BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pembangkit Listrik Tenaga ...
Transcript of BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pembangkit Listrik Tenaga ...
4
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Pembangkit Listrik Tenaga Mikrohidro (PLTMH)
Pembangkit Listrik Tenaga Mikrohidro (PLTMH) adalah pembangkit listrik
berskala kecil (kurang dari 100 kW), yang memanfaatkan tenaga (aliran) air
sebagai sumber penghasil energi. PLTMH termasuk sumber energi terbarukan dan
layak disebut clean energi karena ramah lingkungan. Tenaga air berasal dari aliran
sungai kecil atau danau yang dibendung dan kemudian dari ketinggian tertentu
dan memiliki debit yang sesuai akan menggerakkan turbin yang dihubungkan
dengan generator listrik. Semakin tinggi jatuhan air maka semakin besar energi
potensial air yang dapat diubah menjadi energi listrik. Pembangkit tenaga air
merupakan suatu bentuk perubahan tenaga dari tenaga air dengan ketinggian dan
debit tertentu menjadi tenaga listrik, dengan menggunakan turbin air dan
generator (Very Dwiyanto, 2016).
2.2 Prinsip Kerja Pembangkit Listrik Tenaga Mikro Hidro (PLTMH)
Pembangkit listrik tenaga air skala mikro pada prinsipnya memanfaatkan
beda ketinggian dan jumlah debit air per detik yang ada pada aliran air saluran
irigasi, sungai atau air terjun. Aliran air ini akan memutar poros turbin sehingga
menghasilkan energi mekanik. Energi ini selanjutnya menggerakkan generator
dan generator menghasilkan listrik. Sebuah skema mikrohidro memerlukan dua
hal yaitu, debit air dan ketinggian jatuh (head) untuk menghasilkan tenaga yang
dapat dimanfaatkan. Hal ini adalah sebuah sistem konversi energi dari bentuk
ketinggian dan aliran (energi potensial) ke dalam bentuk energi mekanik dan
energi listrik (Donald, 1994).
5
Gambar 2.1 skema pembangkit listrik mikrohidro Sumber . (IMIDAP, pedoman teknis Standardisasi peralatan dan komponen PLTMH,
2009
Penjelasan Gambar :
a. Mercu Bendung (Wier)
Bangunan yang berada melintang sungai yang berfungsi untuk membelokkan
arah aliran air
b. Bangunan Pengambilan (Intake)
Bangunan yang berfungsi mengarahkan air dari sungai masuk ke dalam
Saluran Pembawa (Headrace).
c. Bak Penangkap Pasir (Sand Trap)
dapat menjadi satu (terintegrasi) dengan bangunan ini.
d. Saluran Pembawa (Headrace)
Bangunan yang berfungsi mengalirkan/membawa air dari Intake ke Forebay,
Headrace dapat juga terbuat dari pipa.
6
e. Bak Penampungan (Forebay)
Bangunan yang mempunyai potongan melintang (luas penampang basah)
lebih besar dari Headrace yang berfungsi untuk memperlambat aliran air.
f. Saringan (Trash Rack)
Terbuat dari plat besi yang berfungsi menyaring sampah-sampah atau puing-
puing agar tidak masuk ke dalam bangunan selanjutnya. Trash Rack
diletakkan pada posisi melintang di bangunan Intake atau Forebay dengan
kemiringan 65 - 75º
g. Saluran Pembuangan (Spillway)
Bangunan yang memungkinkan agar kelebihan air di dalam Headrace untuk
melimpah kembali ke dalam sungai.
h. Pipa Pesat (Penstock)
Pipa bertekanan yang membawa air dari Forebay ke dalam Power House.
i. Rumah Pembangkit (Power House)
Bangunan yang di dalamnya terdapat turbin, generator dan peralatan control.
j. Tailrace
Saluran yang berfungsi mengalirkan/membawa air dari turbin kembali ke
sungai.
k. Jaringan Transmisi
Terdiri dari tiang, kabel dan aksesoris lainnya (termasuk trafo; jika
diperlukan) yang berfungsi mengalirkan energy listrik dari Power House ke
konsumen (rumah-rumah dan pabrik). Standardisasi Peralatan dan Komponen
Pembangkit Listrik Tenaga
7
2.3 kriteria Pemilihan Jenis Turbin
Pemilihan jenis turbin dapat ditentukan berdasarkan kelebihan dan
kekurangan dari jenis jenis turbin, khususnya untuk suatu desain yang sangat
spesifik. Faktor tinggi jatuhan air efektif (Net Head) dan debit yang akan
dimanfaatkan untuk operasi turbin merupakan faktor utama yang mempengaruhi
pemilihan jenis turbin (Ismono, 1999).
Turbin air berperan untuk mengubah energi air (energi potensial, tekanan dan
energi kinetik) menjadi energi mekanik dalam bentuk putaran poros. Putaran
poros turbin ini akan diubah oleh generator menjadi tenaga listrik. Berdasarkan
prinsip kerjanya, turbin air dibagi menjadi kelompok yang ditunjukkan Tabel
berikut :
Tabel 2.1 Jenis Turbin
TURBINE
RUNNER
HEAD PRESSURE
HIGH MEDIUM LOW
IMPULSE
PELTON CROSSFLOW CROSSFLOW
TURGO TURGO
MULTI JET - PELTON MULTI JET-PELTON
REACTION PRANCIS PROPELLER
PUMP AS TURBIN (PAT) KAPLAN
Sumber. (IMIDAP, Studi Kelayakan Mekanikal dan Elektrikal Buku 2C, 2009)
Cara kerja kedua tipe turbin tersebut diuraikan sebagai berikut : (IMIDAP,
Studi Kelayakan Mekanikal dan Elektrikal Buku 2C, 2009).
a. Turbin Impuls
Turbin jenis ini meliputi crossflow, turgo dan multi-jet pelton, menggunakan
tekanan yang sama pada setiap sisi sudut geraknya (runner) di mana bagian turbin
yang berputar.
8
b. Turbin Reaksi
Turbin jenis ini meliputi jenis prancis dan Kaplan/propeller, menggunakan
energy kinetic dan tekanan di runner. Secara umum jenis turbin ini tidak
menerima tumbukan dan hanya mengikuti aliran air.
Adapun di bawah ini gambar gambar dari tipe-tipe turbin :
Gambar 2.2 jenis turbin
Sumber : british hydropower association, 2005
9
Selain dapat dilihat dalam tabel di atas, pemilihan tipe turbin dapat juga dicari
berdasarkan hubungan debit dan tinggi jatuh seperti pada grafik berikut ini:
Grafik 2.1 Pemilihan Turbin
Sumber. (IMIDAP, Pedoman Teknis Standardisasi Peralatan dan Komponen PLTMH,
2008).
Pertama dilakukan adalah menghubungkan garis antara debit air dengan
ketinggian yang telah ditetapkan garis berwarna hijau kemudian membuat garis
tegak lurus antara kecepatan turbin dengan garis yang berwarna hijau garis yang
berwarna biru sehingga akan mendapatkan jenis turbin yang ideal.
Dalam perencanaan turbin, kinerja turbin dipengaruhi oleh efisiensi yang
dimiliki oleh masing – masing jenis turbin. Efisiensi yang dimaksud disebabkan
karena adanya perbedaan tenaga yang digunakan dengan daya yang dibawa oleh
aliran air. Efisiensi masing – masing turbin dapat dilihat pada gambar grafik 2.3
berikut ini:
10
Grafik 2.2 Efisiensi Turbin
Sumber. (IMIDAP, Pedoman Teknis Standardisasi Peralatan dan Komponen PLTMH,
2008)
2.4 Perhitungan Hidrologi PLTMH
Adapun rumus umum untuk menghitung debit sebagai berikut: (SNI 8066,
2015).
Q = A.V (2.1)
Di mana : A = luas penampang saluran (m2)
V = kecepatan aliran (m/s)
Q = Debit aliran (m3/s)
Pengukuran debit air dapat dilakukan dengan banyak cara, untuk pengukuran
debit secara langsung menggunakan alat current meter atau dengan pelampung.
Pemilihan lokasi dan pelaksanaan pengukuran debit dengan ketentuan : (IMIDAP.
Pedoman Studi Kelayakan Hidrologi, 2009)
a. Palung sungai atau saluran sedapat mungkin harus lurus dengan arah, dan
kecepatan aliran seragam /sejajar.
11
b. Apabila rencana PLTMH berada di sungai, maka dipilih lokasi pengukuran
pada dasar sungai yang tidak berubah - ubah, bebas dari batuan besar atau
bangunan air yang menyebabkan aliran tidak seragam/sejajar. Dasar
penampang sungai sedapat mungkin rata sehingga saat perhitungan
menghasilkan nilai yang sebenarnya. Memilih lokasi semacam itu sangat
sulit namun harus diupayakan lokasi terbaik dari keadaan yang ada.
c. Mengukur pada kedalaman garis vertikal yang akan diukur kecepatannya
kemudian menentukan titik kedalaman pengukuran 0,2D; 0,6D; dan 0,8D
dari permukaan air seperti ditunjukkan pada Gambar12. Jika kedalaman
sungai tidak lebih atau sama dengan 0,75 cm maka pengukuran kedalaman
aliran hanya menggunakan 1 titik kedalaman yaitu 0,6D.
d.
Gambar 2.3 Kedalaman Pengukuran
Sumber. (IMIDAP. Pedoman studi kelayakan Hidrologi, 2009)
e. Mengukur jarak dari tepi permukaan sungai ke setiap garis pengukuran
vertikal. Kegiatan ini berulang untuk setiap perpindahan jalur vertical.
12
Gambar 2.4 Penampang Pengukuran Vertical
Sumber. (IMIDAP. Pedoman studi kelayakan Hidrologi, 2009)
Kemudian hasil pengukuran dicatat pada formulir pencatatan hasil
pengukuran debit sebagaimana (SNI 8066, 2015).
Table 2.2 Contoh Pencatatan Hasil Pengukuran Debit
RAI LEBAR DALAM DALAM
KINCIR KECEPATAN
LUAS
PENAMPANG
cm2
LUAS
PENAMP
ANG
m2
DEBIT
m3/s
0.0 0.0 0.0
10 10 4 0.6 0 40 0,004 0
30 20 29,5 0.6 0,2 590 0,059 0,0118
50 20 46,5 0.6 0,3 930 0,093 0,0279
70 20 45 0.6 0,3 900 0,09 0,027
90 20 44 0.6 0,3 880 0,088 0,0264
110 20 44 0.6 0,3 880 0,088 0,0264
130 20 42 0.6 0,2 840 0,084 0,0168
150 20 39 0.6 0,2 780 0,078 0,0156
170 20 29 0.6 0,2 580 0,058 0,0116
190 20 23 0.6 0,2 460 0,046 0,0092
210 20 12 0.6 0,1 240 0,024 0,0024
225 15 12 0.6 0,1 180 0,018 0,0018
TOTAL DEBIT 0,1769
Sumber. (SNI 8066,2015).
13
2.5 Perhitungan Tinggi Jatuh PLTMH
Perhitungan tinggi jatuh didasarkan pada pembacaan kontur, dengan
merencanakan elevasi turbin dan tinggi muka air di forebay, di dapatkan angka
tinggi jatuh tanpa melihat kehilangan energy, setelah di lakukan pengurangan
terhadap kehilangan energy di dapatkan tinggi jatuh yang direncanakan.
2.6 Kehilangan Energy
Kehilangan energy pada perencanaan PLTMH adalah berkurangnya tekanan
air setelah melalui bangunan- bangunan PLTMH, perhitungan kehilangan energy
di butuhkan agar dapat mengetahui besaran tekanan air yang sampai di as turbin
adapun Kehilangan energy di bagi 2 yaitu minor dan mayor:
2.6.1. Kehilangan energy mayor pada pipa penstok
Adalah kehilangan energy yang di sebabkan gesekan dengan dinding saluran
pipa penstok. Di hitung dengan persamaan darcy-weishbach : (Triatmodjo,
Bambang. 1996. Hidrolika ll. Beta Offset. Yogyakarta).
Hf = f
(2.2)
Dengan
Hf = kehilangan energy mayor (m)
f = koefisien gesekan
L= panjang pipa
V = kecepatan aliran (m)
g= gravitasi (m/s2)
D= diameter pipa (m)
2.6.2. Kehilangan energi minor pada forebay ketika masukan ke penstock
(inlet).
Adalah kehilangan energy yang di sebabkan perubahan bentuk penampang
atau penyempitan penampang aliran. Digunakan persamaan :
14
=
(2.3)
Dengan
= kehilangan tinggi minor (m)
= kecepatan aliran (m/s)
= percepatan gravitasi (m/s2)
= koefisien kehilangan
2.7 Daya Pembangkit
Sebagai pedoman untuk mengetahui daya yang dapat dihasilkan, secara
umum dapat dipakai pedoman rumus persamaan sebagai berikut: (IMIDAP, Studi
Kelayakan PLTMH, 2009).
P= g x Q x H x(efsystem) (2.4)
keterangan :
P = Perkiraan daya yang dihasilkan (kW)
g = Gravitasi (m/det2)
Q = Debit air (m/det)
H = Tinggi jatuhan efektif (m)
ef sistem = Efisiensi total
2.8 Data Mekanika Tanah
Cara terbaik untuk memperoleh data tanah pada lokasi bangunan bendung
ialah dengan menggali sumur dan parit uji, karena sumuran dan paritan ini akan
memungkinkan diadakannya pemeriksaan visual dan diperolehnya contoh tanah
yang tidak terganggu. Apabila pemboran memang harus dilakukan karena adanya
lapisan air tanah atau karena dicatat dalam borlog. Kelulusan tanah harus
diketahui agar gaya angkat dan perembesan dapat diperhitungkan (KP-02
Bangunan Utama, 2013).
2.9 Perencanaan Sipil Bangunan PLTMH
Adapun bagian - bagian dari bangunan sipil untuk PLTMH antara lain :
15
2.9.1 Perencanaan Bendung
2.9.1.1 Bangunan Bendung
Bendung adalah suatu bangunan air dengan kelengkapan yang dibangun
melintang pada sungai atau sudetan yang sengaja dibuat untuk meninggikan
taraf muka air atau untuk mendapatkan tinggi terjun, sehingga air dapat disadap
dan dialirkan secara gravitasi ke tempat yang membutuhkan dan untuk
mengendalikan aliran, angkutan sedimen, dan geometri sungai sehingga air
dapat dimanfaatkan secara aman, efektif, efisien, dan optimal (KP-02 Bangunan
Utama, 2013).
2.9.1.2 Bangunan Utama Bendung
A. Mercu Bendung
Mercu bendung yaitu bagian atas tubuh bendung di mana aliran dari hulu
dapat melimpah ke hilir. Fungsinya sebagai penentu tinggi muka air minimum di
sungai bagian hulu bendung, Sebagai pengempang sungai dan sebagai pelimpah
aliran sungai, letak mercu bendung bersama-sama tubuh bendung diusahakan
tegak lurus arah aliran yang menuju bendung terbagi rata. Tinggi mercu bendung
(p) yaitu beda ketinggian antara elevasi lantai hulu dan elevasi mercu. Untuk
penentuan tinggi mercu bendung, utamanya didasarkan pada kebutuhan energi
(head). Yang harus diperhatikan dalam menentukan tinggi mercu bending antara
lain : (KP-02 Bangunan Utama, 2013).
1) Kebutuhan penyadapan untuk memperoleh debit dan tinggi tekan.
2) Kebutuhan tinggi energi untuk pembilasan.
3) Tinggi muka air genangan yang akan terjadi.
4) Kebutuhan pengendalian angkutan sedimen yang terjadi di bendung.
16
Gambar 2.5 Macam bentuk mercu bendung
Sumber. (KP-02 Bangunan Utama, 2013)
1. Mercu Bulat
Untuk bendung dengan mercu bulat memiliki harga koefisien debit yang jauh
lebih tinggi (44%) dibandingkan koefisien bendung ambang lebar. Tipe ini banyak
memberikan keuntungan karena akan mengurangi tinggi muka air hulu selama
banjir. Harga koefisien debit menjadi lebih tinggi karena lengkung stream line dan
tekanan negatif pada mercu. Untuk bendung dengan 2 jari-jari hilir akan
digunakan untuk menemukan harga koefisien debit (KP-02 Bangunan Utama,
2013).
Gambar 2.6 Bendung Dengan Mercu Bulat
Sumber. (KP-02 Bangunan Utama, 2013).
17
Dari Gambar 2.6 tampak bahwa jari-jari mercu bendung pasangan batu akan
berkisar antara 0,3 sampai 0,7 kali H1maks dan untuk mercu bendung beton dari 0,1
sampai 0,7 kali Hmaks. Persamaan tinggi energi-debit untuk bendung ambang
pendek dengan pengontrol segi empat adalah: (KP-02 Bangunan Utama, 2013).
Q =
√
(2.5)
Di mana :
Q = Debit Rencana, m3/dt
Be = Lebar efektif mercu bendung, m
Cd = Koefisien Debit
g = Gravitasi (9,81 m/s2)
H1 = Tinggi energi, m
Koefisien debit Cd adalah hasil dari : (KP-02 Bangunan Utama, 2013).
C0 yang merupakan fungsi H1/r. C0 mempunyai harga maksimum 1,49 jika
H1/r lebih dari 5,0 seperti diperlihatkan pada grafik 2.1.
C1 yang merupakan fungsi p/H1 (grafik 2.2)
C2 yang merupakan fungsi p/H1 dan kemiringan muka hulu bendung
(grafik 2.3)
Grafik 2.3 Harga koefisien C0 sebagai fungsi perbandingan H1/r
Sumber. (KP-02 Bangunan Utama, 2013).
18
Gambar 2.4 grafik Harga koefisien C1 sebagai fungsi perbandingan P/H1
Sumber. (KP-02 Bangunan Utama, 2013)
Gambar 2.5 grafik Harga koefisien C2 sebagai fungsi perbandingan P/H1
Sumber. (KP-02 Bangunan Utama, 2013)
2. Mercu Ogee
Bentuk mercu type ogee ini adalah tirai luapan bawah dari bendung ambang
tajam aerasi. Sehingga mercu ini tidak akan memberikan tekanan sub atmosfer
pada permukaan mercu sewaktu bendung mengalirkan air pada debit rencana.
Untuk debit yang lebih rendah, air akan memberikan tekanan ke bawah pada
mercu. (KP-02 Bangunan Utama, 2013).
19
Untuk merencanakan permukaan mercu Ogee bagian hilir, U.S. Army Corps
of Engineers telah mengembangkan persamaan berikut: (KP-02 Bangunan Utama,
2013).
=
x [
]n
(2.6)
Di mana x dan y adalah koordinat-koordinat permukaan hilir (lihat Gambar
2.7) dan hd adalah tinggi energi rencana di atas mercu. Harga-harga K dan n
adalah parameter. Harga-harga ini bergantung kepada kecepatan dan kemiringan
permukaan belakang. Tabel 2.4 menyajikan harga-harga K dan n untuk berbagai
kemiringan hilir dan kecepatan pendekatan yang rendah.
Table 2.3 Harga-harga K dan n
KEMIRINGAN PERMUKAAN HILIR K N
VERTIKAL 2,000 1,85
03:01 1,936 1,836
03:02 1,939 1,81
01:01 1,873 1,776
Sumber. (KP-02 Bangunan Utama, 2013)
Bagian hulu mercu bervariasi sesuai dengan kemiringan permukaan hilir
(lihat Gambar 2.7). Persamaan antara tinggi energi dan debit untuk bendung
mercu Ogee adalah: (KP-02 Bangunan Utama, 2013).
Q=
√
(2.)
Di mana :
Q = Debit Rencana, m3/dt
Be = Lebar efektif mercu bendung, m
Cd = Koefisien Debit
g = Gravitasi (9,81 m/s2)
H1 = Tinggi energi, m
20
Gambar 2.7 Bentuk-bentuk bendung mercu Ogee
Sumber. (KP-02 Bangunan Utama, 2013)
2.9.1.3 Lebar Bendung
Lebar bendung, yaitu jarak antara pangkal-pangkalnya (abutment), sebaiknya
sama dengan lebar rata-rata sungai pada bagian yang stabil. Di bagian ruas bawah
sungai, lebar rata-rata ini dapat diambil pada debit penuh (bankful discharge) di
bagian ruas atas mungkin sulit untuk menentukan debit penuh. Dalam hal ini
banjir mean tahunan dapat diambil untuk menentukan lebar rata-rata bendung.
Lebar maksimum bendung hendaknya tidak lebih dari 1,2 kali lebar rata-rata
sungai pada ruas yang stabil. (KP-02 Bangunan Utama, 2013).
Untuk sungai-sungai yang mengangkut bahan-bahan sedimen kasar yang
berat, lebar bendung tersebut harus lebih disesuaikan lagi terhadap lebar rata-rata
sungai, yakni jangan diambil 1,2 kali lebar sungai tersebut. Agar pembuatan
bangunan peredam energi tidak terlalu mahal, maka aliran per satuan lebar
hendaknya dibatasi sampai sekitar 12-14 m3/dt.m1, yang memberikan tinggi
energi maksimum sebesar 3,5 – 4,5 m (lihat Gambar 4-1.) Lebar efektif mercu
(Be) dihubungkan dengan lebar mercu yang sebenarnya (B), yakni jarak antara
21
pangkal-pangkal bendung dan/atau tiang pancang, dengan persamaan berikut:
(KP-02 Bangunan Utama, 2013).
Be = B – 2 x ( n x Kp + Ka) x H1 (2.8)
Di mana :
Be = lebar efektif bendung
B = Lebar Optimal Bendung
Kp = koefisien kontraksi pada pilar
Ka = koefisien kontraksi pada dinding
n = jumlah pilar
H1 = tinggi energi (m)
Gambar 2.8 Lebar Efektif Mercu
Sumber. (KP-02 Bangunan Utama, 2013)
22
Harga-harga koefisien Ka dan Kp disajikan pada table 2.5 di bawah ini.
Table 2.4 Nilai Ka dan Kp
Pentuk Pilar / Pangkal Tembok Kp Ka
Pilar berujung segi empat dan sudut sudut
yang dibulatkan dengan jari-jari yang hampir 0,02
sama dengan 0,1 kali tebal pilar.
pilar berujung bulat 0,01
pilar berujung runcing 0
pangkal tembok segi empat dengan tembok 0,2
hulu pada 90 ke arah aliran.
pangkal tembok bulat dengan tembok hulu 0,1
pada 90 ke arah aliran di mana 0,5 H1>r>0,15H1
pangkal tembok bulat dimana r > 0,5 H1 dan 0
tembok hulu tidak lebih dari 45 ke arah aliran
Sumber. (KP-02 Bangunan Utama, 2013)
Dalam memperhitungkan lebar efektif, lebar pembilas yang sebenarnya
(dengan bagian depan terbuka) sebaiknya diambil 80% dari lebar rencana untuk
mengkompensasi perbedaan koefisiensi debit dibandingkan dengan mercu
bendung itu sendiri (lihat Gambar 2.8).
2.9.1.4 Tinggi jagaan bendung
Untuk perhitungan pada tinggi jagaan dapat digunakan rumus sebagai berikut:
(Suyono Sosrodarsono, Bendungan Tipe Urugan, 2016:256).
Fb = C . V . d1/2
(2.9)
atau
Fb = 0,6 + 0,037 . V . d1/3
(2.10)
Di mana:
Fb = Tinggi jagaan (m)
C = Koefisien (0,1 untuk penampang saluran berbentuk persegi panjang)
V = Kecepatan aliran (m/dtk)
d = Kedalaman air di dalam saluran (m)
23
2.9.1.5 Pintu Pembilas
Pintu pembilas adalah salah satu perlengkapan pokok bendung yang terletak
di dekat dan menjadi satu kesatuan dengan intake. Berfungsi untuk
menghindarkan angkutan muatan sedimen dasar dan mengurangi angkutan
muatan sedimen layang masuk ke intake. (KP-02 Bangunan Utama, 2013).
1. Pembilas undersluice lurus
a. Mulut undersluice diletakkan di hulu mulut intake dengan arah tegak lurus
aliran menuju intake atau menyudut 45º terhadap tembok pangkal. Lebar
mulut harus lebih besar daripada 1,2 kali lebar intake.
b. Lebar pembilas total diambil 1/6-1/10 dari lebar bentang bendung, untuk
sungai-sungai yang lebarnya kurang dari 100 meter. Lebar satu lubang
maksimum 2,5 m untuk kemudahan operasi pintu, dan jumlah lubang tidak
lebih dari tiga buah.
c. Lebar pembilas sebaiknya diambil 60% dari lebar total pengambilan
termasuk pilar-pilarnya
d. Tinggi lubang undersluice diambil 1,5 m, usahakan lebih tinggi dari 1 meter
tetapi tidak lebih tinggi dari 2 meter.
e. Elevasi lantai lubang direncanakan :
Sama tinggi dengan lantai hulu bendung.
Lebih rendah dari lantai hulu bendung.
Lebih tinggi dari lantai hulu bendung.
2. Pintu pembilas bawah
Fungsi pintu bawah adalah untuk pembilasan sedimen yang terdapat di
bawah, di hulu dan di sekitar mulut underesluice. Jenis pintu yang dipakai
umumnya yaitu pintu sorong. Untuk satu lubang pintu sorong lebar maksimum
2,5 m sedangkan untuk pintu yang dioperasikan dengan mesin dibuat antara 2,5-5
m.
24
3. Pilar pembilas
Pilar pembilas berfungsi untuk penempatan pintu-pintu, undersluice dan
perlengkapan lainnya. Lebar pilar sisi bagian luar dapat diambil sampai dengan 2
m dan sisi bagian dalam antara 1 – 1,5 m.
4. Sponeng dan stang pintu
Sponeng berfungsi untuk menahan tekanan air pada pintu. Ukuran sponeng
bervariasi yaitu 0,25 x 0,25 m atau 0,25 x 0,3 m. Sedangkan stang pintu berfungsi
untuk mengangkat dan menurunkan pintu.
5. Tembok baya-baya
Berfungsi untuk mencegah angkutan sedimen dasar meloncat dari hulu
bendung ke atas plat undersluice. Tinggi mercu tembok baya-baya diambil antara
0,5 m dan 1 m di atas mercu bendung.
6. Pembilas Shunt Undersluice
Shunt undersluice adalah bangunan undersluice yang penempatannya di luar
bentang sungai dan atau di luar pangkal bendung, di bagian samping melengkung
ke dalam dan terlindung di belakang tembok pangkal.
2.9.1.6 Bangunan Pengambilan/Intake
Bangunan intake adalah suatu bangunan pada bendung yang berfungsi
sebagai penyadap aliran air sungai, mengatur pemasukan air dan sedimen, serta
menghindarkan sedimen dasar sungai dan sampah masuk ke intake. Pintu
pengambilan diletakkan 10 s/d 15 meter di hulu pintu penguras bending.
Pengambilan di sisi kanan sungai, lay out pengambilan direncanakan membentuk
sudut 45o ke arah hulu. Intake terdiri dari bermacam jenis, yaitu : (KP-02
Bangunan Utama, 2013).
1. Intake biasa, yang umum direncanakan yaitu intake dengan pintu berlubang
satu atau lebih dan dilengkapi dengan pintu dinding banjir.
2. Intake gorong-gorong, tanpa pintu di bagian udik. Pintu diletakkan di bagian
hilir gorong-gorong.
25
3. Intake frontal, intake diletakkan di tembok pangkal, jauh dari bangunan
pembilas atau bending.
2.9.1.7 Lantai/Dasar Intake
Lantai intake dirancang datar, tanpa kemiringan. Di hilir pintu lantai dapat
berbentuk kemiringan dan dengan bentuk terjunan sekitar 0,5 m. Lantai intake bila
di awal kantong sedimen bisa berbentuk datar dan dengan kemiringan tertentu.
Ketinggian lantai intake, bila intake ditempatkan pada bangunan pembilas dengan
undersluice : (KP-02 Bangunan Utama, 2013).
1. Sama tinggi dengan plat lantai undersluice.
2. Sampai dengan 0,5 m di atas plat undersluice.
3. Tergantung pada keadaan tertentu.
4. 0,5 m jika sungai mengangkut lanau.
5. 1 m jika sungai mengangkut pasir dan kerikil.
6. 1,5 m jika sungai mengangkut kerikil dan bongkah.
2.9.1.8 Pintu Sorong
Pintu sorong dipakai dengan tinggi maksimum sampai 3 m dan lebar tidak
lebih dari 3 m. Pintu tipe ini hanya digunakan untuk bukaan kecil, karena untuk
bukaan yang lebih besar alat-alat angkatnya akan terlalu berat untuk
menanggulangi gaya gesekan pada sponeng. Untuk bukaan yang lebih besar dapat
dipakai pintu rol, yang mempunyai keuntungan tambahan karena di bagian atas
terdapat lebih sedikit gesekan, dan pintu dapat diangkat dengan kabel baja atau
rantai baja. Ada dua tipe pintu rol yang dapat dipertimbangkan, yaitu pintu Stoney
dengan roda yang tidak dipasang pada pintu, tetapi pada kerangka yang
terpisah;dan pintu rol biasa yang dipasang langsung pada pintu.
Lebar pintu intake dapat dihitung dengan rumus pengaliran sebagai
berikut: (KP-02 Bangunan Utama, 2013).
Q = K . Cd . b x a x √ .h1 (2.11)
Di mana :
Q = Debit Rencana, m3/dt
26
b = Lebar efektif mercu bendung, meter
a = Tinggi bukaan pintu, meter
Cd = Koefisien Debit
g = Gravitasi (9,81 m/s2)
h1 = Tinggi air di hulu, meter
2.9.1.9 Bangunan Peredam Energi
Bangunan peredam energi bendung adalah struktur dari bangunan di hilir
tubuh bendung yang terdiri dari beberapa tipe, bentuk dan di kanan kirinya
dibatasi oleh tembok pangkal bendung dilanjutkan dengan tembok sayap hilir
dengan bentuk tertentu. Fungsi bangunan ini adalah untuk meredam energi air
akibat pembendungan, agar air di hilir bendung tidak menimbulkan penggerusan
setempat yang membahayakan struktur.
Bangunan peredam energi bendung terdiri atas berbagai macam tipe antara
lain yaitu :
1. Vlughter
2. USBR
3. SAF
4. Schooklitch
5. MDO, MDS dan MDL, dll
Prinsip pemecahan energi pada bangunan peredam energi adalah dengan cara
menimbulkan gesekan air dengan lantai dan dinding struktur, gesekan air dengan
air, membentuk pusaran air berbalik vertikal ke atas dan ke bawah serta pusaran
arah horizontal dan menciptakan benturan aliran ke struktur serta membuat
loncatan air di dalam ruang olakan. Sementara itu, dalam memilih tipe bangunan
peredam energi sangat bergantung kepada berbagai factor, antara lain :
1. Tinggi pembendungan.
2. Besarnya nilai bilangan Froude.
3. Keadaan geoteknik tanah dasar misalnya jenis batuan, lapisan, kekerasan
tekan, diameter butir.
27
4. Jenis angkutan sedimen yang terbawa aliran sungai.
5. Kemungkinan degradasi dasar sungai yang akan terjadi di hilir bendung.
6. Keadaan aliran yang terjadi di bangunan peredam energi seperti aliran tidak
sempurna/tenggelam, loncatan aliran yang lebih rendah atau lebih tinggi dan
sama dengan kedalaman muka air hilir (tail water).
2.9.1.10 Kolam Olak
Tipe kolam olak yang akan di rencanakan di sebelah hilir bangunan
bergantung pada energi air yang masuk, yang dinyatakan dengan bilangan Froude,
dan pada bahan konstruksi kolam olak. Berdasarkan bilangan Froude, dapat dibuat
pengelompokan-pengelompokan berikut dalam perencanaan kolam : (KP-04
Bagian bangunan, 2013).
1. Untuk Fru ≤ 1,7 tidak diperlukan kolam olak; pada saluran tanah, bagian
hilir harus dilindungi dari bahaya erosi; saluran pasangan batu atau beton
tidak memerlukan lindungan khusus.
2. Bila 1,7 < Fru ≤ 2,5 maka kolam olak diperlukan untuk meredam energi
secara efektif. Pada umumnya kolam olak dengan ambang ujung mampu
bekerja dengan baik. Untuk penurunan muka air ΔZ < 1,5 m dapat dipakai
bangunan terjun tegak.
3. Jika 2,5 < Fru ≤ 4,5 maka akan timbul situasi yang paling sulit dalam
memilih kolam olak yang tepat. Loncatan air tidak terbentuk dengan baik
dan menimbulkan gelombang sampai jarak yang jauh di saluran. Cara
mengatasinya adalah mengusahakan agar kolam olak untuk bilangan Froude
ini mampu menimbulkan olakan (turbulensi) yang tinggi dengan blok
halangnya atau menambah intensitas pusaran dengan pemasangan blok
depan kolam. Blok ini harus berukuran besar (USBR tipe IV). Tetapi pada
prakteknya akan lebih baik untuk tidak merencanakan kolam olak jika 2,5 <
Fru < 4,5. Sebaiknya geometrinya diubah untuk memperbesar atau
memperkecil bilangan Froude dan memakai kolam dari kategori lain.
4. Kalau Fru ≥ 4,5 ini akan merupakan kolam yang paling ekonomis. karena
kolam ini pendek. Tipe ini, termasuk kolam olak USBR tipe III yang
28
dilengkapi dengan blok depan dan blok halang. Kolam loncat air yang sarna
dengan tangga di bagian ujungnya akan jauh lebih panjang dan mungkin
harus digunakan dengan pasangan batu.
2.9.1.11 Kolam Loncat Air
Gambar 2.9 Metode perencanaan kolam loncat air
Sumber. (KP-02 Bangunan Utama, 2013)
Gambar 2.9 memberikan penjelasan mengenai metode perencanaan. Dari
grafik q versus H1 dan tinggi jatuh 2, kecepatan (v1) awal loncatan dapat
ditemukan dari : (KP-02 Bangunan Utama, 2013).
V1 = √ (2.12)
V1 =
(2.13)
Di mana :
Q = Debit rancangan, m3/dt
Be = lebar efektif mercu bending, m
Y1 = kedalaman air di awal loncatan, m
V1 = kecepatan awal loncatan, m/dt
g = percepatan gravitasi, 9,81 m/dt2
29
h1 = tinggi energy di atas ambang, m
z = tinggi jatuh, m
Dengan q = v1 x y1, dan rumus untuk kedalaman konjugasi dalam loncat air
adalah: (KP-02 Bangunan Utama, 2013).
= ½ x √ (2.14)
Di mana :
Fr =
√ (2.15)
Di mana :
Y2 = kedalaman air di atas ambang ujung, m
Y1 = kedalaman air di awal loncatan, m
Fr = bilangan froude
g = percepatan gravitasi, 9,81 m/dt2
V1 = kecepatan awal loncatan, m/dt
Panjang kolam loncat air di belakang Potongan U (Gambar 2.5) biasanya
kurang dari panjang bebas loncatan tersebut adanya ambang ujung (end sill).
Ambang yang berfungsi untuk memantapkan aliran ini umumnya ditempatkan
pada jarak
Lj = 5 x (n + Y2) (2.16)
Di mana :
Lj = panjang kolam loncat, m
n = tinggi ambang ujung, m
Syarat panjang kolam loncat adalah harus lebih panjang dari pada panjang
loncatan air sehingga loncatan masih atau tetap berada pada kolam loncat.
Persamaan yang digunakan untuk menentukan panjang loncatan adalah sebagai
berikut: (KP-02 Bangunan Utama, 2013).
Lj = 5 x (Y2 – Y1) (2.17)
Di mana :
Lj = panjang loncatan air, m
Y2 = kedalaman air di atas ambang ujung, m
Y1 = kedalaman air di awal loncatan, m
30
2.9.1.12 Perlindungan Bagian Hilir
Untuk mencegah terjadinya penggerusan saluran di sebelah hilir bangunan
peredam energi, saluran sebaiknya dilindungi dengan pasangan batu kosong atau
rip-rap. Panjang lindungan harus dibuat sebagai berikut : (KP-04 Bagian
Bangunan, 2013).
1. tidak kurang dari 4 kali kedalaman normal maksimum di saluran hilir,
2. tidak lebih pendek dari peralihan tanah yang terletak antara bangunan dan
saluran,
3. tidak kurang dari 1,50 m.
Gambar 2.10 Potongan Memanjang Peredam Energi
Dengan Perlindungan Hilir Rip-Rap
Sumber. (KP-04 Bagian Bangunan, 2013)
Jika dipakai pasangan batu kosong, maka diameter batu yang akan dipakai
untuk pasangan ini dapat ditentukan dengan menggunakan Gambar 6-7 di (KP-04
hal 167). Gambar ini dapat dimasukkan dengan kecepatan rata-rata di atas ambang
kolam. Jika kolam olak tidak diperlukan karena Fru ≤ 1,7, maka Gambar 6-14 di
(KP-04 hal 167). harus menggunakan kecepatan benturan (impact velocity) Vu :
(KP-04 Bagian Bangunan, 2013).
Vu = √ (2.18)
31
Gambar 6-14 di (KP-04 hal 167). memberikan ukuran d40 campuran pasangan
batu kosong. Ini berarti bahwa 60% dari pasangan batu tersebut harus terdiri
campuran dari batu-batu yang berukuran sama, atau lebih besar.
2.9.1.13 Perencanaan Filter
Semua pasangan batu kosong harus ditempatkan pada filter untuk mencegah
hilangnya bahan dasar yang halus. Filter terdiri dari lapisan-lapisan bahan khusus
seperti ditunjukkan pada Gambar 2.6, atau dapat juga dibuat dari ijuk atau kain
sintetis. (KP-04 Bagian Bangunan, 2013)
Gambar 2.11 Filter diantara batu kosong dan tanah asli
Sumber. (KP-04 Bagian Bangunan, 2013)
2.9.1.14 Analisis Stabilitas Bendung
A. Gaya-gaya yang Bekerja
Gaya-gaya yang bekerja pada bangunan bendung dan memiliki nilai penting
dalam perencanaan adalah sebagai berikut: (KP-02 Bangunan Utama, 2013).
1) Tekanan air, dalam dan luar
2) Tekanan lumpur
3) Gaya gempa
4) Berat bangunan
5) Reaksi pondasi
32
1. Tekanan Air
Gaya tekan air dapat dibagi menjadi gaya hidrostatik dan gaya hidrodinamik.
Tekanan hidrostatik adalah fungsi kedalaman di bawah permukaan air. Tekanan
air akan selalu bekerja tegak lurus terhadap muka bangunan. Oleh sebab itu agar
perhitungannya lebih mudah, gaya horizontal dan vertikal dikerjakan secara
terpisah. Tekanan air dinamik jarang diperhitungkan untuk stabilitas bangunan
bendung dengan tinggi energi rendah. (KP-02 Bangunan Utama, 2013).
Gaya tekan ke atas untuk bangunan pada permukaan tanah dasar (subgrade)
lebih rumit. Gaya angkat pada pondasi itu dapat ditemukan dengan membuat
jaringan aliran (flownet), atau dengan asumsi-asumsi yang digunakan oleh Lane
untuk teori angka rembesan (weighted creep theory). (KP-02 Bangunan Utama,
2013).
Gambar 2.12 Jaringan aliran di bawah dam pasangan batu pada pasir
Sumber. (KP-02 Bangunan Utama, 2013)
Dalam teori angka rembesan Lane, diandaikan bahwa bidang horizontal
memiliki daya tahan terhadap aliran (rembesan) 3 kali lebih lemah dibandingkan
dengan bidang vertikal. Ini dapat dipakai untuk menghitung gaya tekan ke atas di
bawah bendung dengan cara membagi beda tinggi energi pada bendung sesuai
dengan panjang relatif di sepanjang pondasi. (KP-02 Bangunan Utama, 2013).
Dalam bentuk rumus, ini berarti bahwa gaya angkat pada titik x di sepanjang
dasar bendung dapat dirumuskan sebagai berikut: (KP-02 Bangunan Utama,
2013).
33
Px = Hx −
x ΔH (2.19)
D imana :
Px = gaya angkat pada x, kg/m2
L = panjang total bidang kontak bendung dan bawah tanah, m
Lx = jarak sepanjang bidang kontak dari hulu sampai x, m
ΔH = beda tinggi energy, m
Hx = tinggi energy di hulu bendung, m
2. Tekanan Lumpur
Tekanan lumpur dapat bekerja terhadap muka hulu bendung ataupun terhadap
pintu. Untuk sudut gesekan dalam, yang bisa diandaikan 30o untuk kebanyakan
hal, menghasilkan persamaan berikut : (KP-02 Bangunan Utama, 2013).
Ps = 1,67 x h2 (2.20)
Di mana :
Ps = tekanan lumpur pada 2/3 kedalaman atas lumpur yang bekerja
secara horizontal
h = tinggi lumpur setinggi mercu bendung, m
3. Gaya Gempa
Harga-harga gaya gempa diberikan dalam bagian Parameter Bangunan.
Harga-harga tersebut didasarkan pada peta Indonesia yang menujukkan berbagai
daerah dan risiko. Faktor minimum yang akan di pertimbangkan adalah 0,1 g
perapatan gravitasi sebagai harga percepatan. Faktor ini hendaknya
dipertimbangkan dengan cara mengalikannya dengan massa bangunan sebagai
gaya horizontal menuju ke arah yang paling tidak aman, yakni arah hilir. (KP-02
Bangunan Utama, 2013).
koefisien gempa dapat dihitung dengan rumus :
ad = n x [ac x z]m
K (2.21)
E =
(2.22)
34
Di mana :
ad = percepatan gempa rencana, cm/dt2
n = koefisien jenis tanah
m = koefisien jenis tanah
ac = percepatan kejut dasar, cm/dt2
z = factor yang bergantung pada letak geografis
g = percepatan gravitasi, 9,81 m/dt2
E = koefisien gempa
Table 2.5 koefisien jenis tanah
Jenis n m
Batu 2,76 0,71
Diluvium 0,87 1,05
Aluvium 1,56 0,89
Alivium lunak 0,29 1,32
Sumber. (KP-06 Parameter Bangunan, 2013)
4. Berat Bangunan
Berat bangunan bergantung kepada bahan yang dipakai untuk membuat
bangunan itu. Untuk tujuan-tujuan perencanaan pendahuluan, boleh dipakai
harga-harga berat volume di bawah ini. (KP-02 Bangunan Utama, 2013).
pasangan batu 22 kN/m3 (≈ 2.200 kgf/m
3)
beton tumbuk 23 kN/m3 (≈ 2.300 kgf/m
3)
beton bertulang 24 kN/m3 (≈ 2.400 kgf/m
3)
Berat volume beton tumbuk bergantung kepada berat volume agregat serta
ukuran maksimum kerikil yang digunakan. Untuk ukuran maksimum agregat 150
mm dengan berat volume 2,65, berat volumenya lebih dari 24 kN/m3 (≈ 2.400
kgf/m3). (KP-02 Bangunan Utama, 2013).
5. Reaksi Pondasi
Reaksi pondasi boleh diandaikan berbentuk trapesium dan tersebar secara
linier. Tekanan vertikal pondasi pada ujung bangunan ditentukan dengan rumus:
(KP-02 Bangunan Utama, 2013).
35
e =
–
(2.23)
P =
x (1 ±
) (2.24)
Di mana :
P = reaksi pondasi/tegangan, ton/m2
e = eksentrisitas, m
L = panjang pondasi, m
V = total gaya/reaksi vertikal, ton
MG = momen guling, ton.m
MT = momen tahan, ton.m
B. Kebutuhan Stabilitas
Ada tiga penyebab runtuhnya bangunan gravitasi, antara lain yaitu: (KP-02
Bangunan Utama, 2013).
1. gelincir (sliding)
a. sepanjang sendi horizontal atau hampir horizontal di atas pondasi.
b. sepanjang pondasi, atau
c. sepanjang kampuh horizontal atau hampir horizontal dalam pondasi.
2. guling (overturning)
a. di dalam bendung
b. pada dasar (base), atau
c. pada bidang di bawah dasar.
3. erosi bawah tanah (piping).
C. Ketahanan Terhadap Gelincir/Geser
Tangen θ, sudut antara garis vertikal dan resultante semua gaya, termasuk
gaya angkat, yang bekerja pada bendung di atas semua bidang horizontal, harus
kurang dari koefisien gesekan yang diizinkan pada bidang tersebut. (KP-02
Bangunan Utama, 2013).
Sf =
(2.25)
36
Di mana :
Sf = faktor keamanan
V = total gaya/reaksi vertikal, ton
H = total gaya/reaksi horizontal, ton
f = faktor gesekan = tan θ°
Untuk bangunan-bangunan kecil, seperti bangunan-bangunan yang
dibicarakan di sini, di mana berkurangnya umur bangunan, kerusakan besar dan
terjadinya bencana besar belum dipertimbangkan, harga-harga faktor keamanan
(Sf) yang dapat diterima adalah: 1,50 untuk kondisi pembebanan normal dan 1,20
untuk kondisi pembebanan ekstrem/gempa.
Untuk bangunan-bangunan yang terbuat dari beton, harga yang aman untuk
faktor gelincir yang hanya didasarkan pada gesekan saja ternyata terlampaui,
maka bangunan bisa dianggap aman jika faktor keamanan dari rumus itu yang
mencakup geser sama dengan atau lebih besar dari harga-harga faktor keamanan
yang sudah ditentukan
Sf =
(2.26)
Di mana :
V = total gaya/reaksi vertikal, ton
H = total gaya/reaksi horizontal, ton
c = kekuatan geser bahan, ton/m2
A = luas dasar yang dipertimbangkan, m2
Harga-harga faktor keamanan jika geser juga dicakup, sama dengan harga-
harga yang hanya mencakup gesekan saja, yakni 1,50 untuk kondisi normal dan
1,20 untuk kondisi ekstrem. Untuk beton, c (satuan kekuatan geser) boleh diambil
1.100 kN/m2.
B. Ketahanan Terhadap Guling
Agar bangunan aman terhadap guling, maka resultante semua gaya yang
bekerja pada bagian bangunan di atas bidang horizontal, termasuk gaya angkat,
harus memotong bidang ini pada teras. Tidak boleh ada tarikan pada bidang irisan
37
mana pun. Besarnya tegangan dalam bangunan dan pondasi harus tetap
dipertahankan pada harga-harga maksimal yang dianjurkan. (KP-02 Bangunan
Utama, 2013).
Sf =
(2.27)
Di mana :
MG = momen guling, ton.m
MT = momen tahan, ton.m
C. Ketahanan Terhadap Piping
Bahaya terjadinya erosi bawah tanah dapat dianjurkan dicek dengan jalan
membuat jaringan aliran/flownet. Dalam hal ini ditemui kesulitan berupa
keterbatasan waktu pengerjaan dan tidak tersedianya perangkat lunak untuk
menganalisa jaringan aliran, maka perhitungan dengan beberapa metode empiris
dapat diterapkan, seperti: (KP-02 Bangunan Utama, 2013).
1. Metode Bligh
2. Metode Lane
3. Metode Koshia
Metode Lane, disebut metode angka rembesan Lane (weighted creep ratio
method), adalah yang dianjurkan untuk mengecek bangunan-bangunan utama
untuk mengetahui adanya erosi bawah tanah. Metode ini memberikan hasil yang
aman dan mudah dipakai. Untuk bangunan-bangunan yang relative kecil, metode-
metode lain mungkin dapat memberikan hasil-hasil yang lebih baik, tetapi
penggunaannya lebih sulit. (KP-02 Bangunan Utama, 2013).
Di sepanjang jalur perkolasi, kemiringan yang lebih curam dari 450 dianggap
vertikal dan yang kurang dari 450. Oleh karena itu, rumusnya adalah: (KP-02
Bangunan Utama, 2013).
CL =
(2.28)
38
Di mana :
CL = angka rembesan lane
Lv = jumlah panjang vertikal, m
LH = jumlah panjang horizontal, m
H = beda tinggi muka air, m
Table 2.6 Harga-harga minimum angka rembesan Lane dan Bligh
BAHAN C(lane) C(Bligh)
pasir amat halus 8,5 18
pasir halus 7 15
pasir sedang 6
pasir kasar 5 12
krikil halus 4
krikil sedang 3,5
krikil campur pasir 9
krikil kasar termasuk batu kecil 3
boulder, batu kecil dan krikil kasar 2,5
boulder, batu kecil dan krikiil 4,6
lempung lunak 3
lempung sedang 1,8
lempung keras 1,8
lempung sangat keras atau padat 1,6
Sumber. (KP-02 Bangunan Utama, 2013)
Angka-angka rembesan pada tabel 2.4 di atas sebaiknya dipakai : (KP-02
Bangunan Utama, 2013).
1. 100% jika tidak dipakai pembuang, tidak dibuat jaringan aliran dan tidak
dilakukan penyelidikan dengan model;
2. 80% kalau ada pembuangan air, tapi tidak ada penyelidikan maupun jaringan
aliran;
3. 70% bila semua bagian tercakup
2.9.2 Bangunan Pengambilan (intake)
Desain bangunan pengambilan pada pembangkit tenaga air skala kecil perlu
kehati-hatian karena saluran air yang digunakan cenderung merupakan saluran
terbuka dan hal penting direncanakan untuk menghindari volume aliran air yang
39
dapat merusaknya. Beberapa metode menganjurkan mengontrol aliran pada saat
banjir tidak menggunakan pintu dan sebagainya. Secara garis besar dalam
mendesain mempertimbangkan hal sebagai berikut: (IMIDAP. Pedoman Studi
Kelayakan Sipil, 2009).
1. harus diletakkan pada sudut yang tepat menghadap arah aliran sungai dan
kecepatan aliran air pada saat banjir diminimalkan.
2. Perlu bagi mempunyai keran penutup dari pada sebuah keran terbuka
sehingga dapat mengontrol tekanan ketika terjadi kenaikan level air sungai.
3. Saat terjadi banjir di mana debit air melebihi desain volume , maka kapasitas
saluran pelimpah pada bak pengendap atau titik permulaan dari saluran air
harus cukup besar.
2.9.3 Saluran Pembawa (Headrace Channel)
Saluran pembawa untuk suatu PLTMH dapat merupakan atau memiliki tipe
saluran terbuka dan saluran tertutup. Saluran pembawa air, kecuali pipa penstok
dan tail race ,harus mampu menampung debit air 10% lebih besar dari debit
rancangan. Hal ini ditujukan agar pada saat operasi maksimal muka air di tidak
turun dari ketinggian dan terhindar dari pelimpasan apabila terjadi kelebihan
debit. Ketentuan perencanaan saluran adalah sebagai berikut: (IMIDAP. Pedoman
Studi Kelayakan Sipil, 2009).
1. Tidak disarankan menggunakan saluran alami dari tanah, karena aliran yang
fluktuatif akan berakibat terhadap scouring dan sedimentasi.
2. Acian dinding saluran pembawa menggunakan adukan semen dengan
perbandingan minimum campuran1:3 (1semendan3pasir).
3. Penguatan slope tanah perlu dilakukan disesuaikan dengan kebutuhan lokasi.
4. Pipa plastic bisa dipergunakan untuk saluran pembawa. Jika dipergunakan
pipa (PVC) atau (HDPE) maka pipa harus dipendam dengan kedalaman
minimum 60cm.
5. Jembatan pipa atau talang dapat dipakai pada daerah yang rawan longsor.
40
6. Apabila saluran pembawa sangat panjang dan melalui tebing yang terjal,
saluran pembuang air harus diarahkan ke saluran alami sehingga aman bagi
kekuatan tanah.
7. Apabila diperlukan, pada saluran pembawa yang menggunakan pipa
dipasangkan pipa pelepas udara di lokasi-lokasi tikungan tajam.
8. Tinggi muka air minimal berjarak 25 cm dari bibir saluran (freeboard) pada
saat beban maksimal di saluran pembawa tersebut.
Hal yang berkaitan dengan konstruksi bisa dilihat dalam bagian konstruksi
bangunan sipil.
2.9.4 Bak Penenang(Forebay)
Sebagaimana fungsi dan karakteristik bangunan ini, maka direncanakan
sebagai berikut : (IMIDAP, Pedoman Studi Kelayakan Sipil, 2009).
1. Bangunan forebay harus dibuat dari konstruksi kedap air dan tahan bocor dan
di desain menghubungkan saluran pembawa dan penstok .
2. Bangunan forebay dalam bentuk tangki bisa dibuat dari pasangan batu atau
beton bertulang. Ketebalan beton minimal l25cm.
3. Bangunan forebay harus dilengkapi dengan:
trasshrack yang lebih halus.
Bangunan spillway dengan kapasitas120% dari debit rancangan.
Saluran pembuangan dari flushgate untuk membuang endapan Lebih baik
terpisah dari saluran spillway
Saluran pembuang air dari spillway dilengkapi dengan struktur Pemecah
energy air.
4. Lebar bangunan setidaknya selebar trashcrack dan bangunan spiilway
sebaiknya sepanjang forebay
5. pipa penstock harus terendam air dalam kedalaman minimum 2 kali diameter
pipa penstok dan jarak dari dasar bangunan forebay minimum 30 cm.
6. Endapan direncanakan sedemikian rupa sehingga tidak masuk ke pipa penstock
7. Tangga harus disediakan untuk pembersihan tangki bangunan forebay.
41
2.9.5 Pipa Pesat (Penstock Pipe)
Pipa pesat adalah konstruksi yang menyalurkan alir untuk menggerakkan
turbin PLTMH. Desain pipa pesat bergantung dari sistem PLTMH yang akan
dibangun. Tipe pipa pesat mengikuti skema PLTMH dengan beberapa alternative :
(IMIDAP, Pedoman Studi Kelayakan Sipil, 2009).
1. rendah dengan saluran (low head with channel)
2. low head river barrage
3. high head no channel
4. high head with channel
memiliki beberapa tipe desain pipa pesat seperti pipa pesat pendek (short
penstock pipe), pipa pesat medium (mid length penstock pipe) dan pipa pesat
panjang mengikuti sungai (long penstock following river).
Hal-hal yang perlu dipertimbangkan dalam desain pipa pesat (penstock) adalah:
1. Bahan Pipa Pesat, Saat ini beberapa bahan digunakan untuk memiliki
karakteristik yang berbeda. Hal yang terpenting dari bahan ini adalah
kemampuan kerja, kesesuaian tekanan yang di ijinkan dan kerapatan terhadap
potensi kebocoran. Tabel 3 dan Tabel 4 memberikan deskripsi perbandingan
beberapa bahan .
2. Diameter dan Tebal Pipa Pesat, Penentuan kesesuaian diameter menggunakan
pendekatan formulasi antara desain debit dan susut kemiringan (penstock
pipe). Setelah didapat kisaran diameter yang sesuai maka untuk
mempertimbangkan kemampuan kerja dan kesesuaian tekanan maka dipilih
bahan seperti Tabel 4 atau sebagai acuan awal dapat ditentukan ketebalan
bahan penstock pipe dari bahan besi berkisar 1,5 mm.
3. harus dicegah terjadinya korosi, keamanan menjadi factor penting.
4. penstock pipe dari bahan plastic (HDPEatauPVC) harus dipendam di dalam
tanah atau dilindungi dari sinar matahari langsung dengan dibungkus.
5. penstock pipe harus dirancang sedemikian sehingga kehilangan tekanan (head
losses) di dalam penstock pipe maksimal 10% dari head total. yang amat
42
panjang, maksimal 5 kali ketinggian head maksimal kehilangan tekanan 15%
masih bisa ditoleransi
Tabel 2.7 Perbandingan Bahan Pipa
Material Gesekan
Dinding Pipa Berat
Ketahanan
Karat
Biaya
kontruksi
pipa
Sambungan Ketahanan
Tekanan
Mild
Stell *** *** *** *** **** *****
HDPE ***** ***** ***** ** ** *****
Upvc ***** ***** **** **** **** *****
Beton * * ***** *** *** *
Sumber. (IMIDAP, Pedoman Studi Kelayakan Sipil, 2009).
Tabel 2.8 Perbandingan Bahan Pipa Pesat Resin dan Baja
Sumber. (IMIDAP, Pedoman Studi Kelayakan Sipil, 2009).
43
6. Tingkat tekanan yang bisa diterima penstock pipe harus mempertimbangkan
tekanan tiba-tiba (surge pressure), tekanan statis dan tekanan yang dihasilkan
karena penutupan guide uane, Spesifikasi tekanan ini harus bisa diaplikasikan
di seluruh bagian penstock pipe.
7. harus mampu menahan tekanan akibat water hammer dan harus dilengkapi
dengan pipa napas di ujung atas penstock pipe, Ukuran diameter pipa napas
berkisar 1% sampai 2% diameter penstock pipe. Apabila diperlukan katub
udara (air release value) dipasang pada titik-titik di mana ada perubahan arah
penstock yang signifikan seperti pada belokan. Spesifikasi katup udara
disesuaikan dengan tingkat tekanan yang kemungkinan diterima di titik
tersebut.
8. Masalah pabrikasi dan konstruksi penstock bisa dilihat pada bagian pabrikasi
dan konstruksi.
2.9.6 Rumah Pembangkit (Power House)
Sesuai posisinya, rumah pembangkit ini dapat diklasifikasikan dalam tipe di
atas tanah, semi di bawah tanah dan di bawah tanah. Sebagian besar rumah
pembangkit PLTMH adalah di atas tanah. Desain rumah pembangkit
mempertimbangkan hal-hal sebagai berikut : (IMIDAP. Pedoman Studi
Kelayakan Sipil, 2009).
1. Lantai rumah pembangkit di mana peralatan PLTMH ditempatkan, perlu
memperhatikan kenyamanan selama operasi, mengelola, melakukan
perawatan Di mana terjadi pekerjaan pembongkaran dan pemasangan
peralatan.
2. Memiliki cukup cahaya untuk penerangan di siang hari dan adanya ventilasi
udara.
3. Kenyamanan bagi operator saat berada di dalam untuk melakukan
pengendalian atau pun pencatatan secara manual.
Konstruksi untuk desain rumah pembangkit PLTMH berkaitan dengan system
PLTMH yang bergantung pada jenis dan tipe turbin yang digunakan dan sirkulasi
air yang dikeluarkan setelah menggerakkan turbin (Pedoman Studi Kelayakan
44
Mekanikal Elektrikal – Buku 2C). Ada beberapa pertimbangan tipe desain rumah
pembangkit sesuai jenis turbin yang digunakan. Sebagai contoh: (IMIDAP.
Pedoman Studi Kelayakan Sipil, 2009).
a. Rumah Pembangkit untuk Turbin implus
Desain konstruksi rumah pembangkit ini perlu mempertimbangkan jarak
bebas antara dasar rumah pembangkit dengan permukaan air buangan turbin
(afterbay). Jenis turbin implus seperti turbin pelton, turgo,dan crossflow yang
ditunjukkan pada Gambar 14, air yang dilepas runner turbin secara langsung
dikeluarkan di tailrace. Permukaan air di bawah turbin akan bergelombang,
sehingga jarak bebas antara rumah pembangkit dengan permukaan air afterbay
setidaknya 30-50 cm. Kedalaman air di afterbay harus dihitung berdasarkan suatu
formulasi antara desain debit dan lebar saluran di tailrace. Air di afterbay harus
ditentukan lebih tinggi dari estimasi muka air banjir dan head antara pusat turbin
dan level air pada outlet harus menjadi headloss.
Gambar 2.13 Turbin Impulse
Sumber : british hydropower association, 2005
45
b. Rumah Pembangkit Untuk Turbin Reaction
Hal yang sama dalam desain konstruksi rumah turbin menggunakan jenis
reaction seperti francis, propeller adalah perilaku air di afterbay sedangkan turbin
tipe reaction, air dikeluarkan ke afterbay melalui turbin. Deskripsi turbin yang
dimaksud ditunjukkan pada Gambar di bawah ini. Head antara level air dan turbin
dapat digunakan untuk membangkitkan tenaga, dengan demikian desain
konstruksinya memperbolehkan posisi tempat pemasangan turbin berada di bawah
level air banjir dan pada desain konstruksinya perlu disediakan tempat untuk
menempatkan peralatan seperti pintu tailrace dan pompa.
Gambar 2.14 turbin open flume prancis
Sumber : british hydropower association, 2005
Gambar 2.15 turbin propeller
Sumber : british hydropower association, 2005