BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Konsep Gagal Ginjal Kronik 2.1...

26
11 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Konsep Gagal Ginjal Kronik 2.1.1 Definisi Gagal Ginjal Kronik Penyakit Gagal Ginjal adalah suatu penyakit dimana fungsi organ ginjal mengalami penurunan hingga akhirnya tidak lagi mampu bekerja sama sekali dalam hal penyaringan pembuangan elektrolit tubuh, menjaga keseimbangan cairan dan zat kimia tubuh seperti sodium dan kalium didalam darah atau produksi urin (NKF, 2016). Penyakit gagal ginjal berkembang secara perlahan-lahan kearah yang semakin buruk dimana ginjal sama sekali tidak lagi mampu bekerja sebagaimana fungsinya. Dalam dunia kedokteran dikenal 2 macam jenis gagal ginjal yaitu gagal ginjal akut dan gagal ginjal kronis (Wilson, 2005, dalam Nurani & Mariyanti, 2013). Gagal Ginjal Kronik adalah suatu sindrom klinis disebabkan penurunan fungsi ginjal yang bersifat menahun, berlangsung progresif dan cukup lanjut, serta bersifat persisten dan irrever-sibel (Mansjoer, 2000, dalam Nurani & Mariyanti, 2013). Menurut The Kidney Disease Outcomes Quality Initiative (K/DOQI) of National Kidney Foundation (2016), penyakit gagal ginjal kronik dikarenakan adanya kerusakan struktural atau fungsional ginjal dan/atau penurunan laju filtrasi glomerulus kurang dari 60mL/menit/1,73m2 yang berlangsung lebih dari tiga bulan. Kerusakan ginjal didefinisikan sebagai kelainan patologis atau penanda kerusakan, termasuk kelainan pada darah atau tes urine atau studi pencitraan.

Transcript of BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Konsep Gagal Ginjal Kronik 2.1...

11

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Konsep Gagal Ginjal Kronik

2.1.1 Definisi Gagal Ginjal Kronik

Penyakit Gagal Ginjal adalah suatu penyakit dimana fungsi organ ginjal

mengalami penurunan hingga akhirnya tidak lagi mampu bekerja sama sekali dalam

hal penyaringan pembuangan elektrolit tubuh, menjaga keseimbangan cairan dan zat

kimia tubuh seperti sodium dan kalium didalam darah atau produksi urin (NKF,

2016). Penyakit gagal ginjal berkembang secara perlahan-lahan kearah yang semakin

buruk dimana ginjal sama sekali tidak lagi mampu bekerja sebagaimana fungsinya.

Dalam dunia kedokteran dikenal 2 macam jenis gagal ginjal yaitu gagal ginjal akut dan

gagal ginjal kronis (Wilson, 2005, dalam Nurani & Mariyanti, 2013).

Gagal Ginjal Kronik adalah suatu sindrom klinis disebabkan penurunan fungsi

ginjal yang bersifat menahun, berlangsung progresif dan cukup lanjut, serta bersifat

persisten dan irrever-sibel (Mansjoer, 2000, dalam Nurani & Mariyanti, 2013).

Menurut The Kidney Disease Outcomes Quality Initiative (K/DOQI) of National Kidney

Foundation (2016), penyakit gagal ginjal kronik dikarenakan adanya kerusakan

struktural atau fungsional ginjal dan/atau penurunan laju filtrasi glomerulus kurang

dari 60mL/menit/1,73m2 yang berlangsung lebih dari tiga bulan. Kerusakan ginjal

didefinisikan sebagai kelainan patologis atau penanda kerusakan, termasuk kelainan

pada darah atau tes urine atau studi pencitraan.

12

2.1.2 Etiologi dan Patofisiologi Gagal Ginjal Kronik

Menurut The Kidney Disease Outcomes Quality Initiative (K/DOQI) of National

Kidney Foundation (2016), terdapat dua penyebab utama dari penyakit ginjal kronis

yaitu diabetes dan tekanan darah tinggi, yang bertanggung jawab untuk sampai dua-

pertiga kasus. Diabetes terjadi ketika gula darah terlalu tinggi, menyebabkan

kerusakan banyak organ dalam tubuh, termasuk ginjal dan jantung, serta pembuluh

darah, saraf dan mata. Tekanan darah tinggi, atau hipertensi, terjadi ketika tekanan

darah terhadap dinding pembuluh darah meningkat. Jika tidak terkontrol, atau kurang

terkontrol, tekanan darah tinggi bisa menjadi penyebab utama serangan jantung,

stroke dan penyakit ginjal kronis. Begitupun sebaliknya, penyakit ginjal kronis dapat

menyebabkan tekanan darah tinggi.

Penyebab gagal ginjal pasien hemodialisis baru dari data tahun 2014

berdasarkan data dari Indonesian Renal Registry (IRR) masih sama dengan tahun

sebelumnya. Penyakit ginjal hipertensi meningkat menjadi 37% diikuti oleh Nefropati

diabetika sebanyak 27%. Glomerulopati primer memberi proporsi yang cukup tinggi

sampai 10% dan Nefropati Obstruktif pun masih memberi angka 7% dimana pada

registry di negara maju angka ini sangat rendah. Masih ada kriteria lain-lain yang

memberi angka 7%, angka ini cukup tinggi hal ini bisa diminimalkan dengan

menambah jenis etiologi pada IRR. Proporsi penyebab yang tidak diketahui atau E10

cukup rendah.

13

Gambar 2.1 Penyakit Gagal Ginjal (Etiologi/Comorbid Di Indonesia 2014 (IRR,

2014).

Berikut penjelasan tentang patofisiologi terjadinya gagal ginjal kronik

berdasarkan etiologi penyebab terjadinya.

1. Diabetes Melitus

Toto (2003) mengatakan bahwa diabetes mellitus merupakan penyebab utama

gagal ginjal dan juga penyebab kematian pada pasien gagal ginjal kronik.

Diabetes yang tidak terkontrol dapat menyebabkan diabetes nepropati yang

merupakan penyebab gagal ginjal. Tjekyan (2014) mengatakan bahwa ginjal

mempunyai banyak pembuluh-pembuluh darah kecil. Diabetes dapat merusak

pembuluh darah tersebut sehingga pada gilirannya mempengaruhi kemampuan

ginjal untuk menyaring darah dengan baik. Kadar gula yang tinggi dalam darah

membuat ginjal harus bekerja lebih keras dalam proses panyaringan darah, dan

mengakibatkan kebocoran pada ginjal. Awalnya, penderita akan mengalami

kebocoran protein albumin ke dalam urin (albuminaria) yang dikeluarkan oleh

urine, kemudian berkembang dan mengakibatkan fungsi penyaringan ginjal

14

menurun. Pada saat itu, tubuh akan mendapatkan banyak limbah karena

menurunnya fungsi ginjal yang nantinya akan menyebabkan gagal ginjal.

Apabila kondisi ini tidak dapat diatasi dan berlangsung terus menerus dapat

meningkatkan stadium dari gagal ginjal dan selanjutnya akan menyebabkan

kematian (Tjekyan, 2014).

2. Hipertensi

Budiyanto (2009 dalam Ekantari, 2012) mengatakan bahwa hipertensi dan gagal

ginjal saling mempengaruhi. Hipertensi dapat menyebabkan gagal ginjal,

sebaliknya gagal ginjal kronik dapat menyebabkan hipertensi. Hipertensi yang

berlangsung lama dapat mengakibatkan perubahan struktur pada arteriol di

seluruh tubuh, ditandai dengan fibrosis dan hialinisasi dinding pembuluh darah.

Organ sasaran utama adalah jantung, otak, ginjal, dan mata. Pada ginjal,

arteriosklerosis akibat hipertensi lama menyebabkan nefrosklerosis. Gangguan

ini merupakan akibat langsung iskemia karena penyempitan lumen pembuluh

darah intrarenal. Penyumbatan arteri dan arteriol akan menyebabkan kerusakan

glomerulus dan atrofi tubulus, sehingga seluruh nefron rusak, yang

menyebabkan terjadinya gagal ginjal kronik. Gagal ginjal kronik sendiri sering

menimbulkan hipertensi. Sekitar 90% hipertensi bergantung pada volume dan

berkaitan dengan retensi air dan natrium, sementara kurang dari 10%

bergantung pada renin (Ekantari, 2012).

3. Penyebab lain

Kondisi lain yang mempengaruhi ginjal adalah Glomerulonefritis, sekelompok

penyakit yang menyebabkan peradangan dan kerusakan pada unit penyaringan

ginjal. gangguan ini adalah jenis yang paling umum ketiga penyakit ginjal.

penyakit warisan, seperti penyakit ginjal polikistik, yang menyebabkan kista

15

besar terbentuk di ginjal dan merusak jaringan di sekitarnya. Malformasi yang

terjadi sebagai bayi berkembang di dalam rahim ibunya. Misalnya, penyempitan

dapat terjadi yang mencegah aliran normal urin dan menyebabkan urin

mengalir kembali ke ginjal. Hal ini menyebabkan infeksi dan dapat merusak

ginjal. Lupus dan penyakit lain yang mempengaruhi sistem kekebalan tubuh.

Penghalang yang disebabkan oleh masalah seperti batu ginjal, tumor atau

pembesaran kelenjar prostat pada pria serta infeksi saluran kencing berulang

(NKF, 2016).

Gambar 2.2 Patofisiologi Gagal Ginjal Kronik

Hipertensi

Perubahan struktur arteriol

Fibrosis dan Hialinisasi pada

dinding pembuluh darah

Arteriosklerosis

Iskemik pada pembuluh darah

intrarenal

Glomerolus rusak dan atrofi tubulus

Seluruh nefron rusak

(Nefrosklerosis)

Glomerolus gagal menyaring

Penurunan GFR

Gagal Ginjal

Gagal Ginjal Kronik Kematian

Diabetes Melitus

Peningkat gula dalam tubuh

Pengkatan kinerja ginjal

Ginjal tidak bisa mengkompensasi

lagi

Pada ginjal

Terus menerus

16

2.1.3 Klasifikasi Gagal Ginjal Kronik

Menurut The Kidney Disease Outcomes Quality Initiative (K/DOQI) of National

Kidney Foundation (NKF) tahun 2016 terdapat 5 stage pada penyakit gagal ginjal

kronik. Berdasarkan adanya kerusakan ginjal dan laju filtrasi glomerulus (GFR), yang

merupakan ukuran dari tingkat fungsi ginjal.

Tabel 2.1 Stage Gagal Ginjal Kronik

STAGE GAGAL GINJAL

Stage Deskripsi Laju filtrasi Glumerolus (GFR)* (mL/menit/1,73m2)

1 Kerusakan ginjal (misalnya, protein dalam urin) dengan GFR normal

90 atau lebih dari di atasnya

2 Kerusakan ginjal dengan penurunan ringan pada GFR

60 - 89

3a Penurunan moderat GFR 45 - 59

3b Penurunan moderat GFR 30 - 44

4 penurunan parah GFR 15 - 29

5 Gagal ginjal Kurang dari 15

(NKF, 2016).

2.1.4 Faktor Risiko Gagal Ginjal Kronik

Siapapun bisa mendapatkan penyakit ginjal kronis pada usia berapa pun.

Namun, beberapa orang mungkin lebih mudah mengalami dari pada yang lain untuk

mengembangkan penyakit ginjal (National Kidney Foundation (NKF), 2016).

Kemungkinan memiliki peningkatan risiko untuk penyakit ginjal diantaranya :

1. Diabetes Melitus

Diabetes merupakan faktor komorbiditas hingga 50% pasien dan sebesar 65%

pasien gagal ginjal kronik meninggal yang menjalani hemodialisis memiliki

riwayat penyakit diabetes (Dikow 2002, dalam Ekantari, 2012).

17

2. Hipertensi

Budiyanto (2009, dalam Ekantari, 2012) mengatakan bahwa hipertensi dan

gagal ginjal saling mempengaruhi. Hipertensi dapat menyebabkan gagal ginjal,

sebaliknya gagal ginjal kronik dapat menyebabkan hipertensi.

3. Anemia

Anemia banyak dijumpai pada pasien gagal ginjal kronik. Anemia terjadi pada

awal perkembangan penyakit gagal ginjal dan mengakibatkan fungsi ginjal

memburuk sehingga menjadi kronis (Ekantari, 2012).

4. Ras

Memiliki ras kelompok populasi yang memiliki tingkat tinggi diabetes atau

tekanan darah tinggi, seperti Afrika Amerika, Hispanik Amerika, Asia,

Kepulauan Pasifik, dan Indian Amerika (National Kidney Foundation (NKF),

2016).

2.1.5 Penatalaksanaan Gagal Ginjal Kronik

1. Kepatuhan Diet

Kepatuhan diet merupakan satu penatalaksanaan untuk mempertahankan

fungsi ginjal secara terus menerus dengan prinsip rendah protein, rendah

garam, rendah kalium dimana pasien harus meluangkan waktu menjalani

pengobatan yang dibutuhkan (Sumigar, Rompas, & Pondaag, 2015).

2. Terapi Konservatif

Tujuan dari terapi konservatif adalah mencegah memburuknya laal ginjal secara

progresif, meringankan keluhan-keluhan akibat akumulasi toksin azotemia,

memperbaiki metabolisme secara optimal dan memelihara keseimbangan cairan

dan elektrolit (Price & Sylvia, 2006, dalam Husna, 2010).

18

3. Terapi Pengganti Ginjal

Terapi pengganti ginjal, dilakukan pada penyakit ginjal kronik stadium 5, yaitu

pada GFR kurang dari 15 mL/menit. Terapi tersebut dapat berupa

hemodialisis, dialisis peritoneal, dan transplantasi ginjal (Suwitra, 2006, dalam

Husna, 2010).

2.2 Konsep Hemodialisa

2.2.1 Definisi Hemodialisa

Ginjal yang sehat membersihkan darah dan mengeluarkan cairan ekstra dalam

bentuk urin. Ginjal juga membuat zat-zat yang menjaga tubuh sehat. Dialisis

menggantikan beberapa fungsi ini ketika ginjal tidak lagi bekerja. Dialisis adalah cara

membersihkan darah ketika ginjal tidak bisa lagi melakukan pekerjaan. Dialisis

menghilangkan limbah pada tubuh, ekstra garam, dan air, serta membantu untuk

mengontrol tekanan darah. Ada dua jenis dialisis yaitu hemodialisis dan dialisis

peritoneal. Dokter adalah orang terbaik untuk memberitahu kapan ketika pasien

harus memulai menjalani terapi dialysis (National Kidney Foundation (NKF), 2016).

Hemodialisa adalah suatu bentuk terapi pengganti pada pasien dengan

kegagalan fungsi ginjal, baik yang bersifat akut maupun kronik (National Kidney

Foundation (NKF), 2016). Pasien yang menderita gagal ginjal juga dapat dibantu

dengan bantuan mesin hemodialisis yang mengambil alih fungsi ginjal.Pasien gagal

ginjal yang menjalani terapi hemodialisa, mem-butuhkan waktu 12-15 jam untuk

dialisa setiap minggunya, atau paling sedikit 3-4 jam per kali terapi. Kegiatan ini akan

berlangsung terus-menerus sepanjang hidupnya (Bare & Smeltzer, 2002, dalam

Nurani & Mariyanti, 2013).

19

2.2.2 Waktu Pelaksaanaan Hemodialisa

Di pusat dialisis, hemodialisis biasanya dilakukan 3 kali per minggu selama

sekitar 4 jam pada suatu waktu. Orang-orang yang memilih untuk melakukan

hemodialisis di rumah mungkin melakukan perawatan dialisis lebih sering, 4-7 kali

per minggu selama berjam-jam lebih pendek setiap kali. Berdasarkan data dari

Indonesian Renal Registry (IRR, 2014), jumlah tindakan hemodialisis berdasarkan Durasi

Se-Indonesia dari tahun 2007 – 2014, durasi tindakan hemodialisis 3 -4 jam adalah

durasi hemodialisis terbanyak, hal ini masih di bawah standar durasi tindakan

hemodialisis yang sebaiknya 5 jam untuk frekuensi 2 kali seminggu. Pada diagram di

bawah baru 48,5 % tindakan hemodialisis yang mempunyai durasi >4 jam.

Gambar 2.3 : Jumlah tindakan hemodialisis berdasarkan Durasi Se-Indonesia

dari tahun 2007 – 2014 (IRR, 2014).

Dokter akan memberikan resep yang memberitahu pasien berapa banyak

perawatan yang dibutuhkan. Penelitian telah menunjukkan bahwa mendapatkan

jumlah yang tepat dari dialisis meningkatkan kesehatan pasien secara keseluruhan,

20

membuat pasien keluar dari rumah sakit dan memungkinkan pasien untuk hidup

lebih lama. Tim asuhan dialisis pada pasien yang menjalani hemodialisis akan

memantau pengobatannya dengan tes laboratorium bulanan untuk memastikan

pasein mendapatkan jumlah yang tepat dari dialisis (National Kidney Foundation

(NKF), 2016). Salah satu langkah tim asuhan dialisis pada pasien tersebut adalah

dengan menggunakan rasio pengurangan urea (URR). Pengukuran lain bisa

menggunakan Kt / V (diucapkan kay tee lebih vee). Dalam memastikan bahwa

pasien mendapatkan cukup dialisis:

1. Kt / V harus setidaknya 1,2 atau

2. URR harus setidaknya 65 persen.

2.2.3 Diet pada Pasien Hemodialisa

Kepatuhan diet merupakan satu penatalaksanaan untuk mempertahankan

fungsi ginjal secara terus menerus dengan prinsip rendah protein, rendah garam,

rendah kalium dimana pasien harus meluangkan waktu menjalani pengobatan yang

dibutuhkan (Sumigar, Rompas, & Pondaag, 2015).

Secara umum, pasien dialisis disarankan untuk meningkatkan asupan protein

dan membatasi jumlah kalium, fosfor, natrium, dan cairan dalam diet mereka. Pasien

dengan diabetes atau kondisi kesehatan lain mungkin memiliki pembatasan diet

tambahan. Sangat penting untuk berbicara dengan Anda ahli gizi tentang kebutuhan

diet individu. Tim asuhan dialisis akan memantau pengobatan pasien dengan tes

laboratorium bulanan untuk memastikan pasien mendapatkan jumlah yang tepat dari

dialisis dan bahwa pasien memenuhi tujuan dietnya (National Kidney Foundation, 2016).

21

2.2.4 Komplikasi Penggunaan Hemodialisa

Hemodialisa terbukti efektif mengeluarkan cairan, elektrolit dan sisa

metabolisme tubuh, sehingga secara tidak langsung bertujuan untuk memperpanjang

umur pasien. Prosedur hemodialisis bukan berarti tanpa resiko. Meskipun

hemodialisis aman dan bermanfaat untuk pasien, namun bukan berarti tanpa efek

samping. Berbagai permasalahan dan kompilkasi dapat terjadi saat pasien menjalani

hemodialisis (Armiyati, 2012).

Komplikasi intradialisis yang umum dialami pasien saat menjalani hemodialisis.

Komplikasi intradialisis yang umum dialami pasien saat menjalani hemodialisis adalah

hipotensi, hipertensi, kram, mual, dan muntah, sakit kepala, nyeri dada, nyeri

punggung, demam dan menggigil ( Armiyati, 2012; Al Nazly et al, 2013). Komplikasi

intradialisis dapat menimbulkan ketidaknyamanan, meningkatkan stres dan

mempengaruhi kualitas hidup pasien serta berbagai komplikasi intradialisis dapat

terjadi sejak hemodialisis dimulai sampai diakhiri, mulai jam pertama sampai jam

terakhir (Jablonski, 2007, dalam Armiyati, 2009).

2.3 Konsep Stres

2.3.1 Definisi Stres

Stres adalah reaksi non-spesifik manusia terhadap rangsangan atau tekanan

(stimulus stressor). Stres merupakan suatu reaksi adaptif, bersifat sangat individual,

sehingga suatu stres bagi seseorang belum tentu sama tanggapanya bagi orang lain.

Hal ini sangat dipengaruhi oleh tingkat kemtangan berpikir, tingkat pendidikan, dan

kemampuan adaptasi seseorang terhadap lingkungannya. Tekanan stres (stressor)

akan membebani individu dan mengakibatkan gangguan keseimbangan fisik ataupun

22

psikis. Batas kritis tekanan yang menimbulkan stres sangat bervariasi antar individu

(hartono, 2007).

2.3.2 Faktor Penyebab Stres

Secara umum faktor penyebab stres menurut Hartono (2007), digolongkan

menjadi beberapa kelompok berikut :

1. Tekanan fisik: kerja otot/olahraga yang berat, kerja otak yang terlalu lama, dan

sebagainya.

2. Tekanan psikologis: hubungan suami istri/orang tua-anak, persaingan antar

saudara/teman kerja, hubungan sosial lainnya, etika moral, dan sebagainya.

3. Tekanan sosial ekonomi: kesulitan ekonomi, rasialisme, dan sebagainya.

Selama manusia hidup, setiap saat akan menemui kesulitan atau tantangan, yang

oleh masyarakat umum disebut problem kehidupan. Sangat banyak bentuk problem

kehidupan yang dapat menyebabkan stres, antara lain adalah problem keluarga,

problem lingkungan/ situasi, problem pekerjaan/pelajaran, problem keuangan,

problem kesehatan, dan sebagainya.

2.3.3 Jenis Stres

Stres merupakan mekanisme yang kompleks dan menghasilkan respons yang

saling terkait, baik fisiologis, psikologis, maupun perilaku pada individu yang

mengalaminya (Nasir & Muhith, 2011). Terdapat empat jenis stres, antara lain

sebagai berikut:

1. Frustasi

Kondisi dimana seseorang merasa jalan yang akan ditempuh untuk meraih

tujuan terhambat.

23

2. Konflik

Kondisi ini muncul ketika dua atau lebih perilaku saling berbenturan, di mana

masing-masing perilaku tersebut butuh untuk diekspresikan atau malah saling

memberatkan.

3. Perubahan

Kondisi yang dijumpai ternyata merupakan kondisi yang tidak semestinya serta

membutuhkan adanya suatu penyesuaian.

4. Tekanan

Kondisi dimana terdapat suatu harapan atau tuntutan yang sangat besar

terhadap seseorang untuk melakukan perilaku tertentu.

2.3.4 Respon Stres

Konsep stres pada masa modern dipengaruhi oleh penelitian Hans Selye dan

publikasi teorinya sindrom adaptasi umum (General Adaption Syndrome, GAS) pada

tahun 1930-an. Selye mengidentifikasi tiga tahap respons manusia terhadapt stresor.

Pertama, tahap alarm, seorang individu menyadari stress atau stressor tersebut dan

sistem saraf simpatis menghasilkan reaksi ”melawan atau menghindar”. Pada tahap

kedua, resistensi, tubuh berupaya beradaptasi terhadap respons stres dan pada banyak

kasus terjadi adaptasi. Jika homeostasis tidak pulih maka tahap ketiga adalah

kelelahan, yakni tubuh tidak dapat merespons stres dan setelah beberapa lama dapat

menderita penyakit atau meninggal. Selye menyebutnya sebagai respons nonspesifik

dengan kata lain, respons yang sama tanpa melihat tipe stressor atau individu.

(O'Brien, Kennedy, & Ballard, 2014).

24

Stres adalah reaksi dari tubuh (respon) terhadap lingkungan yang dapat

memproteksi diri kita yang juga merupakan bagian dari sistem pertahanan yang

membuat kita tetap hidup. Stres yang dialami seseorang akan menghasilkan reaksi

fisiologis, psikologis, dan perubahan perilaku (Nasir & Muhith, 2011). Respon stres

tersebut dapat terlihat dalam berbagai aspek sebagai berikut.

1. Respon fisiologis

Dapat ditandai dengan meningkatnya tekanan darah, detak jantung, nadi, dan

sistem pernapasan.

2. Respn kognitif

Dapat terlihat melalui terganggunya proses kognitif individu, seperti pikiran

menjadi kacau, menurunya daya konsentrasi , pikiran berulang, dan pikiran

tidak wajar.

3. Respon emosi

Dapat muncul sangat luas, menyangkut emosi yang mungkin dialami individu,

seperti takut, cemas, malu, marah, dan sebagainya.

4. Respon tingkah laku

Dapat dibedakan menjadi fight, yaitu melawan situasi yang menekan dan flight

yaitu menghindari situasi yang menekan.

2.3.5 Respon Pasien Hemodialisa

Pasien gagal ginjal kronik yang menjalani hemodialisa dapat mengalami

berbagai masalah yang timbul akibat dari tidak berfungsinya ginjal dan proses

hemodialisa. Masalah yang terjadi tidak hanya masalah penurunan fungsi tubuh,

namun juga terjadi masalah psikososial. Pasien dapat mengalami masalah psikososial

seperti merasa khawatir atas kondisi sakitnya yang tidak dapat diramalkan, mereka

25

biasa mengalami masalah finansial, kesulitan dalam mempertahankan pekerjaan,

dorongan seksual yang impotensi, depresi akibat sakit kronis dan ketakutan

menghadapi kematian (Al Nazly et al, 2013; Tezel, Karabulutlu, & Sahin, 2011).

Permasalahan psikososial yang lain adalah gangguan peran, kekhawatiran terhadap

hubungan dengan pasangan, perubahan gaya hidup, kehilangan semangat akibat

adanya pembatasan-pambatasan serta adanya perasaan terisolasi. Bahkan pasien usia

muda khawatir terhadap perkawinan mereka, anak-anak yang dimiliki dan beban yang

ditimbulkan pada keluarga mereka.

Berbagai masalah tersebut dapat menimbulkan stres pada pasien gagal ginjal

kronik yang menjalani hemodialisis yang menimbulkan respon penerimaan stres yang

bervariasi. Stres tersebut dapat mengganggu cara pasien dalam menyelesaikan

masalah, berpikir secara umum; dan hubungan seseorang dan rasa memiliki. Selain

itu, stres dapat mengganggu pandangan umum seseorang terhadap hidup, sikap yang

ditujukan pada orang yang disayangi, dan status kesehatan (Georgianni & Babatsikou

2013). Stres yang berkepanjangan juga akan mempengaruhi kualitas hidup pasien.

Sehingga pasien memerlukan mekanisme penyelesaian masalah atau koping yang

efektif untuk dapat mengurangi atau mengatasi stres.

2.3.6 Dampak Stres

Pada umumnya, individu yang mengalami ketegangan akan mengalami

kesulitan dalam memanajemen kehidupannya, sebab stress akan memunculkan

kecemasan (anxiety) dan sistem syaraf menjadi kurang terkendali. Pusat syaraf otak

akan mengaktifkan saraf simpatis, sehingga mendorong sekresi hormon adrenalin dan

kortisol yang akhirnya akan memobilisir hormon-hormon lainnya. Individu yang

berada dalam kondisi stres, kondisi fisiologisnya akan mendorong pelepasan gula dari

26

hati dan pemecahan lemak tubuh, dan bertambahnya kandungan lemak dalam darah

(Waitz, Stromme, Railo, 1983 dalam Sukadiyanto, 2010). Kondisi tersebut akan

mengakibatkan tekanan darah meningkat dan darah lebih banyak dialihkan dari

sistem pencernaan ke dalam otot-otot, sehingga produksi asam lambung meningkat

dan perut terasa kembung serta mual. Oleh karena itu, stres yang berkepanjangan

akan berdampak pada depresi yang selanjutnya juga berdampak pada fungsi fisiologis

manusia, di antaranya gagal ginjal dan stroke (Sukadiyanto, 2010).

Stres ini juga dapat menimpa baik, pada diri pribadi maupun organisasi yang

dapat menimbulkan dampak pada berbagai segi kehidupan (Nasir & Muhith, 2011).

Dampak yang dialami antara lain sebagai berikut.

1. Dampak fisiologis, misalnya: sakit jantung, darah tinggi, sakit kepala, kanker,

asma, diabetes, dan sebagainya.

2. Dampak psikologis, misalnya: depresi, ketergantungan obat, fobia, dan

sebagainya.

3. Dampak terhadap kehidupan berorganisasi, misalnya: ketidakpuasan kerja,

produktivitas menurun, turn over yang tinggi, dan sebagainya.

2.3.7 Mengelola Stres

Kemampuan untuk mengatur/mengelola diri sendiri merupakan suatu proses

berkesinambungan yang memerlukan adanya kemauan dan awareness untuk

mengubah, baik perilaku ataupun kebiasaan sehingga pada akhirnya kita mampu

menjadi orang yang efektif. Kemampuan mengelola waktu dan stres biasa disebut

dengan self management. Mengelola stres juga dapat diartikan sebagai kemampuan

untuk mengelola/mengatur hal yang telah menjadi tanggung jawab kita dengan

menyesuaikan pada situasi yang terjadi pada kehidupan sehari-hari (Nasir & Muhith,

27

2011). Ada beberapa strategi dalam mengatasi stres. Kita tidak dapat menghapus stres

namun kita dapat menangani dan mengelola stres. Berikut beberapa cara diantaranya:

1. Pola makan yang sehat dan bergisi.

Pada umumnya pola makan yang sehat adalah minimal makan 3 kali dalam

sehari, dan menunya 4 sehat 5 sempurna. Untuk itu, yang perlu diperhatikan

adalah jenis asupan makanan komposisinya harus seimbang antara karbohidrat,

lemak, dan protein. Oleh karena asupan makanan juga dapat menyebabkan

timbulnya stress pada individu, terutama jenis makanan yang mengandung

lemak. Sebagai contoh kaum wanita yang banyak mengkonsumsi lemak

cenderung akan mengalami kegemukan, dan kegemukan adalah momok bagi

kaum wantia. Selain itu, orang yang mengalami stress akan terjadi pemecahan

lemak tubuh sehingga menambah kandungan lemak dalam darah. Kondisi

seperti itu akan mengganggu sistem peredaran darah dan mengakibatkan

penyumbatan dalam pembuluh darah. Untuk itu, pola makan 4 sehat 5

sempurna perlu terus dilakukan, agar individu dapat terhindar dari stress.

Budaya makan makanan yang bersifat instant harus segera dikikis guna

menjamin asupan gisi yang sehat bagi jiwa dan raga (Sukadiyanto, 2010).

2. Berlibur atau rekreasi

Aktivitas ini bertujuan untuk melepaskan segala kelelahan (kepenatan) baik fisik

maupun psikis dengan cara mengubah suasana yang menjadi rutinitas.

Terutama bagi yang sudah berkeluarga berlibur sangat diperlukan guna

menjalin hubungan yang harmonis antar anggota keluarga agar terjadi

komunikasi yang harmonis pula. Selain itu, dengan perubahan suasana mampu

menggairahkan kinerja individu yang mengalami kepenatan karena rutinitas

pekerjaan atau beban pikiran yang terlalu berat (Sukadiyanto, 2010).

28

3. Relaksasi

Banyak orang menemukan bakwa teknik relaksasi berpengaruh pada terhadap

tingkat stres, seperti menghirup napas dalam-dalam, sekali atau lebih secara

perlahan. Dengan menyediakan sedikit waktu dan mengambil napas dalam-

dalam, secara otomatis menenangkan tubuh dan pikiran sehingga dapat

berkonsentrasi (Nasir & Muhith, 2011).

4. Distraksi

Distraksi merupakan suatu metode atau teknik yang dapat digunakan untuk

mengurangi kecemasan, nyeri, stres dengan cara mengalihkan perhatian

seseorang seperti mendengarkan musik klasik, menonton video animasi dll

(Nastiti, Natalia & Lestiawati, 2016; Asmadi, 2008 dalam, Sarfika, Yanti &

Winda, 2015).

2.3.8 Cara Mengukur Stres

Alat ukur untuk menentukan tingkat stres yaitu dengan menggunakan

Depression Anxiety Stress Scale (DAAS) yang telah teruji reliabilitas dan validitasnya

(Damanik, 2011). DAAS merupakan 3 skala yang dirancang untuk mengukur keadaan

emosional negatif yaitu depresi, cemas, dan stres. Alat ukur ini berisi 42 pertanyaan

dengan 4 pilihan jawaban pada setiap pertanyaan dengan menggunakan skala likert

yaitu 0 (tidak sesuai dengan saya sama sekali, atau tidak pernah), 1 (sesuai dengan saya

sampai tingkat tertentu, atau kadang-kadang), 2 (sesuai dengan saya sampai batas

yang dapat dipertimbangkan, atau lumayan sering), 3 (sangat sesuai dengan saya, atau

sering sekali). Alat ukur DAAS-42 untuk skala stres terletak pada soal nomor 1, 6, 8,

11, 12, 14, 18, 22, 27, 29, 32, 33, 35, 39 yang telah diuji reliabilitas menggunakan

Cronbach’s Alpha Formula. Total skor dalam kuesioner ini terbagi menjadi 5 tingkatan

29

yaitu, normal, ringan, sedang, berat, sangat berat (Nursalam, 2008; Daminik, 2011;

Psychology Foundation of Australia, 2014).

2.4 Konsep Terapi Warna

2.4.1 Definisi Terapi Relaksasi Pernapasan Warna

Terapi adalah sebuah label iklusif untuk semua cara dan bentuk perawatan

penyakit atau gangguan (Reber & Reber, 2010, dalam Harini, 2013). Sedangkan warna

didefinisikan secara obyektif atau fisik sebagai sifat cahaya yang dipancarkan, atau

secara subjektif atau psikologis sebagai bagian dari pengalaman indera penglihatan

(Harini, 2013).

Menurut Goldfried dan Davidson relaksasi adalah salah satu teknik dalam

terapi perilaku yang dikembangkan oleh Jacobson dan Wolpe untuk mengurangi

ketegangan dan kecemasan. Ditambahkan Walker teknik ini dapat digunakan oleh

pasien tanpa bantuan terapis dan mereka dapat menggunakannya untuk mengurangi

ketegangan dan kecemasan yang dialami sehari-hari dirumah (dalam Harini, 2013).

Pengendalian pernafasan merupakan suatu teknik untuk mengendalikan nafas

yang sifatnya cepat dan memfokuskan diri pada pernafasan. Orang yang sedang

mengalami kecemasan cenderung bernafas dengan cepat dan dangkal karena adanya

perasaan panik atau khawatir. Padahal hal ini dapat meningkatkan rasa cemas.

Menurut Wayne (2003 dalam, Harini, 2013) pernafasan yang lebih lambat dan dalam

hampir selalu memiliki efek menenangkan sehingga dapat menurunkan rasa cemas,

sehingga mampu menghilangkan stressor. Dengan berkurangnya stressor dapat

menurunkan tingkat stres.

Terapi relaksasi pernapasan warna adalah terapi warna yang menggunakan

metode relaksasi pernapasan dalam dengan memfokuskan diri untuk membayangkan

30

udara disekitar sewaktu menghirup dan menghembuskan nafas dengan warna –

warna tertentu (Kumar, 2009, dalam Harini, 2013).

2.4.2 Tinjauan Singkat Tentang Warna

Warna adalah energi hidup dan properti cahaya. warna didefinisikan secara

obyektif atau fisik sebagai sifat cahaya yang dipancarkan, atau secara subjektif atau

psikologis sebagai bagian dari pengalaman indera penglihatan (Atma, 2011, dalam

Harini, 2013). Cahaya adalah energi elektromagnetik yang dihasilkan oleh matahari

dalam panjang gelombang yang berbeda sebagai cahaya yang diserap dan dipantulkan

dan segala sesuatu di alam ini penuh dengan warna. Getaran membentuk segala

sesuatu dalam hidup. Alam semesta ini hanya energi dalam getaran. Tubuh kita

memiliki medan energi (disebut chakras). Semua organ tubuh kita terdiri dari atom

bergetar. Semua dari kita memiliki sistem energi yang unik kita sendiri dan organ

tubuh kita memiliki pola getaran yang berbeda. Kita semua memancarkan warna

(Gaurav, et al, 2010).

Cahaya memiliki partikel yang berbeda yang disebut foton dan oven

microwave. Cahaya menembus segala sesuatu, bahkan tubuh kita. Cahaya juga

memancarkan panjang gelombang yang kita tidak bisa melihat (ultraviolet). Panjang

gelombang ini mengandung radiasi, yang merupakan energi. Energi Qi dan

kehidupan. Sehingga bisa dikatakan bahwa panjang gelombang didefinisikan sebagai

warna. Di lingkungan kita ada kuantitas besar gelombang dengan karakteristik

frekuensi yang berbeda (Gaurav, et al, 2010).

Menurut Jane (2012 dalam, Harini, 2013) terapi warna adalah teknik mengobati

penyakit melalui penerapan warna, agar tubuh tetap sehat dan memperbaiki

ketidakseimbangan di dalam tubuh sebelum hal itu menimbulkan masalah fisik

31

maupun mental. Terapi warna, juga dikenal sebagai chromatherapy, adalah (CAM)

teknik Complementary and Alternative Medicine. Seorang terapis warna yang terlatih

mampu menggunakan warna dan cahaya untuk menyeimbangkan energi di mana pun

tubuh kita kurang - baik fisik, emosional, mental atau spiritual (Gaurav, et al, 2010).

2.4.3 Manfaat Warna Hijau Terhadap Penurunan Tingkat Stres

Hijau adalah warna yang berpikir untuk mendorong stabilitas emosional,

kemurnian dan ketenangan. Ini terkait dengan cakra jantung, sehingga diyakini untuk

membantu dengan masalah emosional, seperti cinta, pengampunan, kepercayaan dan

kasih sayang. Ketidakseimbangan cakra dalam jantung dikaitkan dengan rasa takut

hubungan, ketidakpercayaan, kecemburuan, isolasi dan ketidakamanan (Gaurav, et al,

2010). Warna hijau menimbulkan efek fisik menenangkan sistem saraf, digunakan

untuk berbagai macam masalah kesehatan berkenaan dengan organ jantung dan

tekanan darah yang tidak normal. Efek psikologis warna hijau merupakan warna

keseimbangan, sangat bermanfaat untuk kondisi-kondisi emosional anak pada saat

stress, emosi, dan mengalami rasa takut di rumah sakit (Lasmono, 2009, dalam

Harini, 2013).

32

Tabel 2.2 : Manfaat Warna

No Warna Warna Yang Keterkaitan

Dengan

Manfaat Warna Yang Terlalu Banyak Menyebabkan

1 Hijau Hijau adalah warna utama. Hal ini menyegarkan dan sejuk. Ini menghubungkan kita dengan cinta tanpa syarat

Perdamaian Pembaharuan Cinta Harapan Keseimbangan harmoni Control pertumbuhan diri

Pengurangan stres Ketenangan Keseimbangan, dan normal relaksasi

Kemalasan

2 Biru Biru adalah dingin dan asam. Ini menghubungkan kita dengan pikiran holistik

Komunikasi Kreativitas Ekspresi pribadi Vitalitas Ketegasan Pengetahuan Kesehatan Ansietas

Relaksasi mental Ketenangan Perdamaian Bantuan dengan insomnia percaya diri dalam berbicara Komunikasi yang jelas Bantuan dengan hiperaktif pada anak-anak

Perasaan ketidakamanan, merasa pesimis, muncul perasaan depresi.

3 Orange Orange adalah hangat dan menyenangkan. Menghubungkan e emosional diri kita

Sosialisasi Kepercayaan social Keberhasilan Kebahagiaan Akal

Optimisme Bersorak Anti-depresan Inspiratif Minat dan kegiatan diperluas Hubungan menyenangkan Hambatan bantuan hapus

Lekas marah Ledikit frustrasi Nafsu makan meningkat

(Gaurav, et al, 2010).

33

2.4.4 Metode Pengobatan Dengan Menggunakan Warna

Berikut metode penerapan terapi warna menurut Gaurav, et al (2010),

1. Menyeimbangkan chakra. Ambil kain warna hijau. Tempatkan kain didepan

tubuh. Bersantai, dan bernapas dalam-dalam selama 5 menit. Tubuh akan

menyerap warna-warna ini dan menjenuhkan chakras, dengan cara itu getaran

dalam tubuh akan seimbang.

2. Dengan bernapas dalam membayangkan bahwa menghirup udara ke dalam

setiap bagian, setiap organ tubuh.

3. Udara ini diubah kemudian ke frekuensi energi yang berbeda. Tarik napas

perlahan-lahan melalui lubang hidung dan menghembuskan napas melalui

mulut. Menghirup dan menghembuskan napas sampai hitungan 5. Latihan ini

dapat dilakukan selama 10 menit di pagi hari.

2.5 Konsep Hubungan Green Color Breathing Therapy Terhadap

Penurunan Tingkat Stres

Respon umum / general adaptation syndrome dikendalikan oleh hipotalamus,

hipotalamus menerima masukan mengenai stresor fisik dan psikologis dari hampir

semua daerah di otak dan dari banyak reseptor di seluruh tubuh. Stres oleh tubuh

direspon dengan mengaktifkan sistem kardiorespirasi, sistem locus ceruleus

(LC/norepinephrin (NE), sistem metabolisme dan HPA axis (Mastorakas &

Pavlatou, 2005, dalam Sugihato, 2012). Aktifnya hipotalamus–puitutary–adrenal axis

(HPA), menimbulkan conditioning stimuli pada alur limbic–hipotalamus–puitutary-

adrenal Axis (LHPA axis), kemudian merangsang hipotalamus dan menyebabkan

disekresinya hormon corticotrophin relesing hormone (CRH), merangsang

34

hipotalamus untuk sekresi ACTH. Peningkatan sekresi ACTH, menyebabkan

meningkatnya sekresi, kortisol (Usui et al., 2012). Hormon tersebut dikeluarkan untuk

menjaga homeostatis dalam menghadapi stres, baik fisik maupun psikologis

(Fatouros et al., 2010 dalam Sugihato, 2012). Menurut Rimmele et al (2007 dalam

Sugihato, 2012) baik stresor fisik maupun psikologis menyebabkan peningkatkan

sistem kardiorespirasi dan neurohormonal, sebagai refleksi dari respon system syaraf

otonomi (autonomic nervous system/ANS) salah satunya sistem syaraf simpatik

(sympathetic nervous system/SNS).

Retinohypothalamic tract merupakan salah satu jalur dimana hipotalamus

menghubungkan sistem saraf dengan Autonomic Nervous System (ANS) dan sistem

endokrin yang mana merupakan jalur utama dari mekanisme transmisi warna menuju

sistem limbik dan sistem endokrin (Holzberg dan Albrecht, 2003 dalam Shinta,

Nurhesti, & Y, 2013). Warna yang berefek pada sistem saraf secara keseluruhan,

terutama bermanfaat bagi sistem saraf pusat adalah warna hijau. Warna ini memiliki

efek penenang, mengurangi iritasi dan kelelahan, serta dapat menenangkan gangguan

emosi dan sakit kepala serta warna ini menimbulkan rasa nyaman, rileks, mengurangi

stres, menyeimbangkan, dan menenangkan emosi ( Kusuma, 2010; Vernolia, 1998,

dalam Shinta, Nurhesti, & Y, 2013).

Berdasarkan pengukuran yang dilakukan oleh Shealy dkk (1996 dalam Shinta,

Nurhesti, & Y, 2013) terhadap perubahan dalam berbagai zat kimia saraf dan

neurohormonnya sebagai respon terhadap cahaya berwarna, ditemukan bahwa warna

hijau menyebabkan terjadinya peningkatan rata-rata kadar serotonin hingga 104%,

oksitosin hingga 45,5%, beta endorfin hingga 33%, dan growth hormone hingga

150%. Warna hijau juga menyebabkan terjadinya penurunan kadar norepinefrin

35

hingga 29%. Perubahan kadar zat kimia saraf dan neurohormon tersebut memiliki

pengaruh dalam menurunkan stres.

Serotonin disekresikan oleh nukleus yang berasal dari medial batang otak dan

berproyeksi di sebagian besar daerah otak, khususnya yang menuju radiks dorsalis

medula spinalis dan hipotalamus (Radeljak, et al., 2008). Setelah dilepaskan, serotonin

mampu mengaktifkan reseptor serotonin pre-sinaps maupun post-sinaps. Serotonin

adalah neurotransmitter, yang dikeluarkan selama siang hari di otak manusia.

Serotonin dikenal sebagai salah satu regulator yang paling penting dari berbagai jalur

saraf di otak yang diperlukan untuk fungsi otak normal. Sintesis dan tingkat serotonin

dalam otak tertinggi selama siang hari. Setiap gangguan dalam produksi serotonin

dapat mengakibatkan berbagai gangguan kejiwaan. Serotonin dalam kondisi normal

mempunyai peran penting untuk mengontrol tidur-bangun, perilaku makan,

pengendalian transmisi sensoris, mood, dan sejumlah perilaku. Rendahnya tingkat

serotonin dalam hasil otak pada gangguan mood seperti episode depresi mayor,

gangguan bipolar, cyclothimic dan gangguan dysthimic dan PTSD. Tingginya kadar

serotonin bertanggung jawab untuk negara halusinogen dinyatakan khas untuk

skizofrenia dan disorders psikotik lainnya (Radeljak, et al., 2008). Pemberian terapi

warna hijau akan merangsang pelepasan serotonin, sehingga peningkatan kadar

serotonin dapat meningkatkan mood seseorang sehingga dapat menciptakan rasa

bahagia dan menurunkan stres (Psychother, 2005 dalam, Shinta, Nurhesti, & Y,

2013).

Di hipotalamus, oksitosin dibuat di magnocellular neurosecretory cells di

supraoptik and nukleus paraventrikular. Oksitosin dapat menginduksi anti stres serta

memberikan efek dalam penurunan tekanan darah dan kadar kortisol (Psychother,

2005, dalam Shinta, Nurhesti, & Y, 2013). Tingkat oksitosin endogen berhubungan

36

dengan kecemasan dan stres secara dua arah, yaitu oksitosin memberikan efek

ansiolitik, tetapi oksitosin juga dirilis dalam respon terhadap stres. Pemberian terapi

warna hijau dapat meningkatan kadar oksitosin dalam darah, sehingga efek ansiolitik

yang dikeluarkan dapat menurunkan stres. Terapi warna hijau juga meningkatkan

beta endorfin yang merupakan hormon antistres yang tentunya juga dapat

menurunkan stres (John Hughes, 1975, dalam Shinta, Nurhesti, & Y, 2013).

Norepinefrin merupakan hormon stres yang mempengaruhi hipotalamus. Sama

dengan epinefrin, norepinefrin juga mendasari respon fight-or-flight yang bekerja

meningkatkan denyut jantung, memicu pelepasan glukosa dari penyimpanan energi,

dan meningkatkan aliran darah ke otot rangka (Heneka et al, 2010, dalam Shinta,

Nurhesti, & Y, 2013, 2013). Pemberian terapi warna hijau dapat menurunkan kadar

norepinefrin dalam darah, sehingga stres dapat berkurang.

Terapi warna ini juga telah diteliti oleh Shinta et al (2013), yaitu Pengaruh terapi

warna hijau terhadap stres pada lansia di Panti Sosial Tresna Werdha Wana Seraya

Denpasar. Peniltian ini mengambil sampel 30 orang dari 52 orang lansia dengan

teknik sampling Non Probability Sampling, yaitu Purposive Sampling. Pasien dibagi

menjadi 2 kelompok, yaitu kelompok eksperimental dan kelompok kontrol. Lansia

yang menjadi eksperimental diberikan terapi warna hijau, dengan cara memasukan

responden ke dalam ruangan yang telah dicat dengan warna hijau dan diberikan

paparan slide berwarna hijau selama 10 menit. Kegiatan ini dilakukan selama satu kali

sehari selama satu minggu. Hasil yang didapatkan berdasarkan statistik terdapat

perbedaan yang signifikan antara perubahan skor stres kelompok kontrol setelah-

sebelum terapi warna hijau dan dapat disimpulkan bahwa ada pengaruh terapi terapi

warna hijau terhadap stres lansia di Panti Sosial Tresna Werdha Wana Seraya

Denpasar.