BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Perilaku Caring

22
10 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Perilaku Caring 2.1.1 Caring menurut pandangan beberapa pakar keperawatan Caring dibahas oleh beberapa pakar keperawatan melalui pendekatan yang berbeda-beda. Watson (1979, dalam Tomey & Alligod, 2006) menyatakan caring sebagai “core” atau inti dari praktik keperawatan yang hanya bisa efektif jika dipraktikan dalam hubungan interpersonal. Watson (1979, dalam Watson 2005) menjelaskan caring dalam 10 faktor karatif. Kemudian pada tahun 2001 Watson menjelaskan caring dalam proses caritas klinik yang lebih eksplisit menjelaskan hubungan caring dengan cinta. Watson mengartikan Caritas dengan menghargai dan memberikan perhatian yang penuh cinta. Caritas hampir sama dengan bentuk original caratif, namun lebih dapat menjelaskan lebih dalam tentang hubungan caring dan cinta transpersonal (Watson, 2005). Eriksson juga menjelaskan caring didasari oleh caritas yaitu penggabungan dari cinta dan kemurahan hati. Eriksson menggambarkan caring sebagai suatu hubungan yang penuh intensitas, vitalitas, hangat, dekat, santai, peduli, jujur dan toleran. Eriksson mengatakan caring merupakan usaha untuk mengurangi penderitaan dengan penuh kemurahan hati, cinta, kepercayaan, dan harapan yang diekspresikan melalui perawatan, permainan dan pembelajaran (Eriksson, 1995, 2002, dalam Tomey & Alligod, 2006). Martinsen (1989, dalam Tomey & Alligod, 2006) berpendapat bahwa bentuk “care” bukan hanya merupakan nilai dasar keperawatan, tapi juga merupakan prasyarat dasar untuk kehidupan. Care

Transcript of BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Perilaku Caring

Page 1: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Perilaku Caring

10

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Perilaku Caring

2.1.1 Caring menurut pandangan beberapa pakar keperawatan

Caring dibahas oleh beberapa pakar keperawatan melalui pendekatan

yang berbeda-beda. Watson (1979, dalam Tomey & Alligod, 2006) menyatakan

caring sebagai “core” atau inti dari praktik keperawatan yang hanya bisa efektif

jika dipraktikan dalam hubungan interpersonal. Watson (1979, dalam Watson

2005) menjelaskan caring dalam 10 faktor karatif. Kemudian pada tahun 2001

Watson menjelaskan caring dalam proses caritas klinik yang lebih eksplisit

menjelaskan hubungan caring dengan cinta. Watson mengartikan Caritas

dengan menghargai dan memberikan perhatian yang penuh cinta. Caritas hampir

sama dengan bentuk original caratif, namun lebih dapat menjelaskan lebih

dalam tentang hubungan caring dan cinta transpersonal (Watson, 2005).

Eriksson juga menjelaskan caring didasari oleh caritas yaitu penggabungan dari

cinta dan kemurahan hati. Eriksson menggambarkan caring sebagai suatu

hubungan yang penuh intensitas, vitalitas, hangat, dekat, santai, peduli, jujur dan

toleran. Eriksson mengatakan caring merupakan usaha untuk mengurangi

penderitaan dengan penuh kemurahan hati, cinta, kepercayaan, dan harapan yang

diekspresikan melalui perawatan, permainan dan pembelajaran (Eriksson, 1995,

2002, dalam Tomey & Alligod, 2006). Martinsen (1989, dalam Tomey &

Alligod, 2006) berpendapat bahwa bentuk “care” bukan hanya merupakan nilai

dasar keperawatan, tapi juga merupakan prasyarat dasar untuk kehidupan. Care

Page 2: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Perilaku Caring

11

mencakup tiga hal yaitu hubungan, praktik dan moral yang simultan. Caring

diungkapkan langsung pada hal-hal yang berhubungan dengan orang lain.

2.1.2 Komponen Perilaku Caring

Watson mengungkapkan dalam bukunya bahwa perilaku caring adalah

proses yang dilakukan oleh perawat yang meliputi pengetahuan, tindakan dan

dideskripsikan sebagai sepuluh faktor karatif yang digunakan dalam praktik

keperawatan dibeberapa setting klinik yang berbeda. Sepuluh faktor karatif ini

yaitu :

1. Membentuk dan menghargai sistem nilai humanistic dan altruistic

Humanistic altruistic merupakan sikap yang didasari oleh nilai

kemanusiaan, seperti menghormati otonomi pasien terhadap pilihannya

sendiri. Altruism adalah perilaku yang menunjukkan kapasitas seseorang

yang empati dan dapat merasakan apa yang dialami orang lain. Pandangan

Watson tentang manusia, yaitu individu merupakan totalitas dari bagian-

bagian, memiliki harga diri di dalam dan dirinya yang memerlukan

perawatan, dipahami dan kebutuhan untuk dibimbing. Di samping itu

perawat yang mempunyai sifat caring dapat meningkatkan potensi

seseorang untuk membuat pilihan tindakan yang terbaik (Watson, 1998).

2. Menanamkan sikap penuh pengharapan.

Faktor ini sangat erat hubungannya dengan nilai altruisme dan

humanistik. Perawat membantu pasien untuk memperoleh kesejahteraan dan

kesehatan melalui hubungan yang efektif dengan pasien dan memfasilitasi

klien untuk menerapkan gaya hidup sehat (Watson, 1979 dalam Tomey &

Page 3: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Perilaku Caring

12

Alligood, 2006).

3. Menanamkan sensitifitas atau kepekaan terhadap diri sendiri dan orang lain.

Perawat harus belajar untuk mengembangkan sifat sensitif dan peka

terhadap perasaan pasien sehingga lebih ikhlas, dan sensitif dalam

memberikan asuhan keperawatan (Watson, 1998).

4. Mengembangkan hubungan saling percaya dan saling membantu.

Hubungan saling percaya antara perawat dan pasien adalah hal yang

penting dalam asuhan keperawatan. Hubungan ini akan meningkatkan

penerimaan terhadap perasaan positif dan negatif antara perawat dan pasien

(Watson, 1998).

5. Meningkatkan dan menerima ekspresi perasaan positif dan negatif.

Perawat berbagi perasaan dengan pasien merupakan hal yang riskan.

Perawat harus mempersiapkan diri dalam menghadapi ekspresi perasaan

positif dan negatif pasien dengan cara memahami ekspresi pasien secara

emosional dan intelektual dalam situai yang berbeda (Watson, 1998).

6. Menggunakan metode sistematis dalam menyelesaikan masalah caring

untuk pengambilan keputusan secara kreatif dan individualistik.

Perawat menggunakan proses keperawatan yang sistematis dan

terorganisir untuk menyelesaikan masalah kesehatan pasien sesuai dengan

ilmu dan kiat keperawatan (Watson, 1998).

Faktor karatif ini merupakan konsep yang penting dalam

keperawatan karena memperlihatkan dengan jelas perbedaan antara

keperawatan dan penyembuhan. Perawat memberikan informasi kepada

pasien dan pasien diberi tanggung jawab juga dalam proses kesehatan dan

Page 4: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Perilaku Caring

13

kesejahteraannya. Perawat memfasilitasi proses ini dengan teknik belajar

mengajar bertujuan untuk memandirikan pasien dalam memenuhi kebutuhan

perawatan diri, menentukan kebutuhan diri dan memberikan pribadi pasien

kesempatan untuk berkembang (Watson, 1998).

7. Menciptakan lingkungan mental, sosial, spiritual serta fisik yang supportif

dan korektif.

Perawat harus memahami lingkungan ekstennal dan internal yang

berpengaruh terhadap kesehatan dan penyakit individu. Lingkungan internal

meliputi kesejahteraan mental dan spiritual serta keyakinan sosial budaya

individu, sedangkan lingkungan eksternal meliputi kenyamanan, privasi,

keamanan dan kebersihan serta keindahan (Watson, 1998).

8. Memenuhi kebutuhan dasar manusia dengan penuh perhatian dalam

mempertahankan keutuhan dan martabat manusia.

Perawat harus memahami kebutuhan biofisikal, psikososial,

psikofisikal, dan interpersonal bagi dirinya sendiri dan juga pasien. Pasien

harus terpenuhi kebutuhan tingkat dasar terlebih dahulu sebelum berusaha

mencapai kebutuhan yang berada diatasnya. Makanan dan eliminasi, adalah

contoh kebutuhan biofisikal pada tingkatan bawah, sedangkan aktivitas,

istirahat dan kebutuhan seksual adalah kebutuhan psikotisikal pada

tingkatan paling bawah. Pencapaian dan afiliasi adalah kebutuhan

psikososial yang lebih tinggi sedangkan aktualiasasi diri adalah kebutuhan

interpersonal dan intrapersonal yang lebih tinggi (Watson, 1998).

Page 5: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Perilaku Caring

14

9. Caring lebih pada healthogenic ketimbang curing.

Praktek caring menyatukan pengetahuan biofisikal dengan

pengetahuan perilaku manusia.

10. Lingkungan caring meliputi perkembangan yang potensial yang membentuk

atau meningkatkan kesehatan dan perawatan bagi yang sakit.

Keilmuan tentang caring, bagaimanapun melengkapi ilmu tentang

pengobatan (curing). Praktik caring adalah sentral bagi praktek

keperawatan.

2.1.3 Karakteristik Caring

Karakteristik Caring menurut Chin (2010) adalah a) Be ourselves,

sebagai manusia harus jujur, dapat dipercaya, tidak tergantung pada orang lain.

Artinya bahwa setiap orang harus menjadi diri sendiri dan mandiri; b) Clarity,

keinginan untuk terbuka dengan orang lain; c) Respect, selalu menghargai orang

lain. Belajar menerima dan memahami orang lain dan belajar menjadi makhluk

sosial; d) Separatenes, dalam caring tidak berarti terbawa dalam depresi atau

ketakutan orang lain. Tatap dalam kondisi waspada dengan mempersiapkan diri

secara fisik dan psikologi; e) Freedom, adalah memberi kebebasan pada orang

lain untuk mengekspresikan perasaannya; f) Emphaty, dengan memahami

perasaan pasien tetapi dirinya tidak hanyut oleh perasaan tersebut baik secara

emosional maupun fisik; g) Communication, komunikasi verbal dan nonverbal

harus menunjukkan keselarasan; h) Evaluation, dilakukan bersama-sama

perawat dan pasien.

Page 6: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Perilaku Caring

15

2.1.4 Aktifitas yang Menunjukkan Perilaku Caring Perawat

Menurut Wolf, et al (2004) telah mengembangkan daftar inventarisasi

perilaku caring perawat, Wolf menuliskan secara berturut sepuluh peringkat

perilaku yang menunjukkan caring perawat. Kesepuluh perilaku tersebut

meliputi: a) Mendengar dengan penuh perhatian; b) Memberi rasa nyaman; c)

Berkata jujur; d) Memiliki kesabaran; e) Bertanggung jawab; f) Memberikan

informasi sehingga pasien dapat mengambil keputusan; g) Memberikan

sentuhan; h) Menunjukkan sensitifitas; i) Menunjukkan rasa hormat terhadap

pasien; j) Memanggil pasien dengan namanya.

2.1.5 Instrumen yang Digunakan Untuk Mengukur Perilaku Caring

Instrumen yang digunakan dalam mengukur perilaku caring menurut

beberapa ahli, diantaranya:

a) Caring Behavior Assesment Tool

Caring Behavior Assesnzent Tool (CBA) adalah alat ukur yang paling

awal dikembangkan untuk mengukur perilaku caring dengan menggunakan

teori Watson dan sepuluh karatif Watson. Alat ukur ini dikembangkan oleh

Cronin dan Harrison pada tahun 1988 untuk mengidentifikasi perilaku caring

perawat yang dipersepsikan oleh pasien. Caring Behavior Assesment Tool

(CBA) terdiri atas 63 item pertanyaan yang dikelompokkan menjadi 7 sub

skala. Faktor 1, 2 dan 3 dari faktor karatif Watson dikelompokkan menjadi

satu kelompok dan faktor ke 6 dianggap oleh Cronin dan Harrison melekat

pada seluruh faktor karatif lainnya. Jawaban pertanyaan menggunakan 5 skala

likert yang menggambarkan tingkatan masing-masing perawat dalam

merefleksikan perilaku caring.

Page 7: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Perilaku Caring

16

b) Care-Q (Caring Assesment Inventory)

Larson (1984, Watson 2004) menjelaskan care Q adalah instrumen dapat

dipakai mempersepsikan perilaku caring perawat. Perawat

mengidentifikasikan perilaku yang penting adalah mendengarkan, sentuhan,

kesempatan, mengekspresikan perasaan, komunikasi, dan melibatkan pasien

dalam perencanaan keperawatannya. Perilaku caring yang ditampilkan pada

alat ukur ini meliputi 50 dimensi caring yang dibagi dalam 6 variabel yaitu

kesiapan dan kesediaan, penjelasan dan peralatan, rasa nyaman, antisipasi,

hubungan saling percaya serta bimbingan dan pengawasan.

c) Caring Behavior Inventory

Caring Behavior Inventory (CBI) dikembangkan oleh Jean Watson

(2002) dengan menggunakan konsep dasar caring secara umum dan teori

transpersonal caring Watson. Versi pertama alat ukur ini terdiri atas 75 item

yang dengan proses psikometrik direduksi menjadi 43 kemudian mengecil

kembali menjadi 42 item dengan alternatif jawaban menggunakan skala likert

4 poin yaitu 1= sangat tidak setuju, 2= tidak setuju, 3=setuju, dan 4 = sangat

setuju. CBI 42 item pertanyaan diuji menggunakan 541 subjek penelitian

yang terdiri dari 278 perawat dan 263 pasien. Konsistensi rebilitas internal

dilaporkan sampai 0.96 pada tahun 2001 (Mon-ison, 2007).

Wolf et al (2004) mengkategorikan faktor karatif dari teori Watson

menjadi 5 dimensi perilaku caring, yaitu mengakui keberadaan pasien,

menanggapi dengan rasa honnat, pengetahuan dan keterampilan, menciptakan

hubungan positif, perhatian terhadap yang dialami orang lain.

Page 8: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Perilaku Caring

17

Pengukuran perilaku caring perawat pelaksana RSUD Arjawinangun

Cirebon direncanakan menggunakan Caring Behavior Inventory dari Wolf

(2004) dengan memperhatikan 5 dimensi perilaku caring. Hal ini karena

dimensi caring ini erat hubungannya dengan kompetensi kognitif, afektif, dan

psikomotor yang dibutuhkan perawat agar mampu memberikan asuhan

keperawatan dan memenuhi kebutuhan pasien.

2.2 Faktor-faktor yang mempengaruhi Individu.

2.2.1 Usia

Usia adalah lama waktu hidup atau ada (sejak dilahirkan). Usia berkaitan

dengan tingkat kedewasaan/maturitas seseorang. Semakin tinggi usia, semakin

mampu menunjukkan kematangan jiwa dan semakin dapat berpikir rasional,

bijaksana serta terbuka terhadap pendapat orang lain (Siagiaan, 2010). Pendapat

ini didukung oleh Desslerr (2005) mengemukakan usia produktif adalah usia 25-

45 tahun. Tahap ini merupakan penentu seseorang untuk memilih bidang

pekerjaan yang sesuai bagi karir individu tersebut.

2.2.2 Jenis Kelamin

Manusia dibedakan menurut jenis kelaminnya yaitu pria dan

wanita.Dalam studi didapatkan bahwa tidak ada perbedaan dalam produktivitas

kerja pria dan wanita. Siagiaan (2010) mengemukakan secara sosial budaya

pegawai perempuan yang berumah tangga akan memiliki tugas tambahan, hal ini

menyebabkan kemangkiran yang lebih sering dari pegawai perempuan.

Page 9: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Perilaku Caring

18

2.2.3 Latar belakang pendidikan

Tingkat pendidikan perawat mempengaruhi kinerja perawat (Siagiaan,

2010). Perawat yang memiliki pendidikan tinggi; kinerjanya akan lebih baik

karena memiliki pengetahuan dan wawasan yang lebih luas dibandingkan

dengan perawat yang memiliki tingkat pendidikan rendah. Faktor pendidikan

mempengaruhi perilaku kerja. Makin tinggi pendidikan akan berhubungan

positif terhadap perilaku kerja seseorang. (Pangewa, 2007).

2.2.4 Status Perkawinan

Merupakan suatu ikatan lahir batin antara pria dan wanita sebagai suami

istri dengan tujuan membentuk keluarga berdasarkan Ketuhanan Yang Maha

Esa. Robbins (2010) mengungkapkan pernikahan mampu meningkatkan

tanggung jawab yang dapat membuat suatu pekerjaan menjadi berharga.

2.2.5 Masa kerja

Masa kerja merupakan lama seorang perawat bekerja pada suatu

organisasi yaitu dimulai dari perawat resmi dinyatakan sebagai

pegawai/karyawan tetap rumah sakit. Masa kerja perawat merupakan faktor

yang dapat berpengaruh terhadap kinerja perawat. Siagiaan (2010) menyatakan

bahwa lama kerja dan kepuasan serta kinerja berkaitan secara positif.

Page 10: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Perilaku Caring

19

2.3 Kecerdasan Spiritual

Perilaku caring perawat pada pemberian pelayanan keperawatan telah

diperkenalkan sejak masa Nightingale, namun mulai dibahas sebagai filosofi

dari ilmu keperawatan oleh Watson.

2.3.1 Definisi Kecerdasan Spiritual

Selama ini kita cenderung mempersepsikan kecerdasan terlalu

sempit,yaitu mengarah pada IQ.Padahal manusia mempunyai berbagai macam

kecerdasan yang sering kali diabaikan oleh diri kita sendiri,kecerdasan

tergantung pada konteks,tugas serta tuntutan yang diajukan oleh kehidupan

kita,bukan tergantung pada nilai IQ,gelar perguruan tinggi atau reputasi

bergengsi.

Suparman dalam Kusumawati (2007) menjelaskan bahwa yang dimaksud

dengan kecerdasan (intelligence) adalah kemampuan manusia untuk

memperoleh pengetahuan dan pandai melaksanakannya dalam praktik. Potensi

kecerdasan meliputi: kemampuan memahami, kemampuan menganalisa,

kemampuan membuat keputusan, sampai pada kemampuan menjalankan

(mengeksekusi).

Kecerdasan spiritual telah memenuhi tiga kriteria utama untuk intelijen

yaitu kumpulan karakteristik kemampuan mental yang berbeda dari perilaku

istimewa,fasilitas adaptasi dan pemecahan masalah,dan berkembang selama

jangka waktu(lifespan)(King,2008).

Page 11: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Perilaku Caring

20

Menurut King (2008), kecerdasan spiritual didefinisikan sebagai satu set

kapasitas mental yang berkontribusi terhadap kesadaran, integrasi, dan aplikasi

adaptif aspek non materi dan hal yang disadari di area transenden, mengarah ke

hasil seperti eksistensial mendalam, peningkatan makna, pengakuan dari

transendensi-diri, dan penguasaan area spiritual.

Dalam teori lain Tasmara(2001) mengatakan kecerdasan spiritual dari

sudut pandang keagamaan adalah suatu kecerdasan yang berbentuk dari upaya

menyerap kemahatahuan Allah dangan memanfa’atkan diri sehingga diri yang

ada adalah Dia Yang Maha Tahu dan Maha Besar.Spiritual merupakan pusat

lahirnya gagasan, penemuan motivasi,dan kreatifitas yang paling

fantastik.Sementara Mujib (2001) mendefinisikan kecerdasan spiritual sebagai

kecerdasan kalbu yang berhubungan dengan kwalitas batin seseorang.

Kecerdasan ini mengarahkan seseorang untuk berbuat lebih manusiawi,sehingga

dapat menjangkau nilai nilai luhur yang mungkin belum tersentuh oleh akal

pikiran manusia.

Maka dapat disimpulkan bahwa kecerdasan spiritual adalah kecerdasan

yang meliputi tiga aspek yaitu hubungan antara kita dengan sang Pencipta

(Allah) yang disimpulkan dalam transendental, hubungan kita dengan sesama

yang disimpulkan dalam makna pribadi dan makna keseharian,dan hubungan

antara kita dengan diri kita sendiri yang disimpulkan dalam area kesadaran.Tiga

aspek tersebut teraplikasikan dengan cara berpikir eksistensial.

Page 12: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Perilaku Caring

21

2.3.2 Komponen Kecerdasan Spiritual

Dalam tesis yang disusun oleh King (2008) ada empat komponen

kecerdasan spiritual yang masing-masing mewakili pengukuran kecerdasan

spiritual secara menyeluruh yaitu Critical Existential Thinking (CET), Personal

Meaning Production (PMP), Transcendental Awareness (TA), dan Conscious

State Expansion (CSE).

a) Critical Existential Thinking (CET)

Komponen pertama dari kecerdasan spiritual melibatkan kemampuan untuk

secara kritis merenungkan makna, tujuan, dan isu-isu eksistensial atau

metafisik lainnya (misalnya realitas, alam, semesta, ruang, waktu, dan

kematian). Berpikir kritis eksistensial dapat diterapkan untuk setiap masalah

hidup, karena setiap objek atau kejadian dapat dilihat dalam kaitannya

dengan eksistensi seseorang. Sementara beberapa mendefinisikannya

sebagai 'upaya untuk memahami jawaban' (Koenig, 2000, dalam King 2009)

atas pertanyaan-pertanyaan yang akhirnya tampak, secara lebih praktis

dianggap sebagai pola perilaku yang berkaitan.

Pada instrumennya, King (2008) memformulasikan komponen ini pada

unsur eksistensi, makna peristiwa, kehidupan setelah kematian, hubungan

manusia dan alam semesta, dan mengenai Tuhan atau kekuatan yang lebih

tinggi. Namun, penelitian yang dilakukan King tidak merujuk kepada agama

tertentu atau non-agama sekalipun.

b) Personal Meaning Production (PMP)

Komponen inti kedua didefinisikan sebagai kemampuan untuk membangun

makna pribadi dan tujuan dalam semua pengalaman fisik dan mental,

Page 13: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Perilaku Caring

22

termasuk kemampuan untuk membuat dan menguasai tujuan hidup. Nasel

(2004) dalam King (2009) setuju bahwa kecerdasan spiritual melibatkan

kontemplasi makna simbolis kenyataan dan pengalaman pribadi untuk

menemukan tujuan dan makna dalam semua pengalaman hidup.Pada

instrumennya, King (2008) memformulasikan komponen kepada unsur-

unsur kemampuan adaptasi dari makna dan tujuan hidup dan alasan hidup,

makna kegagalan, mengambil keputusan sesuai dengan tujuan hidup, serta

makna dan tujuan dari kejadian sehari-hari.

c) Transcendental Awareness (TA)

Komponen ketiga melibatkan kemampuan untuk melihat dimensi

transenden diri, orang lain, dan dunia fisik (misalnya non material dan

keterkaitan) dalam keadaan normal maupun dalam keadaan membangun

area kesadaran. Wolman (2001) dalam King (2009) menjelaskan kesadaran

transendental sebagai kemampuan untuk merasakan dimensi spiritual

kehidupan, mencerminkan apa yang sebelumnya digambarkan sebagai

merasakan kehadiran yang lebih nyata, yang lebih tersebar dan umum dari

indera khusus kita.

Abraham Maslow, Hamel, Leclerc, dan Lefrancois (2003) dalam King

(2009) telah menggambarkan proses tambahan aktualisasi transenden, yang

mereka definisikan sebagai realisasi diri yang didirikan pada kesadaran

pengalaman dari Pusat Spiritual (Spiritual Center), juga disebut sebagai

Batin atau Inti. Csikszentmihalyi (1993) dalam King (2009) juga

menyebutkan transendensi-diri menggambarkan kesuksesan seseorang

sebagai transcender yang bergerak melampaui batas-batas keterbatasan

Page 14: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Perilaku Caring

23

pribadi mereka dengan mengintegrasikan tujuan individu dengan yang lebih

besar, seperti kesejahteraan keluarga, masyarakat, umat manusia, planet,

atau kosmos. Pada instrumennya, King (2008) memformulasikan komponen

ini kepada aspek non-fisik dan non-materi, mampu merasakan non-fisik dan

non-materi, memahami hubungan antar manusia, mendefinisikan non-fisik

(ruh), kualitas kepribadian/emosi, dan mampu memusatkan diri.

d) Conscious Stale Expansion (CSE)

Komponen terakhir dari model ini adalah kemampuan untuk memasukan

area kesadaran spiritual (misalnya kesadaran murni, kesadaran murni, dan

kesatuan) atas kebijakannya sendiri. Dari perspektif psikologis, perbedaan

antara kesadaran transendental dan pengembangan area kesadaran ini

didukung oleh Tart (1975) dalam King (2009) bahwa kesadaran

transendental harus terjadi selama keadaan sadar normal, sedangkan

pengembangan area kesadaran meliatkan kemampuan untuk mengatasi

keadaan sadar dan area yang lebih tinggi atau spiritual. Sebuah

pengembangan badan penelitian telah menunjukkan perbedaan yang

signifikan dalam fungsi otak antara semua tingkat dan area kesadaran,

termasuk yang berhubungan degan pengalaman spiritual dan meditasi. Area

tersebut adalah kesadaran kosmik, kesadaran murni, dan kesadaran unitive.

Kesadaran diri (self consciousness yang sering juga disebut dengan self

awareness) adalah pembeda utama antara orang yang memiliki

spiritualisme tinggi dengan yang tidak. Orang-orang yang memiliki

kesadaran yang tinggi akan selalu berpikir beberapa kali dalam merespons

setiap situasi, mengambil waktu sejenak untuk memahami apa yang

Page 15: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Perilaku Caring

24

tersembunyi maupun yang nyata sebelum menunjukan respons awal. la

selalu bertindak penuh perhitungan, pertimbangan, dan hati-hati.

(Syahmuharnis & Sidharta, 2006).

Dalam instrumennya, King (2008) memformulasikan komponen ini ke

dalam unsur-unsur memasuki area kesadaran, mengontrol area kesadaran.

2.4 Budaya Organisasi

2.4.1 Definisi Budaya Organisasi

Budaya organisasi merupakan suatu yang membedakan organisasi satu

dengan organisasi lainnya yang memiliki sistem pengertian bersama dari

anggota-anggota organisasinya (Robbins, 2010). Menurut Wibowo (2010)

budaya organisasi adalah karakteristik organisasi dari anggotanya yang

menggambarkan kesuksesan dan kegagalan para anggotanya.

2.4.2 Dimensi Budaya Organisasi

Budaya organisasi terdiri atas sejumlah karakteristik yang menjadi dasar

bagi anggota mengenai organisasi, bagaimana kegiatan dilakukan didalamnya

serta cara anggota diharapkan berperilaku. Stephen Robbins (2010)

mengemukakan sepuluh dimensi yang mempengaruhi budaya

organisasi meliputi inovasi, pengambilan risiko, kepemimpinan,

integritas, dukungan manajemen, desain pekerjaan, identitas manajemen, sistem

rewards, manajemen konflik, dan pola komunikasi.

Page 16: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Perilaku Caring

25

1. Inovasi

Inovasi adalah tingkat tanggung jawab, kebebasan yang dimiiki

anggota organisasi dalam mengemukakan pendapat. Inovasi anggota

organisasi harus dihargai oleh kelompok atau pemimpin suatu organisasi

sepanjang menyangkut ide untuk mengembangkan organisasi.

2. Pengambilan risiko

Pengambilan risiko merupakan suatu tingkatan memotivasi

karyawan dalam pengambilan keputusan yang inovatif, kreatif dan berani

mengambil risiko. Inovasi mencakup lebih dari sekedar perbaikan, mencari

dan mengambil risiko yang besar tentang gagasan dan perubahan (Rivai,

2011).

3. Kepemimpinan

Kepemimpinan terbentuk ketika muncul kemampuan seorang

pemimpin dalam menerima secara terbuka dan positif dengan memberikan

kesempatan pada staf untuk menggali perasaan, kritikan, dan menyuarakan

reaksi yang negatif secara terbuka. Kinerja perawat pelaksana dipengaruhi

oleh proses kepemimpinan yang dilaksanakan oleh kepala ruangan sebagai

manajer langsung di ruangan. Jika manajer melibatkan staf dalam

pencapaian tujuan organisasi, diharapkan kinerja perawat pelaksana semakin

optimal (Siagian, 2010).

4. Integritas

Integrasi merupakan sejauh mana organisasi dapat mendorong

anggota organisasi untuk bekerja lebih terkoordinasi. Kekompakan unit

Page 17: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Perilaku Caring

26

dalam suatu organisasi dapat mendorong kualitas dan kuantitas pekerjaan

yang dihasilkan perawat pelaksana (Aminudin, 2007).

5. Dukungan Manajemen

Dukungan manajemen merupakan gaya manajemen yang terbentuk

berdasarkan etika dan nilai-nilai standar yang tinggi. Manajemen harus

menunjukkan sikap dan loyalitas positif terhadap pekerja dan organisasi.

Manajer memberikan orang lain perasaan bahwa hasil pekerjaan

yang karyawan lakukan dihargai betapapun sederhananya (Wibowo, 2010).

6. Desain pekerjaan

Desain pekerjaan pada organisasi menguraikan cakupan, kedalaman

dan tujuan dari setiap pekerjaan yang membedakan antara pekerjaan yang

satu dengan pekerjaan lainnya. Gibson (2010) menjelaskan desain pekerjaan

mengacu pada proses yang diterapkan pada manajer untuk memutuskan

tugas pekerjaan dan wewenang. Desain pekerjaan merupakan upaya seorang

manajer mengklasifikasikan tugas dan tanggung jawab dari setiap individu.

Gitosudarmo (2010) menambahkan bahwa desain pekerjaan berpengaruh

terhadap efektifitas organisasi.

7. Identitas manajemen

Identitas manajemen adalah bagaimana tugas pekerjaan secara

formal dibagi, dikelompokkan dan dikoordinasikan (Robbins, 2010).

Identitas manajemen menunjukkan cara suatu kelompok dibentuk, garis

komunikasi dan hubungan otoritas serta pembuatan keputusan (Marquis &

Huston, 2010).

Page 18: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Perilaku Caring

27

Kinerja perawat dipengaruhi juga oleh identitas manajemen yang

telah ditetapkan, tugas dan wewenang yang jelas, aturan yang jelas dan

prosedur teknis dalam mengoptimalkan kinerja. Identitas manajemen

menggambarkan garis komando, garis kewenangan dan garis koordinasi

dalam melakukan tugas.

8. Sistem Rewards

Perusahaan menggunakan rewards sebagai suatu sistem balas jasa

atas hasil kerja anggota/karyawan. Perilaku yang diberi imbalan, dihukum,

dan dibiarkan akan menentukan bagaimana budaya organisasi berevolusi.

Perusahaan yang memiliki sistem rewards yang didasarkan pada intangible

performance menciptakan budaya organisasi yang berorientasi pada

karyawan (Riani, 2011).

2.4.3 Fungsi Budaya Organisasi

Fungsi budaya organisasi menurut Stephen Robbins & Judge (2010) adalah:

a. Budaya memiliki rasa identitas anggota organisasi, seperti logo pada

beberapa perusahaan yang memiliki makna bagi organisasi itu sendiri

(Riani, 2011).

b. Budaya meningkatkan stabilitas sistem sosial. Budaya merupakan perekat

sosial yang menyatukan organisasi dengan cara menyediakan standar apa

yang sebaiknya dikatakan dan dilakukan karyawannya.

c. Budaya membantu melahirkan komitmen baru terhadap sesuatu yang lebih

besar dari kepentingan personal. Luthan (2007) juga mengungkapkan bahwa

Page 19: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Perilaku Caring

28

budaya menghasilkan dan meningkatkan komitmen terhadap misi

organisasi.

d. Budaya sebagai membuat semuanya lebih bermakna serta pengendali dalam

membentuk perilaku karyawan.

e. Sebagai penentu menciptakan perbedaan antara satu organisasi dengan

organisasi lainnya.

2.4.4 Membangun dan Mempertahankan Budaya Organisasi

Sebuah organisasi yang ingin membangun dan mempertahankan budaya

organisasi memerlukan waktu yang cukup lama. Ada 3 hal berdasarkan Stephen

Robbins & Judge (2010) yang memiliki peranan penting sebuah budaya.

a. Seleksi Nilai-nilai organisasi didapatkan oleh karyawan melalui proses

seleksi dan diseragamkan untuk pembentukan budaya organisasi. Proses

seleksi ini bertujuan untuk merekrut kemampuan, pengetahuan,

keterampilan dan kemampuan individu di dalam organisasi (Robbins &

Judge, 2010).

b. Tindakan Menejemen Puncak norma-norma yang berlaku di organisasi

melalui manajemen puncak diseragamkan berdasarkan apa yang mereka

lakukan serta bagaimana pihak eksekutif bersikap terkait pengambilan

risiko, kebebasan yang diberikan kepada karyawan dan lain sebagainya

(Robbins & Judge, 2010).

c. Metode Sosialisasi

Merupakan sebuah proses yang menjadikan adaptasi bagi karyawan agar

mengerti dengan kultur organisasi, bermanfaat juga agar karyawan paham

Page 20: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Perilaku Caring

29

tentang organisasinya, sehingga karyawan dapat menghadapi masalah

(Robbins & Judge, 2010).

2.4.5 Instrumen Pengukuran Budaya Organisasi

Format instrumen yang digunakan untuk mengukur budaya organisasi

adalah dalam bentuk kuesioner. The Denison Organizational Culture Survey,

merupakan salah satu format survei budaya organisasi. Model ini telah dilakukan

berdasarkan pada penelitian lebih dari 15 tahun dan melibatkan 1000 organisasi

yang dilakukan oleh Dr. Denison dari Universitas Micchigan. Kelebihan dari

model instrumen ini adalah merupakan instrumen yang memfokuskan pada

kebiasaan, didesain dan dibuat sesuai dengan lingkungan semua tingkat

organisasi, mudah dan cepat diimplementasikan. Instrumen ini dikembangkan

berdasarkan 4 karakteristik budaya yang mempunyai korelasi dengan organisasi,

yaitu :

a. Keterlibatan

Karateristik organisasi yang menilai pandangan karyawan yang

bekerja sama dalam mencapai tujuan organisasi. Didalamnya terdapat

norma, pemberdayaan dan pengembangan kapabilitas.

b. Konsistensi

Nilai yang memfokuskan pada integrasi sumber-sumber organisasi

untuk mengembangkan sistem untuk melaksanakan kegiatan organisasi

yang meliputi koordinasi dan integrasi.

Page 21: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Perilaku Caring

30

c. Adaptasi

Merupakan kebutuhan organisasi dalam melaksanakan kegiatan

dalam mendukung kapabilitas perilaku internal dari organisasi. Kemampuan

ini meliputi fokus pada pelanggan, menciptakan perubahan dan

pembelajaran organisasi.

d. Misi

Merupakan tujuan jangka panjang yang penting bagi organisasi,

meliputi tujuan dan visi organisasi serta pencapaian tujuan organisasi.

Page 22: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Perilaku Caring

31

Skema 2.2.

Kerangka Teori Penelitian (King, 2008 ; Stephen Robbis, 2010 ; Watson dalam Tomey

& Alligood, 2006a : Siagian, 2010 ; Desslorr, 2005 ; Pangewa, 2007 ; Robbin, 2010)

Komponen Kecerdasan Spiritual

1. Berpikir Kritis Eksistensial

(Critical Existensial Thinking)

2. Pembentukan makna pribadi

(Personal Meaning Production)

3. Kesadaran Transendental

(Transendental Awareness)

4. Pengembangan area kesadaran

(Conscius Expansionstate)

Faktor Budaya Organisasi

1. Inovasi

2. Pengambilan resiko

3. Kepemimpinan

4. Integritas

5. Dukungan manajemen

6. Desain Pekerjaan

7. Identitas manajemen

8. Sistem Rewards

9. Manajemen Konflik

10. Pola Komunikasi

Faktor Caratif Caring

Watson :

1. Membentuk dan

menghargai sistem Nilai

Humanistic dan Altruistic

2. Menanamkan

kepercayaan/ Pengharapan

3. Menumbuhkan sensitifitas

terhadap diri dan orang

lain

4. Mengembangkan

hubungan saling percaya,

hubungan Caring manusia

5. Meningkatkan dan

menerima ekpresi perasaan

positif dan negatif

6. Menggunakan proses

caring yang kreatif dalam

penyelesaian masalah

7. Meningkatkan Proses

belajar-mengajar

interpersonal

8. Menciptakan lingkungan

fisik, mental,

sosio-kultural, dan

spiritual yang suportif,

protektif, dan korektif

9. Membantu memenuhi

kebutuhan dasar manusia

10. Menghargai adanya

kekuatan-kekuatan

fenomena yang bersifat

spiritual

Komponen caring Swanson 1. Mengakui keberadaan

manusia

2. Menanggapi dengan rasa

3. Pengetahuan dan

Keterampilan

4. Menciptakan hubungan

positif

5. Perhatian terhadap yang di

alami orang lain

Karakterisik Perawat

1. Usia 4. Status perkawinan

2. Jenis Kelamin 5. Masa Kerja

3. Latar Belakang

Pendidikan