BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pembangkit Listrik Tenaga ...

42
4 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pembangkit Listrik Tenaga Mikrohidro (PLTMH) Pembangkit Listrik Tenaga Mikrohidro (PLTMH) adalah pembangkit listrik berskala kecil (kurang dari 100 kW), yang memanfaatkan tenaga (aliran) air sebagai sumber penghasil energi. PLTMH termasuk sumber energi terbarukan dan layak disebut clean energi karena ramah lingkungan. Tenaga air berasal dari aliran sungai kecil atau danau yang dibendung dan kemudian dari ketinggian tertentu dan memiliki debit yang sesuai akan menggerakkan turbin yang dihubungkan dengan generator listrik. Semakin tinggi jatuhan air maka semakin besar energi potensial air yang dapat diubah menjadi energi listrik. Pembangkit tenaga air merupakan suatu bentuk perubahan tenaga dari tenaga air dengan ketinggian dan debit tertentu menjadi tenaga listrik, dengan menggunakan turbin air dan generator (Very Dwiyanto, 2016). 2.2 Prinsip Kerja Pembangkit Listrik Tenaga Mikro Hidro (PLTMH) Pembangkit listrik tenaga air skala mikro pada prinsipnya memanfaatkan beda ketinggian dan jumlah debit air per detik yang ada pada aliran air saluran irigasi, sungai atau air terjun. Aliran air ini akan memutar poros turbin sehingga menghasilkan energi mekanik. Energi ini selanjutnya menggerakkan generator dan generator menghasilkan listrik. Sebuah skema mikrohidro memerlukan dua hal yaitu, debit air dan ketinggian jatuh (head) untuk menghasilkan tenaga yang dapat dimanfaatkan. Hal ini adalah sebuah sistem konversi energi dari bentuk ketinggian dan aliran (energi potensial) ke dalam bentuk energi mekanik dan energi listrik (Donald, 1994).

Transcript of BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pembangkit Listrik Tenaga ...

4

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Pembangkit Listrik Tenaga Mikrohidro (PLTMH)

Pembangkit Listrik Tenaga Mikrohidro (PLTMH) adalah pembangkit listrik

berskala kecil (kurang dari 100 kW), yang memanfaatkan tenaga (aliran) air

sebagai sumber penghasil energi. PLTMH termasuk sumber energi terbarukan dan

layak disebut clean energi karena ramah lingkungan. Tenaga air berasal dari aliran

sungai kecil atau danau yang dibendung dan kemudian dari ketinggian tertentu

dan memiliki debit yang sesuai akan menggerakkan turbin yang dihubungkan

dengan generator listrik. Semakin tinggi jatuhan air maka semakin besar energi

potensial air yang dapat diubah menjadi energi listrik. Pembangkit tenaga air

merupakan suatu bentuk perubahan tenaga dari tenaga air dengan ketinggian dan

debit tertentu menjadi tenaga listrik, dengan menggunakan turbin air dan

generator (Very Dwiyanto, 2016).

2.2 Prinsip Kerja Pembangkit Listrik Tenaga Mikro Hidro (PLTMH)

Pembangkit listrik tenaga air skala mikro pada prinsipnya memanfaatkan

beda ketinggian dan jumlah debit air per detik yang ada pada aliran air saluran

irigasi, sungai atau air terjun. Aliran air ini akan memutar poros turbin sehingga

menghasilkan energi mekanik. Energi ini selanjutnya menggerakkan generator

dan generator menghasilkan listrik. Sebuah skema mikrohidro memerlukan dua

hal yaitu, debit air dan ketinggian jatuh (head) untuk menghasilkan tenaga yang

dapat dimanfaatkan. Hal ini adalah sebuah sistem konversi energi dari bentuk

ketinggian dan aliran (energi potensial) ke dalam bentuk energi mekanik dan

energi listrik (Donald, 1994).

5

Gambar 2.1 skema pembangkit listrik mikrohidro Sumber . (IMIDAP, pedoman teknis Standardisasi peralatan dan komponen PLTMH,

2009

Penjelasan Gambar :

a. Mercu Bendung (Wier)

Bangunan yang berada melintang sungai yang berfungsi untuk membelokkan

arah aliran air

b. Bangunan Pengambilan (Intake)

Bangunan yang berfungsi mengarahkan air dari sungai masuk ke dalam

Saluran Pembawa (Headrace).

c. Bak Penangkap Pasir (Sand Trap)

dapat menjadi satu (terintegrasi) dengan bangunan ini.

d. Saluran Pembawa (Headrace)

Bangunan yang berfungsi mengalirkan/membawa air dari Intake ke Forebay,

Headrace dapat juga terbuat dari pipa.

6

e. Bak Penampungan (Forebay)

Bangunan yang mempunyai potongan melintang (luas penampang basah)

lebih besar dari Headrace yang berfungsi untuk memperlambat aliran air.

f. Saringan (Trash Rack)

Terbuat dari plat besi yang berfungsi menyaring sampah-sampah atau puing-

puing agar tidak masuk ke dalam bangunan selanjutnya. Trash Rack

diletakkan pada posisi melintang di bangunan Intake atau Forebay dengan

kemiringan 65 - 75º

g. Saluran Pembuangan (Spillway)

Bangunan yang memungkinkan agar kelebihan air di dalam Headrace untuk

melimpah kembali ke dalam sungai.

h. Pipa Pesat (Penstock)

Pipa bertekanan yang membawa air dari Forebay ke dalam Power House.

i. Rumah Pembangkit (Power House)

Bangunan yang di dalamnya terdapat turbin, generator dan peralatan control.

j. Tailrace

Saluran yang berfungsi mengalirkan/membawa air dari turbin kembali ke

sungai.

k. Jaringan Transmisi

Terdiri dari tiang, kabel dan aksesoris lainnya (termasuk trafo; jika

diperlukan) yang berfungsi mengalirkan energy listrik dari Power House ke

konsumen (rumah-rumah dan pabrik). Standardisasi Peralatan dan Komponen

Pembangkit Listrik Tenaga

7

2.3 kriteria Pemilihan Jenis Turbin

Pemilihan jenis turbin dapat ditentukan berdasarkan kelebihan dan

kekurangan dari jenis jenis turbin, khususnya untuk suatu desain yang sangat

spesifik. Faktor tinggi jatuhan air efektif (Net Head) dan debit yang akan

dimanfaatkan untuk operasi turbin merupakan faktor utama yang mempengaruhi

pemilihan jenis turbin (Ismono, 1999).

Turbin air berperan untuk mengubah energi air (energi potensial, tekanan dan

energi kinetik) menjadi energi mekanik dalam bentuk putaran poros. Putaran

poros turbin ini akan diubah oleh generator menjadi tenaga listrik. Berdasarkan

prinsip kerjanya, turbin air dibagi menjadi kelompok yang ditunjukkan Tabel

berikut :

Tabel 2.1 Jenis Turbin

TURBINE

RUNNER

HEAD PRESSURE

HIGH MEDIUM LOW

IMPULSE

PELTON CROSSFLOW CROSSFLOW

TURGO TURGO

MULTI JET - PELTON MULTI JET-PELTON

REACTION PRANCIS PROPELLER

PUMP AS TURBIN (PAT) KAPLAN

Sumber. (IMIDAP, Studi Kelayakan Mekanikal dan Elektrikal Buku 2C, 2009)

Cara kerja kedua tipe turbin tersebut diuraikan sebagai berikut : (IMIDAP,

Studi Kelayakan Mekanikal dan Elektrikal Buku 2C, 2009).

a. Turbin Impuls

Turbin jenis ini meliputi crossflow, turgo dan multi-jet pelton, menggunakan

tekanan yang sama pada setiap sisi sudut geraknya (runner) di mana bagian turbin

yang berputar.

8

b. Turbin Reaksi

Turbin jenis ini meliputi jenis prancis dan Kaplan/propeller, menggunakan

energy kinetic dan tekanan di runner. Secara umum jenis turbin ini tidak

menerima tumbukan dan hanya mengikuti aliran air.

Adapun di bawah ini gambar gambar dari tipe-tipe turbin :

Gambar 2.2 jenis turbin

Sumber : british hydropower association, 2005

9

Selain dapat dilihat dalam tabel di atas, pemilihan tipe turbin dapat juga dicari

berdasarkan hubungan debit dan tinggi jatuh seperti pada grafik berikut ini:

Grafik 2.1 Pemilihan Turbin

Sumber. (IMIDAP, Pedoman Teknis Standardisasi Peralatan dan Komponen PLTMH,

2008).

Pertama dilakukan adalah menghubungkan garis antara debit air dengan

ketinggian yang telah ditetapkan garis berwarna hijau kemudian membuat garis

tegak lurus antara kecepatan turbin dengan garis yang berwarna hijau garis yang

berwarna biru sehingga akan mendapatkan jenis turbin yang ideal.

Dalam perencanaan turbin, kinerja turbin dipengaruhi oleh efisiensi yang

dimiliki oleh masing – masing jenis turbin. Efisiensi yang dimaksud disebabkan

karena adanya perbedaan tenaga yang digunakan dengan daya yang dibawa oleh

aliran air. Efisiensi masing – masing turbin dapat dilihat pada gambar grafik 2.3

berikut ini:

10

Grafik 2.2 Efisiensi Turbin

Sumber. (IMIDAP, Pedoman Teknis Standardisasi Peralatan dan Komponen PLTMH,

2008)

2.4 Perhitungan Hidrologi PLTMH

Adapun rumus umum untuk menghitung debit sebagai berikut: (SNI 8066,

2015).

Q = A.V (2.1)

Di mana : A = luas penampang saluran (m2)

V = kecepatan aliran (m/s)

Q = Debit aliran (m3/s)

Pengukuran debit air dapat dilakukan dengan banyak cara, untuk pengukuran

debit secara langsung menggunakan alat current meter atau dengan pelampung.

Pemilihan lokasi dan pelaksanaan pengukuran debit dengan ketentuan : (IMIDAP.

Pedoman Studi Kelayakan Hidrologi, 2009)

a. Palung sungai atau saluran sedapat mungkin harus lurus dengan arah, dan

kecepatan aliran seragam /sejajar.

11

b. Apabila rencana PLTMH berada di sungai, maka dipilih lokasi pengukuran

pada dasar sungai yang tidak berubah - ubah, bebas dari batuan besar atau

bangunan air yang menyebabkan aliran tidak seragam/sejajar. Dasar

penampang sungai sedapat mungkin rata sehingga saat perhitungan

menghasilkan nilai yang sebenarnya. Memilih lokasi semacam itu sangat

sulit namun harus diupayakan lokasi terbaik dari keadaan yang ada.

c. Mengukur pada kedalaman garis vertikal yang akan diukur kecepatannya

kemudian menentukan titik kedalaman pengukuran 0,2D; 0,6D; dan 0,8D

dari permukaan air seperti ditunjukkan pada Gambar12. Jika kedalaman

sungai tidak lebih atau sama dengan 0,75 cm maka pengukuran kedalaman

aliran hanya menggunakan 1 titik kedalaman yaitu 0,6D.

d.

Gambar 2.3 Kedalaman Pengukuran

Sumber. (IMIDAP. Pedoman studi kelayakan Hidrologi, 2009)

e. Mengukur jarak dari tepi permukaan sungai ke setiap garis pengukuran

vertikal. Kegiatan ini berulang untuk setiap perpindahan jalur vertical.

12

Gambar 2.4 Penampang Pengukuran Vertical

Sumber. (IMIDAP. Pedoman studi kelayakan Hidrologi, 2009)

Kemudian hasil pengukuran dicatat pada formulir pencatatan hasil

pengukuran debit sebagaimana (SNI 8066, 2015).

Table 2.2 Contoh Pencatatan Hasil Pengukuran Debit

RAI LEBAR DALAM DALAM

KINCIR KECEPATAN

LUAS

PENAMPANG

cm2

LUAS

PENAMP

ANG

m2

DEBIT

m3/s

0.0 0.0 0.0

10 10 4 0.6 0 40 0,004 0

30 20 29,5 0.6 0,2 590 0,059 0,0118

50 20 46,5 0.6 0,3 930 0,093 0,0279

70 20 45 0.6 0,3 900 0,09 0,027

90 20 44 0.6 0,3 880 0,088 0,0264

110 20 44 0.6 0,3 880 0,088 0,0264

130 20 42 0.6 0,2 840 0,084 0,0168

150 20 39 0.6 0,2 780 0,078 0,0156

170 20 29 0.6 0,2 580 0,058 0,0116

190 20 23 0.6 0,2 460 0,046 0,0092

210 20 12 0.6 0,1 240 0,024 0,0024

225 15 12 0.6 0,1 180 0,018 0,0018

TOTAL DEBIT 0,1769

Sumber. (SNI 8066,2015).

13

2.5 Perhitungan Tinggi Jatuh PLTMH

Perhitungan tinggi jatuh didasarkan pada pembacaan kontur, dengan

merencanakan elevasi turbin dan tinggi muka air di forebay, di dapatkan angka

tinggi jatuh tanpa melihat kehilangan energy, setelah di lakukan pengurangan

terhadap kehilangan energy di dapatkan tinggi jatuh yang direncanakan.

2.6 Kehilangan Energy

Kehilangan energy pada perencanaan PLTMH adalah berkurangnya tekanan

air setelah melalui bangunan- bangunan PLTMH, perhitungan kehilangan energy

di butuhkan agar dapat mengetahui besaran tekanan air yang sampai di as turbin

adapun Kehilangan energy di bagi 2 yaitu minor dan mayor:

2.6.1. Kehilangan energy mayor pada pipa penstok

Adalah kehilangan energy yang di sebabkan gesekan dengan dinding saluran

pipa penstok. Di hitung dengan persamaan darcy-weishbach : (Triatmodjo,

Bambang. 1996. Hidrolika ll. Beta Offset. Yogyakarta).

Hf = f

(2.2)

Dengan

Hf = kehilangan energy mayor (m)

f = koefisien gesekan

L= panjang pipa

V = kecepatan aliran (m)

g= gravitasi (m/s2)

D= diameter pipa (m)

2.6.2. Kehilangan energi minor pada forebay ketika masukan ke penstock

(inlet).

Adalah kehilangan energy yang di sebabkan perubahan bentuk penampang

atau penyempitan penampang aliran. Digunakan persamaan :

14

=

(2.3)

Dengan

= kehilangan tinggi minor (m)

= kecepatan aliran (m/s)

= percepatan gravitasi (m/s2)

= koefisien kehilangan

2.7 Daya Pembangkit

Sebagai pedoman untuk mengetahui daya yang dapat dihasilkan, secara

umum dapat dipakai pedoman rumus persamaan sebagai berikut: (IMIDAP, Studi

Kelayakan PLTMH, 2009).

P= g x Q x H x(efsystem) (2.4)

keterangan :

P = Perkiraan daya yang dihasilkan (kW)

g = Gravitasi (m/det2)

Q = Debit air (m/det)

H = Tinggi jatuhan efektif (m)

ef sistem = Efisiensi total

2.8 Data Mekanika Tanah

Cara terbaik untuk memperoleh data tanah pada lokasi bangunan bendung

ialah dengan menggali sumur dan parit uji, karena sumuran dan paritan ini akan

memungkinkan diadakannya pemeriksaan visual dan diperolehnya contoh tanah

yang tidak terganggu. Apabila pemboran memang harus dilakukan karena adanya

lapisan air tanah atau karena dicatat dalam borlog. Kelulusan tanah harus

diketahui agar gaya angkat dan perembesan dapat diperhitungkan (KP-02

Bangunan Utama, 2013).

2.9 Perencanaan Sipil Bangunan PLTMH

Adapun bagian - bagian dari bangunan sipil untuk PLTMH antara lain :

15

2.9.1 Perencanaan Bendung

2.9.1.1 Bangunan Bendung

Bendung adalah suatu bangunan air dengan kelengkapan yang dibangun

melintang pada sungai atau sudetan yang sengaja dibuat untuk meninggikan

taraf muka air atau untuk mendapatkan tinggi terjun, sehingga air dapat disadap

dan dialirkan secara gravitasi ke tempat yang membutuhkan dan untuk

mengendalikan aliran, angkutan sedimen, dan geometri sungai sehingga air

dapat dimanfaatkan secara aman, efektif, efisien, dan optimal (KP-02 Bangunan

Utama, 2013).

2.9.1.2 Bangunan Utama Bendung

A. Mercu Bendung

Mercu bendung yaitu bagian atas tubuh bendung di mana aliran dari hulu

dapat melimpah ke hilir. Fungsinya sebagai penentu tinggi muka air minimum di

sungai bagian hulu bendung, Sebagai pengempang sungai dan sebagai pelimpah

aliran sungai, letak mercu bendung bersama-sama tubuh bendung diusahakan

tegak lurus arah aliran yang menuju bendung terbagi rata. Tinggi mercu bendung

(p) yaitu beda ketinggian antara elevasi lantai hulu dan elevasi mercu. Untuk

penentuan tinggi mercu bendung, utamanya didasarkan pada kebutuhan energi

(head). Yang harus diperhatikan dalam menentukan tinggi mercu bending antara

lain : (KP-02 Bangunan Utama, 2013).

1) Kebutuhan penyadapan untuk memperoleh debit dan tinggi tekan.

2) Kebutuhan tinggi energi untuk pembilasan.

3) Tinggi muka air genangan yang akan terjadi.

4) Kebutuhan pengendalian angkutan sedimen yang terjadi di bendung.

16

Gambar 2.5 Macam bentuk mercu bendung

Sumber. (KP-02 Bangunan Utama, 2013)

1. Mercu Bulat

Untuk bendung dengan mercu bulat memiliki harga koefisien debit yang jauh

lebih tinggi (44%) dibandingkan koefisien bendung ambang lebar. Tipe ini banyak

memberikan keuntungan karena akan mengurangi tinggi muka air hulu selama

banjir. Harga koefisien debit menjadi lebih tinggi karena lengkung stream line dan

tekanan negatif pada mercu. Untuk bendung dengan 2 jari-jari hilir akan

digunakan untuk menemukan harga koefisien debit (KP-02 Bangunan Utama,

2013).

Gambar 2.6 Bendung Dengan Mercu Bulat

Sumber. (KP-02 Bangunan Utama, 2013).

17

Dari Gambar 2.6 tampak bahwa jari-jari mercu bendung pasangan batu akan

berkisar antara 0,3 sampai 0,7 kali H1maks dan untuk mercu bendung beton dari 0,1

sampai 0,7 kali Hmaks. Persamaan tinggi energi-debit untuk bendung ambang

pendek dengan pengontrol segi empat adalah: (KP-02 Bangunan Utama, 2013).

Q =

(2.5)

Di mana :

Q = Debit Rencana, m3/dt

Be = Lebar efektif mercu bendung, m

Cd = Koefisien Debit

g = Gravitasi (9,81 m/s2)

H1 = Tinggi energi, m

Koefisien debit Cd adalah hasil dari : (KP-02 Bangunan Utama, 2013).

C0 yang merupakan fungsi H1/r. C0 mempunyai harga maksimum 1,49 jika

H1/r lebih dari 5,0 seperti diperlihatkan pada grafik 2.1.

C1 yang merupakan fungsi p/H1 (grafik 2.2)

C2 yang merupakan fungsi p/H1 dan kemiringan muka hulu bendung

(grafik 2.3)

Grafik 2.3 Harga koefisien C0 sebagai fungsi perbandingan H1/r

Sumber. (KP-02 Bangunan Utama, 2013).

18

Gambar 2.4 grafik Harga koefisien C1 sebagai fungsi perbandingan P/H1

Sumber. (KP-02 Bangunan Utama, 2013)

Gambar 2.5 grafik Harga koefisien C2 sebagai fungsi perbandingan P/H1

Sumber. (KP-02 Bangunan Utama, 2013)

2. Mercu Ogee

Bentuk mercu type ogee ini adalah tirai luapan bawah dari bendung ambang

tajam aerasi. Sehingga mercu ini tidak akan memberikan tekanan sub atmosfer

pada permukaan mercu sewaktu bendung mengalirkan air pada debit rencana.

Untuk debit yang lebih rendah, air akan memberikan tekanan ke bawah pada

mercu. (KP-02 Bangunan Utama, 2013).

19

Untuk merencanakan permukaan mercu Ogee bagian hilir, U.S. Army Corps

of Engineers telah mengembangkan persamaan berikut: (KP-02 Bangunan Utama,

2013).

=

x [

]n

(2.6)

Di mana x dan y adalah koordinat-koordinat permukaan hilir (lihat Gambar

2.7) dan hd adalah tinggi energi rencana di atas mercu. Harga-harga K dan n

adalah parameter. Harga-harga ini bergantung kepada kecepatan dan kemiringan

permukaan belakang. Tabel 2.4 menyajikan harga-harga K dan n untuk berbagai

kemiringan hilir dan kecepatan pendekatan yang rendah.

Table 2.3 Harga-harga K dan n

KEMIRINGAN PERMUKAAN HILIR K N

VERTIKAL 2,000 1,85

03:01 1,936 1,836

03:02 1,939 1,81

01:01 1,873 1,776

Sumber. (KP-02 Bangunan Utama, 2013)

Bagian hulu mercu bervariasi sesuai dengan kemiringan permukaan hilir

(lihat Gambar 2.7). Persamaan antara tinggi energi dan debit untuk bendung

mercu Ogee adalah: (KP-02 Bangunan Utama, 2013).

Q=

(2.)

Di mana :

Q = Debit Rencana, m3/dt

Be = Lebar efektif mercu bendung, m

Cd = Koefisien Debit

g = Gravitasi (9,81 m/s2)

H1 = Tinggi energi, m

20

Gambar 2.7 Bentuk-bentuk bendung mercu Ogee

Sumber. (KP-02 Bangunan Utama, 2013)

2.9.1.3 Lebar Bendung

Lebar bendung, yaitu jarak antara pangkal-pangkalnya (abutment), sebaiknya

sama dengan lebar rata-rata sungai pada bagian yang stabil. Di bagian ruas bawah

sungai, lebar rata-rata ini dapat diambil pada debit penuh (bankful discharge) di

bagian ruas atas mungkin sulit untuk menentukan debit penuh. Dalam hal ini

banjir mean tahunan dapat diambil untuk menentukan lebar rata-rata bendung.

Lebar maksimum bendung hendaknya tidak lebih dari 1,2 kali lebar rata-rata

sungai pada ruas yang stabil. (KP-02 Bangunan Utama, 2013).

Untuk sungai-sungai yang mengangkut bahan-bahan sedimen kasar yang

berat, lebar bendung tersebut harus lebih disesuaikan lagi terhadap lebar rata-rata

sungai, yakni jangan diambil 1,2 kali lebar sungai tersebut. Agar pembuatan

bangunan peredam energi tidak terlalu mahal, maka aliran per satuan lebar

hendaknya dibatasi sampai sekitar 12-14 m3/dt.m1, yang memberikan tinggi

energi maksimum sebesar 3,5 – 4,5 m (lihat Gambar 4-1.) Lebar efektif mercu

(Be) dihubungkan dengan lebar mercu yang sebenarnya (B), yakni jarak antara

21

pangkal-pangkal bendung dan/atau tiang pancang, dengan persamaan berikut:

(KP-02 Bangunan Utama, 2013).

Be = B – 2 x ( n x Kp + Ka) x H1 (2.8)

Di mana :

Be = lebar efektif bendung

B = Lebar Optimal Bendung

Kp = koefisien kontraksi pada pilar

Ka = koefisien kontraksi pada dinding

n = jumlah pilar

H1 = tinggi energi (m)

Gambar 2.8 Lebar Efektif Mercu

Sumber. (KP-02 Bangunan Utama, 2013)

22

Harga-harga koefisien Ka dan Kp disajikan pada table 2.5 di bawah ini.

Table 2.4 Nilai Ka dan Kp

Pentuk Pilar / Pangkal Tembok Kp Ka

Pilar berujung segi empat dan sudut sudut

yang dibulatkan dengan jari-jari yang hampir 0,02

sama dengan 0,1 kali tebal pilar.

pilar berujung bulat 0,01

pilar berujung runcing 0

pangkal tembok segi empat dengan tembok 0,2

hulu pada 90 ke arah aliran.

pangkal tembok bulat dengan tembok hulu 0,1

pada 90 ke arah aliran di mana 0,5 H1>r>0,15H1

pangkal tembok bulat dimana r > 0,5 H1 dan 0

tembok hulu tidak lebih dari 45 ke arah aliran

Sumber. (KP-02 Bangunan Utama, 2013)

Dalam memperhitungkan lebar efektif, lebar pembilas yang sebenarnya

(dengan bagian depan terbuka) sebaiknya diambil 80% dari lebar rencana untuk

mengkompensasi perbedaan koefisiensi debit dibandingkan dengan mercu

bendung itu sendiri (lihat Gambar 2.8).

2.9.1.4 Tinggi jagaan bendung

Untuk perhitungan pada tinggi jagaan dapat digunakan rumus sebagai berikut:

(Suyono Sosrodarsono, Bendungan Tipe Urugan, 2016:256).

Fb = C . V . d1/2

(2.9)

atau

Fb = 0,6 + 0,037 . V . d1/3

(2.10)

Di mana:

Fb = Tinggi jagaan (m)

C = Koefisien (0,1 untuk penampang saluran berbentuk persegi panjang)

V = Kecepatan aliran (m/dtk)

d = Kedalaman air di dalam saluran (m)

23

2.9.1.5 Pintu Pembilas

Pintu pembilas adalah salah satu perlengkapan pokok bendung yang terletak

di dekat dan menjadi satu kesatuan dengan intake. Berfungsi untuk

menghindarkan angkutan muatan sedimen dasar dan mengurangi angkutan

muatan sedimen layang masuk ke intake. (KP-02 Bangunan Utama, 2013).

1. Pembilas undersluice lurus

a. Mulut undersluice diletakkan di hulu mulut intake dengan arah tegak lurus

aliran menuju intake atau menyudut 45º terhadap tembok pangkal. Lebar

mulut harus lebih besar daripada 1,2 kali lebar intake.

b. Lebar pembilas total diambil 1/6-1/10 dari lebar bentang bendung, untuk

sungai-sungai yang lebarnya kurang dari 100 meter. Lebar satu lubang

maksimum 2,5 m untuk kemudahan operasi pintu, dan jumlah lubang tidak

lebih dari tiga buah.

c. Lebar pembilas sebaiknya diambil 60% dari lebar total pengambilan

termasuk pilar-pilarnya

d. Tinggi lubang undersluice diambil 1,5 m, usahakan lebih tinggi dari 1 meter

tetapi tidak lebih tinggi dari 2 meter.

e. Elevasi lantai lubang direncanakan :

Sama tinggi dengan lantai hulu bendung.

Lebih rendah dari lantai hulu bendung.

Lebih tinggi dari lantai hulu bendung.

2. Pintu pembilas bawah

Fungsi pintu bawah adalah untuk pembilasan sedimen yang terdapat di

bawah, di hulu dan di sekitar mulut underesluice. Jenis pintu yang dipakai

umumnya yaitu pintu sorong. Untuk satu lubang pintu sorong lebar maksimum

2,5 m sedangkan untuk pintu yang dioperasikan dengan mesin dibuat antara 2,5-5

m.

24

3. Pilar pembilas

Pilar pembilas berfungsi untuk penempatan pintu-pintu, undersluice dan

perlengkapan lainnya. Lebar pilar sisi bagian luar dapat diambil sampai dengan 2

m dan sisi bagian dalam antara 1 – 1,5 m.

4. Sponeng dan stang pintu

Sponeng berfungsi untuk menahan tekanan air pada pintu. Ukuran sponeng

bervariasi yaitu 0,25 x 0,25 m atau 0,25 x 0,3 m. Sedangkan stang pintu berfungsi

untuk mengangkat dan menurunkan pintu.

5. Tembok baya-baya

Berfungsi untuk mencegah angkutan sedimen dasar meloncat dari hulu

bendung ke atas plat undersluice. Tinggi mercu tembok baya-baya diambil antara

0,5 m dan 1 m di atas mercu bendung.

6. Pembilas Shunt Undersluice

Shunt undersluice adalah bangunan undersluice yang penempatannya di luar

bentang sungai dan atau di luar pangkal bendung, di bagian samping melengkung

ke dalam dan terlindung di belakang tembok pangkal.

2.9.1.6 Bangunan Pengambilan/Intake

Bangunan intake adalah suatu bangunan pada bendung yang berfungsi

sebagai penyadap aliran air sungai, mengatur pemasukan air dan sedimen, serta

menghindarkan sedimen dasar sungai dan sampah masuk ke intake. Pintu

pengambilan diletakkan 10 s/d 15 meter di hulu pintu penguras bending.

Pengambilan di sisi kanan sungai, lay out pengambilan direncanakan membentuk

sudut 45o ke arah hulu. Intake terdiri dari bermacam jenis, yaitu : (KP-02

Bangunan Utama, 2013).

1. Intake biasa, yang umum direncanakan yaitu intake dengan pintu berlubang

satu atau lebih dan dilengkapi dengan pintu dinding banjir.

2. Intake gorong-gorong, tanpa pintu di bagian udik. Pintu diletakkan di bagian

hilir gorong-gorong.

25

3. Intake frontal, intake diletakkan di tembok pangkal, jauh dari bangunan

pembilas atau bending.

2.9.1.7 Lantai/Dasar Intake

Lantai intake dirancang datar, tanpa kemiringan. Di hilir pintu lantai dapat

berbentuk kemiringan dan dengan bentuk terjunan sekitar 0,5 m. Lantai intake bila

di awal kantong sedimen bisa berbentuk datar dan dengan kemiringan tertentu.

Ketinggian lantai intake, bila intake ditempatkan pada bangunan pembilas dengan

undersluice : (KP-02 Bangunan Utama, 2013).

1. Sama tinggi dengan plat lantai undersluice.

2. Sampai dengan 0,5 m di atas plat undersluice.

3. Tergantung pada keadaan tertentu.

4. 0,5 m jika sungai mengangkut lanau.

5. 1 m jika sungai mengangkut pasir dan kerikil.

6. 1,5 m jika sungai mengangkut kerikil dan bongkah.

2.9.1.8 Pintu Sorong

Pintu sorong dipakai dengan tinggi maksimum sampai 3 m dan lebar tidak

lebih dari 3 m. Pintu tipe ini hanya digunakan untuk bukaan kecil, karena untuk

bukaan yang lebih besar alat-alat angkatnya akan terlalu berat untuk

menanggulangi gaya gesekan pada sponeng. Untuk bukaan yang lebih besar dapat

dipakai pintu rol, yang mempunyai keuntungan tambahan karena di bagian atas

terdapat lebih sedikit gesekan, dan pintu dapat diangkat dengan kabel baja atau

rantai baja. Ada dua tipe pintu rol yang dapat dipertimbangkan, yaitu pintu Stoney

dengan roda yang tidak dipasang pada pintu, tetapi pada kerangka yang

terpisah;dan pintu rol biasa yang dipasang langsung pada pintu.

Lebar pintu intake dapat dihitung dengan rumus pengaliran sebagai

berikut: (KP-02 Bangunan Utama, 2013).

Q = K . Cd . b x a x √ .h1 (2.11)

Di mana :

Q = Debit Rencana, m3/dt

26

b = Lebar efektif mercu bendung, meter

a = Tinggi bukaan pintu, meter

Cd = Koefisien Debit

g = Gravitasi (9,81 m/s2)

h1 = Tinggi air di hulu, meter

2.9.1.9 Bangunan Peredam Energi

Bangunan peredam energi bendung adalah struktur dari bangunan di hilir

tubuh bendung yang terdiri dari beberapa tipe, bentuk dan di kanan kirinya

dibatasi oleh tembok pangkal bendung dilanjutkan dengan tembok sayap hilir

dengan bentuk tertentu. Fungsi bangunan ini adalah untuk meredam energi air

akibat pembendungan, agar air di hilir bendung tidak menimbulkan penggerusan

setempat yang membahayakan struktur.

Bangunan peredam energi bendung terdiri atas berbagai macam tipe antara

lain yaitu :

1. Vlughter

2. USBR

3. SAF

4. Schooklitch

5. MDO, MDS dan MDL, dll

Prinsip pemecahan energi pada bangunan peredam energi adalah dengan cara

menimbulkan gesekan air dengan lantai dan dinding struktur, gesekan air dengan

air, membentuk pusaran air berbalik vertikal ke atas dan ke bawah serta pusaran

arah horizontal dan menciptakan benturan aliran ke struktur serta membuat

loncatan air di dalam ruang olakan. Sementara itu, dalam memilih tipe bangunan

peredam energi sangat bergantung kepada berbagai factor, antara lain :

1. Tinggi pembendungan.

2. Besarnya nilai bilangan Froude.

3. Keadaan geoteknik tanah dasar misalnya jenis batuan, lapisan, kekerasan

tekan, diameter butir.

27

4. Jenis angkutan sedimen yang terbawa aliran sungai.

5. Kemungkinan degradasi dasar sungai yang akan terjadi di hilir bendung.

6. Keadaan aliran yang terjadi di bangunan peredam energi seperti aliran tidak

sempurna/tenggelam, loncatan aliran yang lebih rendah atau lebih tinggi dan

sama dengan kedalaman muka air hilir (tail water).

2.9.1.10 Kolam Olak

Tipe kolam olak yang akan di rencanakan di sebelah hilir bangunan

bergantung pada energi air yang masuk, yang dinyatakan dengan bilangan Froude,

dan pada bahan konstruksi kolam olak. Berdasarkan bilangan Froude, dapat dibuat

pengelompokan-pengelompokan berikut dalam perencanaan kolam : (KP-04

Bagian bangunan, 2013).

1. Untuk Fru ≤ 1,7 tidak diperlukan kolam olak; pada saluran tanah, bagian

hilir harus dilindungi dari bahaya erosi; saluran pasangan batu atau beton

tidak memerlukan lindungan khusus.

2. Bila 1,7 < Fru ≤ 2,5 maka kolam olak diperlukan untuk meredam energi

secara efektif. Pada umumnya kolam olak dengan ambang ujung mampu

bekerja dengan baik. Untuk penurunan muka air ΔZ < 1,5 m dapat dipakai

bangunan terjun tegak.

3. Jika 2,5 < Fru ≤ 4,5 maka akan timbul situasi yang paling sulit dalam

memilih kolam olak yang tepat. Loncatan air tidak terbentuk dengan baik

dan menimbulkan gelombang sampai jarak yang jauh di saluran. Cara

mengatasinya adalah mengusahakan agar kolam olak untuk bilangan Froude

ini mampu menimbulkan olakan (turbulensi) yang tinggi dengan blok

halangnya atau menambah intensitas pusaran dengan pemasangan blok

depan kolam. Blok ini harus berukuran besar (USBR tipe IV). Tetapi pada

prakteknya akan lebih baik untuk tidak merencanakan kolam olak jika 2,5 <

Fru < 4,5. Sebaiknya geometrinya diubah untuk memperbesar atau

memperkecil bilangan Froude dan memakai kolam dari kategori lain.

4. Kalau Fru ≥ 4,5 ini akan merupakan kolam yang paling ekonomis. karena

kolam ini pendek. Tipe ini, termasuk kolam olak USBR tipe III yang

28

dilengkapi dengan blok depan dan blok halang. Kolam loncat air yang sarna

dengan tangga di bagian ujungnya akan jauh lebih panjang dan mungkin

harus digunakan dengan pasangan batu.

2.9.1.11 Kolam Loncat Air

Gambar 2.9 Metode perencanaan kolam loncat air

Sumber. (KP-02 Bangunan Utama, 2013)

Gambar 2.9 memberikan penjelasan mengenai metode perencanaan. Dari

grafik q versus H1 dan tinggi jatuh 2, kecepatan (v1) awal loncatan dapat

ditemukan dari : (KP-02 Bangunan Utama, 2013).

V1 = √ (2.12)

V1 =

(2.13)

Di mana :

Q = Debit rancangan, m3/dt

Be = lebar efektif mercu bending, m

Y1 = kedalaman air di awal loncatan, m

V1 = kecepatan awal loncatan, m/dt

g = percepatan gravitasi, 9,81 m/dt2

29

h1 = tinggi energy di atas ambang, m

z = tinggi jatuh, m

Dengan q = v1 x y1, dan rumus untuk kedalaman konjugasi dalam loncat air

adalah: (KP-02 Bangunan Utama, 2013).

= ½ x √ (2.14)

Di mana :

Fr =

√ (2.15)

Di mana :

Y2 = kedalaman air di atas ambang ujung, m

Y1 = kedalaman air di awal loncatan, m

Fr = bilangan froude

g = percepatan gravitasi, 9,81 m/dt2

V1 = kecepatan awal loncatan, m/dt

Panjang kolam loncat air di belakang Potongan U (Gambar 2.5) biasanya

kurang dari panjang bebas loncatan tersebut adanya ambang ujung (end sill).

Ambang yang berfungsi untuk memantapkan aliran ini umumnya ditempatkan

pada jarak

Lj = 5 x (n + Y2) (2.16)

Di mana :

Lj = panjang kolam loncat, m

n = tinggi ambang ujung, m

Syarat panjang kolam loncat adalah harus lebih panjang dari pada panjang

loncatan air sehingga loncatan masih atau tetap berada pada kolam loncat.

Persamaan yang digunakan untuk menentukan panjang loncatan adalah sebagai

berikut: (KP-02 Bangunan Utama, 2013).

Lj = 5 x (Y2 – Y1) (2.17)

Di mana :

Lj = panjang loncatan air, m

Y2 = kedalaman air di atas ambang ujung, m

Y1 = kedalaman air di awal loncatan, m

30

2.9.1.12 Perlindungan Bagian Hilir

Untuk mencegah terjadinya penggerusan saluran di sebelah hilir bangunan

peredam energi, saluran sebaiknya dilindungi dengan pasangan batu kosong atau

rip-rap. Panjang lindungan harus dibuat sebagai berikut : (KP-04 Bagian

Bangunan, 2013).

1. tidak kurang dari 4 kali kedalaman normal maksimum di saluran hilir,

2. tidak lebih pendek dari peralihan tanah yang terletak antara bangunan dan

saluran,

3. tidak kurang dari 1,50 m.

Gambar 2.10 Potongan Memanjang Peredam Energi

Dengan Perlindungan Hilir Rip-Rap

Sumber. (KP-04 Bagian Bangunan, 2013)

Jika dipakai pasangan batu kosong, maka diameter batu yang akan dipakai

untuk pasangan ini dapat ditentukan dengan menggunakan Gambar 6-7 di (KP-04

hal 167). Gambar ini dapat dimasukkan dengan kecepatan rata-rata di atas ambang

kolam. Jika kolam olak tidak diperlukan karena Fru ≤ 1,7, maka Gambar 6-14 di

(KP-04 hal 167). harus menggunakan kecepatan benturan (impact velocity) Vu :

(KP-04 Bagian Bangunan, 2013).

Vu = √ (2.18)

31

Gambar 6-14 di (KP-04 hal 167). memberikan ukuran d40 campuran pasangan

batu kosong. Ini berarti bahwa 60% dari pasangan batu tersebut harus terdiri

campuran dari batu-batu yang berukuran sama, atau lebih besar.

2.9.1.13 Perencanaan Filter

Semua pasangan batu kosong harus ditempatkan pada filter untuk mencegah

hilangnya bahan dasar yang halus. Filter terdiri dari lapisan-lapisan bahan khusus

seperti ditunjukkan pada Gambar 2.6, atau dapat juga dibuat dari ijuk atau kain

sintetis. (KP-04 Bagian Bangunan, 2013)

Gambar 2.11 Filter diantara batu kosong dan tanah asli

Sumber. (KP-04 Bagian Bangunan, 2013)

2.9.1.14 Analisis Stabilitas Bendung

A. Gaya-gaya yang Bekerja

Gaya-gaya yang bekerja pada bangunan bendung dan memiliki nilai penting

dalam perencanaan adalah sebagai berikut: (KP-02 Bangunan Utama, 2013).

1) Tekanan air, dalam dan luar

2) Tekanan lumpur

3) Gaya gempa

4) Berat bangunan

5) Reaksi pondasi

32

1. Tekanan Air

Gaya tekan air dapat dibagi menjadi gaya hidrostatik dan gaya hidrodinamik.

Tekanan hidrostatik adalah fungsi kedalaman di bawah permukaan air. Tekanan

air akan selalu bekerja tegak lurus terhadap muka bangunan. Oleh sebab itu agar

perhitungannya lebih mudah, gaya horizontal dan vertikal dikerjakan secara

terpisah. Tekanan air dinamik jarang diperhitungkan untuk stabilitas bangunan

bendung dengan tinggi energi rendah. (KP-02 Bangunan Utama, 2013).

Gaya tekan ke atas untuk bangunan pada permukaan tanah dasar (subgrade)

lebih rumit. Gaya angkat pada pondasi itu dapat ditemukan dengan membuat

jaringan aliran (flownet), atau dengan asumsi-asumsi yang digunakan oleh Lane

untuk teori angka rembesan (weighted creep theory). (KP-02 Bangunan Utama,

2013).

Gambar 2.12 Jaringan aliran di bawah dam pasangan batu pada pasir

Sumber. (KP-02 Bangunan Utama, 2013)

Dalam teori angka rembesan Lane, diandaikan bahwa bidang horizontal

memiliki daya tahan terhadap aliran (rembesan) 3 kali lebih lemah dibandingkan

dengan bidang vertikal. Ini dapat dipakai untuk menghitung gaya tekan ke atas di

bawah bendung dengan cara membagi beda tinggi energi pada bendung sesuai

dengan panjang relatif di sepanjang pondasi. (KP-02 Bangunan Utama, 2013).

Dalam bentuk rumus, ini berarti bahwa gaya angkat pada titik x di sepanjang

dasar bendung dapat dirumuskan sebagai berikut: (KP-02 Bangunan Utama,

2013).

33

Px = Hx −

x ΔH (2.19)

D imana :

Px = gaya angkat pada x, kg/m2

L = panjang total bidang kontak bendung dan bawah tanah, m

Lx = jarak sepanjang bidang kontak dari hulu sampai x, m

ΔH = beda tinggi energy, m

Hx = tinggi energy di hulu bendung, m

2. Tekanan Lumpur

Tekanan lumpur dapat bekerja terhadap muka hulu bendung ataupun terhadap

pintu. Untuk sudut gesekan dalam, yang bisa diandaikan 30o untuk kebanyakan

hal, menghasilkan persamaan berikut : (KP-02 Bangunan Utama, 2013).

Ps = 1,67 x h2 (2.20)

Di mana :

Ps = tekanan lumpur pada 2/3 kedalaman atas lumpur yang bekerja

secara horizontal

h = tinggi lumpur setinggi mercu bendung, m

3. Gaya Gempa

Harga-harga gaya gempa diberikan dalam bagian Parameter Bangunan.

Harga-harga tersebut didasarkan pada peta Indonesia yang menujukkan berbagai

daerah dan risiko. Faktor minimum yang akan di pertimbangkan adalah 0,1 g

perapatan gravitasi sebagai harga percepatan. Faktor ini hendaknya

dipertimbangkan dengan cara mengalikannya dengan massa bangunan sebagai

gaya horizontal menuju ke arah yang paling tidak aman, yakni arah hilir. (KP-02

Bangunan Utama, 2013).

koefisien gempa dapat dihitung dengan rumus :

ad = n x [ac x z]m

K (2.21)

E =

(2.22)

34

Di mana :

ad = percepatan gempa rencana, cm/dt2

n = koefisien jenis tanah

m = koefisien jenis tanah

ac = percepatan kejut dasar, cm/dt2

z = factor yang bergantung pada letak geografis

g = percepatan gravitasi, 9,81 m/dt2

E = koefisien gempa

Table 2.5 koefisien jenis tanah

Jenis n m

Batu 2,76 0,71

Diluvium 0,87 1,05

Aluvium 1,56 0,89

Alivium lunak 0,29 1,32

Sumber. (KP-06 Parameter Bangunan, 2013)

4. Berat Bangunan

Berat bangunan bergantung kepada bahan yang dipakai untuk membuat

bangunan itu. Untuk tujuan-tujuan perencanaan pendahuluan, boleh dipakai

harga-harga berat volume di bawah ini. (KP-02 Bangunan Utama, 2013).

pasangan batu 22 kN/m3 (≈ 2.200 kgf/m

3)

beton tumbuk 23 kN/m3 (≈ 2.300 kgf/m

3)

beton bertulang 24 kN/m3 (≈ 2.400 kgf/m

3)

Berat volume beton tumbuk bergantung kepada berat volume agregat serta

ukuran maksimum kerikil yang digunakan. Untuk ukuran maksimum agregat 150

mm dengan berat volume 2,65, berat volumenya lebih dari 24 kN/m3 (≈ 2.400

kgf/m3). (KP-02 Bangunan Utama, 2013).

5. Reaksi Pondasi

Reaksi pondasi boleh diandaikan berbentuk trapesium dan tersebar secara

linier. Tekanan vertikal pondasi pada ujung bangunan ditentukan dengan rumus:

(KP-02 Bangunan Utama, 2013).

35

e =

(2.23)

P =

x (1 ±

) (2.24)

Di mana :

P = reaksi pondasi/tegangan, ton/m2

e = eksentrisitas, m

L = panjang pondasi, m

V = total gaya/reaksi vertikal, ton

MG = momen guling, ton.m

MT = momen tahan, ton.m

B. Kebutuhan Stabilitas

Ada tiga penyebab runtuhnya bangunan gravitasi, antara lain yaitu: (KP-02

Bangunan Utama, 2013).

1. gelincir (sliding)

a. sepanjang sendi horizontal atau hampir horizontal di atas pondasi.

b. sepanjang pondasi, atau

c. sepanjang kampuh horizontal atau hampir horizontal dalam pondasi.

2. guling (overturning)

a. di dalam bendung

b. pada dasar (base), atau

c. pada bidang di bawah dasar.

3. erosi bawah tanah (piping).

C. Ketahanan Terhadap Gelincir/Geser

Tangen θ, sudut antara garis vertikal dan resultante semua gaya, termasuk

gaya angkat, yang bekerja pada bendung di atas semua bidang horizontal, harus

kurang dari koefisien gesekan yang diizinkan pada bidang tersebut. (KP-02

Bangunan Utama, 2013).

Sf =

(2.25)

36

Di mana :

Sf = faktor keamanan

V = total gaya/reaksi vertikal, ton

H = total gaya/reaksi horizontal, ton

f = faktor gesekan = tan θ°

Untuk bangunan-bangunan kecil, seperti bangunan-bangunan yang

dibicarakan di sini, di mana berkurangnya umur bangunan, kerusakan besar dan

terjadinya bencana besar belum dipertimbangkan, harga-harga faktor keamanan

(Sf) yang dapat diterima adalah: 1,50 untuk kondisi pembebanan normal dan 1,20

untuk kondisi pembebanan ekstrem/gempa.

Untuk bangunan-bangunan yang terbuat dari beton, harga yang aman untuk

faktor gelincir yang hanya didasarkan pada gesekan saja ternyata terlampaui,

maka bangunan bisa dianggap aman jika faktor keamanan dari rumus itu yang

mencakup geser sama dengan atau lebih besar dari harga-harga faktor keamanan

yang sudah ditentukan

Sf =

(2.26)

Di mana :

V = total gaya/reaksi vertikal, ton

H = total gaya/reaksi horizontal, ton

c = kekuatan geser bahan, ton/m2

A = luas dasar yang dipertimbangkan, m2

Harga-harga faktor keamanan jika geser juga dicakup, sama dengan harga-

harga yang hanya mencakup gesekan saja, yakni 1,50 untuk kondisi normal dan

1,20 untuk kondisi ekstrem. Untuk beton, c (satuan kekuatan geser) boleh diambil

1.100 kN/m2.

B. Ketahanan Terhadap Guling

Agar bangunan aman terhadap guling, maka resultante semua gaya yang

bekerja pada bagian bangunan di atas bidang horizontal, termasuk gaya angkat,

harus memotong bidang ini pada teras. Tidak boleh ada tarikan pada bidang irisan

37

mana pun. Besarnya tegangan dalam bangunan dan pondasi harus tetap

dipertahankan pada harga-harga maksimal yang dianjurkan. (KP-02 Bangunan

Utama, 2013).

Sf =

(2.27)

Di mana :

MG = momen guling, ton.m

MT = momen tahan, ton.m

C. Ketahanan Terhadap Piping

Bahaya terjadinya erosi bawah tanah dapat dianjurkan dicek dengan jalan

membuat jaringan aliran/flownet. Dalam hal ini ditemui kesulitan berupa

keterbatasan waktu pengerjaan dan tidak tersedianya perangkat lunak untuk

menganalisa jaringan aliran, maka perhitungan dengan beberapa metode empiris

dapat diterapkan, seperti: (KP-02 Bangunan Utama, 2013).

1. Metode Bligh

2. Metode Lane

3. Metode Koshia

Metode Lane, disebut metode angka rembesan Lane (weighted creep ratio

method), adalah yang dianjurkan untuk mengecek bangunan-bangunan utama

untuk mengetahui adanya erosi bawah tanah. Metode ini memberikan hasil yang

aman dan mudah dipakai. Untuk bangunan-bangunan yang relative kecil, metode-

metode lain mungkin dapat memberikan hasil-hasil yang lebih baik, tetapi

penggunaannya lebih sulit. (KP-02 Bangunan Utama, 2013).

Di sepanjang jalur perkolasi, kemiringan yang lebih curam dari 450 dianggap

vertikal dan yang kurang dari 450. Oleh karena itu, rumusnya adalah: (KP-02

Bangunan Utama, 2013).

CL =

(2.28)

38

Di mana :

CL = angka rembesan lane

Lv = jumlah panjang vertikal, m

LH = jumlah panjang horizontal, m

H = beda tinggi muka air, m

Table 2.6 Harga-harga minimum angka rembesan Lane dan Bligh

BAHAN C(lane) C(Bligh)

pasir amat halus 8,5 18

pasir halus 7 15

pasir sedang 6

pasir kasar 5 12

krikil halus 4

krikil sedang 3,5

krikil campur pasir 9

krikil kasar termasuk batu kecil 3

boulder, batu kecil dan krikil kasar 2,5

boulder, batu kecil dan krikiil 4,6

lempung lunak 3

lempung sedang 1,8

lempung keras 1,8

lempung sangat keras atau padat 1,6

Sumber. (KP-02 Bangunan Utama, 2013)

Angka-angka rembesan pada tabel 2.4 di atas sebaiknya dipakai : (KP-02

Bangunan Utama, 2013).

1. 100% jika tidak dipakai pembuang, tidak dibuat jaringan aliran dan tidak

dilakukan penyelidikan dengan model;

2. 80% kalau ada pembuangan air, tapi tidak ada penyelidikan maupun jaringan

aliran;

3. 70% bila semua bagian tercakup

2.9.2 Bangunan Pengambilan (intake)

Desain bangunan pengambilan pada pembangkit tenaga air skala kecil perlu

kehati-hatian karena saluran air yang digunakan cenderung merupakan saluran

terbuka dan hal penting direncanakan untuk menghindari volume aliran air yang

39

dapat merusaknya. Beberapa metode menganjurkan mengontrol aliran pada saat

banjir tidak menggunakan pintu dan sebagainya. Secara garis besar dalam

mendesain mempertimbangkan hal sebagai berikut: (IMIDAP. Pedoman Studi

Kelayakan Sipil, 2009).

1. harus diletakkan pada sudut yang tepat menghadap arah aliran sungai dan

kecepatan aliran air pada saat banjir diminimalkan.

2. Perlu bagi mempunyai keran penutup dari pada sebuah keran terbuka

sehingga dapat mengontrol tekanan ketika terjadi kenaikan level air sungai.

3. Saat terjadi banjir di mana debit air melebihi desain volume , maka kapasitas

saluran pelimpah pada bak pengendap atau titik permulaan dari saluran air

harus cukup besar.

2.9.3 Saluran Pembawa (Headrace Channel)

Saluran pembawa untuk suatu PLTMH dapat merupakan atau memiliki tipe

saluran terbuka dan saluran tertutup. Saluran pembawa air, kecuali pipa penstok

dan tail race ,harus mampu menampung debit air 10% lebih besar dari debit

rancangan. Hal ini ditujukan agar pada saat operasi maksimal muka air di tidak

turun dari ketinggian dan terhindar dari pelimpasan apabila terjadi kelebihan

debit. Ketentuan perencanaan saluran adalah sebagai berikut: (IMIDAP. Pedoman

Studi Kelayakan Sipil, 2009).

1. Tidak disarankan menggunakan saluran alami dari tanah, karena aliran yang

fluktuatif akan berakibat terhadap scouring dan sedimentasi.

2. Acian dinding saluran pembawa menggunakan adukan semen dengan

perbandingan minimum campuran1:3 (1semendan3pasir).

3. Penguatan slope tanah perlu dilakukan disesuaikan dengan kebutuhan lokasi.

4. Pipa plastic bisa dipergunakan untuk saluran pembawa. Jika dipergunakan

pipa (PVC) atau (HDPE) maka pipa harus dipendam dengan kedalaman

minimum 60cm.

5. Jembatan pipa atau talang dapat dipakai pada daerah yang rawan longsor.

40

6. Apabila saluran pembawa sangat panjang dan melalui tebing yang terjal,

saluran pembuang air harus diarahkan ke saluran alami sehingga aman bagi

kekuatan tanah.

7. Apabila diperlukan, pada saluran pembawa yang menggunakan pipa

dipasangkan pipa pelepas udara di lokasi-lokasi tikungan tajam.

8. Tinggi muka air minimal berjarak 25 cm dari bibir saluran (freeboard) pada

saat beban maksimal di saluran pembawa tersebut.

Hal yang berkaitan dengan konstruksi bisa dilihat dalam bagian konstruksi

bangunan sipil.

2.9.4 Bak Penenang(Forebay)

Sebagaimana fungsi dan karakteristik bangunan ini, maka direncanakan

sebagai berikut : (IMIDAP, Pedoman Studi Kelayakan Sipil, 2009).

1. Bangunan forebay harus dibuat dari konstruksi kedap air dan tahan bocor dan

di desain menghubungkan saluran pembawa dan penstok .

2. Bangunan forebay dalam bentuk tangki bisa dibuat dari pasangan batu atau

beton bertulang. Ketebalan beton minimal l25cm.

3. Bangunan forebay harus dilengkapi dengan:

trasshrack yang lebih halus.

Bangunan spillway dengan kapasitas120% dari debit rancangan.

Saluran pembuangan dari flushgate untuk membuang endapan Lebih baik

terpisah dari saluran spillway

Saluran pembuang air dari spillway dilengkapi dengan struktur Pemecah

energy air.

4. Lebar bangunan setidaknya selebar trashcrack dan bangunan spiilway

sebaiknya sepanjang forebay

5. pipa penstock harus terendam air dalam kedalaman minimum 2 kali diameter

pipa penstok dan jarak dari dasar bangunan forebay minimum 30 cm.

6. Endapan direncanakan sedemikian rupa sehingga tidak masuk ke pipa penstock

7. Tangga harus disediakan untuk pembersihan tangki bangunan forebay.

41

2.9.5 Pipa Pesat (Penstock Pipe)

Pipa pesat adalah konstruksi yang menyalurkan alir untuk menggerakkan

turbin PLTMH. Desain pipa pesat bergantung dari sistem PLTMH yang akan

dibangun. Tipe pipa pesat mengikuti skema PLTMH dengan beberapa alternative :

(IMIDAP, Pedoman Studi Kelayakan Sipil, 2009).

1. rendah dengan saluran (low head with channel)

2. low head river barrage

3. high head no channel

4. high head with channel

memiliki beberapa tipe desain pipa pesat seperti pipa pesat pendek (short

penstock pipe), pipa pesat medium (mid length penstock pipe) dan pipa pesat

panjang mengikuti sungai (long penstock following river).

Hal-hal yang perlu dipertimbangkan dalam desain pipa pesat (penstock) adalah:

1. Bahan Pipa Pesat, Saat ini beberapa bahan digunakan untuk memiliki

karakteristik yang berbeda. Hal yang terpenting dari bahan ini adalah

kemampuan kerja, kesesuaian tekanan yang di ijinkan dan kerapatan terhadap

potensi kebocoran. Tabel 3 dan Tabel 4 memberikan deskripsi perbandingan

beberapa bahan .

2. Diameter dan Tebal Pipa Pesat, Penentuan kesesuaian diameter menggunakan

pendekatan formulasi antara desain debit dan susut kemiringan (penstock

pipe). Setelah didapat kisaran diameter yang sesuai maka untuk

mempertimbangkan kemampuan kerja dan kesesuaian tekanan maka dipilih

bahan seperti Tabel 4 atau sebagai acuan awal dapat ditentukan ketebalan

bahan penstock pipe dari bahan besi berkisar 1,5 mm.

3. harus dicegah terjadinya korosi, keamanan menjadi factor penting.

4. penstock pipe dari bahan plastic (HDPEatauPVC) harus dipendam di dalam

tanah atau dilindungi dari sinar matahari langsung dengan dibungkus.

5. penstock pipe harus dirancang sedemikian sehingga kehilangan tekanan (head

losses) di dalam penstock pipe maksimal 10% dari head total. yang amat

42

panjang, maksimal 5 kali ketinggian head maksimal kehilangan tekanan 15%

masih bisa ditoleransi

Tabel 2.7 Perbandingan Bahan Pipa

Material Gesekan

Dinding Pipa Berat

Ketahanan

Karat

Biaya

kontruksi

pipa

Sambungan Ketahanan

Tekanan

Mild

Stell *** *** *** *** **** *****

HDPE ***** ***** ***** ** ** *****

Upvc ***** ***** **** **** **** *****

Beton * * ***** *** *** *

Sumber. (IMIDAP, Pedoman Studi Kelayakan Sipil, 2009).

Tabel 2.8 Perbandingan Bahan Pipa Pesat Resin dan Baja

Sumber. (IMIDAP, Pedoman Studi Kelayakan Sipil, 2009).

43

6. Tingkat tekanan yang bisa diterima penstock pipe harus mempertimbangkan

tekanan tiba-tiba (surge pressure), tekanan statis dan tekanan yang dihasilkan

karena penutupan guide uane, Spesifikasi tekanan ini harus bisa diaplikasikan

di seluruh bagian penstock pipe.

7. harus mampu menahan tekanan akibat water hammer dan harus dilengkapi

dengan pipa napas di ujung atas penstock pipe, Ukuran diameter pipa napas

berkisar 1% sampai 2% diameter penstock pipe. Apabila diperlukan katub

udara (air release value) dipasang pada titik-titik di mana ada perubahan arah

penstock yang signifikan seperti pada belokan. Spesifikasi katup udara

disesuaikan dengan tingkat tekanan yang kemungkinan diterima di titik

tersebut.

8. Masalah pabrikasi dan konstruksi penstock bisa dilihat pada bagian pabrikasi

dan konstruksi.

2.9.6 Rumah Pembangkit (Power House)

Sesuai posisinya, rumah pembangkit ini dapat diklasifikasikan dalam tipe di

atas tanah, semi di bawah tanah dan di bawah tanah. Sebagian besar rumah

pembangkit PLTMH adalah di atas tanah. Desain rumah pembangkit

mempertimbangkan hal-hal sebagai berikut : (IMIDAP. Pedoman Studi

Kelayakan Sipil, 2009).

1. Lantai rumah pembangkit di mana peralatan PLTMH ditempatkan, perlu

memperhatikan kenyamanan selama operasi, mengelola, melakukan

perawatan Di mana terjadi pekerjaan pembongkaran dan pemasangan

peralatan.

2. Memiliki cukup cahaya untuk penerangan di siang hari dan adanya ventilasi

udara.

3. Kenyamanan bagi operator saat berada di dalam untuk melakukan

pengendalian atau pun pencatatan secara manual.

Konstruksi untuk desain rumah pembangkit PLTMH berkaitan dengan system

PLTMH yang bergantung pada jenis dan tipe turbin yang digunakan dan sirkulasi

air yang dikeluarkan setelah menggerakkan turbin (Pedoman Studi Kelayakan

44

Mekanikal Elektrikal – Buku 2C). Ada beberapa pertimbangan tipe desain rumah

pembangkit sesuai jenis turbin yang digunakan. Sebagai contoh: (IMIDAP.

Pedoman Studi Kelayakan Sipil, 2009).

a. Rumah Pembangkit untuk Turbin implus

Desain konstruksi rumah pembangkit ini perlu mempertimbangkan jarak

bebas antara dasar rumah pembangkit dengan permukaan air buangan turbin

(afterbay). Jenis turbin implus seperti turbin pelton, turgo,dan crossflow yang

ditunjukkan pada Gambar 14, air yang dilepas runner turbin secara langsung

dikeluarkan di tailrace. Permukaan air di bawah turbin akan bergelombang,

sehingga jarak bebas antara rumah pembangkit dengan permukaan air afterbay

setidaknya 30-50 cm. Kedalaman air di afterbay harus dihitung berdasarkan suatu

formulasi antara desain debit dan lebar saluran di tailrace. Air di afterbay harus

ditentukan lebih tinggi dari estimasi muka air banjir dan head antara pusat turbin

dan level air pada outlet harus menjadi headloss.

Gambar 2.13 Turbin Impulse

Sumber : british hydropower association, 2005

45

b. Rumah Pembangkit Untuk Turbin Reaction

Hal yang sama dalam desain konstruksi rumah turbin menggunakan jenis

reaction seperti francis, propeller adalah perilaku air di afterbay sedangkan turbin

tipe reaction, air dikeluarkan ke afterbay melalui turbin. Deskripsi turbin yang

dimaksud ditunjukkan pada Gambar di bawah ini. Head antara level air dan turbin

dapat digunakan untuk membangkitkan tenaga, dengan demikian desain

konstruksinya memperbolehkan posisi tempat pemasangan turbin berada di bawah

level air banjir dan pada desain konstruksinya perlu disediakan tempat untuk

menempatkan peralatan seperti pintu tailrace dan pompa.

Gambar 2.14 turbin open flume prancis

Sumber : british hydropower association, 2005

Gambar 2.15 turbin propeller

Sumber : british hydropower association, 2005