BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Adversity Quotient (Daya Juang ...
Transcript of BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Adversity Quotient (Daya Juang ...
19
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Adversity Quotient (Daya Juang)
2.1.1 DefinisiAdversity Quotient
Menurut kamus bahasa Inggris, kata adversity
berasal dari bahasa Inggris yang berarti kegagalan atau
kemalangan, sedangkan quotient berarti kecerdasan
(Echols & Shadily, 1993). Adversity sendiri bila diartikan
dalam bahasa Indonesia bermakna kesulitan atau
kemalangan, dan dapat diartikan sebagai suatu kondisi
sulit, atau ketidak beruntungan. Sedangkan menurut
Stoltz (2000) adversity quotient merupakan kemampuan
yang dimiliki seseorang dalam mengamati kesulitan dan
mengolah kesulitan tersebut dengan kecerdasan yang
dimiliki sehingga menjadi sebuah tantangan untuk
diselesaikan.
Adversity quotient digunakan untuk membantu
individu memperkuat kemampuan dan ketekunan mereka
dalam menghadapi tantangan hidup sehari-hari, sembari
tetap berpegang pada prinsip-prinsip dan impian-impian
mereka tanpa memperdulikan apa yang terjadi. Konsep
kecerdasan IQ dan EQ yang telah ada saat ini dianggap
belum cukup untuk menjadi modal seseorang menuju
kesuksesan, oleh karena itu Stolz kemudian
mengembangkan sebuah konsep mengenai kecerdasan
adversity. Menurutnya konsep ini bisa terwujud dalam
tiga bentuk yaitu: 1) sebagai kerangka konseptual baru
untuk memahami dan meningkatkan semua aspek
keberhasilan; 2) sebagai ukuran bagaimana seseorang
merespon kemalangan; dan 3) sebagai perangkat alat
20
untuk memperbaiki respon seseorang terhadap
kemalangan. Dengan kata lain adversity quotient
merupakan suatu kemampuan untuk dapat bertahan
dalam menghadapi segala masalah ataupun kesulitan
hidup (Stoltz, 2000).
menurut Yoga (2018) Adversity Quotient mampu
membangkitkan keterpurukan seseorang dari sebuah
musibah, kegagalan, atau kecelakaan menjadi sebuah
motivasi besar untuk menyelamatkan dan memperbaiki
kehidupan.
Selanjutnya menurut Purwanto (2007) adversity
quotient adalah kemampuan seseorang yang
menggambarkan ketahanan fisik, mental, dan spiritual
agar dapat menguasai dan menghadapi setiap rintangan,
kesulitan, serta permasalahan yang timbul agar individu
mampu membuat hidupnya menjadi lebih berharga dan
bertanggung jawab.
Selanjutnyamenurut Ahmad (2013)adversity
quotient dapat diartikan sebagai kemampuan seseorang
yang menggambarkan ketahanan fisik, mental, dan
spiritual untuk dapat menguasai dan menghadapi segala
tantangan, hambatan, dan permasalahan yang timbul
agar seseorang mampu membuat kehidupannya menjadi
berharga dan bertanggung jawab.
Dari beberapa pendapat di atas dapat disimpulkan
bahwa adversity quotient adalah suatu kemampuan
dalam menghadapi kesulitan hidup, bagaimana individu
mampu bertahan, berusaha dan berjuang menghadapi
tantangan dalam hidupnya atau bahkan bagaimana
individu mampu mengubah kesulitan dalam hidupnya
menjadi peluang yang dan kemampuan ini juga berkaitan
dengan faktor-faktor yang lain, seperti penghargaan diri,
21
motivasi diri, jiwa berjuang dan berusaha, kreatifitas,
kesungguhan hati, perilaku positif, optimis, kestabilan
emosi dan sebagainya.
2.1.2 Dimensi-dimensi Adversity Quotient
Adversity quotient sebagai suatu kemampuan
terdiri dari empat dimensi yang disingkat dengan sebutan
CO2RE yaitu dimensi control, origin-ownership, reach, dan
endurance (Stoltz, 2000). Berikut ini merupakan
penjelasan dari keempat dimensi tersebut:
a. Control (Pengendalian)
Control ataukendali yaitu sejauh mana
seseorang mampu memengaruhi dan
mengendalikan respon individu secara positif
terhadap situasi apapun. Kendali yang
sebenarnya dalam suatu situasi hampir tidak
mungkin diukur, kendali yang dirasakan jauh
lebih penting. Dimensi control ini merupakan
salah satu yang paling penting karena
berhubungan langsung dengan pemberdayaan
serta memengaruhi semua dimensi CO2RE
lainnya. Semakin tinggi dimensi control maka
akan semakin besar pula individu bertahan
menghadapi kesulitan.
b. Origin-Ownership (Asal-Usul dan Pengakuan)
Origin-ownership yaitu sejauh mana seseorang
menanggung akibat dari suatu situasi tanpa
mempermasalahkan penyebabnya. Dimensi
asal-usul sangat berkaitan dengan perasaan
bersalah yang dapat membantu seseorang
belajar menjadi lebih baik serta penyesalan
sebagai motivator. Rasa bersalah dengan
22
kadar yang tepat dapat menciptakan
pembelajaran yang kritis dan dibutuhkan
untuk perbaikan terus-menerus. Sedangkan
dimensi pengakuan lebih menitik beratkan
kepada tanggung jawab yang harus dipikul
sebagai akibat dari kesulitan. Tanggung jawab
di sini merupakan suatu pengakuan akibat-
akibat dari suatu perbuatan, apapun
penyebabnya. AQ yang rendah cenderung
menempatkan rasa bersalah yang tidak
selayaknya atas peristiwa-peristiwa buruk
yang terjadi. Dalam hal ini mereka cenderung
menempatkan dirinya sebagai satu-satunya
penyebab atau asal-usul kesulitan itu datang.
c. Reach (Jangkauan)
Reach yaitu sejauh mana seseorang
membiarkan kesulitan menjangkau bidang lain
dalam pekerjaan dan kehidupannya.
Seseorang dengan AQ tinggi memiliki batasan
jangkauan masalahnya pada peristiwa yang
dihadapi. Biasanya orang tipe ini merespon
kesulitan sebagai sesuatu yang spesifik dan
terbatas. Artinya semakin rendah dimensi
reach maka akan semakin besar pula
anggapan bahwa peristiwa-peristiwa buru
yang terjadi dianggap sebagai bencana.
d. Endurance (Daya Tahan)
Endurance yaitu seberapa lama seseorang
mempersepsikan kesulitan ini akan
berlangsung. Individu dengan AQ tinggi
biasanya memandang kesuksesan sebagai
sesuatu yang berlangsung lama, sedangkan
kesulitan-kesulitan dan penyebabnya sebagai
23
sesuatu yang bersifat sementara.
2.1.3 Faktor-faktor Yang Memengaruhi Adversity
Quotient
Paul G. Stoltz dalam bukunya menggambarkan
potensi dan daya tahan individu dalam sebuah pohon
yang disebut pohon kesuksesan. Aspek-aspek yang ada
dalam pohon kesuksesan tersebut yang dianggap
memengaruhi adversity quotient seseorang, diantaranya
(Stoltz, 2000):
a. Faktor Internal
1) Genetik
Warisan genetis tidak akan menentukan nasib
seseorang tetapi pasti ada pengaruh dari faktor
ini. Beberapa riset-riset terbaru menyatakan
bahwa genetika sangat mungkin mendasari
perilaku yang paling terkenal adalah kajian
tentang ratusan anak kembar identik yang
tinggal terpisah sejak lahir dan dibesarkan di
lingkungan yang berbeda. Saat mereka
dewasa, ternyata ditemukan kemiripan-
kemiripan dalam perilaku. Hal ini juga sejalan
dengan pendapat Bouchard (2009), bahwa
kecerdasan seseorang dipengaruhi oleh faktor
genetik.
2) Keyakinan
Mandela (dalam Stoltz, 2000) mengatakan
bahwa keyakinan atau iman merupakan unsur
penting bagi kelangsungan hidup. Keyakinan
memengaruhi seseorang dalam mengahadapi
suatu masalah serta membantu seseorang
dalam mencapai tujuan hidup. Menurut Benson
(2006) berdoa akan mempengaruhi epinefrin
24
dan hormon-hormon kortikosteroid pemicu
stress yang kemudian akan menurunkan
tekanan darah serta membuat efek detak
jantung dan pernapasan lebih santai.
Keyakinan atau iman merupakan faktor yang
sangat penting berkaitan dengan tindakan,
harapan, moralitas, dan bagaimana cara kita
bersikap sesama manusia.
3) Bakat
Kemampuan dan kecerdasan seseorang dalam
menghadapi suatu kondisi yang tidak
menguntungkan bagi dirinya salah satunya
dipengaruhi oleh bakat. Bakat adalah gabungan
pengetahuan, kompetensi, pengalaman, dan
keterampilan.
4) Hasrat atau kemauan
Untuk mencapai kesuksesan dalam hidup
diperlukan tenaga pendorong yang berupa
keinginan atau disebut hasrat. Hasrat
menggambarkan motivasi, antusias, gairah,
dorongan, ambisi, dan semangat yang ada
pada diri individu agar memiliki energi motivasi
yang kuat untuk mencapai kesuksesan.
5) Karakter
Karakter merupakan bagian yang penting bagi
kita untuk meraih kesuksesan dan hidup
berdampingan secara damai. Seseorang yang
berkarakter baik, semangat, tangguh, dan
cerdas akan memiliki kemampuan untuk
mencapai sukses.
25
6) Kinerja
Merupakan bagian yang mudah dilihat orang
lain sehingga seringkali hal ini dievaluasi dan
dinilai. Salah satu keberhasilan seseorang
dalam menghadapi masalah dan meraih tujuan
hidup dapat diukur melalui kinerja. Kinerja
seseorang merupakan hasil dari kemampuan,
usaha dan kesempatan yang dapat dinilai dari
hasil kerjanya.
7) Kecerdasan
Bentuk-bentuk kecerdasan kini dipilah menjadi
beberapa bidang yang sering disebut sebagai
multiple intelligence. Bidang kecerdasan yang
dominan biasanya memengaruhi karier,
pekerjaan, pelajaran, dan hobi.
8) Kesehatan
Kesehatan emosi dan fisik dapat
memepengaruhi seseorang dalam menggapai
kesuksesan. Seseorang yang dalam keadaan
sakit akan mengalihkan perhatiannya dari
masalah yang dihadapi. Kondisi fisik dan psikis
yang prima akan mendukung seseorang dalam
menyelesaikan masalah.
b. Faktor Eksternal
1) Pendidikan
Pendidikan dapat membentuk kecerdasan,
pembentukan kebiasaan yang sehat,
perkembangan watak, keterampilan, hasrat, dan
kinerja yang dihasilkan. Salah satu sarana dalam
pembentukan sikap dan perilaku adalah melalui
pendidikan.
26
2) Lingkungan
Lingkungan tempat individu tinggal dapat
memengaruhi bagaimana individu beradaptasi dan
memberikan respon kesulitan yang dihadapinya.
Individu yang terbiasa hidup dalam lingkungan
sulit akan memiliki adversity quotient yang lebih
tinggi. Menurut Stoltz, individu yang terbiasa
berada di lingkungan yang sulit akan memiliki
adversity quotient yang lebih besar karena
pengalaman dan kemampuan beradaptasi yang
lebih baik dalam mengatasi masalah yang
dihadapi.
Dari beberapa faktor yang mempengaruhi
adversity quotient di atas, maka dapat disimpulkan
bahwa kecerdasan dalam mengatasi masalah tidak hanya
dipengaruhi oleh satu faktor saja, namun dipengaruhi
oleh berbagai faktor. Dengan demikian, gabungan antara
satu faktor dengan faktor lain akan memberikan satu
kesatuan yang komprehensif pada individu untuk
mengatasi setiap kesulitan yang ada.
2.1.4 Tingkatan dalam Adversity Quotient
Stoltz mengelompokkan individu berdasarkan
daya juangnya menjadi tiga: quitter, camper, dan
climber. Penggunaan istilah ini dari kisah pendaki
Everest, ada pendaki yang menyerah sebelum pendakian,
merasa puas sampai pada ketinggian tertentu, dan
mendaki terus hingga puncak tertinggi. Kemudian Stoltz
menyatakan bahwa orang yang menyerah disebut
quitter, orang yang merasa puas pada pencapaian
tertentu sebagai camper, dan seseorang yang terus ingin
meraih kesuksesan disebut sebagai climber (Stoltz,
2000).
27
Dalam bukunya, Stoltz menyatakan terdapat tiga
tingkatan daya juang seseorang dalam menghadapi
masalah, antara lain (Stoltz, 2000):
a. Quitters
Quitters yaitu orang yang memilih keluar,
menghindari kewajiban, mundur, dan berhenti.
Individu dengan tipe ini memilih untuk berhenti
berusaha, mereka mengabaikan menutupi dan
meninggalkan dorongan inti yang manusiawi
untuk terus berusaha. Dengan demikian, individu
dengan tipe ini biasanya meninggalkan banyak hal
yang ditawarkan oleh kehidupan.
b. Campers
Campers atau orang-orang yang berkemah adalah
orang-orang yang telah berusaha sedikit
kemudian mudah merasa puas atas apa yang
dicapainya. Tipe ini biasanya bosan dalam
melakukan pendakian kemudian mencari posisi
yang nyaman dan bersembunyi pada situasi yang
bersahabat. Kebanyakan para campers
menganggap hidupnya telah sukses sehingga
tidak perlu lagi melakukan perbaikan dan usaha.
c. Climbers
Climbers atau si pendaki adalah individu yang
melakukan usaha sepanjang hidupnya. Tanpa
menghiraukan latar belakang, keuntungan
kerugian, nasib baik maupun buruk, individu
dengan tipe ini akan terus berusaha.
2.1.5 Pengembangan Adversity Quotient
Menurut Stoltz, cara mengembangkan dan
menerapkan AQ dapat diringkas dalam kata LEAD (Stoltz,
28
2000) yaitu:
a. Listened (Dengar)
Mendengarkan respon terhadap kesulitan
merupakan langkah yang penting dalam
mengubah AQ individu. Individu berusaha
menyadari dan menemukan permasalahan jika
terjadi kesulitan, kemudian menanyakan pada
diri sendiri apakah itu respon AQ yang tinggi
atau rendah, serta menyadari dimensi AQ
mana yang paling tinggi.
b. Explored (Gali)
Pada tahap ini, individu didorong untuk
menjajaki asal-usul atau mencari penyebab dari
masalah. Setelah itu menemukan mana yang
merupakan kesalahannya, lalu mengeksplorasi
alternatif tindakan yang tepat.
c. Analized (Analisa)
Pada tahap ini, individu diharapkan mampu
menganalisa bukti apa yang menyebabkan
individu tidak dapat mengendalikan masalah,
bukti bahwa kesulitan itu harus menjangkau
wilayah lain dalam kehidupan, serta bukti
mengapa kesulitan itu harus berlangsung lebih
lama dari seharusnya. Fakta-fakta ini perlu
dianalisa untuk menemukan beberapa faktor
yang mendukung AQ individu.
d. Do (Lakukan)
Terakhir, individu diharapkan dapat mengambil
tindakan nyata setelah melewati tahapan-
tahapan sebelumnya. Namun sebelumnya
diharapkan individu dapat mendapatkan
29
informasi tambahan guna melakukan
pengendalian situasi yang sulit, kemudian
membatasi jangkauan keberlangsungan
masalah saat kesulitan itu terjadi.
2.1.6 Teori yang membentuk Adversity Quotient
Sebagai penemu teori adversity quotient, Stoltz
(2000)mengungkapkan bahwa tiga teori dasar
pembangun teori adversity quotient. Stoltz melakukan
riset lebih dari 600 penelitian di ratusan universitas dan
lembaga-lembaga di seluruh dunia. Adapun tiga teori
dasar yang membangun teori adversity quotient ini
adalah :
a. Psikologi Kognitif
Psikologi kognitif merupakan ilmu yang
mempelajari bagaimana seseorang
memperoleh, mentransformasikan,
mempresentasikan, menyimpan, dan menggali
kembali pengetahuan, dan bagaimana
pengetahuan tersebut dapat dipakai untuk
merespon atau memecahkan kesulitan, berpikir
dan berbahasa. Orang yang merespon atau
menganggap kesulitan itu abadi, maka
jangkauan kendali mereka akan menderita,
sedangkan yang menganggap kesulitan itu
mudah berlalu, maka ia akan tumbuh maju
dengan pesat. Respon seseorang terhadap
kesulitan memengaruhi kinerja, dan
kesuksesan. Strategi berespon terhadap
kemalangan dengan pola-pola tersebut akan
menetap sepanjang hidup seseorang. Teori ini
berkaitan dengan kemampuan manusia akan
pengendalian atau penguasan terhadap
30
hidupnya yang mencakup beberapa konsep
penting tentang motivasi, efektivitas, daya
juang, produktivitas dan kinerja manusia
b. Neurofisiologi
Neurofisiologi adalah bagian ilmu fisiologi, yang
mempelajari studi fungsi sistem saraf. Ilmu ini
berkaitan erat dengan neurobiologi, psikologi,
neurologi, neurofisiologi klinik, elektrofisiologi,
etologi, aktivitas saraf tinggi, neuroanatomi,
ilmu kognitif, dan ilmu otak lainnya. Kaitan
antara neurofisiologi dengan adversity quotient
adalah bahwa otak idealnya dilengkapi untuk
membentuk kebiasaan-kebiasaan sama halnya
dengan bagaimana kebiasaan seseorang
merespon kesulitan. Nuwer (dalam Stoltz,
2000) menjelaskan bahwa proses
pembentukan kebiasaan-kebiasaan pada tahap
pertama berlangsung di wilayah sadar bagian
luar atau bagian otak yang berwarna kelabu
wilayah ini disebut cerebral cortex, namun lama
kelamaan pola yang sudah sering terbentuk di
cerebral cortex akan berpindah ke bagian otak
yang disebut basal ganglia atau kegiatan tak
sadar yang mana sebuah kebiasaan telah
terbentuk.
c. Psikoneuroimunologi
Ilmu ini menyumbangkan bukti-bukti adanya
hubungan fungsional antara otak dan sistem
kekebalan, hubungan antara apa yang individu
pikirkan dan rasakan terhadap kemalangan
dengan kesehatan mental fisiknya.
31
Kenyataannya pikiran dan perasaan individu
juga dimediasi oleh neurotranmitter dan
neuromodulator, yang berfungsi mengatur
ketahanan tubuh. Hal ini esensial untuk
kesehatan dan panjang umur, sehingga
seseorang dapat menghadapi kesulitan dan
memengaruhi fungsi-fungsi kekebalan,
kesembuhan, dan kerentanan terhadap 24
penyakit-penyakit yaitu melemahnya kontrol
diri yang esensial akan menimbulkan depresi
(Stoltz, 2000).
Penelitian yang dilakukan oleh McClelland (1989),
seorang profesor psikologi yang terkemuka dari Boston
University membuktikan melalui berbagai macam
penelitian bahwa emosi-emosi tertentu adalah peramal-
peramal kesehatan yang ampuh. Orang-orang yang
selalu memiliki pikiran negatif dan rasa curiga terbukti
dua kali lebih besar kemungkinan untuk menderita suatu
penyakit berat dibanding dengan orang-orang yang selalu
optimis dan berpikiran positif.
Ketiga penopang teoritis tersebut bersama-sama
membentuk adversity quotient dengan tujuan utama,
yaitu: timbulnya pengertian baru, tersedianya alat ukur
dan seperangkat alat untuk meningkatkan efektivitas
seseorang dalam menghadapi segala bentuk kesulitan
hidup.
2.1.6 Adversity Quotient dalam Pandangan Islam
Menurut Stolz (2000), seseorang yang memiliki
Adversity quotient yang tinggi, tidak akan mudah
menyerah ketika menghadapi kesulitan. Seseorang
tersebut akan tetap tegar dalam berusaha sehingga bisa
menghadapi berbagai hambatan dalam hidupnya dengan
32
baik. Di dalam Al-Qur’an, terkandung begitu banyak
tuntunan bagaimana seharusnya manusia hidup di dunia
termasuk bagaimana menghadapi persoalan dan
kesulitan dalam hidup.
Berdasarkan penelitian dari Zubadillah (2017)
terdapat beberapa nilai dalam al-qur’an yang berkaitan
dengan dimensi dari Adversity quotient dalam alquran
yaitu nilai Sabar. Padaadversity qotient terdapat dimensi
control yaitu pengendalian diri ketika menghadapi situasi
sulit dan bagaimana pengendalian diri terhadap suatu
masalah. Pada dimensi ini dapat ditemukan pada sosok
Nabi Musa A.S terkait sikap sabar yang beliau miliki
seperti yang tertuang dalam beberapa ayat al-qur’an
berikut :
يورثها من وٱصبروا إنه ٱلرض لله قال موسى لقومه ٱستعينوا بٱلله
قبة للمتهقين ١٢٨يشاء من عبادهۦ وٱلع
Artinya: Musa berkata kepada kaumnya: "Mohonlah pertolongan kepada Allah dan bersabarlah; sesungguhnya bumi (ini) kepunyaan Allah; dipusakakan-Nya kepada siapa yang dihendaki-Nya dari hamba-hamba-Nya. Dan kesudahan yang baik adalah bagi orang-orang yang bertakwa" (QS.Al-A’raf (7): 128).
Dalam tafsir Ibnu Katsir, Nabi Musa AS menjanjikan kepada mereka yang bersabar akan memperoleh akibat yang terpuji dan memperoleh kemenangan. Pada ayat
tersebut terkandung anjuran kepada kaum muslim untuk bersabar dan bertaqwa kepada Allah SWT sebab Allah SWT akan melenyapkan penderitaan kepada hamba-Nya
yang senantiasa bersabar dan bertaqwa kepada-Nya.
برين مع ٱلصه أيها ٱلهذين ءامنوا ٱستعينوا بٱلصهبر وٱلصهلوة إنه ٱلله ١٥٣ي
Hai orang-orang yang beriman, jadikanlah sabar
dan shalat sebagai penolongmu, sesungguhnya
Allah beserta orang-orang yang sabar (QS. Al-
33
Baqarah;153).
Menurut Yunus, (1984) dalam tafsirnya
mengatakan dari ayat tersebut mengandung arti bahwa
untuk menyempurnakan suatu pekerjaan atau
menggapai cita-cita haruslah dengan berhati-hati dan
sabar, dan jika kita ditimpa kesusahan dan cobaan
dalam mengusahakannya hendaklah kita mencari daya
upaya untuk menghilangkannya, serta kita periksa
sebab-sebab yang menghalanginya, agar dapat
mengantisipasi jika hal itu terulang. Sekali-kali tidak
boleh kita berhati keluh kesah atau berputus asa karena
suatu cobaan yang menghalangi pekerjaan kita.
أيها ٱلهذين ءامنوا ٱصبروا وصابروا ورابطوا وٱتهقوا ٱلله لعلهكم ي
٢٠٠تفلحون
Hai orang-orang yang beriman, bersabarlah kamu dan kuatkanlah kesabaranmu dan tetaplah bersiap siaga (di perbatasan negerimu) dan terapkan cara meningkatkan iman dan taqwa kepada Allah, supaya kamu beruntung (QS. Al-Imran;200).
Dalam tafsir Ibnu Katsir ayattersebut
mengandung arti bahwa apabila seseorang dilanda
kesusahan dan banyak tantangan hendak untuk terus
menguatkan iman, bersabar dan terus bertahan agar
tidak goyah agar tercapai tujuan yang hendak dicapai.
Sejalan dengan pendapat di atas hasil penelitian
yang dilakukan oleh Efnita (2007) tentang adversity
quotient pada pedagang etnis cina didapatkan hasil
bahwa subjek etnis cina yang beragama islam memiliki
control atau pengendalian diri yang baik ketika
mengalami kesulitan dibanding subjek yang beragama
non islam.
Dalam hidup manusia, Allah telah menyatakan
34
dalam al-Qur’an bahwa Allah akan memberikan cobaan
pada manusia. Manusia akan diuji dengan berbagai
macam cobaan, dapat berupa ketakutan dari musuh,
kemiskinan, kelaparan, dan musibah lain yang lazim
terjadi dalam kehidupan. Seseorang yang mendapatkan
petunjuk dari suatu musibah ialah orang yang
mengambil faedah dan pembelajaran dari suatu
musibah tersebut (Arraiyah, 2007). Hal ini terdapat
dalam Q.S. Al-Baqarah (2): 155-156.
ل وٱلنفس ن ٱلمو ن ٱلخوف وٱلجوع ونقص م ولنبلونهكم بشيء م
برين ر ٱلصه ت وبش بتهم مصيبة قالوا إنها ١٥٥وٱلثهمر ٱلهذين إذا أص
جعون وإنها إليه ر ١٥٦لله
Dan sungguh akan Kami berikan cobaan kepadamu, dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa dan buah-buahan dan berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar yaitu mereka yang apabila diberikan musibah berkata “innalillahi wa inna ilaihiraaji’un”.
Ayat ini memberikan penjelasan tentang siapa
yang disebut shaabirin atau orang-orang yang bersabar.
Orang yang bersabar berdasarkan ayat ini adalah
mereka yang apabila ditimpakan musibah mereka
mengatakan “innalillahi wainna ilaihi raaji’un”. Pada ayat
ini juga mengisyaratkan bahwa sikap manusia dalam
menghadapi cobaan itu tidak sama sehingga
pengaruhnya juga tidak sama. Orang yang menerapkan
sikap sabar ketika menghadapi cobaan atas dasar iman
akan mengambil hikmah atau manfaat dari sebuah
cobaan tersebut (Arraiyah, 2007).
Setelah mengetahui karakteristik orang sabar
dalam al-Qur’an yang tersirat dari ayat di atas,
selanjutnya dibahas tentang kesulitan, atau hambatan
yang dihadapi manusia. Ujian bagi manusia seringkali
35
terasa dalam bentuk kesempitan, kesulitan, keberatan
sebagaimana yang tersurat dalam ayat-ayat al-qur’an
bahwa ujian yang akan diberikan Allah adalah
ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa serta
buah-buahan (Amaliya, 2017).
Dalam tafsir Ibnu Katsir menjelaskan pada Q.S. Ali
Imron (3): 186, bahwa seorang mukmin itu harus diuji
terhadap sesuatu dari hartanya atau dirinya atau
anaknya atau istrinya. Seorang mukmin mendapat ujian
(dari Allah) sesuai dengan tingkatan kadar agamanya;
apabila agamanya kuat, maka ujiannya lebih dari yang
lain.
وتوا لكم وأنفسكم ولتسمعنه من ٱلهذين أ ۞لتبلونه في أمو
وإن تصبروا ب من قبلكم ومن ٱلهذين أشركوا أذى كثيرا ٱلكت
لك من عزم ٱلمور ١٨٦وتتهقوا فإنه ذ
Kamu sungguh-sungguh akan diuji terhadap hartamu dan dirimu. dan (juga) kamu sungguh-sungguh akan mendengar dari orang-orang yang diberi kitab sebelum kamu dan dari orang-orang yang mempersekutukan Allah, gangguan yang banyak yang menyakitkan hati. jika kamu bersabar dan bertakwa, Maka Sesungguhnya yang demikian itu Termasuk urusan yang patut diutamakan (Q.S. Ali Imron (3): 186).
Dalam Q.S. Muhammad (47): 31, Allah juga
menegaskan tujuan ujian yang diberikan Allah, yaitu
bahwa sesungguhnya Allah benar-benar akan menguji
manusia untuk bisa diketahui mana orang-orang yang
berjihad dan bersabar.
برين ونبلوا أخباركم هدين منكم وٱلصه ولنبلونهكم حتهى نعلم ٱلمج
٣١
36
Dan Sesungguhnya Kami benar-benar akan menguji kamu agar Kami mengetahui orang-orang yang berjihad dan bersabar di antara kamu, dan agar Kami menyatakan (baik buruknya) hal ihwalmu (Q.S. Muhammad (47): 31).
Dalam beberapa potongan ayat di atas cukup
menggambarkan bagaimana adversity quotient dalam
al-quran yaitu sabar, yang mana di dalam sabar ini
memiliki unsur-unsur yaitu menahan diri menahan diri
ini bisa menahan diri dari nafsu yang tidak baik, amarah
atau disebut dengan sabar rohani adalah kemampuan
menahan kehendak nafsu yang dapat mengantar
kepada ketidak baikan. Menahan diri atau pengendalian
diri ini dalam psikologi Barat dikenal dengan istilah self
control atau kontrol diri. Konsep menahan diri ini seperti
pengertian sabar yang dikemukakan oleh Agte dan
Chiplonkar (2007) yang memberikan definisi kesabaran
dengan “patience is defined as calmness and willingness
or ability to tolerate delay” .
Menurut konsep adversity quotiennya Stoltz,
konsep ini dekat dengan konsep Kontrol. Konsep Kontrol
diri dijelaskan sebagai kemampuan seseorang dalam
mengendalikan dan mengelola emosi, perasaan sikap
diri karena suatu peristiwa yang menimbulkan kesulitan.
Hal ini berarti respon seseorang terhadap suatu
peristiwa sulit yang dihadapi (Stoltz, 2000).Selanjutnya
yaitu unsur menerima (ikhlas) dalam sabar, terdapat
unsur menerima, yaitu menerima apa yang terjadi.
Menerima kenyataan. Menerima kesulitan dalam
hidupnya. Hal ini seperti dalam QS. An-Nahl (16): 127
dan QS. Al-Muddatsir (74): 7.
Menerima, dalam psikologi dekat dengan konsep
acceptance atau dekat juga dengan self acceptance.
37
Makna yang terkandung dalam konsep ini juga memiliki
kemiripan, yaitu sejauh mana seseorang mampu
menerima keadaan dirinya. Menerima di sini tidak hanya
menerima kenyataan, namun juga termasuk menerima
dari mana sumber kesalahan yang menyebabkan
kondisi sulit bagi dirinya apakah itu dari dirinya sendiri,
orang lain atau lingkungan. Sejauh mana ia akan
mempermasalahkan kesalahannya dan sejauh mana
rasa bersalahnya berpengaruh terhadap mentalitasnya.
Rasa bersalah yang tepat mampu menjadi cambuk bagi
seseorang untuk bangkit dan bertindak, begitu
sebaliknya. Sedangkan ownership adalah sejauh mana
pengakuan seseorang atas dampak-dampak dari
kesalahannya serta kesediaannya untuk bertanggung
jawab atas kesalahannya tersebut. Konsep ini dalam
adversity quotient dekat dengan konsep origin dan
ownership. Dalam sabar, terdapat unsur tabah kuat
menahan kesulitan hidup yang hadapi. Dalam QS. Ali
Imron (3): 146 disebutkan bahwa dalam sabar, manusia
tidak boleh lemah dan menyerah. Tidak lemah, tidak
lesu dan tidak menyerah dalam ayat ini menjadi karater
dari orang sabar. Dalam konsep adversity quotient
Stoltz, konsep ini dekat dengan Endurance (Amaliya,
2017).
Dari sini terlihat bahwa dalam konsep sabar yang
terkandung dalam al-Qur’an juga memuat aspek-aspek
adversity quotient seperti yang dirumuskan oleh Stolz.
Terdapat karakteristik yang khusus dari yang diajarkan
al-Qur-an, yaitu pada adanya dimensi ketuhanan.
Dimana dalam sikap sabar yang diamalkan oleh
seseorang, tidak terlepas dari Allah. Manusia
menggantungkan harapannya hanya kepada Allah.
Kepasrahan dan ketabahan yang diamalkan merupakan
bentuk dari ketakwaan kepada Allah.
38
2.2 Manusia Gerobak
2.2.1 Definisi Manusia Gerobak
Manusia gerobak adalah mereka yang biasanya
berprofesi sebagai pememulung dan pekerja serabutan
yang membawa anggota keluarga dan barang-barang
keperluannya di dalam gerobak dan berjalanan
menyelusuri jalanan di kota (www.tirto.id).Menurut
Ghofur (2009), manusia gerobak adalah pememulung
yang menggelandang dengan gerobaknya. Disebut
manusia gerobak karena itu adalah ciri khas mereka.
Gerobak ukuran 2x1 meter tersebut tidak hanyak tempat
barang-barang bekas, tetapi memiliki multifungsi sebagai
tempat tingal.
Menurut Onghokham (1986), istilah ”gelandangan”
berasal dari kata ”gelandang” yang berarti mengembara,
atau berkelana istilah yang lebih netral sifatnya. Bahkan
menggelandang merupakan sebuah tradisi komunitas
tertentu, yaitu pengembaraan yang didasarkan pada dua
alasan: alasan politik dan ekonomi. Gelandangan juga
didefinisikan sebagai orang-orang yang tidak mempunyai
pekerjaan tetap dan layak dan makan di sembarang
tempat.
Dari beberapa definisi diatas peneliti
menyimpulkan bahwa manusia gerobak identik dengan
hidup menggelandang. Berangkat dari hal tersebut dapat
dikatakan bahwa sebutan istilah mantan manusia
gerobak berlaku apabila seseorang manusia gerobak
telah memiliki rumah atau kontrakan meskipun masih
berprofesi sebagai pemulung.
39
2.2.2 Faktor-Faktor Penyebab Hadirrnya Manusia
Gerobak
1. Pendidikan
“Manusia gerobak” umumnya sejauh yang peneliti
ketahui berprofesi sebagai pememulung yang hidup
menggelandang, yang mana dalam hal ini menurut hasil
peneltian Nurintan (2017) mengungkapkan bahwa
hampir semua manusia gerobak memiliki pendidikan
yang rendah, mereka hanya mengenyam pendidikan
Sekolah Dasar (SD) dan bahkan ada informan yang sama
sekali tidak sekolah.
Selanjutnya, hasil penelitian Taufik (2013)
mengungkapkan bahwa tingkat pendidikan para
pememulung tergolong rendah, sebab pendidikan
pememulung hanya sampai jenjang Sekolah Dasar (SD)
dan Sekolah Menengah Pertama (SMP) bahkan ada yang
sama sekali tidak lulus SD, hal ini disebabkan karena
sejak SD mereka telah mengikuti jejak orangtua yang
juga berprofesi sebagai pememulung.
Selanjutnya, hasil penelitian Kuntari dan
Hikmahwati (2017) didapatkan hasil bahwa umumnya
gelandangan banyak yang tidak pernah mengenyam
pendidikan, dan hanya segelintir orang saja yang dapat
menyelesaikan pendidikan di Sekolah Dasar. Tingkat
pendidikan yang tidak memadai dan juga faktor ekonomi
yang menyebabkan mereka hidup menggelandang.
Dari beberapa hasil penelitian di atas terkait
tingkat pendidikan manusia gerobak dapat disimpulkan
bahwa rata-rata tingkat pendidikan manusia gerobak
hanya sebatas SD, hanya sedikit sekali yang lulus SMP.
40
Dalam hal ini dapat pendidikan sangat berpengaruh dan
menentukan pekerjaan seseorang karena keahlian dan
ilmu yang terbatas maka terbatas pula peluang kerja
yang didapat.
2. Keadaan Ekonomi
Keadaan ekonomi kaum gelandangan termasuk
juga manusia gerobak berhubungan dengan rendahnya
tingkat pendidikan mereka sebab menurut hasil penelitian
Kuntari dan Hikmawati (2017) menyatakan bahwa
kebanyakan para gelandangan dan pememulung menikah
dini yaitu pada usia 16 tahun hal ini dikarenakan
dorongan orangtua yang menginginkan anaknya cepat
menikah agar dapat mengurangi beban ekonomi
keluarga.
Selanjutnya menurut Ghofur (2009) alasan
manusia gerobak hidup menggelandang dan berprofesi
sebagai pememulung karena modal yang dibutuhkan
kecil dan bahkan tanpa modal. Tidak seperti pekerjaan
informal lainnya yang membutuhkan modal, seperti
halnya pengepul atau bandar barang bekas
membutuhkan modal yang relatif besar.
3 Konsumsi masyarakat perkotaan yang tinggi.
Akibat dari sifat konsumtif masyarakat yang tinggi
jelas akan menyisakan banyak sampah. Sebagian warga
kota dengan seenaknya membuang barang-barang yang
tidak diperlukan lagi seperti gelas dan botol plastik,
kertas, karton, dan besi-besi. Kondisi ini menunjukkan
bahwa sampah seolah tidak memiliki nilai bagi warga
kota. Mungkin, sebagian dari mereka tahu bahwa barang
bekas tersebut memiliki nilai, namun karena jumlahnya
41
sedikit mereka menjadi tidak telaten untuk
mengumpulkannya. Selain itu, orang mengidentikkan
barang bekas dengan kekotoran dan kekumuhan,
sesuatu yang semakin menjauhkan warga kota dari
keinginan untuk memanfaatkannya. Kondisi ini turut
mendorong usaha daur ulang (Ghofur, 2009).
Berdasarkan paparan di atas dapat disimpulkan
bahwa perkembangan kota yang terus meningkat akan
menyebabkan arus urbanisasi yang mengalir akan
berdampak pada meningkatnya konsumsi masyarakat
perkotaan. Apabila masyarakat yang hidup di perkotaan
berada dalam circle kehidupan ekonomi yang rendah juga
berpendidikan rendah maka kemungkinan besar mereka
akan berprofesi pememulung yang tidak membutuhkan
modal besar. Apabila kondisi tidak membaik maka akan
timbul manusia gerobak lainnya di perkotaan.
42
2.3 Kerangka Konseptual
PengalamanDaya Juang Mantan Manusia
Gerobakdi Kota Palembang
Proses Daya Juang Mantan Manusia Gerobak
Di Kota Palembang
MANTAN MANUSIA GEROBAK
Tuntutan Kebutuhan Psikologis Tuntutan Kebutuhan Biologis
Dimensi Daya Juang
Control
Origin & Ownership
Reach
Endurance
Faktor-Faktor Daya
Juang
Internal
Eksternal
Makna Daya Juang Bagi Mantan Manusia Gerobak di Kota Palembang
43