengan mempertimbangkan

persentase permukaan kotor dan diffuse / rasio radiasi langsung, menyumbang

perilaku kualitatif dari kerugian radiasi siang hari (Casanova, 2011).

Md. Mizanur Rahman dkk dalam tulisannya dengan judul Effects of

Natural Dust on the Performance of PV Panels in Bangladesh. Melakukan

percobaan dengan menggunakan dua modul surya 1 Wp di Banglades. Percobaan

tersebut dilakukan dengan cara membandingkan dua modul. Modul pertama

dibiarkan terkena debu alami dan modul kedua dibersihkan secara berkala. setelah

hasil pengukuran dari kedua modul tersebut didapat, data tersebut ditampilkan

berupa grafik dibuat dalam Matlab. Dari hasil penelitian tersebut didapatkan Isc

dari modul surya bersih lebih besar dari pada Isc modul surya kotor. Pada pukul

08.00 – 09.00 penurunan ISC pada modul surya kotor sebesar 35%, dan pada

siang hari penurunan Isc pada modul surya kotor sebesar 20% (Rahman, 2012).

7

A.Benatiallah dkk dalam tulisannya yang berjudul Experimental Study of

Dust Effect in Mult-Crystal PV Solar Module. Melakukan percobaan pengaruh

debu terhadap modul surya di daerah Sahara. Pengukuran dilakukan selama tiga

bulan, dengan sudut kemiringan dari modul surya sebesar 30°. Didapatkan output

energy dari modul surya berkurang sebesar 69% - 93% dan efisiensi turun sebesar

66% - 93% dikarenakan debu menempel pada permukaan modul surya sangat

tebal yang terbawa oleh badai pasir gurun Sahara dan pengurangan output energi

modul surya sebesar 17,5% dan efisiensi sebesar 1.5% dengan keadaan cuaca

normal. Dan dijabarkan berupa grafik yang dibuat dengan matlab (Benatiallah,

2012).

Dayal Singh Rajput dkk dalam tulisannya dengan judul Effect Of Dust On

The Performance Of Solar PV Panel. Percobaan dilakukan dengan menggunakan

dua modul surya fotovoltaic 36 Wp, penelitan di Bhopal, India. Modul surya

tersebut dilakukan percobaan dengan cara panel pertama di biarkan kotor terkena

debu, dan panel kedua dibersihkan secara berkala. Tegangan dan arus keluaran

dari kedua modul surya tersebut di ukur untuk mempelajari efek dari debu

terhadap modul surya. Pengaruh debu diukur dengan membandingkan efisiensi

panel kotor terkena debu dan tanpa debu. Penelitian ini dilakukan dalam wilayah

India dengan koordinat garis lintang dan garis bujur yaitu 23°25N dan 77°42 E6,7.

Suhu dari modul berfluktuasi dalam kisaran 5°- 48°C selama satu tahun di

Bhopal. Modul surya fotovoltaic juga dilakukan pengujian Voc, Isc, radiasi

matahari, dan suhu lingkungan dll untuk evaluasi. Pengukuran dilakukan pada

selang waktu satu jam antara 09.00 dan 18.00. Pengukuran suhu lingkungan dan

intensitas radiasi matahari diukur menggunakan termometer dan portabel Solar

Power Meter. Dari hasil pengukuran didapatkan efisiensi maksimum modul surya

bersih 6,38% dan minimum 2,29%, dan efisiensi maksimal modul surya kotor

0,64%, dan minimum 0,33%. Dari hasil menunjukan bahwa debu sangat

mengurangi daya produksi sebesar 92,11% dan efisiensi 89% (Rajput, 2013).

8

2.2 Potensi Pembangkit Listrik Tenaga Surya di Indonesia

Indonesia merupakan negara tropis mempunyai potensi energi surya yang

tinggi. Dari data penyinaran matahari di Indonesia dapat diklasikfikasikan berturut

– turut sebagai berikut: untuk kawasan barat dan timur Indonesia dengan

distribusi penyinaran di Kawasan Barat Indonesia (KBI) sekitar 4,5 kWh/m2/hari

dan di Kawasan Timur Indonesia (KTI) sekitar 5,1 kWh/m2/hari. Dengan

demikian, potensi matahari rata – rata Indonesia yaitu sebesar 4,8 kWh/m2/hari.

Berarti prospek penggunaan fotovoltaik di masa mendatang cukup cerah. Dengan

berlimpahnya energi surya tersebut maka pengembangan listrik tenaga surya yang

berbasis kepada efek fotovoltaik dari piranti sel surya sebagai salah satu sumber

tenaga listrik yang bebas polusi dan alami menjadi suatu pilihan yang tepat untuk

diterapkan di Indonesia. Adapun alasan yang mendukung hal tersebut yakni:

1. Kondisi iklim di Indonesia yang sangat mendukung karena intensitas

radiasi matahari di Indonesia relatif tinggi serta stabil, sehingga modul

surya mendapat daya yang optimal sepanjang tahun.

2. Instalasi yang lebih sederhana dari pada pemasangan sumber energi

terbarukan lainnya, sehingga memungkinkan pemanfaatan energi ini untuk

kebutuhan listrik baik dalam skala kecil sampai skala besar.

3. Indonesia merupakan Negara kepulauan terdiri dari 13 ribu pulau sehingga

membutuhkan waktu yang cukup lama untuk menyediakan jaringan

pembangkit listrik pada setiap daerahnya hingga sampai ke tiap pelosok.

4. Dapat terjangkau seluruh pelosok Indonesia dengan ketersediaan radiasi

surya yang merata sepanjang tahun. Energi matahari sistem dapat diinstal

di lokasi terpencil sehingga lebih praktis dan hemat biaya.

9

Tabel 2.1 Potensi Sumber Daya Energi Surya di Beberapa Kota di Indonesia

Sumber: Rahardjo, 2008

2.3 Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS)

PLTS adalah suatu pembangkit listrik yang menggunakan sinar matahari

melalui sel surya (fotovoltaik) untuk mengkoversikan radiasi sinar foton matahari

menjadi energi listrik. Sel surya merupakan lapisan-lapisan tipis dari bahan semi

konduktor lainnya. PLTS memanfaatkan cahaya matahari untuk menghasilkan

listrik DC, yang dapat diubah menjadi listrik AC apabila diperlukan. Oleh karena

itu meskipun cuaca mendung, selama masih terdapat cahaya, maka PLTS tetap

dapat menghasilkan listrik. PLTS pada dasarnya adalah pencatu daya, dan dapat

dirancang untuk mencatu kebutuhan listrik yang kecil sampai dengan besar, baik

secara mandiri, maupun hibird (dikombinsikan dengan sumber energy lain), baik

dengan metode desetralisasi (satu rumah satu pembangkit) maupun dengan

metode sentralisasi (listrik didistribusikan dengan jaringan kabel). Berikut

merupakan gambar dari PLTS:

No. Provinsi Lokasi

Intensitas

Radiasi

(Wh/m2)

1. NAD Pidie 4.097

2. SumSel Ogan Komering Ulu 4.951

3. Lampung Kab. Lampung Selatan 5.234

4. DKI Jakarta Jakarta Utara 4.187

Tanggerang 4.324

5. Jawa Barat Bogor 2.558

Bandung 4.149

6. Jawa Tengah Semarang 5.488

7. DI. Yogyakarta Yogyakarta 4.500

8. Jawa Timur Pacitan 4.300

9. KalBar Pontianak 4.552

10. KalTim Kabupaten Berau 4.172

11. KalSel Kota Baru 4.573

12. Gorontalo Gorontalo 4.911

13. SulTeng Donggala 5.512

14. Papua Jaya Pura 5.720

15. Bali Denpasar 5.263

16. NTB Kabupaten Sumbawa 5.747

17. NTT Ngada 5.117

10

Gambar 2.1 Pembangkit Listrik Tenaga Surya di Kayubihi

PLTS pada dasarnya adalah pencatu daya, dan dapat dirancang untuk

mencatu kebutuhan listrik yang kecil sampai dengan besar, baik secara mandiri,

maupun hibird (dikombinsikan dengan sumber energy lain), baik dengan metode

desetralisasi (satu rumah satu pembangkit) maupun dengan metode sentralisasi

(listrik didistribusikan dengan jaringan kabel).

PLTS merupakan bagian dari sumber energi terbarukan, dimana sinar

matahari sebagai sumber energi tidak ada habisnya, selain itu PLTS merupakan

pembangkit listrik yang ramah lingkungan tanpa ada bagian yang berputar, tidak

menimbulkan kebisingan, dan tanpa mengeluarkan gas buang /limbah. PLTS

merupakan suatu kesatuan sistem yang terdiri dari komponen-komponen, baik

komponen pendukung, diantaranya adalah:

2.3.1 Modul Surya

Komponen utama sistem surya photovoltaic adalah modul yang

merupakan unit rakitan beberapa sel surya photovoltaic. Untuk membuat modul

photovoltaic secara pabrikasi bisa menggunakan teknologi kristal dan thin film.

Modul photovoltaic dapat dibuat dengan teknologi yang relative sederhana.

Sedangkan untuk membuat sel photovoltaic diperlukan teknologi tinggi. Modul

photovoltaic tersusun dari beberapa sel photovoltaic mempunyai ukuran 10 cm x

10 cm yang dihubungkan secara seri atau pararel. Biaya yang dikeluarkan untuk

11

membuat modul sel surya sekitar 60% dari biaya total. Jadi, bila modul sel surya

bisa dibuat didalam negeri berarti akan bisa menghemat biaya. Untuk itulah,

modul pembuatan sel surya di Indonesia tahap pertama adalah membuat bingkai

(frame), kemudian membuat laminasi dengan sel-sel yang masih di inport. Berikut

merupakan gambar hubungan sel surya, modul surya dan array

Gambar 2.2 Hubungan Sel Surya, Modul Surya dan Array

(Sumber: Patel, 2006)

Sedangkan kendala utama yang dihadapi dalam pengembangan energi

surya fotovoltaik adalah investasi awal yang besar. Untuk mendapatkan kapasitas

yang lebih besar maka beberapa modul digabung akan membentuk array.

2.3.1.1 Sel Surya

Sel surya (solar cell) mengubah intensitas sinar matahari menjadi energi

listrik. Sel surya tersusun dari dua lapisan semikonduktor dengan muatan yang

berbeda. Lapisan atas sel surya bermuatan negatif sedangkan lapisan bawahnya

bermuatan positif. Silicon adalah bahan semikonduktor yang paling umum

digunakan untuk sel surya. Apabila permukaan sel surya dikenai cahaya maka

dihasilkan pasangan elektron dan hole. Elektron akan meninggalkan sel surya dan

akan mengalir pada rangkaian luar sehingga timbul arus listrik. Arus listrik yang

dihasilkan oleh sel surya dapat dimanfaatkan langsung atau disimpan dulu dalam

baterai untuk digunakan kemudian. Besarnya pasangan elektron dan hole yang

dihasilkan, atau besarnya arus yang dihasilkan tergantung pada intensitas cahaya

maupun panjang gelombang cahaya yang jatuh pada sel surya. Intensitas cahaya

12

menentukan jumlah foton, makin besar intensitas cahaya yang mengenai

permukaan sel surya makin besar pula foton yang dimiliki sehingga makin banyak

pasangan elektron dan hole yang dihasilkan yang akan mengakibatkan besarnya

arus yang mengalir. Makin pendek panjang gelombang cahaya maka makin tinggi

energi fotonnya sehingga makin besar energi elektron yang dihasilkan, dan juga

berimplikasi pada makin besarnya arus yang mengalir. Sel surya menghasilkan

arus yang digunakan untuk mengisi baterai. Sel surya terdiri dari fotovoltaik, yang

menghasilkan listrik dari intensitas cahaya, saat intensitas cahaya berkurang

(berawan, hujan, mendung) arus listrik yang dihasilkan juga akan berkurang.

Dengan menambah modul surya (memperluas) berarti menambah konversi tenaga

surya. Umumnya modul surya dengan ukuran tertentu memberikan hasil tertentu

pula. Contohnya ukuran a cm x b cm menghasilkan listrik DC (Direct Current)

sebesar x Watt per hour/ jam.

Berdasarkan jenis dan bentuk susunan atom-atom penyusunnya, solar cell

dapat dibedakan menjadi 3 jenis, yaitu (Patel, 2006):

1. Monokristal (Mono-crystalline)

Merupakan modul yang paling efisien yang dihasilkan dengan teknologi

terkini dan menghasilkan daya listrik persatuan luas yang paling tinggi.

Monokristal dirancang untuk penggunaan yang memerlukan konsumsi listrik

besar pada tempat-tempat yang beriklim ekstrim dan dengan kondisi alam

yang sangat ganas. Memiliki efisiensi sampai dengan 14 - 18%. Kelemahan

dari modul jenis ini adalah tidak akan berfungsi baik ditempat yang cahaya

mataharinya kurang (teduh), sehingga efisiensinya akan turun drastis dalam

cuaca berawan. Berikut merupakan gambar dari modul surya monokristal:

Gambar 2.3 Modul Monocrystalline Silicon Sel

(Sumber: ABB QT10, 2010)

13

2. Polikristal (Poly-crystalline)

Merupakan modul surya yang memiliki susunan kristal acak karena

dipabrikasi dengan proses pengecoran. Tipe ini memerlukan luas permukaan

yang lebih besar dibandingkan dengan jenis monokristal untuk menghasilkan

daya listrik yang sama. Modul surya jenis ini memiliki efisiensi lebih rendah

(12%-14%) dibandingkan tipe monokristal, sehingga memiliki harga yang

cenderung lebih rendah. Saat ini pasar didominasi oleh kristal silikon

teknologi, yang mewakili sekitar 90%. Teknologi yang sudah matang baik dari

segi efisiensi telah diperoleh dan biaya produksi akan terus mendominasi

pasar dalam jangka pendek dan menengah. Hanya beberapa perbaikan sedikit

diharapkan dalam hal efisiensi (produk industri baru menyatakan 18%, dengan

catatan laboratorium 24,7%, yang dianggap praktis dapat diatasi) dan

pengurangan kemungkinan biaya terkait baik pengenalan dalam industry

proses pembuatan yang lebih besar dan lebih tipis serta ke skala ekonomi.

Selain itu, industri PV berdasarkan teknologi tersebut menggunakan surplus

silikon ditujukan untuk industri elektronik tetapi karena pembangunan yang

terakhir dan pertumbuhan eksponensial dari PV produksi pada tingkat rata-rata

40% dalam enam tahun terakhir, ketersediaan di pasar bahan baku yang akan

digunakan di sektor fotovoltaik menjadi lebih terbatas. Berikut merupakan

modul surya Polycrysttaline :

Gambar 2.4 Modul Polycrystalline Silicon Sel

14

3. Amorphous

"Amorf" mengacu pada objek memiliki bentuk yang pasti dan tidak ada

didefinisikan sebagai bahan non-kristal. Tidak seperti silikon kristal, di mana

susunan atom yang teratur. Sehingga, aktivitas timbal balik antara foton dan

atom silikon lebih sering terjadi pada silikon amorf dibandingkan kristal

silikon, memungkinkan lebih banyak cahaya yang dapat diserap. Dengan

demikian, sebuah film silikon amorf yang sangat tipis yang kurang dari 1μm

dapat diproduksi dan digunakan untuk pembangkit listrik. Selain itu, dengan

memanfaatkan logam atau plastik untuk substrat, sel surya fleksibel juga dapat

diproduksi. Solar cell jenis amorphous adalah solar cell yang dibentuk dengan

mendoping material silikon di belakang lempeng kaca. Dinamakan amorphous

atau tanpa bentuk karena material silikon yang membentuknya tidak

terstruktur atau tidak mengkristal. Solar cell jenis ini biasanya berwarna coklat

tua pada sisi yang menghadap matahari dan keperakan pada sisi konduktifnya.

Tipe yang paling maju saat ini adalah Amorphous Silicon dengan

Heterojuction dengan stack atau tandem sel. Efisiensi Sel Amorphous Silicon

berkisar 6% sampai dengan 9%. Berikut merupakan modul surya

amorphous:

Gambar 2.5 Amorphous Silicon Sel

(Sumber: ABB QT10, 2010)

15

Besarnya pasangan elektron dan hole yang dihasilkan, atau besarnya arus

yang dihasilkan tergantung pada intensitas cahaya maupun panjang gelombang

cahaya yang jatuh pada sel surya. Intensitas cahaya menentukan jumlah foton,

makin besar intensitas cahaya yang mengenai permukaan sel surya makin besar

pula foton yang dimiliki sehingga makin banyak pasangan elektron dan hole yang

dihasilkan yang akan mengakibatkan besarnya arus yang mengalir. Makin pendek

panjang gelombang cahaya maka makin tinggi energi fotonnya sehingga makin

besar energi elektron yang dihasilkan, dan juga berimplikasi pada makin besarnya

arus yang mengalir.

2.3.2 Charge Controller

Baterai charger regulator atau charge controller mempunyai tiga fungsi

utama. Fungsi utama sebagai titik pusat sambungan ke beban, modul sel surya dan

baterai. Fungsi ke dua adalah selain juga sebagai pengatur sistem agar

penggunaan listriknya aman dan efektif, sehingga semua komponen-komponen

aman dari bahaya perubahan level tegangan. Fungsi ke tiga adalah sebagai

inverter untuk merubah tegangan DC dari baterai menjadi AC yang disambungkan

ke beban. Sistem PLTS menggunakan charge regulator, maka waktu pengisian ke

baterai penyimpanan akan berlangsung lebih cepat dan arus serta tegangan yang

dihasilkan PV Array akan distabilkan terlebih dahulu sebelum memasuki baterai

penyimpanan. Dari kelebihan yang dimiliki system charge ini, maka umumnya

PLTS dengan charge regulator yang dapat ditempatkan pada kotak modul

kontrolnya. Charge Controller adalah perangkat elektronik yang digunakan untuk

mengatur pengisian arus searah dari modul surya ke baterai dan mengatur

penyaluran arus dari baterai ke peralatan listrik (beban). Charge controller

mempunyai kemampuan untuk mendeteksi kapasitas baterai. Bila baterai sudah

penuh terisi maka secara otomatis pengisian dari modul surya berhenti.

Solar charge controller adalah komponen penting dalam Pembangkit Listrik

Tenaga Surya. Solar charge controller berfungsi untuk charging mode ialah

mengisi baterai (kapan baterai diisi, menjaga pengisian kalau baterai penuh).

Operation mode ialah penggunaan baterai ke beban (pelayanan baterai ke beban

16

diputus kalau baterai sudah mulai kosong). Berikut merupakan cara kerja charge

controller :

1. Charging Mode Solar Charge Controller

Dalam charging mode, umumnya baterai diisi dengan metode three stage

charging: Fase bulk: baterai akan di-charge sesuai dengan tegangan setup (bulk –

antara 14.4 – 14.6 Volt) dan arus diambil secara maksimum dari modul surya.

Pada saat baterai sudah pada tegangan setup (bulk) dimulailah fase absortion. Fase

absortion: pada fase ini, tegangan baterai akan dijaga sesuai dengan tegangan

bulk, sampai solar charge controller timer (umumnya satu jam) tercapai, arus

yang dialirkan menurun sampai tercapai kapasitas dari baterai. Fase float: baterai

akan dijaga pada tegangan float setting (umumnya 13.4 – 13.7 Volt). Beban yang

terhubung ke baterai dapat menggunakan arus maksimum dari modul surya pada

stage ini.

2. Sensor Temperatur Baterai Charge Controller

Untuk solar charge controller yang dilengkapi dengan sensor temperatur

baterai. Tegangan charging disesuaikan dengan temperatur dari baterai. Dengan

sensor ini didapatkan optimum dari charging dan juga optimum dari usia baterai.

Apabila solar charge controller tidak memiliki sensor temperatur baterai, maka

tegangan charging perlu diatur, disesuaikan dengan temperatur lingkungan dan

jenis baterai.

3. Mode Operation Solar Charge Controller

Pada metode ini, baterai akan melayani beban. Apabila ada over-discharge

atau over-load, maka baterai akan dilepaskan dari beban. Hal ini berguna untuk

mencegah kerusakan dari baterai. Bila baterai sudah penuh terisi maka secara

otomatis pengisian arus dari modul surya berhenti. Cara deteksi adalah melalui

monitor level tegangan baterai. Charge controller akan mengisi baterai sampai

level tegangan tertentu, kemudian apabila level tegangan telah mencapai level

terendah, maka baterai akan diisi kembali. Charge controller adalah indicator

yang akan memberikan informasi mengenai kondisi baterai sehingga pengguna

17

PLTS dapat mengendalikan konsumsi energi menurut ketersedian listrik yang

terdapat dalam baterai.

2.3.3 Baterai

Baterai adalah komponen PLTS yang berfungsi menyimpan energy listrik

yang dihasilkan oleh modul surya pada siang hari, untuk kemudian dipergunakan

pada malam hari dan pada saat cuaca mendung. Baterai yang dipergunakan pada

PLTS mengalami proses siklus mengisi (charging) dan mengosongkan

(discharging), tergantung pada ada atau tidaknya matahari. Selama ada sinar

matahari, modul surya akan menghasilkan energy listrik. Apabila energi listrik

yang dihasilkan tersebut melebihi kebutuhan bebannya, maka energy listrik

tersebut akan segera dipergunakan untuk mengisi baterai. Proses pengisian dan

pengosongan disebut satu siklus baterai.

Ada dua jenis baterai isi ulang yang dapat dipergunakan untuk system

PLTS, yaitu baterai Asam Timbal (Lead Acid) dan baterai Nickel-Cadmium. Akan

tetapi karena memiliki effisiensi yang rendah dan biaya yang lebih tinggi,

membuat baterai nickel-cadmium relative lebih sedikit dipergunakan dalam

system PLTS. Sebaliknya baterai Asam Timbal adalah baterai dengan effisiensi

tinggi dengan biaya yang lebih ekonomis. Hal ini membuat baterai Asam Timbal

menjadi perangkat penyimpan yang penting untuk beberapa tahun ke depan,

terutama untuk system PLTS ukuran menengah dan besar. Kapasitas baterai

umumnya dinyatakan dalam Ampere hour (Ah). Nilai Ah pada baterai

menunjukan nilai arus yang dapat dilepaskan, dikalikan dengan nilai waktu untuk

pelepasan tersebut. Berdasarkan hal tersebut maka secara teoritis, baterai 12 V,

200Ah harus dapat memberikan baik 200A selama satu jam, 50 A selama 4 jam, 4

A untuk 50 jam atau 1 A untuk 200 jam. Baik lead-acid baterai maupun nickel-

cadmium baterai secara umum mempunyai 4 bagian penting. Keempat bagian

tersebut mempunyai fungsi yang berbeda-beda yang menunjang proses

penyimpanan energi maupun pengeluaran energi. Empat bagian penting tersebut

terdiri dari :

18

1. Elektroda

2. Pemisah atau separator

3. Elektrolit

4. Wadah sel atau baterai

2.3.4 Inverter

Inverter berfungsi untuk merubah arus dan tegangan listrik DC (direct

current) yang dihasilkan array PV menjadi arus dan tegangan listrik AC

(alternating current) dengan frekuensi 50Hz/60Hz. Pemilihan inverter yang tepat

untuk aplikasi tertentu, tergantung pada kebutuhan beban dan tergantung pada

apakah unverter akan menjadi bagian dari system yang terhubung ke jaringan

listrik atau system yang berdiri sendiri. Berdasarkan bentuk gelombang yang

dihasilkan, inverter di kelompokan menjadi tiga (ABB, 2010) yaitu:

a. Square wave (gelombang kotak)

Pada beban-beban listrik yang menggunakan kumparan / motor square wave

inverter tidak dapat bekerja sama sekali.

b. Modified sine wave

Inverter Modified sine wave (gelombang sinus modifikasi), menghasilkan

daya listrik yang cukup memadai untuk sebagian peralatan elektronik tetapi

memiliki kelemahan karena kekuatan daya listrik yang dihasilkan tidak sama

persis dengan daya listrik dari PLN.

c. True sine wave

Inverter true sine wave (gelombang sinus murni) menghasilkan gelombang

listrik yang sama dengan listrik PLN. Bahkan lebih baik dari segi kestabilan

daya listrik dibandingkan daya listrik dari PLN. True sine wave inverter

diperlukan terutama untuk beban-beban yang masih menggunakan motor agar

bekerja lebih mudah, lancer dan tidak cepat panas.

Modified sine wave inverter ataupun square wave inverter bila dipaksakan

untuk beban-beban induktif maka effisiensinya akan jauh berkurang dibandingkan

dengan True sine wave inverter. Inverter yang terbaik adalah yang mampu

menghasilkan gelombang sinosuidal murni atau true sine wave yaitu bentuk

19

gelombang yang sama dengan bentuk gelombang dari jaringan listrik (grid

utility).

2.4 Faktor yang Mempengaruhi Kinerja PLTS

Untuk mendapatkan output maksimal dari PLTS, ada beberapa faktor

sangat mempengaruhi yaitu :

2.4.1 Iradiasi Matahari

Iradiasi matahari yang diterima bumi terdistribusi pada beberapa range

panjang gelombang, mulai dari 300 nm sampai dengan 4 mikron. Sebagian radiasi

mengalami refleksi di atmosfer (diffuse radiation) dan sisanya dapat sampai ke

permukaan bumi (direct radiation). Kedua radiasi ini yang dipakai untuk

mengukur besaran radiasi yang diterima sel surya. Besaran-besaran penting untuk

mengukurnya adalah (Diputra. 2008) :

Spectral irradiance I𝝀 – Daya yang diterima oleh satu unit area dalam

bentuk differensial panjang gelombang d𝝀, satuan : W/m2 µm.

Irradiance – Integral dari spectral irradiance untuk keseluruhan panjang

gelombang, satuan : W/m2

Radiansi – Integral waktu dari irradiance untuk jangka waktu tertentu.

Oleh sebab itu, satuannya sama dengan satuan energi, yaitu J/m2 – hari,

J/m2 – bulan atau J/m2 – tahun.

Diantara ketiga besaran tersebut, yang akan digunakan dalam analisa

adalah W/m2 karena satuan ini yang biasa dipakai dalam data sheet, sedangkan

besaran radiasi biasanya digunakan untuk menghitung estimasi daya keluaran

pada instalasi system. Irradiance merupakan sumber energi bagi sel surya,

sehingga keluarannya sangat bergantung oleh perubahan irradiance. Gambar 2.7

memberikan contoh perubahan irradiance terhadap kurva daya modul surya.

Dilihat dari Gambar 2.6, keluaran daya berbanding lurus dengan

irradiance. Isc lebih terpengaruh oleh perubahan irradiance dari pada Voc. Hal

ini sesuai dengan penjelasan cahaya sebagai paket-paket foton. Pada saat

irradiance tinggi, yaitu pada saat jumlah foton banyak, arus yang dihasilkan juga

20

besar. Demikian pula sebaliknya, sehingga arus yang dihasilkan berbanding lurus

terhadap jumlah foton. Berikut merupakan gambar karakteristik kurva I-V

Terhadap perubahan irradiance:

Gambar 2.6 Karakteristik Kurva I-V Terhadap Perubahan Irradiance

(Sumber: ABB QT10, 2010)

Pengujian modul surya pada data sheet umumnya dilakukan pada standard

test condition (STC), yaitu Air Mass (AM) 1,5 ; irradiance 1000 W/m2 dan

temperature 250 C. dalam kondisi nyata, nilai irradiance tidak mencapai nilai

tersebut, bergantung dari posisi lintang, posisi matahari dan kondisi cuaca. Nilai

irradiance pada lokasi tertentu juga bervariasi dari bulan ke bulan.

Radiasi matahari merupakan pancaran energi yang berasal dari proses

thermonuklir yang terjadi di matahari, atau dapat dikatakan sumber utama untuk

proses-proses fisika atmosfer yang menentukan keadaan cuaca dan iklim di

atmosfer bumi. Radiasi surya memegang peranan penting dari berbagai sumber

energi lain yang dimanfaatkan manusia. Cahaya bisa dikatakan sebagai suatu

bagian yang mutlak dari kehidupan manusia. Untuk mendukung teknik

pencahayaan buatan yang benar, tentu saja perlu diketahui seberapa besar

intensitas cahaya yang dibutuhkan pada suatu tempat. Maka, untuk mengetahui

21

seberapa besar intensitas cahaya tersebut dibuthkan suatu alat ukur cahaya yang

dapat digunakan untuk mengukur besarnya cahaya dalam satuan lux.

Untuk mengukur intensitas cahaya digunakan sebuah alat yang bernama

lux meter. Lux meter adalah sebuah alat yang digunakan untuk mengukur

intensitas cahaya atau tingkat pencahayaan. Biasanya digunakan dalam ruangan.

Kebutuhan pencahayaan setiap ruangan terkadang berbeda. Semuanya tergantung

dan disesuaikan dengan kegiatan yang dilakukan. Untuk mengukur tingkat

pencahayaan di butuhkan sebuah alat yang bisa bekerja secara otomatis mampu

mengukur intensitas cahaya dan menyesuaikannya dengan cahaya yang

dibutuhkan. .

Pengukuran intensitas cahaya menggunakan luxmeter yang menghasilkan

nilai intensitas cahaya dengan satuan lux. Tidak ada konversi langsung antara lux

dan W/m2 itu tergantung pada panjang gelombang atau warna cahaya. Sehingga

untuk mendapatkan konversi antara lux dan W/m2 perlu dilakukan percobaan.

Namun, ada perkiraan konversi 0,0079 W/m2 per Lux (Hossain. 2011). Jadi dapat

dirumuskan sebagai berikut:

1lux = 0.0079 W/m2 (2.1)

Penggunaan konversi antara lux dan W/m2 diatas juga telah digunakan oleh M. A.

Hossain dkk pada penelitiannya yang berjudul Performance evaluation of 1.68

kWp DC operated Solar pump With Auto Tracker Using Microcontroller Based

Data Acquisition System, Steven Chua dengan judul Light VS. DISTANCE dan

Anies Ma’rufatin pada penelitiannya yang berjudul Respon pertumbuhan

Tanaman kentang (Solanum tuberosum L.) Varietas Atlantis dan Super Jhon

Dalam Sistem Aeroponik Terhadap periode Pencahayaan. Mereka semua

menggunakan konversi 0,0079 W/m2 per Lux.

2.4.2 Temperatur Modul Surya

Intensitas cahaya bukanlah satu-satunya parameter eksternal yang memiliki

pengaruh penting pada kurva I-V, ada juga pengaruh suhu. Suhu memiliki peranan

22

penting untuk memprediksi karakteristik I-V. Komponen semikonduktor seperti

diode sensitif terhadap perubahan suhu, begitu pula dengan sel surya. Secara

umum, sebuah modul surya dapat beroperasi secara maksimum jika temperatur

yang diterimanya tetap normal pada temperatur 25oC. Kecepatan tiupan angin

disekitar lokasi sel surya akan sangat membantu terhadap pendinginan temperatur

permukaan sel surya sehingga temperatur dapat terjaga dikisaran 25oC. Kenaikan

temperatur lebih tinggi dari temperatur normal pada modul surya akan

melemahkan tegangan (Voc) yang dihasilkan. Setiap kenaikan temperatur modul

surya 1oC (dari 25oC) akan mengakibatkan berkurang sekitar 0,5% pada total

tenaga (daya) yang dihasilkan. Untuk menghitung besarnya daya yang berkurang

pada saat temperatur di sekitar modul surya mengalami kenaikan oC dari

temperatur standarnya, dipergunakan rumus sebagai berikut (Solarex, 1998):

Pengaruh suhu terhadap output sel surya dapat dilihat dalam rumus

dibawah ini (Solarex, 1998) :

Psaat t naik oC = 0,5% / oC x PMPP x kenaikan temperatur (oC) (2.2)

Dimana :

Psaat t naik oC = Daya pada saat temperatur naik oC dari

temperatur standarnya.

PMPP = Daya keluaran maksimum modul surya.

Daya keluaran modul surya pada saat temperaturnya naik menjadi toC dari

temperatur standarnya diperhitungkan dengan rumus sebagai berikut :

PMPP saat naik menjadi t oC = PMPP – Psaat t naik

oC (2.3)

Dimana :

PMPP saat naik menjadi oC adalah daya keluaran modul surya pada saat

temperatur disekitar modul surya naik menjadi toC dari

temperatur standarnya.

23

Berikut merupakan gambar pengaruh temperatur modul terhadap energi

modul surya:

Gambar 2.7 Pengaruh temperature modul terhadap energi modul surya

(Sumber: ABB QT10, 2010)

2.4.3 Orientasi Modul Surya

Efisiensi maksimum modul surya akan meningkat jika sudutnya saat

terjadi sinar matahari selalu berada pada 90°. Namun kenyataannya peristiwa dari

radiasi matahari bervariasi berdasarkan pada keduanya yaitu garis lintang

(latitude), dan seperti halnya deklenasi matahari selama setahun. Faktanya poros

rotasi bumi adalah dengan kemiringan 23,45° terhadap bidang dari orbit bumi

oleh matahari, pada garis lintang tertentu tinggi dari matahari pada langit

bervariasi setiap harinya. Untuk mengetahui ketinggian maksimum (dalam

derajat) ketika matahari mencapai langit (α), secara mudah dengan menggunakan

rumus berikut:

α = 90° - lat + δ (N hemisphere); 90° + lat – δ (S hemisphere) (2.4)

Sedangkan sudut yang harus dibentuk oleh modul surya terhadap permukaan

bumi (β), dapat diperoleh dengan persamaan sebagai berikut:

24

β=90°–α (2.5)

Dimana:

lat adalah garis lintang (latitude) lokasi intalasi panel surya terpasang

(dalam satuan derajat)

δ adalah sudut dari deklinasi matahari [23,34°]

Apabila sudut dari ketinggian maksimum matahari (α) diketahui, maka

sudut kemiringan dari panel surya (β) juga dapat diketahui. Namun tidak cukup

hanya mengetahui α saja untuk menentukan orientasi yang optimal dari panel

surya. Orientasi dari pael surya dapat diindikasikan dengan sudut asimut (azimuth

angle) dalam notasi γ, pada devasi terhadap arah optimum dari selatan (untuk

lokasi di belahan bumi utara), atau dari utara (untuk lokasi di belahan bumi

selatan). Nilai positif dari sudut asimut menunjukan orientasi ke barat, sebaliknya

nilai negatif menunjukan orientasi ke timur. Gambar inklinasi dan orientasi

ditunjukan pada gambar 2.8.

Gambar 2.8 Kombinasi inklinasi dan orientasi menentukan eksposisi panel

(Sumber: ABBQT10,2010)

Berdasarkan dengan orientasi dan inklinasi dari panel surya, potensi dari

radiasi radiasi matahari dapat diketahui pada suatu tempat. Dari perbandingan

inklinasi dan orientasi dapat diketahui nilai koefisien (c) dari potensi energi yang

akan diterima oleh panel surya pada suatu tempat, nilai c ini biasanya didapat dari

25

tabel yang dikeluarkan oleh negara berdasarkan data pengamatan inklinasi dan

orientasi panel surya pada suatu tempat (latitude). Berikut ditampilkan contoh

tabel nilai c pada negara italia :

Tabel 2.2 Italia bagian utara 44°N Latitude

Inklinasi 0°

(Selatan)

±15° ±30° ±45° ±90°

(Timur; Barat)

0° 1,00 1,00 1,00 1,00 1,00

10° 1,07 1,06 1,06 1,04 0,99

15° 1,09 1,09 1,07 1,06 0,98

20° 1,11 1,10 1,09 1,07 0,96

30° 1,13 1,12 1,10 1,07 0,93

40° 1,12 1,11 1,09 1,05 0,89

50° 1,09 1,08 1,05 1,02 0,83

60° 1,03 0,99 0,96 0,93 0,77

70° 0,95 0,95 0,93 0,89 0,71

90° 0,74 0,74 0,73 0,72 0,57

Berdasarkan data nilai c dari tabel, maka prediksi kapasitas produksi energi

rata-rata per tahun (E) adalah:

E = Ep ∙ c [kWh] (2.6)

2.4.4 Sudut Kemiringan Modul Surya

Sudut kemiringan memiliki dampak yang besar terhadap radiasi matahari

dipermukaan modul surya. Untuk sudut kemiringan tetap. Daya maksimum

selama satu tahun akan diperoleh ketika sudut kemiringan modul surya sama

dengan lintang lokasi. Sistem pengaturan berfungsi memberikan pengaturan dan

pengamanan dalam suatu PLTS sedemikian rupa sehingga sistem pembangkit

tersebut dapat bekerja secara efisien dan handal. Peralatan pengaturan di dalam

sistem Pembangkit Listrik Tenaga Surya ini dapat dibuat secara manual, yaitu

dengan cara selalu menempatkan kearah matahari, atau dapat juga dibuat secara

otomatis, mengingat sistem ini banyak dipergunakan untuk daerah terpencil.

Gerakan Modul secara otomatis dapat dilakukan dengan menggunakan rangkaian

elektronik. Namun dalam segi kepraktisan dan memudahkan perawatan

pemasangan modul surya yang mudah dan murah adalah dengan memasang

modul surya dengan posisi tetap dengan sudut kemiringan tertentu. Untuk

26

menentukan arah sudut kemiringan modul surya harus disesuaikan dengan letak

geografis lokasi pemasangan modul tersebut. Penentuan sudut pemasangan modul

surya ini berguna untuk membenarkan penghadapan modul surya ke arah garis

khatulistiwa. Pemasangan modul surya ke arah khatulistiwa dimaksudkan agar

modul surya mendapatkan penyinaran yang optimal. Modul surya yang terpasang

di khatulistiwa (lintang = 0o) yang diletakan mendatar (tilt angle = 0o), akan

menghasilkan energy maksimum (Hanif, 2012).

Gambar 2.9 Pemasangan Modul Surya Dengan Sudut Kemiringan

(Sumber: Hanif M, 2012)

2.5 Kebersihan Modul Surya

Menurut penelitian yang telah dilakukan Serbot Swiss Innovation.

Kebersihan modul surya sangat mempengaruhi daya output maksimum modul

surya. Pembersihan secara berkala modul surya sangat penting untuk

menghasilkan dan memberikan jumlah maksimum iradisasi matahari yang

diterima oleh permukaan modul surya. Pengaruh kotoran dan debu pada kinerja

modul surya tergatung pada berbagai faktor dan selalu perlu diperkirakan. Dari

penelitian yang telah dilakukan Serbot Swiss Innovation di Eropa dan Amerika

dapat diasumsikan pengurangan daya output modul surya beriksar 10% - 20%.

Jika instalasi dilakukan di tempat yang kering dan daerah yang berdebu, efek nya

dapat menigkat sampai 40%. (http://www.serbot.ch/index.php/en/solar-panel-

cleaning, 2014).

Perusahaan White Glove menggunakan air ultra-murni untuk

membersihkan permukaan modul surya tanpa meninggalkan residu kimia atau

27

senyawa anorganik lain meningkatkan kinerja puncak. Selain debu, daun yang

jatuh, kotoran binatang, Cuaca yang berkabut juga dapat menyebabkan permukaan

modul surya menjadi kotor, hal ini telah terbukti mengurangi daya output yang

dibangkitakan oleh modul surya. Semua perusahaan modul surya

merekomendasikan pembersihan secara berkala terhadap permukaan modul surya.

Tingkat kebersihan permukaan modul surya mempengaruhi efisiensi dari modul

surya. Dengan membersihkan permukaan modul surya secara berkala dapat

mengoptimlakan produksi energi yang diabangkitkan.

Menurut Solar Electric Power Association (SEPA), output listrik modul

surya akan menurun sekitar 10% karena tingkat kotoran, debu, dan residu

lainnya. Penelitian yang dikutip oleh SEPA menunjukkan bahwa daya yang

dibangkitkan oleh modul surya akan menurun 15-20% di daerah perkotaan atau

debu dari kegiatan pembangunan, kotoran burung dan juga serangga.

(http://whiteglovewindowcleaning.com/services/other-services, 2012).

Google melakukan percobaan inovatif pada PLTS 1,6 MW mereka di

Mountain View, California. Mereka menemukan bahwa membersihkan surya

adalah "nomor satu cara untuk memaksimalkan energi yang modul surya

hasilkan." Membersihkan modul surya yang telah beroperasi selama 15 bulan,

menghasilkan dua kali lipat output dari modul surya yang dibiarkan.

Penelitian yang sama juga menemukan bahwa hujan bukanlah suatu cara

untuk membersihkan modul surya. Solar panel yang dibersihkan secara

profesional memiliki output 12% lebih tinggi dibandingkan dibersihkan oleh

hujan.

Di wilayah barat daya AS, di mana curah hujan terbatas selama beberapa

bulan, maka jumlah kotoran yang menupuk pada permukaan modul surya jauh

lebih besar. Modul surya yang dipasang di dekat sumber polusi seperti jalan raya,

pabrik-pabrik dan bandara perlu dibersihkan lebih sering. Kasus lain yang perlu

dipertimbangkan termasuk musim gugur dan musim dingin, di mana pembersihan

daun dan salju penting untuk kinerja yang optimal.

Hal lain yang perlu diperhatikan adalah bahwa air hujan mudah

membersihkan panel surya yang miring. Membersihkan panel surya tidak benar-

28

benar jauh berbeda dari membersihkan jendela khas. Hal ini tidak terlalu

memakan waktu yang begitu banyak (Maehlum, 2014)

Menurut Academy Wolrd of Science, Enginering & Technology yang di

kutip oleh Perusahaan pembersih modul surya Araya Clean menyatakan bahwa

salah satu faktor yang berperan dalam peurunan efisiensi dalam modul surya

adalah penumpukan debu pada permukaan modul surya. Dalam prakteknya, debu

harus di hilangkan dari permukaan modul surya untuk memastikan kinerja optimal

dari modul surya. Berikut merupakan pengaruh yang dapat menyebabkan

kotornya modul surya:

Arah/ Orientasi : Sebagian besar panel surya berada di atap dan dipasang

pada sudut horizontal, modul surya memiliki array sel surya yang

terindungi oleh penutup kaca . Tergantung pada arah angin, panel dapat

ditutupi oleh debu, kotoran, serbuk sari, daun jatuh, dan kotoran burung.

Seiring dengan berjalannya waktu kotoran tersebut dapat mengeras pada

perukaan modul surya. Hal ini dapat menyebabkan penurunan yang besar

dalam paparan sinar matahari ke sel surya. Pemilik Modul Surya yang

tidak pernah membersihkan modul suryanya melaporkan kerugian output

pada modul surya bervariasi dari 20% menjadi 50% dari waktu ke waktu.

Air hujan tidak cukup untuk membersihkan modul surya : Sebuah asumsi

bahwa debu, serbuk sari, daun jatuh yang menumpuk pada modul surya

pada musim panas akan di bersihkan oleh air hujan pada musim hujan. Itu

benar berpengaruh pada tumpukan debu yang tidak mengeras. Akan tetapi

tidak efektif pada kotoran burung dan tumpukan kotoran yang mengeras

pada permukaan modul surya. Terkadang air hujan juga membawa lumpur

serta tanah yang mengeras pada permukaan modul surya dalam hitungan

minggu.

Lokasi pemasangan modul surya : Pemasangan modul surya pada lokasi

dekat dengan jalan raya, pusat industri, dan pepohonan. Dapat

menyebabkan semakin cepatnya penumpukan kotoran pada modul surya.

29

Suatu organisasi seperti Solar Energy Power Association dan The

National Renewable Energy Laboratory menyatakan bahwa kerugian efisiensi

bervariasi dari 20% sampai 25% untuk modul surya kotor dibandingkan dengan

modul surya yang dibersihkan.

(http://www.arayaclean.com/agencies/ca/san-

mateo/ca02/blog/posts/2014/6/15/clean-your-solar-panels-regularly-for-

maximum-efficiency/#.VCwJvfl_vEg, 2014).

Menurut Solar Facts and Advice. Polusi, debu, daun dan bahkan kotoran

burung yang mengendap dipermukaan modul surya mencegah dapat sinar

matahari dapat mencapai sel surya pada panel surya. Semakin banyak jumlah

kotoran yang menumpuk maka akan mengurangi listrik yang dihasilkan modul

surya. Dari beberapa faktor terbesar yang dapat mempengaruhi modul surya,

faktor kotoranlah yang paling mudah untuk diatasi. Para ahli sepakat bahwa

modul surya kotor tidak menghasilkan energi sebanyak modul surya bersih. Pada

penelitian laboratorium National Renewable Energy didapatkan kerugian output

modul surya sebesar 25% pada beberapa daerah. Produsen modul surya sendiri

telah melaporkan kerugian setinggi 30% untuk beberapa pelanggan yang tidak

pernah membersihkan panel mereka. Ada dua cara yang dapat dilakukan untuk

melihat apakah modul surya perlu dibersihkan:

1. Pemeriksaan Fisik: Periksa panel surya secara berkala untuk menghilangkan

kotoran. Khusus di daerah berdebu pemeriksaan dan pembersihan dilakukan

lebih sering.

2. Gunakan Layanan Monitoring: Cara lain untuk mengetahui potensi solar

maksimal dari sistem modul surya adalah melalui sistem pemantauan dan

layanan.

(http://www.solar-facts-and-advice.com/solar-pa nel-cleaning.html, 2014).