BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Konsep Pola Pengasuhan 2.1.1 ...
Transcript of BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Konsep Pola Pengasuhan 2.1.1 ...
8
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Konsep Pola Pengasuhan
2.1.1. Definisi Pola Pengasuhan
Pola pengasuhan (parenting) atau perawatan anak sangat bergantung pada
nilai - nilai yang dimiliki keluarga ( Supartini, 2002 dalam Septiani, 2012). Pola asuh
merupakan proses dari tindakan yang mempunyai tujuan untuk dicapai sedang masa
tersebut dimulai dari masa kehamilan (Wong, 2003 dalam Teviana, 2012). Menurut
kamus Bahasa Indonesia asuh adalah menjaga dan memelihara anak sakit (Chaniago,
1995 dalam Septiani, 2012).
Pada dasarnya tujuan utama pengasuhan orang tua adalah untuk
memepertahankan kehidupan fisik anak dan meningkatkan kesehatannya,
memfasilitasi anak untuk mengembangkan kemampuan sejalan dengan tahapan
perkembangannya dan mendorong peningkatan kemampuan berperilaku sesuai
dengan nilai agama dan budaya yang diyakininya. Kemampuan orang tua atau
keluarga menjalankan peran pengasuhan ini tidak dipelajari secara formal melainkan
berdasarkan pengalaman dalam menjalankan peran tersebut secara trial dan error
atau mempengaruhi orang tua/ keluarga lain terdahulu (Supartini, 2002 Septiani,
2012)
9
2.1.2. Bentuk Pola Pengasuhan
Menurut Strewart dan Koch ( 1983 ) dalam Tarmudji ( 2011 ) ada tiga bentuk
pola asuh orang tua, yaitu :
1. Pola asuh otoriter
Pola asuh otoriter adalah suatu gaya pengasuhan yang membatasi dan menuntut
anak untuk mengikuti perintah - perintah orang tua. Orang tua yang menerapkan
pola asuh otoriter mempunyai ciri - ciri bersifat kaku, tegas, suka menghukum
dan kurang kasih sayang. Orang tua memaksa anak - anak untuk patuh terhadap
nilai - nilai dan peraturan mereka. Dalam memberikan peraturan itu tidak ada
usaha untuk menjelaskan kepada anak mengapa ia harus patuh pada peraturan itu
( Hurlock, 1999 dalam Septiani, 2012). Anak dari orang tua yang otoriter
cenderung bersifat curiga pada orang lain dan merasa tidak bahagia dengan
dirinya sendiri merasa canggung berhubungan dengan teman sebaya, canggung
menyesuaikan diri pada awal masuk sekolah dan memiliki prestasi belajar yang
rendah dibandingkan dengan anak - anak lain. Adapun dampak dari
perkembangan motorik terhadap pola asuh otoriter adalah anak cenderung agresif,
impulsive, pemurung dan kurang mampu konsentrasi.
2. Pola asuh demokratis
Pola asuh demokratis adalah salah satu gaya pengasuhan yang memperlihatkan
pengawasan ekstra ketat terhadap tingkah laku anak - anak, tetapi mereka juga
bersikap responsif (Desmita, 2005 dalam Septiani, 2012). Menurut Stewart dan
Koch (1983) dalam Tarmudji (2011) bahwa orang tua yang demokratis
memandang sama kewajiban dan hak antara anak dan orang tua. Secara bertahap
10
orang tua memberikan tanggung jawab bagi anak - anaknya terhadap segala
sesuatu yang diperbuatnya sampai mereka dewasa. Lebih lanjut Suherman (2000)
dalam Septiani,(2012) menyatakan bahwa orang tua yang demokratis
memperlakukan anak sesuai dengan tingkat - tingkat perkembangan motorik anak
dan dapat memperhatikan serta mempertimbangkan keinginan anak. Dampak
perkembangan motorik terhadap pola asuh demokratis yaitu rasa harga diri yang
tinggi, memiliki moral yang standar, kematangan psikologisosial, kemandirian
dan mampu bergaul dengan teman sebayanya.
Menurut Baumrind (Santrock, 2007) Ciri-ciri pola asuh demokratis adalah:
Menentukan peraturan dan disiplin dengan memperhatikan dan
mempertimbangkan alasan-alasan yang diterima.
Memberikan pengarahan tentang perbuatan baik yang perlu dipertahankan dan
yang tidak baik agar ditinggalkan.
Memberikan bimbingan dengan penuh perhatian.
Dapat menciptakan keharmonisan keluarga.
Dapat menciptakan suasana komunikatif antar orang tua dan anak serta
sesama keluarga.
Dampak pola asuh demokratis terhadap perilaku belajar anak :
Adapun dampak yang akan terjadi apabila orang tua menerapkan pola asuh
demokratis, adalah:
Anak lebih mandiri, tegas terhadap diri sendiri dan memiliki kemampuan
introspeksi serta pengendalian diri.
11
Mudah bekerjasama dengan orang lain dan kooperatif terhadap aturan.
Lebih percaya diri akan kemampuannya menyelesaikan tugas-tugas.
Merasa aman dan menyukai serta semangat dalam tugas-tigas belajar.
Memiliki keterampilan sosial yang baik dan terampil menyelesaikan
permasalahan.
Tampak lebih kreatif dan memiliki motivasi berprestasi.
3. Pola asuh permisif
Menurut Stewart dan Koch (1983) dalam Tarmudji (2011) menyatakan bahwa
pola asuh permisif anak dituntut sedikit sekali tanggung jawab tetapi mempunyai
hak yang sama seperti orang dewasa. Anak diberi kebebasan untuk mengatur
dirinya sendiri dan orang tua tidak banyak mengatur anaknya. Dalam pola asuh
ini diasosiasikan dengan kurangnya kemampuan pengendalian diri anak karena
orang tua yang cenderung membiarkan anak mereka melakukan apa saja yang
mereka inginkan dan akibatnya anak selalu mengharap semua keinginannya
dituruti (Desmita, 2005 dalam Septiani, (2012 ). Lebih lanjut menurut Hurlock
(1976) dalam Tarmudji (2011) bahwa dalam pola asuh permisif bimbingan
terhadap anak kurang dan semua keputusan lebih banyak dibuat oleh anak dari
pada orang tuanya.Dalam pola asuh ini sikap acceptance orang tua tinggi namun
tingkat kontrolnya rendah (Yusuf, 2001 dalam Teviana, 2012). Dampak dari
perkembangan motorik terhadap pola asuh permisif yaitu kurang percaya diri,
pengendalian diri yang buruk dan rasa harga diri yang rendah. Pola asuh
dipengaruhi oleh faktor budaya, agama, kebiasaan dan kepercayaan serta
12
kepribadian orang tua. Selain itu dipengaruhi pola asuh yang dirasakan orang tua
saat kecil (Markum, 1998 dalam Teviana, 2012). Erikson menyebutkan bahwa
pola pengasuhan diawal kehidupan seseorang akan melandasi kepribadian yang
akan terus berkembang pada fase - fase berikutnya. Proses pengasuhan dimasa
bayi, akan mendasari kepibadian dimasa remaja, dan seterusnya. Proses tersebut
akan berlanjut seumur hidupnya. Dengan demikian tampaklah bahwa kepribadian
seseorang tidak dapat lepas begitu saja dari proses pengasuhan pada fase - fase
sebelumnya (Yusuf, 2004 dalam Teviana, 2012).
Menurut Baumrind (Santrock, 2007) Ciri-ciri pola asuh permissive adalah
Adanya kebebasan tanpa batas pada anak untuk berperilaku sesuai dengan
keinginannya.
Anak terkadang egois.
Dampak pola asuh permisif terhadap perilaku belajar anak :
Adapun dampak yang akan terjadi apabila orang tua menerapkan pola asuh
permisive, adalah:
Anak menjadi tampak responsive dalam belajar, namun kurang matang,
impulsive dan mementingkan diri sendri, kurang percaya diri maupun
cengeng
Anak mudah menyerah dalam menghadapi hambatan atau kesulitan dalam
tugas-tugasnya.
Tidak jarang perilakunya di sekolah menjadi agresif.
13
Menurut Soetjiningsih (1995) dalam Septiani (2012), kebutuhan dasar anak
untuk tumbuh dan berkembang secara umum digolongkan menjadi 3 kebutuhan
dasar yaitu :
1. Kebutuhan fisik-biomedis (ASUH), meliputi :
a. Pangan/ gizi merupakan kebutuhan terpenting
b. Papan/ tempat tinggal
c. Sandang/ pakaian yang memadai
2. Kebutuhan emosi/ kasih sayang (ASIH)
Merupakan syarat mutlak untuk menjamin tumbuh kembang yang selaras baik
fisik, mental, psikologi.
3. Kebutuhan akan stimulasi mental (ASAH)
Adalah mengembangkan perkembangan moral etika, kepribadian, perilaku.
2.1.3. Macam-macam Pola Asuh Orang Tua
Dalam mengelompokkan pola asuh orang tua dalam mendidik anak, para ahli
mengemukakan pendapat yang berbeda-beda, yang antara satu sama lain hampir
mempunyai persamaan. Dr.Paul Hauck menggolongkan pengelolaan anak ke dalam
empat macam pola, yaitu : (Hauck, 1993:47 dalam Teviana, 2012):
a. Kasar dan tegas
Orang tua yang mengurus keluarganya menurut skema neurotik
menentukan peraturan yang keras dan teguh yang tidak akan di ubah dan
mereka membina suatu hubungan majikan-pembantu antara mereka sendiri
dan anak-anak mereka.
14
b. Baik hati dan tidak tegas
Metode pengelolaan anak ini cenderung membuahkan anak-anak nakal
yang manja, yang lemah dan yang tergantung, dan yang bersifat kekanak-
kanakan secara emosional.
c. Kasar dan tidak tegas
Inilah kombinasi yang menghancurkan kekasaran tersebut biasanya
diperlihatkan dengan keyakinan bahwa anak dengan sengaja berprilaku buruk
dan ia bisa memperbaikinya bila ia mempunyai kemauan untuk itu.
d. Baik hati dan tegas
Orang tua tidak ragu untuk membicarakan dengan anak-anak mereka
tindakan yang mereka tidak setujui. Namun dalam melakukan ini, mereka
membuat suatu batas hanya memusatkan selalu pada tindakan itu sendiri,
tidak pernah si anak atau pribadinya.
Menurut Drs. H. Abu Ahmadi (Ahmadi,1991:80) dalam Septiani (2012),
mengemukakan bahwa, berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Fels Research
Institute, corak hubungan orang tua-anak dapat dibedakan menjadi tiga pola, yaitu :
1. Pola menerima-menolak, pola ini didasarkan atas taraf kemesraan orang tua
terhadap anak.
2. Pola memiliki-melepaskan, pola ini didasarkan atas sikap protektif orang tua
terhadap anak. Pola ini bergerak dari sikap orang tua yang overprotektif dan
memiliki anak sampai kepada sikap mengabaikan anak sama sekali.
15
3. Pola demokrasi-otokrasi, pola ini didasarkan atas taraf partisifasi anak dalam
menentukan kegiatan-kegiatan dalam keluarga. Pola otokrasi berarti orang tua
bertindak sebagai diktator terhadap anak, sedangkan dalam pola demokrasi,
sampai batas-batas tertentu, anak dapat berpartisifasi dalam keputusan
keputusan keluarga.
2.1.4. Faktor Yang Mempengaruhi Pola Asuh
Menurut Supartini (2002) dalam Septiani (2012), faktor - faktor yang
mempengaruhi pola asuh :
1. Usia orang tua
Rentang usia tertentu adalah baik untuk menjalankan peran pengasuhan. Apabila
terlalu muda atau tua mungkin tidak dapat menjalankan peran tersebut secara
optimal karena diperlukan kekuatan fisik dan psikososial.
2. Keterlibatan orang tua
Kedekatan hubungan ibu dan anak sama pentignya dengan ayah dan anak
walaupun secara kodrati akan ada perbedaan. Di dalam rumah tangga ayah dapat
melibatkan dirinya melakukan peran pengasuhan kepada anaknya. Seorang ayah
tidak saja bertanggung jawab dalam memberikan nafkah tetapi dapat pula bekerja
sama dengan ibu dalam melakuan perawatan anak seperi menggantikan popok
ketika anak mengompol atau mengajaknya bermain bersama sebagai salah satu
upaya dalam melakukan interaksi.
16
3. Pendidikan orang tua
Wong et (2001) dalam Teviana (2012) mengemukakan beberapa cara yang dapat
dilakukan untuk lebih siap menjalankan peran pengasuhan diantaranya adalah
pendidikan.
4. Pengalaman sebelumnya dalam mengasuh anak
Orang tua yang telah mempunyai pengalaman sebelumnya dalam merawat anak
akan lebih siap menjalankan pengasuhan dan lebih relaks.
5. Stres orang tua
Stres yang dialami orang tua akan mempengaruhi kemampuan orang tua dalam
menjalankan peran pengasuhannya terutama dalam kaitannya dengan strategi
koping yang dimiliki oleh anak.
6. Hubungan suami istri
Hubungan yang kurang harmonis antara suami istri akan berdampak pada
kemampuan dalam menjalankan perannya ssebagai orang tua dan merawat serta
mengasuh anak dengan penuh rasa bahagia karena satu sama lain dapat saling
memberi dukungan dan menghadapi segala masalah dengan koping yang positif.
2.1.5. Hubungan Pola Asuh dengan Kemampuan Motorik
Pola asuh bertujuan untuk mempertahankan kehidupan fisik anak dan
meningkatkan kesehatannya memfasilitasi anak untuk mengembangkan kemampuan
sejalan dengan tahapan perkembangan dan mendorong peningkatan kemampuan
berperilaku sesuai dengan nilai agama dan budaya yang diyakininya.
17
Menurut Anwar ( 2002 ) dalam Listroyorini (2016) agar keluarga atau orang
tua mampu melakukan fungsinya dengan baik maka orang tua perlu memahami
tingkat perkembangan anak, menilai pertumbuhan dan perkembangan anak serta
mempunyai motivasi yang kuat untuk memajukan tumbuh kembang anaknya dengan
cara memberi pola pengasuhan yang baik terhadap anak.
Gerakan motorik terdiri dari tiga komponen besar yaitu reseptor sensorik, otak
dan alat gerak. Tiap rangsangan yang diterima oleh reseptor diteruskan ke otak
melalui saraf sensorik setelah itu otak mengambil suatu keputusan untuk melakukan
tindakan melalui saraf motorik (Tandyo, 2002 dalam Listroyorini, 2016).
Kesempatan untuk menggerakkan semua bagian tubuh, rangsangan dan
dorongan kepada anak mempercepat tercapainya kemampuan motorik.
Perkembangan motorik yang abnormal dapat disebabkan karena kurangnya
kesempatan untuk berlatih menggunakan anggota tubuhnya, adanya perlindungan
yang berlebihan (Hurlock, 1999 dalam Teviana, 2012). Adapun pola asuh yang ideal
atau pola asuh yang baik adalah pola asuh demokratis dimana anak mempunyai hak
untuk mengetahui mengapa peraturan - peraturan dibuat dan memperoleh kesempatan
mengemukakan pendapatnya sendiri bila ia menganggap bahwa peraturan itu tidak
adil. Setiap orang tua mencoba menghargai kemampuan anak secara langsung pada
waktu anak bertingkah laku (Djiwardono, 2002 dalam Teviana, 2012 ).
Adapun faktor - faktor yang mempengaruhi kemampuan motorik adalah :
1. Stimulasi
Pemberian stimulasi pada tiga tahun pertama kehidupan anak merupakan hal yang
sangat penting bagi kehidupan anak karena tiga tahun pertama otak merupakan
18
organ yang sangat pesat pertumbuhan dan perkembangan. Menurut Soetjiningsih
(1995) dalam Teviana (2012 ), stimulasi merupakan hal yang sangat penting
dalam perkembangan anak, karena anak yang mendapatkan stimulasi yang terarah
akan berkembang lebih cepat dan baik dibanding dengan anak yang kurang atau
sama sekali tidak mendapatkan stimulasi. Stimulasi juga dapat berfungsi sebagai
penguat yang brmanfaat bagi perkembangan anak, termasuk perhatian dan kasih
sayang dari orang tua. Peran orang tua mempengaruhi perkembangan motorik
anak. Orang tua yang memberikan stimulasi dini maka kemampuan motorik anak
berkembang dengan baik. Sedangkan orang tua yang sibuk bekerja mempunyai
waktu yang sedikit untuk menstimulasi anak berkembang secara optimal.
Menurut Anwar (2002) dalam Teviana (2012) peran keluarga atau orang
tua dalam mengasuh anak berpengaruh terhadap perkembangan anak seperti
keluarga yang berantakan atau orang tua yang bercerai, pertumbuhan dan
perkembangan anak menjadi terhambat. Orang tua disini adalah orang tua
kandung maupun pengasuh pengganti orang tua, yakni orang - orang yang
mendapat tugas untuk menggantikan orang tua kandung, dalam perannya
mengasuh anak diwaktu mereka sedang sibuk.
2. Gizi
Tandyo, J (2002) dalam Listroyorini (2016) menyatakan bahwa gizi sangat
penting untuk anak terutama pada usia 3 - 4 tahun. Pada masa ini pertumbuhan
berlangsung sangat cepat sehingga memerlukan konsumsi protein dan zat
pengatur seperti vitamin dan mineral. Perkembangan mental juga memerlukan
lebih banyak protein, terutama untuk pertumbuhan sel otaknya. Pertumbuhan
19
sel otak sangat cepat dan akan berhenti atau mencapai taraf sempurna pada usia
4 - 5 tahun. Makanan memegang peranan penting dalam tumbuh kembang
anak, karena anak sedang tumbuh sehingga kebutuhannya berbeda dengan
orang dewasa, kekurangan makanan yang bergizi akan menyababkan retardasi
pertumbuhan anak.
2. Kecerdasan
Kecerdasan dimiliki anak sejak dilahirkan, anak yang kecerdasannya tinggi
menunjukkan perkembangan yang lebih cepat dibanding anak yang
kecerdasannya normal atau dibawah normal (Hurlock,1999 dalam Listroyorini,
2016).
2.2 Kemampuan Sosialisasi Anak Usia Prasekolah
2.2.1 Pengertiaan sosialisasi
Sosialisasi menurut Child ( dalam Sylva dan Lunt, 1998 dalam Teviana, 2012 )
adalah keseluruhan proses yang menuntun seseorang dilahirkan dengan perilaku
aktual yang jauh lebih sempit jangkauan – jangkauan mengenai yang biasa dan
diterima menurut norma kelompoknya. Sosialisasi adalah “ proses yang digunakan
anak untuk mempelajari standar, nilai, perilaku yang diharapkan kebudayaan, atau
lingkungan masyarakat mereka” ( Musen dkk, 1994 ) dalam Chaplin ( 2002 ) dalam
Teviana, 2012 mengemukakan bahwa sosialisasi adalah proses mempelajari
kebiasaan, cara hidup adat istiadat masyarakat tertentu. Perkembangan sosialisasi
anak dipengaruhi oleh keluarga, teman bermain dan sekolah. Lingkungan pertama
serta utama yang dikenal sejak saat lahir yaitu keluarga. Ayah, ibu dan anggota
20
keluarga lainnya merupakan lingkungan sosial yang berasal dari keluarga, besar
perannya bagi perkembangan dan pembentukan kepribadian individu. Kebiasaan
yang ditanamkan keluarga baik itu positif maupun negatif secara tidak langsung akan
terbentuk dalam kepribadian anak.
Kemampuan sosialisasi menjadi aspek penting dalam perkembangan anak,
karena masa anak prasekolah merupakan masa peralihan dari lingkungan keluarga
kedalam lingkungan sekolah dan lingkungan masyarakat. Didalam lingkungan
sekolah anak tidak hanya memasuki dunia sosialisasi yang lebih luas melainkan anak
juga menemukan suasana lingkungan yang berbeda, teman, guru, atau aturan – aturan
yang berbeda dengan lingkungan keluarga ( Chaplin, 2002 dalam Teviana, 2012).
Dari defenisi – defenisi di atas dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud
dengan sosialisasi adalah proses dimana anak – anak belajar mengenai standar, nilai
dan sikap yang diharapkan kebudayaan atau lingkungan masyarakat mereka.
2.2.2. Proses Sosialisasi
Proses sosial pada hakekatnya adalah proses belajar sosial mengenai tingkah
laku yang diharapkan oleh masyarakatnya. Proses sosialisasi berawal dari keluarga,
memlalui keluargalah anak belajar beradaptasi di tengah kehidupan bermasyarakat (
Satiadarma, 2001 ). Hurlock ( 1997 )dalam Teviana (2012), proses sosialisasi
diperoleh dari kemampuan berperilaku yang sesuai dengan tuntutan sosial. Sosialisasi
ini memerlukan beberapa proses, yaitu :
21
1. Belajar berperilaku yang dapat diterima secara sosial
Setiap kelompok sosial mempunyai standar bagi anggotanya untuk dapat
diterima, dan harus mampu menyesuaikan perilaku dengan patokan yang dapat
diterima pula.
2. Memaikan peran sosial yang dapat diterima
Setiap kelompok mempunyai pola kebiasaan yang telah ditentukan para
anggotanya dan dituntut untuk dipenuhi.
3. Perkembangan sikap sosial
Untuk bermasyarakat dan bergaul dengan baik diperlukan minat untuk melihat
anak yang lain dan berusaha mengadakan kontak dengan mereka, mencoba untuk
bergabung dan bekerjasama dengan mereka dalam bermain. Berdasarkan uraian
di atas dapat disimpulkan bahwa proses sosialisasi ialah proses belajar sosial
untuk mempelajari tingkah laku yang diharapkan masyarakat.
2.2.3 Klasifikasi Macam-Macam Jenis Sosialisasi
Menurut George Herbert Mead (2009) dalam Amin ( 2017 ). Berdasarkan Jenis,
sosialisasi dibagi menjadi dua kelompok :
a. Sosialisasi Primer
Sosialisasi primer adalah sosialisasi yang pertama kali dialami seorang
individu sejak ia lahir. Sosialisasi primer biasanya berlangsung saat anak berusia 1 –
5 tahun. Keluarga merupakan media atau agen yang memiliki peran pokok dalam
sosialisasi primer. Dalam jenis ini, seorang anak mulai mengenal anggota keluarga
dan mampu membedakan perannya dengan orang lain dalam keluarga tersebut.
22
Menurut Horton Coley (2015) berpendapat bahwa kelompok primer memiliki
ciri-ciri antara lain: setiap anggota kelompok primer memiliki keterikatan, sehingga
mereka saling mengenal satu dengan yang lainnya, sosialisasi pada kelompok primer
dilakukan dengan cara bertatap muka, anggota kelompok primer memiliki hubungan
yang sangat dekat sehingga terjadi sosialisasi yang intim dan kekeluargaan.
Hommans (2015) berperdapat bahwa sosialisasi primer adalah sosialisasi yang
dilakukan oleh sekelompok orang yang berkomunikasi dengan intensitas yang tinggi
dan langsung. Barger dan Luckman (2015) berpendapat bahwa sosialisasi primer
merupakan sosialisasi yang pertama kali dijalankan oleh seseorang dimulai sejai ia
kecil dengan mempelajari nilai-nilai serta kebiasaan yang ada di dalam keluarga
secara bertahap. Sosialisasi primer berlangsung saat anak berumur 0-5 tahun, yaitu
ketika anak belum memasuki dunia sekolah, sehingga anak hanya mengenal anggota
keluarga dan orang terdekatnya saja. Pada sosialisasi primer anak mulai belajar
membedakan dirinya dengan anggota keluarga lain dan menempatkan dirinya
menjadi bagian anggtota keluarga tersebut. Pada tahap ini keberadaan serta partisipasi
anggota keluarga lainya serta orang terdekatnya memiliki peranan yang penting
sekali, sehingga dapat membantu perkembangan dan pembentukan kepribadian anak.
b. Sosialisasi Sekunder
Sosialisasi Sekunder merupakan proses sosialisasi lanjutan setelah sosialisasi
primer. Dalam sosialisasi sekunder, seseorang mulai mengenal kelompok atau
individu lain selain keluarga dalam masyarakat. Terdapat dua bentuk umum saat
seseorang mulai memasuki masa sosialisasi sekunder yaitu Resosialisasi (pemberian
identitas baru) dan Desosialisasi (Pencabutan identitas diri yang lama).
23
Horton Cooley (2015) berpendapat bahwa kelompok sekunder memiliki ciri-
ciri sebagai berikut : Melibatkan orang banyak, tidak memiliki hubungan yang erat,
dapat di lakukan dengan orang asing, serta sosialisasi sekunder memiliki sifat yang
hanya sementara.
Yang membedakan kelompok sosialisasi sekunder kedalam beberapa
karakteristik :
a. Sosialisasi kekunder memiliki komunikasi yang sangat luas dan tak
terbatas. Komunikasi yang dilakukan bersifat dangkal, artinya hanya
menampilkan kepribadian luar yang memiliki oleh seseorang,berbeda
dengan sosialisasi primer yang memiliki sifat komunikasi yang dalam ,
artinya komunukasi ini bersifat intim dan dapat melibatkan kepribadian
seseorang yang sebenarnya.
b. Kelompok sekunder menekankan komunikasi yang berkualitas pada
aspek isi komunikasi sedangkan kelompok primer menekan pada
komunikasi yang berkualitas pada aspek hubungan artinya, komunikasi
dilakukan hanya untuk mempererat hubungan.
c. Sosialisasi sekunder pada umumnya merupakan komunikasi yang
dilakukan secara formal, berbeda dengan sosialisasi primer, yang
bersifat informal.
d. Sosialisasi sekunder memiliki sifat nonpersonal, sedangkan komunikasi
pada sosialisasi primer bersifat personal.
24
e. Komunikasi pada sosialisasi sekunder cenderung instrumental dan logis
lain halnya dengan komunikasi pada sosialisasi primer, komunikasinya
cenderung ekspresif.
2.2.4. Dampak- dampak sosialisasi
Dampak positif Menjadi agen sosialisai paling berpengaruh dalam menentukan
kepribadian seorang individu. Dampak negatif Sosialisasi keluarga akan membawa
pengaruh terburuk ketika dalam kekuarga tersebut terjadi konflik. Sehingga
menimbulkan trauma dan depresi pada anak, yang bekelanjutan dengan dengan
perilaku menyimpang dari anak broken home tersebut. Sosialisai kelompok bermain
Dampak positif :
a. Adanya rasa aman dan dianggap penting
b. Tumbuhnya rasa kemandirian dalam diri anak
c. Anak mendapat tempat penyaluran berbagai perasaannya, seperti rasa senang
dan sedih.
d. Dapat mengembangkan berbagai keterampilan sosial yang dimiliki.
e. Memiliki banyak teman dan mendapat banyak pengetahuan.
f. Dapat terhindar dari lingkungan pergaulan yang negatif
g. Ilmunya bermanfaat dan memiliki masa depan yang cerah
h. Mampu bersosialisasi dengan baik
i. Belajar untuk membentuk organisasi yang baik
j. Terbentuknya sifat disiplin dalam penggunaan waktu
25
Dampak negatif :
a. Penyalahgunaan narkoba
b. Pelacuran
c. Sosialisasi tidak sempurna
2.2.5. Tahap – Tahap Sosialisasi
Keluarga merupakan tempat pertama bagi anak untuk belajar bersosialisasi. “
Melalui keluargalah anak belajar merespon terhadap masayarakat dan beradaptasi di
tengah kehidupan masyarakatnya yang lebih luas nantinya. Melalui proses sosialisasi
didalam keluarga, seorang anak secara bertahap belajar menegmbangkan kemampuan
nalar serta iamajinasinya “ ( Satiadarma, 2011 ). Perhatian terhadap hal – hal
disekelilingnya banyak dipengaruhi oleh nilai – nilai yang mereka anut, keluargalah
yang menanamkan nilai – nilai tersebut.
Setelah anak belajar bersosialisasi dalam keluarga, kemudian anak akan
belajar bersosialisasi di luar rumah yang diperoleh dari teman sebaya, sekolah, guru,
dan lingkungan di luar yang lebih luas ( Mussen dkk, 1994 dalam Listroyorini, 2016).
Yusuf ( 2008 ) mengemukakan bahwa tahap perkembangan sosial pada usia
prasekolah yaitu, anak mulai mengetahui aturan – aturan baik didalam lingkungan
keluarga maupun didalam lingkungan bermain, sedikit demi sedikit anak mulai
tunduk pada aturan, anak mulai menyadari hak dan kewajiban orang lain, anak mulai
bermain bersama dengan anak – anak yang lain atau teman sebayanya.
Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa tahap – tahap sosialisasi
berawal dari lingkungan didalam keluarga dan selanjutnya anak akan belajar
bersosialisasi di luar lingkungan keluarga seperti sekolah maupun masyarakat
26
2.2.6. Faktor – Faktor 2 Yang Mempengaruhi Sosialisasi
Hurlock ( 1997 ) dalam Listroyorini (2016) mengemukakan bahwa faktor-
faktor yang mempengaruhi sosialisasi terutama anak yakni sikap anak – anak
terhadap orang lain dan pengalaman sosial serta seberapa baik meraka dapat bergaul
dengan orang lain. Anak – anak akan tergantung pada pengalaman belajar selama
bertahun – tahun awal kehidupan yang merupakan masa pembentukan kepribadian,
tetapi kelompok sosial juga berpengaruh terhadap perkembangan sosial pada anak.
Namun pada akhirnya, kemampuan anak untuk menyesuaikan diri dengan tuntutan
sosial dan menjadi pribadi yang dapat bermasyarakat, tergantung pada 4 faktor
menurut Sujiono ( 2005 ) dalam Satiadarma (2011) yaitu : kesempatan yang penuh
untuk belajar bersosialisasi / bermasyarakat, mampu berkomunikasi pembicaraan
yang bersifat sosial merupakan penunjang yang penting bagi sosialisasi, anak hanya
akan belajar bersosialisasi apabila mereka memiliki motivasi untuk melakukannya,
metode belajar yang efektif dengan bimbingan adalah penting. Empat faktor akan
menjadi daya dorong tersendiri bagi anak untuk mengembangkan kemampuan
sosialisasi.
Jadi dapat disimpulkan bahwa faktor – faktor yang mempengaruhi sosialisasi
pada anak adalah adanya sikap anak – anak terhadap orang lain dan pengalaman
sosial yang seberapa baik mereka dapat bergaul dengan orang lain.
27
2.2.7 Anak Prasekolah
Prasekolah dapat diartikan sebagai pendidikan sebelum sekolah. Anak
prasekolah adalah mereka yang berusia antara 3 – 6 tahun ( Riyanto dkk, 2004 dalam
Suharsono, 2009). Anak prasekolah adalah pribadi yang mempunyai berbagai macam
potensi. Potensi – potensi itu dirangsang dan dikembangkan agar pribadi anak
tersebut berkembang secara optimal, anak dapat berkembang kepribadiaanya lewat
sosialisasi di sekolah. Taman Kanak – Kanak ( TK ) adalah salah bentuk pendidikan
prasekolah yang menyediakan program pendidikan dini bagi anak usia 4 – 6 tahun
atau memasuki pendidikan dasar. Hal ini sesuai dengan Undang – Undang nomer 20
Tahun 2003 tentang pendidikan prasekolah. Patmonodewi dalam Listiyorini, 2016 )
mengemukakan bahwa program prasekolah di Indonesia dibedakan menjadi beberapa
kelompok, diantaranya program tempat penitipan anak ( 3 bulan – 5 tahun ),
kelompok bermain ( 3 tahun ), sedangkan pada usia 4 – 6 tahun biasanya mengikuti
program Taman Kanak – Kanak ( TK ). Usia prasekolah diantara usia 4 – 6 tahun
bertujuan untuk meletakkan arah dasar kearah perkembangan sikap, pengetahuan,
keterampilan dan daya cipta yang diperlukan untuk anak dalam menyesuaikan diri
dengan lingkungannya dan untuk pertumbuhan dan perkembangan selanjutnya.
Langeveld dalam Riyanto ( 2014 ) mengemukakan tentang kemampuan –
kemampuan yang harusnya dicapai anak prasekolah antara lain, berbahasa lisan dan
bercerita, mengenal pola kehidupan sosial , ( aku, keluarga, dan sekolah ), mengerti
dan menguasai keterampilan untuk kehidupan sehari – hari, mulai mengkhayal, dan
belum dapat membedakan antara kenyataan dan imajinasi belaka. Anak Taman
Kanak – Kanak termasuk dalam kelompok umur prasekolah. Pada umur 2 - 4 tahun,
28
anak ingin bermain, melakukan latihan berkelompok, melakukan penjelajahan,
bertanya, menirukan dan mencipta sesuatu. Masa ini mengalami kemajuan pesat
dalam keterampilan menolong dirinya sendiri dan dalam keterampilan bermain.
Faktor yang mempengaruhi perkembangan sosial ( sosialisasi ) anak usia
prasekolah :
1. Kondisi kesehatan anak
Kesehatan anak memepengaruhi kemampuan anak mengenal lingkungan di luar
lingkungan keluarga. Anak dengan kondisi sehat akan cepat bisa menyesuaikan
dengan lingkungan di luar lingkungan keluarga ( Effendy, 1998 dalam Riyanto,
2014 ).
2. Umur anak
Umur merupakan indikator kedewasaan seseorang, semakin bertambah umur
semakin bertambah pengetahuan yang dimiliki, serta bertambah kemampuan
menyesuiakan diri dengan lingkunagan di luar lingkungan keluarga (
Notoadmojo, 2009 ).
3. Memiliki motivasi untuk sosialisasi
Anak menyesuaikan diri dengan lingkungan mereka karena mendapat
pengalaman baru ketika bergabung dengan kelompok dibandingkan jika mereka
bermain sendiri ( Sujiyono, 2005 dalam Listiyorini, 2016).
4. Adanya kesempatan untuk bersosialisasi
Sikap orang tua yang demokratis memberikan kesempatan anak untuk bergabung
dengan teman seusianya ( Suiyono, 2005 dalam Listiyorini, 2016).
29
Riyanto ( 2014 ) mengemukakan ciri – ciri anak prasekolah atau TK diantaranya :
a. Ciri – ciri fisik
Anak prasekolah mempergunakan keterampilan gerak dasar ( berlari, berjalan,
memanjat, melompat ) sebagai bagian dari permainan mereka. Mereka aktif,
tetapi lebih bertujuan dan tidak terlalu mementingkan bisa beraktivitas sendiri.
b. Ciri sosial
Pada umumnya anak pada tahapan ini memiliki satu atau dua sahabat, tetapi
dua sahabat ini cepat berganti. Perasaan simpati dan empati pada teman juga
berkembang, mampu berbagi dengan inisiatif mereka sendiri, anak menjadi
sosialis.
c. Ciri emosional
Anak cenderung mengekspresikan emosinya dengan bebas. Sikap marah
sering diperlihatkan dan iri hati pada anak prasekolah sering terjadi. Mereka
seringkali memperebutkan perhatian guru.
d. Ciri kognitif
Anak prasekolah umumnya terampil dalam berbahasa, sebagian besar mereka
senang berbicara dan sebagian lagi menjadi pendengar yang baik. Kompetensi
anak perlu dikembangkan melalui interaksi minat, kesempatan mengagumi
dan kasih sayang.
Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa anak usia prasekolah adalah
anak – anak yang berusia antara 3 – 6 tahun serta pada masa prasekolah anak
mengalami kemajuan pesat dalam keterampilan menolong dirinya sendiri dan dalam
keterampilan bermain.
30
2.2.8. Perkembangan Sosial
Perkembangan sosial adalah aspek yang berhubungan dengan kemampuan
mandiri, bersosialisasi dan berinteraksi dengan lingkungan ( Listiyorini, 2016 ).
1. Umur 3 tahun
Anak bisa berpakaian sendiri hampir lengkap bila dibantu dengan kancing
belakang dan mencocokkan sepatu kanan dan kiri. Mereka mengalami
peningkatan rentang perhatian dapat menyiapkan makan sederhana, seperti sereal
dan susu dingin, dapat membantu mengatur meja, dapat mengeringkan piring
tanpa pecah. Dapat mengetahui jenis kelamin sendiri dan jenis kelamin orang lain.
2. Umur 4 tahun
Anak sangat mandiri cenderung untuk keras kepala dan tidak sabar. Mereka
cenderung agresif secara fisik serta verbal, mendapat kebanggaan dalam
pencapaian. Mereka mengalami perpindahan alam perasaan, memamerkan secara
dramatis, menikmati pertunjukkan orang lain. Anak menceritakan cerita keluarga
kapada orang lain.
3. Anak umur 5 tahun
Anak kurang memberontak dibandingkan dengan sewaktu berusia 4 tahun, lebih
tenang dan berhasrat untuk menyelesaikan urusan.Mereka tidak seterbuka dan
terjangkau dalam hal pikiran dan perilaku seperti pada tahun - tahun sebelumnya,
dapat lebih bertanggung jawab dan mandiri.