BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Landasan Teori a. Kambing …eprints.umm.ac.id/63130/3/BAB II.pdf ·...

21
6 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Landasan Teori a. Kambing Peranakan Etawa Kambing merupakan hewan domestikasi tertua yang telah bersosialisasi dengan manusia lebih dari 1000 tahun. Kambing tergolong pemamah biak, berkuku genap dan memiliki sepasang tanduk yang melengkung. Kambing merupakan hewan pegunungan hidup dilereng-lereng yang curam yang meiliki sifat adaptasi yang cukup baik terhadap perubahan musim (Sarwono,2009). Sodiq dan Abidin (2008) menyatakan bahwa kambing Etawa berasal dari wilayah Jamnapari (India), sehingga kambing ini disebut juga sebagai kambing Jamnapari. Kambing Etawa merupakan kambing yang paling populer di Asia Tenggara. Di negara asalnya kambing Etawa termasuk kambing tipe dwiguna, yaitu sebagai penghasil susu dan daging. Kambing Etawa memiliki postur tubuh besar, telinga panjang menggantung, bentuk muka cembung serta bulu dibagian paha belakang sangat panjang. Gambar 2.1 Kambing Etawa

Transcript of BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Landasan Teori a. Kambing …eprints.umm.ac.id/63130/3/BAB II.pdf ·...

  • 6

    BAB II

    TINJAUAN PUSTAKA

    2.1 Landasan Teori

    a. Kambing Peranakan Etawa

    Kambing merupakan hewan domestikasi tertua yang telah

    bersosialisasi dengan manusia lebih dari 1000 tahun. Kambing tergolong

    pemamah biak, berkuku genap dan memiliki sepasang tanduk yang

    melengkung. Kambing merupakan hewan pegunungan hidup dilereng-lereng

    yang curam yang meiliki sifat adaptasi yang cukup baik terhadap perubahan

    musim (Sarwono,2009).

    Sodiq dan Abidin (2008) menyatakan bahwa kambing Etawa berasal

    dari wilayah Jamnapari (India), sehingga kambing ini disebut juga sebagai

    kambing Jamnapari. Kambing Etawa merupakan kambing yang paling populer

    di Asia Tenggara. Di negara asalnya kambing Etawa termasuk kambing tipe

    dwiguna, yaitu sebagai penghasil susu dan daging. Kambing Etawa memiliki

    postur tubuh besar, telinga panjang menggantung, bentuk muka cembung serta

    bulu dibagian paha belakang sangat panjang.

    Gambar 2.1 Kambing Etawa

  • 7

    Mulyono dan Sarwono (2010) menyatakan kambing Peranakan Etawa

    (PE) merupakan hasil persilangan antara kambing Etawa dari India dengan

    kambing kacang yang penampilannya mirip Etawa tapi lebih kecil. Kambing

    Peranakan Etawa (PE) memiliki dua kegunaan, yaitu sebagai penghasil susu

    (perah) dan kambing potong.

    Subandriyo (1995) menyatakan bahwa ciri khas kambing Peranakan

    Etawa (PE) antara lain bentuk muka cembung melengkung dan dagu

    berjanggut, telinga panjang, lembek menggantung, dan ujungnya agak

    berlipat, ujung tanduk agak melengkung, tubuh tinggi, pipih, bentuk garis

    punggung yang mengombak ke belakang, bulu tumbuh panjang di bagian

    leher, pundak, punggung dan paha, bulu panjang dan tebal. Warna bulu ada

    yang tunggal putih, hitam dan coklat, tetapi jarang ditemukan. Kebanyakan

    terdiri dari dua atau tiga pola warna, yaitu belang hitam, belang coklat dan

    putih betotol hitam.

    Budisatria et al., (2009) melaporkan bahwa kambing (Capra hircus

    aegagrus) merupakan hewan yang pertama didomestikasi oleh manusia, hidup

    di daerah sulit dan berbatu. Penjinakan kambing diperkirakan terjadi didaerah

    Pegunungan Asia Barat selama abad ke-7 sampai ke-9 sebelum masehi.

    Kambing termasuk dalam bangsa Caprinae, famili Bovidae, sub famili

    Caprianea,spesies Artidactyla dan subordo Ruminansia. Karakteristik rataan

    permukaan ukuran tubuh (fenotipe) kambing peranakan etawa (PE) dapat di

    lihat tabel di bawah ini:

  • 8

    Tabel 2.1 Rataan Morfometrik Tubuh Kambing Peranakan Etawa Parameter Betina Dewasa Jantan Dewasa

    Berat Badan (kg) 40.50 60.00 Panjang Badan (cm) 81.00 81.00 Tinggi Pundak (cm) 76.00 84.00 Tinggi Pinggul (cm) 80.10 96.80 Lebar Dada (cm) 12.40 15.70 Lingkar Dada (cm) 80.10 99.50 Panajang Tanduk (cm) 6.500 15.00 Panjang Telinga (cm) 12.00 15.00 Panjang Ekor (cm) 19.00 25.00 Lebar Ekor (cm) 2.500 3.600

    Sumber: Subandriyo (1995)

    Kementrian Pertanian RI telah menetapkan standar bibit untuk

    kambing peranakan etawa (PE) melalui Peraturan Menteri Pertanian No.19/

    Permetan/OT.140/3/2012 tentang persyaratan mutu benih, bibit ternak dan

    sumber daya genetik hewan yang dapat dilihat pada table di bawah ini:

    Tabel 2.2 Standar Morfometrik Bibit Kambing Peranakan Etawa No.

    Parameter Satuan Jenis Kelamin

    Umur 0,5-1 >1-2 >2-4

    1 Bobot Badan

    Kg Jantan Betina

    29.00-50.0 22.00-50.0

    40.00-90.0 34.00-60.0

    54.00-11.0 41.00-70.0

    2 Tinggi

    Pundak

    Cm Jantan

    Betina

    67.00-50.0

    60.00-50.0

    75.00-80.0

    71.00-50.0

    87.00-50.0

    75.00-50.0

    3 Panjang

    Badan

    Cm Jantan

    Betina

    53.00-80.0

    50.00-50.0

    61.00-70.0

    57.00-50.0

    57.00-50.0

    60.00-50.0

    4 Lingkar

    Dada

    Cm Jantan

    Batina

    71.00-60.0

    63.00-60.0

    80.00-80.0

    76.00-70.0

    89.00-80.0

    81.00-70.0

    5 Panjang

    Telinga

    Cm Jantan

    Betina

    23.00-30.0

    24.00-30.0

    26.00-30.0

    26.00.30.0

    27.00-30.0

    27.00-30.0

    Sumber: Kementrian Pertanian (2012)

    Kambing Peranakan Etawa memiliki beberapa tip eras, antara lain

    sebagai berikut:

    1) Peranakan Etawa Kaligesing

  • 9

    PE Kaligesing merupakan hasil persilangan antara kambing jamnapari

    atau etawa yang masuk ke Indonesia pada tahun 1930 dengan kambing lokal

    di daerah Kaligesing, Purworejo, Jawa Tengah. PE Kaligesing mampu

    memproduksi susu antara 0,5-3 liter per hari. Dalam hal reproduksi, kambing

    ini memiliki kecenderungan melahirkan anak kembar atau lebih dari satu.

    Kambing kaligesing mudah diternak karena mudah beradaptasi dengan

    lingkungan dan tidak pilih-pilih pakan (Kaleka dan Haryadi, 2013). PE

    kaligesing memiliki ciri fisik antara lain postur tubuh besar, tegap, dan kokoh.

    Warna bulunya merupakan kombinasi hitam dan putih, bagian kepala

    berwarna hitam. Kepalanya tegak dengan muka cembung. Kambing ini

    memiliki tanduk yang kecil melengkung ke belakang Telinganya lebar,

    panjang, menggantung, dan ujungnya melipat. Ekornya pendek dan mengarah

    ke atas atau ke belakang. Kaki belakangnya berbulu lebat dan panjang (Kaleka

    dan Haryadi, 2013).

    Dalam Keputusan Menteri Pertanian Nomor 2591/Kpts/PD.400/7/2010

    tentang penetapan galur kambing kaligesing disebutkan bahwa Kambing

    Kaligesing mempunyai ciri khas yang tidak dimiliki oleh kambing galur

    lainnya dan merupakan sumber daya genetik lokal Jawa Tengah yang perlu

    dijaga dan dipelihara kelestariannya. Adapun deskripsinya adalah sebagai

    berikut:

    Nama Galur Kambing Kaligesing

    Karakteristik Kambing Kaligesing antara lain :

    Postur tubuh : besar, tegap dan kokoh

    Warna bulu : Kombinasi putih- hitam atau putih-coklat

  • 10

    Kepala : tegak, profil melengkung/muka cembung

    Tanduk : kecil melengkung mengarah ke belakang

    Telinga : lebar, panjang, dan megantung

    Ekor : pendek dan mengarah ke atas/ke belakang

    Kaki belakang : berbulu lebat dan panjang (gambol)

    Sifat Kuantitatif

    Kesuburan induk : 74 – 75 %

    Angka kelahiran : 40 – 85 %

    Persentase Karkas : 40 – 53 %

    Kadar Lemak daging : 2 – 7 %

    Kemampuan hidup hingga dewasa : 80 – 82 %

    Produksi susu : 0,5 – 3,0 liter/hari

    Sifat Kualitatif

    Kemampuan melahirkan anak lebih dari Satu : baik

    Daya adaptasi terhadap lingkungan : baik

    Daya adaptasi terhadap cekaman panas : baik

    Kemampuan mencerna pakan berserat tinggi : baik

    Sifat Reproduksi

    Umur berahi pertama : 294 – 304 hari

    Lama bunting : 149 – 154 hari

    Umur beranak pertama : 348 – 443 hari

    Jarak beranak (Kidding interval) : 221 – 253 hari

    Jumlah anak sekelahiran (litter size) : 1,2 – 1,50

    Angka kebuntingan : 81 – 91 %

  • 11

    Gambar 2.2 Kambing Peranakan Etawa Kaligesing

    2) Peranakan Etawa Senduro

    Tahun 1947 kambing Jamnapari dari Etawa, Uttar Pradesh, India,

    dimasukkan ke Indonesia untuk disilangkan dengan kambing menggolo.

    Kambing menggolo merupakan kambing lokal di daerah Senduro, Lumajang,

    Jawa Timur, yang terletak di kaki Gunung Semeru. Hasil persilangan ini

    menghasilkan kambing Etawa ras Senduro atau disebut PE Senduro (Kaleka

    dan Haryadi, 2013). PE Senduro memiliki kemampuan produksi susu yang

    sama dengan PE Kaligesing, begitu juga dengan reproduksinya. Ciri

    fisiknyapun hampir sama, hanya pola warna pada tubuhnya yang berbeda.

    Bulu kambing PE Senduro didominasi warna putih sehingga sering disebut

    dengan Senduro putih (Kaleka dan Haryadi, 2013).

    Gambar 2.3 Kambing Peranakan Etawa Senduro

  • 12

    3) Peranakan Etawa Jawarandu

    Kambing PE Jawarandu merupakan hasil persilangan antara kambing

    Jamnapari atau Etawa dengan kambing kacang yang juga dikenal dengan

    kambing Bligon, Gumbolo, atau Koplo. Ciri fisiknya memperlihatkan

    kemiripan dengan kambing PE Kaligesing maupun PE Senduro. Hanya saja,

    kambing PE Jawarandu memiliki warna bulu kombinasi putih dan cokelat.

    Potensi produksi susu PE Jawarandu bisa mencapai 1,5 liter per hari (Kaleka

    dan Haryadi, 2013).

    Gambar 2.3 Kambing Peranakan Etawa Senduro

    b. Pertumbuhan Kambing

    Pertumbuhan adalah perubuhan ukuran yang mencakup perubahan BB,

    bentuk, dimensi linear dan komposisi tubuh termasuk perubahan komponen-

    komponen tubuh seperti otot, lemak, tulang dan organ serta komponen-

    komponen kimia, terutama air, lemak protein dan abu pada karkas (Soeparno,

    2015). Pertumbuhan meliputi proses pembangunan sel-sel baru berlipat ganda,

    menjadi besar dengan sendirinya terjadi proses asimilasi materi dari luar.

    Perkembangan yaitu adanya kerja sama dari proses tadi mulai lahir hingga

    dewasa, sehingga ukuran-ukuran tubuh menunjukkan perubahan bentuk

    sampai hewan tersebut dewasa. Kadar laju pertumbuhan dan BB adalah

    factor-faktor yang mempunyai hubungan erat antara satu dengan yang lain,

  • 13

    dan biasanya dapat secara individu atau kombinasi mempengaruhi komposisi

    tuuh atau karkas (Soenarjo, 2018).

    Pertumbuhan pada ternak mamalia menurut Anggorodi (2016) dapat

    dibagi menjadi 2 periode yaitu prenatal dan postnatal. Periode prenatal

    pertumbuhan terjadi sejak waktu ovum di buahi sampai individu tersebut lahir.

    Laju pertumbuhan postnatal mula-mula terjadi sangat lambat, kemudian cepat,

    selanjutnya berangsur-angsur menurun atau melambat dan berhenti,

    sedangkan tulang rusuk masih dapat tumbuh dan berkembang karena rusuk

    merupakan tulang yang perkembangannya paling akhir. Tillman (2016)

    menambahkan, pertumbuhan mempunyai tahap yang cepat dan lambat, tahap

    cepat terjadi pada saat-saat sampai pubertas dan tahap lambat terjadi pada

    saat-saat kedewasaan tubuh telah tercapai. Tahap-tahap pertumbuhan ternak

    membentuk gambaran sigmoid pada grafik pertumbuhan yang akan

    ditampilkan berikut ini:

    Gambar 2.1 Kurva Sigmoid Pertumbuhan Ternak Kambing

    Faktor-faktor yang mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan

    antara lain jenis kelamin, hormon dan konsumsi pakan. Jenis kelamin dapat

    menyebabkan perbedaan laju pertumbuhan. Pertumbuhan ternak diatur oleh

  • 14

    hormon, baik secara langsung maupun tidak langsung. Androgen adalah suatu

    hormon kelamin yang termasuk sebagai hormon pengatur atau stimulan

    pertumbuhan. Hormon kelamin jantan ini mengakibatkan pertumbuhan lebih

    cepat pada ternak jantan dibandingkan ternak betina. Pada hampir semua

    hewan, walau betina lebih cepat mencapai dewasa, namun jantan lebih besar

    dan lebih berat daripada betina. Somatotropic hormone (STH) berasal dari

    kelenjar pituitary bagian anterior dan mempunyai fungsi mengatur

    pertumbuhan normal ternak muda serta metabolisme normal pada ternak

    dewasa, mengatur pertumbuhan kerangka. Androgen seperti halnya STH, juga

    menstimulasi sintesis protein terutama di dalam otot dan penurunan

    kandungan lemak tubuh. Hormon betina atau estrogen dihasilkan oleh

    ovarium, plasenta dan korteks adrenal. Ekstrogen termasuk hormon katabolik

    yang antara lain menekan dan menghambat resorpsi tulang (Lawrie, 2013).

    Menurut Huxley cit. Tillman et al. (2011), adanya hubungan berat

    bagian tubuh yang merupakan jaringan yang mudah dipisahkan (tulang, otot,

    lemak) dengan keseluruhan BB. Bila komponen jaringan yang telah dipisah

    diperbandingkan dengan bobot potong, maka tenyata tulang merupakan

    komponen yang paling cepat berhenti pertumbuhannya disusul oleh otot, dan

    lemak adalah komponen yang paling lambat berhenti pertumbuhannya.

    Selama pertumbuhan, tulang tumbuh secara kontinu dengan laju pertumbuhan

    yang relatif lambat, sedangkan pertumbuhan otot relatif lebih cepat, sehingga

    perkembangan otot dengan tulang meningkat selama pertumbuhan. Sesuai

    dengan pola pertumbuhan komponen karkas yang diawali dengan

    pertumbuhan tulang yang cepat, kemudian setelah mencapai pubertas, laju

  • 15

    pertumbuhan otot menurun dan deposisi lemak meningkat, maka pada masa

    periode penyelesaian (penggemukan atau fattening), pertumbuhan otot

    menjadi lambat . Perkembangan otot terhambat karena terbatasnya ukuran

    serabut otot pada umur yang berbeda. Setelah otot mencapai pertumbuhan

    maksimal pertambahan berat otot terjadi terutama deposisi lemak

    intramuskular. Lemak akan ditimbun selama pertumbuhan dan perkembangan

    dan karkas ternak dewasa dapat mengandung lemak 30 - 40 %.

    Terlepas dari pengaruh makanan, menurut Tillman et al. (2011) maka

    tulang kepala dan kaki berkembang dengan kecepatan yang lebih tinggi

    dibandingkan PB dan otot. Kecepatan pertumbuhan yaitu dari tulang kepala

    dan kaki, PB dan otot, bagian dalam. Ningsih (2013) menyatakan, kecepatan

    pertumbuhan tulang dapat dibedakan menjadi tiga kategori, yaitu

    pertumbuhan tulang relatif cepat, sedang dan lambat. Tulang dengan laju

    pertumbuhan relatif cepat adalah kepala, tengkuk (cervical vertebrae), paha,

    kaki (depan dan belakang). Tulang yang tumbuh relatif sedang adalah rongga

    dada (thorax) dan bahu (scapula). Tulang yang tumbuh relatif lambat adalah

    pinggang (lumbar), rusuk (costae), dada dan pinggul (pelvic). Menurut Alipah

    (2012), PB menggambarkan perkembangan tulang belakang (vertebrae) yang

    terdiri dari tulang punggung (thoracic vertebrae), tulang pinggang (lumbar

    vertebrae) dan tulang kelangkang (sacral vertebrae).

    Meningkatnya bobot potong akan dihasilkan BK yang semakin

    meningkat pula, sehingga dapat diharapkan bagian dari karkas yang berupa

    daging menjadi lebih besar. Kambing jantan mengandung lebih banyak

    daging dan tulang serta lebih sedikit lemak daripada kambing betina pada

  • 16

    bobot tubuh atau karkas yang sama (Soeparno, 2015). Ternak kambing akan

    mengalami pertumbuhan BB sesuai dengan pertambahan usia. Umumnya

    kambing setelah mencapai usia 18 bulan tidak lagi mengalami pertambahan

    atau pertumbuhan BB meskipun diberi makanan yang berkualitas baik

    (Murtidjo, 2013).

    c. Pendugaan Umur Kambing

    Menurut Pradana (2014) bahwa penentuan umur ternak biasanya

    dilakukan oleh peternak dengan maksud-maksud tertentu. Adapun tujuan

    daripada penentuan umur ternak pada umumnya adalah untuk penentuan bibit

    yaitu apabila diinginkan memilih ternak yang setepat-tepatnya untuk tujuan

    bibit, tujuan pemeliharaan, yaitu untuk mengetahui sampai umur berapa ternak

    tersebut masih produktif untuk dipelihara, tujuan preventif, yaitu terutama

    pada ternak yang tidak sehat agar dapat dengan tepat diketahui dosis

    pengobatan dan untuk menghindari pemalsuan pada proses jual beli ternak

    terutama dipasaran. Menurut Israil (2012), pada hewan-hewan tertentu,

    umurnya dapat diketahui atau diduga dengan melihat catatan kelahiran,

    melihat lingkaran tanduk seperti pada ternak sapi dan kerbau, melihat cabang

    tanduk untuk rusa dan kijang, memperhatikan tumbuh dan pergantian gigi

    pada kuda dan ternak ruminansia.

    Pendugaan umur kambing dapat diketahui dengan melihat perubahan

    gigi serinya. Cara ini dapat memberikan gambaran atau petunjuk yang dapat

    dipercaya kepada kita tentang umur ternak tersebut. Terkadang terjadi ketidak

    teraturan dimana gigi tidak muncul pada urutan yang biasanya, atau pada

    umur yang biasanya gigi itu sudah tumbuh. Pemeriksaan gigi masih tetap cara

  • 17

    yang paling tepat untuk menentukan umur ternak apabila catatan kelahiran

    tidak ada (Wodzicka, 2013).

    Menurut Sumoprastowo (2013), tumbuhnya gigi, dapat dibedakan

    antara gigi sulung atau gigi susu, yaitu gigi yang tumbuh terdahulu yang akan

    mengalami pergantian. Gigi seri sulung mudah dibedakan dengan gigi seri

    tetap. Gigi seri sulung lebih kecil, tajam, tipis dan putih. Biasanya anak

    kambing yang baru dilahirkan telah mempunyai 2 buah gigi seri sulung.

    Menginjak umur kurang lebih satu bulan semua gigi seri sulung telah lengkap.

    Pergantian gigi sulung dengan gigi seri tetap terjadi pada umur ; 1,0 – 1,5

    tahun sepasang gigi seri sulung dalam berganti, 1,5 – 2,0 tahun sepasang gigi

    seri sulung tengah dalam berganti, 2,5 – 3,0 tahun sepasang gigi seri sulung

    tengah luar berganti dan 3,5 – 4,0 tahun sepasang gigi seri sulung luar

    berganti.

    Dalam segi manajemen, pemotongan ternak pada umur yang cukup

    muda sangat menguntungkan, karena waktu yang dibutuhkan untuk

    pemeliharaan ternak potong cukup singkat sehingga biaya pemeliharaan lebih

    murah. Untuk mendapatkan BK sekitar 8 kg, kambing lokal yang dipelihara

    di pedesaan dapat dipotong pada bobot 20 kg ketika berumur 7 bulan,

    sedangkan untuk mendapatkan bobot karkas sekitar 11 dan 14 kg, kambing

    lokal dapat dipotong pada bobot 25 kg ketika berumur 9 bulan dan 30 kg

    ketika berumur 12 bulan (Purbowati., 2015). Umumnya anak kambing

    mencapai 75% dari berat dewasa pada umur 1 tahun. Pertumbuhan pada tahun

    pertama sekitar 50% BB dan dicapai selama 3 bulan pertama, 25% pada 3

    bulan kedua, dan 25% dalam 6 bulan terakhir (Sumoprastowo, 2013).

  • 18

    d. Ukuran Tubuh Kambing

    Wicaksana (2017) menyatakan bahwa data mengenai ukuran tubuh

    ternak sangat diperlukan, baik untuk memperkirakan BB maupun untuk

    melaksanakan program seleksi. Ukuran bagian-bagian tubuh ternak dapat

    menggambarkan kemampuan untuk berprestasi produksi bagi seekor ternak.

    Data tentang ukuran tubuh tersebut antara lain LD, PB, tinggi gumba, dan

    tinggi pinggul. Menurut Israil et al. (1992) bahwa umur dapat mempengaruhi

    bentuk hewan. Bentuk ukuran tubuh ini penting untuk keperluan penilaian,

    keperluan breeding (ketika ternak puber, dewasa kelamin, dewasa tubuh,

    perkawinan, produktivitas dan lain-lain), Penentuan harga dan penjualan

    ternak, mengetahui prestasi kerja dan produksi ternak, untuk efisiensi

    pemeliharaan (pada hewan muda yang membutuhkan pakan banyak dan

    pemeliharaan yang lama).

    Meramalkan kapasitas produksi dan reproduksi dari seekor ternak,

    maka perlu menilik organ bagian tubuh tertentu atau menilik ciri-ciri exterior

    ternak yang mempunyai kaita n erat terhadap gambaran produksi dan

    reproduksinya. Adapun bagian tubuh yang mempunyai hubungan yang erat

    dengan produksi adalah BB, PB dan LD (Nurhusein, 2015). Secara umum

    pentingnya ukuran-ukuran tubuh membantu mengenal identitas dari

    karakteristis di dalam bangsa-bangsa hewan. Ukuran bagian-bagian tubuh

    sangat erat hubungannya dengan pertumbuhan tubuh. Ukuran LD mempunyai

    hubungan korelasi terhadap BB atau BK, sehingga dilapangan seseorang dapat

    menaksir BB dengan melihat LD (Soenarjo, 2018). Joubert (2018),

    menyatakan bahwa ada korelasi antara BB dengan ukuran-ukuran tubuh,

  • 19

    dikatakan lebih lanjut bahwa setiap LD bertambah 1 %, BB bertambah kurang

    lebih 3 %.

    Hasil penelitian Nurhusein (2005) pada DET jantan di Kabupaten

    Kulon Progo menjelaskan, adapun bagian-bagian tubuh yang mempunyai

    hubungan yang erat dengan produksi ternak termasuk adalah BB dan PB.

    Gunawan (2018) menambahkan, PB merupakan ukuran tubuh yang memiliki

    nilai korelasi yang berpengaruh dalam pendugaan BB pada domba garut

    tangkas. Hal ini menunjukkan bahwa PB merupakan parameter yang dapat

    digunakan dalam menduga BB selain LD. Menurut Herman (2012) bahwa

    sebagai penduga BB, LD mempunyai proses pertumbuhan terakhir karena LD

    masih lebih mengikuti pertambahan BB selama hewan tumbuh dibandingkan

    dengan ukuran tubuh lain.

    e. Bobot Potong Kambing

    Bobot potong merupakan hasil dari penimbangan ternak sesaat

    sebelum dilakukan penyembelihan. Besarnya bobot potong akan

    mempengaruhi bobot karkas dan persentase karkas yang dihasilkan. Bobot

    potong yang semakin meningkat akan menghasilkan karkas yang semakin

    tinggi pula, sehingga dapat diharapkan bagian dari karkas yang berupa daging

    menjadi lebih besar (Ariadi, 2017). Setiap kenaikan bobot potong selalu

    diikuti dengan kenaikan bobot karkas yang dapat diartikan bahwa kenaikan

    bobot potong berhubungan dengan pertumbuhan dan perkembangan dari

    bagian-bagian tubuh atau karkas (Nusi, 2011).

    Umur mempengaruhi bobot potong suatu ternak, semakin lama ternak

    dipelihara maka semakin besar pula bobot potongnya. Waktu untuk mencapai

  • 20

    bobot potong sangat berhubungan erat dengan biaya yang dikeluarkan oleh

    peternak dan berdampak pada keuntungan yang akan diperoleh (Siagian dkk.,

    2015). Biaya produksi yang besar mengakibatkan peternak menghentikan

    pemeliharaan ternaknya dan menjual dengan bobot badan apa adanya. Hal

    tersebut mengakibatkan pemotongan ternak oleh jagal tidak memperhatikan

    bobot potong yang ideal dan kondisi ternak yang berkaitan dengan umur.

    Beragamnya bobot potong dan umur ternak dapat menyebabkan produksi

    karkas yang dihasilkan juga beragam baik kualitas maupun kuantitasnya

    (Haryoko, 2012). Pengaturan bobot potong perlu dilakukan dengan harapan

    dapat diperoleh jumlah dan mutu daging yang lebih baik yang sesuai dengan

    selera dan kebutuhan konsumen.

    f. Karkas Kambing

    Secara umum hasil pemotongan ternak dapat dibagi menjadi dua

    bagian yaitu karkas dan non karkas. Definisi karkas menurut Kaić dkk. (2012)

    yaitu bagian tubuh ternak hasil pemotongan setelah pengeluaran darah,

    pengulitan, dihilangkan kepala, kaki bagian bawah (diantara tulang carpus dan

    metacarpu untuk kaki depan, serta diantara tulang tarsus dan metatarsus

    untuk kaki belakang), ekor, serta organ dalam rongga dada dan perut. Menurut

    Badan Standarisasi Nasional (2018) karkas didefinisikan bagian dari tubuh

    ternak sehat yang telah disembelih secara halal, telah dikuliti, dikeluarkan

    jeroan, dipisahkan kepala dan kaki mulai dari tulang tarsus sampai metatarsus

    dan tulang carpus sampai metacarpus, organ reproduksi dan ambing, ekor,

    serta lemak yang berlebih.

  • 21

    Karkas rnerupakan komponen tubuh ternak yang bernilai ekonomis

    tinggi dan secara praktis dapat digunakan sebagai satuan produksi yang

    komposisi dan proporsinya dapat digunakan sebagai kriteria keberhasilan

    usaha ternak pedaging (Prawoto, 2015). Bobot karkas merupakan salah satu

    parameter dengan nilai yang bervariasi, hal tersebut disebabkan karena kondisi

    ternak, jenis kelamin, bangsa dan umur saat penyembelihan (Mahgoub.,

    2012). Bobot karkas sangat dipengaruhi oleh bobot badan, semakin tinggi

    bobot badan semakin tinggi pula bobot karkas (Kirton, 2012).

    g. Persentase Karkas Kambing

    Persentase karkas merupakan faktor penting dalam menentukan

    potensi hasil daging dari ternak yang dipotong. Persentase karkas merupakan

    perbandingan antara bobot karkas dengan bobot hidup saat dipotong

    (dikurangi isi saluran pencernaan dan urin) dikalikan dengan 100% (Solaiman,

    2015). Menurut Berg dan Butterfield (2016) persentase karkas diperoleh

    dengan cara membandingkan antara bobot karkas dengan bobot potong,

    dikalikan 100%. Pada umumnya bobot karkas panas, yaitu bobot karkas yang

    diambil setelah pengulitan serta pengeluaran isi sebelum karkas tersebut

    didinginkan (chilling), digunakan untuk menghitung persentase karkas panas.

    Persentase karkas kambing bervariasi yaitu sebesar 38,5-52,3% (Mahgoub.,

    2012). Beberapa hasil penelitian mengenai bobot potong, bobot karkas dan

    persentase karkas dapat dilihat pada table berikut ini:

  • 22

    Tabel 2.3 Rata-rata Bobot Karkas Dan Persentase Karkas Dari Berbagai Jenis Bangsa Kambing Pada Kelompok Bobot Badan Yang Berbeda

    Persentase karkas dipengaruhi oleh bobot potong dan bobot komponen

    tubuh yang terdiri dari komponen karkas dan komponen non karkas

    (Purbowati, 2011). Faktor-faktor yang paling besar mempengaruhi persentase

    karkas yaitu isi perut dan usus, berat kulit dan bulu, kondisi perototan, dan

    kondisi perlemakan (Boggs dan Merkel, 2013). Menurut Judge dkk. (2015)

    selain tingkat kegemukan dan isi saluran pencernaan, perototan juga ikut

    berpengaruh terhadap persentase karkas, semakin kompak perototan seekor

    ternak, maka persentase karkas semakin baik

    h. Non Karkas Kambing

    Proses pemotongan ternak selain menghasilkan karkas, juga dihasilkan

    produk ikutan atau disebut non karkas. Non karkas didefinisikan sebagai

    seluruh bagian tubuh ternak selain karkas yang bernilai ekonomis dan

    diperoleh dari proses pemotongan dengan nilai kegunaannya kurang dari

    produk utama (Aberle., 2011). Forrest (2015) mengklasifikasikan non karkas

    menjadi dua bagian, yaitu edible offal dan inedible offal. Edible offal adalah

  • 23

    bagian sisa karkas yang masih layak dimakan, seperti lidah, hati, jantung,

    paru-paru, otak, limpa, dan saluran pencernaan, sedangkan inedible offal

    adalah bagian sisa karkas yang tidak layak dimakan, seperti tanduk, kuku,

    tulang dahi atau tulang kepala. Penetapan layak atau tidaknya organ tubuh

    yang dikonsumsi masyarakat sangat dipengaruhi oleh etika dan budaya.

    Bagian non karkas yang dapat dikonsumi oleh masyarakat di Indonesia

    menurut Lestari (2010) yaitu darah, kulit, kepala, ekor, dan organ dalam

    seperti hati, jantung, paru-paru, dan saluran pencernaan.

    Kadar laju pertumbuhan relatif beberapa komponen non karkas hampir

    sama dengan laju pertumbuhan tubuh (Soeparno, 2015). Komponen tubuh

    ternak sebagai penyusun karkas dan non karkas secara kumulatif bertambah

    bobotnya akan tetapi persentase komponen tubuh tersebut (kecuali lemak)

    terhadap bobot badan semakin menurun (Berg dan Butterfield, 2016).

    Pertumbuhan non karkas menunjukkan adanya variasi dalam setiap organnya

    (Lawrie, 2015).

    Faktor yang mempengaruhi produksi non karkas antara lain bobot

    potong, bangsa, umur dan pakan. Factor-faktor yang mempengaruhi

    pertumbuhan komponen non karkas yaitu status gizi, genotip, dan status

    fisiologi terna (Lestari., 2010). Widiarto dkk. (2009) melaporkan hasil

    penelitiannya pada kambing Jawarandu betina dengan kelompok bobot badan

    yang berbeda menghasilkan persentase bobot non karkas seperti pada table

    berikut ini:

  • 24

    Tabel 2.4 Persentase Kulit, Kaki, Kepala, Jantung, Hati, Paru-paru dan Saluran Pencernaan Kambing

    2.2 Penelitian Terdahulu

    Penelitian terdahulu yang menjadi acuan dalam penelitian ini adalah

    penelitian yang dilakukan oleh Ariadi (2016), hasil penelitian ini adalah bobot

    karkas dan bobot non karkas meningkat seiring dengan meningkatnya bobot

    potong. Terdapat hubungan yang erat antara bobot potong dengan bobot karkas

    dan bobot non karkas, sedangkan antara bobot potong dengan persentase karkas

    dan non karkas tidak terdapat hubungan. Penelitian lainnya yang dijadikan

    rujukan dalam penulisan skripsi ini adalah penelitian yang dilakukan oleh Al

    Afkari (2018), hasil dari penelitian ini adalah kenaikan bobot potong dan bobot

    karkas akan diikuti dengan kenaikan edible portion karkas dan rib eye muscle

    area, sedangkan bobot potong dan bobot karkas tidak dapat digunakan untuk

    menduga yield grade. Penelitian yang dilakukan oleh Hakim (2016), hasil

    penelitian yang dicapai yaitu terdapat hubungan yang erat antara ukuran tubuh

    yang meliputi: panjang badan; lingkar dada; tinggi badan dan tinggi kemudi

    dengan bobot badan dan bobot karkas kambing lokal betina di RPH Kambing

    Surakarta. Penelitian yang dilakukan Salman (2016), Hasil penelitian

  • 25

    menunjukkan bahwa bagian karkas kualitas satu kambing Kacang jantan dan

    Betina yang dipelihara secara intensif tidak berpengaruh nyata (P > 0.05).

    Penelitian yang dilakukan oleh Afriliyanti (2017), hasil penelitian menunjukkan

    bahwa penambahan kulit singkong dalam ransum tidak berpengaruh terhadap

    bobot potong, bobot kosong, bobot karkas dan bobot non karkas, tetapi memberi

    pengaruh pada persentase karkas dan komponen bobot non karkas, yaitu hati dan

    empedu ternak kambing yang digunakan. Persentase karkas meningkat hingga

    8,11% pada penambahan 60% kulit singkong dalam ransum dibandingkan dengan

    tanpa penambahan kulit singkong. Komponen non karkas hati dan empedu

    meningkat hingga 26,05% pada penambahan 40% kulit singkong dibandingkan

    dengan tanpa penambahan kulit singkong dalam ransum.

    Penelitian yang telah dilakukan sebelumnya, maka peneliti mengangkat

    topik penelitian yang sama yaitu tentang jenis hewan ternak kambing yang

    dijadikan sebagai objek di dalam penelitian, lokasi penelitian yang dilakukan di

    rumah potong, dan subjek peneltian yang digunakan adalah bobot potong dan

    bobot karkas. Sedangkan yang membedakan dengan penelitian teerdahulu yaitu

    pemilihan jenis kambing dan jenis kelamin tidak digunakan sebagai parameter

    didalam penelitian ini, namun hanya menggunakan kriteria usia kambing yang

    terdiri dari usia dibawah 1 tahun dan usia diatas 1 tahun, serta metode didalam

    pengukuran bobot kambing yang hanya menggunakan alat timbang untuk

    mengukur bobotnya.

    2.3 Hipotesis

    Dengan adanya tujuan dan latar belakang diatas dapat dibuat hipotesis

    sebagai berikut:

  • 26

    1. Adanya pengaruh antara bobot potong terhadap bobot karkas kambing usia di

    bawah satu tahun di RPH Gadang Kota Malang.

    2. Adanya pengaruh antara bobot potong terhadap bobot karkas kambing usia di

    atas satu tahun di RPH Gadang Kota Malang.