BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Prestasi Akademik 2.1.1...

25
12 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Prestasi Akademik 2.1.1 Pengertian Prestasi Akademik Tulus Tu’u (2004) mengemukakan bahwa prestasi adalah hasil yang dicapai oleh seseorang ketika mengerjakan tugas atau kegiatan tertentu. Sedangkan prestasi belajar adalah penguasaan pengetahuan atau ketrampilan yang dikembangkan oleh mata pelajaran, lazimnya ditunjukkan dengan nilai tes atau angka yang diberikan oleh guru. Djamarah (2002) mendefinisikan prestasi akademik adalah hasil yang diperoleh berupa kesan-kesan yang mengakibatkan perubahan dalam diri individu sebagai hasil akhir dari aktivitas belajar. Sedangkan definisi prestasi akademik menurut Azwar (2002) adalah bukti peningkatan atau pencapaian yang diperoleh seorang siswa sebagai pernyataan ada tidaknya kemajuan atau keberhasilan dalam program pendidikan. Kualitas mahasiswa salah satunya dapat dilihat dari prestasi akademik yang diraihnya. Prestasi akademik merupakan perubahan dalam hal kecakapan tingkah laku ataupun kemampuan yang dapat bertambah selama beberapa waktu yang tidak disebabkan proses pertumbuhan, tetapi karena ada situasi belajar, sehingga dipandang sebagai bukti usaha yang diperoleh mahasiswa (Sobur, 2006). Prestasi akademik juga dapat diartikan sebagai hasil pelajaran yang diperoleh dari

Transcript of BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Prestasi Akademik 2.1.1...

Page 1: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Prestasi Akademik 2.1.1 ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/4861/3/T1_132010060_BAB II.pdf · Selanjutnya menurut Suryabrata (2006) prestasi akademik

12

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Prestasi Akademik

2.1.1 Pengertian Prestasi Akademik

Tulus Tu’u (2004) mengemukakan bahwa prestasi adalah hasil

yang dicapai oleh seseorang ketika mengerjakan tugas atau kegiatan

tertentu. Sedangkan prestasi belajar adalah penguasaan pengetahuan atau

ketrampilan yang dikembangkan oleh mata pelajaran, lazimnya

ditunjukkan dengan nilai tes atau angka yang diberikan oleh guru.

Djamarah (2002) mendefinisikan prestasi akademik adalah hasil

yang diperoleh berupa kesan-kesan yang mengakibatkan perubahan

dalam diri individu sebagai hasil akhir dari aktivitas belajar. Sedangkan

definisi prestasi akademik menurut Azwar (2002) adalah bukti

peningkatan atau pencapaian yang diperoleh seorang siswa sebagai

pernyataan ada tidaknya kemajuan atau keberhasilan dalam program

pendidikan.

Kualitas mahasiswa salah satunya dapat dilihat dari prestasi

akademik yang diraihnya. Prestasi akademik merupakan perubahan

dalam hal kecakapan tingkah laku ataupun kemampuan yang dapat

bertambah selama beberapa waktu yang tidak disebabkan proses

pertumbuhan, tetapi karena ada situasi belajar, sehingga dipandang

sebagai bukti usaha yang diperoleh mahasiswa (Sobur, 2006). Prestasi

akademik juga dapat diartikan sebagai hasil pelajaran yang diperoleh dari

Page 2: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Prestasi Akademik 2.1.1 ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/4861/3/T1_132010060_BAB II.pdf · Selanjutnya menurut Suryabrata (2006) prestasi akademik

13

kegiatan belajar di Sekolah atau Perguruan Tinggi yang bersifat kognitif

dan biasanya ditentukan melalui pengukuran dan penilaian.

Selanjutnya menurut Suryabrata (2006) prestasi akademik adalah

hasil belajar terakhir yang dicapai oleh siswa dalam jangka waktu

tertentu, yang mana di Sekolah prestasi akademik siswa biasanya

dinyatakan dalam bentuk angka atau simbol tertentu. Kemudian dengan

angka atau simbol tersebut, orang lain atau siswa sendiri akan dapat

mengetahui sejauhmana prestasi akademik yang telah dicapai. Dengan

demikian, prestasi akademik di Sekolah merupakan bentuk lain dari

besarnya penguasaan bahan pelajaran yang telah dicapai siswa, dan rapor

bisa dijadikan hasil belajar terakhir dari penguasaan pelajaran tersebut.

Prestasi akademik menurut Bloom (dalam Azwar, 2002) adalah

mengungkap keberhasilan seseorang dalam belajar. Menurut Azwar

(2004) secara umum, ada dua faktor yang mempengaruhi prestasi

akademik seseorang, yaitu faktor internal dan faktor eksternal. Faktor

internal meliputi antara lain faktor fisik dan faktor psikologis. Faktor fisik

berhubungan dengan kondisi fisik umum seperti penglihatan dan

pendengaran. Faktor psikologis menyangkut faktor-faktor non fisik,

seperti minat, motivasi, bakat, intelegensi, sikap dan kesehatan mental.

Faktor eksternal meliputi faktor fisik dan faktor sosial. Faktor fisik

menyangkut kondisi tempat belajar, sarana dan perlengkapan belajar,

materi pelajaran dan kondisi lingkungan belajar. Faktor sosial

menyangkut dukungan sosial dan pengaruh budaya.

Page 3: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Prestasi Akademik 2.1.1 ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/4861/3/T1_132010060_BAB II.pdf · Selanjutnya menurut Suryabrata (2006) prestasi akademik

14

Dalam dunia pendidikan formal, pentingnya pengukuran prestasi

akademik tidaklah dapat disangsikan lagi. Sebagaimana diketahui, proses

pendidikan formal adalah suatu proses yang kompleks yang memerlukan

waktu, dana dan usaha serta kerjasama berbagai pihak. Berbagai aspek

dan faktor terlibat dalam proses pendidikan secara keseluruhan. Tidak

ada pendidikan yang secara sendirinya berhasil mencapai tujuan yang

digariskan tanpa interaksi berbagai faktor pendukung yang ada dalam

sistem pendidikan tersebut. Betapa jelasnya pun suatu tujuan pendidikan

telah digariskan, tanpa usaha pengukuran maka akan mustahil hasilnya

dapat diketahui. Tidaklah layak untuk menyatakan adanya suatu

kemajuan atau keberhasilan program pendidikan tanpa memberikan bukti

peningkatan atau pencapaian yang diperoleh. Bukti peningkatan atau

pencapaian inilah yang harus diambil dari pengukuran prestasi secara

terencana (Arini, 2008).

2.1.2 Tujuh Kemampuan Para Peraih Prestasi dalam Mengubah Kegagalan

Menjadi Batu Loncatan

Menurut Maxwell (2000) tujuh kemampuan para peraih prestasi

yang membuat mereka bisa gagal, tetapi tidak memasukkannya dalam hati,

dan terus maju, sebagai berikut :

1. Para Peraih prestasi menolak penolakan

Orang-orang yang pantang menyerah tidak jemu-jemunya

mencoba karena mereka tidak mendasarkan harga diri mereka pada

peraih prestasi mereka. Mereka meletakkan dasar dari gambar diri

mereka di dalam diri mereka sendiri. Seligman (dalam Maxwell,

2000) saat kita gagal, kita memiliki dua pilihan untuk menyalahkan

Page 4: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Prestasi Akademik 2.1.1 ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/4861/3/T1_132010060_BAB II.pdf · Selanjutnya menurut Suryabrata (2006) prestasi akademik

15

diri sendiri atau menyalahkan peristiwa-peristiwa di luar diri kita.

Orang yang menyalahkan peristiwa-peristiwa di luar dirinya tidak

kehilangan harga dirinya ketika terjadi peristiwa-peristiwa buruk.

2. Para peraih prestasi melihat bahwa kegagalan bersifat sementara

Orang yang terlalu mengambil hati pada kegagalan

memandang persoalan sebagai lubang yang menjebaknya. Namun

para peraih prestasi melihat bahwa setiap kesusahan bersifat

sementara bukan sebagai sesuatu yang sifatnya permanen.

3. Para peraih prestasi memandang kegagalan sebagai insiden yang

berdiri sendiri

Jika para peraih prestasi gagal, mereka memandangnya

sebagai peristiwa yang sementara sifatnya, bukan tragedi seumur

hidup. Kegagalan tidak perlu dimasukkan ke dalam hati. Jika

seseorang ingin sukses, jangan biarkan kejadian apapun merusak

pandangannya terhadap dirinya sendiri.

4. Para peraih prestasi menjaga harapan tetap realistis

Semakin sulit prestasi yang ingin dicapai, semakin besar

persiapan mental yang dibutuhkan untuk mengatasi hambatan-

hambatan serta bertekun dalam jangka panjang. Dibutuhkan waktu,

upaya, serta kemampuan untuk mengatasi kemunduran, serta

mampu menjalani kehidupan ini dengan harapan yang masuk akal

dan tidak membiarkan perasaan mengendalikan diri kita jika ada

hal-hal yang tidak berjalan dengan baik.

5. Para peraih prestasi memfokuskan perhatian pada kekuatan-

kekuatan mereka

Satu lagi cara peraih prestasi agar tidak memasukkan

kegagalan ke dalam hati adalah dengan memfokuskan perhatian

pada kekuatan-kekuatannya dengan mengembangkan serta

memaksimalkan kekuatan-kekuatan yang ada dalam dirinya.

6. Para peraih prestasi menggunakan berbagai cara untuk meraih

prestasi

Para peraih prestasi bersedia menggunakan berbagai cara

untuk menghadapi persoalan. Itu penting dalam setiap bidang

kehidupan. Menurut Brian dalam bukunya The Psychology of

Achievement, para peraih prestasi terus mencoba dan menyesuaikan

diri hingga menemukan sesuatu yang mendatangkan hasil bagi

mereka.

7. Para peraih prestasi mudah bangkit kembali

Semua para peraih prestasi memiliki kemampuan untuk

mudah bangkit kembali setelah membuat sesuatu kekeliruan,

kesalahan, atau kegagalan. Para peraih prestasi dapat terus maju

meski apapun yang terjadi karena mereka ingat bahwa kegagalan

tidaklah membuat mereka menjadi orang gagal.

Page 5: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Prestasi Akademik 2.1.1 ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/4861/3/T1_132010060_BAB II.pdf · Selanjutnya menurut Suryabrata (2006) prestasi akademik

16

Dengan demikian tujuh kemampuan para peraih prestasi dalam

mengubah kegagalan menjadi batu loncatan adalah para peraih prestasi

menolak penolakan, para peraih prestasi melihat bahwa kegagalan bersifat

sementara, para peraih prestasi memandang kegagalan sebagai insiden

yang berdiri sendiri, para peraih prestasi menjaga harapan tetap realistis,

para peraih prestasi memfokuskan perhatian pada kekuatan-kekuatan

mereka, para peraih prestasi menggunakan berbagi cara untuk meraih

prestasi, dan para peraih prestasi mudah bangkit kembali.

2.1.3 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Keberhasilan Belajar di

Perguruan Tinggi

Menurut Sudarman (2004) faktor lain yang tak kalah penting dalam

mempengaruhi prestasi belajar, adalah sebagai berikut :

a. Sarana dan Prasarana yang Memadai

Hal ini menyangkut alat-alat belajar yang memadai, tempat belajar

yang nyaman, serta biaya yang mencukupi. Belajar di Perguruan

Tinggi membutuhkan biaya yang cukup besar. Bukan hanya biaya

kuliah tetapi juga biaya-biaya lain, seperti biaya makan, transportasi,

praktikum, serta sewa rumah dan biaya makan sehari-hari bagi yang

berasal dari luar kota. Jika ada yang mengalami masalah biaya, maka

kuliah pun akan terganggu. Tidak jarang mahasiswa yang drop out di

tengah jalan karena faktor ini. Oleh karena itu sebelum memasuki

Perguruan Tinggi alangkah bijaknya bila masalah biaya

dimusyawarahkan dahulu bersama orang tua. Misalnya kalau masuk

Perguruan Tinggi favorit pilihan, berapa biaya yang harus

dipersiapkan untuk pendidikan, sewa rumah, biaya hidup sehari-hari

(transportasi, makan, minum, pakaian, kesehatan). Kalau memang

kondisi keuangan tidak memungkinkan, lebih efektif dan efisien untuk

mengikuti kuliah di kota terdekat.

b. Lingkungan Belajar yang Mendukung

Alasan pemilihan bidang studi seorang calon mahasiswa di Perguruan

Tinggi seringkali bersifat subjektif. Padahal pemilihan bidang studi

yang sesuai akan banyak menunjang efektivitas belajar di Perguruan

Page 6: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Prestasi Akademik 2.1.1 ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/4861/3/T1_132010060_BAB II.pdf · Selanjutnya menurut Suryabrata (2006) prestasi akademik

17

Tinggi. Oleh karena itu, jika seseorang memasuki program studi atau

jurusan karena tekanan orang tua, atrau ikut-ikutan teman, maka tidak

akan mendapatkan hasil yang maksimal. Lingkungan yang

menyenangkan, yang sesuai dengan yang diinginkan, sangat

membantu keberhasilan seseorang dalam belajar. Lingkungan yang

menyenangkan tidak hanya yang berkaitan dengan akademik, tetapi

juga lingkungan yang berkaitan dengan tempat tinggal. Jika seseorang

tinggal di tempat baru, tempat kos misalnya, maka kenalilah

lingkungannya. Dalam hal ini berlaku falsafah hidup “Dimana bumi di

injak disitu langit dijunjung”, artinya hormatilah orang lain, jangan

bersikap sombong dan angkuh terhadap orang lain. Lingkungan yang

baik dan ramah akan membuat seseorang merasa nyaman, dan

membantu seseorang dalam belajar. Lingkungan sekitar, baik secara

geografis maupun psikologis akan sangat mempengaruhi keberhasilan

belajar seseorang di Perguruan Tinggi. Lingkungan geografis misalnya

lingkungan tempat tinggal yang tidak jauh dari kampus, dilalui

kendaraan umum, dan sebagainya. Sedangkan lingkungan secara

psikologis adalah lingkungan yang menyangkut hubungan seseorang

dengan keluarga dan teman-teman. Lingkungan yang kondusif akan

sangat mendukung keberhasilan seseorang. Sebaliknya lingkungan

yang tidak kondusif seperti gaduh, kacau, banyak maksiat, akan sangat

menganggu konsentrasi belajar seseorang.

c. Mengetahui tentang cara kerja otak

Otak yang ajaib akan lebih optimal digunakan apabila seseorang

mengetahui tentang cara kerjanya. Dalam buku Quantum Learning

yang ditulis oleh Bobbi Deporter & Mike Hernacki, dikatakan bahwa

otak manusia terdiri atas dua belahan : otak kiri dan otak kanan.

Masing-masing belahan, otak kiri dan otak kanan memiliki cara kerja

dan kemampuan yang berbeda-beda. Otak kanan cara kerjanya bersifat

acak, tidak teratur, intuitif dan holistik (menyeluruh). Cara berpikirnya

sesuai dengan cara-cara untuk mengetahui yang bersifat nonverbal

seperti perasaan dan emosi, kesadaran yang berkenaan dengan

perasaan (sedih, gembira), kesadaran spasial, pengenalan bentuk dan

pola, musik, seni, kepekaan warna, kreativitas serta visualisasi.

Sedangkan otak kiri cara kerjanya bersifat logis, sekuensial, linier

serta rasional. Biasanya fungsi otak ini didominasi oleh para

fisikawan. Cara kerja dari fungsi otak kiri mampu melakukan tugas-

tugas teratur, seperti menulis, membaca, asosiasi, auditorial,

menempatkan detail dan fakta, fonetik serta simbolis. Dalam kuliah

kedua belahan otak ini besar fungsinya. Untuk menjaga

keseimbangannya perlu diketahui bagaimana caranya. Misalnya :

Seseorang perlu alunan musik dalam belajar untuk menghilangkan

ketegangan, perlu asosiasi dalam memahami sesuatu hal. Dan semua

itu harus selaras dengan cara kera otak.

Page 7: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Prestasi Akademik 2.1.1 ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/4861/3/T1_132010060_BAB II.pdf · Selanjutnya menurut Suryabrata (2006) prestasi akademik

18

Jadi faktor-faktor yang mempengaruhi keberhasilan seseorang belajar

di Perguruan Tinggi adalah sarana dan prasarana yang memadai, lingkungan

belajar yang mendukung, dan mengetahui tentang cara kerja otak.

2.1.4 Pengukuran Prestasi Akademik

Penilaian akhir prestasi mahasiswa dinyatakan dengan lambang

nilai berupa aksara A, AB, B, BC, CD, D, dan E yang dikaitkan dengan

angka kualitas (Sistem Penilaian UKSW, 2009).

Berdasarkan Keputusan Rektor Universitas Kristen Satya Wacana

Nomor : 002/Kep/Rek/I/2009. Tata cara penggolongan nilai pada ayat (4)

pasal ini mengacu kepada Lampiran 02 dan Tabel 03 dalam peraturan ini.

Lambang, nilai, arti, dan angka kualitas nilai adalah sebagai berikut :

A = Bagus sekali, dengan angka kualitas 4,0 per sks

AB = Lebih dari bagus, dengan angka kualitas 3,5 per sks

B = Bagus, dengan angka kualitas 3,0 per sks

BC = Lebih dari cukup, dengan angka kualitas 2,5 per sks

C = Cukup, dengan angka kualitas 2,0 per sks

CD = Kurang dari cukup, dengan angka kualitas 1,5 per sks

D = Kurang, dengan angka kualitas 1,0 per sks

E = Gagal/tidak lulus, dengan angka kualitas 0 per sks

L = Lulus, tanpa angka kualitas

TL = Tidak lulus, tanpa angka kualitas

Page 8: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Prestasi Akademik 2.1.1 ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/4861/3/T1_132010060_BAB II.pdf · Selanjutnya menurut Suryabrata (2006) prestasi akademik

19

Pengukuran prestasi akademik dalam penelitian ini yaitu dengan

mengambil data nilai IPK dari mahasiswa Bimbingan dan Konseling

angkatan 2013 dengan berdasarkan predikat lulus didasarkan IPK

mahasiswa (Buku Peraturan Penyelenggara Kegiatan Akademik Dalam

Sisten Kredit Semester UKSW, 2009) yang dinyatakan sebagai berikut :

2,00 – 2,74 = Lulus dengan predikat BAIK

2,75 – 2,99 = Lulus dengan predikat MEMUASKAN

3,00 – 3,49 = Lulus dengan predikat SANGAT MEMUASKAN

3,50 – 4,0 = Lulus dengan predikat TERPUJI (CUMLAUDE)

asal memenuhi

persyaratan

2.1.5 Ciri-Ciri Individu Yang Berprestasi

Setiap individu yang telah terpenuhi kebutuhan pokoknya pastilah

sedikit banyak memiliki keinginan mencapai prestasi dalam bidang

akademis. Namun yang membedakan antara individu yang memiliki

keinginan mencapai prestasi yang tinggi dan rendah adalah keinginan

dirinya untuk dapat menyelesaikan sesuatu dengan baik (Rola, 2006).

Sobur (2006) menyatakan bahwa ciri individu yang memiliki

keinginan berprestasi yang rendah adalah ;

1 Berprestasi dihubungkan dengan seperangkat standar. Seperangkat

standar tersebut dihubungkan dengan prestasi orang lain, prestasi diri

sendiri yang sudah pernah diraih.

2 Tidak memiliki tanggung jawab peribadi terhadap kegiatan-kegiatan

yang dilakukan.

3 Tidak adanya kebutuhan untuk mendapatkan umpan balik atas

pekerjaan yang dilakukan sehingga dapat diketahui dengan cepat hasil

yang diperoleh dari kegiatannya, lebih baik atau lebih buruk.

4 Menghindari tugas-tugas yang sulit.

Page 9: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Prestasi Akademik 2.1.1 ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/4861/3/T1_132010060_BAB II.pdf · Selanjutnya menurut Suryabrata (2006) prestasi akademik

20

Sebaliknya individu yang memiliki keinginan mencapai prestasi

akademik yang tinggi adalah :

1 Individu yang memiliki standar berprestasi, memiliki tanggung jawab

pribadi atas apa yang dilakukannya, individu lebih suka bekerja pada

situasi dimana dirinya mendapat umpan balik sehingga dapat diketahui

seberapa baik tugas yang telah dilakukannya.

2 Individu tidak menyukai keberhasilan yang bersifat kebetulan atau

karena tindakan orang lain.

3 Individu lebih suka bekerja pada tugas yang tingkat kesulitannya

menengah dan realisitis dalam pencapaian tujuannya.

4 Individu bersifat inovatif dimana dalam melakukan tugas selalu

dengan cara yang berbeda, efisien dan lebih baik dari yang

sebelumnya, dengan demikian individu merasa lebih dapat menerima

kegagalan atas apa yang dilakukannya.

Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa ciri-ciri individu yang

memiliki keinginan mencapai prestasi akademik dibedakan menjadi dua,

yaitu individu yang berkeinginan mencapai prestasi akademik yang rendah

dan individu yang berkeinginan mencapai prestasi akademik yang tinggi.

2.2 Adversity Quotient

2.2.1 Definisi Adversity Quotient

Hasil riset selama 19 tahun dan penerapannya selama 10 tahun

merupakan terobosan penting tentang apa yang dibutuhkan untuk

mencapai kesuksesan. Adversity quotient disusun berdasarkan hasil riset

penting lusinan ilmuwan kelas atas dan lebih dari 500 kajian di seluruh

dunia. Dengan memanfaatkan tiga cabang ilmu pengetahuan : psikologi

kognitif, psikoneuroimunologi, dan neurofisiologi. Adversity quotient

memasukkan dua komponen penting dari setiap konsep praktis, yaitu teori

ilmiah dan penerapannya di dunia nyata. Konsep-konsep dan peralatan

Page 10: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Prestasi Akademik 2.1.1 ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/4861/3/T1_132010060_BAB II.pdf · Selanjutnya menurut Suryabrata (2006) prestasi akademik

21

yang disajikan disini telah diasah selama bertahun-tahun dengan

menerapkannya pada ribuan orang dari perusahaan-perusahaan di seluruh

dunia (Stoltz, 2000).

Menurut Stoltz (2000), suksesnya seseorang bergantung pada

adversity quotient, yaitu pertama adversity quotient memberitahu

seberapa jauh seseorang mampu bertahan menghadapi kesulitan dan

kemampuan untuk mengatasinya. Kedua, adversity quotient meramalkan

siapa yang mampu mengatasi kesulitan dan siapa yang akan hancur.

Ketiga, adversity quotient meramalkan siapa yang akan melampaui

harapan-harapan atas kinerja dan potensinya, serta siapa yang akan gagal.

Keempat, adversity quotient meramalkan siapa yang akan bertahan.

Adversity quotient juga memiliki tiga bentuk, pertama, adversity

quotient adalah suatu kerangka kerja konseptual yang baru untuk

memahami dan meningkatkan semua segi kesuksesan. Kedua, adversity

quotient adalah suatu ukuran untuk mengetahui respon anda terhadap

kesulitan. Terakhir, adversity quotient adalah serangkaian peralatan yang

memiliki dasar ilmiah untuk memperbaiki respons anda terhadap

kesulitan.

Adversity quotient menunjukkan apakah seseorang mampu berdiri

teguh, tidak goyah, kemudian dapat bertumbuh sewaktu ia dihadapkan

dengan kesulitan. Hal ini juga merupakan faktor mendasar dari

kesuksesan, yang dapat menunjukkan bagaimana dan untuk apa seseorang

itu bersikap, kemampuannya, serta penampilannya yang tampak di dunia

Page 11: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Prestasi Akademik 2.1.1 ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/4861/3/T1_132010060_BAB II.pdf · Selanjutnya menurut Suryabrata (2006) prestasi akademik

22

(Stoltz 2000). Stoltz juga mengungkapkan adanya kecenderungan

manusia yang memiliki keinginan berkembang, mendapatkan yang lebih

untuk mengembangkan dirinya sebagai suatu bentuk aktualisasi diri dalam

bekerja. Selain itu, individu tersebut senantiasa termotivasi dalam bekerja,

memiliki keuletan, daya tahan yang baik terhadap pekerjaan, dan memiliki

tanggung jawab yang tinggi untuk mengembangkan diri.

Jadi dapat disimpulkan bahwa adversity quotient menunjukkan

apakah seseorang mampu berdiri teguh, tidak goyah, kemudian dapat

bertumbuh sewaktu diharapkan dengan kesulitan.

2.2.2 Teori Adversity Quotient

Dalam mewujudkan kompetensi, seseorang perlu melakukan

langkah-langkah yang memungkinkan individu tersebut mencapai

tujuannya. Menurut Stoltz (2000) seseorang dapat sukses dalam pekerjaan

dan hidup terutama ditentukan oleh adversity quotient. Penemuan terhadap

adversity quotient didasarkan pada hasil riset penting ilmuwan selama 19

tahun dan penerapannya selama 10 tahun, serta lebih dari 500 kajian di

seluruh dunia. Dengan memanfaatkan tiga cabang ilmu pengetahuan yaitu,

psikologi kognitif, psikoneuroimunologi, dan neurofisiologi.

1 Psikologi Kognitif

Berhubungan dengan kemampuan individu untuk mengendalikan atau

menguasai kehidupan, juga berhubungan dengan individu yang

merespon dan menjelaskan kesulitan. Respon terhadap kesulitan

terbentuk dari pola-pola yang sifatnya di bawah sadar, dan bekerja di

luar kesadaran, seperti mengendalikan diri. Individu yang mampu

merespon kesulitan dengan baik, akan mempengaruhi semua segi

efektivitas, kinerja, dan kesuksesan.

Page 12: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Prestasi Akademik 2.1.1 ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/4861/3/T1_132010060_BAB II.pdf · Selanjutnya menurut Suryabrata (2006) prestasi akademik

23

2 Psikoneuroimunologi

Berhubungan langsung dengan mata rantai antara respon seseorang

pada kesulitan dengan kesehatan mental dan kesehatan fisik atau

jasmani.Juga respon seseorang terhadap kesulitan fungsi-fungsi

kekebalan, kesembuhan dari operasi, kerawanan terhadap penyakit

yang mengancam jiwa.Jika pola respon terhadap adversity ini lemah,

ini dapat menyebabkan depresi.

3 Neurofisiologi

Menjelaskan bagaimana otak idealnya diperlengkapi untuk

membentuk kebiasaan-kebiasaan. Kebiasaan-kebiasaan dapat secara

mendadak dihentikan dan diubah. Jika diganti, kebiasaan-kebiasaan

lama akan lenyap, sementara kebiasaan-kebiasaan baru akan

berkembang.

Jadi, jika individu memiliki respon yang positif terhadap kesulitan-

kesulitan dalam belajar atau untuk mencapai prestasi belajar, maka respon

tersebut akan mempengaruhi kesehatan fisiknya, dimana individu tersebut

tidak menjadi stres atau depresi. Sehingga individu itu akan menciptakan

kebiasaan-kebiasaan positif, sebagai hasil dari kerja otak yang merespon

kesulitan secara positif.

2.2.3 Tipe Individu dalam Adversity Quotient

Stoltz (2000) mengungkapkan bahwa adversity quotient memiliki

tiga tipe individu, hal ini digambarkan oleh Stoltz sebagai seorang

pendaki, yang mendaki sebuah gunung hingga sampai pada tujuan.

Pendakian yang dimaksudkan oleh Stoltz adalah menggerakkan tujuan

hidup ke depan. Itulah sebabnya Stoltz membagi tiga tipe Individu dalam

menuju kesuksesan.

1. Quitters (pecundang atau mereka yang berhenti) adalah tipe individu

yang langsung berhenti di awal pendakian, memilih untuk keluar,

menghindari kewajiban, mundur, dan berhenti, cenderung untuk selalu

memilih jalan yang datar dan lebih mudah. Individu umumnya bekerja

Page 13: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Prestasi Akademik 2.1.1 ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/4861/3/T1_132010060_BAB II.pdf · Selanjutnya menurut Suryabrata (2006) prestasi akademik

24

sekedar untuk hidup. Semangat kerja yang minim, tidak berani

mengambil resiko dan cenderung tidak kreatif, menolak kesempatan,

mengabaikan. Menutupi atau meninggalkan dorongan inti yang

memanusiawi untuk mendaki, meninggalkan hal yang ditawarkan oleh

kehidupan, tidak memiliki visi dan misi yang jelas serta berkomitmen

rendah ketika menghadapi tantangan didepan.

2. Campers (pekemah) adalah tipe individu yang berhenti dan tinggal di

tengah pendakian, mendaki secukupnya dan berhenti kemudian

mengakhiri pendakiannya. Sekalipun tipe ini berbeda dengan tipe

quitters, namun pendakian yang tidak selesai ini selalu dianggap

sebagai “kesuksesan", sehingga tidak ada lagi keinginan untuk

mencapai kesuksesan yang sesungguhnya. Fokusnya berpaling untuk

kemudian menikmati kenyamanan dari hasil yang sudah dicapai

sebagai tempat persembunyian dari situasi yang tidak bersahabat.

3. Climbers (pendaki) tipe individu yang tidak menghiraukan latar

belakang, keuntungan atau kerugian, masib buruk atau nasib baik,

melainkan terus mendaki. Climber adalah pemikir yang selalu

memikirkan kemungkinan dan tidak pernah membiarkan umur, jenis

kelamin, ras, cacat fisik atau mental, atau hambatan lainnya

menghalangi pendakian.

Dengan demikian, tiga tipe kepribadian dari adversity quotient adalah

quitter (pecundang), campers (pekemah), climbers (pendaki).

2.2.4 Dimensi-dimensi Adversity Quotient

Stoltz (2000) menyatakan bahwa adversity quotient manusia terdiri

atas empat dimensi yang singkat dengan CO₂RE yaitu control (kendali),

origin (asal-usul) dan ownership (pengakuan), reach (jangkauan),

endurance (daya tahan).

1) Control

Dimensi ini mempertanyakan, berapa banyak kendali yang dirasakan

seseorang terhadap sebuah peristiwa yang menimbulkan kesulitan?

Kata kuncinya adalah merasakan. Dimensi ini adalah suatu awal yang

penting, mereka yang adversity quotient nya lebih tinggi merasakan

kendali yang lebih besar atau peristiwa pendakian dan relatif kebal

terhadap ketidakberdayaan, sementara orang yang adversity quotient

nya lebih rendah cenderung lemah atau dalam kehidupannya daripada

seseorang yang memiliki adversity quotient yang lebih rendah dan

Page 14: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Prestasi Akademik 2.1.1 ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/4861/3/T1_132010060_BAB II.pdf · Selanjutnya menurut Suryabrata (2006) prestasi akademik

25

mereka yangadversity quotientnya lebih tinggi cenderung melakukan

berhenti.

2) Origin dan Ownership

Dimensi ini mempertanyakan sejarah dimana individu mengendalikan

diri untuk memperbaiki situasi yang dihadapi, tanpa memperdulikan

penyebabnya. Individu yang memiliki skor Ownership yang tinggi

akan mengambil tanggung jawab untuk memperbaiki keadaan, apapun

penyebabnya. Adapun individu yang memiliki skor Ownership sedang

memiliki tanggung jawab atas kesulitan yang terjadi, tetapi mungkin

akan menyalahkan diri sendiri atau orang lain ketika ia lelah.

Sedangkan individu yang memiliki skor Ownership yang rendah akan

menyangkal tanggung jawab orang lain atas kesulitan yang terjadi.

3) Reach

Dimensi ini mempertanyakan sejauh manakah kesulitan akan

menjangkau bagian-bagian lain dari kehidupan seseorang? Individu

yang memiliki skor R yang rendah maka, semakin besar

kemungkinannya menganggap peristwa buruk sebagai bencana,

dengan membiarkannya meluas sehingga mengambil kebahagiaan dan

ketenagan pikiran seseorang. Sebaliknya, semakin tinggi skor R,

semakin besar kemungkinan membatasi jangkauan masalahnya pada

peristiwa yang sedang dihadapi.

4) Endurance

Dimensi terakhir ini mempertanyakan dua hal yang berkaitan berapa

lamakah kesulitan akan berlangsung dan berapa lamakah penyebab

kesulitan akan berlangsung. Jika skor E seseorang rendah, semakin

besar kemungkinan orang tersebut menganggap kesulitan atau

penyebab-penyebabnya akan berlangsung lama. Sebaliknya, semakin

tinggi skor E seseorang, akan memperbesar kemungkinan seseorang

menganggap kesulitan yang dihadapinya akan berlangsung dalam

waktu singkat atau sementara.Berdasarkan penilitian Seligman, riset

tentang teori atribusi, sebagaimana dilakukan oleh Johnson dan Biddle

(dalam Stoltz, 2000) yang diterapkan di dalam olahraga, ditemukan

bahwa individu yang melihat kemampuan mereka sebagai penyebab

kegagalan (penyebab yang stabil), cenderung kurang bertahan bila

dibandingkan dengan orang yang mengaitkan kegagalan dengan usaha

(penyebab yang sifatnya sementara).

Jadi dimensi adversity quotient baik itu control (kendali), origin dan

ownership (asal-usul dan pengakuan), maupun reach (jangkauan), endurance

(daya tahan) dapat mengukur kemampuan seseorang dalam menghadapi

kesulitan.

Page 15: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Prestasi Akademik 2.1.1 ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/4861/3/T1_132010060_BAB II.pdf · Selanjutnya menurut Suryabrata (2006) prestasi akademik

26

2.2.5 Faktor-faktor yang mempengaruhi adversity quotient

Menurut Stoltz (2000), faktor-faktor yang mempengaruhi adversity

quotient atau faktor-faktor kesuksesan mencakup semua yang diperlukan

untuk mendaki, adalah

1 Daya saing

Jason Sattefield dan Martin Seligman (dalam Stoltz, 2000),

menemukan individu yang merespon kesulitan secara lebih optimis

dapat diramalkan akan bersifat lebih agresif dan lebih mengambil

banyak resiko, sedangkan reaksi yang lebih pesimis terhadap kesulitan

menimbulkan lebih banyak sikap pasif dan hati-hati. Individu yang

secara konstruksi terhadap kesulitan lebih tangkas dalam memelihara

energi fokus dan tenang yang diperlukan supaya berhasil dalam

persaingan. Persaingan sebagian besar berkaitan dengan harapan,

kegesitan, dan keuletan yang sangat ditentukan oleh cara seseorang

menghadapi tantangan dan kegagalan dalam kehidupan.

2 Produktivitas

Penelitian yang dilakukan Stoltz, menemukan korelasi yang kuat

antara kejernihan dan cara-cara pegawai merespon kesulitan.

Selingman (2006) membuktikan bahwa orang yang tidak merespon

kesulitan baik produksi, dan kinerjanya lebih buruk daripada mereka

yang merespon kesulitan dengan baik.

3 Kreativitas

Joel Barker (dalam Stoltz, 2000), kreativitas muncul dalam keputusan,

kreativitas menuntut kemapuan untuk mengatasi kesulitan yang

ditimbulkan oleh hal-hal yang tidak pasti. Joel Barker menemukan

orang-orang yang tidak mampu menghadapi kesulitan menjadi tidak

mampu bertindak kreatif. Oleh karena itu, kreativitas menuntut

kemampuan untuk mengatasi kesulitan oleh hal-hal yang tidak pasti.

4 Motivasi

Stoltz (2000) melakukan penelitian untuk mengukur motivasi

karyawan perusahaan farmasi dalam semua pekerjaan yang dilakukan.

Stoltz menemukan bahwa mereka yang adversity quotientnya tinggi

dianggap sebagai orang-orang yang memiliki motivasi.

5 Mengambil Resiko

Sattrerfield dan Seligman (dalam Stolz, 2000) menemukan bahwa

individu yang merespon kesulitan secara lebih konstruktif, yang

bersedia mengambil banyak resiko . Resiko merupakan aspek esensial

pendakian.

6 Perbaikan

Perbaikan dibutuhkan dalam era yang terus-menerus mengalami

perubahan, supaya dapat bertahan, mencegah supaya tidak ketinggalan

zaman dalam karir maupun dalam kehidupan pribadi lainnya.

Page 16: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Prestasi Akademik 2.1.1 ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/4861/3/T1_132010060_BAB II.pdf · Selanjutnya menurut Suryabrata (2006) prestasi akademik

27

7 Ketekunan

Ketekunan merupakan inti pendakian dari adversity quotient.

Ketekunan adalah kemampuan untuk terus-menerus berusaha, bahkan

manakala dihadapkan pada kemunduran atau kegagalan.

8 Belajar

Inti abad informasi ini adalah kebutuhan untuk terus-menerus

mengumpulkan dan memproses arus pengetahuan yang tidak ada

hentinya. Dweck (dalam Stoltz, 2000) membuktikan bahwa anak-anak

dengan respon yang pesimistis terhadap kesulitan tidak akan banyak

belajar dan berprestasi jika dibandingkan dengan anak-anak yang

memiliki pola-pola yang lebih optimis.

9 Merangkul Perubahan

Perubahan adalah bagian dari hidup sehingga setiap individu harus

menentukan sikap untuk menghadapinya. Stoltz (2000), menemukan

individu yang memeluk perubahan cenderung merespon dan secara

lebih konstruktif. Dengan memanfaatkannya untuk memperkuat niat,

individu merespon dengan mengubah kesulitan menjadi peluang.

Orang-orang yang hancur dalam perubahan akan hancur oleh

kesulitan.

10 Keuletan, Stress, Tekanan, Kemunduran

Stres dan tekanan seringkali dihadapkan pada setiap manusia setiap

harinya, dan orang yang tidak mampu mengelola situasi itu akan

mengalami kemunduran. Seorang climbers pun dapat jatuh jika

dihadapkan dengan tekanan yang terus-menerus dihadapkan padanya,

namun keuletan menungkinkan tiap orang untuk bangkit

kembali.Suzanne Oulette (dalam Stoltz, 2000) memperlihatkan bahwa

orang-orang yang merespon kesulitan dengan sifat tahan banting,

pengendalian, tantangan, dan komitman akan tetap ulet dalam

menghadapi kesulitan.

Jadi faktor-faktor yang mempengaruhi adversity quotient seseorang

adalah daya saing, produktivitas, motivasi, kreativitas, mengambil resiko,

perbaikan, ketekunan, belajar, merangkul perubahan dan keuletan.

2.3 Mahasiswa Program Studi Bimbingan dan Konseling

Bimbingan dapat diartikan sebagai upaya pemberian bantuan kepada

peserta didik dalam rangka mencapai perkembangannya yang optimal.

Sedangkan Konseling merupakan layanan utama bimbingan dalam upaya

Page 17: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Prestasi Akademik 2.1.1 ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/4861/3/T1_132010060_BAB II.pdf · Selanjutnya menurut Suryabrata (2006) prestasi akademik

28

membantu individu agar mampu mengembangkan dirinya dan mengatasi

masalahnya, melalui hubungan face to face atau melalui media, baik

secara perorangan maupun kelompok (Yusuf, 2005). Jadi dapat

disimpulkan bahwa Bimbingan dan Konseling bertujuan untuk membantu

individu agar memperoleh pencerahan diri (intelektual, emosional, sosial,

dan moral-spiritual) sehingga mampu menyesuaikan diri secara dinamis

dan konstruktif, dan mampu mencapai kehidupannya yang bermakna

(produktif dan kontributif), baik bagi dirinya sendiri maupun bagi orang

lain.

Mahasiswa Program Studi Bimbingan dan Konseling angkatan 2013

termasuk dalam usia dewasa awal yaitu antara usia 18-40 tahun, saat

perubahan-perubahan fisik dan psikologis yang menyertai berkurangnya

kemampuan reproduktif (Hurlock, 1999). Menurut Kenniston (dalam

Santrock, 2002) masa dewasa awal merupakan periode transisi antara

masa remaja dan masa dewasa yang merupakan masa perpanjangan

kondisi ekonomi dan pribadi yang sementara. Kriteria penting untuk

menunjukkan permulaan dari masa dewasa awal, yaitu kemandirian

ekonomi dan kemandirian dalam membuat keputusan, serta mampu

bertanggung jawab pada diri sendiri.

Fase usia dewasa awal merupakan fase memasuki awal kehidupan

yang mulai dihadapkan kepada berbagai perjuangan, kreativitas,

tantangan, perubahan diri, serta problematika yang secara simultan dan

kompleks yang dihadapi individu (Hurlock, 1999). Pada masa dewasa

Page 18: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Prestasi Akademik 2.1.1 ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/4861/3/T1_132010060_BAB II.pdf · Selanjutnya menurut Suryabrata (2006) prestasi akademik

29

awal individu mulai melakukan penyesuaian diri terhadap pola-pola

kehidupan baru dan harapan-harapan sosial baru. Penyesuaian diri ini

menjadikan periode sulit dari rentang kehidupan seseorang, pada masa

dewasa awal ini biasanya individu menemui banyak kesulitan dan banyak

anak muda dalam kategori ini merasakan tahun-tahun awal masa dewasa

yang sedemikian sulit, sehingga mencoba memperpanjang ketergantungan

dengan mempertahankan status mahasiswanya.

Menjadi mahasiswa bukanlah hal yang mudah bagi sebagian remaja

yang telah lulus dari SMA dan melanjutkan pendidikan ke Perguruan

Tinggi. Menjadi mahasiswa mengharuskan remaja yang bersangkutan

untuk melakukan penyesuaian-penyesuaian diri dengan situasi dan

tuntutan yang baru. Mahasiswa tahun kedua dan ketiga akan mengalami

gangguan-gangguan pada bulan-bulan sibuk mengumpulkan tugas dan

menjelang ujian tengah semester maupun ujian akhir. Kekurangmampuan

dalam menjalankan peranannya sebagai mahasiswa akan mempengaruhi

keberhasilan atau tidaknya individu tersebut selama menjalani studi

maupun kehidupan selanjutnya (Siswanto, 2007).

Dalam tahun-tahun awal masa dewasa banyak masalah baru yang

harus dihadapi seseorang, masalah-masalah baru ini dari segi utamanya

berbeda dari masalah-masalah yang sudah dialami sebelumnya. Menurut

Brouwer (dalam Alisjahbana, 1983), beberapa masalah yang harus

diperhatikan oleh mahasiswa dalam kaitannya dengan penyesuaian diri

dengan situasi dan status baru yang dihadapi, yaitu :

Page 19: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Prestasi Akademik 2.1.1 ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/4861/3/T1_132010060_BAB II.pdf · Selanjutnya menurut Suryabrata (2006) prestasi akademik

30

a. Masalah pertama yang perlu diperhatikan adalah mengenai cara

belajar. Pelajar SMA biasanya memiliki cara belajar yang lebih pasif

bila dibanding dengan mahasiswa. Ini disebabkan oleh cara

pembelajaran yang memang berbeda. Hampir semua materi pelajaran

SMA diberikan oleh guru. Asalkan siswa menyimak baik-baik materi

yang diberikan dan belajar hanya dari materi tersebut, biasanya itu

sudah cukup. Berbeda dengan perguruan tinggi yang menuntut

mahasiswa untuk lebih aktif dalam mempelajari dan memahami

materi. Materi yang diberikan dosen biasanya bersifat sebagai

pengantar, sedangkan pendalaman lebih lanjut diserahkan kepada

mahasiswa yang bersangkutan. Ini menyebabkan kedalaman dalam

memahami suatu materi tergantung dari keaktifan mahasiswa dengan

usahanya mencari referensi-referensi yang berkaitan dengan materi

yang diajarkan. Belum lagi perbedaan sistem paket yang diterapkan di

SMA dan sistem SKS yang berlaku di Perguruan Tinggi, yang betul-

betul menuntut mahasiswa untuk lebih akif kalau ingin lulus dengan

nilai yang memuaskan dan dalam jangka waktu yang singkat.

b. Masalah kedua adalah berkaitan dengan perpindahan tempat. Bagi

sebagian besar mahasiswa, memasuki perguruan tinggi berarti juga

harus berpindah tempat dari tinggal bersama dengan orang tua,

menjadi tinggal bersama dengan orang lain, entah itu kost, kontrakan

atau tinggal bersama dengan saudara. Belum lagi bila situasi di tempat

asal ternyata berbeda sama sekali dengan situasi di tempat yang baru.

Page 20: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Prestasi Akademik 2.1.1 ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/4861/3/T1_132010060_BAB II.pdf · Selanjutnya menurut Suryabrata (2006) prestasi akademik

31

Misalnya dari lingkungan desa ke kota besar, tempat biasanya

Perguruan Tinggi yang baik berada. Perpindahan tempat semacam ini

membutuhkan energi yang besar untuk melakukan penyesuaian diri

pada awalnya.

c. Masalah ketiga berkaitan dengan mencari teman baru dan hal-hal yang

berkaitan dengan pergaulan. Menjadi mahasiswa berarti hubungan

dengan teman-teman karib sewaktu SMA menjadi semakin renggang

karena pertemuan yang semakin kurang dan sekaligus ada tuntutan

untuk mencari teman-teman yang baru. Mencari teman yang cocok

bukanlah merupakan hal yang mudah. Apalagi biasanya teman-teman

yang cocok bukanlah merupakan hal yang mudah. Apalagi biasanya

teman-teman kuliah maupun di tempat sekitar tinggal biasanya juga

berasal dari latar keluarga yang berbeda-beda. Gagal mendapatkan

teman yang sesuai bisa berakibat timbulnya perasaan kesepian.

Berkaitan dengan masalah teman dan pergaulan ini adalah masalah

seksualitas. Mahasiswa secara biologis seksualitasnya telah matang.

Namun norma-norma sosial masih menghalangi aktualitas perilaku

seksual secara penuh. Ketika masih dalam lingkungan keluarga sedikit

banyak masih ada kontrol dari orang tua, saudara dan lembaga-

lembaga kemasyarakatan (gereja, masjid, organisasi atau perkumpulan

remaja) yang membantu remaja bersangkutan untuk mengatasi

masalah seksualitasnya. Namun di tempat yang baru, ketika

mahasiswa yang bersangkutan dituntut untuk membuat keputusan dan

Page 21: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Prestasi Akademik 2.1.1 ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/4861/3/T1_132010060_BAB II.pdf · Selanjutnya menurut Suryabrata (2006) prestasi akademik

32

pilihan-pulihan sendiri, seksualitas bisa muncul menjadi masalah yang

serius.

d. Masalah keempat berhubungan dengan perubahan relasi. Relasi

dengan orang tua, saudara dan teman sewaktu tinggal dalam keluarga

merupakan relasi yang lebih bersifat pribadi. Namun relasi-relasi

tersebut berubah menjadi lebih bersifat fungsionil ketika menjadi

mahasiswa. Relasi orang tua-anak, antar saudara, antar teman

sepermainan diganti dengan relasi dosen-mahasiswa, mahasiswa-

mahasiswa dan sebagainya. Perubahan relasi itu juga dapat menjadi

kesulitan tersendiri bagi mahasiswa.

e. Masalah kelima berkaitan dengan pengaturan waktu. Menjadi

mahasiswa untuk sebagian besar berarti bebas mengatur waktu

menurut kehendaknya sendiri, karena tidak ada orang lain yang

mengontrol. Ketidakmampuan dalam mengatur waktu antara kegiatan

kuliah, belajar, bermain dan aktifitas lainnya dapat mengakibatkan

munculnya masalah-masalah lain yang terutama berkaitan dengan

tugas belajarnya.

Masalah lainnya menyangkut nilai-nilai hidup. Berbagai macam

orang yang ditemui serta berbagai macam informasi yang diterima di

Perguruan Tinggi yang biasanya lebih terbuka, bisa mengakibatkan

mahasiswa yang bersangkutan mengalami krisis nilai. Nilai-nilai lama

yang dibawa dan dihidupi selama ini diperhadapkan dengan nilai-nilai baru

yang ditemui yang dirasa lebih sesuai. Tidak jarang selama masa krisis ini,

Page 22: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Prestasi Akademik 2.1.1 ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/4861/3/T1_132010060_BAB II.pdf · Selanjutnya menurut Suryabrata (2006) prestasi akademik

33

kehidupan mahasiswa yang bersangkutan menjadi tidak menentu dan

membawa dampak yang negatif bagi kesejahteraannya.

Bila mahasiswa berhasil menangani masalah-masalah yang

dihadapinya dengan sukses, maka yang bersangkutan akan dapat menjalani

kehidupan dan peranannya sebagai mahasiswa dengan baik dan lancar.

Namun bila mahasiswa tersebut gagal menangani masalah-masalah yang

ada, maka peranannya sebagai mahasiswa dan kehidupannya pribadinya

akan mengalami gangguan dan hambatan.

2.4 Penelitian yang relevan

Menurut penelitian Hardika (2011) menunjukkan bahwa dengan

adanya skor adversity quotient yang tinggi akan menunjang prestasi belajar

siswa-siswi SMA Kristen Kalam Kudus Sukoharjo yang sedang berada

dalam fase perkembangan remaja. Sehingga muncul hipotesis empirik,

yaitu terdapat hubungan positif yang signifikan antara adversity quotient

dengan prestasi belajar pada siswa SMA Kristen Kalam Kudus Sukoharjo.

Setelah dilakukan pengolahan data dengan mengkorelasikan hasil dari

angket adversity quotient dengan prestasi yang didapatkan pada mid

semester siswa-siswi SMA Kristen Kalam Kudus Sukoharjo didapatkan

angka korelasi sebesar 0.153 (r=0,153) dengan hasil korelasi positif

tersebut dapat diartikan bahwa semakin tinggi skor adversity quotient

seseorang maka semakin tinggi pula prestasi belajar yang dimilikinya.

Signifikansi sebesar 0.027 dengan syarat signifikansi p<0.05 (signifikansi

Page 23: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Prestasi Akademik 2.1.1 ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/4861/3/T1_132010060_BAB II.pdf · Selanjutnya menurut Suryabrata (2006) prestasi akademik

34

lebih kecil dari 0.05) maka dapat diartikan bahwa terdapat korelasi yang

signifikan antara kedua variabel yang diteliti. Presentase adversity quotient

mempengaruhi prestasi belajar sebesar 2,34 %, hal ini berarti terdapat

faktor-faktor lain di luar adversity quotient memberi pengaruh terhadap

prestasi belajar sebesar 97,66 %. Dengan munculnya hasil tersebut maka

H0 ditolak dan H1 diterima sehingga dikatakan adanya korelasi yang

positif signifikan antara adversity quotient dengan prestasi belajar siswa-

siswi SMA Kristen Kalam Kudus Sukoharjo.

Dari hasil penelitian yang dilakukan oleh Hutasoit (2009), dapat

diambil kesimpulan bahwa ada hubungan yang positif signifikan antara

adversity quotient dan prestasi belajar pada ranah kognitif siswa. Artinya

adversity quotient yang tinggi akan diikuti dengan prestasi belajar pada

ranah kognitif yang tinggi pula. Sedangkan dalam konteks penelitian yang

dilakukan pada SMA Negeri 2 Ambon diperoleh korelasi antara adversity

quotient dengan prestasi belajar pada ranah kognitif adalah sebesar 0,309

dengan tingkat signifikansi 0,039. Artinya adversity quotient yang tinggi

akan akan diikuti dengan prestasi belajar pada ranah kognitif yang tinggi

pula. Dengan demikian, sumbangan efektif dari adversity quotient terhadap

prestasi belajar siswa SMA Negeri 2 Ambon sebesar 9,6 %. Sedangkan

0,04 % prestasi belajar pada ranah kognitif siswa juga dipengaruhi oleh

hal-hal lain diluar adversity quotient. Angka signifikansi sebesar 0,039

(probabilitas 0,039 yang lebih kecil dari 0,05) menunjukkan ada hubungan

yang signifikan antara adversity quotient dengan prestasi belajar pada

Page 24: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Prestasi Akademik 2.1.1 ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/4861/3/T1_132010060_BAB II.pdf · Selanjutnya menurut Suryabrata (2006) prestasi akademik

35

ranah kognitif siswa. Adversity quotient siswa SMA Negeri 2 Ambon

memiliki rata-rata sebesar 114.0222 yang masuk ke dalam kategori tinggi.

Dengan kata lain, siswa SMA Negeri 2 Ambon memiliki adversity

quotient yang tergolong baik. Prestasi belajar pada ranah kognitif siswa

SMA Negeri 2 Ambon juga termasuk dalam kategori tinggi dengan rata-

rata sebesar 83.3089. Sehingga dapat dikatakan bahwa tingkat prestasi

belajar siswa SMA Negeri 2 Ambon pada ranah kognitif tergolong baik.

2.5 Hubungan Antara Adversity Quotient dengan Prestasi Akademik

Perbedaan antara orang yang prestasinya biasa-biasa saja dengan

orang yang berprestasi adalah pandangan dan respons nereka terhadap

kegagalan atau kesulitan (Maxwell, 2000). Adversity quotient menurut

Stoltz (2000) adalah suatu kemampuan yang menentukan apakah

seseorang tetap menaruh harapan dan terus memegang kendali dalam

situasi yang sulit. Stoltz juga mengungkapkan bahwa siswa yang memiliki

adversity quotient tinggi akan mengarahkan segala potensi yang dimiliki

untuk meraih prestasi atau dapat memberikan hasil yang terbaik, serta akan

selalu termotivasi untuk berpretasi.

Stoltz (2000) menyatakan bahwa adversity quotient memiliki

pengaruh besar dalam hampir di seluruh aspek kehidupan seseorang.

Pengetahuan dan ketekunan dalam diri seseorang merupakan tolak ukur

penting untuk menilai prestasi seseorang. Prestasi akademik menurut

Azwar (2002) adalah bukti peningkatan atau pencapaian yang diperoleh

Page 25: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Prestasi Akademik 2.1.1 ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/4861/3/T1_132010060_BAB II.pdf · Selanjutnya menurut Suryabrata (2006) prestasi akademik

36

seorang siswa sebagai pernyataan ada tidaknya kemajuan atau

keberhasilan dalam program pendidikan.

Kesimpulannya adversity quotient mempengaruhi proses dan hasil

belajar seseorang, orang-orang yang memiliki adversity quotient tinggi

akan menghasilkan prestasi belajar yang tinggi.

2.5 Hipotesis

Berdasarkan rumusan masalah yang telah diungkapkan sebelumnya,

maka penulis mengajukan hipotesis sebagai berikut :

“Ada hubungan yang signifikan antara adversity quotient dengan prestasi

akademik pada mahasiswa BK FKIP UKSW angkatan 2013”.