BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Distribusi dan Morfologi Udangrepository.ump.ac.id/6809/3/Juliadi Bab...
Transcript of BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Distribusi dan Morfologi Udangrepository.ump.ac.id/6809/3/Juliadi Bab...
6
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Distribusi dan Morfologi Udang
Sebagai anggota dari golongan krustasea, semua badan udang dan kepiting
terdiri dari ruas-ruas yang tertutup oleh kulit keras yang mengandung zat khitin.
Secara periodik, kulit keras tersebut terlepas (moulting) dan berganti dengan kulit
baru yang lembek. Seiring dengan mengerasnya kulit tersebut selama beberapa
hari, tubuh udang tersebut dapat tumbuh besar dengan cepat (Rachmatun &
Takarina, 2009).
Giant tiger atau pancet atau tiger shrimp (Penaeus monodon Fab) di
Indonesia dikenal populer dengan nama udang windu. Nama-nama lokal dari
udang windu yaitu udang pancet, bago, menjangan, pedet, pelaspelas, sito
liling/sotong/lotong, baratan, dan tepus (Rachmatun & Takarina, 2009). Udang
windu adalah suatu binatang laut yang memiliki kulit agak keras, dan dibesarkan
dalam budidaya secara luas untuk makanan. Distribusi udang windu yang alami di
Pasifik barat Indonesia, berkisar antara pantai Afrika, dari Semenanjung Arab
sampai Asia Tenggara, dan Laut Jepang (Suyanto & Mudjiman, 2006). Udang
windu dapat juga ditemukan di Australia, dari Austria timur, dan sejumlah kecil
ditemukan di Laut Tengah melalui Terusan Suez. Nama internasional dan nama
dagang dari udang windu adalah Tiger Shrimp/tiger prawn lantaran berukuran
besar dan warna tubuhnya bergaris-garis hitam putih seperti harimau (Rachmatun
& Takarina, 2009). Bagian-bagian tubuh dari udang windu tersaji pada Gambar
2.1.
6
Pengaruh Pemberian Kombinasi..., Juliadi, FKIP UMP, 2012
7
Rachmatun& Takarina (2009) mengatakan bahwa tubuh udang dibagi
kedalam tiga bagian, yaitu: 1) kepala-dada (Cephalothorax) yang tertutup oleh
satu kelopak yang disebut karapks, 2) badan (abdomen), dan 3) ekor. Pada kepala
terdapat lima ruas dan delapan ruas dibagian dada, masing-masing ruas
mempunyai sepasang anggota badan yang memiliki fungsi tersendiri. Bagian dada
terdapat sepasang anggota badan yang disebut pereopoda, bagian ujungnya
berjepit yang berfungsi sebagai penangkap makanan. Bagian perut (abdomen)
terdapat lima pasang kaki renang (pleopoda) yang tumbuh dari setiap ruas badan
tersebut. Di belakang badan terdapat satu ruas lagi yang beranggotakan dua
pasang ekor kipas (uropoda) yang berfungsi sebagai kemudi saat udang sedang
berenang (Suyanto & Mudjiman, 2006). Udang windu mempunyai ciri-ciri : 1)
1 2 3 4 5
11
6 7 8 9 10
Keterangan:
1. Antennula 7. Scapocerix
2. Rostrum 8. Periopod
3. Mata 9. Pleopod
4. Thoraks 10. Uropod
5. Abdomen 11. Telson
6. Scapocerix
Gambar 2.1.Morfologi Udang Windu (Amri, 2006)
Pengaruh Pemberian Kombinasi..., Juliadi, FKIP UMP, 2012
8
kulit tebal dan keras, 2) warna hijau kebiruan dengan garis melintang lebih gelap,
3) ada juga yang berwarna kemerahan dengan garis melintang kecoklatan.
2.2. Sistematika Udang Windu
Udang adalah jenis hewan yang hidup di perairan, khususnya sungai, laut
atau danau. Udang dapat ditemukan di hampir semua "genangan" air yang
berukuran besar baik air tawar, air payau maupun air asin pada kedalaman yang
bervariasi, dari dekat permukaan hingga beberapa ribu meter di bawah
permukaan. Udang biasa dijadikan makanan laut (seafood) (Rachmatun &
Takarina, 2009).
Secara taksonomi banyak crustaceae yang dikenal dengan nama "udang",
misalnya mantis shrimp dan mysid shrimp, keduanya berasal dari kelas
Malacostraca sebagai udang sejati, tetapi berasal dari ordo berbeda, yaitu
Stomatopoda dan Mysidaceae. Triops longicaudatus dan Triops cancriformis juga
merupakan hewan populer di air tawar, dan sering disebut udang, walaupun
mereka berasal dari Notostraca, kelompok yang tidak berhubungan. Sistematika
udang windu (Penaeus monodan fab) menurut Soetomo (1990) adalah sebagai
berikut.
Kerajaan : Animalia
Filum : Arthropoda
Sub Filum : Crustacea
Kelas : Malacostraca
Ordo : Decapoda
Sub Ordo : Dendrobranchiata
Famili : Penaiedea
Genus : Penaeus
Spesies : Penaeus monodon Fab
Pengaruh Pemberian Kombinasi..., Juliadi, FKIP UMP, 2012
9
2.3. Daur Hidup Udang Windu
Udang dewasa memijah di laut lepas, sedangkan udang muda (juvenile)
bermigrasi ke daerah pantai. Setelah telur-telur menetas, larva hidup di laut lepas
menjadi bagian dari zooplankton. Saat stadium post larva, udang bergerak
kedaerah dekat pantai dan perlahan-lahan turun ke dasar di daerah estuari
dangkal. Perairan dangkal ini memiliki kandungan nutrisi, salinitas, dan suhu
yang sangat bervariasi dibandingkan dengan laut lepas. Setelah beberapa bulan
hidup di daerah estuari, udang dewasa kembali ke lingkungan laut dalam untuk
mematangkan kematangan sel kelamin, kemudian melakukan perkawinan dan
pemijahan terjadi. Siklus hidup udang windu (Penaeus monodon fab) menurut
Wyban & Sweeney (1991) adalah udang betina bertelur–naupli–protozoea–
mysis–postlarva–juvenil–udang dewasa (Gambar 2.2).
Keterangan:
1. Udang betina bertelur 5. Mysis
2. Telur 6. Post larva
3. Naupli 7. Juvenil
4. Zoea
Gambar 2.2. Siklus hidup Udang Windu (Wyban & Sweeney, 1991)
Pengaruh Pemberian Kombinasi..., Juliadi, FKIP UMP, 2012
10
Telur yang telah dibuahi akan menetas dalam waktu 12 sampai 15 jam dan
berkembang menjadi larva (Murtidjo, 2003). Larva masih memiliki cadangan
makanan dalam tubuh berupa kuning telur. Stadia zoea terdiri dari tiga sub
stadia yang berlangsung selama enam hari dan mengalami alih bentuk tiga kali.
Stadia mysis dicirikan oleh bentuk larva yang mulai menyerupai udang dewasa.
Pleopod dan telson mulai berkembang dan larva bergerak mundur. Selanjutnya
stadia mysis mengalami alih bentuk menjadi postlarva. Selama lima hari pertama
stadia postlarva udang bersifat planktonis, dan pada postlarva-VI udang mulai
merayap di dasar (Rachmatun & Takarina, 2009).
Habitat udang windu muda (stadia yuwana) adalah daerah pantai berair
payau yang banyak ditumbuhi oleh pepohonan bakau yang berlumpur dengan
campuran pasir yang subur. Menjelang dewasa udang yuwana akan berpindah
kearah laut dalam, tempat udang untuk tumbuh dewasa dan melakukan
perkawinan. Selanjutnya bertelur di kedalaman 10-40 m di bawah permukaan laut,
jumlah telurnya bisa mencapai 500.000-1.000.000 butir, tergantung dari berat
badan sang induk (Rachmatun & Takarina, 2009). Telur akan mengambang
menuju permukaan laut selama proses perkembangan embrio, sehingga embrio
menetas di lingkungan dekat permukaan laut. Embrio yang baru menetas
(Nauplius) akan terbawa ombak ke arah pantai beriringan dengan bermetamorfosa
menjadi stadia zoea, kemudian menjadi mysis selama 10 hari. Mysis berubah
menjadi stadia post larva (PL) dikenal sebagai benur (benih urang, benih udang),
telah sampai diwilayah hutan bakau atau estuari yang berair payau (Murtidjo,
2003).
Pengaruh Pemberian Kombinasi..., Juliadi, FKIP UMP, 2012
11
Buwono (1993) menyatakan bahwa udang dapat bertelur hampir sepanjang
tahun tetapi puncaknya terjadi pada saat peralihan musim, yaitu antara musim
kemarau dengan musim penghujan dan dari musim penghujan ke musim kemarau.
Di wilayah Indonesia barat, puncak musim benur jatuh pada bulan November
hingga Februari dan Maret sampai awal Juni. Di Indonesia bagian Timur musim
tersebut bergeser satu bulan lebih lambat (Rachmatun & Takarina, 2009). Di
sepanjang pantai pada puncak-puncak musim perkembangbiakan, dapat di lihat
para nelayan memasang rumpon di laut yang dangkal untuk tempat benur
berkumpul sambil berlindung diantara rumpon. Wilayah D.I. Aceh, sekitar
Sulawesi Selatan, Nusa Tenggara Barat, Madura dan sepanjang pantai Timur Jawa
Timur terkenal sebagai sumber benih alam (Rachmatun & Takarina, 2009).
2.4. Benih/Benur Udang Windu
Benih udang populer disebut benur, singkatan dari kata benih dan urang.
Benur yang baik adalah mempunyai tingkat kelangsungan hidup (survival rate)
yang tinggi, sehingga daya adaptasi terhadap perubahan lingkungan juga tinggi,
memiliki warna tegas/tidak pucat baik hitam maupun merah, aktif bergerak, sehat,
dan mempunyai alat tubuh yang lengkap. Uji kualitas benur dapat dilakukan
secara sederhana, yaitu dengan meletakkan sejumlah benur di dalam wadah panci
atau baskom yang diberi air, aduk air dengan cukup kencang selama 1-3 menit.
Benur yang baik dan sehat akan tahan terhadap adukan tersebut dengan berenang
melawan arus putaran air, dan setelah arus berhenti, benur tetap aktif bergerak
(Rachmatun& Takarina, 2009).
Pengaruh Pemberian Kombinasi..., Juliadi, FKIP UMP, 2012
12
Benur merupakan udang yang terus aktif tumbuh berkembang hingga
mencapai titik dewasa untuk memijah. Tumbuh kembang benur yang baik
merupakan hasil dari sebuah proses hayati yang terus menerus terjadi pada tubuh
organisme yang ditandai dengan pertambahan bobot, volume dan panjang
(Djajasewaka, 1990). Berdasarkan dari asal perolehannya, benur dibedakan
menjadi dua jenis, yaitu benih/benur alam dan benih/benur (hatchery).
2.4.1. Benur Alam
Secara alamiah benur banyak terdapat di pantai-pantai wilayah estuari
(berair payau) yang berkedalaman dangkal. Benur alam merupakan anakan udang
windu yang bercampur dengan jenis udang lain (udang putih, udang api-api, dan
lain sebagainya) (Buwono, 1993). Induk udang memijah dilaut lepas pada
kedalaman 20-25 m secara alamiah. Telur menetas menjadi larva (Nauplius) yang
sifatnya terapung di bawah ombak ke arah pantai, diiringi dengan bermetamorfosa
berturut-turut menjadi zoea, mysis, dan post larva (Murtidjo, 2003). Ketika tiba
di wilayah pantai (estuaria) post larva (PL) telah mencapai sub stadia PL 10-15
dengan ukuran panjang tubuh 12-15 mm. Post larva inilah yang dikenal sebagai
benur dan kemudian banyak ditangkap oleh para nelayan. Nelayan di pantai
daerah pasang surut memasang alat yang disebut dengan blabar. Rachmatun &
Takarina (2009) menyatakan bahwa blabar adalah untaian daun kelapa atau tali
plastik atau daun-daun rerumputan yang dipasang pada tiang-tiang bambu yang
ditancapkan di laut yang berair dangkal. Blabar ini akan terapung dipermukaan air
sebagai tempat persembunyian benur/nener, kemudian diseser oleh nelayan untuk
dijual pada petani tambak yang memerlukan. Benih yang di seser ini biasanya
Pengaruh Pemberian Kombinasi..., Juliadi, FKIP UMP, 2012
13
merupakan campuran dari udang putih, udang api-api, dan udang krosok, bahkan
juga bercampur dengan berbagai jenis anakan ikan dan sampah-sampah yang
hanyut. Umumnya di Indonesia benur yang ditangkap dari alam terdiri atas 80-
90% adalah benih udang putih, 4-6% udang windu, dan sisanya jenis udang lain
yang kurang ekonomis serta anakan ikan (Buwono, 1993). Beberapa wilayah
seperti D.I. Aceh, Jawa Timur (Selat Bali) dan Madura, Nusa Tenggara Barat,
Teluk Bone (Sulawesi Selatan), dan Sulawesi Tenggara memiliki populasi benih
udang windu relatif lebih banyak dibandingkan dengan udang putih (Rachmatun
& Takarina, 2009).
2.4.2. Panti Pembenihan (hatchery)
Sejak dikembangkannya intensifikasi tambak udang, kebutuhan benur untuk
tambak tidak lagi dapat tercukupi dari hasil penangkapan di alam. Perhitungan
rata-rata untuk produksi udang konsumsi sebanyak 1 ton di tambak memerlukan
benur sebanyak 50.000 ekor. Pengembangan tambak intensif di Indonesia
ditargetkan mampu untukmemproduksi udang panen 7-8 ton/ha/musim, dengan
demikian diperlukan benur sebanyak 350.000-400.000 ekor/ha/musim. Potensi
benuralam di seluruh Indonesia diperkirakan mencapai 0,8 milyar pertahun.
Untuk memenuhi kebutuhan tersebut, kekurangan benur harus dapat diproduksi
dari panti-panti pembenihan (hatcery) (Rachmatun & Takarina, 2009).
Awal tahun 1980, Indonesia sudah menghasilkan benur dari panti-panti
pembenihan udang secara komersial. Pada mulanya banyak petani tambak yang
meragukan mutu (ketahanan hidup) benur tersebut, sehingga mereka lebih suka
memelihara benur dari hasil penengkapan di alam yang dipercaya memiliki daya
Pengaruh Pemberian Kombinasi..., Juliadi, FKIP UMP, 2012
14
tahan lebih baik di tambak. Pendapat tersebut sekarang telah berubah, petani tidak
meragukan lagi benur dari panti-panti pembenihan (hatcery). Menurut Buwono
(1993) bahwa ciri-ciri benur yang baik adalah:
a. bila dalam satu bak pemeliharaan benur (dari 1 induk maupun dari
beberapa ekor induk), ukurannya harus seragam;
b. bila dikejutkan dengan memukul dinding wadahnya, benur akan melentik
dengan kuat;
c. benur yang sehat tubuhnya bergaris dengan warna coklat tua. Sedangkan
yang tidak sehat kelihatan pucat, tubuhnya bengkok/cacat sebagai tanda
terkena penyakit.
Benur yang sehat akan tumbuh pesat dan setiap hari larvanya akan berganti
kulit. Normalnya, larva udang windu setelah menetas akan menjadi stadia post
larva (benur) pada umur 9-10 hari, kemudian setelah 12 hari menjadi PL 12, dan
15 hari menjadi PL 15. Benur yang tertangkap di alam, dapat digolongkan
menurut ukuran dan umurnya, yaitu benur yang masih sangat muda (post larva)
dan golongan benur yang agak besar ukuranya yaitu stadia yuwana (Juvenile)
(Rachmatun & Takarina, 2009). Benih yang halus biasanya tertangkap di tepi
pantai, hidupnya masih bersifat pelagis (planktonis) mengikuti aliran ombak
didekat permukaan air laut. Nelayan dapat mengenalinya karena warna tubuhnya
coklat kemerahan, panjang badan antara 9-15 mm. Cucuk kepala (rostrum) sedikit
melengkung seperti huruf S (sigmoid), dan ekor (uropoda) membentang seperti
kipas (Buwono, 1993).
Pengaruh Pemberian Kombinasi..., Juliadi, FKIP UMP, 2012
15
2.5. Pakan Udang
Udang uang dibudidayakan di kolam memakan pakan alami dan pakan
tambahan atau pakan buatan. Pada kolam yang dikelola secara tradisional atau
sederhana, udang hanya memakan berbagai pakan alami yang ada dalam kolam
yaitu campuran berbagai organisme, plankton, lumut, dan kotoran ataupun bahan-
bahan yang membusuk dalam dasar kolam (Rachmatun & Takarina, 2009). Bahan
pakan alami udang terdiri dari zat-zat renik nabati dan hewani yang tumbuh
sendiri di dalam air dan dasar kolam secara alamiah. Banyaknya organisme renik
bergantung dari tersedianya unsur-unsur hara yang membentuk kesuburan air dan
tanah kolam.
Kolam yang dikelola secara semi intensif, tambak tersebut dipupuk untuk
mendorong agar pakan alami udang lebih banyak tumbuh guna meningkatkan
produksi. Tujuan dari pemupukan tersebut guna menambah unsur hara dalam air
dan tanah kolam. Selain pemupukan banyak petani yang menggunakan pakan
tambahan untuk meningkatkan produksi kolam. Rachmatun & Takarina (2009)
menyatakan bahwa produksi udang windu semi intensif dengan pemupukan dan
pakan tambahan dapat mencapai 800 s/d 3000 kg/ha/musim tanam, bergantung
dengan padat tebar benih, banyaknya kincir, pergantian air dan penanganan yang
baik. Pakan yang diberikan hanya sebagai tambahan. Kualitas dan bahan pakan
yang diberikan tidak menentu, karena bergantung pada bahan pakan yang ada,
mudah diperoleh dan harganya murah.
Kolam yang dikelola dengan intensif, hasil produksinya didasarkan pada
pemberikan pakan buatan. Fitoplankton yang tumbuh pada tambak akan
menyebabkan air berwarna hijau atau kecoklatan dan hanya digunakan sebagai
Pengaruh Pemberian Kombinasi..., Juliadi, FKIP UMP, 2012
16
penyeimbang lingkungan hidup udang. Pakan yang digunakan pada pengelolaan
intensif ini adalah pakan buatan (pelet). Pelet yang digunakan mengandung air
10% (Rachmatun & Takarina, 2009). Pelet tersebut terbuat dari berbagai macam
kombinasi bahan makanan, semakin banyak jenis bahan yang digunakan maka
semakin pula kelengkapan gizinya.
Mudjiman (2007), mengatakan bahwa pakan merupakan saran produksi
yang nilainya mencapai 50-70% dari biaya produksi, sehungga pakan yang
digunakan betul-betul diperhitungkan mutunya (angka konversi serendah
mungkin) dan pemakainya sehemat mungkin. Rachmatun & Takarina juga
berpendapat bahwa pakan harus memenuhi syarat sebagai berikut.
1. Nilai stabilitas dalam air baik (cepat hancur), yaitu berkisar 3-4 jam, dan
nilai paling baik 6 jam.
2. Beraroma sedap dan disenangi udang (attractant)
3. Pakan mudah tenggelam dalam air, karena udang windu hanya dapat
mengambil pakan yang ada dalam dasar kolam
2.6. Efisiensi Pakan
Pakan memegang peranan yang penting dalam budidaya udang windu.
Pemberian pakan yang berkualitas baik dan dalam takaran yang tepat dapat
mendukung keberhasilan panen udang windu (Djarijah, 1998). Pemberian pakan
yang berkualitas jelek dan dalam jumlah yang kurang akan mengakibatkan
pertumbuhan udang tidak maksimal dan meningkatkan sifat kanibalisme. Dilain
pihak pemberian pakan yang berlebihan akan menyebabkan pemborosan dan
pakan yang tidak terkonsumsi akan membusuk di dasar kolam yang
Pengaruh Pemberian Kombinasi..., Juliadi, FKIP UMP, 2012
17
mengakibatkan lingkungan kolam menjadi tidak sehat dan berdampak buruk pada
pertumbuhan udang windu.Pakan udang windu terdiri dari dua jenis, yaitu pakan
alami berupa fitoplankton, siput-siput kecil, cacing kecil, anak serangga, dan
detritus (sisa hewan dan tumbuhan yang membusuk), dan pakan buatan berupa
pelet.Pakan buatan yang digunakan harus mengandung kadar protein yang cukup
dan bermutu bagi pertumbuhan udang windu, selain itu harus mengandung cukup
vitamin dan mineral guna menambah daya tahan tubuh dan menghindari penyakit
malnutrisi. Pakan yang baik dan efektif adalah pakan yang mengandung nilai
nutrisi yang terdiri dari kandungan protein, lemak, karbohidrat, vitamin, mineral,
kadar air, dan energi (Yuwono & Sukardi, 2001). Menurut Mudjiman (2001)
pakan juga harus memenuhi persyaratan fisik yang diperlukan agar dapat
dimanfaatkan semaksimal mungkin oleh udang, yaitu jumlah pakan disesuaikan
dengan ukuran dan umur udang yang dipelihara.
2.7. Feed Convertion Ratio (FCR)
FCR adalah banyaknya pakan yang dikonsumsi oleh udang dalam masa
pemeliharaan dibagi dengan berat produksi udang yang dihasilkan. Definisi yang
sangat mudah untuk difahami adalah berapa banyak pakan (kg) yang diberikan
untuk menghasilkan 1 kg udang (Effendi, 2004). Jika pakan yang diberikan 1 kg,
berarti FCR = 1.0, jika FCR = 1.2, maka membutuhkan pakan 1.2 kg untuk
menghasilkan 1 kg udang. Pakan yang diberikan kepada udang kultur sesuai
dengan kebutuhan dan dapat memberikan pertumbuhan yang optimal dan efisiensi
pakan yang tinggi (Mudjiman, 2007).
Pengaruh Pemberian Kombinasi..., Juliadi, FKIP UMP, 2012
18
Kebutuhan pakan harian dinyatakan sebagai tingkat pemberian pakan
(feeding rate) perhari yang ditentukan berdasarkan persentase dari bobot udang
(Effendi 2004). Tingkat pemberian pakan ditentukan oleh ukuran udang, semakin
besar ukuran udang maka feeding rate-nya semakin kecil tetapi jumlah pakan
hariannya semakin besar. Total jumlah pakan udang secara berkala dapat
disesuaikan (adjustment) dengan pertumbuhan bobot udang dan perubahan
populasi (Rachmatun & Takarina, 2009). Semakin besar nilai FCR maka semakin
banyak pakan yang dibutuhkan untuk memproduksi 1 kg udang kultur. FCR
seringkali dijadikan indikator kinerja teknis dalam mengevaluasi suatu usaha
akuakultur. Djarijah (2006) mengatakan bahwa pengukuran kualitas pakan
dilakukan dengan membandingkan jumlah pakan yang diberikan dengan
pertambahan berat udang yang dihasilkan dan dinyatakan sebagai FCR.
2.8. Kualitas Air
Air merupakan media yang sangat penting dalam proses pembesaran udang
berlangsung. Zonneveld et al. (1991) menyatakan bahwa air merupakan
kebutuhan yang sangat penting untuk keberlangsungan hidup dalam perairan baik
untuk ikan maupun udang. Lebih lanjut Afrianto & Liviawaty (1995)
mengemukakan bahwa kualitas air yang memenuhi syarat merupakan salah satu
kunci untuk keberhasilan dalam pembudidayaan ikan. Pengelolaan kualitas air
dalam pembudidayaan udang maupun ikan harus diperhatikan dengan sungguh-
sungguh, karena kualitas air dapt berakibat menjadi lebih buruk terhadap
keberlangsungan hidup ikan dan udang. Menurut Wardoyo (1994), ada beberapa
Pengaruh Pemberian Kombinasi..., Juliadi, FKIP UMP, 2012
19
hal yang harus diperhatikan dalam pemantauan parameter kualitas air, yaitu pH,
suhu, dan oksigen terlarut.
2.8.1. Suhu
Metabolisme udang sangat dipengaruhi sekali oleh adanya suhu, hal ini
dapat dilihat dari jumlah plankton di dalam kolam pemeliharaan, dan plankton
dapat berkembang baik dengan keadaan iklim yang sedang. Suhu juga sangat
dipengaruhi oleh kandungan oksigen terlarut didalam air, sehingga semakin tinggi
suhu air maka semakin cepat pula air mengalami kejenuhan oksigen (Buwono,
1993). Berpengaruhnya suhu air terhadap lingkungan hidup udang dapat
merangsang pertumbuhan dan nafsu makan udang, karena proses pencernaan
makanan udang pada suhu rendah akan sangat lambat dan sebaliknya akan lebih
cepat pada perairan yang lebih hangat. Suhu yang optimal dan ideal dalam
pemeliharaan keberlangsungan hidup udang mencapai kisaran 250-27
0C
(Murtidjo, 2003).
2.8.2. pH
Berpengaruhnya pH untuk keberlangsungan hidup bagi kehidupan
organisme perairan secara alami sangat dipengaruhi oleh karbondioksida maupun
senyawa-senyawa asam yang berada di dalamnya. Menurut Hadie & Hadie
(1993), bahwa pemeliharaan udang dengan kisaran kandungan pH yang terlarut
didalamnya berkisar antara 6,7-8,2. pH yang berbeda-beda akan sangat
berpengaruh buruk bagi keberlangsungan hidup udang.
Pengaruh Pemberian Kombinasi..., Juliadi, FKIP UMP, 2012
20
2.8.3. Oksigen (O2) Terlarut
Menurut Wardoyo (1994), kandungan oksigen terlarut dalam air dengan
kisaran terendah adalah 2 ppm agar dapat mendukung keberlangsungan
kehidupan organisme perairan secara normal. O2 terlarut dalam air sangat
mendukung untuk kegiatan respirasi larva. Apabila kandungan O2 terlarut dalam
air sangat rendah, maka kandungan CO2 akan meningkat. Kadar O2 terlarut dalam
media kolam/akuarium sebaiknya pada kisaran 5-7 ppm yang merupakan kadar
yang sangat baik untuk pertumbuhan larva udang. Lebih lanjut Murtidjo (2003)
menyatakan bahwa batas minimal kandungan O2 terlarut terletak pada kisaran
minimal 5-7 ppm agar dapat mendukung dalam keberlangsungan kegiatan
budidaya ikan ataupun udang.
Pengaruh Pemberian Kombinasi..., Juliadi, FKIP UMP, 2012