BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Kerangka Konsep · 2020-03-11 · BAB II TINJAUAN PUSTAKA . 2.1...
Transcript of BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Kerangka Konsep · 2020-03-11 · BAB II TINJAUAN PUSTAKA . 2.1...
7
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Kerangka Konsep
Pada dasarnya manusia merupakan makhluk yang dikelilingi oleh simbol-
simbol. Manusia menciptakan beragam simbol dengan tujuan untuk menjelaskan
kondisi nyata atau sebenarnya. Oleh karenanya simbol dapat dikatakan sebagai
penamaan dari seorang manusia pada suatu benda atau suatu objek tertentu.
Contoh sederhana dari simbol ialah pemberian nama dari orang tua kepada
anaknya. Nama digunakan untuk menjadi tanda bagi anak yang notabenenya
merupakan objek nyata atau empiris.
Berbagai bidang keilmuan mengembangkan beragam simbol berupa
konsep. Mohtar Maso‟ed (1994: 93-94) menjelaskan bahwasannya konsep
merupakan abstraksi yang merepresentasikan suatu objek, sifat suatu objek, atau
suatu fenomena tertentu. Mas‟oed menambahkan, seyogyanya konsep ialah kata
yang melambangkan gagasan atau pemikiran dan digunakan untuk
menyederhanakan dunia empiris yang kompleks. Sebagai contoh, beberapa
konsep yang dikenal yakni, “demokrasi”, “perang”, “damai” dan sebagainya.
Berdasarkan judul penelitian mengenai rivalitas hegemoni Amerika
Serikat dan Republik Rakyat Tiongkok melalui kebijakan Chinese Dream dan
Free and Open Indo-Pacific di kawasan Indo-Pasifik pada tahun 2017-2018,
maka konsep yang berikutnya akan dijabarkan ialah kawasan Indo-Pasifik,
hegemoni dan rivalitas.
8
Gambar 1.
Peta Kawasan Indo-Pasifik
Sumber: Dive The World: https://www.dive-the-world.com/maps-
indian-pacific-ocean.php, 28 Agustus 2018.
2.1.1 Kawasan Indo-Pasifik
Konsep Indo-Pasifik pertama kali diperkenalkan di dalam tulisan
ilmiah pada tahun 2007 oleh Gurpreet Khurana berjudul “Security of Sea
Lines: Prospects for India-Japan Cooperation”. Istilah „Indo-Pasifik‟
digunakan untuk merujuk pada kombinasi Samudra Hindia dan Samudra
Barat Pasifik – termasuk perairan lepas Asia Timur dan Asia Tenggara
(Khurana, 2017: 1). Dewasa ini signifikansi Indo-Pasifik sebagai suatu
kawasan menjadi perhatian internasional pasca pidato kenegaraan Menteri
Pertahanan Australia, Stephen Smith, pada kegiatan Shangri-La Dialogue
tahun 2012 sebagai berikut, (Scott, 2012:85-86):
“Seperti yang beberapa sebut ... Indo-Pasifik. Apapun labelnya ...
implikasi dari pergeseran historis kepada Indo-Pasifik terus terungkap ...
Di antara pemain kunci – seperti Tiongkok, India dan Amerika Serikat ...
Indo-Pasifik telah bangkit sebagai wilayah signifikan bagi strategi global
termasuk pertumbuhan proyeksi kekuatan militer negara-negara di Indo-
Pasifik. Samudra Hindia dan Samudra Pasifik terbentang di Kepulauan
Asia Tenggara timbul sebagai sistem strategis tunggal”.
9
Bishoyi (2015: 92) dalam Journal of Defence Studies menegaskan
bahwasannya kawasan Indo-Pasifik menjadi penting dalam mengukur
perdamaian dan kesejahteraan dunia karena kawasan ini tidak hanya
merepresentasikan aspek geografi, melainkan lebih dari pada itu
merupakan pusat gravitasi perekonomian, politik dan kepentingan
strategis. Indo-Pasifik hadir terlepas dari pendikotomian regional secara
tradisional – layaknya regionalisme berbasis ruang geografis – melainkan
mengarah pada kecenderungan persaingan kekuatan. Persaingan kekuatan
yang dimaksud mendapatkan titik pengejawantahannya seperti tajuk “a
free and open Indo-Pacific” oleh Presiden Donald Trump yang hanya
berselang beberapa minggu setelah Tiongkok memasukan implementasi
Belt Road Initiative (BRI) secara konstitusional dalam Kongres Partai
Komunis Tiongkok ke-19, 24 Oktober 2017 (Soong, 2018: 12-13).
Di sisi lain, aspek keamanan dan politik ikut berkelindan dengan
letak Indo-Pasifik yang begitu signifikan, khususnya bila melihat fakta
bahwa lebih dari 90 persen transportasi perdagangan dunia melalui jalur
laut, sehingga negara yang mampu memenuhi kebutuhan pengamanan
kemaritiman dan berpengaruh pada manuver politik di kawasan Indo-
Pasifik secara langsung akan menaikan posisi tawar negara tersebut. Nilai
penting Indo-Pasifik pada aspek keamanan dan politik yang dimaksud
kemudian ditambah dengan kekayaan gas alam yang menjadi bahan bakar
industri dunia; terdiri atas banyak titik vital perdagangan dunia, termasuk
Selat Malaka; dan menjadi daerah dengan beragam sengketa wilayah,
semisal sengketa Laut Tiongkok Selatan yang mengandung nilai keamanan
– bilamana dijadikan pangkalan militer – dan sengketa Kepulauan
Senkaku atau Diayou antara Jepang dan Tiongkok.
Berhubungan dengan penelitian mengenai rivalitas hegemoni RRT
dan AS di kawasan Indo-Pasifik, maka peneliti menilai penjabaran
konseptual berguna pada dua aspek. Aspek pertama ialah mengenai
kepentingan memperjelas tata letak atau posisi Indo-Pasifik, sehingga
menjadi mudah mengidentifikasi geografis kawasan tersebut. Aspek kedua
10
ialah menjadi langkah awal penggambaran signifikansi kawasan Indo-
Pasifik, khususnya bilamana berangkat dari pidato Stephen Smith tahun
2012.
2.1.2 Hegemoni
Secara terminologi, istilah hegemoni berasal dari bahasa Yunani
kuno, „hegemonia‟, yang berarti dominasi atau penindasan suatu elemen
kepada elemen yang lain di dalam suatu sistem. Sejalan dengan sisi
historis kebahasaannya, dewasa ini ide utama dari konsep hegemoni
diidentikan dengan keberadaan kekuatan dominan tunggal di dalam sistem
internasional untuk memastikan stabilitas politik dan ekonomi
internasional. Stabilitas yang dimaksud hanya dapat terjadi bilamana
entitas tertentu memiliki posisi dan kapabilitas serta kekuasaan untuk
menetapkan aturan dan norma dalam sistem internasional. Di lain sisi,
Barry Gills dalam “Hegemony and Social Change” menjelaskan
bahwasannya suatu negara dapat menjadi hegemoni ketika memiliki
kombinasi karakteristik yang stabil dan kuat antara militer, politik dan
ekonomi (Chase Dunn, dkk., 1994: 371).
Pertama, negara hegemon harus mempunyai kekuatan militer kuat,
bahkan diusahakan menjadi yang terkuat bila dibandingkan dengan rival-
rivalnya. Kekuatan militer yang dimaksud dewasa ini diidentikan dengan
jumlah populasi; luas wilayah negara; nilai anggaran militer; total personel
militer; armada angkatan darat, laut dan udara; dan senjata nuklir sebagai
alat terbaru untuk mengindikasikan besarnya kekuatan militer suatu
negara. Semakin banyak jumlah unit alutsista dari indikator yang
dimaksud, serta semakin baik kualitas unit tersebut – kebaharuan produksi
dan kekuatan, serta jarak jangkau – maka semakin tinggi kesempatan
menjadi hegemoni militer.
Kedua, negara hegemoni memiliki pengaruh politik yang besar dan
hubungan asosiatif dengan banyak negara, termasuk dengan negara-negara
besar. Maksud dari hegemoni politik ini ialah bahwa negara yang
11
bertujuan untuk menjadi hegemon – dan negara yang telah menjadi
hegemon – ditentukan dari pengaruh politik yang diciptakan. Penciptaan
pengaruh tersebut secara umum dilakukan melalui kerangka kerja sama
multilateral, melalui organisasi pemerintahan internasional
(intergovernmental organizations, IGOs) sehingga terjadi relasi
dependensi antara negara kuat dengan negara kecil, yang mana bermuara
pada pengaruh politik asimetris dengan negara hegemon berada di puncak
kekuasaan. Selain itu, hegemoni politik dapat diejawantahkan melalui
usaha-usaha penciptaan stabilitas suatu kawasan tertentu.
Ketiga, hegemoni ekonomi bekerja dengan aliansi-aliansinya guna
mengarahkan ekonomi global sehingga hasil keluaran dari institusi
internasional tersebut sejalan dengan nilai dan keinginan aliansi.
Mengarahkan ekonomi dan mengadakan keinginan aliansi inilah yang
selanjutnya dimaknai Yazid (2015: 68-69) sebagai barang publik (public
good). Barang publik tersebut dapat berupa pemberian bantuan tunai atau
piutang dari negara hegemon kepada negara subordinat; pengadaan
infrastruktur semisal jalan, jembatan, jalur kereta dan pelabuhan yang
bertujuan memudahkan arus ekonomi (dari produksi hingga konsumsi);
atau pembentukan badan yang mampu mempengaruh sistem
perekonomian dunia melalui kebijakan keuangan, dalam hal ini dapat
berupa bank multinasional atau bank konvensional yang dijalankan oleh
satu negara tertentu.
Merangkum poin-poin pemikiran Barry Gills, penulis sepakat
dengan Snidal (1985: 581) bilamana negara-negara memandang
keberadaan aktor hegemon sebagai kondisi saling menguntungkan, akan
tetapi hegemoni bukan merupakan suatu kondisi yang rigid dan permanen.
Artinya ialah hegemoni dari suatu negara tidak merupakan akhir dari
dinamika hubungan internasional, dikarenakan kemungkinan-
kemungkinan akan hadirnya negara lain yang berkompetisi akan
menghantarkan dunia pada transformasi. Sesuai dengan nosi tersebut,
Robert Cox dalam “Hegemony and Social Change” kemudian menarasikan
12
sebagai berikut: “hegemoni tidak pernah selesai. Selalu ada beberapa
oposisi yang diprovokasi oleh suatu tatanan hegemonik, beberapa
kontradiksi dihasilkan yang menuntun pada transformasi” (Chase Dunn,
dkk., 1994: 366).
Adapun berkaitan dengan penelitian rivalitas hegemoni antara
Republik Rakyat Tiongkok (RRT) dan Amerika Serikat (AS) ini, peneliti
menggunakan konsep hegemoni dengan beberapa tujuan. Tujuan pertama,
berkenaan dengan karakteristik atau ciri-ciri guna mengidentifikasi
bagaimana kebijakan RRT dan AS dipakai sebagai instrumen mengejar
hegemoni di kawasan Indo-Pasifik. Kedua, konsep hegemoni diuraikan
dengan tujuan memahami alasan dibalik keputusan negara-negara di
kawasan Indo-Pasifik untuk mendukung salah satu dari RRT dan AS
mencapai keadaan hegemon – entah dengan alasan keterpaksaan maupun
dikarenakan ketiadaan pilihan lain. Di sisi lain konsep hegemoni juga
penting sebagai pengingat bahwa hegemoni itu sendiri bersifat dinamis,
sehingga baik RRT maupun AS berkesempatan untuk menjadi negara
hegemon di kawasan Indo-Pasifik.
2.1.3 Rivalitas
Terminologi rivalitas telah relatif lama menjadi bagian dari
leksikon pengkaji ilmu hubungan internasional, di mana pada tataran yang
sederhana rivalitas diasosiasikan dengan perasaan kebencian dan
kompetisi antara negara-negara. Hubungan rivalitas kemudian menjadi
sulit terputus dikarenakan setiap pihak mengartikan tindakan lawannya
dalam konteks ancaman. Di sisi lain, rivalitas antara dua negara yang
cenderung setara ini menjadikan situasi sulit diubah lantaran pihak-pihak
tersebut tidak bisa mengatasi atau menegasi satu sama lain. Akan tetapi,
guna pendapatkan konsep operasional yang lebih mendalam, peneliti
sependapat dengan tiga komponen rivalitas menurut Diehl dan Goertz
(2000: 19-26), yakni konsistensi ruang, waktu atau durasi dan persaingan
militerisasi.
13
1) Konsistensi ruang – terdiri atas dua aspek, yakni adanya sepasang
negara yang saling bersaing (dyadic) dan kemungkinan terjadi konflik
di masa depan dengan negara yang sama. Berangkat dari aspek
pertama, Diehl dan Goertz (2000) menyadari bahwa rivalitas pada
umumnya berlangsung antara sepasang negara yang berkompetisi
secara berulang-ulang dalam periode waktu tertentu. Fakta akan
persaingan dyadic selanjutnya tidak serta-merta menghilangkan
keterlibatan aliansi-aliansi yang terpolarisasi di dalam dua negara
rival. Dengan kata lain, rivalitas dyadic juga berarti kehadiran
organisasi internasional yang diawaki kedua negara untuk ikut serta
dalam proses rivalitas. Aspek berikutnya ialah potensi kemunculan
konflik antara negara rival, baik konflik terbuka maupun konflik
tertutup. Konflik tertutup yang dimaksud ialah persaingan seperti yang
terjadi pada fase Perang Dingin antara Amerika Serikat dan Uni
Soviet.
2) Waktu atau durasi – ciri khas dari rivalitas ialah penekanannya pada
durasi. Oleh karenanya komponen kedua dari rivalitas ialah sifatnya
yang temporal. Adapun berdasarkan jenis durasinya, rivalitas dibagi
menjadi tiga jenis. Pertama adalah rivalitas sporadis atau isolatif, di
mana rivalitas terjadi di antara sepasang negara. Kedua ialah rivalitas
proto, terdiri dari konflik yang berulang-ulang antara negara yang
sama. Ketiga adalah enduring rivalries, yakni konflik yang terjadi
berulang-ulang dalam rentang waktu yang panjang;
3) Persaingan militerisasi – hubungan rivalitas dapat berarti penggunaan
alat-alat militer dalam penerapan kebijakan luar negeri. Ketika suatu
negara terlibat dalam rivalitas, negara tersebut memiliki tujuan-tujuan
yang bertentangan terhadap suatu barang yang langka, contohnya
adalah perebutan hegemoni.
Alghafli (2015: 15) membagi rivalitas ke dalam dua jenis, yakni
rivalitas abadi dan rivalitas strategis. Rivalitas abadi menekankan pada
persistensi konflik sepanjang waktu di mana dua negara menumpuk
14
sejarah peperangan. Di pihak lain, relasi rivalitas yang terbangun antara
RRT dan AS merupakan rivalitas strategis yang mana rivalitas tergambar
dari hubungan belligerent antara dua sisi, dikarakterisasi dengan kompetisi
terkait tujuan yang saling bertentangan, dan mengarah pada kebijakan luar
negeri yang kontradiktif atau berlawanan. Rival strategis mengantisipasi
kemungkinan serangan dari pihak kompetitor dengan asumsi berdasarkan
kebijakan yang dicanangkan oleh kompetitor tersebut sehingga secara
berkesinambungan menciptakan proses reaktif atau saling memperbaharui
kebijakan (Colaresi, Rasler & Thompson., 2008: 27).
Konsep rivalitas menjadi penting dalam penelitian ini dikarenakan
berfungsi untuk mengidentifikasi ada atau tidaknya hubungan rivalitas
yang terjadi antara RRT dan AS di kawasan Indo-Pasifik tahun 2017-2018.
Pertama, melihat relasi RRT dan AS di Indo-Pasifik yang cenderung
terealisasi dalam bentuk kompetisi, berdasarkan definisi rivalitas. Kedua,
menyelidiki aktivitas RRT dan AS berdasarkan komponen-komponen
rivalitas, dalam hal ini apakah memiliki konsistensi ruang – khususnya
dyadic – yang jelas, berlangsung dalam periode waktu tertentu, dan
keterlibatan tindakan militerisasi. Terakhir, instrumen untuk memastikan
keberadaan karakteristik rivalitas strategis antara RRT dan AS di mana
saling terjadi kebijakan luar negeri balasan atau reaksioner antara kedua
negara.
2.2 Kerangka Teori
Teori adalah suatu pandangan mengenai apa yang telah terjadi, oleh
karenanya berteori dapat dikatakan sebagai pekerjaan menggambarkan apa yang
telah terjadi dan mengapa hal tersebut terjadi sehingga pada satu titik yang
memungkinkan seseorang untuk meramalkan persitiwa yang terjadi di masa
mendatang berdasarkan pola dari kejadian di masa lalu (Mas‟oed 1994: 185).
Berangkat dari pengertian teori sebagai alat untuk menjelaskan, bahkan
memprediksi suatu fenomena, maka peneliti kemudian berusaha menjabarkan
teori kebijakan luar negeri dan realisme struktural ofensif.
15
2.2.1 Teori Kebijakan Luar Negeri
Penjelasan mengenai analisis kebijakan luar negeri meliputi proses
dan hasil dari pembuatan keputusan dengan mempertimbangkan referensi
dan konsekuensi dari kebijakan tersebut. Hudson (2005: 2) melihat proses
yang dimaksud dimulai dengan penyelidikan, penentuan prioritas tujuan,
penilaian persetujuan dan seterusnya. Dikarenakan proses panjang
pencanangan kebijakan – luar negeri – maka sifat dari rantai
pertimbangannya ialah multifaktor dan multilevel. Multifaktor berarti
penjelasan dan atau pertimbangan kebijakan meliputi berbagai variabel
penjelas dan multidisiplin, yakni pada ranah ekonomi, politik, keamanan
dan lain sebagainya. Di sisi lain, multilevel mengindikasikan poros analisis
kebijakan dapat ditelaah dari berbagai tingkatan, mulai dari tingkat
individu hingga sistem internasional.
Bilamana berfokus pada level analisis sistem, kondisi internasional
yang anarki menghasilan tindakan-tindakan negara untuk mengamankan
diri sendiri. Level sistem tidak berfokus pada kebijakan luar negeri satuan
negara tertentu, namun pada konteks di mana kebijakan luar negeri
tersebut dibentuk (Hudson, 2014: 173). Menggunakan istilah yang
berbeda, pemahaman akan signifikansi dan situasi dalam suatu kawasan
atau regional menjadi penting sebagai pelengkap mengartikan intensi
negara. Berkenaan dengan level sistem dalam pengambilan kebijakan luar
negeri terdapat beberapa pemikiran menurut Hudson (2014: 175), yakni:
1) Meningkatkan kapabilitas, namun lebih memilih bernegosiasi
dibandingkan bertengkar;
2) Bertengkar atau melawan dari pada gagal untuk meningkatkan
kapabilitas;
3) Menentang aktor tunggal ataupun koalisisi yang memiliki
kecenderungan mengungguli di dalam sistem.
Selanjutnya, pada level analisis sistem secara umum, asumsi utama
yang memenuhi narasi hubungan internasional ialah keadaan di mana
semua aktor politik cenderung tidak senang dengan status quo pada
16
beberapa isu dan di sisi lain terdapat kasus-kasus yang mana aktor politik
berusaha mempertahankan status quo. Sejalan dengan fenomena tersebut,
Palmer dan Morgan (2006: 21) menyatakan, “Kami mengidentifikasi
bahwa kebijakan luar negeri pertama bernilai untuk menghasilkan
perubahan atau kedua untuk mempertahankan keadaan”. Kebijakan luar
negeri suatu negara diperuntukan untuk mengubah di saat keadaan tidak
sesuai dengan keinginan negara, serta kebijakan luar negeri akan
digunakan untuk mempertahankan bilamana ada negara lain yang berusaha
mengubah tatanan politik internasional.
Selanjutnya, teori kebijakan luar negeri digunakan untuk
menganalisis kebijakan luar negeri Republik Rakyat Tiongkok (RRT) dan
Amerika Serikat (AS), yakni berturut-turut Chinese Dream dan Free and
Open Indo-Pacific. Sifat kebijakan luar negeri yang multifkator digunakan
untuk melihat kebijakan Chinese Dream dan Free and Open Indo-Pacific
yang mencakup beberapa ranah atau sektor implementasi, serta sifat
multilevel dipakai guna mengetahui level analisis pada tingkatan sistem
internasional. Berikutnya tiga asumsi Hudson (2014) digunakan sebagai
dasar mengidentifikasi jenis kebijakan RRT dan AS melalui Chinese
Dream dan Free and Open Indo-Pacific di Indo-Pasifik pada tahun 2017-
2018.
2.2.2 Realisme Struktural Ofensif
Realisme struktural mengkritisi generasi sebelumnya, realisme
klasik. Kenneth Waltz dan John Mearsheimer adalah dua pemikir yang
paling diasosiasikan dengan realisme struktural. Pada awalnya realisme
klasik berpandangan bahwa situasi konfliktual antara negara-negara
merupakan hasil dari sifat alami manusia yang egois. Sifat egosentris
manusia kemudian diejawantahkan ke dalam tatanan negara, di mana
negara berusaha untuk terus-menerus mengejar kekuasaan. Berbeda
dengan realisme klasik, realisme struktural atau yang juga dikenal sebagai
neorealisme menegaskan lebih kepada hubungan sebab akibat antara
17
tindakan negara dan hasilnya di dalam sistem internasional. Anarki tidak
serta merta berarti kondisi chaos, namun situasi di mana tidak memiliki
pemerintahan dunia, layaknya pemerintahan domestik yang memiliki
kuasa untuk mengatur masyarakatnya. Dalam istilah yang berbeda,
realisme struktural menekankan bahwa politik internasional hanya dapat
dimengerti pada penjelasan mengenai struktur dunia dan bahwa struktur
yang dimaksud berasal dari perbedaan kapabilitas dan kekuatan negara
(Waltz, 2003: 36).
Secara umum, pendekatan realisme struktural melihat pentingnya
kekuatan koersif di dalam panggung internasional, yakni ketika distribusi
kekuatan dari relasi internasional menjadi asimetris atau tidak berimbang,
maka akan memunculkan suatu hegemon. Untuk tujuan tersebut, suatu
negara harus terlebih dahulu memiliki kekuatan militer guna secara
langsung mengontrol rivalnya dan kekayaan ekonomi guna
mempertahankan kekuatan militer (Dirzauskaite & Ilinca, 2017: 24). Lebih
lanjut, realisme struktural terbagi berdasarkan cara memandang pengejaran
kekuatan, yakni realisme defensif dan realisme ofensif. Realisme defensif
menyarankan negara-negara untuk tidak memaksimalkan kekuatan hingga
pada tahap menjadi hegemon dikarenakan berpotensi menimbulkan
konflik. Di sisi berbeda, Mearsheimer (2006: 75) menilai bahwa negara
harus selalu mencari kesempatan untuk meningkatkan kekuatannya dan
akhir dari tujuan itu ialah menjadi hegemoni lantaran cara tersebut
merupakan langkah terbaik memastikan keberlangsungan negara.
“realisme ofensif berpendapat bahwa negara harus selalu mencari
kesempatan untuk menambak kekuatan dan harus melakukannya kapan
pun memungkinkan. Negara harus memaksimalisasi kekuatan, dan
tujuan akhirnya adalah menjadi hegemoni, dikarenakan hegemoni
merupakan hal terbaik untuk menjamin keberlangsungan”.
Secara simultan, Mearsheimer (2001: 30-32) memberikan lima inti
pemikiran dasar realisme struktural dan bagaimana pemikiran tersebut
memberikan tiga pola kebiasaan negara. Pemikiran tersebut ialah struktur
sistem internasional yang anarki; kepemilikan kapabilitas militer negara,
18
yang mana berpotensi mengancam negara lain; ketidakpastian akan intensi
negara lain sehingga suatu negara wajib bersiap bilamana suatu saat terjadi
agresi; survival atau keberlangsungan sebagai tujuan utama negara; dan
negara-negara sebagai aktor rasional, di mana mereka sadar akan kondisi
eksternal serta berpikir strategis tentang cara-cara menangani kondisi
eksternal tersebut. Adapun dalam literasi yang sama, Mearsheimer melihat
tiga pola kebiasan negara – ketakutan, self-help atau membantu diri sendiri
dan maksimalisasi kekuatan. Realisme ofensif menyatakan bahwa aktor-
aktor sistem internasional tidak saling mempercayai satu sama lain,
bertujuan untuk memastikan keberlangsungan negaranya dan mencari
peningkatan kekuatan yang berimplikasi pada ketakutan aktor lainnya.
Berangkat dari kesadaran self-help, di mana negara-negara cenderung
memikirkan kepentingan diri sendiri, hanya terdapat satu cara guna merasa
aman, yaitu menjadi negara hegemon.
Mearsheimer (2001: 40-42) membedakan hegemoni global dari
hegemoni kawasan. Menurutnya, hegemoni berarti dominasi sistem, yang
diinterpretasikan sebagai keseluruhan dunia. Hegemoni global menjadi
mungkin, namun sepanjang sejarah dunia, capaian terbaik dari suatu
negara harus terbatas pada hegemoni regional dan regional lainnya yang
berdekatan, termasuk Amerika Serikat pasca Perang Dingin. Negara yang
mencapai hegemoni regional (kawasan) kemudian cenderung mencegah
negara di regional-regional lain sebelum menyamai capaiannya tersebut.
Selanjutnya, hegemon regional berusaha untuk memotong kesempatan
negara lain untuk menjadi hegemon, terlepas dari asal regional negara
tersebut, dikarenakan ketakutan bahwa rivalnya akan lebih mendominasi.
Pada akhirnya, situasi ideal bagi negara kuat ialah menjadi satu-satunya
hegemon regional di dunia.
Berhubungan dengan penelitian rivalitas hegemoni RRT dan AS di
kawasan Indo-Pasifik, peneliti menempatkan realisme struktural dan
terkhususnya ofensif realisme untuk menjadi alat analisis motif RRT dan
AS untuk berturut-turut mencanangkan kebijakan Free and Open Indo-
19
Pacific sebagai bentuk reaksioner terhadap kebijakan Chinese Dream pada
tahun 2017-2018. Analisis yang dimaksud berangkat dari asumsi-asumsi
realisme struktural dan pola kebiasaan negara-negara di dalam sistem
internasional, serta bagaimana latar belakang negara yang telah menjadi
hegemon di regional asalnya melakukan rivalitas dengan negara di
regional lain.
2.3 Penelitian Terdahulu
Penelitian terdahulu digunakan sebagai alat perbandingan dan bagaimana
melihat orisinalitas penelitian ini. Lebih dari pada itu, penelitian terdahulu
merupakan cara peneliti mengisi kekosongan-kesongan yang belum sempat terisi
oleh penelitian-penelitian sebelumnya. Penelitian terdahulu yang dimaksud di
antaranya skripsi Tana (2012), Fitriani (2012), Fitriyah (2012) dan Wibowo
(2017).
No. Peneliti Judul
Penelitian
Tujuan Penelitian Hasil Penelitian
1. Vika
Mayasari
Tana
(Universitas
Hasanuddin
Makassar,
2012)
Rivalitas
Kepentingan
Ekonomi
Amerika
Serikat dan
Republik
Rakyat China
dalam
Mendapatkan
Sumber Energi
di Indonesia
(Skripsi)
a. Menjelaskan
bentuk-bentuk
kepentingan
ekonomi antara
Amerika Serikat
dan Republik
Rakyat China,
serta upaya yang
telah dilakukan
oleh kedua
negara di
Indonesia.
b. Menjelaskan
persaingan
Amerika Serikat
dan Republik
Rakyat China
Kebangkitan ekonomi
Republik Rakyat
China membuat China
semakin agresif dalam
mencari energi. Hal
ini membuat
terjadinya persaingan
dengan Amerika
Serikat yang
merupakan negara
yang telah menjadi
aktor lama di
Indonesia dalam hal
energi. Kepentingan
ekonomi yang besar
membuat kedua
negara ini merasa
20
dalam
mendapatkan
sumber daya
energi di
Indonesia.
perlu untuk bekerja
sama dengan
Indonesia khususnya
terhadap sumber
energi yang dimiliki.
Pemerintah kedua
negara juga cukup
gencar menjalin kerja
sama dengan
Indonesia melalui
beberapa perundingan
ataupun kegiatan
untuk meningkatkan
kerja sama bilateral
dalam bidang energi.
Kedua negara juga
saling bersaing
mendapatkan energi
melalui akuisisi
ataupun dengan
pembelian sejumlah
perusahaan yang
memiliki nilai yang
esar dan strategis. Hal
ini semata-mata
dilakukan untuk
mengamankan
cadangan energi yang
dimiliki yang tentunya
dibutuhkan untuk
kegiatan ekonomi
masing-masing
negara.
21
2. Meita
Fitriani
(Universitas
Indonesia,
2012)
Persaingan
Amerika
Serikat dan
China di Asia
Tengah:
Perspektif
Keamanan
Energi (1997-
2007)
(Tesis)
a. Memahami
persaingan
Amerika Serikat
dan China di Asia
Tengah dalam
bidang energi
minyak periode
1997-2007.
b. Menganalisa
lebih dalam
mengenai konsep
keamanan energi.
Persaingan energi
yang akan terus
berlangsung dengan
membawa
kepentingan-
kepentingan di luar
energi guna saling
melemahkan pihak
oposisi dengan
kebijakan nasional.
3. Ikhrotul
Fitriyah
(Universitas
Muhammadi
yah Malang,
2012)
Strategi China
Dalam
Persaingan
Dengan
Amerika
Serikat Untuk
Memperebutka
n Hak
Eksplorasi
Minyak di
Sudan
(Skripsi)
Memahami strategi
yang dilakukan
China dalam
memperebutkan
hak eksplorasi
minyak di Sudan
dalam
persaingannya
dengan Amerika
Serikat.
China berupaya
mengimbangi
Amerika Serikat
dengan menjadi
oposisi. Dalam hal ini
China memberikat
paket bantuan
ekonomi dengan
memberikan pinjaman
bunga rendah serta
pembangunan tanpa
disertai berbagai
macam prasyarat.
Adapun China
memberikan
perlindungan
diplomatik kepada
pemerintah Sudan
yang dituduh
melakukan genosida.
22
4. Yoga M.
Wibowo
(Universitas
Pasundan
Bandung,
2017)
Hubungan
Diplomasi Cina
dan
Pengaruhnya
Terhadap
Hubungan Cina
– Amerika
Serikat
a. Mengetahui
perkembangan
reformasi
ekonomi di Cina
dan liberalisasi
perdagangan di
Asia Timur.
b. Mengetahui
pertumbuhan
ekonomi dan
perkembangan
politik di
Kawasan Asia
Timur.
c. Mengetahui
pemberlakuan
pasar bebas di
Kawasan Asia
Timur.
d. Menganalisis
dinamika
ekonomi
internasional
Kawasan Asia
Timur.
Perubahan ekonomi
kawasan memiliki
pengaruh terhadap
perekonomian Cina.
Adapun hal tersebut
menimbulkan
keharusan bersama
dari negara-negara
Asia Timur guna
mengatur rencana
dibukanya kawasan
pasar bebas Asia
Timur.
23
Penelitian mengenai persaingan antara Amerika Serikat dan Republik
Rakyat Tiongkok telah dikerjakan oleh beberapa penulis sebelumnya dengan
dilengkapi dengan beberapa sudut pandang dan studi kasus spesifik yang berbeda.
Salah satu dari sudut pandang yang berbeda ialah penelitian mengenai persaingan
Amerika Serikat dan Republik Rakyat Tiongkok dari perspektif keamanan energi
ataupun studi kasus spesifik mengenai persaingan kedua negara di Sudan.
Selanjutnya, yang menjadi penting sekaligus membedakan penelitian yang akan
dianalisis oleh peneliti ialah berkaitan dengan pencarian bagaimana rivalitas
antara Amerika Serikat dengan Republik Rakyat Tiongkok dilihat dari upayanya
untuk mendapatkan serta batasan penelitian pada Kawasan Indo-Pasifik yang
relatif baru dikenal – dikarenakan kawasan Indo-Pasifik menggabungkan
beberapa subdivisi samudra sekaligus, yakni Samudra Hindia, Samudra Pasifik
Tengah dan Samudra Pasifik Timur.
24
2.4 Kerangka Pikir Penelitian
Signifikansi Kawasan Indo-Pasifik
(Scott, 2012)
RRT: Chinese Dream
(Norton, 2015)
AS: Free & Open Indo-
Pacific (NSS, 2017)
Rivalitas RRT dan AS dalam Chinese Dream
dan Free & Open Indo-Pacific
(Colaresi, Rasler & Thompson., 2008: 27)
RRT atau AS menjadi Hegemoni
atas Indo-Pasifik
Realisme Struktural Ofensif
(Mearsheimer, 2001)
Teo
ri K
ebij
ak
an
Lu
ar
Neg
eri
(Hudso
n, 2005;
Pal
mer
&
Morg
an,
2006;
Hudso
n,
2014)
25
Kerangka pikir tersebut dimulai dengan kondisi geografis kawasan Indo-
Pasifik yang sangat luas dikarenakan menggabungkan Samudra Hinda dan
Samudra Pasifik Barat serta signifikansi Indo-Pasifik itu sendiri. Kondisi
geografis yang luas dan signifikansi Indo-Pasifik kemudian menjadi daya tarik
berbagai negara di kawasan tersebut, khususnya Republik Rakyat Tiongkok.
Republik Rakyat Tiongkok kemudian membangun Indo-Pasifik sesuai dengan
kebijakan Chinese Dream di mana meliputi sektor ekonomi, politik, dan
keamanan dan militer. Kebijakan Chinese Dream oleh Republik Rakyat Tiongkok
menyebabkan reaksi Amerika Serikat dalam kebijakan Free and Open Indo-
Pacific sesuai dengan lima asumsi realisme struktural – struktur sistem
internasional yang anarki; kepemilikan kapabilitas militer negara yang mana
berpotensi mengancam negara lain, ketidakpastian akan intensi negara lain
sehingga suatu negara wajib bersiap bilamana suatu saat terjadi agresi, survival
atau keberlangsungan sebagai tujuan utama negara, dan negara-negara sebagai
aktor rasional – dan tiga pola kebiasaan negara – ketakutan akan intensi negara
lain, self-help dan maksimalisasi kekuatan.
Bilamana berkaca dari realisme struktural, terkhususnya pada realisme
ofensif, maka kebijakan Chinese Dream dan Free and Open Indo-Pacific ialah
dua kebijakan rival guna mendapatkan hegemon regional atau pada sisi lain
Amerika Serikat bertujuan menghambat hegemon Republik Rakyat Tiongkok di
kawasan Indo-Pasifik lantaran ketakutan demi ketakutan. Adapun usaha Republik
Rakyat Tiongkok dapat dimaknai sebagai bentuk hambatannya terhadap usaha
Amerika Serikat menjadi hegemon global.