BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Landasan Teori a. Kambing …eprints.umm.ac.id/63130/3/BAB II.pdf ·...
Transcript of BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Landasan Teori a. Kambing …eprints.umm.ac.id/63130/3/BAB II.pdf ·...
-
6
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Landasan Teori
a. Kambing Peranakan Etawa
Kambing merupakan hewan domestikasi tertua yang telah
bersosialisasi dengan manusia lebih dari 1000 tahun. Kambing tergolong
pemamah biak, berkuku genap dan memiliki sepasang tanduk yang
melengkung. Kambing merupakan hewan pegunungan hidup dilereng-lereng
yang curam yang meiliki sifat adaptasi yang cukup baik terhadap perubahan
musim (Sarwono,2009).
Sodiq dan Abidin (2008) menyatakan bahwa kambing Etawa berasal
dari wilayah Jamnapari (India), sehingga kambing ini disebut juga sebagai
kambing Jamnapari. Kambing Etawa merupakan kambing yang paling populer
di Asia Tenggara. Di negara asalnya kambing Etawa termasuk kambing tipe
dwiguna, yaitu sebagai penghasil susu dan daging. Kambing Etawa memiliki
postur tubuh besar, telinga panjang menggantung, bentuk muka cembung serta
bulu dibagian paha belakang sangat panjang.
Gambar 2.1 Kambing Etawa
-
7
Mulyono dan Sarwono (2010) menyatakan kambing Peranakan Etawa
(PE) merupakan hasil persilangan antara kambing Etawa dari India dengan
kambing kacang yang penampilannya mirip Etawa tapi lebih kecil. Kambing
Peranakan Etawa (PE) memiliki dua kegunaan, yaitu sebagai penghasil susu
(perah) dan kambing potong.
Subandriyo (1995) menyatakan bahwa ciri khas kambing Peranakan
Etawa (PE) antara lain bentuk muka cembung melengkung dan dagu
berjanggut, telinga panjang, lembek menggantung, dan ujungnya agak
berlipat, ujung tanduk agak melengkung, tubuh tinggi, pipih, bentuk garis
punggung yang mengombak ke belakang, bulu tumbuh panjang di bagian
leher, pundak, punggung dan paha, bulu panjang dan tebal. Warna bulu ada
yang tunggal putih, hitam dan coklat, tetapi jarang ditemukan. Kebanyakan
terdiri dari dua atau tiga pola warna, yaitu belang hitam, belang coklat dan
putih betotol hitam.
Budisatria et al., (2009) melaporkan bahwa kambing (Capra hircus
aegagrus) merupakan hewan yang pertama didomestikasi oleh manusia, hidup
di daerah sulit dan berbatu. Penjinakan kambing diperkirakan terjadi didaerah
Pegunungan Asia Barat selama abad ke-7 sampai ke-9 sebelum masehi.
Kambing termasuk dalam bangsa Caprinae, famili Bovidae, sub famili
Caprianea,spesies Artidactyla dan subordo Ruminansia. Karakteristik rataan
permukaan ukuran tubuh (fenotipe) kambing peranakan etawa (PE) dapat di
lihat tabel di bawah ini:
-
8
Tabel 2.1 Rataan Morfometrik Tubuh Kambing Peranakan Etawa Parameter Betina Dewasa Jantan Dewasa
Berat Badan (kg) 40.50 60.00 Panjang Badan (cm) 81.00 81.00 Tinggi Pundak (cm) 76.00 84.00 Tinggi Pinggul (cm) 80.10 96.80 Lebar Dada (cm) 12.40 15.70 Lingkar Dada (cm) 80.10 99.50 Panajang Tanduk (cm) 6.500 15.00 Panjang Telinga (cm) 12.00 15.00 Panjang Ekor (cm) 19.00 25.00 Lebar Ekor (cm) 2.500 3.600
Sumber: Subandriyo (1995)
Kementrian Pertanian RI telah menetapkan standar bibit untuk
kambing peranakan etawa (PE) melalui Peraturan Menteri Pertanian No.19/
Permetan/OT.140/3/2012 tentang persyaratan mutu benih, bibit ternak dan
sumber daya genetik hewan yang dapat dilihat pada table di bawah ini:
Tabel 2.2 Standar Morfometrik Bibit Kambing Peranakan Etawa No.
Parameter Satuan Jenis Kelamin
Umur 0,5-1 >1-2 >2-4
1 Bobot Badan
Kg Jantan Betina
29.00-50.0 22.00-50.0
40.00-90.0 34.00-60.0
54.00-11.0 41.00-70.0
2 Tinggi
Pundak
Cm Jantan
Betina
67.00-50.0
60.00-50.0
75.00-80.0
71.00-50.0
87.00-50.0
75.00-50.0
3 Panjang
Badan
Cm Jantan
Betina
53.00-80.0
50.00-50.0
61.00-70.0
57.00-50.0
57.00-50.0
60.00-50.0
4 Lingkar
Dada
Cm Jantan
Batina
71.00-60.0
63.00-60.0
80.00-80.0
76.00-70.0
89.00-80.0
81.00-70.0
5 Panjang
Telinga
Cm Jantan
Betina
23.00-30.0
24.00-30.0
26.00-30.0
26.00.30.0
27.00-30.0
27.00-30.0
Sumber: Kementrian Pertanian (2012)
Kambing Peranakan Etawa memiliki beberapa tip eras, antara lain
sebagai berikut:
1) Peranakan Etawa Kaligesing
-
9
PE Kaligesing merupakan hasil persilangan antara kambing jamnapari
atau etawa yang masuk ke Indonesia pada tahun 1930 dengan kambing lokal
di daerah Kaligesing, Purworejo, Jawa Tengah. PE Kaligesing mampu
memproduksi susu antara 0,5-3 liter per hari. Dalam hal reproduksi, kambing
ini memiliki kecenderungan melahirkan anak kembar atau lebih dari satu.
Kambing kaligesing mudah diternak karena mudah beradaptasi dengan
lingkungan dan tidak pilih-pilih pakan (Kaleka dan Haryadi, 2013). PE
kaligesing memiliki ciri fisik antara lain postur tubuh besar, tegap, dan kokoh.
Warna bulunya merupakan kombinasi hitam dan putih, bagian kepala
berwarna hitam. Kepalanya tegak dengan muka cembung. Kambing ini
memiliki tanduk yang kecil melengkung ke belakang Telinganya lebar,
panjang, menggantung, dan ujungnya melipat. Ekornya pendek dan mengarah
ke atas atau ke belakang. Kaki belakangnya berbulu lebat dan panjang (Kaleka
dan Haryadi, 2013).
Dalam Keputusan Menteri Pertanian Nomor 2591/Kpts/PD.400/7/2010
tentang penetapan galur kambing kaligesing disebutkan bahwa Kambing
Kaligesing mempunyai ciri khas yang tidak dimiliki oleh kambing galur
lainnya dan merupakan sumber daya genetik lokal Jawa Tengah yang perlu
dijaga dan dipelihara kelestariannya. Adapun deskripsinya adalah sebagai
berikut:
Nama Galur Kambing Kaligesing
Karakteristik Kambing Kaligesing antara lain :
Postur tubuh : besar, tegap dan kokoh
Warna bulu : Kombinasi putih- hitam atau putih-coklat
-
10
Kepala : tegak, profil melengkung/muka cembung
Tanduk : kecil melengkung mengarah ke belakang
Telinga : lebar, panjang, dan megantung
Ekor : pendek dan mengarah ke atas/ke belakang
Kaki belakang : berbulu lebat dan panjang (gambol)
Sifat Kuantitatif
Kesuburan induk : 74 – 75 %
Angka kelahiran : 40 – 85 %
Persentase Karkas : 40 – 53 %
Kadar Lemak daging : 2 – 7 %
Kemampuan hidup hingga dewasa : 80 – 82 %
Produksi susu : 0,5 – 3,0 liter/hari
Sifat Kualitatif
Kemampuan melahirkan anak lebih dari Satu : baik
Daya adaptasi terhadap lingkungan : baik
Daya adaptasi terhadap cekaman panas : baik
Kemampuan mencerna pakan berserat tinggi : baik
Sifat Reproduksi
Umur berahi pertama : 294 – 304 hari
Lama bunting : 149 – 154 hari
Umur beranak pertama : 348 – 443 hari
Jarak beranak (Kidding interval) : 221 – 253 hari
Jumlah anak sekelahiran (litter size) : 1,2 – 1,50
Angka kebuntingan : 81 – 91 %
-
11
Gambar 2.2 Kambing Peranakan Etawa Kaligesing
2) Peranakan Etawa Senduro
Tahun 1947 kambing Jamnapari dari Etawa, Uttar Pradesh, India,
dimasukkan ke Indonesia untuk disilangkan dengan kambing menggolo.
Kambing menggolo merupakan kambing lokal di daerah Senduro, Lumajang,
Jawa Timur, yang terletak di kaki Gunung Semeru. Hasil persilangan ini
menghasilkan kambing Etawa ras Senduro atau disebut PE Senduro (Kaleka
dan Haryadi, 2013). PE Senduro memiliki kemampuan produksi susu yang
sama dengan PE Kaligesing, begitu juga dengan reproduksinya. Ciri
fisiknyapun hampir sama, hanya pola warna pada tubuhnya yang berbeda.
Bulu kambing PE Senduro didominasi warna putih sehingga sering disebut
dengan Senduro putih (Kaleka dan Haryadi, 2013).
Gambar 2.3 Kambing Peranakan Etawa Senduro
-
12
3) Peranakan Etawa Jawarandu
Kambing PE Jawarandu merupakan hasil persilangan antara kambing
Jamnapari atau Etawa dengan kambing kacang yang juga dikenal dengan
kambing Bligon, Gumbolo, atau Koplo. Ciri fisiknya memperlihatkan
kemiripan dengan kambing PE Kaligesing maupun PE Senduro. Hanya saja,
kambing PE Jawarandu memiliki warna bulu kombinasi putih dan cokelat.
Potensi produksi susu PE Jawarandu bisa mencapai 1,5 liter per hari (Kaleka
dan Haryadi, 2013).
Gambar 2.3 Kambing Peranakan Etawa Senduro
b. Pertumbuhan Kambing
Pertumbuhan adalah perubuhan ukuran yang mencakup perubahan BB,
bentuk, dimensi linear dan komposisi tubuh termasuk perubahan komponen-
komponen tubuh seperti otot, lemak, tulang dan organ serta komponen-
komponen kimia, terutama air, lemak protein dan abu pada karkas (Soeparno,
2015). Pertumbuhan meliputi proses pembangunan sel-sel baru berlipat ganda,
menjadi besar dengan sendirinya terjadi proses asimilasi materi dari luar.
Perkembangan yaitu adanya kerja sama dari proses tadi mulai lahir hingga
dewasa, sehingga ukuran-ukuran tubuh menunjukkan perubahan bentuk
sampai hewan tersebut dewasa. Kadar laju pertumbuhan dan BB adalah
factor-faktor yang mempunyai hubungan erat antara satu dengan yang lain,
-
13
dan biasanya dapat secara individu atau kombinasi mempengaruhi komposisi
tuuh atau karkas (Soenarjo, 2018).
Pertumbuhan pada ternak mamalia menurut Anggorodi (2016) dapat
dibagi menjadi 2 periode yaitu prenatal dan postnatal. Periode prenatal
pertumbuhan terjadi sejak waktu ovum di buahi sampai individu tersebut lahir.
Laju pertumbuhan postnatal mula-mula terjadi sangat lambat, kemudian cepat,
selanjutnya berangsur-angsur menurun atau melambat dan berhenti,
sedangkan tulang rusuk masih dapat tumbuh dan berkembang karena rusuk
merupakan tulang yang perkembangannya paling akhir. Tillman (2016)
menambahkan, pertumbuhan mempunyai tahap yang cepat dan lambat, tahap
cepat terjadi pada saat-saat sampai pubertas dan tahap lambat terjadi pada
saat-saat kedewasaan tubuh telah tercapai. Tahap-tahap pertumbuhan ternak
membentuk gambaran sigmoid pada grafik pertumbuhan yang akan
ditampilkan berikut ini:
Gambar 2.1 Kurva Sigmoid Pertumbuhan Ternak Kambing
Faktor-faktor yang mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan
antara lain jenis kelamin, hormon dan konsumsi pakan. Jenis kelamin dapat
menyebabkan perbedaan laju pertumbuhan. Pertumbuhan ternak diatur oleh
-
14
hormon, baik secara langsung maupun tidak langsung. Androgen adalah suatu
hormon kelamin yang termasuk sebagai hormon pengatur atau stimulan
pertumbuhan. Hormon kelamin jantan ini mengakibatkan pertumbuhan lebih
cepat pada ternak jantan dibandingkan ternak betina. Pada hampir semua
hewan, walau betina lebih cepat mencapai dewasa, namun jantan lebih besar
dan lebih berat daripada betina. Somatotropic hormone (STH) berasal dari
kelenjar pituitary bagian anterior dan mempunyai fungsi mengatur
pertumbuhan normal ternak muda serta metabolisme normal pada ternak
dewasa, mengatur pertumbuhan kerangka. Androgen seperti halnya STH, juga
menstimulasi sintesis protein terutama di dalam otot dan penurunan
kandungan lemak tubuh. Hormon betina atau estrogen dihasilkan oleh
ovarium, plasenta dan korteks adrenal. Ekstrogen termasuk hormon katabolik
yang antara lain menekan dan menghambat resorpsi tulang (Lawrie, 2013).
Menurut Huxley cit. Tillman et al. (2011), adanya hubungan berat
bagian tubuh yang merupakan jaringan yang mudah dipisahkan (tulang, otot,
lemak) dengan keseluruhan BB. Bila komponen jaringan yang telah dipisah
diperbandingkan dengan bobot potong, maka tenyata tulang merupakan
komponen yang paling cepat berhenti pertumbuhannya disusul oleh otot, dan
lemak adalah komponen yang paling lambat berhenti pertumbuhannya.
Selama pertumbuhan, tulang tumbuh secara kontinu dengan laju pertumbuhan
yang relatif lambat, sedangkan pertumbuhan otot relatif lebih cepat, sehingga
perkembangan otot dengan tulang meningkat selama pertumbuhan. Sesuai
dengan pola pertumbuhan komponen karkas yang diawali dengan
pertumbuhan tulang yang cepat, kemudian setelah mencapai pubertas, laju
-
15
pertumbuhan otot menurun dan deposisi lemak meningkat, maka pada masa
periode penyelesaian (penggemukan atau fattening), pertumbuhan otot
menjadi lambat . Perkembangan otot terhambat karena terbatasnya ukuran
serabut otot pada umur yang berbeda. Setelah otot mencapai pertumbuhan
maksimal pertambahan berat otot terjadi terutama deposisi lemak
intramuskular. Lemak akan ditimbun selama pertumbuhan dan perkembangan
dan karkas ternak dewasa dapat mengandung lemak 30 - 40 %.
Terlepas dari pengaruh makanan, menurut Tillman et al. (2011) maka
tulang kepala dan kaki berkembang dengan kecepatan yang lebih tinggi
dibandingkan PB dan otot. Kecepatan pertumbuhan yaitu dari tulang kepala
dan kaki, PB dan otot, bagian dalam. Ningsih (2013) menyatakan, kecepatan
pertumbuhan tulang dapat dibedakan menjadi tiga kategori, yaitu
pertumbuhan tulang relatif cepat, sedang dan lambat. Tulang dengan laju
pertumbuhan relatif cepat adalah kepala, tengkuk (cervical vertebrae), paha,
kaki (depan dan belakang). Tulang yang tumbuh relatif sedang adalah rongga
dada (thorax) dan bahu (scapula). Tulang yang tumbuh relatif lambat adalah
pinggang (lumbar), rusuk (costae), dada dan pinggul (pelvic). Menurut Alipah
(2012), PB menggambarkan perkembangan tulang belakang (vertebrae) yang
terdiri dari tulang punggung (thoracic vertebrae), tulang pinggang (lumbar
vertebrae) dan tulang kelangkang (sacral vertebrae).
Meningkatnya bobot potong akan dihasilkan BK yang semakin
meningkat pula, sehingga dapat diharapkan bagian dari karkas yang berupa
daging menjadi lebih besar. Kambing jantan mengandung lebih banyak
daging dan tulang serta lebih sedikit lemak daripada kambing betina pada
-
16
bobot tubuh atau karkas yang sama (Soeparno, 2015). Ternak kambing akan
mengalami pertumbuhan BB sesuai dengan pertambahan usia. Umumnya
kambing setelah mencapai usia 18 bulan tidak lagi mengalami pertambahan
atau pertumbuhan BB meskipun diberi makanan yang berkualitas baik
(Murtidjo, 2013).
c. Pendugaan Umur Kambing
Menurut Pradana (2014) bahwa penentuan umur ternak biasanya
dilakukan oleh peternak dengan maksud-maksud tertentu. Adapun tujuan
daripada penentuan umur ternak pada umumnya adalah untuk penentuan bibit
yaitu apabila diinginkan memilih ternak yang setepat-tepatnya untuk tujuan
bibit, tujuan pemeliharaan, yaitu untuk mengetahui sampai umur berapa ternak
tersebut masih produktif untuk dipelihara, tujuan preventif, yaitu terutama
pada ternak yang tidak sehat agar dapat dengan tepat diketahui dosis
pengobatan dan untuk menghindari pemalsuan pada proses jual beli ternak
terutama dipasaran. Menurut Israil (2012), pada hewan-hewan tertentu,
umurnya dapat diketahui atau diduga dengan melihat catatan kelahiran,
melihat lingkaran tanduk seperti pada ternak sapi dan kerbau, melihat cabang
tanduk untuk rusa dan kijang, memperhatikan tumbuh dan pergantian gigi
pada kuda dan ternak ruminansia.
Pendugaan umur kambing dapat diketahui dengan melihat perubahan
gigi serinya. Cara ini dapat memberikan gambaran atau petunjuk yang dapat
dipercaya kepada kita tentang umur ternak tersebut. Terkadang terjadi ketidak
teraturan dimana gigi tidak muncul pada urutan yang biasanya, atau pada
umur yang biasanya gigi itu sudah tumbuh. Pemeriksaan gigi masih tetap cara
-
17
yang paling tepat untuk menentukan umur ternak apabila catatan kelahiran
tidak ada (Wodzicka, 2013).
Menurut Sumoprastowo (2013), tumbuhnya gigi, dapat dibedakan
antara gigi sulung atau gigi susu, yaitu gigi yang tumbuh terdahulu yang akan
mengalami pergantian. Gigi seri sulung mudah dibedakan dengan gigi seri
tetap. Gigi seri sulung lebih kecil, tajam, tipis dan putih. Biasanya anak
kambing yang baru dilahirkan telah mempunyai 2 buah gigi seri sulung.
Menginjak umur kurang lebih satu bulan semua gigi seri sulung telah lengkap.
Pergantian gigi sulung dengan gigi seri tetap terjadi pada umur ; 1,0 – 1,5
tahun sepasang gigi seri sulung dalam berganti, 1,5 – 2,0 tahun sepasang gigi
seri sulung tengah dalam berganti, 2,5 – 3,0 tahun sepasang gigi seri sulung
tengah luar berganti dan 3,5 – 4,0 tahun sepasang gigi seri sulung luar
berganti.
Dalam segi manajemen, pemotongan ternak pada umur yang cukup
muda sangat menguntungkan, karena waktu yang dibutuhkan untuk
pemeliharaan ternak potong cukup singkat sehingga biaya pemeliharaan lebih
murah. Untuk mendapatkan BK sekitar 8 kg, kambing lokal yang dipelihara
di pedesaan dapat dipotong pada bobot 20 kg ketika berumur 7 bulan,
sedangkan untuk mendapatkan bobot karkas sekitar 11 dan 14 kg, kambing
lokal dapat dipotong pada bobot 25 kg ketika berumur 9 bulan dan 30 kg
ketika berumur 12 bulan (Purbowati., 2015). Umumnya anak kambing
mencapai 75% dari berat dewasa pada umur 1 tahun. Pertumbuhan pada tahun
pertama sekitar 50% BB dan dicapai selama 3 bulan pertama, 25% pada 3
bulan kedua, dan 25% dalam 6 bulan terakhir (Sumoprastowo, 2013).
-
18
d. Ukuran Tubuh Kambing
Wicaksana (2017) menyatakan bahwa data mengenai ukuran tubuh
ternak sangat diperlukan, baik untuk memperkirakan BB maupun untuk
melaksanakan program seleksi. Ukuran bagian-bagian tubuh ternak dapat
menggambarkan kemampuan untuk berprestasi produksi bagi seekor ternak.
Data tentang ukuran tubuh tersebut antara lain LD, PB, tinggi gumba, dan
tinggi pinggul. Menurut Israil et al. (1992) bahwa umur dapat mempengaruhi
bentuk hewan. Bentuk ukuran tubuh ini penting untuk keperluan penilaian,
keperluan breeding (ketika ternak puber, dewasa kelamin, dewasa tubuh,
perkawinan, produktivitas dan lain-lain), Penentuan harga dan penjualan
ternak, mengetahui prestasi kerja dan produksi ternak, untuk efisiensi
pemeliharaan (pada hewan muda yang membutuhkan pakan banyak dan
pemeliharaan yang lama).
Meramalkan kapasitas produksi dan reproduksi dari seekor ternak,
maka perlu menilik organ bagian tubuh tertentu atau menilik ciri-ciri exterior
ternak yang mempunyai kaita n erat terhadap gambaran produksi dan
reproduksinya. Adapun bagian tubuh yang mempunyai hubungan yang erat
dengan produksi adalah BB, PB dan LD (Nurhusein, 2015). Secara umum
pentingnya ukuran-ukuran tubuh membantu mengenal identitas dari
karakteristis di dalam bangsa-bangsa hewan. Ukuran bagian-bagian tubuh
sangat erat hubungannya dengan pertumbuhan tubuh. Ukuran LD mempunyai
hubungan korelasi terhadap BB atau BK, sehingga dilapangan seseorang dapat
menaksir BB dengan melihat LD (Soenarjo, 2018). Joubert (2018),
menyatakan bahwa ada korelasi antara BB dengan ukuran-ukuran tubuh,
-
19
dikatakan lebih lanjut bahwa setiap LD bertambah 1 %, BB bertambah kurang
lebih 3 %.
Hasil penelitian Nurhusein (2005) pada DET jantan di Kabupaten
Kulon Progo menjelaskan, adapun bagian-bagian tubuh yang mempunyai
hubungan yang erat dengan produksi ternak termasuk adalah BB dan PB.
Gunawan (2018) menambahkan, PB merupakan ukuran tubuh yang memiliki
nilai korelasi yang berpengaruh dalam pendugaan BB pada domba garut
tangkas. Hal ini menunjukkan bahwa PB merupakan parameter yang dapat
digunakan dalam menduga BB selain LD. Menurut Herman (2012) bahwa
sebagai penduga BB, LD mempunyai proses pertumbuhan terakhir karena LD
masih lebih mengikuti pertambahan BB selama hewan tumbuh dibandingkan
dengan ukuran tubuh lain.
e. Bobot Potong Kambing
Bobot potong merupakan hasil dari penimbangan ternak sesaat
sebelum dilakukan penyembelihan. Besarnya bobot potong akan
mempengaruhi bobot karkas dan persentase karkas yang dihasilkan. Bobot
potong yang semakin meningkat akan menghasilkan karkas yang semakin
tinggi pula, sehingga dapat diharapkan bagian dari karkas yang berupa daging
menjadi lebih besar (Ariadi, 2017). Setiap kenaikan bobot potong selalu
diikuti dengan kenaikan bobot karkas yang dapat diartikan bahwa kenaikan
bobot potong berhubungan dengan pertumbuhan dan perkembangan dari
bagian-bagian tubuh atau karkas (Nusi, 2011).
Umur mempengaruhi bobot potong suatu ternak, semakin lama ternak
dipelihara maka semakin besar pula bobot potongnya. Waktu untuk mencapai
-
20
bobot potong sangat berhubungan erat dengan biaya yang dikeluarkan oleh
peternak dan berdampak pada keuntungan yang akan diperoleh (Siagian dkk.,
2015). Biaya produksi yang besar mengakibatkan peternak menghentikan
pemeliharaan ternaknya dan menjual dengan bobot badan apa adanya. Hal
tersebut mengakibatkan pemotongan ternak oleh jagal tidak memperhatikan
bobot potong yang ideal dan kondisi ternak yang berkaitan dengan umur.
Beragamnya bobot potong dan umur ternak dapat menyebabkan produksi
karkas yang dihasilkan juga beragam baik kualitas maupun kuantitasnya
(Haryoko, 2012). Pengaturan bobot potong perlu dilakukan dengan harapan
dapat diperoleh jumlah dan mutu daging yang lebih baik yang sesuai dengan
selera dan kebutuhan konsumen.
f. Karkas Kambing
Secara umum hasil pemotongan ternak dapat dibagi menjadi dua
bagian yaitu karkas dan non karkas. Definisi karkas menurut Kaić dkk. (2012)
yaitu bagian tubuh ternak hasil pemotongan setelah pengeluaran darah,
pengulitan, dihilangkan kepala, kaki bagian bawah (diantara tulang carpus dan
metacarpu untuk kaki depan, serta diantara tulang tarsus dan metatarsus
untuk kaki belakang), ekor, serta organ dalam rongga dada dan perut. Menurut
Badan Standarisasi Nasional (2018) karkas didefinisikan bagian dari tubuh
ternak sehat yang telah disembelih secara halal, telah dikuliti, dikeluarkan
jeroan, dipisahkan kepala dan kaki mulai dari tulang tarsus sampai metatarsus
dan tulang carpus sampai metacarpus, organ reproduksi dan ambing, ekor,
serta lemak yang berlebih.
-
21
Karkas rnerupakan komponen tubuh ternak yang bernilai ekonomis
tinggi dan secara praktis dapat digunakan sebagai satuan produksi yang
komposisi dan proporsinya dapat digunakan sebagai kriteria keberhasilan
usaha ternak pedaging (Prawoto, 2015). Bobot karkas merupakan salah satu
parameter dengan nilai yang bervariasi, hal tersebut disebabkan karena kondisi
ternak, jenis kelamin, bangsa dan umur saat penyembelihan (Mahgoub.,
2012). Bobot karkas sangat dipengaruhi oleh bobot badan, semakin tinggi
bobot badan semakin tinggi pula bobot karkas (Kirton, 2012).
g. Persentase Karkas Kambing
Persentase karkas merupakan faktor penting dalam menentukan
potensi hasil daging dari ternak yang dipotong. Persentase karkas merupakan
perbandingan antara bobot karkas dengan bobot hidup saat dipotong
(dikurangi isi saluran pencernaan dan urin) dikalikan dengan 100% (Solaiman,
2015). Menurut Berg dan Butterfield (2016) persentase karkas diperoleh
dengan cara membandingkan antara bobot karkas dengan bobot potong,
dikalikan 100%. Pada umumnya bobot karkas panas, yaitu bobot karkas yang
diambil setelah pengulitan serta pengeluaran isi sebelum karkas tersebut
didinginkan (chilling), digunakan untuk menghitung persentase karkas panas.
Persentase karkas kambing bervariasi yaitu sebesar 38,5-52,3% (Mahgoub.,
2012). Beberapa hasil penelitian mengenai bobot potong, bobot karkas dan
persentase karkas dapat dilihat pada table berikut ini:
-
22
Tabel 2.3 Rata-rata Bobot Karkas Dan Persentase Karkas Dari Berbagai Jenis Bangsa Kambing Pada Kelompok Bobot Badan Yang Berbeda
Persentase karkas dipengaruhi oleh bobot potong dan bobot komponen
tubuh yang terdiri dari komponen karkas dan komponen non karkas
(Purbowati, 2011). Faktor-faktor yang paling besar mempengaruhi persentase
karkas yaitu isi perut dan usus, berat kulit dan bulu, kondisi perototan, dan
kondisi perlemakan (Boggs dan Merkel, 2013). Menurut Judge dkk. (2015)
selain tingkat kegemukan dan isi saluran pencernaan, perototan juga ikut
berpengaruh terhadap persentase karkas, semakin kompak perototan seekor
ternak, maka persentase karkas semakin baik
h. Non Karkas Kambing
Proses pemotongan ternak selain menghasilkan karkas, juga dihasilkan
produk ikutan atau disebut non karkas. Non karkas didefinisikan sebagai
seluruh bagian tubuh ternak selain karkas yang bernilai ekonomis dan
diperoleh dari proses pemotongan dengan nilai kegunaannya kurang dari
produk utama (Aberle., 2011). Forrest (2015) mengklasifikasikan non karkas
menjadi dua bagian, yaitu edible offal dan inedible offal. Edible offal adalah
-
23
bagian sisa karkas yang masih layak dimakan, seperti lidah, hati, jantung,
paru-paru, otak, limpa, dan saluran pencernaan, sedangkan inedible offal
adalah bagian sisa karkas yang tidak layak dimakan, seperti tanduk, kuku,
tulang dahi atau tulang kepala. Penetapan layak atau tidaknya organ tubuh
yang dikonsumsi masyarakat sangat dipengaruhi oleh etika dan budaya.
Bagian non karkas yang dapat dikonsumi oleh masyarakat di Indonesia
menurut Lestari (2010) yaitu darah, kulit, kepala, ekor, dan organ dalam
seperti hati, jantung, paru-paru, dan saluran pencernaan.
Kadar laju pertumbuhan relatif beberapa komponen non karkas hampir
sama dengan laju pertumbuhan tubuh (Soeparno, 2015). Komponen tubuh
ternak sebagai penyusun karkas dan non karkas secara kumulatif bertambah
bobotnya akan tetapi persentase komponen tubuh tersebut (kecuali lemak)
terhadap bobot badan semakin menurun (Berg dan Butterfield, 2016).
Pertumbuhan non karkas menunjukkan adanya variasi dalam setiap organnya
(Lawrie, 2015).
Faktor yang mempengaruhi produksi non karkas antara lain bobot
potong, bangsa, umur dan pakan. Factor-faktor yang mempengaruhi
pertumbuhan komponen non karkas yaitu status gizi, genotip, dan status
fisiologi terna (Lestari., 2010). Widiarto dkk. (2009) melaporkan hasil
penelitiannya pada kambing Jawarandu betina dengan kelompok bobot badan
yang berbeda menghasilkan persentase bobot non karkas seperti pada table
berikut ini:
-
24
Tabel 2.4 Persentase Kulit, Kaki, Kepala, Jantung, Hati, Paru-paru dan Saluran Pencernaan Kambing
2.2 Penelitian Terdahulu
Penelitian terdahulu yang menjadi acuan dalam penelitian ini adalah
penelitian yang dilakukan oleh Ariadi (2016), hasil penelitian ini adalah bobot
karkas dan bobot non karkas meningkat seiring dengan meningkatnya bobot
potong. Terdapat hubungan yang erat antara bobot potong dengan bobot karkas
dan bobot non karkas, sedangkan antara bobot potong dengan persentase karkas
dan non karkas tidak terdapat hubungan. Penelitian lainnya yang dijadikan
rujukan dalam penulisan skripsi ini adalah penelitian yang dilakukan oleh Al
Afkari (2018), hasil dari penelitian ini adalah kenaikan bobot potong dan bobot
karkas akan diikuti dengan kenaikan edible portion karkas dan rib eye muscle
area, sedangkan bobot potong dan bobot karkas tidak dapat digunakan untuk
menduga yield grade. Penelitian yang dilakukan oleh Hakim (2016), hasil
penelitian yang dicapai yaitu terdapat hubungan yang erat antara ukuran tubuh
yang meliputi: panjang badan; lingkar dada; tinggi badan dan tinggi kemudi
dengan bobot badan dan bobot karkas kambing lokal betina di RPH Kambing
Surakarta. Penelitian yang dilakukan Salman (2016), Hasil penelitian
-
25
menunjukkan bahwa bagian karkas kualitas satu kambing Kacang jantan dan
Betina yang dipelihara secara intensif tidak berpengaruh nyata (P > 0.05).
Penelitian yang dilakukan oleh Afriliyanti (2017), hasil penelitian menunjukkan
bahwa penambahan kulit singkong dalam ransum tidak berpengaruh terhadap
bobot potong, bobot kosong, bobot karkas dan bobot non karkas, tetapi memberi
pengaruh pada persentase karkas dan komponen bobot non karkas, yaitu hati dan
empedu ternak kambing yang digunakan. Persentase karkas meningkat hingga
8,11% pada penambahan 60% kulit singkong dalam ransum dibandingkan dengan
tanpa penambahan kulit singkong. Komponen non karkas hati dan empedu
meningkat hingga 26,05% pada penambahan 40% kulit singkong dibandingkan
dengan tanpa penambahan kulit singkong dalam ransum.
Penelitian yang telah dilakukan sebelumnya, maka peneliti mengangkat
topik penelitian yang sama yaitu tentang jenis hewan ternak kambing yang
dijadikan sebagai objek di dalam penelitian, lokasi penelitian yang dilakukan di
rumah potong, dan subjek peneltian yang digunakan adalah bobot potong dan
bobot karkas. Sedangkan yang membedakan dengan penelitian teerdahulu yaitu
pemilihan jenis kambing dan jenis kelamin tidak digunakan sebagai parameter
didalam penelitian ini, namun hanya menggunakan kriteria usia kambing yang
terdiri dari usia dibawah 1 tahun dan usia diatas 1 tahun, serta metode didalam
pengukuran bobot kambing yang hanya menggunakan alat timbang untuk
mengukur bobotnya.
2.3 Hipotesis
Dengan adanya tujuan dan latar belakang diatas dapat dibuat hipotesis
sebagai berikut:
-
26
1. Adanya pengaruh antara bobot potong terhadap bobot karkas kambing usia di
bawah satu tahun di RPH Gadang Kota Malang.
2. Adanya pengaruh antara bobot potong terhadap bobot karkas kambing usia di
atas satu tahun di RPH Gadang Kota Malang.