BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Cacing Tanah Lumbricus...
Click here to load reader
Transcript of BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Cacing Tanah Lumbricus...
6
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Cacing Tanah Lumbricus rubellus
Cacing tanah memiliki alat gerak yang dinamakan setae berbentuk seperti
rambut kasar, letaknya beraturan pada setiap segmen. Setae digerakkan oleh dua
berkas otot yaitu muskulus protaktor yang berfungsi untuk mendorong setae
keluar dan muskulus retraktor yang berfungsi menarik kembali setae ke dalam
rongganya. Kedua berkas muskulus ini melekat pada ujung setae (Minnich, 1997).
Sistem pergerakan cacing tanah diatur oleh susunan syaraf. Pusat susunan syaraf
terletak di sebelah dorsal pharink dalam segmen ketiga dan terdiri atas simpul
sistem syaraf anterior ( ganglion celebrale ), simpul syaraf vertikal dan serabut-
serabut syaraf. Dengan adanya ujung serabut syaraf di kulit, rangsangan berupa
getaran atau sinar dapat diterima oleh ujung syaraf untuk kemudian disalurkan ke
otak. Syaraf ini sangat sensitif terhadap cahaya, suhu, getaran, dan sentuhan.
Sistem peredaran darah cacing tanah bersifat tertutup, dihubungkan dengan
pembuluh darah. Di dalam tubuh cacing tanah terdapat lima pasang organ
kontraktil yang berfungsi sebagai jantung serta terdapat pigmen haemoglobin di
dalam plasma darahnya (Gaddie and Douglas, 1975). Manfaat dan fungsi cacing
tanah adalah sebagai berikut: sebagai pengurai bahan organik, sebagai penghasil
pupuk limbah organik, sebagai bahan baku sumber protein hewani (64-72%) dan
asam amino esensial.
7
Gambar 2.1. Morfologi Cacing Tanah (Palungkun, 2008).
Lumbricus rubellus mempunyai keuntungan jika dipelihara, yaitu: mudah
dalam penangannya, dan memiliki nilai komersial tinggi (Minnich, 1977).
Lumbricus rubellus ini berwarna kemerahan, dengan panjang berkisar antara 7,5 –
10 cm. Cacing tanah jenis Lumbricus mempunyai bentuk tubuh gilig. Tubuhnya
terdapat segmen luar dan dalam, berambut, tidak mempunyai kerangka luar,
tubuhnya dilindungi oleh kutikula (kulit bagian luar), tidak memiliki alat gerak
dan tidak memiliki mata. Jumlah segmen yang dimiliki sekitar 90-195 dan
klitelum yang terletak pada segmen 27-32. Klitelum merupakan alat yang
membantu perkembangan dan baru muncul saat cacing mencapai dewasa kelamin,
sekitar 2 bulan (Ristek, 2009). Lendir pada tubuhnya yang dihasilkan oleh
kelenjar epidermis mempermudah pergerakannya. Pada setiap segmennya terdapat
organ seta yang berupa rambut yang relatif keras, berukuran pendek, dan memiliki
daya lekat yang sangat kuat. Selain itu, terdapat pula prostomium yang merupakan
organ syaraf perasa dan berbentuk seperti bibir. Bagian akhir tubuhnya terdapat
8
anus untuk mengeluarkan sisa-sisa makanan dan tanah yang dimakannya. Kotoran
yang keluar dari anus Lumbricus rubellus dikenal dengan istilah kascing. Kascing
terdiri dari berbagai komponen biologis (giberelin, sitokinin, auxin) maupun
kimiawi (nitrogen, fosfor, kalium, belerang, magnesium, besi) yang sangat
diperlukan untuk perkembangan dan pertumbuhan tanaman. Kascing bersifat
netral dengan pH 6,5-7,4 dan rata-ratanya adalah 6,8 (Palungkun, 2008).
Taksonomi Cacing tanah Lumbricus rubellus (Leiden University Medical
Center, 2005), adalah sebagai berikut :
Super Kingdom : Eukaryota
Kingdom : Animalia
Sub Kingdom : Metazoa
Filum : Annelida
Kelas : Oligochaeta
Ordo : Haplotaxida
Sub Ordo : Lumbricina
Famili : Lumbricidae
Genus : Lumbricus
Spesies : Lumbricus rubellus
Cacing tanah menyukai bahan-bahan yang mudah membusuk karena
lebih mudah dicerna oleh tubuhnya. Cacing tanah memerlukan tanah yang sedikit
asam sampai netral atau pH sekitar 6-7,2, dengan kondisi tersebut bakteri dalam
tubuh cacing tanah dapat bekerja optimal untuk mengadakan pembusukan atau
fermentasi. Kelembaban yang optimal untuk pertumbuhan dan
9
perkembangbiakan cacing tanah adalah antara 15-30%. Suhu yang diperlukan
untuk pertumbuhan cacing tanah adalah sekitar 15–250C atau suam-suam kuku.
Suhu yang lebih tinggi dari 250C masih baik asal ada naungan yang cukup dan
kelembaban optimal (Ristek, 2009). Cacing tanah memakan bahan organik dan
materi tumbuhan yang mati lainnya, dengan demikian materi tersebut terurai dan
hancur (Schwert, 1990). Menurut Parmelee et al. (1990), cacing tanah juga
berperan dalam menurunkan rasio C/N bahan organik, dan mengubah nitrogen
tidak tersedia menjadi nitrogen tersedia setelah dikeluarkan berupa kotoran
(kascing). Menurut Parmelee et al. (1990) cacing tanah memakan bahan organik
setiap hari setara berat tubuh. Di pihak lain Scheu (1991) melaporkan bahwa
pelepasan C-organik harian melalui ekskresi mucus dari permukaan tubuh dan
pada kotoran cacing tanah adalah 0,2 – 0,5 % dari total biomassa cacing tanah.
Sebagian besar hara lainnya digunakan untuk keperluan metabolisme tubuhnya,
dengan demikian hara-hara tersebut akan tetap berada dalam tubuh cacing tanah
dan akan dirilis kembali ke dalam tanah setelah cacing mati. Jika kondisi
pertumbuhan tidak cocok, maka kecepatan konsumsi makanan akan menurun
(Hebert, 2006). Pertumbuhan cacing tanah sangat lambat karena ketersediaan
makanan tidak tercukupi (Garg et al., 2005).
2.2 Pupuk Kascing
Syarat mutu yang ditetapkan dalam Permentan No 28/Permentan/
SR.130/5/2009 tentang persyaratan teknis minimal pupuk organik, indikator yang
digunakan adalah pH, kandungan C-organik (Walkley and Black), N-total
10
(Kjeldahl), C/N rasio, unsur makro dan mikro. C/N rasio sudah memenuhi standar
pupuk organik yang telah dipersyaratkan yakni <25,0, sedang C-organik dalam
pupuk padat minimal 15%. Nisbah C/N yang baik antara 15-20 dan akan stabil
pada saat mencapai perbandingan 15. Nisbah C/N yang terlalu tinggi
mengakibatkan proses berjalan lambat karena kandungan nitrogen yang rendah.
C-organik zat arang atau karbon yang terdapat dalam bahan organik merupakan
sumber energi bagi mikroorganisme. Penambahan cacing tanah pada bahan
organik dapat mempercepat proses pengomposan, pemberian cacing tanah
tersebut bermanfaat dalam memakan selulosa dari kotoran sapi yang tidak dapat
di makan oleh bakteri pengompos. Hasil dari pencernaan cacing berupa kotoran
cacing, dan kotoran ini akan menjadi tambahan makanan bagi bakteri pengompos
(Sathianarayanan, 2008). Penambahan cacing tanah yang dikenal dengan nama
pupuk kascing atau vermicomposting dapat mempersingkat waktu produksi pupuk
kompos, penambahan bahan organik dengan cacing tanah dalam pembuatan
pupuk kompos, hanya diperlukan separuh waktu dari pembuatan pupuk kompos
konvensional (Munroe, 2003). Vermicomposting berasal dari bahasa latin Vermis
yang berarti cacing, vermicomposting berarti membuat pupuk kompos dari
sampah biodegradable menjadi pupuk dengan mutu tinggi dengan bantuan cacing
tanah (Lumbricus Rubellus) (Kuruparan, 2005). Vermikompos atau Kascing
merupakan kompos yang dihasilkan oleh aktivitas cacing tanah, yang bekerja
sama dengan mikrobiota tanah, sehingga mengandung banyak hormon
petumbuhan tanaman, berbagai mikrobiota bermanfaat bagi tanaman, enzim-
enzim tanah, dan kaya hara yang bersifat lepas lambat (Ndegwa and Thompson,
11
2001). Pemberian vermikompos akan memperbaiki sifat fisik, kimia dan biologi
tanah (Ndegwa and Thompson 2001), dan tanpa memberikan efek negatif bagi
lingkungan. Cacing tanah yang biasa dimanfaatkan pembuatan pupuk kascing
(vermikomposting) adalah cacing epigeik yang berwarna cerah, seperti:
Lumbricus rubellus, Eisenia foetida, dan Eudrilus eugeniae (Hayawin et al.,
2010). Makanan utama cacing tanah adalah bahan organik setengah melapuk, dan
mengandung cukup N ( Dewi et al., 2006).
2.3. Kotoran Sapi
Sapi memiliki sistem pencernaan khusus yang menggunakan
mikroorganisme dalam sistem pencernaannya yang berfungsi untuk mencerna
selulosa dan lignin dari hijauan berserat tinggi, sehingga tinja ruminansia kotoran
sapi mempunyai kandungan selulosa yang cukup tinggi. Berdasarkan hasil analisis
diperoleh bahwa kotoran sapi mengandung 22.59% sellulosa,18.32% hemi-
sellulosa, 10.20% lignin, 34.72% total karbon organik, 1.26% total
nitrogen,27.56:1 ratio C:N, 0.73% P, dan 0.68% K (Lingaiah and Rajasekaran,
1986). Penggunaan feses sapi untuk media hidupnya cacing tanah, telah diteliti
menghasilkan biomassa tertinggi dibandingkan campuran feces yang ditambah
bahan organik lain, seperti feses 50% + jerami padi 50%, feses 50% + limbah
organik pasar 50%, maupun feses 50% + isi rumen 50% (Farida, 2000).
12
2.4. Sampah Organik Pasar
Sampah organik pasar sebagian besar terdiri dari sisa-sisa sayuran dan
buah yang kadar airnya tinggi sehingga cepat membusuk. Jumlah yang besar
dikeluarkan dari pasar setiap harinya merupakan potensi yang pantas
diperhitungkan. Kandungan unsur hara kompos limbah sayur minggu ke 6 adalah
31,81% C, 2,63% N, 0,93% Ca, 0,62% Mg, 1,28% K, 0,37 Na, 252 ppm NH4,
2170 ppm NO3 (Mulyadi, 2008).
2.5. Batang Pisang
Batang pohon pisang adalah batang semu yang bagian bawahnya
merupakan umbi batang, dan bagian atas yang berupa batang, dibentuk oleh
daunya yang memanjang dan saling menutupi. Batang pohon pisang cukup
banyak mengandung zat-zat mineral. Kadar airnya cukup tinggi sedangkan kadar
zat karbohidratnya sedikit. Susunan kimiawi dari batang pisang sebagai berikut :
Air : 92,5%, Protein : 0,35%, Karbohidrat : 4,4%, Zat Fosfor : 135 mg / 100 g
batang, Zat Kalium : 213 mg / 100 g batang, Zat Kalsium : 122 mg / 100 g batang
(Rismunandar, 1989).
2.6. Sifat Kimia Pupuk
Nitrogen anorganik yang berupa nitrat dan amonium diantaranya berasal
dari aktivitas proses mineralisasi oleh mikroba (Alexander, 1977). Aktivitas
cacing sendiri juga dapat menyebabkan peningkatan nitrogen di lingkungan.
Kascing yang dihasilkan cacing mengandung nitrogen lebih tinggi dibandingkan
13
dengan tanah di sekitarnya (Brady, 1984). Amonium diserap tanaman, atau
diserap setelah dikonversikan menjadi nitrat oleh bakteri nitrifikasi (Hakim et al.,
1986). Nitrogen asam nukleat terdapat sekitar 10% dan asam amino terlarut hanya
sebanyak 5% dari total dalam tanaman. Nitrogen dapat masuk melalui air hujan
dalam bentuk nitrat. kehilangan nitrogen meningkat bila kemampuan tanah dalam
imobilisasi terlampaui (Foth, 1994). Hilangnya N dari tanah karena digunakan
oleh tanaman atau mikroorganisme, N dalam bentuk NH4+ dapat diikat oleh
mineral liat jenis illit sehingga tidak dapat digunakan oleh tanaman, N dalam
bentuk NO3- mudah dicuci oleh air hujan, banyak hujan N rendah, dan tanah pasir
mudah merembeskan air sehingga N lebih rendah daripada tanah liat
(Hardjowigeno, 2003). Unsur hara P tersedia pada akhir vermikomposting
nilainya akan lebih tinggi dibandingkan pada awal proses. Hal ini
mengindikasikan terjadinya proses mineralisasi Fosfor (Pattnaik et al, 2009).
Secara umum, ketika bahan organik melalui pencernaan cacing, sebagian dari
fosfor akan diubah menjadi bentuk P terlarut oleh enzim dalam pencernaan
cacing, Asam fosfatase dan alkalin fosfatase. Selanjutnya unsur P akan
dibebaskan oleh mikroorganisme dalam kotoran cacing (Suthar, 2008). Unsur K
yang ada pada substrat juga akan diubah menjadi bentuk yang mudah larut oleh
mikroorganisme yang ada dalam pencernaan cacing (Pattnaik et al, 2009).
Substrat yang baik untuk cacing tanah apabila tidak terlalu asam/basa. Cacing
tanah menyukai pH netral (7) atau sedikit lebih tinggi. Ketika pH dibawah 6,5
sejumlah cacing tanah akan mengalami kematian, aktivitas cacing tanah secara
konstan juga dapat meningkatkan pH pada tanah asam, karena cacing tanah dapat
14
mengeluarkan kapur dalam bentuk kalsium karbonat (CaCO3) / dolomit (Manaf et
al, 2009). Turunnya pH selama proses vermikomposting berlangsung antara lain
disebabkan terjadinya degradasi rantai pendek asam lemak dan amonifikasi unsur
N. Selain itu proses fikasasi CO2 menjadi CaCO3 juga dapat menurunkan pH
(Pattnaik et al, 2010). Bahan organik juga mempengaruhi sifat fisik-kimia tanah dan
bahan organik itu merupakan sumber pakan untuk menghasilkan energi dan senyawa
pembentukan tubuh cacing tanah (Anwar, 2007).
2.7. Sifat Biologi Pupuk
Bakteri yang ditemukan pada dinding lubang Lumbricus terrestris antara
lain Bacillus, Streptomyces, Cellulomonas, Promicromonospora, Rhodococcus,
Arthrobacter, Myxobacterales, Cytophaga, Pseudomonas, Aquaspirillum, dan
Azotobacter. Sedangkan fungi yang dapat ditemukan antara lain Cylindrocarpon
spp, Gliocladium sp., Chrysosporium sp., Trichoderma hamatum, Mortierella
parvispora, Sterile hyaline sp., Mortierella gamsii, Paecilomyces spp, Mortierella
verticillata, Verticillium spp, Myrothecium sp., Gymnoascus spp, Mortierella
minutissima, Sterile hyaline sp., Trichoderma koningii, Penicillum spp,
Acremonium spp, Mucor hiemalis, Humicola sp., Mucor circinelloides,
Pseudokoningii, Absidia cylindrospora, Volutella sp., Sporothrix sp., Sterile dark
sp. 2, Sterile sp. 3 (Tiunov et al., 2002).
Bakteri penambat N bersifat aerobik obligat, meskipun dapat tumbuh di
bawah kandungan O2 rendah. Sebaran ekologis Azotobacter spp. sangat sulit
diketahui karena berkaitan dengan beragam faktor yang menentukan. Reaksi tanah
15
(pH) merupakan faktor penentu sebaran bakteri disamping kelembaban dan
kandungan bahan organik tanah (Barnesa et al., 2007). Umumnya bakteri
penambat N berbentuk bulat, berlendir, licin dan cembung. Hal serupa juga
ditemukan oleh Wedastri (2002), yang menemukan isolat bakteri penambat N dari
tanah-tanah ber-pH masam dengan karakteristik: koloni berbentuk bulat, basah
(moist), halus dan cembung (convex).
Umumnya di dalam tanah ditemukan mikroba pelarut P anorganik sekitar
104-10
6 per gram tanah dan sebagian besar berada pada daerah perakaran.
Penelitian dan pemanfaatan mikroba pelarut P sudah banyak dilakukan di
beberapa negara. Penelitian jasad renik pelarut P juga banyak dilakukan di India,
Kanada, dan Mesir dengan tujuan untuk melarutkan endapan-endapan Ca-fosfat
(Kundu and Gaur, 1980). Bakteri yang sering dilaporkan dapat melarutkan P
antara lain adalah anggota-anggota genus Pseudomonas, Bacillus,
Mycobacterium, Micrococcus, Flavobacterium, Bacterium, Citrobacter, dan
Enterobacter (Alexander, 1978). Unsur hara Phosfor relatif tidak mudah tercuci,
tetapi karena pengaruh lingkungan maka statusnya dapat berubah dari P yang
tersedia bagi tanaman menjadi tidak tersedia, yaitu dalam bentuk Ca-P, Mg-P, Al-
P, Fe-P atau Occluded-P. Aktivitasnya, mikroba pelarut P akan menghasilkan
asam-asam organik diantaranya ialah asam sitrat, glutamat, suksinat, laktat,
oksalat, glioksalat, malat, fumarat, tartarat dan α-ketobutirat (Alexander, 1978).
Meningkatnya asam-asam organik tersebut biasanya diikuti dengan penurunan
pH, sehingga mengakibatkan terjadinya pelarutan P yang terikat oleh Ca.
Penurunan pH juga dapat disebabkan terbebasnya asam sulfat dan nitrat pada
16
oksidasi kemoautotrofik sulfur dan amonium, berturut-turut oleh bakteri
Thiobacillus dan Nitrosomonas (Alexander, 1978). Fakta ini berarti bahwa cacing
tanah dapat dianggap sebagai pengatur (regulator) tersedianya unsur hara di dalam
tanah, atau dengan kata lain bersama-sama dengan mikroba di dalam tanah, cacing
tanah ikut berperan dalam siklus biogeokimia (Schwert, 1990).
2.8. Tanaman Sawi
Sawi termasuk jenis tanaman sayuran dan tergolong kedalam tanaman
semusim (berumur pendek). Menurut Tina et al., (1994) klasifikasi tanaman sawi
adalah sebagai berikut :
Divisi : Spermatophyta
Subdivisi : Angiospermae
Kelas : Dicotyledonae
Ordo : Rhoeadales
Famili : Cruciferae
Genus : Brassica
Spesies : Brassica juncea L.
Daun tanaman sawi berbentuk bulat dan lonjong, lebar dan sempit, tidak
berbulu, berwarna hijau muda, hijau keputih-putihan sampai hijau tua. Sawi
umumnya berdaun dengan struktur daun halus, tidak berbulu. Daun sawi
membentuk seperti sayap dan bertangkai panjang yang berbentuk pipih (Rahmat,
2007). Daun memiliki tulang-tulang daun yang menyirip dan bercabang-cabang
(Kurniadi, 1992). Tanaman sawi memiliki sistem perakaran akar tunggang (radix
17
primaria) dan cabang-cabang akar yang bentuknya bulat panjang (silendris),
menyebar ke seluruh arah pada kedalaman antara 30 – 50 cm. Akar-akar ini
berfungsi menyerap unsur hara dan air dari dalam tanah, serta menguatkan
berdirinya batang tanaman (Haryanto, 2003). Tanaman sawi memiliki batang
yang pendek dan beruas, sehingga hampir tidak kelihatan. Batang berfungsi
sebagai alat pembentuk dan penopang berdirinya daun. Bunga sawi tersusun
dalam tangkai bunga yang tumbuh memanjang dan bercabang banyak. Setiap
kuntum bunga terdiri dari empat helai kelopak, empat helai mahkota berwarna
kuning cerah, empat helai benang sari dan satu buah putik yang berongga dua.
Penyerbukan bunga sawi berlangsung dengan bantuan serangga maupun manusia.
Hasil penyerbukan akan membentuk buah yang berisi biji (Haryanto, 2003).
Syarat Tumbuh tanaman sawi adalah tanaman sawi dapat tumbuh di
tempat yang berhawa panas maupun hawa dingin, tetapi dapat tumbuh baik
dengan iklim yang kering pada suhu 15-20oC dan ketinggian 5 – 1200 m dpl.
Tanah yang baik untuk ditanami sawi adalah tanah gembur, banyak mengandung
humus dan kaya akan bahan organik, jenis tanah andosol dan regosol, memiliki
pembuangan air yang baik dengan derajat keasaman (pH) tanah yang optimum
untuk pertumbuhannya berkisar antara 6 – 7 (Nurhayati, et al., 1984). Tanaman
ini tidak menyukai air yang menggenang. Jarak tanam yang baik untuk tanaman
sawi adalah 20 x 20 cm (Haryanto, 2003).