BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Klasifikasi Liriomyza chinensis · 9 panjang sayap 1,3-1,7 mm, panjang...
Transcript of BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Klasifikasi Liriomyza chinensis · 9 panjang sayap 1,3-1,7 mm, panjang...
7
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Klasifikasi Liriomyza chinensis
Liriomyza chinensis merupakan jenis hama yang mengorok daun tanaman
bawang merah. L. chinensis pertama kali ditemukan di Indonesia menyerang
tanaman bawang merah di Desa Klampok, Kabupaten Brebes pada awal Agustus
tahun 2000. Di Indonesia sesuai dalam Peraturan Menteri Pertanian Nomor
51/Permentan/KR.010/9/2015 tentang Jenis Organisme Pengganggu Tumbuhan
Karantina, hama ini termasuk OPTK A2 yang ditemukan di wilayah Jawa Barat,
Jawa Tengah dan Sulawesi Tengah.
L. chinensis secara umum diklasifikasikan sebagai berikut :
Kingdom : Animalia
Filum : Arthropoda
Kelas : Insekta
Ordo : Diptera
Famili : Agromyzidae
Genus : Liriomyza
Spesies : L. chinensis (Shiao et al., 1991)
2.2 Karakter Morfologi Liriomyza spp.
Karakter morfologi utama untuk membedakan spesies Liriomyza spp. adalah
warna scutellum dan pola warna tergit pada abdomen (Shiao, 2004). L. chinensis
memiliki warna scutellum abu-abu gelap atau mendekati hitam, pola alur horizontal
pada tergit abdomen yang lebih sederhana dimana tergit abdomennya tidak ada garis
7
8
vertikal, femur dan tibia berwarna kuning mengkilat, panjang sayap 1,3-2,0 mm,
panjang mikrosetae thorax 9-10 µm dan bentuk korokan larva dimulai dari ujung
daun lalu masuk kebagian tengah dekat tangkai daun (Gambar 2.1).
Gambar 2.1
Karakteristik morfologi imago dan korokan larva Liriomyza spp.
(A) Pola warna tergit abdomen (B) Kerapatan dan panjang mikrosetae thorax
(C) Bentuk aedeagus distiphallus imago jantan (D) Ciri kas korokan larva
(Sumber : Shiao, 2004)
L. huidobrensis memiliki warna scutellum berwarna kuning, tergit abdominal
kedua ada alur garis vertikal, femur berwarna kuning, panjang sayap 1,7-2,3 mm,
panjang mikrosetae thorax 5-6 µm dan bentuk korokan larva lebih besar dan lebih
panjang jika dibandingkan dengan spesies Liriomyza yang lain. L. sativae memiliki
warna scutellum berwarna kuning, tergit abdominal kedua ada alur garis vertikal,
L. huidobrensis L. trifolii L. sativae L. bryoniae L. chinensis
A
B
C
D
9
panjang sayap 1,3-1,7 mm, panjang mikrosetae thorax 4-5 µm dan bentuk korokan
larva lebih kecil jika dibandingkan dengan spesies Liriomyza yang lain (Shiao,2004).
2.3 Persebaran Populasi Liriomyza dan Tanaman Inang
Genus Liriomyza yang dideskripsikan sekitar tahun 1984 oleh Milk
mempunyai lebih dari 300 spesies dan sebagian besar menyebar di daerah beriklim
sedang, dan beberapa spesies ditemukan di daerah tropis (Parrella, 1987). Liriomyza
adalah salah satu dari lima genus lalat pengorok daun (Agromyza, Japanagromyza,
Liriomyza, Phytomyza, dan Tropicomyza) yang berasosiasi dengan tanaman
Leguminosa (Talekar, 1990). Genus Liriomyza terdiri atas banyak spesies. Lalat
dengan tipe makan polifag ini dapat ditemukan pada berbagai jenis tanaman,
sehingga memungkinkan terbentuknya banyak spesies akibat adaptasi, mutasi dan
evolusi. Kemampuan tersebut menyebabkan hama dapat meretensi satu jenis
insektisida, sehingga effective life satu jenis insektisida hanya sekitar 3 tahun. Ini
membuktikan adanya kemampuan adaptasi tingkat gen yang luar biasa. Hingga saat
ini sedikitnya telah diidentifikasi 21 spesies Liriomyza (Tabel 2.1). Identifikasi
tingkat spesies lalat pengorok daun sulit dilakukan karena ukuran tubuhnya kecil
(1,50-2,00 mm) (Reed et al., 1989) dan adanya kemiripan antar spesies (Parrella,
1987; Shiao et al., 1991).
Perkembangan Liriomyza spp. sangat ditentukan oleh ketersediaan tanaman
inang di lapang. Ketersediaan berbagai tanaman inangnya membantu pertumbuhan
dan perkembangan serta pemencarannya. Pada umumnya angin berpengaruh
terhadap penyebaran Liriomyza spp. Parrella (1987) menyatakan rataan jarak
pergerakan imago betina (21,5 m) lebih jauh dari imago jantan (18,0 m) di rumah
kaca. Gerakan memencar suatu serangga umumnya berlangsung secara lambat dan
10
jarak yang dapat dijangkau oleh individu selama hidupnya relatif pendek. Jarak
jangkau akan menjadi lebih jauh dan berlangsung dengan cepat, jika dibantu oleh
manusia secara langsung maupun tidak langsung.
Tabel 2.1
Spesies Liriomyza dan tanaman inang utama
Spesies
Liriomyza
Tanaman Inang Pustaka
L. pictella
L. bryoniae
L. solani
L. munda
L. congesta
L. trifoliearum
L. brassicae
L. huidobrensis
L. trifolii
L. langei
L. cicerina
L. horticola
L. strigata
L. taraia
L. asterivora
L. chinensis
L. viticola
L. sativae
L. helianthi
L. katoi
L. yasumatsui
Melon
Tomat, kedelai
Tomat
Mentimun
Kacang tunggak
-
Polifagus
Kentang, krisan, aster, kapri
Krisan, buncis, kedelai
-
Kacang arab
Kacang arab
Leguminosa
Leguminosa
Artemisia sp.
Bawang
-
Tomat, buncis,
kacang kratok dan kedelai
Bunga matahari
Krisan
Krisan
Oatman (1959)
Brower & van Offeren (1967);
Hofsvang et al. (2005)
Brower & van Offeren (1967)
Perez Perez (1973)
Hafez et al. (1974)
Hendrickson & Barth (1978)
Tavormina (1982); Talekar (1990)
Parrella & Bethke (1984)
Vercambre & Thiery (1983)
Vercambre & Thiery (1983)
Reed et al. (1989)
Reed et al. (1989)
Talekar (1990)
Talekar (1990)
Shiao et al. (1991)
Shiao et al. (1991)
Shiao et al. (1991)
Petitt & Wietlisbach (1994);
Hofsvang et al. (2005)
Gratton & Welter (2001)
Malipatil et al. (2004)
Malipatil et al. (2004)
11
2.4 Perilaku Makan dan Kerusakan
Kerusakan pada tanaman dapat disebabkan oleh aktivitas peneluran dan
makan imago serta korokan larva. Bentuk korokan larva instar 1 sangat sulit dipantau
dengan mata telanjang kecuali korokan tersebut sudah mengering. Lebar dan panjang
korokan akan semakin meluas seiring dengan pertambahan umur larva. Korokan
larva dapat tampak dari atas maupun bawah permukaan daun yang ditandai oleh
adanya bagian-bagian yang tembus cahaya (Supartha & Sasromarsono, 2000)
(Gambar 2.2). Korokan tersebut akan menimbulkan luka pada jaringan daun dan
akhirnya daun gugur sebelum waktunya (Supartha, 1998).
Gambar 2.2
Bekas korokan larva Liriomyza sp. (tanda panah warna merah)
pada daun bawang merah (Sumber : dokumen pribadi, 2017)
Setyono (2009) mengemukakan, awal serangan L. chinensis pada tanaman
bawang merah terjadi pada 2-3 minggu setelah tanam (MST). Gejala awal pada daun
yang terserang berupa bintik putih akibat tusukan ovipositor imago betina saat
meletakkan telur (Gambar 2.3). Gejala serangan berikutnya berupa korokan larva
yang berkelok. Pada serangan berat, hampir seluruh helaian daun dipenuhi oleh
Larva
12
bekas korokan larva sehingga daun menjadi kering dan berwarna putih kecoklatan
seperti terbakar. Menurut Soetiarso (2007), selain menyerang daun, larva L.
chinensis pada tanaman bawang merah dapat masuk sampai ke umbi dan
menyebabkan umbi bawang merah menjadi busuk.
Gambar 2.3
Bekas tusukan ovipositor Liriomyza sp. (tanda panah warna merah)
(A) Bekas tusukan ovipositor Liriomyza sp. pada daun bawang pre dan
(B) Bekas tusukan ovipositor Liriomyza sp. pada daun bawang merah
(Sumber : dokumen pribadi, 2017)
Proses makan dan peneluran Liriomyza pada tanaman diawali dengan
penusukan ovipositor pada permukaan daun tanaman. Penusukan itu dilakukan
dengan cara mengarahkan dan menekankan ovipositornya baik pada permukaan daun
atas maupun bawah. Jika ovipositornya telah masuk ke jaringan daun gerakannya
tampak lebih lamban dan berhati-hati (Supartha, 1998). Menurut Parrella (1987)
pada saat itu ovipositor masuk ke dalam jaringan mesofil dengan cara yang khusus
untuk membuat satu atau dua tipe tusukan yang berbeda. Tusukan untuk keperluan
makan lebih lebar daripada tusukan untuk peneluran, agar cairan daun yang keluar
lebih banyak. Imago betina maupun jantan mengambil makanan dari cairan tersebut.
A B
13
Hasil penelitian Supartha (1998) melaporkan bahwa tusukan untuk peneluran
menyerupai kantung yang berada di atas jaringan mesofil dan ditutupi oleh lapisan
epikutikula daun. Jika bagian permukaan lapisan epikutikula itu diterpa sinar
matahari tampak berkilau. Tidak semua tusukan yang disebut terakhir berisi telur.
Jumlah tusukan untuk makan lebih banyak di permukaan bagian atas, sedangkan
untuk peneluran lebih banyak di permukaan bawah daun. Telur biasanya diletakkan
satu-satu baik pada permukaan bawah maupun atas daun. Jumlah telur yang
diletakkan lebih banyak (69,11%) di permukaan bawah daripada di permukaan atas
daun (30,89%). Bekas tusukan ovipositor imago pada kedua permukaan daun
tersebut tampak seperti bercak coklat sampai berlubang akibat kematian jaringan
daun. Tusukan yang berat dapat mengakibatkan daun layu dan gugur sebelum
waktunya.
2.5 Biologi Liriomyza spp.
Bentuk telur Liriomyza seperti ginjal dengan warna agak keputih-putihan dan
tembus pandang, telur tersebut diselipkan di bawah epikutikula permukaan daun
bagian atas atau di atas epikutikula permukaan daun bagian bawah. Ukuran telur
bervariasi tergantung spesies Liriomyza. Telur L. chinensis berwarna putih bening,
berbentuk jorong dengan permukaan licin, dengan ukuran 0,35 mm x 0,15 mm
(Nawin, 2003). Telur L. congesta berukuran 0,25 mm x 0,10 mm (Dimetry, 1971), L.
trifolii 0,2 mm x 0,1 mm dan L. huidobrensis 0,28 mm x 0,15 mm (Parrella, 1987).
Periode perkembangan telur Liriomyza bervariasi antara 2-8 hari (Parrella, 1987).
Tran dan Takagi (2005) serta Hu et al. (2009) melaporkan, stadium telur L. chinensis
berlangsung 2,5-4 hari. Setyono (2009) melaporkan stadium telur L. chinensis
berlangsung 2-4 hari. Pada L. huidobrensis fase telur berkisar antara 2-3 hari
14
(Cardona & Karel, 1990). Menurut Parrella dan Bethke (1984) menyatakan bahwa
masa telur L. huidobrensis pada krisan, aster dan kacang (pada suhu 26,70C)
berturut-turut 3,0 ; 3,0 dan 2,6 hari. Sedangkan menurut Salas et al. (1988)
menyatakan perkembangan telur L. huidobrensis pada tanaman kentang dengan suhu
270C dan kelembaban nisbi 74,28% dengan masa 3,05 hari. Telur hanya diletakkan
pada beberapa aktivitas penusukan, artinya tidak semua aktivitas tusukan selalu
disertai dengan peletakan telur. Aktivitas penusukan lainnya adalah perilaku makan.
Bekas tusukan baik untuk keperluan makan maupun peletakan telur terlihat berupa
bintik putih (Spencer & Steyskal, 1986 ; Parrella, 1987).
Larva Liriomyza berbentuk silinder yang mengecil ke depan. Larva yang baru
keluar dari telur langsung makan sampai menjelang keluar dari daun. Kait mulut
yang berwarna hitam dan keras ditinggalkan dalam liang korokan dan dapat
digunakan untuk mengetahui tahap instar. Larva instar akhir keluar dan menjatuhkan
diri ke tanah untuk berkepompong. Larva bergerak melalui gerakan peristaltik
dengan tekanan hidrostatik kerangka luarnya. Larva mengalami tiga kali ganti kulit
(Parrella, 1987). Perkembangan larva bervariasi menurut suhu dan jenis tanaman
inang. Kebanyakan spesies, waktu perkembangan total fase larva adalah 4-6 hari
pada suhu lapangan atau laboratorium (Parrella, 1987). Pada L. chinensis larva instar
pertama menyerang daun dan menjadi instar kedua setelah 1-2 hari. Periode larva
instar kedua adalah 1-2 hari, kemudian menjadi larva instar ketiga (akhir). Stadium
larva instar ketiga berlangsung 1,5-3 hari. Larva yang baru keluar berwarna putih
susu atau putih kekuningan dan segera mengorok jaringan mesofil daun dan tinggal
dalam rongga daun selama hidupnya. Stadium larva berlangsung 6-12 hari, dan larva
yang sudah berusia lanjut (instar 3) memiliki panjang 3,52 mm dan lebar 0,65 mm.
15
Larva instar 3 mengorok jaringan daun lebih banyak dibanding larva instar 1 (Nawin,
2003) (Gambar 2.4). Menurut Tran & Takagi (2005) instar larva dapat dibedakan
berdasarkan karakteristik morfologi, seperti panjang mulut dan cephalopharyngeal
skeleton, panjang badan, dan korokan. Panjang mulut dan cephalopharyngeal
skeleton larva instar pertama berturut-turut adalah 0,021 dan 0,089 mm, larva instar
kedua 0,054 dan 0,165 mm, serta larva instar ketiga 0,092 dan 0,261 mm.
Larva yang sudah waktunya menjadi pupa, larva akan memotong celah
semisirkular di permukaan daun yang ada di dekat atau pada bagian akhir
korokannya. Celah tersebut berada pada permukaan atas atau bawah daun tergantung
pada lokasi korokan larva di dalam mesofil. Jika tubuh larva sudah keluar tiga per
empat bagian dari liang korokannya, maka bagian anteriornya bergerak tegak dengan
permukaan daun atas secara hidrostatis dan memutar tubuh yang mendorong larva
kaluar jatuh ke tanah (Supartha, 1998).
Periode di antara fase larva dan pembentukan puparium disebut fase prapupa.
Periode prapupa Liriomyza berkisar antara 2-4 jam (Leibee, 1984). Prapupa
mempunyai tanggap negatif terhadap cahaya, tetapi positif terhadap sentuhan
(Oatman & Michelbacher, 1959). Lama stadia pupa berkorelasi negatif terhadap
suhu. Sekitar 50% dari waktu perkembangan total Liriomyza adalah stadia pupa.
Waktu perkembangannya pada suhu rumah kaca atau lapangan berkisar antara 8-11
hari (Parrella, 1987). Masa pupa L. chinensis umumnya ditemukan di tanah, tetapi
pada tanaman bawang merah sering ditemukan menempel pada permukaan bagian
dalam dari rongga daun. Stadium pupa L. chinensis berlangsung 11-12 hari (Tran &
Takagi, 2005; Hu et al., 2009). Masa pupa L. huidobrensis berkisar antara 5-7 hari
16
(Cardona & Karel, 1990). Masa pupa L. trifolii berkisar antara 8,8-10,5 hari
(Minkerbeg & van Lenteren, 1986).
Gambar 2.4
Siklus hidup L. chinensis
(Sumber : Nawin, 2003; Tran & Takagi, 2005; Hu et al., 2009;
Setyono, 2009) (Gambar : dokumen pribadi, 2017)
Imago Liriomyza muncul dari bagian dorsal posterior puparium, yang
prosesnya memerlukan waktu 5 menit sampai satu jam atau lebih. Imago yang baru
muncul bersifat fototaktif positif dan naik ke batang tanaman. Selama itu, sekitar 20
menit digunakan untuk mengembangkan sayap dan menggerak-gerakkan tubuhnya.
Pengerasan dan pewarnaan tubuh berlangsung sekitar 20 menit sampai 2 jam. Imago
betina umumnya lebih besar daripada jantan dan muncul dari puparia yang lebih
besar. Imago betina L. chinensis memiliki panjang tubuh 2,39±0,02 mm dan imago
jantan 2,00±0,07 mm. Imago betina L. chinensis mampu hidup selama 6-14 hari dan
imago jantan 3-9 hari (Nawin, 2003). Kebanyakan imago melakukan kopulasi segera
setelah muncul dari puparium dan hampir semua betina sudah melakukan kopulasi
Bekas tusukan ovipositor L.chinensis pada daun bawang merah saat meletakkan telur. Stadium telur antara 2-4 hari (Setyono, 2009)
Larva L. chinensis terdiri dari 3 instar Larva instar pertama = 1-2 hari Larva instar kedua = 1-2 hari Larva instar ketiga = 1,5-3 hari (Nawin, 2003)
Stadium pupa L. chinensis = 11-12 hari (Tran & Takagi, 2005; Hu et al., 2009)
Lama hidup imago betina L. chinensis = 6-14 hari Lama hidup imago jantan L. chinensis = 3-9 hari
(Nawin, 2003)
Larva
Pupa
Imago
17
dalam waktu 24 jam (Oatman & Michelbacher, 1959; Parrella & Bethke, 1984).
Lama waktu kopulasi adalah tiga jam. Jantan dan betina dapat berkopulasi lebih dari
satu kali, dan betina membutuhkan kopulasi lebih dari satu kali untuk
memaksimumkan produksi telurnya (Oatman & Michelbacher, 1959). Aktivitas
kopulasi serangga tersebut dapat dilihat setiap saat, namun aktivitas itu umumnya
terjadi selama pancaran sinar matahari tidak terlalu terik (Dimetry, 1971).
2.6 Resistensi Tanaman terhadap Liriomyza spp.
Resistensi tanaman terhadap serangga hama mencakup semua sifat tanaman
yang memungkinkan tanaman tersebut tidak terserang, toleran dari serangan
serangga hama, yang mana pada tingkat serangan yang sama oleh serangga hama
tersebut, tanaman rentan menderita kerusakan yang lebih besar. Painter (1951)
menyatakan resistensi tanaman sebagai kumpulan sifat yang dapat diturunkan oleh
tanaman yang mempengaruhi tingkat kerusakan tanaman oleh serangga. Varietas
tahan mempunyai kemampuan produksi lebih tinggi dan kualitas lebih baik daripada
varietas biasa pada tingkat populasi hama yang sama. Sedangkan Beck (1965)
mendefinisikan resistensi tanaman sebagai kumpulan sifat yang dapat diturunkan
oleh spesies, ras, klon atau individu tanaman sebagai inang oleh spesies, ras, biotipe
individu atau populasi serangga.
Resistensi tanaman dapat bersifat membatasi kehadiran serangga, menekan
pertumbuhan dan perkembangan serangga maupun kemampuan tanaman untuk
mengatasi kerusakan yang ditimbulkan oleh serangga. Pengertian tersebut analog
dengan mekanisme resistensi yang dikemukakan oleh Painter (1951) yaitu non
preference, antibiosis dan tolerance. Non preference adalah sifat tanaman yang
menyebabkan serangga menjauhi atau tidak memilih tanaman sebagai pakan, tempat
18
bertelur, atau tempat berlindung. Kemudian Kogan & Ortman (1978) mengusulkan
istilah antisenosis untuk memberikan pengertian yang lebih tepat terhadap istilah non
preference yang dikemukakan oleh Painter tahun 1951. Pada antibiosis tanaman
dipilih oleh serangga sebagai pakan, tempat bertelur dan berlindung, namun tanaman
memberikan pengaruh negatif terhadap pertumbuhan dan kelangsungan hidup
serangga. Pengaruh tersebut dapat menyebabkan mortalitas tinggi terutama pada
instar pertama, penurunan bobot badan dan kesuburan, memendeknya lama hidup
dan masa peletakan telur imago. Toleran tanaman adalah tanaman yang dipilih
serangga untuk tempat hidupnya, namun tanaman mampu mengatasi kerusakan yang
ditimbulkan oleh serangga untuk berproduksi normal (Pedigo, 1989).
Beberapa sifat yang mendasari resistensi tanaman terhadap hama adalah sifat
biofisik dan biokimia tanaman (Smith, 1989). Salah satu sifat biofisik tanaman yang
dapat mendasari resistensi tanaman bawang merah terhadap Liriomyza adalah jenis
dan kerapatan trikoma daun. Hasil penelitian Wei et al. (2000) menunjukkan bahwa
struktur fisik daun seperti ketebalan epidermis serta kerapatan jaringan palisade dan
bunga karang memiliki peran yang lebih penting dibandingkan dengan kerapatan dan
panjang trikoma dalam menghambat aktivitas makan, oviposisi imago betina dan
perkembangan Liriomyza spp. Sifat biofisik seperti kekerasan, luas dan lengas daun
merupakan faktor yang mendasari resistensi tanaman terhadap perilaku makan dan
peneluran imago (Chiang & Norris, 1983). Liriomyza spp. lebih memilih daun
kacang hijau yang mengandung air lebih tinggi yaitu sekitar 50% untuk oviposisi
(Chiang & Norris, 1983).
Resistensi yang didasari oleh faktor biokimia tanaman dapat berpengaruh
terhadap perilaku dan fisiologi serangga (Dent, 1991). Senyawa kimia yang
19
berpengaruh terhadap perilaku makan dan peneluran dikelompokkan ke dalam
pemikat (antractant), penahan (arrestant), perangsang (stimulant), penolak
(repellent) dan penangkal (deterant), sedangkan senyawa kimia yang berpengaruh
terhadap fisiologi serangga dikelompokkan ke dalam nutrisi, penghambat
pertumbuhan dan racun (Hsiao, 1969). Senyawa tanin dan fenol termasuk senyawa
penghalang dan penolak bagi imago yang dapat mempengaruhi palatibilitas makan
dan perilaku peneluran serangga. Selain itu kedua senyawa tersebut dapat
menghambat pertumbuhan serangga pradewasa akibat kekurangan protein dan
terhambatnya enzim-enzim sehingga secara tidak langsung berperan sebagai racun
bagi serangga (Chiang & Norris, 1983). Tanin tumbuhan mampu mengikat protein
membentuk kompleks zat penghambat pencernaan yang tidak larut dan berfungsi
sebagai penghambat makan (feeding suppressant) (Smith, 1989). Jika jaringan
tanaman dirusak, tanin mengikat protein sehingga protein tidak dapat terurai oleh
enzim-enzim yang terdapat di dalam saluran pencernaan hewan pemakannya
(Vickery & Vickery, 1981). Kondisi saluran pencernaan serangga yang sangat basa
dapat menurunkan kemampuan tanin membentuk kompleks protein.
Serangga-serangga pemakan jaringan tanaman yang banyak mengandung
tanin dengan kondisi pH pencernaan di bawah normal mempunyai mekanisme lain
untuk mencegah polifenol sebagai faktor yang dapat menurunkan laju pencernaannya
(Chiang & Norris, 1983). Beberapa larva serangga pemakan daun oak menghindari
memakan bagian daun yang mengandung tanin karena berpotensi sebagai
antifeedant. Smith (1989) mengemukakan bahwa larva pengorok daun yang berasal
dari imago musim dingin menghindari jaringan palisade tempat terakumulasinya
tanin pada daun dan berusaha memakan jaringan bunga karang mesofil daun.
20
Senyawa tanin dan fenol tanaman dapat berfungsi sebagai senyawa yang bersifat
antisenosis dan atau bersifat antibiosis bagi serangga. Kandungan senyawa racun
tanaman dapat berpengaruh negatif terhadap biologi serangga seperti kematian
mendadak maupun perlahan-lahan selama pertumbuhan dan perkembangan serangga
(Smith, 1989). Kematian mendadak terjadi pada fase telur dan larva muda,
sedangkan kematian perlahan terjadi pada fase larva tua, prapupa, pupa dan imago.
Pengaruh langsung terhadap kemampuan hidup individu serangga terlihat pada
penurunan bobot, ukuran tubuh dan laju pertumbuhan pradewasa serta keperidian
dan lama hidup imago (Kogan, 1986).
Erb et al. (1993) menemukan tiga mekanisme antibiosis tanaman tomat
terhadap L. trifolii. Pertama, antibiosis terhadap imago yang disebabkan oleh eksudat
trikoma daun. Kedua, senyawa dari dalam daun yang berpengaruh terhadap perilaku
makan, perilaku dan kelangsungan hidup imago. Ketiga, antibiosis terhadap larva
yang juga berasal dari dalam daun tanaman yang berpengaruh buruk terhadap
pertumbuhan dan perkembangan selanjutnya.
2.7 Pengendalian Liriomyza spp.
Ada beberapa cara pengendalian hama Liriomyza spp. Menurut Baliadi dan
Tengkano (2010) bahwa pengendalian Liriomyza spp. dapat dilakukan dengan :
2.7.1 Penggunaan Varietas Tahan
Pendekatan pengendalian yang paling menjanjikan dan menguntungkan
adalah penanaman varietas tahan (Reed et al., 1989). Perakitan varietas tahan untuk
lalat pengorok daun telah dirintis di banyak negara. Kriteria ketahanan didasarkan
pada sebaran dan kepadatan trikoma daun (Quiring et al., 1992) selain status nutrisi
(Karel & Autrique, 1989). Tingkat serangan dan jumlah imago L. trifolii pada buncis
21
bergantung pada kepadatan trikoma. Kepadatan trikoma bervariasi, bergantung pada
lokasi di permukaan daun, ukuran daun, tipe daun (daun primer atau skunder), dan
varietas buncis (Quiring et al., 1992). Trikoma yang rapat merupakan penolak fisik
(deterrent) bagi Liriomyza sp. Daun yang menguning kurang disukai oleh Liriomyza
sp. (Fagoonee & Toory, 1983). Memendeknya lama hidup imago betina
menyebabkan penurunan periode bertelur (Quiring et al., 1992). Berdasarkan
informasi tersebut maka upaya penemuan sumber gen untuk perakitan varietas tahan
lalat pengorok daun sebaiknya didekatkan pada kepadatan trikoma daun. Beberapa
ahli membedakan ketahanan tanaman dalam dua kelompok yaitu ketahanan ekologi
dan ketahanan genetik (Kogan, 1982). Ahli lain menganggap ketahanan ekologi
bukan merupakan ketahanan sebenarnya dan disebut ketahanan palsu atau pseudo
resistance, sedangkan yang disebut sifat ketahanan tanaman adalah ketahanan
genetik. Hal ini disebabkan sifat ketahanan ekologi tidak tetap dan mudah berubah
tergantung pada keadaan lingkungannya, sedangkan sifat ketahanan genetik relatif
stabil dan sedikit dipengaruhi oleh perubahan lingkungan.
Wigglesworth (1972) menjelaskan ketahanan ekologi atau dengan istilah lain
ketahanan yang kelihatan (apparent resistance) atau ketahanan palsu (pseudo
resistance) merupakan sifat ketahanan tanaman yang tidak dikendalikan oleh faktor
genetik tetapi sepenuhnya disebabkan oleh faktor lingkungan yang memungkinkan
kenampakan sifat ketahanan tanaman terhadap hama tertentu. Oleh karena sifatnya
yang tidak tetap, ahli pemulia tanaman tidak mengakui sifat ini sebagai sifat
ketahanan tanaman yang sesungguhnya. Sifat ketahanan ini biasanya merupakan sifat
sementara dan dapat terjadi pada tanaman yang sebenarnya peka terhadap serangan
hama tertentu. Atkins (1980) memaparkan 3 bentuk ketahanan ekologi yaitu
22
pengelakan inang (host evasion), ketahanan dorongan (induced resistance) dan inang
luput dari serangan (host escape). Pengelakan inang terjadi bila waktu pemunculan
fase tumbuh tanaman tertentu tidak bersamaan dengan waktu pemunculan stadia
hama yang aktif mengkonsumsi tanaman tersebut. Ketahanan dorongan, sifat
ketahanan ini timbul dan didorong oleh adanya keadaan lingkungan tertentu sehingga
tanaman mampu bertahan terhadap serangan hama. Ketahanan dorongan ini terjadi
antara lain akibat adanya pemupukan dan irigasi serta teknik budidaya yang lain.
Inang luput dari serangan, pada suatu tempat tertentu ada suatu kelompok tanaman
yang sebenarnya memiliki sifat peka terhadap suatu jenis hama, tetapi pada suatu
saat tanaman tersebut tidak terserang meskipun populasi hama di sekitarnya pada
waktu itu cukup tinggi. Hal tersebut tidak berarti bahwa tanaman tersebut tahan
terhadap serangan hama tetapi tanaman tersebut sedang dalam keadaan luput dari
serangan hama (Supartha, 2014).
2.7.2 Budi Daya Tanaman
Menurut Soetiarso (2007) budi daya tanaman, meliputi waktu tanam yang
tepat, penanaman pada musim kemarau, pergiliran tanaman dengan tanaman bukan
bawang-bawangan dapat menekan populasi pengorok daun. Umbi untuk bibit
hendaknya berasal dari tanaman sehat, kompak (tidak keropos), tidak luka, dan
warnanya mengkilap. Penggunaan pupuk N yang berlebihan dapat mengakibatkan
tanaman menjadi sukulen karena bertambahnya ukuran sel dan dinding sel tipis
sehingga mudah terserang OPT (Soetiarso, 2007). Pengolahan tanah yang baik,
pemupukan berimbang, sanitasi, pengambilan dan pemusnahan bagian dan sisa
tanaman yang terinfeksi dapat menekan serangan lalat pengorok daun bawang.
23
Penyiraman dengan air bersih setelah turun hujan pada siang hari dapat
membersihkan konidia yang menempel pada tanaman.
2.7.3 Kultur Teknis
Teknik pengendalian lalat pengorok daun secara kultur teknis antara lain
dilakukan dengan pemasangan mulsa plastik, penanaman serentak, dan pergiliran
tanaman. Pemakaian plastik lembaran untuk penutup tanah terbukti efektif
menurunkan populasi lalat dewasa. Pertanaman yang ditanam lebih akhir akan
menderita serangan yang lebih berat, oleh karena itu penanaman lebih awal dan
serentak direkomendasikan sebagai salah satu teknik pengendalian yang efektif.
Pergiliran tanaman dengan tanaman bukan inang, efektif mengendalikan penggorok
daun (Soetiarso, 2007).
2.7.4 Penggunaan Perangkap
Unmole et al. (1999) mengemukakan, perangkap likat kuning merupakan alat
yang efektif untuk mengendalikan L. chinensis pada bawang merah. Jumlah imago
yang tertangkap pada perangkap dan jumlah L. chinensis pertanaman memiliki kaitan
yang erat dan dapat digunakan sebagai indikator waktu aplikasi insektisida yang
tepat. Perangkap likat kuning hendaknya dipasang segera setelah tanaman bawang
merah tumbuh. Jumlah perangkap yang dibutuhkan setiap hektar sebanyak 40 buah
(Supriadi et al., 2000). Weintraub dan Horowitz (1996) mengemukakan, perangkap
likat kuning cukup efisien menjebak lalat pengorok daun untuk memantau populasi
dan keberadaan lalat pengorok daun di lapang. Perangkap likat kuning juga dapat
digunakan untuk memantau populasi Liriomyza spp., untuk menentukan sebaran dan
aktivitas kehidupan hariannya. Nonci et al. (2009) mengemukakan, berdasarkan hasil
analisis daerah di bawah kurva perkembangan kerusakan serangan hama (DDKPK),
24
perangkap likat kuning lebih efektif menekan populasi L. chinensis dibandingkan
perlakuan lainnya. Rata-rata imago L. chinensis yang terperangkap pada 7 hari
setelah tanam sebanyak 36,5 ekor/perangkap/minggu dan terus meningkat hingga 35
hari setelah tanam, menjadi 208,83 ekor/perangkap/minggu. Norfahmi et al. (2010)
juga melaporkan, perangkap likat kuning lebih efektif dibandingkan dengan
perangkap likat jalan.
2.7.5 Penggunaan Musuh Alami
Parasitoid adalah organisme yang menghabiskan sebagian besar hidupnya
dengan bergantung pada organisme inang tunggal untuk mengambil makanan dalam
proses itu (Doutt, 1959). Liriomyza spp. diketahui memiliki musuh alami, khusus di
tempat aslinya. Setidaknya ada 23 spesies parasitoid telah digunakan dalam program
pengendalian biologis terhadap L. trifolii dan L. sativae di Senegal, California,
Hawaii, Barbados, Marianas, Tonga, Taiwan dan Guam (Petcharat, 2002; Cikman,
2012). Parasitoid dari famili Eulophidae, Braconidae dan Pteromalidae adalah
parasitoid yang dominan menyerang stadia larva dan pupa dari lalat Agromizidae
(Cikman, 2012). Menurut Noyes (2004) mengatakan bahwa terdapat lebih dari 300
spesies parasitoid Agromyzidae, dan lebih dari 80 spesies yang dikenal menyerang
spesies Liriomyza spp. La Salle & Parrella (1991) mendaftarkan 23 spesies parasitoid
untuk Liriomyza spp. Di Indonesia tercatat 19 jenis parasitoid berasosiasi dengan L.
sativae dan 6 jenis parasitoid berasosiasi dengan L. huidobrensis. Pada kondisi alami
larva Liriomyza spp. dapat terparasit oleh berbagi jenis parasitoid dan imagonya
dimangsa oleh predator. Jenis parasitoid Liriomyza spp. berbeda untuk setiap
tanaman dan daerah geografi atau penyebarannya. Jenis parasitoid umum yang
muncul dari daun yang menyerang L. sativae adalah Asecodes deluchii,
25
Quadrastichus liriomyzae, Chrysocharis sp. dan Hemiptarsenus varicornis (Rauf,
1999).
Pada proses menemukan inang oleh seekor parasitoid adalah sebuah proses
yang sangat kompleks, dimana proses itu berbeda tergantung jarak inang (long &
short range). Penemuan inang pada jarak yang jauh dapat dilakukan, karena inang
mengeluarkan beberapa senyawa kemikal yang dapat ditangkap oleh parasitoid,
dimana parasitoid memiliki sistem navigasi untuk bisa mendeteksi keberadaan inang
dari senyawa kemikal yang dikeluarkannya. Proses tersebut diantaranya adalah
sebagai berikut :
1. Proses penemuan inang pada jarak yang jauh (long range/distance),
ditentukan dengan kemikal berupa kairomon atau synomon yang secara
umum berasal dari: (1) Inang itu sendiri berupa kotoran inang, selama
ganti kulit, selama proses makan dan feromon agregasi, (2) Tanaman
dimana inang menyerang berupa synomon untuk parasitoid dan (3)
Berasal dari interaksi antara inang dan tanaman inang seperti kerusakan
selama proses makan inang, yang berupa synomon pada parasitoid.
Senyawa kimia sangat menentukan parasitoid mengidentifikasi arah
dimana inang itu berada. Senyawa kimia yang diproduksi oleh inang
mungkin feromon sex atau senyawa kimia yang diproduksi ketika proses
makan atau perkembangan inang. Daun-daun yang terserang inang
menunjukkan kenampakan yang berbeda dalam warna dan bentuk dengan
daun yang tidak terserang inang, sehingga memberikan pengaruh
ketertarikan yang berbeda bagi parasitoid, selain itu suara yang
26
diproduksi oleh inang kadang-kadang menjadi penyebab ketertarikan
parasitoid (Purnomo, 2009).
2. Proses menemukan inang jarak pendek oleh parasitoid, sangat ditentukan
oleh senyawa kimia tertentu yang memberitahukan pada parasitoid,
bahwa inangnya sudah dekat, yang membuat parasitoid semakin
mengintensifkan pencariannya pada area tertentu. Senyawa kimia ini
sering dinamakan arrestants yang berupa senyawa kimia yang kurang
volatil dibandingkan senyawa antractans. Senyawa ini sering diproduksi
inang ketika dalam proses makan atau peletakan telur (Purnomo, 2009).
Doutt (1959) menyatakan, bahwa perilaku parasitoid dalam menemukan
inang sebagai berikut: 1) Lokasi habitat inang, 2) Lokasi inang, 3)
Penerimaan inang, dan 4) Kesesuaian inang. Beberapa faktor penting
yang berpengaruh terhadap perilaku parasitoid adalah waktu sebelum
oviposisi (peletakan telur), ritme harian dan status perkawinan merupakan
faktor internal pada perilaku. Faktor lingkungan seperti suhu,
kelembaban, cahaya dan angin, serta jenis tanaman, kepadatan dan
kejelasan inang, adalah faktor eksternal pada parasitoid. Stimulus fisik
seperti suara, gerakan, vibrasi, ukuran, bentuk, dan tekstur dianggap
sebagai faktor sekunder. Parasitoid dalam tubuh inang mengisap cairan
tubuh atau memakan jaringan bagian dalam tubuh inang. Parasitoid yang
hidup di dalam tubuh inang disebut endoparasitoid dan yang menempel di
luar tubuh inang disebut ektoparasitoid. Parasitoid umumnya mempunyai
inang yang lebih spesifik, sehingga dalam keadaan tertentu parasitoid
lebih efektif mengendalikan hama. Kelemahan dari parasitoid itu karena
27
adanya parasitoid tertentu yang dapat diparasit lagi oleh parasitoid lain.
Kejadian seperti itu disebut hiperparasitisme, dimana parasitoid lain
tersebut disebut parasit sekunder. Jika parasit sekunder ini terkena parasit
lagi disebut parasit tersier. Parasit sekunder dan parasit tersier disebut
sebagai hyperparasit.
Menurut Hassel dan Waage (1984), bahwa karakter-karakter musuh alami
yang baik adalah : 1) Memiliki kemampuan mencari inang yang tinggi, 2) Memiliki
spesifitas inang, memiliki kecepatan reproduksi yang tinggi, 3) Kemampuan untuk
hidup dalam zona iklim yang luas, 4) Kemampuan untuk diperbanyak secara
artificial, 5) Kemampuan untuk membedakan inang yang cocok. Ada beberapa faktor
yang mendukung efektivitas parasitoid dalam pengendalian hayati antara lain: a)
daya kelangsungan hidup yang baik, b) hanya satu atau sedikit individu inang yang
diperlukan untuk melengkapi daur hidup, c) kemampuan dalam mencari inang
(searching capacity), d) sebagian besar parasitoid bersifat monofag atau oligofag, e)
memiliki kisaran inang yang sempit.
Predator alami lalat pengorok daun adalah semut, kumbang, Chrysopa sp.,
dan spesies Diptera lain seperti Drapetis subaenescens, Tachydromia annulata,
Coenosia attenuata, Draperis sp., Oxyopes sp., Cyrtopeltis modestus, dan nematoda
entomopatogen Steinernema carpocapsae (Parrella & Bethke, 1984).
2.7.6 Penggunaan Insektisida
Insektisida berspektrum luas masih sering digunakan untuk mengendalikan
lalat pengorok daun. Secara beriringan upaya untuk memperoleh insektisida selektif
yang efektif sampai saat ini terus dilakukan. Pada awalnya, insektisida hidrokarbon
klorin dan organofosfat direkomendasikan untuk mengendalikan lalat pengorok
28
daun. Karel & Autrique (1989) menyatakan, L. trifolii pada buncis dapat
dikendalikan dengan 1-2 kali aplikasi insektisida diazinon, monokrotofos atau
dimetoat. Reed et al. (1989) menganjurkan pemakaian monokrotofos dosis rendah
(0,025 kg bahan aktif/ha) pada tanaman kacang arab dan diaplikasikan pada stadia
vegetatif untuk mencegah peningkatan infestasi lalat pengorok daun.
Insektisida terbukti menjadi pemicu populasi dan ledakan populasi tinggi
(Spencer, 1973). Akhir-akhir ini banyak dilaporkan timbulnya resistensi lalat
pengorok daun terhadap insektisida, termasuk hidrokarbon klorin, organofosfat,
karbamat, dan piretroid. Untuk mencegah terjadinya resistensi dibutuhkan kebijakan
penggunaan insektisida (Keil & Parrella, 1983), misalnya merotasi jenis insektisida
(Trumble et al., 1985).
Di Indonesia, untuk mengatasi lalat pengorok daun, petani sayuran umumnya
melakukan aplikasi insektisida setiap minggu, bahkan kadang-kadang seminggu dua
kali. Salah satu jenis insektisida yang banyak digunakan adalah yang berbahan aktif
profenofos. Insektisida masih belum mampu menekan kerapatan populasi larva
maupun intensitas kerusakan daun. Ada dugaan insektisida dimetoat dinyatakan
cukup efektif mengendalikan L. huidobrensis dan L. trifolii di California (Parrella &
Bethke,1984). Ketidakefektifan insektisida karena larva lalat pengorok daun tinggal
di dalam jaringan daun. Selain itu, juga dilaporkan bahwa L. huidobrensis toleran
terhadap insektisida golongan organofosfat dan resisten terhadap golongan piretroid
(McDonald, 1991). Hingga saat ini belum diperoleh jenis insektisida yang efektif
mengendalikan lalat pengorok daun. Petani sayuran tidak puas dengan hasil
pengendalian yang telah dilakukan (Rauf et al., 2000). Masih terbuka peluang untuk
29
mengkaji insektisida yang efektif untuk mengendalikan larva lalat pengorok daun
yang terdapat di dalam liang korokan.
2.8 Faktor yang Mempengaruhi Perkembangan Kehidupan Serangga
2.8.1 Faktor Intrinsik
Menurut Southwood (1978) laju pertambahan intrinsik adalah laju
pertambahan per individu, dimana laju keperidian dan sintasan dalam kondisi
maksimal akibat tidak terjadi mortalitas akibat faktor luar. Keadaan tersebut terjadi
apabila populasi memiliki jadwal 1x dan mx yang tetap serta kematian terjadi hanya
karena adanya faktor fisiologis (Price, 1984). Semakin tinggi nilai laju pertumbuhan
intrinsik maka semakin tinggi potensi suatu spesies untuk meningkatkan populasinya
pada lingkungan tertentu.
Populasi serangga dikatakan mengalami pertumbuhan apabila populasi
serangga memiliki sebaran umur yang stabil yaitu memiliki peluang keperidian dan
kematian yang sama pada kelompok umur tertentu untuk setiap generasi. Makin
tinggi persentase telur yang diletakkan kelompok umur muda maka makin besar nilai
laju pertambahan intrinsik (Birch, 1948). Pertumbuhan populasi pada suatu
lingkungan tak terbatas mengikuti suatu model yang bersifat eksponensial. Model
laju pertumbuhan intrinsik menurut Birch (1948) tersebut adalah Nt = Noert, dimana
No = banyaknya individu pada waktu nol, Nt = banyak individu pada waktu t, r =
laju pertumbuhan intrinsik dan e = bilangan logaritma alami (2,71828).
Faktor intrinsik yang berpengaruh terhadap kelimpahan populasi adalah
natalitas, mortalitas dan pemencaran. Natalitas dipengaruhi oleh keperidian dan
fertilitas. Keperidian adalah kapasitas fisiologis untuk menghasilkan keturunan
(Krebs, 1978) yang biasanya dinyatakan dalam jumlah telur yang dihasilkan oleh
30
seekor betina selama hidupnya. Fertilitas menunjukkan banyaknya telur yang dapat
membentuk embrio yang dihasilkan oleh seekor betina. Keperidian serangga banyak
dilaporkan berhubungan positif dengan ukuran tubuhnya. Ukuran tubuh dan
keperidian dapat dipakai menduga natalitas serangga di lapang, melalui pengukuran
betina, pupa betina, panjang rentangan sayap atau panjang kokon (Southwood,1978).
Laju natalitas dan mortalitas menentukan kelimpahan populasi serangga
bersangkutan di dalam suatu ekosistem (van Emden, 1974). Natalitas dan mortalitas
juga mempengaruhi penambahan dan pengurangan populasi di dalam ekosistem,
tingkat kerapatan populasi tertentu dapat mempengaruhi terjadinya emigrasi keluar.
Kelimpahan dan daya tahan hidup populasi sangat tergantung pada hasil interaksi
antar sifat-sifat biologi serangga bersangkutan dengan faktor-faktor lingkungan
(Clark et al., 1976).
2.8.2 Faktor Ekstrinsik
Kelimpahan populasi dalam suatu sistem kehidupan dipengaruhi oleh faktor
luar seperti makanan, ruang, iklim, pesaing, dan musuh alami. Faktor makanan yang
mempengaruhi adalah jenis, kualitas dan kuantitas tanaman inang. Distribusi dan
kerapatan trikoma, kandungan fenolat dan nutrisi tanaman dilaporkan mempengaruhi
pemilihan tanaman inang oleh imago Liriomyza spp. (Parrella, 1987). Kandungan N
daun tanaman inang dilaporkan berkorelasi positif dengan kelimpahan populasi
Liriomyza spp. di lapang. Pada kandungan N daun yang lebih tinggi, aktivitas makan
dan keperidian Liriomyza spp. meningkat (Minkenberg & van Lenteren, 1986).
Ketersediaan berbagai jenis tanaman inang di lapang selain membantu pertumbuhan
dan perkembangan serangga, juga membantu pemencarannya. Sifat polifag yang
31
dimiliki Liriomyza spp. memungkinkan bagi serangga tersebut untuk memencar lebih
cepat ke jenis dan bagian tanaman lain yang lebih disukai.
Parrella (1987) memperkirakan suhu ambang bawah bagi perkembangan telur
L. trifolii pada krisan dan Apium graveolens adalah 10oC dan 12,8
oC, sedangkan
untuk perkembangan larva pada krisan, A. graveolens dan tomat adalah 6,1oC; 7,8
oC
dan 8,4oC. Suhu ambang untuk perkembangan pupa pada A. graveolens dan krisan
adalah 9,0oC dan 10,3
oC. Suhu ambang bawah untuk perkembangan telur sampai
imago pada A. graveolens dan krisan adalah 8,1oC dan 8,4
oC. Suhu optimum untuk
perkembangan telur sampai imago L. trifolii pada seledri adalah 25oC dengan
persentase puparia yang bertahan hidup sekitar 86,7% (Leibee, 1984). Kematian
terjadi lebih tinggi pada suhu 15oC terutama pada stadia telur dan larva (Minkenberg,
1988). Pengaruh suhu terhadap peneluran maksimum terjadi pada kisaran suhu 20oC
- 27oC (Dimetry, 1971). Faktor lain seperti kelembaban udara selain mempengaruhi
perilaku makan, juga berpengaruh terhadap jumlah imago yang muncul dan bertahan
hidup. Jumlah pupa yang berhasil menjadi imago meningkat bila udara pada
permukaan pupariumnya lebih lembab. Minkenberg & van Lenteran (1986)
melaporkan pupa L. trifolii berhasil menjadi imago pada suhu konstan dan
kelembaban 11, 15, 32, 51, 62, 76, 94 dan 100% berturut-turut 6, 22, 40, 64, 65, 65,
72, 88%.
2.9 Mitokondria Citochrome Oxidase I (mtCOI)
Runutan DNA mitokondria (mtDNA) menjadi pilihan untuk mempelajari
taksonomi, dan evolusi hewan. Beberapa struktur dan evolusi menyebabkan mtDNA
menjadi pilihan, antara lain, memiliki banyak copy dalam sel sehingga memudahkan
untuk memperoleh sampel yang diinginkan, tidak mengalami rekombinasi sehingga
32
tidak dikacaukan oleh perubahan genetik akibat rekombinasi, memiliki daerah
terkonservasi antar taksa sehingga dapat dijadikan sebagai template untuk desain
primer yang bersifat universal, yang dapat menunjukkan perbedaan antar taksa. Jika
dibandingkan dengan gen inti, mtDNA memiliki laju evolusi 1-10x lebih cepat
(Avise et al., 1987; Lin & Danforth, 2004). Terdapat beberapa peta genome
mitokondria (mtDNA) yang dapat dijadikan sebagai perbandingan antar organisme
(Morlais & Severson, 2002). Setiap spesies memiliki genotip mitokondria yang
berbeda dengan spesies lain. Mitokondria gen penyandi protein pada DNA
mitokondria umumnya mengandung perbedaan lebih tinggi dari gen ribosom, dengan
demikian lebih mungkin untuk membedakan antar spesies yang berhubungan erat
(Zein & Prawiradilaga, 2013).
Salah satu gen penyandi protein yang terdapat pada mtDNA adalah gen COI.
Gen tersebut telah umum digunakan sebagai penanda genetik pada studi populasi.
Hal ini karena gen COI memiliki laju mutasi yang cukup tinggi sehingga dapat
memperlihatkan perbedaan antar populasi atau bahkan antar individu dalam satu
spesies (Bucklin et al., 2003). Menurut Hebert et al. (2003), gen COI memiliki laju
mutasi yang lebih tinggi jika dibandingkan dengan laju mutasi dua gen mitokondria
lain seperti 12S dan 16 S rDNA. Penggunaan DNA sebagai marka genetik semakin
pesat dengan dikembangkannya metode amplifikasi DNA secara in vitro yang
disebut teknik Polymerase Chain Reactions (PCR). PCR merupakan metode yang
baik dan cepat untuk amplifikasi DNA.
Gen sitokrom oksidase pada mitokondria terbagi menjadi tiga subunit yaitu
sitokrom oksidase subunit I, II dan III (Gambar 2.5). Gen Cytochrom c oxidase
subunit I (COI) merupakan representatif dari semua gen penyandi protein DNA
33
mitokondria. Sistem identifikasi berbasis DNA, menemukan gen mitokondria
sitokrom c oksidase subunit I (COI), yang dapat membantu resolusi pada keragaman
ini. Kemampuan sekuen COI telah divalidasi untuk mendiagnosis spesies tertentu
dalam kelompok taksonomi di kingdom binatang. Hasil penelitian menunjukkan
bahwa divergensi sekuen pada COI teratur dan memungkinkan membedakan spesies
serumpun. Sistem barcode DNA untuk kehidupan hewan dapat didasarkan pada
keragaman urutan sitokrom c oksidase subunit I (COI) (Hebert et al., 2003).
Ketepatan pilihan pada sekuen yang akan dijadikan sebagai marka genetik,
merupakan hal yang mendasar dalam kajian evolusioner. Karakteristik penting yang
harus diperhatikan sebagai marka genetik adalah laju substitusi nukleotida (asam
amino) pada daerah-daerah tertentu. Gen COI memiliki karakteristik khusus yang
sesuai sebagai alat dalam kajian evolusioner yaitu : (1) Sebagai pengkatalisis terakhir
COIII
COII
COI
Gambar 2.5
Daerah gen mitokondria. Gen penyandi sitokrom oksidase memiliki tiga subunit
yaitu Cox I, Cox II dan Cox III yang ditunjuk oleh anak panah warna ungu
(Sumber : Yu et al., 2007)
34
dalam rantai respirasi di mitokondria, sehingga COI banyak dikaji pada level
biokimia serta dapat menunjukkan bahwa struktur dan ukuran gen COI terkonservasi
pada semua organisme aerobik (Lunt et al., 1996). (2) Runutan asam amino
berkorelasi dengan fungsi masing-masing bagian COI, sehingga menunjukkan
karakteristik bagi spesies yang memilikinya (Lunt, 1996; Roe & Sperling, 2000). (3)
Jika dibandingkan dengan gen pengkode protein lain yang terdapat pada mtDNA,
COI memiliki ukuran yang relatif besar, sehingga memudahkan untuk memilih
daerah yang akan dipergunakan untuk kajian genetik, maupun fungsinya.