BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Media Komunikasieprints.umm.ac.id/55226/3/BAB II.pdf · 2019. 11....
Transcript of BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Media Komunikasieprints.umm.ac.id/55226/3/BAB II.pdf · 2019. 11....
9
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Media Komunikasi
2.1.1 Pengertian Media Komunikasi
Media komunikasi bersifat terbuka, yakni setiap orang
dapat melihat, membaca dan mendengarkan oleh karena itu, jarang
sekali komunikasi berlangsung hanya satu saluran, kebanyakan
dari kita menggunakan dua, tiga atau empat saluran yang berbeda.
Menurut (Effendy, 2004) proses komunikasi terbagi menjadi dua
bagian: (1) Proses komunikasi primer, yaitu proses penyampaian
individu dengan individu menggunakan bahasa sebagai lambang
dalam penyampaian pesan (2) Proses komunikasi sekunder, yaitu
proses penyampaian pesan dengan orang lain dengan
menggunakan media atau alat sebagai penyampaian pesan setelah
bahasa sebagai lambang pertama.
Kegiatan komunikasi menrupakan sebuah aktivitas rutin
yang dilakukan oleh setiap orang maupun organisasi dan tidak
luput dari aktivitas sebuah media. Menurut Cangara (dalam
Pieter, 2017: 33) media terdiri:
1. Media antarpribadi, berupa media yang terdiri dari dua
orang pelaku komunikasi yang menggunakan utusan, kurir
atau telephone.
10
2. Media kelompok, yakni media yang terdiri dari sekelompok
orang pelaku komunikasi dan dilakukan dengan cara
seminar, konfrensi, rapat dan sebagainya.
3. Media publik, melibatkan 200 orang atau lebih dari pelaku
komunikasi dan dilakukan dalam bentuk rapat, konfrensi
luar biasa dan sebagainya.
2.1.2 Fungsi Media Komunikasi
Berdasarkan fungsi media komunikasi, menurut Barata
(2003:109):
1. Efektifitas, media komunikasi dapat mempermudah
kelancaran dalam penyampaian informasi.
2. Efisiensi, dengan penggunaan media dapat mempercepat
proses penyampaian informasi.
3. Konkrit, media komunikasi mampu membantu memperoleh
isi pesan dengan cepat dan bersifat abstrak.
4. Motivasi, dengan menggunakan media komunikasi
menjadikan seseorang lebih mudah dalam melakukan
komunikasi.
2.1.3 Jenis-jenis Media Komunikasi
Berdasarkan jenis-jenis media komunikasi, menurut Barata
(2003:110-111):
A. Pengelempokan jenis media komunikasi berdasarkan alat yang
digunakannya, media komunikasi dibedakan menjadi tiga jenis:
11
1. Media komunikasi Audio (Pendengaran)
Media komunikasi audio adalah suatu alat bantu
komunikasi yang memancarkan suara, sehingga
memudahkan dalam mendapatkan informasi melalui
saluran pendengaran. Contohnya: radio dan telepon.
2. Media komuikasi visual (Penglihatan)
Media komunikasi visual merupakan alat bantu
komunikasi yang memancarkan tulisan dan gambar,
sehingga komunikasi dapat ditangkap melalui saluran
penglihatan. Contohnya: televisi dan video.
3. Media komunikasi audio-visual (Pendengaran dan
Penglihatan)
Media komunikasi audio-visual menjadi bagian alat
bantu komunikasi yang memancarkan suara disertai tulisan
dan gambar, yang memungkikan mendapatkan saluran yang
ditangkap melalui pendengaran dan penglihatan.
B. Jenis media berdasarkan sasarannya terbagi atas dua bagian:
1. Media komunikasi umum
Media komunikasi umum ialah alat komunikasi yang
ditunjukan oleh sasaran tunggal, kelompok atau massa.
Contoh: untuk sasaran tunggal, telepon dan telegram,
sedangkan untuk sasaran kelompok berupa brosur, plakat,
spanduk dan internet yang kegunaanya sama-sama dalam
menyampaikan informasi.
12
2. Media komunikasi Massa
Media komunikasi Massa digunakan khusus untuk
komunikasi massa seperti kelompok, sifat dari komunikasi
massa adalah komunikasi satu arah berupa penyampaian
pesan dari komunikator ke khalayak. Contoh: media cetak
(surat kabar, majalah, tabloid) media audio (radio) media
audio-visual (televise, film dan video).
Berdasarkan pemahaman diatas, maka media komunikasi
merupakan alat atau sarana penyampaian informasi berupa pesan yang
didalam menyimpan makna kepada seseorang maupun kelompok, baik
digunakan secara komunikasi verbal maupun komunikasi nonverbal,
sesuai dengan fungsi dan jenis-jenis pengelompokan dari sasaran media
komunikasi, tujuannya sama-sama mempermudah proses penyampaian
pesan, baik secara face to face dan tidak langsung.
2.2 Komunikasi Tradisional
Komunikasi tradisional merupakan ruang lingkup kajian
komunikasi secara umum yang juga dimaksudkan sebagai bentuk
komunkasi yang menekankan pada proses penyampaian pesan melalui
berbagai media komunikasi yang bersifat sederhana dan digunakan oleh
sekelompok masyarakat.
Definisi komunikasi tradisional yang dikemukan Bukhory Ismali
dalam skripsi Caksono, Agus (2012) menyatakan komunikasi tradisional
merupakan gaya dan cara berkomunikasi secara langsung dan turun-
13
temurun pada suatu masyarakat yang membedakan dari masyarakat
lainnya, disebabkan oleh ciri-ciri khas dari system masyarakat dan tata
nilai kebudayaanya.
Berdasarkan pemahaman diatas, komunikasi tradisional adalah
proses penyampaian pesan dari sekelompok orang dengan menggunakan
media tradisional yang berlangsung secara turun-temurun sehingga
memiliki perbedaan budaya dari daerahnya. Kelebihan komunikasi
tradisional yang dijadikan sebagai media tradisional, memiliki nilai
kesenian yang menarik perhatian dan memiliki kesederhanaan dalam
menggunakannya. Sedangkan kekurangannya, adanya media modern yang
menjadikan berkomunikasi menjadi lebih mudah tanpa memikirkan ruang
dan perbedaan waktu dalam penggunaanya.
2.3 Media Tradisional
2.3.1 Pengertian Media Tradisional
Media tradisional menjadikan identitas perekat social antar
masyarakat yang berkembang sampai saat ini sesuai fungsinya dan
dijadikan sebagai media masyarakat, ciri dari media masyarakat
berupa komunikasi dengan menggunakan/melibatkan pertemuan
fisik saat menggunakannya. Hal ini, disebabkan karena masyarakat
belum sepenuhnya percaya tentang penggunaan media digital dan
media massa. Menurut Berrigan (dalam Nurudin, 2007: 102-103)
sebagai berikut:
14
1. Media masyarakat berupa media yang bertumpu pada
landasan yang lebih luas dari kebutuhan semua
khalayaknya.
2. Media masyarakat, ber-adaptasi untuk digunakan oleh
masyarakat yang bersangkutan, apapun tujuan yang
ditetapkan masyarakat.
3. Media masyarakat memberi kesempatan kepada warga
masyarakat untuk memperoleh/mendapatkan informasi,
pendidikan, bila mereka menginginkan kesempatan itu.
Media ini adalah media yang menampung partisipasi
masyarakat sebagai perencanaan, produksi, dan
pelaksanaan.
4. Media masyarakat adalah sasaran bagi masyarakat untuk
mengemukakan sesuatu pendapat, bukan untuk menyatakan
sesuatu kepada masyarakat.
Dari pemaparan diatas, maka media rakyat menjelaskan fungsi dan
kegunaanya sebagai media yang memberikan alternatif bagi sarana untuk
rakyat dalam mengemukan pendapatnya. Pembahasan mengenai media
tradisional dan kearifan lokal bangsa serta sistem komunikasi yang
kolektif tidak bisa dilepaskan dari seni tradisional, sebab lewat seni
tradisional, bentuk komunikasi kolektif berawal. Sehingga menurut
Nurudin (2004:114) media tradisional tidak dapat dipisahkan dari seni
tradisional, yakni suatu bentuk kesenian yang digali dari cerita-cerita
rakyat dengan memakai media tradisional.
15
Media tradisional atau foklore menyerupai sebagian kebudayaan
kolektif dan memiliki suatu tradisi yang diwariskan secara turun-temurun,
dalam versi yang berbeda-beda baik dalam bentuk lisan maupun gerak-
gerik dengan menggunakan media komunikasi. Adapun fungsi pokok
folkore sebagai media tradisional, antara lain:
1. Folkore sebagai sistem proyeksi
2. Sebagai pengesahan/penguat adat
3. Sebagai alat pendidikan
4. Sebagai alat paksaan dan pengendalian sosial agar norma-norma
masyarakat dipatuhi oleh anggota kolektif.
Menurut Danandjaja (1982:2-6) folkore di Indonesia dibagi
menjadi tiga kelompok, yaitu:
1. Folkore lisan (Verbal folkore)
a. Bahasa rakyat (folk speech) seperti logat, julukan, sindiran, title-
title, dan sebagainya.
b. Ungkapan tradisional seperti pribahasa, pepatah, dan sebagainya
c. Pertanyaan tradisional yaitu teka-teki
d. Puisi rakyat seperti pantun, syair, bidal pemao, dan sebagainya
e. Cerita proposal rakyat (prose narrative) seperti dongeng suci
(myth), legenda (legend), dan dongeng (folktales), cerita pendek
(anecdote), baik yang bersifat sopan, maupun cabul (obscene
jokes), yang dapat melukai hati seseorang maupun yang tidak
f. Nyanyian rakyat (folksong)
16
2. Folkore setengah lisan (Party verbal folkore)
a. Kepercayaan dan takhayul (superstitio)
b. Permain rakyat dan hiburan rakyat (gemes and amusement)
c. Drama rakyat seperti wayang orang, wayang kulit, wayang golek,
ludruk, ketoprak, lenong, topeng, dan sebagainya.
d. Tari-tarian
e. Adat-adat kebiasaan (custom) seperti kebiasan tolong-menolong
dalam keadaan senang atau susah
f. Upacara-upacara yang dilakukan dalam lingkaran hidup seseorang
misalnya selapan khitanan, hari ulang tahun dan lain-lain
g. Pesta-pesta rakyat (feast and festivals) seperti selamatan-selamatan
yang dilakukan upacara-upacara yang berhubungan dengan
lingkaran hidup seseorang, perayaan massempe di Bone-Makassar,
suling tambur di Papua Barat
3. Folkore bukan lisan (Nonverbal folkore), folkore nonverbal dibagi
menjadi dua sub golongan, yaitu:
i. Material
a. Arsitektur rakyat
b. Seni kerajinan tangan
c. Pakaian serta perhiaasan
d. Obat-obatan rakyat
e. Makanan dan minuman
f. Alat-alat musik
g. Perlatan rumah tangga, pertanian, senjata untuk berperang dan berburu.
17
ii. Bukan material
a. Bahasa isyarat (gesture) seperti menggeleng-gelangkan kepala
berarti tidak, mengangguk-nganggukan kepala berarti iya
b. Musik seperti gamelang Jawa; Sunda dan Bali, musik kulintang
dari minahasa.
Wayang Suket termasuk folkore setangah lisan, dikarenakan :
1. Permain rakyat dan hiburan rakyat (gemes and amusement)
2. Suatu kesenian rakyat yang di pertunjukan oleh sebuah kelompok atau
grup kesenian dengan mengambil cerita tertentu misalnya cerita
kehidupan rakyat, cerita perjuangan dan sebagainya, selain itu
pertunjukan juga diselingi dengan kidungan, gamelang dan sumber
sinar.
3. Drama rakyat seperti wayang Orang, wayang Kulit, wayang Golek,
Ludruk, Ketprorak, Lenong, Topengan dan sebagainya.
2.3.2 Peran Media Tradisional
Peran media tradisional menjadikan system komunikasi yang
mempunyai nilai tinggi karena didalamnya terdapat nilai-nilai dari suatu
budaya, dimana informasi yang diberikan memiliki konteks kejadian yang
menyebabkan orang-orang menyadari, memahami dan menghayati
kejadian sekitar melalui ekspresi bersifat verbal dan nonverbal.
Pengelompokan media tradisional sangat penting bagi masyarakat sebab
dapat mempermudahkan dalam memahami bentuk dan jenis dari media itu
sendiri.
18
Pertunjukan media tradisional memadukan berbagai unsur kesenian
yang bernilai tinggi dalam menyampaikan pesan-pesan membangun.
Pesan-pesan membangun ini disisipkan pada pertunjukan yang
mengandung percakapan bersifat dialog dan monolog sehingga tidak
terikat pada alur cerita. Dalam suatu pertunjukan, salah satu
pertunjukannya ialah wayang, dimana pemanfaatan sebagai media yang
tidak bisa dipisahkan dari masyarakat, adapun hubungan antar wayang dan
manusia yang bersifat mutualistic yaitu saling berkaitan antar sesama.
Dengan pemahaman diatas maka, media tradisional atau folkore
menyerupakan media penyampaian rakyat yang penggunaanya
berkembang secara turun-temurun sebagai alat komunikasi bersifat
informative dan menghibur, sehingga terdapat kelebihan dan kekurangan
dari media tradisional. Kelebihan media tradisional dalam masyarakat
akan selalu di ingat dan menjadikannya sebagai salah satu warisan budaya
yang memiliki nilai budaya tinggi dan kekurangan dari media tradisional,
pergeseran media-media modern dalam perkembanganya yang kian hari
makin mempermudah dalam mendapakan dan menyampaikan informasi
yang informative.
2.4 Wayang
Menurut Dr. G.A.J Hazeu (Mertosedono, 1986:28) Hyang ber-arti
Roh, Sukma atau Dewa. Dalam kata wod, menurut kamus kawi Bali,
kamus karangan Dr. Van Der Tuuk Hyang merupakan leluhur, sehingga
dalam bahasa Jawa, Eyang atau Perkataan Hyang, wod dikatakan apabila
19
wongsal, wangsul, wira wiri, ngelayang (tidak tetep), maka roh atau sukma
merupakan badan halus yang melayang (ngelambrang) atau disebut dengan
arwah, leluhur yang sudah meninggal. Bila wod dihubungkan dengan
wayang, maka ada persamaan wayang, layangan, sukma leluhur. Menurut
Kresena (2012:21) wayang adalah bayang-bayang atau samar-samar yang
bergerak sesuai dengan arahan dari dalang yang membawakan lakon.
Dalam pertunjukan, lakon berupa cerita wayang yang mengisahkan
tentang nilai-nilai berkaitan dengan kehidupan manusia yang
mencerminkan dari sifat dan karakter manusia secara nyata. Selanjutnya
pemahaman wayang mengarah kepada martabat seseorang dalam
mendukung dan memperhatikan. Wayang sebagai benda tiruan yang
dibuat dari segi bermacam-macam dan bentuk, menjadikan ciri khas antar
wayang. Adapun jenis-jenis wayang menurut Boesastra (Mertosedono,
1986:42) antara lain : Wayang Beber, Wayang Gedhog, Wayang Golek,
Wayang Klithik, Wayang Kulit, Wayang Madya, Wayang Purwa, Wayang
Potehi dan Wayang Wong.
Pada umum nya, semua wayang digunakan untuk bercerita
mengenai padangan hidup, tema yang disampaikan dalam bercerita juga
bermacam-macam, salah satunya Mahabrata. Salah satu wayang yang
digunakan untuk bercerita, mendongeng dan bermain yaitu wayang Suket,
bahan utama dari wayang ini terdapat dari “Suket” atau rumput dalam
membuat, jenis rumput yang digunakan rumput Mendong, dalam membuat
dibutuhkan ketekunan dan kesabaran dalam menganyam rumput tersebut
serta mudah dan gampang untuk memainkan,
20
2.4.1 Wayang Sebagai Media Tradisional
Wayang sebagai media tradisional memiliki peran yang
berkembang ditengah masyarakat sehingga mempunyai sentuhan
dimensi dalam suatu budaya tertentu dengan tujuan sebagai proses
komunikasi yang efektif dan efeksien. Sehingga memunculkan
unsur-unsur yang terdapat dalam media tradisional berupa nilai-
nilai yang berakar pada budaya dan ritual disuatu masyarakat,
adapun pengembangan dan pelestarian nilai-nilai budaya khusus-
nya budi pekerti yang tumbuh dan berkembang ditengah
masyarakat.
Penggunaan media tradisional saat ini bersifat monolog dan
dialog artinya setiap pesan yang tersampaikan mengandung nilai-
nilai kehidupan didalamnya yang juga pemanfaatan sebagai media
hiburan. Dalam pertunjukan wayang, terdapat pesan-pesan moral,
sikap dan nilai-nilai kehidupan yang menekankan kepada
lakon/cerita dalam kehidupan sehari-hari dengan menggunakan
bahasa daerah yang diring dengan ruwetan¸ kidungan dan
gamelang sebagai musik dasar, sedangkan untuk pertunjukan
wayang sendiri, memakai sinar dan penghalang sinar.
2.4.2 Wayang sebagai Media Transformasi
Pada dasarnya, masyarakat mengenal wayang hanya dalam
cerita atau legenda tanah Jawa, sebagai pengembangan sebuah
karya seni dan sastra yang dijadikan sebagai pandangan hidup.
21
Seiring perkembangan zaman, cerita atau lakon yang dibawakan
mengalami perubahan fungsi cerita yang digunakan sebagai media
transformasi yang edukatif dan efektif dalam pembelajaran.
Penyajian cerita disampaikan dengan semenarik mungkin,
sehingga dapat menambah minat belajar siswa dalam memenuhi
kebutuhan siswa memperoleh materi pembelajaran. Wayang dibuat
menyerupai tokoh manusia dari Mendong, setelah ittu dimainkan
dengan bantuan sinar dan penghalang sinar dan cerita yang
menyesuaikan dengan sasaran/tempat pertunjukan tersebut.
Dalam pertunjukan wayang, menyimpan nilai-nilai moral
yang berkaitan dengan kehidupan sehari-hari, diantaranya
menghormati orang tua, menjaga kebersihan, patuh kepada
perintah Tuhan, menolong sesama, kejujuran, dan sebagainya.
Pudentia (1992) dalam skripsi Pana Pramulia, menyatakan
transformasi berkaitan dengan perubahan karya sastra yang
menyangkut struktur cerita, tokoh, latar, tema, dan lain-lain
(Hutomo, 1999:176). Sehingga menurut (Hutomo, 1999:174-175)
Transformasi merupakan proses bukan hanya mengubah struktur
gramatikal tetapi menambah, mengurangi, dan mengatur kembali
konstituesinya. Maka dalam menyampaikan cerita, harus
memerhatikan permasalahan kehidupan nyata yang dialami anak-
anak, cerita realistik bukan hanya perlu tetapi juga diminati anak-
anak karena penggambaran didalamnya dapat mendekatkan mereka
pada kehidupan nyata.
22
Dengan pemahaman diatas, wayang menyerupai benda tiruan yang
dibuat dari berbagai macam bentuk dan bahan yang digunakan sehingga
memiliki ciri khas. Penggunaan wayang, dimanfaatkan sebagai media
tradisional dan media transformasi yang menjalankan fungsi dengan
efektif dan efeksien. Seperti, wayang sebagai media tradisional yang
berkembang dalam masyarakat sebagai media informasi dan hiburan
sehingga wayang dipercayai oleh masyarakat mengandung nilai-nilai
berakar pada budaya. Sebagai contoh, cerita para kerajaan Jawa yang
memiliki nilai-nilai budi pekerti yang dijadikan sebagai pandangan sumber
hidup, dengan menjadikan sebagai media transformasi, wayang dapat
menjalankan fungsi sebagai alat bantu proses belajar-mengajar bagi siswa
dengan membuat pelajaran menjadi menarik perhatian dan memudahkan
dalam menyerap/mengingat pelajaran yang disampaikan.
2.5 Etika komunikasi Dalam Budaya Jawa
2.5.1 Etika Komunikasi
Etika sering kali disebut sebagai falsafah Moral, secara
etimologi kata “etika” berasal dari yunani ethos dan etikhos.
“Ethos” berarti sifat dan watak sedangkan etikhos berarti susila
atau keadaaban, kelakuan dan perbuatan baik seseorang. Etika
membahas baik dan buruknya seseorang dari tingkah laku dan
kewajiban-kewajiban manusia. Menurut Englehardt (dalam West-
Turner, 2014:17-18) etika adalah suatu tipe pembuatan keputusan
yang bersifat moral dan menentukan apa yang benar dan salah
23
yang dipengaruhi oleh peraturan dan hukum yang ada dalam
masyarakat. Sedangkan etika menurut Bertens (2007:6): (1) etika
adalah nilai-nilai dan norma-norma moral bagi seseorang atau
suatu kelompok dalam mengatur tingkah laku, (2) etika adalah asas
atau nilai moral seseorang, (3) etika adalah ilmu yang mempelajari
baik buruknya suatu perilaku seseorang.
Pemahaman etika yaitu membahas mengenai moralitas, moral
serta kesusilaan. Dengan kata lain, moral adalah kesempurnaaan
manusia, sedangkan kesusilaan meruupakan tuntutan kodrat manusia
(Drijarkara, 1978:25). Pembahasan kesusilaan terbentuk dari kayta
“sila” yang asal mula adalah bahasa sangsekerta dan memiliki arti
berbagai macam ragam, moral merupakan kata mores yang berarti
adat-istiadat ataupun sesuatu yang ada diluar nalar manusia sehingga
memberi perintah maupu pengaruh ke dalam perilaku manusia. F.M
Suseno membedakan antara pengertian ajaran moral dengan etika.
Ajaran moral adalah ajaran-ajaran, wejengan-wejengan, khotobah-
khotobah, pathokan-pathokan, kumpulan peraturan dan ketetepan,
entah lisan atau tertulis tentang bagaimana manusia seharusnya hidup
dan bertindak sesuai dengan ketetapannya.
2.5.2 Etika Jawa
Setelah diuraikan diatas tentang gambaran etika secara
umum, maka disini akan diulas pengertian etika lebih spesifik yaitu
etika Jawa. “etika” membahas ilmu tentang keseluruhan norma dan
24
penilaian yang dipergunakan oleh masyarakat bersangkutan dalam
mengetahui bagaimana manusia menjalankan kehidupan, yang
dimaksud “Jawa” disini memiliki pengertian “orang Jawa”,
“masyarakat Jawa”, dan “bahasa Jawa” karena berkaitan dengan
etika dimana obyek dan sasarannya adalah manusia. Maka
pembahasan ini difokuskan pada pengertian “orang Jawa”, yang
dikatakan orang Jawa adalah penduduk asli bagian Jawa Tengah
dan Jawa Timur.
Menurut F.M Suseno (1984:11) orang Jawa menyerupai
orang yang bahasa ibunya adalah bahasa Jawa dengan cara
berbicara dan berperilaku sesama orang Jawa. Adapun dibedakan
berdasarkan dari stratifikasi social dari suatu masyarakat,
stratifikasi social Jawa muncul disebabkan peninggalan-peningalan
kerajaan-kerajaan pada waktu itu masih mempercayai sampai saat
ini. Stratifikasi menurut Endaswara (2003:8-9) berupa:
1. Priyayi dan wong lumrah, golongan priyayi adalah
kelompok masyarakat ningrat, yang memiliki trah atau
darah tertentu. Trah (gelar kebangsaan). Kaum priyayi
memiliki adat tertentu yang berbeda dengan wong lumrah.
Namun seiring perkembangan jaman kaum priyayi tidak
hanya orang-orang yang berasal dari ningrat, melainkan
juga pegawai atau pejabat. Jadi, Priyayi memiliki jenis
pekerjaan yang halus sedangkan wong lumrah adalah
mereka yang sama sekali tidak mempunyai kedudukan apa-
25
apa dalam masyarakat. Oleh karena itu, priyayi dan wong
lumrah memiliki jarak dan memiliki hubungan yang
didasari oleh system hormat.
2. Wong gedhe dan wong cilik. Wong gede suatu kelompok
termuka dalam masyarakat dan dipandang karena memiliki
kelebihan tertentu berupa jabatan, kekayaan, keahlian khusus
yang tidak dimiliki oleh wong cilik, akibatnya kedua kelompok
ini bepegang teguh pada nilai-nilai dalam kehidupan sehari-hari.
3. Pinisepuh dan kawula mudha. Pinisepuh menjadikan suatu
posisi dimana orang Jawa dianggap tua atau ditua-kan oleh
masyarakat dan golongan kawula mudha yang selalu
terbelakang atau dibawah. Posisi ini semacam menerima apa-
adanya, tanpa protes karena masyarakat memahami Rasa.
4. Santri dan abangan. Santri menyerupai golongan
masyarakat Jawa yang tekun menjalankan agamanya
sedangkan abangan justru sebaliknya, karena selalu
memposisikan kaum santri akibatnya hubungan keduanya
memperhatikan budi pekerti.
5. Sedulur dan wong liya. Sedeluru berupa suatu kelompok
yang masih ada hubungannya dengan kekerabatan dekat,
hubungan ini biasanya tidak banyak dipersoalkan dalam
saling menghormati. Bedanya jika dengan orang-orang di
luar trah (kekerabat) system hormat amat penting dilakukan
agar menerapkan saling menghargai antar sesama.
26
Dalam melakukan aktivitas komunikasi, orang Jawa tidak pernah
melupakan unsur etika. Penggunaan bahasa Jawa sehari-hari biasa disebut
bahasa ibu, bahasa ibu memiliki tiga bentuk tingkatan variasi bahasa Jawa,
yaitu Ngoko (kasar), Madya (biasa) dan Krama (halus). Namun pada
tingkatan yang lebih, terdapat tujuh tingkatan dalam bahasa Jawa
diantaranya: Ngoko, Ngoko Andhap, Madya, Madhyantara, Kromo, Kromo
Inggil, Bagongan, Kedhaton pemakaian ragam bahasa inilah yang sering
dijadikan pandangan bahasa Jawa dalam berkomunikasi.
Menurut Digdaya (1953:2) seseorang yang menggunakan bahasa
Jawa dengan orang lain dan tidak tepat dengan tatanan dengan siapa ia
berbicara akan menyebabkan komunikasi dengan orang tersebut
terganggu. Dengan demikian penggunaan, kalimat dengan “siapa kita
berbicara” sangat penting diperhatikan pengunaan bahasa Jawa, karena
harus sesuai dengan tatanan kedudukan seseorang dalam berbicara seperti
stratifikasi diatas.
Orang Jawa merasa terhormat apabila mereka dipandang lebih dan
dihargai oleh orang lain. Hubungan tua-muda, atas-bawah, senior-junior
dalam budaya Jawa masih dipegang teguh dalam menyelarasakan
pergaulan atau strata, misalnya ketika berbicara kepada orang lebih tua,
tidak boleh menatap wajah orang yang diajak berbicara, pandangan mata
harus sedikit menunduk, nada berbicara lebih lembut dari cara berbicara
dengan teman, dan penuh rasa hormat. Sehingga penggunaan kalimat
unggah-ungguh, seperti ragam krama-ngoko, sangat menentukan etika
seseorang dalam berbicara. Maka dari itu, penggunaan kalimat dalam
27
pemilihan kata-kata dan makna akan menambah kewibawaan dan
keutamaan seseorang dalam berkomunikasi.
Unggah-ungguh atau sopan santun menyebabkan suatu kesatuan
dalam menempatkan diri sesuai dengan tuntutan tatakrama social dalam
budaya Jawa. Penggunaan bahasa yang digunakan kita saat berbicara
dengan orang tua, memiliki perbedaan bahasa dua tingkatan dalam
berbicara, yaitu kromo sebagai bentuk sikap hormat dan ngoko sebagai
bentuk keakraban sedangkan kromo inggil sebagai pengungkapan sikap
hormat yang lebih tinggi. Penempataan dalam tingkatan bahasa kromo
inilah merupakan suatu sarana ampuh dalam mencegah timbul konflik
antar orang Jawa. Tatanan kromo ini menyangkut gerak badan, urutan
duduk, isi dan bentuk komunikasi, sehingga dalam penempatan ngoko-
krama memiliki fungsi sebagai mengatur semua bentuk interaksi yang
terjadi antar keluarga, lingkungan dalam bertetangga, teman-teman akrab
maupun orang yang tidak dikenal sekalipun.
Dengan pemahaman diatas, maka Etika Komunikasi dalam Budaya
Jawa menyangkut proses komunikasi didalam budaya Jawa, etika
berbicara, perilaku sikap baik dan buruk seseorang sesuai moral yang
sudah ada. Etika secara khusus yaitu “etika Jawa” berbicara tentang
unggah-ungguh yang tidak bisa dipisahkan dalam budaya Jawa kemudian
pembahasan tentang sisilah atau stratifikasi dari orang Jawa, dimana
semakin tinggi derajat seseorang maka cara bertutur kata akan berubah
sesuai tingkatan. Unggah-ungguh adalah sikap yang ditunjukan oleh orang
Jawa dalam membawa diri kepada masyarakat, yang selalu
28
memperhatikan ucapan atau tutur bahasa dan cara berperilaku dalam
menghargai dan menghormati orang lain dengan memperhatikan
stratifikasi atau silsilah dalam keluarga.
2.6 Teori Kesantunan (Politeness Theory)
Menurut Penelope Brown dan Stephen Levinson (1980) teori
kesantunan (politeness theory) adalah salah satu teori komunikasi
intrapersonal yang menyatakan bahwa orang-orang akan menggunakan pesan
yang berbeda, tergantung pada persepsi mereka terhadap situasi dan siapa
yang menjadi pendengar. Teori ini, menekankan pada bagaimana orang-orang
membentuk pesan komunikasi dan berbagai faktor yang mempengaruhi
produksi pesan. Produksi pesan sangat penting dalam proses komunikasi,
termasuk dimensi-dimensi abstraksi pesan, kesesuaian pendengar, jenis-jenis
perancangan strategi pesan untuk mencapai tujuan tertentu atau untuk
mengkoordinasikan berbagai macam tujuan, jenis-jenis tema isi pesan,
pemilihan kata-kata yang khusus, dan lain-lain (Wilson, 2013:15).
Menurut Zamzani (2010: 2) dalam skripsi (Kurniawati Oktofia, 2012)
kesantunan (politeness) merupakan perilaku yang diekspresikan dengan cara
yang baik atau beretika. Kesantunan merupakan fenomena kultural, sehingga
apa yang dianggap santun oleh suatu kultur mungkin tidak demikian halnya
dengan kultur yang lain. Tujuan kesantunan, termasuk kesantunan berbahasa,
adalah membuat suasana berinteraksi menyenangkan, tidak mengancam muka
dan efektif. Menurut Rahardi (2005: 35) penelitian kesantunan mengkaji
penggunaan bahasa (language use) dalam suatu masyarakat bahasa tertentu.
29
Masyarakat tutur yang dimaksud adalah masyarakat dengan aneka latar
belakang situasi sosial dan budaya yang mewadahinya. Adapun yang dikaji di
dalam penelitian kesantunan adalah segi maksud dan fungsi tuturan.
Dalam penyampaian cerita, dalang harus memikirkan tatacara
berbahasa dalam menyampaikan pesan pertunjukan wayang Suket.
Penyampain cerita ini harus sesuai dengan norma-norma budaya sehingga
dalam penyampaiannya, dalang tidak asal menyampaikan ide cerita saja
melainkan sesuai dengan unsur-unsur budaya yang ada dalam masyarakat
budaya Jawa. Cerita yang dibawakan dalang biasanya tergantung dari target
penonton, usia dan tempat pertunjukan. Kesantunan berbahasa dalam
menyampaikan cerita dapat dilakukan dengan cara mematuhi prinsip sopan
santun berbahasa yang sesuai dengan bahasa sehari-hari agar penonton dapat
memahami isi cerita yang disampaikan oleh dalang.
2.7 Focus Penelitian
Focus dalam penelitian ini terkait bagaimana proses wayang suket
sebagai media transformasi pada kegiatan Pramuka kelas IV dan V SDN
Rampal Celaket 02 Malang mengenai etika komunikasi dalam budaya Jawa.
Adapun yang dimaksud adalah transparasi nilai-nilai tentang etika komunikasi
dalam pengaruh penyampaian pesan pada pertunjukan wayang Suket meliputi:
1. Unggah-ungguh terkait etika dalam berbicara kepada orang yang lebih tua
2. Unggah-ungguh terkait etika komunikasi verbal dan nonverbal dalam
budaya Jawa
3. Makna yang terkait dalam wayang Suket.