BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 2.1.1 Anatomi dan Stuktur Hatieprints.umm.ac.id/62974/2/BAB II.pdf ·...
Transcript of BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 2.1.1 Anatomi dan Stuktur Hatieprints.umm.ac.id/62974/2/BAB II.pdf ·...
6
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Hati
2.1.1 Anatomi dan Stuktur Hati
Hati merupakan organ terbesar dalam tubuh, memiliki berat 1200-1500 g
dan terdiri dari 1/5 dari total berat badan orang dewasa. Hepar terlindungi oleh
tulang rusuk di kuadran kanan atas (Lefkowitch, 2018). Hati tertahan oleh
lampiran ligamen pada diafragma, peritoneum, pembuluh darah besar, dan organ
pencernaan bagian atas (Longo & Fauci, 2010). Hati dibungkus oleh jaringan
fibrosa tipis yang tidak elastis yang disebut capsula fibrosa perivascularis
(Glisson) dan sebagian tertutupi oleh lapisan peritoneum. Hepar memiliki 4 lobus,
dua lobus yang berukuran paling besar dan jelas terlihat adalah lobus kanan yang
berukuran lebih besar, sedangkan lobus kiri berukuran lebih kecil dan berbentuk
baji (Maulina, 2015).
Gambar 2.1 Anatomi dan Struktur Hati (Sanyal et al., 2018)
Diantara kedua lobus tersebut terdapat vena portae hepatis, jalur masuk dan
keluarnya pembuluh darah, saraf, dan ductus. Lobus kanan terbagi menjadi lobus
quadratus dan lobus caudatus karena adanya vesical biliaris, fisurra untuk
ligamentum teres hepatis, vena cava inferior, dan fisurra untuk ligamentum
venosum. Hilus hepatis atau porta hepatis terdapat pada permukaan
posteroinferior dan terletak di antara lobus caudatus dan lobus quadratus. Bagian
atas ujung bebas omentum minus melekat pada pinggir porta hepatis dan terdapat
ductus hepaticus dexter dan sinister, cabang dextra dan sinistra arteria hepatica,
7
vena porta, serabut-serabut saraf simpatik dan para simpatik, serta beberapa
kelenjar limfe hepar (Maulina, 2015).
Gambar 2.2 Segmentasi Hati Berdasarkan Vena Porta dan Arteri Hepatika
(Sanyal et al., 2018)
2.1.2 Sirkulasi Hati
Hati menerima suplai darah ganda, 20% dari aliran darah adalah darah yang
kaya oksigen dari arteri hati, dan 80% adalah darah kaya nutrisi dari portal vena
yang muncul melalui perut, usus, pankreas, dan limpa (Longo & Fauci, 2010) .
Kedua pembuluh darah memasuki hepar melalui porta hepatika (liver hilus). Saat
di dalam hilus, vena portal dan arteri hepatika terbagi dua ke dalam cabang kanan
dan kiri. Masing-masing lobus sebelum didistribusikan ke segmen hepar dan
mengalir ke sinusoid melalui saluran portal. Darah meninggalkan sinusoid
kemudian memasuki vena hepatika (tengah, kanan dan kiri) sebelum memasuki
vena kava inferior. Lobus kaudat menerima suplai darah dari vena portal dan
arteri hepatika sementara saluran vena hepatika secara langsung masuk ke dalam
vena kava inferior. Arteri kistik menyediakan suplai darah kantong empedu
sedangkan proses drainase melalui vena kistik. Sebagian besar suplai darah ke
saluran-saluran empedu adalah dari retroduodenal hepar dari arteri kanan (Joshi et
al., 2015).
2.1.3 Fungsi Hati
Hepar sebagai kelenjar terbesar di dalam tubuh mempunyai fungsi yang
sangat bervariasi. Tiga fungsi dasar hepar adalah membentuk dan mensekresikan
empedu ke dalam saluran intestinal, berperan pada berbagai metabolisme yang
berhubungan dengan karbohidrat, lipid dan protein, menyaring darah,
8
menyingkirkan bakteri dan benda asing yang masuk ke dalam darah (Maulina,
2015).
Tabel II.1 Elemen utama dari fungsi hati (Sanyal et al., 2018)
Tipe sel Fungsi
Hepatosit
Sekresi empedu
o Biosintesis garam empedu, konjugasi, dan sekresi
Serapan bilirubin, konjugasi, dan sekresi Sekresi
fosfolipid dan kolesterol
Biosintesis dan sekresi protein plasma
o Lipoprotein plasma
o Faktor koagulasi plasma (protrombin, fibrinogen,
faktor komplemen)
o Albumin
o Transferrin
Penyerapan dan degradasi protein plasma
Lipoprotein plasma
Glukosa homeostasis
Metabolisme dan detoksifikasi obat dan racun
Cholangiocytes Sekresi cairan kaya bikarbonat menjadi empedu
Sel endotel
sinusoidal
Penghalang yang dihidrasi antara darah sinusoidal dan
hepatosit
Pemrosesan protein plasma endositik
o Lipoprotein
o Produk akhir glikosilasi canggih
o Kompleks imun
Fungsi imunoregulasi
Input regulator ke sel stellate hati, hepatosit, dan fungsi
sel Kupffer
Sel Kupffer
Fagositosis materi partikulat dalam darah sinusoidal
Fagositosis debris hepatoseluler apoptosis dan nekrotik
Pembersihan mikroorganisme dan endotoksin yang
bersirkulasi
Fungsi imunoregulasi
Input regulator ke sel stellate hati, hepatosit, dan fungsi sel
endotel sinusoidal
Sel-sel stellate
hati
Penyimpanan vitamin A
Kontrol mikrovaskuler sinusoid
Produksi matriks ekstraseluler
Input regulator ke regenerasi hati
Fungsi imunoregulasi
Fibrosit (saluran
portal)
Produksi matriks ekstraseluler
9
2.1.3.1 Metabolisme Karbohidrat
Monosakarida dari usus halus diubah menjadi glikogen dan disimpan
dalam hepar dalam bentuk glikogen. Glikogen hepar merupakan
timbunan glukosa dan dimobilisasi jika kadar glukosa darah menurun
dibawah normal. Dari tempat glikogen ini, glukosa dilepaskan secara
konstan ke dalam darah (glikogenolisis) untuk memenuhi kebutuhan
tubuh. Sebagian glukosa dimetabolisme dalam jaringan untuk
menghasilkan panas dan energi, sisanya diubah menjadi glikogen dan
disimpan dalam jaringan subkutan. Hepar juga mensintesis glukosa dari
protein dan lemak (Maulina, 2015).
2.1.3.2 Metabolisme Protein
Hepar sebagai tempat utama proses deaminasi oksidatif dan
transaminase. Siklus urea menyebabkan nitrogen diekskresi dalam
bentuk urea yang kurang toksik daripada gugus amino bebas dalam
bentuk ion amonium (Khalili & Burman, 2014).
2.1.3.3 Metabolisme Lemak
Sebanyak 80% kolesterol yang disintesis dalam tubuh dari asetil co-
a lewat jalur yang menghubungkan metabolisme karbohidrat dan lipid di
bentuk oleh hepar. Hepar dapat mensintesis, menyimpan, dan mensuplai
trigliserida. Hepar juga sebagai tempat produksi asam keto lewat jalur
oksidasi asam lemak (Khalili & Burman, 2014).
2.1.3.4 Sekresi Empedu
Hepar mensekresi cairan empedu sekitar 500 sampai 1000 mL setiap
hari. Cairan empedu dialirkan ke dalam saluran empedu yang terdiri dari
pigmen empedu dan asam empedu. Bilirubin dan biliverdin merupakan
pigmen empedu yang memberi warna tertentu pada feses, sedangkan
asam empedu yang dibentuk dari kolesterol membantu pencernaan lipid
(Maulina, 2015).
10
2.1.3.5 Solubilisasi, Transport dan Penyimpanan
Empedu merupakan bahan seperti deterjen yang disintesis oleh liver
untuk melarutkan bahan yang tidak larut dan ditransport masuk maupun
keluar tubuh. Ketika berada dalam sitoplasma hepatosit, banyak asam
empedu yang dikonjugasikan dengan gula untuk meningkatkan
kelarutannya. Dalam duodenum, asam empedu berfungsi untuk
melarutkan lipid dan absorpsi lemak. Sebagian besar enzim yang
memperantarai proses metabolisme untuk detoksifikasi dan ekskresi Obat
dan bahan-bahan lain berada dalam retikulum endoplasma hepatosit.
Biotransformasi terdiri dari 2 fase, fase I melibatkan reaksi reduksi
oksidasi yaitu terjadi penambahan gugus fungsional ke bahan yang
diekskresikan. Fase 2 merupakan peristiwa pengikatan Obat dengan
senyawa yang larut air seperti asam glukuronat atau glutation peptida
(Khalili & Burman, 2014).
Pada jalur detoksifikasi dan transpor empedu hepatosit dapat
mengubah senyawa dengan BM rendah yang hidrofobik seperti Obat dan
bilirubin menjadi senyawa yang lebih hidrofil dan larut air sehingga
dapat diekskresikan melalui ginjal. Untuk membawa lemak keluar dari
jaringan, lemak harus terdispersi secara halus sehingga dapat dibawa oleh
aliran darah. Untuk tujuan ini, hepatosit mensintesis suatu golongan yang
disebut apolipoprotein (Khalili & Burman, 2014).
2.2 Sirosis Hati
2.2.1 Definisi Sirosis Hati
Sirosis berasal dari bahasa Yunani, kirrhos yang berarti oranye atau kuning
kecoklatan dan osis yang berarti kondisi (Cheney, 2012). Sirosis hati adalah
stadium lanjut dari fibrosis hati yang secara histologis didefinisikan sebagai
keberadaan nodul regeneratif yang dikelilingi oleh fibrosis luas (jaringan parut
hati) (Jimenez et al., 2018).
Gambar 2.3 Sirosis hati (Sanyal et al., 2018)
11
2.2.2. Epidemiologi Sirosis Hati
National Center for Health Statistics (NCHS) dan Centers for Disease
Control (CDC) memperkirakan bahwa pada tahun 2009 penyakit hati kronis dan
sirosis mewakili penyebab kematian ke-12 secara keseluruhan dan penyebab
kematian ke lima untuk pasien berusia 45 hingga 54 tahun (Scaglione et al.,
2015). Sirosis hati meningkatkan angka morbiditas dan mortalitas di negara-negara
maju. Keseluruhan mortalitas sirosis di dunia diperkirakan 1.030.000 penduduk
per tahun. Sirosis hati merupakan penyebab keempat mortalitas di Eropa Tengah,
170. 000 penduduk per tahun di Eropa, dan 33.539 penduduk per tahun di
Amerika (Tsochatzis et al., 2014). Pada 2010, sirosis hati diperkirakan 2%
penyebab dari semua kematian global,yang setara dengan satu juta kematian
(Jimenez B et al., 2018). Satu studi cross-sectional berbasis populasi di Italia
menemukan 1,1% pada orang dewasa (Scaglione et al., 2015).
Di Indonesia, belum ada data resmi nasional tentang sirosis hepatik. Namun
dari beberapa laporan rumah sakit umum pemerintah, prevalensi sirosis hepatik
yang di rawat di bangsal penyakit dalam umumnya berkisar antara 3,6 - 8 4 % di
Jawa dan Sumatra, sedangkan di Sulawesi dan Kalimantan di bawah 1%. Secara
keseluruhan rata-rata prevalensi sirosis adalah 3,5 % dari seluruh pasien yang
dirawat di bangsal penyakit dalam atau rata-rata 47,4 % dari seluruh pasien
penyakit hepar yang dirawat dengan perbandingan pria dan wanita adalah 2,1 : 1
dan usia rata-rata 44 tahun (Lovena et al., 2017).
2.2.3 Etiologi Sirosis Hati
Sirosis memiliki beberapa penyebab. Secara geografis etiologi sirosis hati di
negara-negara barat yang paling sering terjadi meliputi konsumsi alkohol,
hepatitis C, dan penyakit hati lemak non alkoholik (NAFLD). Sedangkan untuk
wilayah Asia-Pasifik utamanya disebabkan oleh hepatitis B. Etiologi lain dari
sirosis hati yaitu penyakit bawaan seperti hemokromatosis dan penyakit wilson,
sirosis bilier primer, primary sclerosing cholangitis, dan hepatitis autoimun.
Beberapa kasus sirosis hati bersifat idiopatik atau kriptogenik (Zhou, et al., 2014).
Di Amerika Serikat konsumsi alkohol berlebihan, virus hepatitis kronis (jenis B
dan C) adalah penyebab paling umum (Dipiro et al., 2015). Di Indonesia
12
penyebab utama sirosis hepatis adalah Hepatitis B (40%-50%) dan Hepatitis C
(30%-40%) (Lovena et al., 2017).
2.2.4 Patofisiologi Sirosis Hati
Transisi dari penyakit hepar kronis menjadi sirosis melibatkan peradangan,
aktivasi sel-sel stellata hati disertai dengan fibrogenesis, angiogenesis, serta
kerusakan parenkim lesi yang disebabkan oleh penyumbatan di vaskuler. Proses
ini menyebabkan hepar mengalami perubahan mikrovaskuler yang ditandai
dengan remodeling sinusoidal (deposisi matriks ekstraseluler dari sel stellata yang
aktif berproliferasi), pembentukan intra hepatic shunt (karena angiogenesis dan
hilangnya sel parenkim), dan disfungsi endotel hepatik yang ditandai dengan
rilisnya vasodilator, yaitu nitric oxide. Pelepasan nitric oxide dihambat oleh
rendahnya aktivitas endothelial nitric oxide synthetase (hasil dari insufisiensi
fosforilasi protein kinase-B, kurangnya kofaktor, meningkatnya radical
scavenging akibat oxidative stress dan peningkatan konsentrasi inhibitor endogen
nitric oxide), bersamaan dengan peningkatan produksi vasokonstriktor (terutama
stimulasi adrenergik dan tromboksan A2, aktivasi renin-angiotensin sistem,
hormon antidiuretik dan endotelin) (Tsochatzis et al., 2014).
Peningkatan resistensi aliran darah portal adalah faktor utama terjadinya
hipertensi portal pada sirosis. Vasodilatasi splanknik dengan peningkatan aliran
darah ke dalam sistem vena portal akan memperburuk peningkatan tekanan portal.
Vasodilatasi splanknik merupakan respon adaptif terhadap perubahan
hemodinamik intrahepatik pada sirosis yang mempunyai mekanisme berlawanan
dengan peningkatan tonus pembuluh darah hepar. Pada sirosis tingkat lanjut,
vasodilatasi splanknik, sirkulasi hiperdinamik dan hipertensi portal mempunyai
peran utama dalam patogenesis asites dan hepatorenal syndrome. Vasodilatasi
sistemik selanjutnya menyebabkan ventilasi atau perfusi paru, pada kasus yang
berat dapat menyebabkan hepatopulmonary syndrome dan hipoksemia arteri.
Hipertensi portopulmonari ditandai dengan vasokonstriksi paru yang disebabkan
oleh disfungsi endotel paru-paru (Tsochatzis et al., 2014).
Pembentukan dan peningkatan ukuran varises karena faktor anatomi,
hipertensi portal dan aliran darah kolateral, faktor angiogenesis sehingga dapat
terjadi perdarahan varises. Pelebaran pembuluh darah mukosa lambung mengarah
13
pada terjadinya portalhypertensive gastropathy. Selain itu, shunting dari darah
portal ke sirkulasi sistemik melalui portosystemic kolateral adalah penentu utama
terjadinya ensefalopati, penurunan first-pass effect dari obat per oral dan
penurunan fungsi sistem retikuloendotelial. Kapilarisasi sinusoid dan intrahepatic
shunt juga penting karena perubahan ini mengganggu perfusi hepatosit yang
merupakan penyebab utama terjadinya gagal hepar (Tsochatzis et al., 2014).
Gambar 2.4 Perjalanan Penyakit Hati Kronik (Safithri, 2018)
2.2.5 Komplikasi Sirosis Hati
Gambar 2.5 Patogenesis Sirosis Hati (McCormick, 2011)
14
2.2.5.1 Hipertensi Portal
Komplikasi sirosis ini umumnya terlihat pada sirosis lanjut dengan temuan
khas vasodilatasi splanknik (Angeli et al., 2018). Hipertensi portal didefinisikan
sebagai gradien tekanan vena porta yang melebihi 5 mmHg. Hipertensi portal
terjadi karena kenaikan resistensi vaskuler intrahepatik. Tekanan darah dalam
sinusoid meningkat ditransmisikan kembali ke pembuluh darah portal. Karena
vena portal tidak memiliki katup, tekanan tinggi ini ditransmisikan kembali ke
vaskular lainnya, sehingga terjadi splenomegali, portal-to-systemic shunting, dan
komplikasi sirosis lainnya (Khalili & Burman, 2014).
2.2.5.2 Varises Esofagus
Varises esofagus adalah komplikasi sirosis yang ditandai dengan pembesaran
abnormal pembuluh darah vena di esofagus bagian bawah (Budhiarta & Fajarini,
2017). Aliran darah melalui hepar terhambat secara progresif, tekanan vena porta
hepatik yang meningkat mengakibatkan terjadinya penurunan ketebalan dinding
pembuluh darah dan pembesaran pembuluh darah vena portal, pada permukaan
usus dan esofagus bagian bawah. Pembesaran pembuluh darah ini disebut varises
gastroesofageal. (Khalili & Burman, 2014). Varises esofagus berkembang dengan
laju 5-8% per tahun pada pasien dengan sirosis dan hipertensi portal. Perdarahan
varises terjadi pada 25-35% dari pasien dengan sirosis dan varises esofagogastrik
yang besar. Sebagian besar episode perdarahan terjadi dalam tahun pertama saat
diagnosis varises ditegakkan. Pendarahan dari varises esophagus dikaitkan dengan
15-20% kematian dini dan menyebabkan sepertiga dari semua kematian
(Greenberger et al., 2016).
2.2.5.3 Asites
Lima faktor utama yang terlibat dalam patogenesis asites adalah hipertensi
portal, hipoalbuminemia, retensi natrium, retensi air, dan peningkatan
pembentukan getah bening. Sirosis disertai asites menyebabkan volume plasma
meningkat 50% di atas normal, indeks jantung meningkat seperti kadar renin
plasma dan norepinefrin. Sirosis menimbulkan portal hipertensi, yang
menghasilkan vasodilatasi arteri splanknik Vasodilatasi arteri splanchnic
kemudian menyebabkan penurunan volume darah sirkulasi arteri dan aktivasi
15
renin-angiotensin dan sistem saraf simpatis, yang menghasilkan vasokonstriksi
ginjal dan retensi natrium. Vasodilatasi splanknik menyebabkan peningkatan
tekanan kapiler dan permeabilitas yang berkontribusi terhadap asites. Dalam
kurun waktu 10 tahun sejak diagnosis ditegakkan, sekitar 50% pasien sirosis
mengalami komplikasi berupa asites. Pengembangan asites berhubungan dengan
prognosis buruk mengakibatkan kematian (Greenberger et al., 2016).
2.2.5.4 Spontaneous Bacterial Peritonitis (SBP)
SBP adalah infeksi asites yang terjadi tanpa adanya sumber infeksi yang
berdekatan dan tidak berasal dari inflamasi intraabdominal (Sanyal et al., 2018).
Spontaneous bacterial peritonitis (SBP) merupakan istilah yang digunakan untuk
menggambarkan infeksi akut asites, akumulasi cairan abnormal pada abdomen,
tanpa kejelasan sumber infeksi (Foris & Haseeb, 2019).
Mekanisme utama untuk infeksi SBP adalah translokasi bakteri dari lumen
usus ke kelenjar getah bening mesenteric dan lokasi ekstraintestinal lainnya.
Organisme gram negatif dari flora usus adalah penyebab paling sering.
Translokasi tersebut difasilitasi oleh shock pada sistem retikuloendotelial hati
serta perubahan permeabilitas usus akibat edema dan hipervolemia. Sistem
retikuloendotelial hati ditekan pada pasien dengan sirosis. Diakui bahwa 90%
fungsi sel retikuloendotelial berada dalam sel Kupffer, sel endotel dan sinusoidal.
Pirau intrapepatik dengan hipertensi portal mengakibatkan penurunan kontak
mikroorganisme dengan sel retikuloendotelial. Selain itu, ada penurunan aktivitas
fagositosis. Faktor tambahan termasuk penurunan aktivitas dalam cairan asites
dan penurunan fibronektin, yang berkorelasi langsung dengan kadar protein total
dalam cairan asites. Protein cairan asites dalam SBP secara khas kurang dari 1,0 g
/ dL. SBP dapat terjadi pada hingga 30% individu dan dapat memiliki tingkat
kematian di rumah sakit 25% (Longo & Fauci, 2010). Diagnosis ditegakkan
dengan peningkatan jumlah leukosit polimorfonuklear (PMN) cairan asites yang
meningkat lebih dari 250 sel / mL (Greenberger et al., 2016).
2.2.5.5 Ensefalopati Hepatik
Ensefalopati hepatic disebut juga portal systemic encephalopathy (PSE)
adalah kelainan neuropsikiatrik kompleks yang dihasilkan dari penyakit hati
16
parenkim kronis dengan kegagalan sel hati, sering bersamaan dengan pirau
sistemik portal, baik yang terjadi secara alami atau dibuat secara pembedahan.
Ensefalopati hepatic ditandai oleh perubahan kepribadian, tingkat kesadaran,
fungsi motorik, dan kognisi (Greenberger et al., 2016).
Patogenesis yang tepat dari ensefalopati hepatik tidak diketahui, akumulasi
produk nitrogen yang berasal dari usus dapat memiliki efek buruk pada fungsi
otak dan diyakini memainkan peran utama. Amonia yang diproduksi oleh usus
dapat memasuki sirkulasi sistemik sebagai akibat dari penurunan fungsi hati atau
pintasan sistemik portal. Begitu berada di jaringan otak, amonia dapat memblokir
saluran klorida, memodulasi reseptor γ-aminobutyric acid (GABA), meningkatkan
reseptor benzodiazepine perifer, dan meningkatkan glutamin otak. Beberapa bukti
yang mendukung konsep bahwa amonia memainkan peran kunci dalam
patogenesis ensefalopati hepatic adalah Kadar amonia meningkat pada darah
portal, darah tepi, dan cerebrospinal fluid (CSF) (Greenberger et al., 2016).
2.2.5.6 Sindrom Hepatorenal
Hepatorenal syndrome (HRS) adalah bentuk gagal ginjal fungsional tanpa
patologi ginjal yang terjadi pada sekitar 10% pasien dengan sirosis lanjut atau
gagal hati akut (Longo & Fauci, 2010). sirosis dan asites ditandai dengan aktivasi
dari renin-angiotensin dan sistem saraf simpatik, menghasilkan peningkatan kadar
renin, aldosteron, dan norepinefrin. Jika pasien sirosis berhasil menjalani diuresis,
kadar renin, aldosteron, norepinefrin, dan hormon antidiuretik semuanya
menurun. Namun, pada pasien dengan penyakit hati tahap akhir yang dipersulit
oleh sindrom hepatorenal, kadar renin, aldosteron, hormon antidiuretik, dan
norepinefrin akan meningkat secara terus-menerus meskipun ada upaya yang
keras dalam ekspansi volume. Hal ini terjadi biasanya terjadi karena penurunan
resistensi vaskular sistemik dan vasodilatasi arteriolar splanknik. Vasodilatasi
splanknik terjadi akibat peningkatan sintesis oksida nitrat (Greenberger et al.,
2016).
Kombinasi penurunan resistensi vaskular sistemik dan arterial underfilling
mengakibatkan stimulasi vasokonstriktor sistemik yang kemudian menyebabkan
vasokonstriksi ginjal. Pada tahap awal sirosis, peningkatan vasodilator sistemik
dan lokal dapat bertindak untuk menjaga fungsi ginjal. Vasodilator meliputi
17
prostasiklin, prostaglandin E2, nitrat oksida, atrium natriuretik peptida, dan sistem
kallikrein-kinin. Vasokonstriktor termasuk angiotensin II, nor-epinefrin,
neuropeptida Y, endotelin-1, adenosin, tromboksan A2, sisteinil leukotrien, dan
F2-isoprostan. Dengan perkembangan sindrom hepatorenal, penurunan produksi
vasodilator lokal dan peningkatan produksi vasokonstriktor, menyebabkan
vasokonstriksi ginjal intens yang mempengaruhi terutama korteks ginjal.
Golongan obat seperti NSAID, dan aspirin, berdasarkan penghambatan mereka
yaitu sintesis prostaglandin, dapat mengganggu produksi vasodilator lokal di
ginjal dan dapat episode sindrom hepatorenal pada pasien sirosis (Greenberger et
al., 2016).
2.2.6. Data Klinis dan Data Laboratorium Sirosis Hati
2.2.6.1 Data Klinis
Data klinis pada pasien sirosis hati, meliputi (Dipiro et al., 2015) :
a. Asymptomatic (Tanpa gejala)
b. Hepatomegali dan splenomegali
c. Pruritus, ikterus, eritema palmar, spider angiomata, dan hiperpigmentasi
d. Ginekomastia dan libido berkurang
e. Asites, edema, efusi pleura, dan kesulitan pernapasan
f. Malaise, anoreksia, dan penurunan berat badan
g. Ensefalopati
2.2.6.2 Data Laboratorium
Tes penilaian hati rutin meliputi alkaline phosphatase, bilirubin, aspartate
transaminase (AST), alanine aminotransferase (ALT), dan γ-glutamyl
transpeptidase (GGT). Penanda tambahan aktivitas sintetik hati meliputi waktu
albumin dan protrombin (PT) (Dipiro et al., 2015).
A. Aminotransferase
Cedera hepatoceluler menyebabkan enzim-enzim aminotransferase, AST
dan ALT meningkatkan konsentrasi dalam plasma. Konsentrasi tertinggi
dapat dilihat pada infeksi virus akut dan cedera hati iskemik atau beracun
(Dipiro et al., 2015). Dibanding ALT, AST lebih sering meningkat. Namun,
tidak selalu terjadi peningkatan pada pasien sirosis (Goldberg & Chopra,
2015).
18
B. Alkaline Fosfatase
Alkaline fosfatase biasanya meningkat pada sirosis, tetapi tidak lebih dari
dua sampai tiga kali nilai normal. (Goldberg & Chopra, 2015). Alkaline
phosphatase dan GGT meningkat pada plasma akibat gangguan obstruktif
yang mengganggu aliran empedu dari hepatosit ke saluran-saluran empedu
atau dari pohon empedu ke usus dalam kondisi seperti sirosis billier primer,
sklerosing kolangitis, kolestasis akibat obat, obstruksi saluran empedu,
penyakit hati kolestatik autoimun, dan kanker metastatik hati (Dipiro et al.,
2015).
C. Gamma-glutamil transpeptidase (GGT)
Pada penyakit hepar berkorelasi cukup baik dengan alkali fosfatase dan
bersifat spesifik. GGT biasanya jauh lebih tinggi pada penyakit hepar kronis
yang disebabkan oleh alkohol dibandingkan penyebab lain (Goldberg &
Chopra, 2015). Alkohol dapat menginduksi GGT mikrosomal hepatik, juga
bisa menyebabkan bocornya GGT dari hepatosit (Sudoyo, 2009).
E. Bilirubin
Kenaikan kadar serum bilirubin terkonjugasi menunjukkan bahwa hati
telah kehilangan kurang lebih setengah kapasitas ekskretorisnya. Saat alkali
fosfatase meningkat dan tingkat aminotransferase normal, tingginya bilirubin
terkonjugasi adalah tanda penyakit kolestasis atau reaksi obat kolestasis
(Dipiro et al., 2015). Jadi, pasien sirosis terkompensasi kadar bilirubin
normal. Namun, kadar akan meningkat sesuai progresivitas penyakit
(Goldberg & Chopra, 2015).
F. Albumin
Albumin merupakan substansi terbesar dari protein yang dihasilkan oleh
hati. Fungsi albumin adalah mengatur tekanan onkotik, mengangkut nutrisi,
hormon, asam lemak, dan zat sampah dari tubuh. Apabila terdapat gangguan
fungsi sintesis sel hati maka kadar albumin serum akan menurun
(hipoalbumin) terutama apabila terjadi lesi sel hati yang luas dan kronik
(Rosida, 2016). Kadar albumin dapat digunakan untuk mengetahui tingkat
keparahan sirosis. Hipoalbuminemia tidak spesifik untuk penyakit hepar,
karena kondisi lain juga dapat terjadi hipoalbuminemia seperti gagal jantung,
19
sindrom nefrotik, protein kehilangan enteropati, atau malnutrisi (Goldberg &
Chopra, 2015).
G. Trombositopenia
Trombositopenia merupakan tanda yang relatif umum pada penyakit hati
kronis dan ditemukan pada 15 % sampai 70 % dari pasien sirosis (Dipiro et
al., 2015). Penyebab utama adalah hipertensi portal dan splenomegali
kongestif. Penyerapan trombosit hingga 90% dapat disebabkan oleh
pembesaran limpa. Penurunan kadar trombopoietin juga dapat berkontribusi
terjadinya trombositopenia (Goldberg & Chopra, 2015).
H. Prothrombin time
Waktu protrombin menunjukkan tingkat disfungsi sintetis di hepar.
Prothrombin time yang memanjang berarti kemampuan hepar untuk
mensintesis faktor pembekuan berkurang akibat sirosis (Goldberg & Chopra,
2015).
I. Serum Natrium
Natrium serum menurun terutama pada sirosis dengan asites, dikaitkan
dengan ketidakmampuan ekskresi air bebas (Sudoyo, 2009).
2.2.7 Penatalaksanaan Sirosis Hati
2.2.7.1 Penatalaksaan Sirosis Hati dengan Hipertensi Portal dan Varices
Esofagus
Penatalaksanaan hipertensi portal dan varises esofagus meliputi tiga strategi
yaitu :
1. Profilaksis primer untuk mencegah perdarahan ulang
2. Pengobatan untuk pendarahan varises (variceal hemorrhage)
3. Profilaksis sekunder untuk mencegah perdarahan ulang pada pasien yang
sudah berdarah (Dipiro et al., 2015).
a. Profilaksis Primer
Pasien dengan sirosis disertai hipertensi portal harus di skrining
untuk varises pada diagnosis. Profilaksis primer adalah penggunaan agen
β-adrenergic blocking non selektif seperti propanolol atau nadolol. Agen
ini mengurangi tekanan portal dengan mengurangi aliran vena porta
melalui dua mekanisme yaitu penurunan curah jantung dan penurunan
20
aliran darah splanknik. Terapi dimulai dengan propanolol 20 mg dua kali
sehari atau nadolol 20 sampai 40 mg sekali sehari, dan dititrasi 2 sampai
3 hari untuk dosis maksimal ditoleransi untuk denyut jantung 55 sampai
60 denyut/menit. Terapi β-adrenergic bloker harus dilanjutkan tanpa
batas (Dipiro et al., 2015). Β-blocker non-selektif adalah satu-satunya
terapi farmakologis untuk profilaksis primer perdarahan varises. Sebuah
meta-analisis dari uji coba terkontrol secara acak telah menunjukkan
kemanjurannya dalam menurunkan tingkat variasi pertama dari 24%
menjadi 15%. Studi ini melibatkan pasien dengan sirosis Child-Pugh
kelas A dan B (Greenberger et al., 2016).
Gambar 2.6 Algortima manajemen untuk pendarahan profilaksis primer
(Greenberger et al., 2016)
b. Pendarahan akut varises (Acutevariceal hemorrhage)
Tujuan pengobatan awal meliputi (1) resusitasi volume darah yang
memadai (2) perlindungan jalan nafas dari aspirasi darah (3) koreksi
koagulopati yang signifikan dan / atau trombositopenia dengan plasma
beku dan trombosit segar (4) profilaksis terhadap SBP dan infeksi
lainnya (5) kontrol perdarahan (6) pencegahan perdarahan ulang, dan (6)
pemeliharaan fungsi hati (Dipiro et al., 2015).
Penting untuk dipertimbangkan intubasi elektif pada pasien dengan
perdarahan aktif untuk melindungi jalan nafas dari aspirasi, terutama jika
ada bersamaan ensefalopati hati (Greenberger et al., 2016). Stabilisasi
volume darah secara cepat untuk mempertahankan hemoglobin 8 g / dL
21
dengan volume ekspansi untuk mempertahankan tekanan darah sistolik
90 hingga 100 mmHg dan denyut jantung kurang dari 100 denyut / menit
dianjurkan (Dipiro et al., 2015).
Pasien dengan perdarahan akibat varises beresiko tinggi terkena
infeksi, termasuk infeksi spontaneous bacterial peritonitis. Seharusnya
antibiotik jangka pendek diberikan kepada semua pasien dengan sirosis
dan perdarahan varises akut. Norfloxacin (400 mg dua kali sehari selama
7 hari) atau antibiotik kuinolon dengan spektrum aktivitas yang serupa
(misalnya, levofloxacin, ciprofloxacin) adalah agen yang sering
digunakan. Di sebuah studi terbaru, ceftriaxone intravena (1 g / hari)
ditemukan lebih unggul daripada norfloxacin pada pasien dengan sirosis
yang sangat dekompensasi (Greenberger et al., 2016).
Segera setelah perdarahan varises diduga, pemberian agen vasoaktif
harus diinisiasi. Agen-agen ini termasuk terlipressin, dan somatostatin
atau analognya. Terlipressin memiliki efek samping yang lebih sedikit
daripada vasopresin dan merupakan satu-satunya agen farmakologis yang
mungkin memiliki manfaat bertahan hidup pada pasien dengan
pendarahan varises akut. Octreotide telah terbukti memiliki khasiat yang
sama dengan sclerotherapy dalam mengendalikan perdarahan dan aman
dengan sangat sedikit efek samping (Greenberger et al., 2016). Terapi
obat vasoaktif (biasanya octreotide) untuk menghentikan atau
memperlambat perdarahan secara rutin digunakan sejak awal dalam
manajemen pasien untuk memungkinkan stabilisasi pasien. Pengobatan
dengan octreotide harus dimulai sejak dini untuk mengendalikan
perdarahan dan memfasilitasi endoskopi. Octreotide diberikan sebagai
bolus IV 50 mcg diikuti oleh infus kontinu 50 mcg / jam dan dilanjutkan
selama 5 hari setelah perdarahan varises akut. Pasien harus dimonitor
untuk hipo atau hiperglikemia (Dipiro et al., 2015). Sebuah uji coba
prospektif multicenter terbaru yang membandingkan terlipressin,
somatostatin, dan octreotide menemukan bahwa ketiga nya sama efektif
dalam mengendalikan perdarahan varises akut dan mencegah episode
perdarahan dini (Greenberger et al., 2016).
22
c. Profilaksis Sekunder untuk pencegahan perdarahan ulang
Setelah perdarahan akut terlah terkontrol, pencegahan sekunder dari
perdarahan ulang adalah yang terpenting. Terapi lini pertama untuk
pencegahan perdarahan varises berulang adalah kombinasi terapi
farmakologis dan EVL. β-Blocker telah terbukti menurunkan tingkat
rebleeding dari 63% menjadi 42% dan mengurangi angka kematian dari
27% menjadi 20 % (Greenberger, et al., 2016). Propranolol dapat
diberikan 20 mg dua kali sehari atau nadolol 20-40 mg sekali sehari, dan
dititrasi setiap minggu untuk mencapai tujuan denyut jantung 55-60
denyut / menit atau dosis maksimal ditoleransi. Pasien harus
dimonitoring untuk bukti gagal jantung, bronkospasme, atau intoleransi
glukosa (Dipiro et al., 2015).
Pada pasien yang memiliki respons tidak lengkap terhadap
monoterapi β-blocker, dapat mempertimbangkan penambahan isosorbide
mononitrate. Dengan terapi kombinasi, angka rebleeding tampaknya
lebih rendah namun biaya lebih mahal (Greenberger et al., 2016). Jika
pasien tidak dapat mentolerir β-blocker, EVL adalah perawatan
endoskopi yang disukai untuk mencegah pencegahan perdarahan ulang.
Meskipun EVL lebih efektif daripada sclerotherapy dalam mencegah
rebleeding, risiko rebleeding setelah EVL etap tinggi, mencapai 30-50%
pada 2 tahun. Kombinasi dari β-blocker nonselektif dan EVL telah
terbukti hasilnya dalam tingkat penurunan perdarahan kembali varises,
transfusi yang lebih rendah, kambuhnya varises esofagus yang lebih
rendah, dan peningkatan kelangsungan hidup. Namun, ada sedikit
peningkatan efek samping dengan terapi kombinasi. Sesi EVL harus
dilakukan setiap 7–14 hari hingga penghapusan variceal lengkap tercapai.
Pengawasan dilakukan terus menerus setiap 6-12 bulan untuk menyaring
varian berulang (Angeli et al., 2018).
23
Gambar 2.7 Pencegahan Berulang Variceal Hemorrhage (Greenberger et
al., 2016)
2.2.7.2 Penatalaksaan Sirosis Hati dengan Asites
Tujuan terapeutik untuk pasien dengan asites adalah untuk mengontrol
asites, mencegah atau meringankan gejala terkait asites (dyspnea, nyeri perut
dan distensi), mencegah SBP dan sindrom hepatorenal. Untuk pasien dengan
asites, gradien albumin serum-asites harus ditentukan. Jika gradien serum-
asites albumin lebih besar dari 1,1 g / dL (> 11 g / L), pasien hampir pasti
memiliki hipertensi portal. Pengobatan asites sekunder akibat hipertensi portal
termasuk larangan mengkonsumsi alkohol, pembatasan natrium (hingga 2 g /
hari), dan terapi diuretik. Tujuan terapi tersebut untuk meningkatkan ekskresi
natrium urin hingga lebih dari 78 mmol / hari (Dipiro et al., 2015).
Diuretik hemat kalium seperti spironolactone diberi pada awal terapi
dalam dosis 100-200 mg / hari. Spironolactone dapat ditingkatkan secara hati-
hati hingga 400 mg / hari, tetapi perlu diperhatikan efek samping seperti
hiperkalemia dan asidosis metabolik. Dosis spironolakton tidak perlu dibagi
dan dapat diberikan sekali sehari. Efek spironolakton dapat dicatat sejak dini 3
hari setelah mulai pengobatan. Terapi yang efektif dengan spironolakton
biasanya menghasilkan pembalikan kelainan potassium sodium dalam urin,
dengan peningkatan ekskresi natrium hingga lebih dari 10 mEq / hari dan
menurun dalam sekresi kalium. Diuretik hemat kalium lainnya termasuk
amiloride dan triamterene, sering kali perlu ditambahkan. Loop diuretik, seperti
furosemide diberikan pada awalnya dengan dosis 20–40 mg / hari dan bisa
24
meningkat menjadi 160 mg. Torsemide diberikan dengan dosis 10–20 mg / hari
dan dapat ditingkatkan menjadi 80 mg / hari (Greenberger et al., 2016)..
2.2.7.3 Penatalaksanaan sirosis hati dengan Ensefalopati Hepatik
Pendekatan pertama untuk pengobatan HE bertujuan untuk mengidentifikasi
penyebab dan pencetusnya. Pendekatan pengobatan meliputi (1) pengurangan
konsentrasi amonia darah oleh pembatasan diet, dengan terapi obat yang bertujuan
menghambat produksi amoniak atau meningkatkan ekskresi amoniak (laktulosa
dan antibiotik) (2) penghambatan Reseptor γ-aminobutyric acid-benzodiazepine
oleh flumazenil. Untuk mengurangi konsentrasi amonia darah pada pasien
ensefalopati hepatik, asupan protein dibatasi (sambil mempertahankan asupan
kalori) sampai situasi klinis membaik. Asupan protein dapat dititrasi kembali
berdasarkan toleransi dengan total 1 hingga 1,5 g / kg / hari (Dipiro et al., 2015).
Pengobatan utama HE dengan laktulosa dan rifaximin, pengukuran amonia tidak
dapat digunakan sebagai acuan dan tidak digunakan untuk memulai atau
memandu pengobatan . Hindari obat penenang dan opiat; pembatasan protein
tidak bermanfaat (Ge dan Runyon, 2016).
Untuk mengurangi konsentrasi ammonia dalam hepatik ensefalopati,
dimmulai dengan laktulosa 45 mL oral setiap jam (atau 300 mL sirup laktulosa
dengan 700 mL air diberikan sebagai enema retensi, ditahan selama 60 menit)
sampai katarsis dimulai. Dosis kemudian diturunkan menjadi 15-30 mL secara
oral setiap 8-12 jam. Terapi antibiotik dengan metronidazole atau neomycin
dicadangkan untuk pasien yang belum merespons diet dan laktulosa. Rifaximin
550 mg dua kali sehari ditambah laktulosa dapat digunakan untuk pasien dengan
respon yang tidak adekuat terhadap laktulosa saja. Manajemen pada pasien
dengan sirosis yang kekurangan zinc diberikan suplementasi seng asetat (220 mg
dua kali sehari) direkomendasikan untuk jangka panjang (Dipiro et al., 2015)
2.2.7.4 Penatalaksanaan sirosis hati dengan Sindrom Hepatorenal
a. Tidakan Pencegahan
Sindrom hepatorenal berkembang pada pasien dengan infeksi bakteri
sistemik (SBP, hepatitis alkoholik berat atau keduanya) dan penting untuk
memberikan pengobatan profilaksis untuk menjaga terhadap
25
perkembangannya. Termasuk pemberian albumin intravena (1,0 g / kg) pada
hari pertama diagnosis SBP atau sepsis, dan dosis lain albumin (1,0 g / kg)
setelah 48 jam perawatan antibiotik. Telah dipastikan bahwa norfloxacin
sangat efektif dalam mencegah SBP berulang pada sirosis. Sebuah studi
menunjukkan bahwa profilaksis primer dengan norfloxacin tidak hanya
mengurangi kejadian SBP tetapi, juga menunda perkembangan sindrom
hepatorenal dan meningkatkan kelangsungan hidup. 68 pasien yang
memenuhi kriteria inklusi secara acak untuk menerima norfloxacin (400 mg /
hari) atau plasebo. Hasilnya, terjadi penurunan kemungkinan infeksi SBP
pada 1 tahun, penurunan kejadian sindrom hepatorenal, dan kelangsungan
hidup pada penerima norfloxacin dibandingkan dengan pasien yang
menerima plasebo saja (Greenberger et al., 2016)
b. Terapi Vasopresor
Terapi kombinasi dengan midodrine dan oktreotida mungkin efektif dan
aman sebagai terapi vasopresor. midodrine adalah vasokonstriktor sistemik
dan oktreotida adalah penghambat vasodilator endogen. Obat-obatan ini
seharusnya digunakan setidaknya 7-14 hari karena biasanya terjadi
peningkatan fungsi ginjal secara perlahan. Terapi harus diarahkan untuk
mengurangi kadar kreatinin serum hingga di bawah 1,5 mg / dL (130 µmol /
L). Dosis yang dianjurkan untuk midodrine biasanya 7,5 mg secara subkutan
tiga kali sehari, dan untuk oktreotida, 200 μg secara subkutan tiga kali sehari.
Pemberian albumin secara bersamaan (1,0 g / kg di hari pertama, diikuti oleh
20-40 g / hari) tampaknya diperlukan sebagai obat vasokonstriktor dengan
efek yang menguntungkan (Greenberger et al., 2016).
c. Transjugular Intrahepatic Shunt (TIPS)
Transjugular Intrahepatic Shunt sebagai pengobatan untuk hepatorenal
tipe 1 pada pasien sirosis mengikuti peningkatan hemodinamik sistemik
dengan kombinasi midodrine, oktreotida, dan albumin. Pasien sirosis dengan
sindrom hepatorenal tipe 1 menerima terapi medis hingga kreatinin serumnya
menurun menjadi kurang dari 1,5 mg / dL untuk setidaknya 3 hari diikuti oleh
TIPS jika tidak ada kontraindikasi. Pasien dinilai di 1 minggu dan pada 1, 3,
6, dan 12 bulan pasca-TIPS. Semua pasien menerima midodrine oral (2,5 mg
26
/ dL), oktreotida intravena (25 ug / jam), dan intravena albumin (50 g / hari).
Terapi medis dengan midodrine dan oktreotida menyebabkan peningkatan
pada 10 dari 14 pasien sebagaimana dibuktikan dengan penurunan kreatinin
serum dari 2,6 mg / dL menjadi 0,84 mg / dL. Penelitian ini menyimpulkan
bahwa TIPS adalah pengobatan yang efektif untuk sindrom hepatorenal tipe 1
pada pasien dengan sirosis asites dan pasien dengan peningkatan fungsi ginjal
menggunakan pengobatan kombinasi midodrine, oktreotida, dan albumin
(Greenberger et al., 2016)
d. Dialisis
Pasien dengan sindrom hepatorenal dapat diobati dengan dialysis. Hal ini
paling sering dilakukan ketika seorang pasien sedang menunggu untuk
transplantasi hati. Namun, sebagian besar pasien dengansindrom hepatorenal
yang menjalani dialisis tidak bertahan tanpa adanya transplantasi hati
(Greenberger et al., 2016).
2.2.8 Penilaiann Derajat Keparahan Sirosis Hati
Metode Child-Turcotte-Pugh score ataupun metode Model for End Stage
Liver Disease (MELD) score , sistem penilaian ini membantu menentukan derajat
disfungsi hati. Dikembangkan pada tahun 1970-an, sistem penilaian awalnya
dirancang untuk menilai risiko kematian pada pasien dengan sirosis menjalani
operasi shunt portosystemic untuk mencegah pendarahan varises. Penilaian
didasarkan pada bilirubin dan konsentrasi albumin, international normalized ratio
(INR), tingkat keparahan asites dan ensefalopati hepatik (HE) (Muir, 2015).
Penilaian MELD score yaitu:
Skor MELD
= [0,957 × log (serum kreatinin mg / dL)] + [0,378 × log (bilirubin mg /
dL)] + [1.120 × log (INR)] + 0.643
Dalam MELD, nilai laboratorium yang kurang dari 1 dibulatkan menjadi 1.
Skor rumus dikalikan dengan 10 dan dibulatkan ke bilangan bulat terdekat.
(Dipiro et al., 2015)
Penilaian derajat keparahan sirosis menggunakan metode Child-Turcotte- Pugh
score yaitu:
27
Tabel II.2 Kriteria dan Penilaian prognosis sirosis metode Child-Pugh pada
Penyakit Hati Kronik (Dipiro et al., 2015)
Keterangan : Kelas A: <7 poin; kelas B: 7-9 poin; kelas C: 10–15 poin
2.3 Spontaneous bacterial peritonitis (SBP)
2.3.1 Definisi Spontaneous bacterial peritonitis (SBP)
SBP adalah infeksi asites yang terjadi tanpa adanya sumber infeksi dan
ditandai oleh infeksi spontaneous cairan asites tidak berasal dari inflamasi
intraabdominal (Sanyal et al., 2018). Diagnosis Spontaneous Bacterial Peritonitis
(SBP) dilakukan berdasarkan hitungan sel polimorfonuklear (PMN) ≥ 250
sel/mm3 atau kultur dari cairan asites yang menunjukkan hasil positif oleh adanya
bakteri (Gurusamy et al., 2018). Sirosis disertai asites dan pertumbuhan bakteri
berlebih dilaporkan memiliki tingkat SBP yang lebih tinggi. SBP dapat terjadi
pada hingga 30% individu dan dapat memiliki tingkat kematian di rumah sakit
25% (Longo & Fauci, 2010).
Tabel II.3 Prediktor episode pertama SBP (Greenberger, et al., 2016)
Parameter Nilai Prediksi SBP
Bilirubin >2.5 mg/Dl
Ascitic fluid total protein <1.0 g/dL
Ascitic fluid total protein <1.0 g/dL
Serum Na <130
Serum Albumin <2.6
Platelets <100,00
28
2.3.2 Epidemiologi Spontaneous bacterial peritonitis (SBP)
Spontaneous bacterial peritonitis dapat terjadi pada hingga 30% dari pasien
dengan sirosis hati dengan asites (Longo et al., 2010). Prevalensi SBP pada pasien
rawat jalan adalah 1,5-3,5% dan 10% padapasien rawat inap (Angeli et al., 2018).
SBP adalah salah satu komplikasi yang paling serius dari sirosis, dengan angka
kematian antara 20% hingga 40% walaupun ada pengobatan dengan antibiotik
(Sunjaya, 2019).
Studi penelitian World Journal of Medical Sciences menyebutkan usia pasien
Sirosis hepatis disertai SBP berkisar dari 51 tahun hingga 65 tahun (rata-rata
58,67 ± 6,8). Jumlah laki-laki (66,7%) secara signifikan lebih tinggi daripada
perempuan (33,3%) dan ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh
Hanouneh et al. yang mempelajari 404 pasien, rata-rata usia pasien yang terdaftar
adalah 54,3 ± 9,7 tahun, dengan 143 pasien wanita (35,4%) dan 261 pasien pria
(64,6%). Mengenai manifestasi klinis yang diteliti pasien, temuan klinis yang
paling umum adalah nyeri perut (73,3%) ini bertepatan dengan Webster et al.
yang menyatakan bahwa tanda klinis paling signifikan untuk SBP adalah nyeri
tekanan perut. Mengenai organisme yang diisolasi, dari 60 pasien untuk
Escherichia coli didapatkan pada 36 pasien (60%), Staphylococcus koagulase
negatif pada 7 pasien (11,7%), Citrobacter pada 7 pasien (11,7%), Klebsiella pada
4 pasien ( 6,7%) Proteus pada 2 pasien ( 3,3%), Enterococci pada 2 pasien
(3.3%) dan Staphylococcus koagulase positif pada 2 pasien (3,3%) (Zakria et al.,
2016).
2.3.3 Etiologi Spontaneous bacterial peritonitis (SBP)
Spontaneous bacterial peritonitis (SBP) lebih dari 95% terjadi akibat
translokasi bakteri (Bruns T et al, 2015). Escherichia coli, non-enterococcal
streptococci dan Klebsiella menyebabkan sebagian besar episode SBP (Arroyo
dan Fernandes, 2017). Kokus Gram-positif terutama Streptococcus sp. yaitu
Streptococcus pneumoniae terjadi pada 20% kasus. Bakteri anaerob terjadi pada <
5% dari pasien (Dancygier, 2014).
29
2.3.4 Patofisiologi Spontaneous bacterial peritonitis (SBP)
Mekanisme terjadinya SBP yaitu translokasi bakteri yang merupakan
perpindahan bakteri usus ke kelenjar getah bening mesenterika kemudian melalui
sirkulasi darah akan menginfeksi cairan asites. Tiga mekanisme utama terjadinya
translokasi bakteri yaitu disfungsi imun, pertumbuhan bakteri usus berlebih dan
disfungsi barier usus (Horinek dan Fish, 2009). Pada sirosis tahap lanjut, motilitas
usus berkurang karena hiperaktifasi sistem saraf simpatis yang menyebabkan
pertumbuhan bakteri usus yang berlebihan. Pada pasien juga terjadi peningkatan
permeabilitas mukosa usus akibat dari hipertensi portal dan proinflamasi lokal
terutama dipicu oleh rilisnya endotoksin. Selain itu pada pasien terjadi disfungsi
imun sehingga neutrofil dan fagositosis oleh makrofag berkurang. Hal ini karena
fungsi efektor sel imunokompeten beredar dalam darah, yang membatasi
kemampuan bakteriostatik serum (Barreales dan Fernandez, 2011).Protein cairan
asites dalam SBP secara khas kurang dari 1,0 g / dL (Greenberger et al., 2016).
Gambar 2.8 Patofisiologi SBP (Spontaneous Bacterial Peritonitis)
(Bunchorntavakul et al., 2016)
30
Translokasi bakteri dari lumen usus adalah terutama dianggap sebagai
faktor pengembangan SBP yang disebabkan bakteri gram negatif gram aerob
dari enterobacteriaceae (60%) dilaporkan sebagai penyebab dominan dari SBP
(Bibi et al., 2015). Translokasi bakteri adalah suatu proses dimana adanya
bakteri enterik, bakteri tersebutmemiliki endotoksin dan DNA yang dapat
masuk melewati sawar mukosa usus untuk menginfeksi kelenjar getah bening
mesenterika, dengan memasuki aliran darah dan kemudian menuju cairan
asites. Mekanisme yang diserang bakteri pada pasien sirosis adalah intestinal
stabilitas flora, integritas epitel usus, dan pertahanan kekebalan host. Pada
sirosis lanjut, mortilitas usus sangat berkurang yang mengarah ke usus
sehingga terjadi pertumbuhan bakteri berlebih (Barreales et al., 2011). Adanya
kerusakan struktural dan fungsional dari mukosa usus terhadap infeksi
menekan kekebalan sistem pada pasien dengan sirosis hati. Hal ini akan lebih
memicu terjadi translokasi bakteri karena adanya endotoksin dan DNA dari
bakteri padaTranslokasi bakteri, disfungsi imun lokal dan sistemik, terutama
aktivitas opsonic menurun dalam cairan ascites merupakan elemen utama
dalam patogenesis SBP. Oleh sebab itu, mikroflora usus termasuk E. coli,
Klebsiella spp., Enterobacter spp., Enterococci, dan Streptococcus adalah
organisme penyebab umum (Bunchorntavakul et al., 2016).
Beberapa faktor yang berkaitan dengan patogenesis SBP (Spontaneous
Bacterial Peritonitis) sangat erat hubungannya setelah terjadinya asites,
dimana disisi lain adanya pertumbuhan bakteri berlebih di usus, perubahan
permeabilitas usus, translokasi bakteri dan imunodefisisensi (Lata et al., 2009).
Bakteri yang diisolasi dari cairan asites 90 % adalah bakteri usus, hal ini
diperkuat dugaan bahwa saluran pencernaan merupakan sumber kontaminasi
bakteri. Translokasi bakteri merupakan proses dimana bakteri yang secara
normal berada pada sistem saluran pencernaan melewati mukosa, berkolonisasi
di kelenjar limfe dan mencapai sirkulasi sistemik melalui sirkulasi limfatik
mesenterik (Caruntu dan Benea, 2006). Diawali dengan pertumbuhan bakteri
di usus yang disebabkan motilitas usus dan mungkin pada pasien sirosis
permeabilitas usus meningkat dengan hipertensi portal dan edema saluran
cerna. Kemudian diikuti dengan perubahan permebilitas usus. Perubahan
31
permeabilitas usus dapat disebabkan oleh hipertensi portal, penurunan aliran
darah mukosa (Lata et al., 2009).
2.3.5 Penatalaksanaan Spontaneous bacterial peritonitis (SBP)
2.3.5.1 Terapi Albumin
Albumin pada sirosis dengan SBP berfungsi untuk mengurangi kejadian
cedera ginjal akut dan mortalitas saat diberikan bersamaan dengan antibiotik
(Paine, 2019). Penggunaan albumin intravena dalam pengobatan SBP didukung
oleh uji coba terkontrol secara acak yang menunjukkan bahwa antibiotik dan
albumin intravena diberikan pada dosis 1,5 g / kg pada saat diagnosis dan
kemudian 1,0 g /kg pada hari ke 3 mengurangi kejadian gangguan ginjal dan
meningkatkan kelangsungan hidup pasien dibandingkan dengan antibiotik yang
diberikan sendirian. Kejadian ini sangat penting pada pasien dengan serum
bilirubin ≥4 mg / Dl (Greenberger et al., 2016). Perkembangan disfungsi ginjal
berkorelasi kuat dengan peningkatan aktivitas renin plasma, yang menemukan
bahwa aktivasi RAAS sejajar dengan pengembangan cedera ginjal akut dalam
sirosis disertai SBP, dan hal ini dapat dikurangi dengan pemberian albumin
intravena (Paine, 2019).
2.3.5.2 Terapi Antibiotik Empiris
Terapi empiris diindikasikan sebelum didapatkan hasil kultur, saat nilai
PMN cairan asites ≥ 250 sel/mm3. Antibiotik yang berpotensi nefrotoksik
(aminoglikosida) sebaiknya tidak diberikan sebagai terapi empiris (Patidar &
Sanyal, 2018). Sefalosporin generasi ketiga banyak digunakan pada pasien SBP
karena kerjanya yang mencakup kebanyakan bakteri kausatif penyebab SBP dan
konsentrasi cairan asites tinggi selama terapi (Ginès et al., 2010; Emmanuel &
Inns, 2014). Studi lain menunjukkan bahwa amoksisilin/asam klavulanat sebagai
terapi empiris sama efektifnya dengan sefalosporin generasi ketiga pada beberapa
pasien. Namun, hanya satu perbandingan studi dalam sampel kecil sehingga perlu
studi yang lebih besar untuk konfirmasinya (Yecies & Inagami, 2013).
Siprofloksasin yang diberikan secara IV selama 7 hari, atau secara IV selama 2
hari diikuti secara oral selama 5 hari memberikan hasil perbaikan yang serupa
dengan sefotaksim dalam penanganan SBP, tetapi dengan biaya yang signifikan
lebih besar. Namun, penerapan switch therapy (seperti penggunaan antibiotik
32
secara IV diawal, diikuti secara oral setelahnya) menjadikan siprofloksasin lebih
efektif secara biaya dibandingkan dengan sefotaksim yang digunakan secara IV
terus-menerus. Ofloksasin oral memberikan hasil yang serupa dengan sefotaksim
secara IV pada SBP yang tidak kompleks, tanpa gagal ginjal, hepatik ensefalopati,
pendarahan gastrointestinal, ileus, dan syok (Ginès et al., 2010).
2.3.5.3 Terapi Antibiotik Profilaksis
Pasien yang telah melewati episode SBP berkemungkinan besar untuk
mengalami SBP kambuhan (sekitar 70% dalam 1 tahun). Pemberian norfloksasin
secara oral dengan dosis 400 mg/hari memberikan hasil signifikan lebih rendah
dalam rekurensi terutama dari bakteri gram-negatif. Oleh karena itu, perlu
pemberian antibiotik profilaksis untuk mencegah kekambuhan SBP. Pemberian
kuinolon secara mingguan tidak direkomendasikan karena kurang efektif
mencegah kekambuhan SBP dan dikaitkan dengan resisten dari kuinolon itu
sendiri. Profilaksis diberikan secara terus menerus sampai asites hilang, pasien
melakukan transplantasi hati, atau kematian (Garcia-Tsao, 2018). Penatalaksanaan
pada pasien dengan riwayat SBP yaitu diberikan norfloksasin sebagai profilaksis
untuk selektif dekontaminasi usus. Profilaksis juga dapat diberikan pada pasien
tanpa riwayat SBP jika kadar protein asitesnya rendah (<1 g/dL) dan mengalami
gagal hati lanjut (skor Child-Pugh ≥9 dan kadar bilirubin serum ≥3 mg/dL), atau
mengalami disfungsi sirkulasi (kadar kreatinin serum ≥1,2 mg/dL, kadar BUN ≥
25 mg / dL, atau kadar natrium serum ≤130 mEq/L) (Sanyal, 2017).
Trimethoprim–sulfametoksazol juga dapat diberikan sebagai profilaksis selain
norfloksasin . Guidelines dari AASLD memberikan catatan pada antibiotik
dengan dosis intermiten, meskipun menunjukkan keefektifannya sebagai preventif
SBP, mungkin tidak lebih efektif dari dosis harian, sehingga dosis harian lebih
dianjurkan. Regimen dosis intermiten sebagai profilaksis SBP pada pasien sirosis
dengan asites disinggung dalam bagian diskusi guidelines namun tidak
dimasukkan sebagai rekomendasi akhir. Regimen dosis intermiten meliputi 5
dosis trimethoprim–sulfametoksazol (160 mg/800 mg) per minggu atau
siprofloksasin oral satu kali per minggu (Generali & Cada, 2015).
33
2.3.5.4 Antibiotik Penilisin
Seperti antibiotik β laktam lainnya, penisilin bekerja menghambat
pertumbuhan bakteri dengan mengganggu reaksi transpeptidase dari sintesis
dinding sel bakteri (Beauduy & Winston, 2018). Resistensi pada penisilin
utamanya disebabkan oleh produksi β-laktamase (penisilinase). Organisme yang
mampu memproduksi penisilinase termasuk Staphylococcus aureus, Escherichia
coli, Pseudomonas aeruginosa, Neisseria gonorrhoeae, dan Bacillus, Proteus, dan
spesies Bacteroides. Resisten juga dapat terjadi saat bakteri kekurangan reseptor
atau PBP lainnya, tidak tembus terhadap penisilin, tidak memiliki dinding sel,
atau secara metabolik tidak aktif (Rosenfeld & Loose, 2014). Menurut Ricart et al
amoksisilin-asam klavulanat efektif sebagai alternatif dalam terapi SBP (Shi et al.,
2017). Penisilin lain (piperasilin-tazobaktam 3.375 g setiap 6 jam IV untuk
dewasa dengan fungsi ginjal normal) juga dapat dijadikan sebagai opsi terapi
untuk SBP (Jameson et al., 2018).
2.3.5.5 Antibiotik Kuinolon
Kuinolon merupakan salah satu antibakteri yang paling sering diresepkan
di dunia dan digunakan untuk mengobati berbagai infeksi bakteri pada manusia.
Kuinolon sudah digunakan secara klinis sejak tahun 1960-an. Karena indikasi
yang luas (dan digunakan berlebihan), sejak 1990-an jumlah strain bakteri yang
resisten terhadap kuinolon semakin banyak. Mekanisme kerja kuinolon
menghambat sintesis bakteri dengan menghambat enzim DNA topoisomerase II
(DNA girase) dan topoisomerase IV. Enzim DNA girase yang dihambat
mencegah relaksasi DNA superkoil positif (pilinan positif yang berlebihan) yang
diperlukan untuk transkripsi pada saat replikasi DNA. Sedangkan penghambatan
pada enzim topoisomerase IV berperan dalam pemisahan DNA baru yang
terbentuk setelah proses replikasi DNA selesai. Aksi tersebut menyebabkan
kerusakan pada DNA dan kematian sel (Aldred et al., 2014; Beauduy & Winston,
2018). Salah satu guidelines terapi SBP yaitu antibiotik golongan kuinolon,
seperti norfloksasin, siprofloksasin, dan ofloksasin (Generali & Cada, 2015; Ngo
& Gantioque, 2017; Runyon, 2016). Pada sebuah studi, ofloksasin oral teruji
efektif sebagaimana sefotaksim parenteral untuk terapi SBP pada pasien yang
tidak mengalami muntah, syok, bleeding, ataupun gagal ginjal. Dosis yang
34
digunakan 400 mg dua kali sehari. Studi lain menunjukkan keefektifan
siprofloksasin IV dengan dosis 500 mg setiap 12 jam selama 5 hari. Namun,
karena ada kemungkinan resisten dari fluorokuinolon pada pasien dalam
mencegah SBP, terapi empiris dengan fluorokuinolon perlu dihindari (Runyon,
2016).
2.4 Tinjauan tentang Obat Golongan Sefalosporin
2.4.1 Sefalosporin
Sefalosporin adalah antibiotik bakterisida yang secara struktural terkait
dengan penisilin yang pertama kali berasal dari jamur Cephalosporum
acremonium. Struktur dasar sefalosporin mirip dengan penisilin dengan cincin
tiazolidine dan beta-laktam, yang memiliki rantai samping variable (NCBI, 2017).
Antibiotik sefalosporin pertama kali diisolasi oleh Guiseppe Brotzu pada tahun
1945 dari jamur Cephalosporium acremonium . Meskipun obat itu pertama kali
diisolasi oleh Guiseppe Brotzu, Edward Abraham yang mendapatkan hak untuk
mematenkannya karena telah mampu mengekstraksi senyawa. Sefalosporin
mengandung 7-aminocephalosporanic acid nucleus dan rantai samping yang
mengandung 3,6-dihydro-2 H-1,3- thiazane rings. Sefalosporin dibagi lagi
menjadi 5 generasi yang disesuai dengan target organisme mereka dan
efektifitasnya dalam melawan Gram-negatif pathogen (Ebimieowei dan
Ibemologi, 2016).
Gambar 2.9 Struktur Kimia Sefalosporin (Ebimieowei dan Ibemologi, 2016)
Sefalosporin telah menjadi bagian formulasi antibiotik utama di beberapa
rumah sakit. Popularitas sefalosporin semakin meningkat karena memiliki
aktivitas spektrum luas serta toksisitas dan alergenik lebih rendah dibandingkan
dengan kelas antibiotik lainnya. Pemakaian antibiotik di dunia pada tahun 2010
35
telah meningkat lebih dari dua kali dibandingkan pada tahun 2000, sehingga
sefalosporin menempati peringkat kedua dengan kategori kelas antibiotik yang
paling banyak digunakan di dunia. Pada tahun 2016, World Health Organization
(WHO) bahkan telah mengkategorikan sefalosporin sebagai senyawa antimikroba
sangat penting dengan prioritas tertinggi karena jumlah dan frekuensi penggunaan
yang tinggi pada pasien yang terkena infeksi (Indria dan Ahmad, 2017).
2.4.2 Mekanisme Kerja Sefalosporin
Sefalosporin merupakan antibiotik spektrum luas yang digunakan dalam
pengobatan manusia untuk membunuh bakteri replikasi dengan memblokir
biosintesis peptidoglikan (Aube et al., 2018). Sefalosporin berikatan dengan
pengikat penisilin protein pada bakteri dan menghambat sintesis dinding sel
bakteri, menyebabkan lisis sel secara cepat khususnya pada pertumbuhan
organisme (NCBI, 2017).
Sefalosporin bersifat bakterisidal dan memiliki mekanisme aksi yang sama
seperti beta-laktam lainnya seperti penisilin. peptidoglikan adalah zat paling
penting untuk integritas struktural dinding sel. Sefalosporin mengganggu sintesis
lapisan peptidoglikan dari dinding sel bakteri dengan cara mengikat enzim yang
disebut penicillin binding proteins (PBP). PBP sangat penting untuk sintesis
dinding sel bakteri. Inti cephalosporin dapat dimodifikasi untuk mendapatkan
generasi yang berbeda. Berbagai generasi dapat ditambahkan ke cincin beta-
laktam atau cincin dihydrothiazine yang dapat mengubah aktivitas dan sifat
farmakokinetik (Shahbaz, 2017).
Gambar 2.10 Mekanisme Kerja Antibiotik Sefalosporin (Shahbaz, 2017)
36
2.4.3 Klasifikasi Sefalosporin
Antibiotik sefalosporin telah diproduksi dan dikategorikan menjadi
beberapa generasi berdasarkan aktivitas spektrumnya sebagaimana ditampilkan
pada tabel di bawah ini :
Tabel II.4 Generasi Antibiotik Sefalosporin (Indria dan Ahmad, 2017)
Generasi Aktivitas Spektrum Contoh Rute
1 Aktif terhadap organisme
gram-positif
Cefazolin
Cephalothin
Cephapirin
Cephalexin
Cefadroxil
Cephradine
i.v./i.m.
i.v./i.m.
i.v./i.m.
p.o.
p.o.
p.o.
2 Aktif terhadap organisme
gram-positif dan gram-negatif
Cefamandole
Cefuroxime
Cefoxitin
Cefotetan
Cefmetazole
Cefaclor
Cefprozil PO
Cefpodoxime
Loracarbef
i.v./i.m.
i.v./i.m.
i.v./i.m.
i.v/i.m.
i.v.
p.o.
p.o.
p.o.
p.o.
3
Aktif terhadap organisme
gram positif (lebih rendah
dibanding generasi 1 dan 2),
tetapi lebih aktif terhadap
organisme gram-negatif
Cefotaxime
Ceftriaxone
Ceftizoxime
Ceftazidime
Cefoperazone
Cefixime
i.v./i.m.
i.v./i.m.
i.v./i.m.
i.v./i.m.
i.v./i.m.
p.o.
4
Aktif terhadap organisme
grampositif (sama seperti
generasi 1), resisten terhadap
beta laktamase
Cefipime i.v.
5
Aktif terhadap organisme
grampositif, termasuk
multidrug-resistant
Staphylococcus aureus
Ceftaroline
Ceftobiprole
i.v.
i.v.
Keterangan: i.v..: intravena, i.m.: intramuskular, p.o.: peroral
37
a. Generasi Pertama
Sefalosporin generasi pertama memiliki aktivitas yang baik melawan
Gram-Bakteri positif termasuk Staphylococci aureus yang memproduksi
penisilinase dan Staphylococci epidermidis. Keunggulannya dari
penisillin adalah aktivitasnya terhadap bakteri penghasil penisilinase.
Aktivitasnya relatif sederhana terhadap bakteri Gram-negatif, golongan
ini efektif terhadap E. coli , Klebsiella pneumonia, Proteus mirabilis dan
spesies Shigella , yang tidak menghasilkan β-laktamase (Dowling et al.,
2017).
b. Generasi Kedua
Antibiotik ini umumnya aktif melawan kelompok organisme yang
sama seperti kelas satu sefalosporin. Mereka lebih efektif melawan
Haemophilus influenza dan gram negatif tertentu seperti bakteri anaerob
(Shahbaz, 2017). Stabilitas β-laktamase meningkat dari sefalosporin
generasi kedua dan dapat memberikan efektifitas yang lebih baik
(Dowling et al., 2017).
c. Generasi Ketiga
Sefalosporin generasi ketiga memiliki khasiat dan tolerabilitas yang
baik, namun kurang efektif terhadap organisme Gram-positif,
dibandingkan dengan sefalosporin generasi pertama. Cefotaxime
memiliki aktivitas tertinggi melawan Streptococci, tetapi yang lain
memiliki aktivitas lebih sedikit. Sefalosporin generasi ketiga memiliki
aktivitas in vitro yang lebih besar terhadap organisme Gram-negatif,
khususnya mereka yang memiliki β-laktamase jika dibandingkan dengan
generasi sebelumnya. Target mikroba khas cefpodoxime dan ceftiofur
termasuk E. coli, Klebsiella, Acineobacter, Serratia, Enterobacter,
Proteus, Providencia, Morganella dan Neisseria . Hanya ceftazidime dan
cefoperazone yang memiliki aktivitas baik melawan Pseudomonas
aeruginosa dengan ceftazidime memiliki aktivitas terbesar (Dowling et
al., 2017).
38
d. Generasi Keempat
Golongan ini lebih resisten terhaadap hidrolisis oleh β-laktamase.
Sefepim memilii aktifitas yang sangat baik dalam membunuh P
aaeruginosa, Enterobacteriaceaae, S aureus, dan S pneumonia. Generasi
ini juga aktif dalam membunuh Haemophilus dan Neisseria sp. Dapat
menembus cairan cerebrospinal, dieksresi melalui ginjal dan memiliki
waktu paruh 2 jam (Katzung, 2014).
e. Generasi Kelima
Sefalosporin generasi kelima adala spektrum luas yang juga aktif
melawan infeksi Staphylococcus aureus yang kebal terhadap metisilin
(Hughes, 2017).
2.4.4 Mekanisme Resistensi Sefalosporin
Ada tiga faktor independen yang menentukan kerentanan bakteri terhadap
antibiotik β-laktam: 1) Produksi β-laktamase, 2) penurunan penetrasi melalui
membran sel luar untuk mengakses enzim dinding sel, 3) resistensi dari target
Penisilin Binding Protein (PBP) untuk mengikat oleh agen β-laktam. Mekanisme
utama resistensi terhadap Agen antimikroba β-laktam dalam basil Gram-negatif
adalah produksi enzim hidrolitik β-laktamase yang mengganggu ikatan amida dari
empat cincin khas β-laktam , menjadikan antimikroba tidak efektif (Dowling et
al., 2017). Mutasi dalam PBP dapat mengurangi penetrasi antibiotik yang
memiliki cincin β-laktam untuk bakteri tertentu. Konsentrasi obat yang
berlebihan sangat penting untuk menghambat pertumbuhan jenis bakteri tersebut
sehingga, PBP bermutasi untuk menghambat pertumbuhan bakteri (Shahbaz,
2017).
2.4.5 Farmakodinamik dan Farmakokinetik Sefalosporin
Sefalosporin memiliki farmakologi yang sangat sederhana dibandingkan
dengan agen lain. Sebagian besar sefalosporin dalam bentuk parenteral memiliki
waktu paruh 1-2 jam. Ekskresi sefaloporin terjadi melalui urin. Beberapa agen
memiliki waktu paruh panjang seperti ceftriaxone dan ekskresi terjadi di dalam
empedu (NCBI, 2017).
39
Sefotaksim dimetabolisme dalam hepar 40-50% menjadi metabolit aktif
deasetilasi. Waktu paruh sefotaksim pada pasien sirosis menjadi tigakali lipat
dibanding pada pasien tanpa gangguan hepar dan total klirens sefotaksim juga
menurun akibat gangguan metabolisme di hepar. Seftriakson mengikat protein
dengan baik serta disekresi dalam empedu (30-60% total klirens). Dosis tunggal
seftriakson pada pasien sirosis dengan Child-pugh B atau C tidak memiliki
perbedaan waktu paruh dan klirens yang signifikan dibanding subyek sehat. Pada
pasien sirosis dengan atau tanpa asites juga tidak ditemukan perbedaan waktu
paruh yang signifikan namun fraksi obat terikat dalam plasma meningkat sebesar
84% pada pasien sirosis tanpa asites dan 222% pada pasien dengan asites. Volume
distribusi dan total klirens obat meningkat sebesar 35-60% pada pasien sirosis
dengan asites. Para peneliti menunjukkan satu outlier bahwa pasien sirosis dengan
insufisiensi ginjal memiliki klirens obat terikat hanya 0,752 ml/min/kg sehingga
penurunan dosis seftriakson tidak diperlukan karena indeks terapinya lebar.
Penurunan dosis sebesar 50% dapat dipertimbangkan pada pasien dengan penyakit
hepar yang berat. Penyesuaian dosis juga direkomendasikan pada pasien
gangguan hepar bersamaan dengan gagal ginjal (Halilovic dan Heintz, 2014).
2.4.6 Interaksi Sefalosporin
Beberapa interaksi antibiotik sefalosporin terhadap obat lain :
Tabel II.5 Interaksi antibiotik golongan sefalosporin (Tatro, 2009 ; Baxter, 2010
; Pisciteli, 2011)
Obat Interaksi Tingkat Kejadian Derajat
keparahan
Suplemen
kalsium
Pembentukan
endapan kalsium di
paru paru atau
ginjal bila diberikan
dengan seftriakson
Probable
Mayor
Metotreksat
Seftriakson,
Seftazidim
meningkatkan
ekskresi
metotreksat
Possible Mayor
Aminoglikosida
Dapat
meningkatkan
nefro-toksisitas
Suspected Moderat
40
2.4.7 Kontraindikasi Sefalosporin
Sefalosporin dikontraindikasikan terhadap mereka yang alergi terhadap
golongan sefalosporin. Penggunaan sefalosporin seperti ceftriaxone tidak boleh
diberikan pada neonatus dibawah 28 hari atau diatas 28 hari dengan keadaan
hyperbilirubinemia (Betty, 2016).
2.4.8 Efek Samping Sefalosporin
Alergi sefalosporin yang paling sering dilaporkan adalah manifestasi kulit
(1-5%), seperti erupsi kulit makulopapular atau morbiliformis, diikuti oleh
demam (0,5-0,9%), eosinofilia (2–10%) dan anafilaksis (<0,1%). Mengenai
alergi sefalosporin yang serius, Macy dan Contreras melaporkan kejadian
anafilaksis atau reaksi merugikan kulit yang serius terhadap oral atau parenteral
sefalosporin menjadi <0,0001% dari data klaim elektronik dari 3,9 juta pasien
dan 1,3 juta kursus terapi sefalosporin (Chaudhry et al., 2019).
2.4.9 Penggunaan Teurapetik Sefalosporin pada SBP
Golongan sefalosporin yang digunakan pada pasien sirosis dengan infeksi
bakteri adalah generasi ketiga yaitu sefotaksim dan seftriakson. Antibiotik ini
memiliki aktivitas kurang aktif terhadap kokus Gram-postif dibanding generasi
I, tapi lebih aktif terhadap Enterobacteriaceae, termasuk strain yang
memproduksi ß-laktamase (Brunton, 2011).
Tabel II.6 Obat-obat Sefalosporin pada Spontaneus Bacterial Peritonitis (SBP)
(Badawy AA, 2013).
Golongan
Antibiotika Antibiotika Rute Dosis Bakteri Patogen
Sefalosporin
Cefotaxime I.V. 2g/8 jam E.coli, Klebsillia spp, S.
Aures,Streptococci,
bacteroides, Clostridium,
anaerob kokus gram positif
Ceftriaxone I.V.
1-2 g/24jam Staphylococcus
aures,Streptococcus spp,
S.Pneumania, E.coli,
H.Influenza, S.Epidermidis,
Pseudomonas aureginosa,
Clostridium Eubacterium,
Peptococcus,Proteus, Serratia
Cefonicid I.V. 2 g/12 jam Staphylococcus aures,
Streptococcus spp,
S.Pneumania, E.Coli,
H.Influenza, S.Epidermidis
41
2.4.10 Sediaan Sefalosporin yang Beredar di Indonesia
Tabel II.7 Sediaan Sefalosporin yang Beredar di Indonesia (ISO, 2016)
Nama Obat Sediaan Beredar Kandungan Komposisi
Sefazolin
(generasi 1) Cefazol ( Kalbe Farma)
Cefazolin OGBDexa
(Dexa Medica)
Evalin ( Ethica)
Sefazolin Na
Sefazolin Na
Sefazolin Na
1 gram/Vial
500 mg/Vial 1
gram/Vial
1 gram/Vial
Sefuroksim
(generasi 2)
Cefurox (Prafa)
Celocid (DexaMedica)
Sefuroksim
Sefuroksim
Aksetil
1 gram/ vial
500mg/ tab
Cefotaxime
(generasi 3)
Biocef (Otto)
Cefotaxime (Hexpharm
Jaya)
Clacef (Dexa Medica)
Clafexim (Coronet)
Claforan (Sanofi
Aventis)
Sefotaksim
Sefotaksim
Sefotaksim
Sefotaksim
Sefotaksim
1 gram/Vial
1 gram/Vial
1 gram/Vial
1 gram/Vial
1 gram/Vial
Ceftriaxone
(generasi 3)
Betrix ( Mahakam Beta
Farma)
Biotriax ( Prafa)
Broadced ( Kalbe
Farma)
Brospec ( Prafa)
Cefriex ( Novell
Pharma)
Ceftriaxone Hexapharm
( Hexapharm)
Seftriakson Na
Seftriakson Na
Seftriakson
disodium
Seftriakson Na
Seftriakson Na
Seftriakson
disodium
1 gram/Vial
1gram/Vial
1gram /Vial
1gram /Vial
1 gram/Vial
1gram /Vial
Ceftrox ( Meiji)
Gracef ( Gracia
Farmindo)
Intricef (
Caprifarmindo)
Intrix ( Pharos)
Seftriakson Na
Seftriakson Na
Seftriakson
Seftriakson Na
1 gram/Vial
1 gram/Vial
1 gram/Vial
1 gram/Vial
Ceftazidime
(generasi 3)
Ceftazidime
(Hexpharm)
Cefazium (Landson)
Ceftum (Ferron)
Seftazidim
pentahidrat
Seftazidim
pentahidrat
Seftazidim
pentahidrat
1 gram/ Vial
1gram/Vial
1gram/Vial
42
Cefepime
(generasi 4)
Ceforim (Sanbe Farma)
Exepime (Ferron)
Maxilan (Lanson)
Sefepim HCl
Monohidrat
Sefepim
Sefepim
1 gram/ Vial
500 mg; 1
gram; 2 gram /
IV, IM
1 gram/ vial