BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Konsep Indeks Massa Tubuh 2.1 ...eprints.umm.ac.id/60375/3/BAB...
Transcript of BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Konsep Indeks Massa Tubuh 2.1 ...eprints.umm.ac.id/60375/3/BAB...
8
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Konsep Indeks Massa Tubuh
2.1.1 Definisi Indeks Massa Tubuh
Indeks massa tubuh (IMT) merupakan indikator kondisi tubuh
apakah tergolong ideal, underweight, atau overweight melalui peritungan (BB/TB
dalam bentuk kg/m2) (Dewi, 2014). Indeks massa tubuh bisa memperkirakan
massa tubuh, termasuk didalamnya lemak. Dengan diketahuinya IMT
seseorang, kondisi kesehatan seseorang terkait dengan resiko kesehatan
tubuhnya bisa di prediksikan (Sutomo, 2008).
2.1.2 Klasifikasi Indeks Massa Tubuh
Menurut WHO (2011), indeks massa tubuh (IMT) orang normal
adalah 18,5 – 24,9, indeks massa tubuh kurang dari 18,5 dikatakan kurus dan
jika 25 ke atas disebut obesitas. Obesitas dibagi menjadi obesitas derajat 1
(IMT 25-29,9), obesitas derajat 2 (IMT 30-39,9), dan obesitas derajat 3 atau
morbidsevere obesity (IMT 40 atau lebih) (Tandra, 2018).
Klasifikasi IMT terhadap penduduk Asia menurut kriteria WHO
tahun 2004 ditunjukkan pada tabel 2.1 berikut.
Tabel 2.1 Klasifikasi Status Berat Badan Berdasarkan IMT
Klasifikasi BMI/IMT kg/m2 Risiko Kormobiditas
Kurang <18,5 Rendah
Normal 18,5-22,9 Rata-rata
Kelebihan berat badan >23,0
- Praobesitas 23,0-26,9 Meningkat
- Obesitas ≥27,0 Tinggi
(Sumber: WHO, 2004)
9
2.1.3 Indeks Massa Tubuh Tidak Ideal
Indeks massa tubuh merupakan alat atau cara sederhana untuk
memantau status gizi orang dewasa, khususnya yang berkaitan dengan
kekurangan dan kelebihan berat badan. Berat badan yang kurang disebabkan
karena konsumsi energi lebih rendah dari kebutuhan yang mengakibatkan
sebagian cadangan energi tubuh dalam bentuk lemak akan digunakan
(KemenkesRI, 2011). Penelitian yang dilakukan di Jepang memberikan
informasi bahwa kurangnya berat badan merupakan masalah yang lebih besar
daripada obesitas bagi wanita di Jepang. Kurangnya zat gizi merupakan
mortalitas karena berhubungan dengan menurunnya sistem imun dan
bermanisfestasi pada rentannya pasien pada penyakit infeksi (Sudargo et al,
2014).
Kelebihan berat badan dapat terjadi apabila makanan yang
dikonsumsi mengandung energi melebihi kebutuhan tubuh. Kelebihan energi
tersebut akan disimpan tubuh sebagai cadangan dalam bentuk lemak sehingga
mengakibatkan seseorang menjadi lebih gemuk. Kelebihan berat badan dapat
meningkatkan resiko terhadap penyakit degeneratif (KemenkesRI, 2011).
Indeks massa tubuh yang tinggi sebelum kehamilan dan penambahan berat
badan yang tinggi selama kehamilan merupakan resiko terjadinya obesitas
pada anak. Menurut peneliti dari Universitas Florida, Amerika Serikat,
normalnya makan akan mengaktifkan hipotalamus (bagian otak kecil yang
memberikan sinyal kenyang) 10 menit sesudah makan. Tetapi pada orang
yang mengalami obesitas, mekanisme tersebut tidak bekerja dengan baik
sehingga mereka selalu makan dalam porsi yang jauh lebih banyak daripada
orang yang tidak mengalami obesitas (Sudargo et al., 2014).
10
2.2 Konsep Aktivitas Fisik
2.2.1 Definisi Aktivitas Fisik
Aktivitas fisik adalah semua gerakan otot yang dapat membakar
tubuh. Biasanya kita menyamakan istilah aktivitas fisik dengan olahraga,
namun sebenarnya berbeda. Olahraga meliputi segala macam pelatihan.
Sedangkan aktivitas fisik mencakup semua olahraga, semua gerakan tubuh,
pekerjaan, rekreasi, kegiatan sehari-hari, sampai kegiatan pada waktu berlibur
atau waktu senggang. Semua yang membakar energi adalah baik untuk
menurunkan lemak dan gula dalam darah (Tandra, 2009). Kita harus
mengubah gaya hidup santai (sedentary life) menjadi hidup yang lebih baik.
Olahraga ringan sampai derajat sedang dapat membuat tubuh lebih bugar dan
dapat mengontrol glukosa darah (Tandra, 2007).
Aktivitas fisik merupakan pergerakan anggota tubuh yang
mengakibatkan pengeluaran tenaga, sangat penting dalam pemeliharaan
kesehatan fisik dan mental serta mempertahankan kualitas hidup agar tetap
sehat dan bugar setiap hari (KemenkesRI, 2018). Diharapkan lansia dapat
hidup secara sederhana, santai, aktif dalam berorganisasi, berkarya, selalu
mengembangkan hobi dan rajin berolahraga. Selain itu dalam melaksanakan
aktivitas harus disesuaikan dengan kemampuan, serta bergerak secara teratur
(Xavier, Prastiwi, & Andinawati, 2017). Terdapat beberapa hal yang perlu
diperhatikan dalam melakukan aktivitas fisik, antara lain: jenis, frekuensi dan
durasi (Kurniasari et al, 2017).
11
2.2.2 Jenis Aktivitas Fisik
Menurut KemenkesRI (2018) secara umum aktivitas fisik dibagi menjadi tiga
macam, yaitu aktivitas fisik sehari-hari, aktivitas fisik dengan latihan, dan juga
olahraga.
1. Aktivitas fisik harian
Jenis aktivitas yang pertama ada dalam kehidupan sehari-hari yang bisa
membantu membakar kalori yang didapat dari makanan yang di konsumsi,
seperti memcuci baju, mengepel, jalan kaki, membersihkan jendela, berkebun,
menyetrika,bermain dengan anak, dan sebagainya. Kalori yang terbakar bisa
50-200 kcal per kegiatan (KemenkesRI, 2018).
2. Latihan fisik
Latihan fisik adalah aktivitas yang dilakukan secara terstruktur dan
terencana, misalnya jalan kaki, jogging, push up, peregangan, senam aerobik,
bersepedan dan sebagainya. Seringkali latihan fisik disebut olahraga
(KemenkesRI, 2018).
3. Olahraga
Olahraga didefinisikan sebagai aktivitas fisik yang terstruktur dan
terencana dengan mengikuti aturan-aturan yang berlaku. Tujuannya tidak
hanya membuat tubuh jadi lebih bugar namun juga untuk mendapatkan
prestasi seperti sepak bola, bulu tangkis, berenang, basket, dan sebagainya
(KemenkesRI, 2018)
2.2.3 Manfaat Aktivitas Fisik bagi Pasien Diabetes
Aktivitas fisik memiliki manfaat fisik atau biologis yaitu mampu
menurunkan resiko diabetes mellitus, hipertensi, dan penyakit jantung,
menjaga tekanan darah tetap stabil dalam batas normal, meningkatkan daya
12
tahan tubuh terhadap penyakit, menjaga berat badan ideal, menguatkan
tulang dan otot, meningkatkan kelenturan tubuh, dan meningkatkan
kebugaran tubuh (Welis & Rifki, 2013).
Pasien Diabetes Mellitus tipe 2 aktivitas fisik sangat erat kaitanya
dengan pengontrolan kadar gula dalam darah, dengan aktivitas fisik yang
teratur dapat menurunkan resistensi insulin, meningkatkan sensitivitas insulin
pada otot-otot dan jaringan lain, membantu melancarkan metabolisme
karbohidrat, membuang kelebihan kalori dalam tubuh (Wiarto, 2013).
2.2.4 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Aktivitas Fisik
Aktivitas fisik seseorang dipengaruhi oleh berbagai faktor. Baik faktor
lingkungan makro, lingkungan mikro maupun faktor individual. Secara
lingkungan makro, faktor sosial ekonomi akan berpengaruh terhadap aktivitas
fisik. Pada kelompok masyarakat dengan latar belakang sosial ekonomi relatif
rendah, memiliki waktu luang yang relatif sedikit bila dibandingkan
masyarakat dengan latar belakang sosial ekonomi yang relatif baik. Segingga
kesempatan kelompok sosial ekonomi rendah melakukan aktivitas fisik yang
terprogram serta terukur tentu akan lebih rendah bila dibandingkan
kelompok sosial ekonomi tinggi. Lingkungan sosial ekonomi makro juga
berpengaruh terhadap kondisi fasilitas umum dalam satu negara. Pada negara
dengan kondisi sosial ekonomi tinggi akan menyediakan fasilitas umum yang
lebih modern seperti tersedia angkutan umum yang lebih nyaman dan baik,
fasilitas escalator dan fasilitas canggih lain yang memungkinkan masyarakat
melakukan aktivitas fsik yang rendah. Sebaliknya pada negara dengan kondisi
sosial ekonomi yang rendah, negara belum mampu menyediakan fasilitas
umum dengan teknologi maju. Lingkungan mikro yang berpengaruh terhadap
13
aktivitas fisik adalah pengaruh dukungan masyarakat sekitar. Masyarakat
sudah beralih kurang memperlihatkan dukungan yang tinggi terhadap orang
yang masih berjalan kaki ketika pergi ke pasar, kantor dan sekolah (Welis &
Rifki, 2013).
Faktor individu seperti pengetahuan dan persepsi tentang hidup
sehat, motivasi, kesukaan berolahraga, harapan tentang keuntungan
melakukan aktivitas fisik akan mempengaruhi seseorang untuk melakukan
aktivitas fisik. Apalagi orang yang mempunyai motivasi dan harapan untuk
mencapai kesehatan optimal, akan terus melakukan aktivitas fisik sesuai
anjuran kesehatan. Faktor lain yang juga berpengaruh terhadap seseorang
rutin melakukan aktivitas fisik atau tidak adalah faktor usia, genetik, jenis
kelamin dan kondisi suhu dan gografis (Welis & Rifki, 2013).
2.2.5 Pengukuran Aktivitas Fisik
Menurut Kurniasari et al. (2017), terdapat empat dimensi aktivitas
fisik yang meliputi
1. Mode atau tipe, merupakan aktivitas fisik spesifik yang dilakukan
2. Frekuensi, adalah seberapa banyak aktivitas fisik dilakukan dalam waktu
tertentu, misalnya dalam satu minggu frekuensi melakukan aktivitas fisik
sebanyak 5 kali.
3. Durasi, adalah seberama lama aktivitas fisik tersebut dilakukan dalam satu
waktu. Misalnya sekali melakukan aktivitas fisik durasi waktu yang
dibutuhkan adalah 20-30 menit.
4. Intensitas, adalah seberapa besar upaya yang dibutuhkan untuk
melakukan aktivitas fisik. Untuk menilai aktivitas fisik menggunakan
14
pedoman METs (metabolic equivalent). MET adalah rasio tingkat
metabolisme energi saat istirahat yang setara dengan 1 kkal/kg BB/jam.
2.2.6 Kategori Aktivitas Fisik
Menurut International Physical Activity Questionnaire (IPAQ, 2005),
kategori aktivitas fisik di nilai berdasarkan kriteria sebagai berikut :
1. Tinggi
Seseorang yang memiliki salah satu kriteria berikut ini sudah
diklasifikasikan dalam kategori tinggi, yaitu :
a. Aktivitas dengan intensitas berat setidaknya mencapai 3 hari. Jumlah
minimalaktivitas fisik 1500 MET menit/minggu, Contohnya : mengangkat
barang berat, kontruksi bangunan, memanjat pohon, berjalan menaiki bukit.
b. Aktivitas fisik selama 7 hari dengan kombinasi berjalan, intensitas sedang
dan intensitas berat dengan jumlah minimal 3000 MET menit/minggu,
contohnya : berjalan sejauh 6 – 10 km, bersepeda, menyapu dan mengepel.
2. Sedang
Seseorang yang tidak memiliki kriteria aktivitas tinggi dan memiliki
salah satu kriteria berikut ini sudah diklasifikasikan dalam kategori sedang,
yaitu :
a. Aktivitas dengan intensitas kuat selama 3 hari atau lebih minimal 20 menit
per hari.
b. Aktivitas intensitas sedang dan / atau berjalan selama 5 hari atau lebih
setidaknya 30menit per hari.
c. Aktivitas fisik selama 5 hari atau lebih dengan kombinasi kombinasi
berjalan, intensitas sedang dan intensitas yang kuat dengan jumlah minimal
15
600 MET menit / minggu, contohnya : memasak, merawat anak, mencuci
baju, dan membersihkan halaman rumah.
3. Rendah
Seseorang yang tidak memenuhi salah satu dari semua kriteria yang
telah disebutkan dalam kategori tinggi maupun kategori sedang.
Menurut World American Cancer Institute for Research Fund Cancer
Research, jenis aktivitas fisik berdasarkan intensitasnya antara lain:
1. Aktifitas fisik berat
Aktivitas fisik dikatakan berintensitas berat jika peningkatan denyut nadi
mencapai 80% atau lebih dari denyut nadi maksimal seperti jalan santai
dengan membawa beban, berkebun, rekreasi, dan pekerjan berat lainnya.
2. Aktivitas fisik sedang
Aktivitas fisik dikatakan berintensitas sedang jika peningkatan denyut nadi
mencapai 60% - 75% dari denyut nadi maksimal seperti jalan santai, jogging,
dan aerobik intensitas rendah.
3. Aktivitas fisik ringan
Aktivitas fisik dikatakan berintensitas ringan jika peningkatan denyut nadi
sangat kecil seperti tidur, menonton televisi, mengendarai mobil, dan
melakukan pekerjaan rumah secara umum (Kurniasari et al, 2017).
2.2.7 Aktivitas Fisik pada Pasien Diabetes Mellitus Tipe 2
Menurut Widharto (2007), pada semua pasien diabetes mellitus tipe 2
dianjurkan berolahraga atau aktivitas fisik secara teratur setiap harinya selama
kurang lebih 20 menit. Aktivitas yang dilakukan cukup berupa olahraga ringan
namun harus dilakukan secara rutin. Latihan fisik ini dilakukan sekitar 1,5 jam
sesudah makan. Bagi pasien diabetes mellitus yang mempunyai kelebihan
16
berat badan dianjurkan untuk melakukan latihan fisik sedikit lebih berat. Hal
ini dengan tujuan agar dapat menurunkan berat badannya menjadi ideal.
Aktivitas fisik yang baik bagi pasien diabetes mellitus yaitu aerobik (Widharto,
2007). Menurut penelitian Nuryati (2017) beraktivitas fisik rutin pada pasien
diabetes mellitus tipe 2 seperti bersepeda atau jalan kaki 3-4 hari dalam
seminggu selama 20 menit kadar gula darah puasa dapat terkontrol (Nurayati
& Adriani, 2017).
Aerobik merupakan aktivitas fisik yang menggunakan otot- otot
besar. Aktivitas fisik ini dilakukan rutin selama kurang lebih 3-5 kali seminggu
dengan waktu 50-60 menit. Sebelum latihan sebaiknya dilakukan pemanasan
(warming up), setelah latihan juga perlu dilakukan pendinginan (cooling down).
Aktivtas fisik sebaiknya dilakukan seperti progam CRIPE yaitu continues,
rhythmical, interval, progressive, dan endrance training, sedangkan Contoh dari
aktivitas aerobik yaitu berjalan, jalan cepat, bersepeda, berenang, menari,
bermain basket (Widharto, 2007).
1.3 Konsep Diabetes Mellitus
1.3.1 Definisi Diabetes Mellitus
Diabetes Mellitus (DM) atau disebut diabetes saja merupakan
penyakit gangguan metabolik menahun akibat pankreas tidak memproduksi
cukup insulin atau tubuh tidak dapat menggunakan isulin yang diproduksi
secara efektif. Insulin adalah hormon yang mengatur keseimbangan kadar
gula darah. Akibatnya terjadi peningkatan konsentrasi glukosa dalam darah
(hiperglikemia) (KemenkesRI, 2014). Diabetes adalah salah satu penyakit
kronis dan serius yang sering kali menimbulkan komplikasi penyakit lain.
Keberhasilan dalam mengontrol gula darah dapat terhindar dari berbgai
17
komplikasinya seperti obesitas, penyakit jantung, stroke, ginjal, impotensi,
dan bahkan kematian (Tandra, 2008).
1.3.2 Klasifikasi Diabetes Mellitus
1. Diabetes Mellitus Tipe 1
Diabetes tipe 1 merupakan penyakit autoimun yang dipengaruhi secara
genetik oleh gejala-gejala yang pada akhirnya menuju proses perusakan
imunologik sel-sel yang memproduksi insulin secara bertahap (Dewi, 2014).
Diabetes tipe 1 juga disebut insulin-dependent diabetes karena pasien sangat
bergantung pada insulin dan memerlukan suntikan insulin setiap hari untuk
memenuhi kebutuhan insulin dalam tubuh. Biasanya terjadi pada usia yang
sangat muda, tetapi bisa juga ditemukan pada usia dewasa (Tandra, 2018).
Pengidap diabetes tipe 1 ini tidak banyak. Namun, jumlahnya terus
meningkat 3% setiap tahun, terutama pada anak 0-14 tahun (data Diabetes
Eropa). Sedangkan di Indonesia, statistik mengenai diabetes tipe 1 belum ada,
diperkirakan tidak lebih dari 2%. Gejalanya timbul mendadak dan bisa berat
sampai mengakibatkan koma apabila tidak segera ditolong dengan suntikan
insulin (Tandra, 2018).
2. Diabetes Tipe 2
Diabetes mellitus tipe 2 merupakan kondisi saat gula darah dalam tubuh
tidak terkontrol akibat gangguan sensivitas sel β pankreas untuk
menghasilkan hormon insulin yang berperan sebagai pengontrol kadar gula
darah dalam tubuh (Dewi, 2014). Kemungkinan lain terjadinya diabetes tipe 2
adalah sel-sel jaringan tubuh dan otot pasien tidak peka atau sudah resisten
terhadap insulin (resistensi insulin) sehingga gula tidak dapat masuk ke dalam
sel dan akhirnya tertimbun di dalam peredaran darah. Diabetes ini paling
18
sering dijumpai. Biasanya terjadi pada usia di atas 40 tahun, tetapi bisa juga
timbul pada usia di atas 20 tahun. Sekitar 90-95% pasien diabetes adalah tipe
2 (Tandra, 2018).
3. Diabetes Gestastional
Pasien dengan predisposisi diabetes tipe 2 dapat mengalami kondisi ini
selama kehamilan, biasanya dengan hiperglikemia asimtomatik yang
terdiagnosis pada pemeriksaan rutin (Greestein & Wood, 2010). Ibu hamil
dengan diabetes harus ekstra waspada dalam menjaga gula darah, agar tidak
terjadi komplikasi, baik pada ibu maupun janin (Tandra, 2018).
4. Diabetes Insipidus
Diabetes insipidus ini terjadi karena kelainan lobus posterior dari kelenjar
hipofisis yang disebabkan defisiensi vasopressin hormon anti deuretic
(ADH). Diabetes insipidus berhubungan dengan trauma kepala, tumor otak,
atau pembedahan ablasi atau iradiasi kelenjar hipofisis saraf pusat, atau tumor
metastasis (Tandra, 2018).
1.3.3 Patofisiologi Diabetes Mellitus Tipe 2
2. Kadar gula darah pada kondisi normal akan selalu terkendali berkisar 70-110
mg/dl, karena pengaruh kerja hormon insulin oleh kelenjar pankreas. Setiap
sehabis makan terjadi penyerapan makanan seperti tepung-tepungan
(karbohidrat) di usus dan kadar gula darah akan meningkat. Peningkatan
kadar gula darah ini memicu produksi hormon insulin oleh pankreas. Berkat
pengaruh hormon ini, gula dalam darah sebagian masuk ke dalam berbagai
macam sel tubuh (terbanyak sel otot) dan akan digunakan sebagai bahan
energi dalam sel tersebut. Sel otot kemudian menggunakan gula untuk
beberapa keperluan yakni sebagai energi, sebagian disimpan sebagai glikogen
19
dan jika masih ada sisa maka sebagian sisa tersebut di ubah menjadi lemak
dan protein. Jika fungsi insulin mengalami defisiensi (kekurangan) insulin,
hiperglikema akan timbul dan hiperglikemia ini adalah diabetes. Kekurangan
insulin dikatakan relatif apabila pankreas menghasilkan insulin dalam jumlah
yang normal, tetapi insulinnya tidak efektif. Hal ini seperti pada DM tipe II
terdapat resistensi insulin, baik kekurangan insulin maupun relatif akan
mengakibatkan gangguan metabolisme bahan bakar, yaitu karbohidrat,
protein, dan lemak. Tubuh memerlukan metabolisme untuk melangsungkan
fungsinya yaitu membangun jaringan baru dan memperbaiki jaringan. Semua
hormon yang terkait dalam metabolisme glukosa, hanya insulin yang bisa
menurunkan gula darah. Insulin adalah hormon yang kurang dalam penyakit
diabetes mellitus (Aulia, 2009).
3. Hormon insulin diproduksi oleh sel beta pulau langerhans yng terdapat pada
pankreas. Insulin berperan untuk memastikan bahwa sel tubula dapat
memakai bahan bakar. Peran insulin untuk membuka pintu sel agar bahan
bakar dapat masuk ke dalam sel. Terdapat reseptor pada permukaan setiap
sel, saat reseptor membuka (oleh insulin) maka glukosa dan asam amino
dapat masuk ke dalam tubuh. Jika sel tanpa hormon insulin, sel tersebut tidak
bisa memproduksi glukosa untuk mendapatkan energi. Glukosa yang tidak
masuk ke dalam sel akan tertimbun di dalam darah. Bagian endogrin pankreas
memproduksi, menyimpan, dan mengeluarkan hormon dari pulau
Langerhans. Pulau Langerhans mengandung sel khusus seperti sel alfa, sel
beta, sel delta, dan sel F. Sel alfa menghasilkan glukagon, sedangkan sel bet
menghasilkan insulin. Kedua hormon ini membantu mengatur metabolisme.
Sel delta menghasilkan somastotatin (faktor penghambat pertumbuhan
20
hipotalamik) yang bisa mencegah sekresi glukagon dan insulin. Sel f
menyekresi polipeptida pankreas yang dikeluarkan ke dalam darah setelah
individu makan. Penyebab gangguan pankreas adalah produksi dan kecepatan
pemakaian metabolik insulin kekurangan insulin secara relatif
dapat mengakibatkan pengikatan glukosa dalam darah dan peningkatan
glukosa dalam urine, dengan insulin, hepar dapat mengambil glukosa, lemak,
dan asam amino dari peredaran darah. Hepar menyimpan glukosa dalam
bentuk glikogen, yang lain disimpan dalam sel otot, dan sel lemak. Glikogen
dapat diubah kembali menjadi glukosa apabila dibutuhkan (Baradero, Dayrit,
& Siswadi, 2009).
4. Kekurangan insulin baik relatif maupun absolut dapat mengakibatkan
hiperglikemia dan tergantungnya metabolisme lemak. Setelah makan, karena
jumlah insulin yang berkurang atau insulin tidak efektif, glukosa tidak bisa
ditarik dari peredaran darah dan glikogenesis (pembentukan glikogen dari
glukosa) akan terhambat. Karena sel tidak memperoleh bahan bakar, hepar
memproduksi glukosa (melalui glikogenesis atau gluconeogenesis) dan
mengirim glukosa ke dalam peredaran darah, keadaan ini akan memperberat
hiperglikemia (Baradero et al., 2009).
2.3.4 Epidemiologi Diabetes Mellitus
Menurut World Health Organization (WHO) pada tahun 2014 orang
dewasa di atas 18 tahun yang hidup dengan diabetes diperkirakan berjumlah
422 juta jiwa. Jumlah terbesar pasien diabetes diperkirakan Asia Tenggara dan
daerah Pasifik Barat yang terhitung sekitar setengah kasus diabetes di dunia.
Jumlah pasien diabetes dari 108 juta angka saat ini naik sekitar empat kali
lebih tinggi antara 1980 dan 2014. Pasien diabetes di dunia telah meningkat
21
dari 4,7% pada tahun 1980 menjadi 8,5% di tahun 2014 (World Health
Organization, 2016).
Sedangkan di Indonesia dari berbagai penelitian epidemiologis di
Indonesia yang dilakukan oleh pusat-pusat diabetes, sekitar tahun 1980-an
prevalensi pada penduduk usia 15 tahun ke atas sebesar 1,5-2,3%dengan
prevalensi di daerah rural (pedesaan) lebih rendah dibandingkan perkotaan.
Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2007 dan 2013 melakukan
wawancara untuk menghitung proporsi diabetes mellitus pada usia 15 tahun
ke atas. Hasil wawancara tersebut mendapatkan bahwa proporsi diabetes
mellitus hampir dua kali lipat dibandingkan tahun 2007 (KemenkesRI, 2014).
2.3.5 Manifestasi Klinis Diabetes Mellitus
Tabel 2.2 Manifestasi Klinis Diabetes Mellitus Ringan Sampai
Berat
Keadaan Patologis Manifestasi Klinis
Hiperglikemia dan glikosuria (diuresis osmotik)
Poliuria, polidipsia, gatal pada tubuh, dan vaginitis
Cellular starvation (sel kekurangan bahan bakar)
Polifagia dan kelelahan
Metabolisme karbohidrat, lemak, dan protein tidak efisien
Berat badan menurun dan merasa lemah
Hiperosmolaritas (ada dehidrasi) Turgor kulit buruk, takikardia, dan hipotensi
Koma ketoasidosis hiperosmolar Tanda-tanda diabetes ketoasidosis
(Sumber: Baradero, Dayrit, & Siswadi, 2009)
Manifestasi diabetes mellitus bervariasi dari pasien ke pasien.
Pertolongan medis paling sering dicari karena gejala yang berkaitan dengan
hiperglikemi (poliuria, polidipsia polifagia). Bila keadaan tersebut tidak segera
diobati, akan timbul gejala tambahan seperti nafsu makan mulai berkurang
atau berat badan turun dengan cepat (turun 5-10 kg dalam waktu 2-4
minggu), mudah lelah, bila tidak lekas diobati akan timbul rasa mual bahkan
22
pasien akan jatuh pada keadaan koma yang disebut dengan koma diabetik.
Kadang-kadang penampakan awal berupa penyulit degeneratif seperti
neuropati tanpa hiperglikemia bergejala. Kekacauan metabolik pada diabetes
disebabkan oleh defisiensi insulin absolut atau relatif dan kelebihan glukagon
absolut atau relatif. Normalnya, terdapat peningkatan-peningkatan rasio
molar glukagon terhadap insulin yang menyebabkan dekompensasi
metabolik. Perubahan rasio ini dapat disebabkan oleh penurunan insulin atau
konsentrasi glukagon, sendiri-sendiri atau bersama-sama. Secara konseptual,
perubahan respon biologik terhadap salah satu hormon yang dapat
menyebabkan efek serupa. Karena itu resistensi insulin dapat menyebabkan
efek metabolik seperti peningkatan rasio glukagon/insulin meskipun rasio
kedua hormon dalam plasma yang dinilai dengan immunoassay tidak jelas
abnormal atau bahkan menurun (glukagon aktif secara biologik, insulin relatif
inaktif) (Isselbacher et al., 2015).
2.3.6 Faktor Resiko Diabetes Mellitus
Faktor utama Penyebab DM tipe 2 ini karena faktor
keturunan (genetik), obesitas, usia, stress, dan pola makan yang salah (Suryo,
2009). Menurut KemenkesRI (2014), faktor resiko diabetes mellitus bisa
dikelompokkan menjadi faktor resiko yang tidak dapat dimodifikasi dan yang
dapat dimodifikasi. Faktor resiko yang tidak dapat dimodifikasi adalah ras dan
ernik, umur, jenis kelamin, riwayat keluarga dengan diabetes mellitus, riwayat
melahirkan bayi dengan berat badan lebih dari 4000 gram, dan riwayat lahir
dengan berat badan lahir rendah (kurang dari 2500 gram). Sedangkan faktor
resiko yang dapat dimodifikasi erat kaitannya dengan perilaku hidup yang
kurang sehat, yaitu berat badan lebih, obesitas abdominal atau sentral,
23
kurangnya aktivitas fisik, hipertensi, dislipidemia, diet tidak sehat atau tidak
seimbang, riwayat Toleransi Glukosa Terganggu (TGT) atau Gula Darah
Puasa (GDP) terganggu, dan merokok (KemenkesRI, 2014).
2.3.7 Komplikasi Diabetes Mellitus
Berdasarkan mulai timbulnya dan lama perjalanannya komplikasi
diabetes digolongkan menjadi komplikasi mendadak (akut) dan komplikasi
menahun (kronis). Terdapat beberapa kelainan yang mendasari komplikasi
kronis, yaitu makroangiopati diabetik (kelainan pada pembuluh darah kecil-
halus), dan neuropati diabetik (kelainannya terdapat pada syaraf) (Kariadi,
2009).
Komplikasi mendadak atau akut adalah komplikasi yang datangnya
mendadak tanpa tanda-tanda. Namun, jika diatasi bisa sembuh. Yang
termasuk komplikasi akut adalah infeksi yang sulit sembuh, koma
hiperglikemik (koma diabetik), dan hipoglikemi dengan koma hipoglikemik.
Sedangkan komplikasi kronis biasanya muncul setelah 10-15 tahun semenjak
diagnosis diabetes. Namun, pada diabetes tipe 2 sering kali beberapa
komplikasi kronis sudah ada sewaktu pasien pertama kali didiagnosis
menderita diabetes. Ini terjadi karena pasien sudah lama menderita diabetes
tanpa gejala yang jelas sehingga komplikasi pun tidak terpantau. Komplikasi
kronis khas diabetes disebabkan kelainan pada pembuluh darah besar,
pembuluh darah kecil atau halus, atau pada susunan syaraf (Kariadi, 2009).
Menurut Shanty (2011) dalam komplikasi akut, dikenal beberapa
istilah berikut.
1. Hipoglikemia, yaitu keadaan seseorang dengan kadar glukosa darah di
bawah nilai normal. Gejala hipoglikemia ditandai dengan munculnya rasa
24
lapar, gemetar, mengeluarkan keringat, pusing, gelisah, dan pasien bisa
menjadi koma (Shanty, 2011).
2. Ketoasidosis diabetik-koma, yaitu diabetik yang diartikan sebagai keadaan
tubuh yang sangat kekurangan insulin dan bersifat mendadak akibat
infeksi, lupa menyuntik insulin, pola makan yang tidak diatur, atau stress
(Shanty, 2011).
3. Koma hiperosmoler non-ketotik yang diakibatkan adanya dehidrasi berat,
hipotensi, dan shock. Oleh karena itu, koma hiperosmoler non-ketotik
diartikan sebagai keadaan tubuh tanpa penimbunan lemak yang
menyebabkan pasien menunjukkan pernapasan yang cepat dan dalam
(kusmaul) (Shanty, 2011).
4. Koma lakto asidosis, yaitu keadaan tubuh dengan asam laktat yang tidak
dapat diubah menjadi bikarbonat. Akibatnya, kadar asam laktat dalam
darah meningkat dan pasien dapat mengalami koma (Shanty, 2011).
2.3.8 Penatalaksanaan Diabetes Mellitus
Pada diabetes, kelainan pertama yang dapat menaikkan gula darah
adalah gangguan pada pankreas dan resistensi insulin. Diabetes harus segera
diobati agar tidak terjdi komplikasi pada organ-organ yang lain.
Penatalaksanaan diabetes mellitus dikenal 4 pilar penting dalam mengontrol
perjalanan penyakit dan komplikasi. Empat pilar tersebut adalah edukasi,
pengaturan makan, aktivitas fisik, dan farmakologi (Kariadi, 2009).
1. Edukasi
Edukasi yang diberikan adalah pemahaman tentang perjalanan penyakit,
pentingnya pengendalian penyakit, komplikasi yang timbul dan resikonya,
pentingnya intervensi obat dan pemantauan glukosa darah, cara mengatasi
25
hipoglikemia, perlunya latihan fisik yang teratur, dan cara mempergunakan
fasilitas kesehatan. Mendidik pasien bertujuan agar pasien dapat mengontrol
gula darah, mengurangi komplikasi dan meningkatkan pengetahuan merawat
diri (Putra & Berawi, 2015).
2. Pengaturan Makan
Pengaturan makan merupakan pilar terpenting dalam pengobatan
diabetes. Baik diabetisi tipe 1 maupun tipe 2 tetap memerlukan semua bentuk
zat gizi yang diperlukan untuk hidup sehat. Pada umumnya diet untuk
diabetisi diatur berdasarkan 3J, yaitu jumlah, jenis dan jadwal (Kariadi, 2009).
Pada umumnya, pengaturan jumlah makanan ditentukan berdasarkan
tinggi badan, berat badan, jenis aktivitas dan juga umur. Berdasarkan hal ini,
akan dihitung dan ditentukan jumlah kalori yang dibutuhkan. Mengenai jenis
makanan, pada umumnya penyusunan makanan akan menyangkut zat gizi
yang meliputi karbohidrat, lemak, buah, dan sayuran. Sedangkan yang
dimaksud dengan jadwal adalah waktu-waktu makan yang tetap, yaitu makan
pagi, siang, malam, dan makanan selingan (Kariadi, 2009).
3. Aktivitas Fisik
Kegiatan jasmani sehari-hari dan latihan jasmani secara teratur (3-4 kali
seminggu selama kurang lebih 30 menit), merupakan salah satu pilar dalam
pengelolaan DM tipe 2. Kegiatan sehari-hari seperti berjalan kaki ke pasar,
menggunakan tangga, berkebun harus tetap dilakukan. Latihan jasmani selain
untuk menjaga kebugaran juga dapat menurunkan berat badan dan
memperbaiki sensitivitas insulin, sehingga akan memperbaiki kendali glukosa
darah. Latihan jasmani yang dianjurkan berupa latihan jasmani yang bersifat
aerobik seperti jalan kaki, bersepeda santai, jogging, dan berenang.Latihan
26
jasmani sebaiknya disesuaikan dengan umur dan status kesegaran jasmani.
Untuk mereka yang relatif sehat, intensitas latihan jasmani bisa ditingkatkan,
sementara yang sudah mendapat komplikasi diabetes militus dapat dikurangi
(Putra & Berawi, 2015).
4. Farmakologi
Terapi farmakologi diberikan bersama dengan pengaturan makan dan
latihan jasmani (gaya hidup sehat). Terapi farmakologis terdiri dari obat oral
dan bentuk suntikan (Putra & Berawi, 2015).
2.4 Hubungan Indeks Massa Tubuh dengan Aktivitas Fisik
Seseorang yang aktivitas fisiknya rendah memiliki resiko peningkatan
berat badan sebesar lebih dari 5 kg sehingga memiliki potensi untuk terkena
diabetes (Dafriani, 2017) dan pada penelitian yang dilakukan oleh Sipayung
et.al, (2017) nilai rata-rata aktivitas fisik yang menderita diabetes di wilayah
kerja puskesmas Padang Bulan tergolong ringan. Aktivitas fisik yang kurang
peluang untuk terkena diabetes 6,2 kali lebih besar dibandingkan dengan
aktivitas fisik sedang maupun berat. Aktivitas fisik yang rendah dapat
menyebabkan terjadinya resistensi insulin, karena makin banyak jaringan
lemak maka jaringan tubuh dan otot akan semakin resisten terhadap kerja
insulin. (Nur et al., 2017). Menurut penelitian yang dilakukan Fadilah et.al,
(2016). Aktivitas fisik yang ringan atau kurangnya pergerakan menyebabkan
tidak seimbangnya kebutuhan energi yang diperlukan dengan yang
dikeluarkan. Pada keadaan istirahat, metabolisme otot hanya sedikit
menggunakan glukosa darah sebagai sumber energi. Sedangkan pada saat
beraktivitas fisik seperti latihan fisik atau olahraga, otot menggunakan glukosa
darah dan lemak sebagai sumber energi utama. Saat lemak dan glukosa darah
27
digunakan dalam jumlah minimal, akan menimbulkan penimbunan lemak
sehingga dapat menyebabkan bertambahnya berat badan (Fadilah, Saraswati,
& Adi, 2016).
Kelebihan berat badan dapat mempengaruhi IMT seseorang dan juga
menyebabkan metabolisme glukosa yang abnormal, dimana berhubungan
kuat dengan peningkatan resistensi insulin. Kelebihan berat badan dapat
memicu perubahan pada metabolisme tubuh yang menyebabkan jaringan
lemak (adiposa) untuk melepaskan asam lemak, gliserol, hormon, sitokin
pemicu inflamasi, dan faktor lain yang dapat memicu perkembangan
resistensi insulin. (Mary et al., 2014). Dalam penelitian (Fuentes et al., 2018)
pada individu yang berumur 50 tahun dan lebih muda, mereka menemukan
bahwa perempuan dengan obesitas atau overweight dan memiliki aktivitas
fisik tinggi atau berat dapat mengurangi berat badan. Baik pria maupun
wanita yang terkena diabetes dalam kategori berat badan yang tidak ideal,
resiko komplikasi jauh lebih tinggi daripada orang yang terkena diabetes
dengan indeks massa tubuh yang normal (Gray et al., 2015). Saat orang yang
terkena diabetes memiliki aktivitas fisik yang baik maka indeks massa tubuh
juga akan baik, selain itu juga dapat menurunkan resiko komplikasi karena
terjadi peningkatan pemakaian glukosa oleh jaringan tubuh terutama otot.
Sehingga glukosa dan lemak dalam darah akan menurun. Jika berat badan
menurun sedikit demi sedikit, selain kadar gula darah menurun, obat-obatan
juga dapat bekerja dengan baik.