BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Konsep Pola Pengasuhan 2.1.1 ...

23
8 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Konsep Pola Pengasuhan 2.1.1. Definisi Pola Pengasuhan Pola pengasuhan (parenting) atau perawatan anak sangat bergantung pada nilai - nilai yang dimiliki keluarga ( Supartini, 2002 dalam Septiani, 2012). Pola asuh merupakan proses dari tindakan yang mempunyai tujuan untuk dicapai sedang masa tersebut dimulai dari masa kehamilan (Wong, 2003 dalam Teviana, 2012). Menurut kamus Bahasa Indonesia asuh adalah menjaga dan memelihara anak sakit (Chaniago, 1995 dalam Septiani, 2012). Pada dasarnya tujuan utama pengasuhan orang tua adalah untuk memepertahankan kehidupan fisik anak dan meningkatkan kesehatannya, memfasilitasi anak untuk mengembangkan kemampuan sejalan dengan tahapan perkembangannya dan mendorong peningkatan kemampuan berperilaku sesuai dengan nilai agama dan budaya yang diyakininya. Kemampuan orang tua atau keluarga menjalankan peran pengasuhan ini tidak dipelajari secara formal melainkan berdasarkan pengalaman dalam menjalankan peran tersebut secara trial dan error atau mempengaruhi orang tua/ keluarga lain terdahulu (Supartini, 2002 Septiani, 2012)

Transcript of BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Konsep Pola Pengasuhan 2.1.1 ...

8

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Konsep Pola Pengasuhan

2.1.1. Definisi Pola Pengasuhan

Pola pengasuhan (parenting) atau perawatan anak sangat bergantung pada

nilai - nilai yang dimiliki keluarga ( Supartini, 2002 dalam Septiani, 2012). Pola asuh

merupakan proses dari tindakan yang mempunyai tujuan untuk dicapai sedang masa

tersebut dimulai dari masa kehamilan (Wong, 2003 dalam Teviana, 2012). Menurut

kamus Bahasa Indonesia asuh adalah menjaga dan memelihara anak sakit (Chaniago,

1995 dalam Septiani, 2012).

Pada dasarnya tujuan utama pengasuhan orang tua adalah untuk

memepertahankan kehidupan fisik anak dan meningkatkan kesehatannya,

memfasilitasi anak untuk mengembangkan kemampuan sejalan dengan tahapan

perkembangannya dan mendorong peningkatan kemampuan berperilaku sesuai

dengan nilai agama dan budaya yang diyakininya. Kemampuan orang tua atau

keluarga menjalankan peran pengasuhan ini tidak dipelajari secara formal melainkan

berdasarkan pengalaman dalam menjalankan peran tersebut secara trial dan error

atau mempengaruhi orang tua/ keluarga lain terdahulu (Supartini, 2002 Septiani,

2012)

9

2.1.2. Bentuk Pola Pengasuhan

Menurut Strewart dan Koch ( 1983 ) dalam Tarmudji ( 2011 ) ada tiga bentuk

pola asuh orang tua, yaitu :

1. Pola asuh otoriter

Pola asuh otoriter adalah suatu gaya pengasuhan yang membatasi dan menuntut

anak untuk mengikuti perintah - perintah orang tua. Orang tua yang menerapkan

pola asuh otoriter mempunyai ciri - ciri bersifat kaku, tegas, suka menghukum

dan kurang kasih sayang. Orang tua memaksa anak - anak untuk patuh terhadap

nilai - nilai dan peraturan mereka. Dalam memberikan peraturan itu tidak ada

usaha untuk menjelaskan kepada anak mengapa ia harus patuh pada peraturan itu

( Hurlock, 1999 dalam Septiani, 2012). Anak dari orang tua yang otoriter

cenderung bersifat curiga pada orang lain dan merasa tidak bahagia dengan

dirinya sendiri merasa canggung berhubungan dengan teman sebaya, canggung

menyesuaikan diri pada awal masuk sekolah dan memiliki prestasi belajar yang

rendah dibandingkan dengan anak - anak lain. Adapun dampak dari

perkembangan motorik terhadap pola asuh otoriter adalah anak cenderung agresif,

impulsive, pemurung dan kurang mampu konsentrasi.

2. Pola asuh demokratis

Pola asuh demokratis adalah salah satu gaya pengasuhan yang memperlihatkan

pengawasan ekstra ketat terhadap tingkah laku anak - anak, tetapi mereka juga

bersikap responsif (Desmita, 2005 dalam Septiani, 2012). Menurut Stewart dan

Koch (1983) dalam Tarmudji (2011) bahwa orang tua yang demokratis

memandang sama kewajiban dan hak antara anak dan orang tua. Secara bertahap

10

orang tua memberikan tanggung jawab bagi anak - anaknya terhadap segala

sesuatu yang diperbuatnya sampai mereka dewasa. Lebih lanjut Suherman (2000)

dalam Septiani,(2012) menyatakan bahwa orang tua yang demokratis

memperlakukan anak sesuai dengan tingkat - tingkat perkembangan motorik anak

dan dapat memperhatikan serta mempertimbangkan keinginan anak. Dampak

perkembangan motorik terhadap pola asuh demokratis yaitu rasa harga diri yang

tinggi, memiliki moral yang standar, kematangan psikologisosial, kemandirian

dan mampu bergaul dengan teman sebayanya.

Menurut Baumrind (Santrock, 2007) Ciri-ciri pola asuh demokratis adalah:

Menentukan peraturan dan disiplin dengan memperhatikan dan

mempertimbangkan alasan-alasan yang diterima.

Memberikan pengarahan tentang perbuatan baik yang perlu dipertahankan dan

yang tidak baik agar ditinggalkan.

Memberikan bimbingan dengan penuh perhatian.

Dapat menciptakan keharmonisan keluarga.

Dapat menciptakan suasana komunikatif antar orang tua dan anak serta

sesama keluarga.

Dampak pola asuh demokratis terhadap perilaku belajar anak :

Adapun dampak yang akan terjadi apabila orang tua menerapkan pola asuh

demokratis, adalah:

Anak lebih mandiri, tegas terhadap diri sendiri dan memiliki kemampuan

introspeksi serta pengendalian diri.

11

Mudah bekerjasama dengan orang lain dan kooperatif terhadap aturan.

Lebih percaya diri akan kemampuannya menyelesaikan tugas-tugas.

Merasa aman dan menyukai serta semangat dalam tugas-tigas belajar.

Memiliki keterampilan sosial yang baik dan terampil menyelesaikan

permasalahan.

Tampak lebih kreatif dan memiliki motivasi berprestasi.

3. Pola asuh permisif

Menurut Stewart dan Koch (1983) dalam Tarmudji (2011) menyatakan bahwa

pola asuh permisif anak dituntut sedikit sekali tanggung jawab tetapi mempunyai

hak yang sama seperti orang dewasa. Anak diberi kebebasan untuk mengatur

dirinya sendiri dan orang tua tidak banyak mengatur anaknya. Dalam pola asuh

ini diasosiasikan dengan kurangnya kemampuan pengendalian diri anak karena

orang tua yang cenderung membiarkan anak mereka melakukan apa saja yang

mereka inginkan dan akibatnya anak selalu mengharap semua keinginannya

dituruti (Desmita, 2005 dalam Septiani, (2012 ). Lebih lanjut menurut Hurlock

(1976) dalam Tarmudji (2011) bahwa dalam pola asuh permisif bimbingan

terhadap anak kurang dan semua keputusan lebih banyak dibuat oleh anak dari

pada orang tuanya.Dalam pola asuh ini sikap acceptance orang tua tinggi namun

tingkat kontrolnya rendah (Yusuf, 2001 dalam Teviana, 2012). Dampak dari

perkembangan motorik terhadap pola asuh permisif yaitu kurang percaya diri,

pengendalian diri yang buruk dan rasa harga diri yang rendah. Pola asuh

dipengaruhi oleh faktor budaya, agama, kebiasaan dan kepercayaan serta

12

kepribadian orang tua. Selain itu dipengaruhi pola asuh yang dirasakan orang tua

saat kecil (Markum, 1998 dalam Teviana, 2012). Erikson menyebutkan bahwa

pola pengasuhan diawal kehidupan seseorang akan melandasi kepribadian yang

akan terus berkembang pada fase - fase berikutnya. Proses pengasuhan dimasa

bayi, akan mendasari kepibadian dimasa remaja, dan seterusnya. Proses tersebut

akan berlanjut seumur hidupnya. Dengan demikian tampaklah bahwa kepribadian

seseorang tidak dapat lepas begitu saja dari proses pengasuhan pada fase - fase

sebelumnya (Yusuf, 2004 dalam Teviana, 2012).

Menurut Baumrind (Santrock, 2007) Ciri-ciri pola asuh permissive adalah

Adanya kebebasan tanpa batas pada anak untuk berperilaku sesuai dengan

keinginannya.

Anak terkadang egois.

Dampak pola asuh permisif terhadap perilaku belajar anak :

Adapun dampak yang akan terjadi apabila orang tua menerapkan pola asuh

permisive, adalah:

Anak menjadi tampak responsive dalam belajar, namun kurang matang,

impulsive dan mementingkan diri sendri, kurang percaya diri maupun

cengeng

Anak mudah menyerah dalam menghadapi hambatan atau kesulitan dalam

tugas-tugasnya.

Tidak jarang perilakunya di sekolah menjadi agresif.

13

Menurut Soetjiningsih (1995) dalam Septiani (2012), kebutuhan dasar anak

untuk tumbuh dan berkembang secara umum digolongkan menjadi 3 kebutuhan

dasar yaitu :

1. Kebutuhan fisik-biomedis (ASUH), meliputi :

a. Pangan/ gizi merupakan kebutuhan terpenting

b. Papan/ tempat tinggal

c. Sandang/ pakaian yang memadai

2. Kebutuhan emosi/ kasih sayang (ASIH)

Merupakan syarat mutlak untuk menjamin tumbuh kembang yang selaras baik

fisik, mental, psikologi.

3. Kebutuhan akan stimulasi mental (ASAH)

Adalah mengembangkan perkembangan moral etika, kepribadian, perilaku.

2.1.3. Macam-macam Pola Asuh Orang Tua

Dalam mengelompokkan pola asuh orang tua dalam mendidik anak, para ahli

mengemukakan pendapat yang berbeda-beda, yang antara satu sama lain hampir

mempunyai persamaan. Dr.Paul Hauck menggolongkan pengelolaan anak ke dalam

empat macam pola, yaitu : (Hauck, 1993:47 dalam Teviana, 2012):

a. Kasar dan tegas

Orang tua yang mengurus keluarganya menurut skema neurotik

menentukan peraturan yang keras dan teguh yang tidak akan di ubah dan

mereka membina suatu hubungan majikan-pembantu antara mereka sendiri

dan anak-anak mereka.

14

b. Baik hati dan tidak tegas

Metode pengelolaan anak ini cenderung membuahkan anak-anak nakal

yang manja, yang lemah dan yang tergantung, dan yang bersifat kekanak-

kanakan secara emosional.

c. Kasar dan tidak tegas

Inilah kombinasi yang menghancurkan kekasaran tersebut biasanya

diperlihatkan dengan keyakinan bahwa anak dengan sengaja berprilaku buruk

dan ia bisa memperbaikinya bila ia mempunyai kemauan untuk itu.

d. Baik hati dan tegas

Orang tua tidak ragu untuk membicarakan dengan anak-anak mereka

tindakan yang mereka tidak setujui. Namun dalam melakukan ini, mereka

membuat suatu batas hanya memusatkan selalu pada tindakan itu sendiri,

tidak pernah si anak atau pribadinya.

Menurut Drs. H. Abu Ahmadi (Ahmadi,1991:80) dalam Septiani (2012),

mengemukakan bahwa, berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Fels Research

Institute, corak hubungan orang tua-anak dapat dibedakan menjadi tiga pola, yaitu :

1. Pola menerima-menolak, pola ini didasarkan atas taraf kemesraan orang tua

terhadap anak.

2. Pola memiliki-melepaskan, pola ini didasarkan atas sikap protektif orang tua

terhadap anak. Pola ini bergerak dari sikap orang tua yang overprotektif dan

memiliki anak sampai kepada sikap mengabaikan anak sama sekali.

15

3. Pola demokrasi-otokrasi, pola ini didasarkan atas taraf partisifasi anak dalam

menentukan kegiatan-kegiatan dalam keluarga. Pola otokrasi berarti orang tua

bertindak sebagai diktator terhadap anak, sedangkan dalam pola demokrasi,

sampai batas-batas tertentu, anak dapat berpartisifasi dalam keputusan

keputusan keluarga.

2.1.4. Faktor Yang Mempengaruhi Pola Asuh

Menurut Supartini (2002) dalam Septiani (2012), faktor - faktor yang

mempengaruhi pola asuh :

1. Usia orang tua

Rentang usia tertentu adalah baik untuk menjalankan peran pengasuhan. Apabila

terlalu muda atau tua mungkin tidak dapat menjalankan peran tersebut secara

optimal karena diperlukan kekuatan fisik dan psikososial.

2. Keterlibatan orang tua

Kedekatan hubungan ibu dan anak sama pentignya dengan ayah dan anak

walaupun secara kodrati akan ada perbedaan. Di dalam rumah tangga ayah dapat

melibatkan dirinya melakukan peran pengasuhan kepada anaknya. Seorang ayah

tidak saja bertanggung jawab dalam memberikan nafkah tetapi dapat pula bekerja

sama dengan ibu dalam melakuan perawatan anak seperi menggantikan popok

ketika anak mengompol atau mengajaknya bermain bersama sebagai salah satu

upaya dalam melakukan interaksi.

16

3. Pendidikan orang tua

Wong et (2001) dalam Teviana (2012) mengemukakan beberapa cara yang dapat

dilakukan untuk lebih siap menjalankan peran pengasuhan diantaranya adalah

pendidikan.

4. Pengalaman sebelumnya dalam mengasuh anak

Orang tua yang telah mempunyai pengalaman sebelumnya dalam merawat anak

akan lebih siap menjalankan pengasuhan dan lebih relaks.

5. Stres orang tua

Stres yang dialami orang tua akan mempengaruhi kemampuan orang tua dalam

menjalankan peran pengasuhannya terutama dalam kaitannya dengan strategi

koping yang dimiliki oleh anak.

6. Hubungan suami istri

Hubungan yang kurang harmonis antara suami istri akan berdampak pada

kemampuan dalam menjalankan perannya ssebagai orang tua dan merawat serta

mengasuh anak dengan penuh rasa bahagia karena satu sama lain dapat saling

memberi dukungan dan menghadapi segala masalah dengan koping yang positif.

2.1.5. Hubungan Pola Asuh dengan Kemampuan Motorik

Pola asuh bertujuan untuk mempertahankan kehidupan fisik anak dan

meningkatkan kesehatannya memfasilitasi anak untuk mengembangkan kemampuan

sejalan dengan tahapan perkembangan dan mendorong peningkatan kemampuan

berperilaku sesuai dengan nilai agama dan budaya yang diyakininya.

17

Menurut Anwar ( 2002 ) dalam Listroyorini (2016) agar keluarga atau orang

tua mampu melakukan fungsinya dengan baik maka orang tua perlu memahami

tingkat perkembangan anak, menilai pertumbuhan dan perkembangan anak serta

mempunyai motivasi yang kuat untuk memajukan tumbuh kembang anaknya dengan

cara memberi pola pengasuhan yang baik terhadap anak.

Gerakan motorik terdiri dari tiga komponen besar yaitu reseptor sensorik, otak

dan alat gerak. Tiap rangsangan yang diterima oleh reseptor diteruskan ke otak

melalui saraf sensorik setelah itu otak mengambil suatu keputusan untuk melakukan

tindakan melalui saraf motorik (Tandyo, 2002 dalam Listroyorini, 2016).

Kesempatan untuk menggerakkan semua bagian tubuh, rangsangan dan

dorongan kepada anak mempercepat tercapainya kemampuan motorik.

Perkembangan motorik yang abnormal dapat disebabkan karena kurangnya

kesempatan untuk berlatih menggunakan anggota tubuhnya, adanya perlindungan

yang berlebihan (Hurlock, 1999 dalam Teviana, 2012). Adapun pola asuh yang ideal

atau pola asuh yang baik adalah pola asuh demokratis dimana anak mempunyai hak

untuk mengetahui mengapa peraturan - peraturan dibuat dan memperoleh kesempatan

mengemukakan pendapatnya sendiri bila ia menganggap bahwa peraturan itu tidak

adil. Setiap orang tua mencoba menghargai kemampuan anak secara langsung pada

waktu anak bertingkah laku (Djiwardono, 2002 dalam Teviana, 2012 ).

Adapun faktor - faktor yang mempengaruhi kemampuan motorik adalah :

1. Stimulasi

Pemberian stimulasi pada tiga tahun pertama kehidupan anak merupakan hal yang

sangat penting bagi kehidupan anak karena tiga tahun pertama otak merupakan

18

organ yang sangat pesat pertumbuhan dan perkembangan. Menurut Soetjiningsih

(1995) dalam Teviana (2012 ), stimulasi merupakan hal yang sangat penting

dalam perkembangan anak, karena anak yang mendapatkan stimulasi yang terarah

akan berkembang lebih cepat dan baik dibanding dengan anak yang kurang atau

sama sekali tidak mendapatkan stimulasi. Stimulasi juga dapat berfungsi sebagai

penguat yang brmanfaat bagi perkembangan anak, termasuk perhatian dan kasih

sayang dari orang tua. Peran orang tua mempengaruhi perkembangan motorik

anak. Orang tua yang memberikan stimulasi dini maka kemampuan motorik anak

berkembang dengan baik. Sedangkan orang tua yang sibuk bekerja mempunyai

waktu yang sedikit untuk menstimulasi anak berkembang secara optimal.

Menurut Anwar (2002) dalam Teviana (2012) peran keluarga atau orang

tua dalam mengasuh anak berpengaruh terhadap perkembangan anak seperti

keluarga yang berantakan atau orang tua yang bercerai, pertumbuhan dan

perkembangan anak menjadi terhambat. Orang tua disini adalah orang tua

kandung maupun pengasuh pengganti orang tua, yakni orang - orang yang

mendapat tugas untuk menggantikan orang tua kandung, dalam perannya

mengasuh anak diwaktu mereka sedang sibuk.

2. Gizi

Tandyo, J (2002) dalam Listroyorini (2016) menyatakan bahwa gizi sangat

penting untuk anak terutama pada usia 3 - 4 tahun. Pada masa ini pertumbuhan

berlangsung sangat cepat sehingga memerlukan konsumsi protein dan zat

pengatur seperti vitamin dan mineral. Perkembangan mental juga memerlukan

lebih banyak protein, terutama untuk pertumbuhan sel otaknya. Pertumbuhan

19

sel otak sangat cepat dan akan berhenti atau mencapai taraf sempurna pada usia

4 - 5 tahun. Makanan memegang peranan penting dalam tumbuh kembang

anak, karena anak sedang tumbuh sehingga kebutuhannya berbeda dengan

orang dewasa, kekurangan makanan yang bergizi akan menyababkan retardasi

pertumbuhan anak.

2. Kecerdasan

Kecerdasan dimiliki anak sejak dilahirkan, anak yang kecerdasannya tinggi

menunjukkan perkembangan yang lebih cepat dibanding anak yang

kecerdasannya normal atau dibawah normal (Hurlock,1999 dalam Listroyorini,

2016).

2.2 Kemampuan Sosialisasi Anak Usia Prasekolah

2.2.1 Pengertiaan sosialisasi

Sosialisasi menurut Child ( dalam Sylva dan Lunt, 1998 dalam Teviana, 2012 )

adalah keseluruhan proses yang menuntun seseorang dilahirkan dengan perilaku

aktual yang jauh lebih sempit jangkauan – jangkauan mengenai yang biasa dan

diterima menurut norma kelompoknya. Sosialisasi adalah “ proses yang digunakan

anak untuk mempelajari standar, nilai, perilaku yang diharapkan kebudayaan, atau

lingkungan masyarakat mereka” ( Musen dkk, 1994 ) dalam Chaplin ( 2002 ) dalam

Teviana, 2012 mengemukakan bahwa sosialisasi adalah proses mempelajari

kebiasaan, cara hidup adat istiadat masyarakat tertentu. Perkembangan sosialisasi

anak dipengaruhi oleh keluarga, teman bermain dan sekolah. Lingkungan pertama

serta utama yang dikenal sejak saat lahir yaitu keluarga. Ayah, ibu dan anggota

20

keluarga lainnya merupakan lingkungan sosial yang berasal dari keluarga, besar

perannya bagi perkembangan dan pembentukan kepribadian individu. Kebiasaan

yang ditanamkan keluarga baik itu positif maupun negatif secara tidak langsung akan

terbentuk dalam kepribadian anak.

Kemampuan sosialisasi menjadi aspek penting dalam perkembangan anak,

karena masa anak prasekolah merupakan masa peralihan dari lingkungan keluarga

kedalam lingkungan sekolah dan lingkungan masyarakat. Didalam lingkungan

sekolah anak tidak hanya memasuki dunia sosialisasi yang lebih luas melainkan anak

juga menemukan suasana lingkungan yang berbeda, teman, guru, atau aturan – aturan

yang berbeda dengan lingkungan keluarga ( Chaplin, 2002 dalam Teviana, 2012).

Dari defenisi – defenisi di atas dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud

dengan sosialisasi adalah proses dimana anak – anak belajar mengenai standar, nilai

dan sikap yang diharapkan kebudayaan atau lingkungan masyarakat mereka.

2.2.2. Proses Sosialisasi

Proses sosial pada hakekatnya adalah proses belajar sosial mengenai tingkah

laku yang diharapkan oleh masyarakatnya. Proses sosialisasi berawal dari keluarga,

memlalui keluargalah anak belajar beradaptasi di tengah kehidupan bermasyarakat (

Satiadarma, 2001 ). Hurlock ( 1997 )dalam Teviana (2012), proses sosialisasi

diperoleh dari kemampuan berperilaku yang sesuai dengan tuntutan sosial. Sosialisasi

ini memerlukan beberapa proses, yaitu :

21

1. Belajar berperilaku yang dapat diterima secara sosial

Setiap kelompok sosial mempunyai standar bagi anggotanya untuk dapat

diterima, dan harus mampu menyesuaikan perilaku dengan patokan yang dapat

diterima pula.

2. Memaikan peran sosial yang dapat diterima

Setiap kelompok mempunyai pola kebiasaan yang telah ditentukan para

anggotanya dan dituntut untuk dipenuhi.

3. Perkembangan sikap sosial

Untuk bermasyarakat dan bergaul dengan baik diperlukan minat untuk melihat

anak yang lain dan berusaha mengadakan kontak dengan mereka, mencoba untuk

bergabung dan bekerjasama dengan mereka dalam bermain. Berdasarkan uraian

di atas dapat disimpulkan bahwa proses sosialisasi ialah proses belajar sosial

untuk mempelajari tingkah laku yang diharapkan masyarakat.

2.2.3 Klasifikasi Macam-Macam Jenis Sosialisasi

Menurut George Herbert Mead (2009) dalam Amin ( 2017 ). Berdasarkan Jenis,

sosialisasi dibagi menjadi dua kelompok :

a. Sosialisasi Primer

Sosialisasi primer adalah sosialisasi yang pertama kali dialami seorang

individu sejak ia lahir. Sosialisasi primer biasanya berlangsung saat anak berusia 1 –

5 tahun. Keluarga merupakan media atau agen yang memiliki peran pokok dalam

sosialisasi primer. Dalam jenis ini, seorang anak mulai mengenal anggota keluarga

dan mampu membedakan perannya dengan orang lain dalam keluarga tersebut.

22

Menurut Horton Coley (2015) berpendapat bahwa kelompok primer memiliki

ciri-ciri antara lain: setiap anggota kelompok primer memiliki keterikatan, sehingga

mereka saling mengenal satu dengan yang lainnya, sosialisasi pada kelompok primer

dilakukan dengan cara bertatap muka, anggota kelompok primer memiliki hubungan

yang sangat dekat sehingga terjadi sosialisasi yang intim dan kekeluargaan.

Hommans (2015) berperdapat bahwa sosialisasi primer adalah sosialisasi yang

dilakukan oleh sekelompok orang yang berkomunikasi dengan intensitas yang tinggi

dan langsung. Barger dan Luckman (2015) berpendapat bahwa sosialisasi primer

merupakan sosialisasi yang pertama kali dijalankan oleh seseorang dimulai sejai ia

kecil dengan mempelajari nilai-nilai serta kebiasaan yang ada di dalam keluarga

secara bertahap. Sosialisasi primer berlangsung saat anak berumur 0-5 tahun, yaitu

ketika anak belum memasuki dunia sekolah, sehingga anak hanya mengenal anggota

keluarga dan orang terdekatnya saja. Pada sosialisasi primer anak mulai belajar

membedakan dirinya dengan anggota keluarga lain dan menempatkan dirinya

menjadi bagian anggtota keluarga tersebut. Pada tahap ini keberadaan serta partisipasi

anggota keluarga lainya serta orang terdekatnya memiliki peranan yang penting

sekali, sehingga dapat membantu perkembangan dan pembentukan kepribadian anak.

b. Sosialisasi Sekunder

Sosialisasi Sekunder merupakan proses sosialisasi lanjutan setelah sosialisasi

primer. Dalam sosialisasi sekunder, seseorang mulai mengenal kelompok atau

individu lain selain keluarga dalam masyarakat. Terdapat dua bentuk umum saat

seseorang mulai memasuki masa sosialisasi sekunder yaitu Resosialisasi (pemberian

identitas baru) dan Desosialisasi (Pencabutan identitas diri yang lama).

23

Horton Cooley (2015) berpendapat bahwa kelompok sekunder memiliki ciri-

ciri sebagai berikut : Melibatkan orang banyak, tidak memiliki hubungan yang erat,

dapat di lakukan dengan orang asing, serta sosialisasi sekunder memiliki sifat yang

hanya sementara.

Yang membedakan kelompok sosialisasi sekunder kedalam beberapa

karakteristik :

a. Sosialisasi kekunder memiliki komunikasi yang sangat luas dan tak

terbatas. Komunikasi yang dilakukan bersifat dangkal, artinya hanya

menampilkan kepribadian luar yang memiliki oleh seseorang,berbeda

dengan sosialisasi primer yang memiliki sifat komunikasi yang dalam ,

artinya komunukasi ini bersifat intim dan dapat melibatkan kepribadian

seseorang yang sebenarnya.

b. Kelompok sekunder menekankan komunikasi yang berkualitas pada

aspek isi komunikasi sedangkan kelompok primer menekan pada

komunikasi yang berkualitas pada aspek hubungan artinya, komunikasi

dilakukan hanya untuk mempererat hubungan.

c. Sosialisasi sekunder pada umumnya merupakan komunikasi yang

dilakukan secara formal, berbeda dengan sosialisasi primer, yang

bersifat informal.

d. Sosialisasi sekunder memiliki sifat nonpersonal, sedangkan komunikasi

pada sosialisasi primer bersifat personal.

24

e. Komunikasi pada sosialisasi sekunder cenderung instrumental dan logis

lain halnya dengan komunikasi pada sosialisasi primer, komunikasinya

cenderung ekspresif.

2.2.4. Dampak- dampak sosialisasi

Dampak positif Menjadi agen sosialisai paling berpengaruh dalam menentukan

kepribadian seorang individu. Dampak negatif Sosialisasi keluarga akan membawa

pengaruh terburuk ketika dalam kekuarga tersebut terjadi konflik. Sehingga

menimbulkan trauma dan depresi pada anak, yang bekelanjutan dengan dengan

perilaku menyimpang dari anak broken home tersebut. Sosialisai kelompok bermain

Dampak positif :

a. Adanya rasa aman dan dianggap penting

b. Tumbuhnya rasa kemandirian dalam diri anak

c. Anak mendapat tempat penyaluran berbagai perasaannya, seperti rasa senang

dan sedih.

d. Dapat mengembangkan berbagai keterampilan sosial yang dimiliki.

e. Memiliki banyak teman dan mendapat banyak pengetahuan.

f. Dapat terhindar dari lingkungan pergaulan yang negatif

g. Ilmunya bermanfaat dan memiliki masa depan yang cerah

h. Mampu bersosialisasi dengan baik

i. Belajar untuk membentuk organisasi yang baik

j. Terbentuknya sifat disiplin dalam penggunaan waktu

25

Dampak negatif :

a. Penyalahgunaan narkoba

b. Pelacuran

c. Sosialisasi tidak sempurna

2.2.5. Tahap – Tahap Sosialisasi

Keluarga merupakan tempat pertama bagi anak untuk belajar bersosialisasi. “

Melalui keluargalah anak belajar merespon terhadap masayarakat dan beradaptasi di

tengah kehidupan masyarakatnya yang lebih luas nantinya. Melalui proses sosialisasi

didalam keluarga, seorang anak secara bertahap belajar menegmbangkan kemampuan

nalar serta iamajinasinya “ ( Satiadarma, 2011 ). Perhatian terhadap hal – hal

disekelilingnya banyak dipengaruhi oleh nilai – nilai yang mereka anut, keluargalah

yang menanamkan nilai – nilai tersebut.

Setelah anak belajar bersosialisasi dalam keluarga, kemudian anak akan

belajar bersosialisasi di luar rumah yang diperoleh dari teman sebaya, sekolah, guru,

dan lingkungan di luar yang lebih luas ( Mussen dkk, 1994 dalam Listroyorini, 2016).

Yusuf ( 2008 ) mengemukakan bahwa tahap perkembangan sosial pada usia

prasekolah yaitu, anak mulai mengetahui aturan – aturan baik didalam lingkungan

keluarga maupun didalam lingkungan bermain, sedikit demi sedikit anak mulai

tunduk pada aturan, anak mulai menyadari hak dan kewajiban orang lain, anak mulai

bermain bersama dengan anak – anak yang lain atau teman sebayanya.

Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa tahap – tahap sosialisasi

berawal dari lingkungan didalam keluarga dan selanjutnya anak akan belajar

bersosialisasi di luar lingkungan keluarga seperti sekolah maupun masyarakat

26

2.2.6. Faktor – Faktor 2 Yang Mempengaruhi Sosialisasi

Hurlock ( 1997 ) dalam Listroyorini (2016) mengemukakan bahwa faktor-

faktor yang mempengaruhi sosialisasi terutama anak yakni sikap anak – anak

terhadap orang lain dan pengalaman sosial serta seberapa baik meraka dapat bergaul

dengan orang lain. Anak – anak akan tergantung pada pengalaman belajar selama

bertahun – tahun awal kehidupan yang merupakan masa pembentukan kepribadian,

tetapi kelompok sosial juga berpengaruh terhadap perkembangan sosial pada anak.

Namun pada akhirnya, kemampuan anak untuk menyesuaikan diri dengan tuntutan

sosial dan menjadi pribadi yang dapat bermasyarakat, tergantung pada 4 faktor

menurut Sujiono ( 2005 ) dalam Satiadarma (2011) yaitu : kesempatan yang penuh

untuk belajar bersosialisasi / bermasyarakat, mampu berkomunikasi pembicaraan

yang bersifat sosial merupakan penunjang yang penting bagi sosialisasi, anak hanya

akan belajar bersosialisasi apabila mereka memiliki motivasi untuk melakukannya,

metode belajar yang efektif dengan bimbingan adalah penting. Empat faktor akan

menjadi daya dorong tersendiri bagi anak untuk mengembangkan kemampuan

sosialisasi.

Jadi dapat disimpulkan bahwa faktor – faktor yang mempengaruhi sosialisasi

pada anak adalah adanya sikap anak – anak terhadap orang lain dan pengalaman

sosial yang seberapa baik mereka dapat bergaul dengan orang lain.

27

2.2.7 Anak Prasekolah

Prasekolah dapat diartikan sebagai pendidikan sebelum sekolah. Anak

prasekolah adalah mereka yang berusia antara 3 – 6 tahun ( Riyanto dkk, 2004 dalam

Suharsono, 2009). Anak prasekolah adalah pribadi yang mempunyai berbagai macam

potensi. Potensi – potensi itu dirangsang dan dikembangkan agar pribadi anak

tersebut berkembang secara optimal, anak dapat berkembang kepribadiaanya lewat

sosialisasi di sekolah. Taman Kanak – Kanak ( TK ) adalah salah bentuk pendidikan

prasekolah yang menyediakan program pendidikan dini bagi anak usia 4 – 6 tahun

atau memasuki pendidikan dasar. Hal ini sesuai dengan Undang – Undang nomer 20

Tahun 2003 tentang pendidikan prasekolah. Patmonodewi dalam Listiyorini, 2016 )

mengemukakan bahwa program prasekolah di Indonesia dibedakan menjadi beberapa

kelompok, diantaranya program tempat penitipan anak ( 3 bulan – 5 tahun ),

kelompok bermain ( 3 tahun ), sedangkan pada usia 4 – 6 tahun biasanya mengikuti

program Taman Kanak – Kanak ( TK ). Usia prasekolah diantara usia 4 – 6 tahun

bertujuan untuk meletakkan arah dasar kearah perkembangan sikap, pengetahuan,

keterampilan dan daya cipta yang diperlukan untuk anak dalam menyesuaikan diri

dengan lingkungannya dan untuk pertumbuhan dan perkembangan selanjutnya.

Langeveld dalam Riyanto ( 2014 ) mengemukakan tentang kemampuan –

kemampuan yang harusnya dicapai anak prasekolah antara lain, berbahasa lisan dan

bercerita, mengenal pola kehidupan sosial , ( aku, keluarga, dan sekolah ), mengerti

dan menguasai keterampilan untuk kehidupan sehari – hari, mulai mengkhayal, dan

belum dapat membedakan antara kenyataan dan imajinasi belaka. Anak Taman

Kanak – Kanak termasuk dalam kelompok umur prasekolah. Pada umur 2 - 4 tahun,

28

anak ingin bermain, melakukan latihan berkelompok, melakukan penjelajahan,

bertanya, menirukan dan mencipta sesuatu. Masa ini mengalami kemajuan pesat

dalam keterampilan menolong dirinya sendiri dan dalam keterampilan bermain.

Faktor yang mempengaruhi perkembangan sosial ( sosialisasi ) anak usia

prasekolah :

1. Kondisi kesehatan anak

Kesehatan anak memepengaruhi kemampuan anak mengenal lingkungan di luar

lingkungan keluarga. Anak dengan kondisi sehat akan cepat bisa menyesuaikan

dengan lingkungan di luar lingkungan keluarga ( Effendy, 1998 dalam Riyanto,

2014 ).

2. Umur anak

Umur merupakan indikator kedewasaan seseorang, semakin bertambah umur

semakin bertambah pengetahuan yang dimiliki, serta bertambah kemampuan

menyesuiakan diri dengan lingkunagan di luar lingkungan keluarga (

Notoadmojo, 2009 ).

3. Memiliki motivasi untuk sosialisasi

Anak menyesuaikan diri dengan lingkungan mereka karena mendapat

pengalaman baru ketika bergabung dengan kelompok dibandingkan jika mereka

bermain sendiri ( Sujiyono, 2005 dalam Listiyorini, 2016).

4. Adanya kesempatan untuk bersosialisasi

Sikap orang tua yang demokratis memberikan kesempatan anak untuk bergabung

dengan teman seusianya ( Suiyono, 2005 dalam Listiyorini, 2016).

29

Riyanto ( 2014 ) mengemukakan ciri – ciri anak prasekolah atau TK diantaranya :

a. Ciri – ciri fisik

Anak prasekolah mempergunakan keterampilan gerak dasar ( berlari, berjalan,

memanjat, melompat ) sebagai bagian dari permainan mereka. Mereka aktif,

tetapi lebih bertujuan dan tidak terlalu mementingkan bisa beraktivitas sendiri.

b. Ciri sosial

Pada umumnya anak pada tahapan ini memiliki satu atau dua sahabat, tetapi

dua sahabat ini cepat berganti. Perasaan simpati dan empati pada teman juga

berkembang, mampu berbagi dengan inisiatif mereka sendiri, anak menjadi

sosialis.

c. Ciri emosional

Anak cenderung mengekspresikan emosinya dengan bebas. Sikap marah

sering diperlihatkan dan iri hati pada anak prasekolah sering terjadi. Mereka

seringkali memperebutkan perhatian guru.

d. Ciri kognitif

Anak prasekolah umumnya terampil dalam berbahasa, sebagian besar mereka

senang berbicara dan sebagian lagi menjadi pendengar yang baik. Kompetensi

anak perlu dikembangkan melalui interaksi minat, kesempatan mengagumi

dan kasih sayang.

Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa anak usia prasekolah adalah

anak – anak yang berusia antara 3 – 6 tahun serta pada masa prasekolah anak

mengalami kemajuan pesat dalam keterampilan menolong dirinya sendiri dan dalam

keterampilan bermain.

30

2.2.8. Perkembangan Sosial

Perkembangan sosial adalah aspek yang berhubungan dengan kemampuan

mandiri, bersosialisasi dan berinteraksi dengan lingkungan ( Listiyorini, 2016 ).

1. Umur 3 tahun

Anak bisa berpakaian sendiri hampir lengkap bila dibantu dengan kancing

belakang dan mencocokkan sepatu kanan dan kiri. Mereka mengalami

peningkatan rentang perhatian dapat menyiapkan makan sederhana, seperti sereal

dan susu dingin, dapat membantu mengatur meja, dapat mengeringkan piring

tanpa pecah. Dapat mengetahui jenis kelamin sendiri dan jenis kelamin orang lain.

2. Umur 4 tahun

Anak sangat mandiri cenderung untuk keras kepala dan tidak sabar. Mereka

cenderung agresif secara fisik serta verbal, mendapat kebanggaan dalam

pencapaian. Mereka mengalami perpindahan alam perasaan, memamerkan secara

dramatis, menikmati pertunjukkan orang lain. Anak menceritakan cerita keluarga

kapada orang lain.

3. Anak umur 5 tahun

Anak kurang memberontak dibandingkan dengan sewaktu berusia 4 tahun, lebih

tenang dan berhasrat untuk menyelesaikan urusan.Mereka tidak seterbuka dan

terjangkau dalam hal pikiran dan perilaku seperti pada tahun - tahun sebelumnya,

dapat lebih bertanggung jawab dan mandiri.