BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2 - sinta.unud.ac.id II.pdf · 6 pusatkegiatan wilayah. Untuk jalan arteri...
Transcript of BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2 - sinta.unud.ac.id II.pdf · 6 pusatkegiatan wilayah. Untuk jalan arteri...
5
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Klasifikasi dan Fungsi Jalan
Sesuai dengan Undang-Undang No.38 tahun 2004 Tentang Jalan dan
menurut Peraturan Pemerintah No.34 Tahun 2006, sistem jaringan jalan di
Indonesia dapat dibedakan atas jaringan jalan primer dan jaringan jalan sekunder.
Sistem jaringan jalan disusun dengan mengacu pada rencana tata ruang wilayah
dan dengan memperhatikan keterhubungan antar kawasan dan dalam kawasan
perkotaan dan kawasan pedesaan.
2.1.1 Berdasarkan Sistem Jaringan Jalan
a. Sistem Jaringan Jalan Primer
Sistem jaringan jalan primer disusun berdasarkan rencana tata ruang
dan pelayanan distribusi barang dan jasa untuk pengembangan semua
wilayah di tingkat nasional, dengan menghubungkan semua simpul jasa
distribusi yang berwujud pusat-pusat kegiatan sebagai berikut :
1. Menghubungkan secara menerus pusat kegiatan nasional, pusat
kegiatan wilayah, pusat kegiatan lokal sampai ke pusat kegiatan
lingkungan.
2. Menghubungkan antar pusat kegiatan nasional.
b. Sistem Jaringan Jalan Sekunder
Sistem jaringan jalan sekunder disusun berdasarkan rencana tata ruang
wilayah kabupaten/kota dan pelayanan distribusi barang dan jasa untuk
masyarakat didalam kawasan perkotaan yang menghubungkan secara
menerus kawasan yang mempunyai fungsi primer, fungsi sekunder kesatu,
fungsi sekunder kedua, fungsi sekunder ketiga dan seterusnya sampai ke
persil.
2.1.2 Berdasarkan Fungsinya
a. Jalan arteri primer, ialah jalan yang menghubungkan antar pusat
kegiatan nasional atau antar pusat kegiatan nasional dengan
6
pusatkegiatan wilayah. Untuk jalan arteri primer mengikuti persyaratan
teknis sebagai berikut :
1. Jalan arteri primer didesain berdasarkan kecepatan rencana
paling rendah 60 km/jam dengan lebar badan jalan paling
sedikit 11 meter.
2. Jalan arteri primer mempunyai kapasitas yang lebih besar dari
volume lalu lintas rata-rata.
3. Pada jalan arteri primer lalu lintas jarak jauh tidak boleh
terganggu oleh lalu lintas ulang alik, lalu lintas lokal, dan
kegiatan lokal.
4. Jumlah jalan masuk ke jalan arteri primer dibatasi sedemikian
rupa.
5. Persimpangan sebidang pada jalan arteri primer dengan
pengaturan tertentu harus memenuhi ketentuan.
6. Jalan arteri primer yang memasuki kawasan perkotaan dan
kawasan pengembangan perkotaan tidak boleh terputus.
b. Jalan kolektor primer, ialah jalan yang menghubungkan antar pusat
kegiatan nasional dengan pusat kegiatan lokal,antar pusat kegiatan
wilayah, atau antara pusat kegiatan wilayah dengan pusat kegiatan
lokal. Untuk jalan kolektor primer, persyaratan teknisnya :
1. Jalan kolektor primer didesain berdasarkan kecepatan rencana
paling rendah 40 km/jam dengna lebar badan jalan paling
sedikit 9 meter.
2. Jalan kolektor primer mempunyai kapasitas yang lebih besar
dari volume lalu lintas rata-rata.
3. Jumlah jalan masuk dibatasi dan direncanakan.
4. Persimpangan sebidang pada jalan kolektor primer dengan
pengaturan tertentu harus tetap memenuhi ketentuan.
5. Jalan kolektor primer yang memasuki kawasan perkotaan dan
kawasan pengembangan perkotaan tidak boleh terputus.
7
c. Jalan lokal primer, ialah jalan yang menghubungkan pusat kegiatan
nasional dengan pusat kegiatan lingkungan, pusat kegiatan wilayah
dengan pusat kegiatan lingkungan, antar pusat kegiatan lokal, atau
pusat kegiatan lokal dengan pusat kegiatan lingkungan, serta antar
pusat kegiatan lingkungan. Persyaratan teknis untuk jalan lokal primer
1. Jalan lokal primer didesain berdasarkan kecepatan rencana
paling rendah 20 km/jam dengan lebar badan jalan paling
sedikit 7 meter.
2. Jalan lokal primer yang memasuki kawasan pedesaan tidak
boleh terputus.
d. Jalan lingkungan primer, ialah jalan yang menghubungkan antar pusat
kegiatan didalam kawasan pedesaan dan jalan didalam lingkungan
kawasan pedesaan. Persyaratan teknisnya adalah :
1. Jalan lingkungan primer didesain berdasarkan kecepatan
rencana paling rendah 15 km/jam dengan lebar badan jalan
paling sedikit 6,5 meter.
2. Persyaratan teknis jalan lilngkungan primer diperuntukkan bagi
kendaraan bermotor beroda tiga atau lebih.
3. Jalan lingkungan primer yang tidak diperuntukkan bagi
kendaraan bermotor beroda tiga atau lebih harus mempunuyai
lebar jalan paling sedikit 3,5 meter.
e. Jalan arteri sekunder, ialah jalan yang menghubungkan kawasan
primer dengan kawasan sekunder kesatu, kawasan sekunder kesatu
dengan kawasan sekunder kesatu, atau kawasan sekunder kesatu
dengan kawasan sekunder kedua. Persyaratan teknisnya adalah :
1. Jalan arteri sekunder didesain berdasarkan kecepatan rencana
paling rendah 30 km/jam dengan lebar badan jalan paling
sedikit 11 meter.
2. Jalan arteri sekunder mempunyai kapasitas yang lebnih besar
dari pada volume lalu lilntas rata-rata.
3. Pada jalan arteri sekunder lalu lintas cepat tidak boleh
terganggu oleh lalu lintas lambat.
8
4. Persimpangan sebidang pada jalan arteri sekunder dengan
pengaturan tertentu harus sapat memenuhi ketentuan.
f. Jalan kolektor sekunder, ialah jalan yang menghubungkan kawasan
sekunder kedua dengan kawasan sekunder kedua atau kawasan
sekunder kedua dengan kawasan sekunder ketiga. Persyaratan
teknisnya adalah :
1. Jalan kolektor sekunder didesain berdasarkan kecepatan
rencana paling rendah 20 km/jam dengan lebar badan jalan
paling sedikit 9 meter.
2. Jalan kolektor sekunder mempunyai kapasitas yang lebih besar
dari pada volume lalu lintas rata-rata.
3. Pada jalan kolektir sekunder lalu lintas cepat tidak boleh
terganggu oleh lalu lintas lambat.
4. Persimpangan sebidang pada jalan kolektor sekunder dengan
pengaturan tertentu harus memenuhi ketentuan.
g. Jalan lokal sekunder, ialah jalan yang menghubungkan kawasan
sekunder kesatu dengan perumahan, kawasan sekunder kedua dengan
perumahan, kawasan sekunder ketiga dan seterusnya sampai ke
perumahan. Persyaratan teknisnya adalah :
1. Jalan lokal sekunder didesain berdasarkan kecepatan rencana
paling rendah 10 km/jam dengan lebar badan jalan paling
sedikit 7,5 meter.
h. Jalan lingkungan sekunder, ialah jalan yang mnghubungkan antar
persil dalam kawasan perkotaan. Persyaratan teknisnya adalah :
1. Jalan lingkungan sekunder didesain berdasarkan kecepatan
rencana paling rendah 10 (sepuluh) kilometer per jam dengan
lebar badan jalan paling sedikit 6,5 meter.
2. Jalan lingkungan sekunder yang tidak diperuntukkan bagi
kendaraan bermotor beroda tiga atau lebih harus mempunyai
lebar badan jalan palling sedikit 3,5 meter.
9
2.1.3 Berdasarkan statusnya
Jalan umum menurut statusnya dikelompokan atas :
a. Jalan Nasional
Jalan nasional sebagaimana dimaksud terdiri atas :
1. Jalan arteri primer.
2. Jalan kolektor primer yang menghubungkan antar ibukota
provinsi.
3. Jalan Tol.
4. Jalan strategis nasional.
b. Jalan Provinsi
Jalan provinsi sebagaimana dimaksud terdiri atas :
1. Jalan kolektor primer yang menghubungkan ibukota provinsi
dengan ibukota kabupaten atau kota.
2. Jalan kolektor primer yang menghubungkan antar ibukota
kabupaten atau kota.
3. Jalan strategis provinsi.
4. Jalan di daerah khusus ibukota Jakarta, kecuali jalan nasional.
c. Jalan Kabupaten
Jalan kabupaten sebagaimana dimaksud terdiri atas :
1. Jalan kolektor primer yang tidak termasuk jalan nasional.
2. Jalan lokal primer yang menghubungkan ibukota kabupaten
dengan ibukota kecamatan, ibukota kabupaten dengan pusat
desa, antar ibukota kecamatan, ibukota kecamatan dengan
desa, dan antar desa.
3. Jalan sekunder yang tidak termasuk jalan provinsi.
4. Jalan strategis kabupaten.
d. Jalan kota
Jalan kota sebagaimana dimaksud adalah jalan umum pada jaringan
jalan sekunder di dalam kota.
10
e. Jalan desa
Jalan desa sebagaimana dimaksud adalah jalan lingkungan primer dan
jalan lokal primer yang tidak termasuk jalan kabupaten di dalam
kawasan pedesaan, dan merupakan jalan umum yang menghubungkan
kawasan dan/atau antar pemukiman di dalam desa.
2.1.4 Berdasarkan Spesifikasi Kelas Jalan
Kelas jalan berdasarkan spesifikasi penyediaan prasarana jalan
dikelompokan atas jalan bebas hambatan, jalan raya, jalan sedang dan jalan kecil.
Spesifikasi penyediaan penyediaan prasarana jalan yang dimaksud meliputi
pengendalian jalan masuk, persimpangan sebidang, jumlah dan lebar lajur,
ketersediaan median, serta pagar.
a. Spesifikasi jalan bebas hambatan meliputi pengendalian jalan masuk
secara penuh, tidak ada persimpangan sebidang, dilengkapi pagar
ruang milik jalan, dilengkapi dengan median, paling sedikit
memounyai 2 (dua) lajur tiap arah, dan kebar lajur palling sedikit 3,5
(tiga koma lima) meter.
b. Spesifikasi jalan raya adalah jalan umum untuk lalu lintas secara
menerus dengan pengendalian jalan masuk secara tebatas dan
dilengkapi dengan median, paling sedikit 2 (dua) lajur setiap arah,
lebar lajur paling sedikt 3,5 (tiga koma lima) meter.
c. Spesifikasi jalan sedang adalah jalan umum dengan lalu lintas jarak
sedang dengan pengendalian jalan masuk tidak dibatasi, paling sedikit
2 (dua) lajur untuk 2 (dua) arah dengan lebar jalur paling sedikit 7
(tujuh) meter.
d. Spesifikasi jalan kecil adalah jalan umum untuk melayani lalu lintas
setempat, palling sedikit 2 (dua) lajur untuk 2 (dua) arah dengan lebar
jalur paling sedikit 5,5 (lima koma lima) meter.
11
2.2 Volume Lalu Lintas
Volume lalu lintas adalah jumlah kendaraan yang melalui suatu ruas jalan
pada periode waktu tertentu. Volume lalu lintas dapat dirumuskan sebagai
berikut :
Q = T
n .................................................................................. ( 2.1 )
Dimana ;
Q = volume lalu lintas yang melalui suatu titik (kendaraan/jam).
n = jumlah kendaraan yang melalui titik tersebut dalam interval waktu T
(kendaraan).
T = interval waktu pengamatan (jam).
Nilai arus lalu lintas (Q) mencerminkan komposisi lalu lintas, dengan
menyatakan arus dalam satuan mobil penumpang (smp). Semua nilai arus lalu
lintas (per arah dan total) diubah menjadi satuan mobil penumpang (smp) dengan
menggunakan ekivalensi mobil penumpang (emp) yang diturunkan secara empiris
(Departemen PU 1997). Adapun tipe–tipe kendaraan, antara lain :
A. Kendaraan Ringan (LV) meliputi : mobil penumpang, opelet, mikrobis,
pick-up dan truk kecil.
B. Kendaraan Berat (HV) meliputi : truk dan bus.
C. Sepeda motor (MC) meliputi : kendaraan bermotor beroda 2 atau termasuk
sepeda motor dan skuter.
D. Kendaraan Tak Bermotor (UM) meliputi : kendaraan beroda yang
menggunakan tenaga manusia atau hewan termasuk sepeda, becak, kereta
kuda dan gerobak / kereta dorong.
Untuk kendaraan ringan (L), nilai emp selalu 1,0. Ekivalensi mobil
penumpang (emp) untuk jalan perkotaan seperti terlihat pada Tabel 2.1
12
Tabel 2.1 Emp Untuk Jalan Perkotaan
Tipe Jalan : Jalan
Tak Terbagi
Arus lalu lintas
total dua arah
(kend / jam)
emp
HV
MC
Lebar jalur lalu lintas Wc
(m)
≤ 6 >6
Dua lajur tak terbagi 0 1,3 0,5 0,40
(2/2 UD) ≥1800 1,2 0,35 0,25
Empat lajur tak
terbagi 0 1,3 0,40
0,25 (4/2 UD) ≥3700 1,2
Sumber : Departemen PU (1997)
2.3 Kapasitas Jalan
Kapasitas jalan adalah arus lalu lintas maksimum melalui suatu titik di
jalan yang dapat dipertahankan per satuan jam pada kondisi tertentu.
Evaluasi mengenai kapasitas bukan saja bersifat mendasar pada
permasalahan pengoperasian dan perancangan lalu lintas seperti juga dihubungkan
dengan aspek keamanan. Kapasitas merupakan ukuran kinerja, pada kondisi yang
bervariasi yang dapat diterapkan pada kondisi tertentu.
Kapasitas dinyatakan dalam satuan mobil penumpang (smp) sebagai
berikut :
C = Co x FCw x FCsp x FCsf x FCcs ( 2.2 )
Dimana :
C = Kapasitas sesungguhnya (smp/jam).
Co = Kapasitas dasar (ideal) untuk kondisi tertentu (smp/jam).
FCw = Faktor penyesuaian lebar jalan.
FCsp = Faktor penyesuaian pemisah arah.
FCsf = Faktor penyesuaian hambatan samping dan bahu jalan/kreb.
FCcs = Faktor penyesuaian ukuran kota.
2.3.1 Kapasitas Dasar (Co)
Kapasitas dasar (base capacity) merupakan kapasitas pada kondisi
ideal. Kapasitas dasar jalan lebih dari empat lajur (banyak lajur) dapat
ditentukan dengan menggunakan kapasitas per lajur yang diberikan pada
Tabel 2.2 yang ada di bawah ini.
13
Tabel 2.2 Kapasitas Dasar Perkotaan
Tipe Jalan Kapasitas Dasar
(smp / jam) Catatan
Empat lajur terbagi atau
Jalan satu arah 1.650 Per lajur
Empat lajur tak terbagi 1.500 Per lajur
Dua lajur tak terbagi 2.900 Total dua arah
Sumber : Departemen PU (1997)
2.3.2 Faktor Penyesuaian Lebar Jalur Lalu Lintas untuk Jalan
Perkotaan (FCw)
Penentuan penyusunan untuk lebar jalur lalu lintas (FCw) berdasarkan
lebar jalur lalu lintas efektif (Wc). Faktor penyesuaian kapasitas untuk jalan
lebih dari empat lajur dapat ditentukan dengan menggunakan nilai perlajur
yang diberikan untuk jalan empat lajur, seperti Tabel 2.3 yang ada di bawah
ini.
Tabel 2.3 Faktor Penyesuaian Lebar Jalur Lalu Lintas Untuk Perkotaan
(FCw)
Tipe jalan
Lebar jalur lalu lintas efektif
(Wc)
(m)
FCw
Empat lajur terbagi atau jalan
satu arah
Perlajur
3,00
3,25
3,50
3,75
4,00
0,92
0,96
1,00
1,04
1,08
Empat lajur tak terbagi Perlajur
3,00
3,25
3,50
3,75
4,00
0,91
0,95
1,00
1,05
1,09
Dua lajur tak terbagi Total dua arah
5
6
7
8
9
10
11
0,56
0,87
1,00
1,14
1,25
1,29
1,34
Sumber : Departemen PU (1997)
14
2.3.3 Faktor Penyesuaian Pemisah Arah (FCsp)
Untuk menentukan penyesuaian pemisah arah (FCsp) untuk jalan dua
lajur dua arah (2/2) dan empat lajur dua arah (4/2) tak terbagi terdapat pada
Tabel 2.4 yang ada di bawah ini.
Tabel 2.4 Faktor Penyesuaian Pemisah Arah (FCsp)
Pemisah arah SP % - % 50 -50 55 – 45 60 -40 65 – 35 70 -30
FCsp
Dua lajur 2/2 1,00 0,97 0,94 0,91 0,88
Empat lajur 4/2 1,00 0,985 0,97 0,955 0,94
Sumber : Departemen PU (1997)
2.3.4 Faktor Penyesuaian Hambatan Samping dan Bahu Jalan/Kereb
(FCsf)
Hambatan samping yang mempengaruhi pada kapasitas dan kinerja
jalan perkotaan menurut Departemen PU, 1997, antara lain :
Pejalan kaki.
Angkutan umum dan kendaraan lain berhenti.
Kendaraan parkir.
Kendaraan lambat.
Kendaraan keluar dan masuk dari lahan disamping jalan.
Untuk menyederhanakan peranannya dalam prosedur perhitungan,
tingkat hambatan samping telah dikelompokkan dalam lima kelas dari sangat
rendah sampai sangat tinggi sebagai fungsi dari frekuensi kejadian hambatan
samping sepanjang segmen jalan yang diamati.
Adapun kelas hambatan samping pada suatu ruas jalan dapat dilihat
pada Tabel 2.5 yang ada di bawah ini.
15
Tabel 2.5 Kelas Hambatan Samping Untuk Jalan Perkotaan Frekwensi
Berbobot
Kejadian
Kondisi Khusus
Kelas Hambatan
Samping
Ket. Kode
> 100 Daerah pemukiman; jalan samping tersedia Sangat rendah VL
100 – 299 Daerah pemukiman; beberapa angkutan umum dll Rendah L
300 – 499 Daerah industri ; toko-toko di sisi jalan Sedang M
500 – 899 Daerah niaga; aktivitas sisi jalan yang tinggi Tinggi H
>900 Daerah niaga; aktivitas pasar sisi jalan Sangat tinggi VH
Sumber : Departemen PU (1997)
Dalam menentukan faktor penyesuaian untuk hambatan samping dan
bahu jalan/ kreb (FCsf) dapat dibagi menjadi dua bagian yaitu :
1. Jalan dengan bahu jalan
Faktor penyesuaian kapasitas untuk pengaruh hambatan samping dan
lebar bahu (FCsf) pada jalan perkotaa dengan bahu dapat dilihat pada
tabel dibawah ini :
Tabel 2.6 Faktor Penyasuaian Kapasitas Akibat Hambatan Samping Untuk
Jalan Perkotaan
Tipe jalan Kelas hambatan samping
Faktor Penyesuaian Hambatan Samping Dan Bahu Jalan (FCsf)
Lebar Bahu Efektif (Ws)
<0,5 1,0 1,50 >2,0
4/2D
VL L
M
H VH
0,96 0,94
0,92
0,88 0,84
0,98 0,97
0,95
0,92 0,88
1,01 1,00
0,98
0,95 0,92
1,03 1,02
1,00
0,98 0,96
4/2UD
VL L
M
H VH
0,96 0,94
0,92
0,87 0,80
0,99 0,97
0,95
0,91 0,86
1,01 1,00
0,98
0,94 0,90
1,03 1,02
1,00
0,98 0,95
2/2UD atau
jalan satu arah
VL
L
M H
VH
0,94
0,92
0,89 0,82
0,73
0,96
0,94
0,92 0,86
0,79
0,99
0,97
0,95 0,90
0,85
1,01
1,00
0,98 0,95
0,91
Sumber : Departemen PU (1997)
16
2. Jalan dengan kerb
Faktor penyesuaian kapasitas untuk hambatan samping (FCsf) dari
tabel dibawah ini adalah berdasarkan jarak antara kerb dan penghalang
pada trotoar dan kelas hambatan samping (SFC).
Tabel 2.7 Faktor Penyesuaian Kapasitas Hambatan Samping Dan Bahu Jalan
(FCsf) Untuk Jalan Perkotaan
Tipe
jalan
Kelas
hambatan
samping
Faktor Penyesuaian Hambatan Samping Dan Bahu Jalan (FCsf)
Jarak Kereb-Penghalang (Ws)
<0,5 1,0 1,50 >2,0
4/2D
VL 0,95 1,00 1,50 1,01
L 0,94 0,97 0,99 1,00
M 0,91 0,93 0,98 0,98
H 0,86 0,89 0,95 0,95
VH 0,81 0,85 0,88 0,92
4/2UD
VL 0,95 0,97 0,99 1,01
L 0,93 0,95 0,97 1,00
M 0,90 0,92 0,95 0,97
H 0,84 0,87 0,90 0,93
VH 0,77 0,81 0,85 0,90
2/2UD
atau jalan
satu arah
VL 0,93 0,95 0,97 0,99
L 0,90 0,92 0,95 0,97
M 0,86 0,88 0,91 0,94
H 0,78 0,81 0,84 0,88
VH 0,68 0,72 0,77 0,82
Sumber : Departemen PU (1997)
2.3.5 Faktor Penyesuaian untuk Ukuran Kota (FCcs)
Faktor penyesuaian untuk kapasitas dasar akibat ukuran kota
disesuaikan dengan jumlah penduduk , seperti yang ditunjukkan pada Tabel
2.8 dibawah ini :
Tabel 2.8 Faktor Penyesuaian Kapasitas Untuk Ukuran Kota (FCcs)
Ukuran kota (juta penduduk) Faktor penyesuaian ukuran perkotaan
CS<0,1 0,86
0,1≤CS < 0,5 0,90
0,5 ≤CS < 1,0 0,94
1,0≤CS < 3,0 1,00
3,0≤CS 1,04
Sumber : Departemen PU (1997)
17
2.4 Hambatan samping Jalan
Tundaan lalu lintas di jalan terjadi karena ruas jalan tersebut sudah mulai
tidak mampu menerima/melewatkan luapan arus kendaraan yang datang secara
lancar. Hal ini dapat terjadi karena pengaruh hambatan samping (side friction)
yang tinggi, sehingga menyebabkan penyempitan ruas jalan. Adapun yang
termasuk hambatan samping yang berpengaruh terhadap kapasitas dan kinerja
jalan perkotaan, antara lain (Departemen PU, 1997) :
Pejalan kaki
Angkutan umum dan kendaraan lain berhenti
Kendaraan parkir pinggir jalan (on street parking)
Kendaraan lambat
Kendaraan yang keluar masuk lahan samping jalan
2.5 Tingkat Pelayanan Jalan
Tingkat pelayanan adalah indikator yang dapat mencerminkan tingkat
kenyamanan ruas jalan, yaitu perbandingan antara volume lalu lintas yang ada
terhadap kapasitas jalan tersebut (Departemen PU 1997).
Tingkat pelayanan jalan ditentukan dalam suatu skala interval yang terdiri
dari 6 (enam) tingkat. Tingkat–tingkat ini dinyatakan dengan huruf A yang
merupakan tingkat pelayanan tertinggi sampai F yang merupakan tingkat
pelayanan paling rendah. Apabila volume lalu lintas meningkat, maka tingkat
pelayanan jalan menurun karena kondisi lalu lintas yang memburuk akibat
interaksi dari faktor–faktor yang berpengaruh terhadap tingkat pelayanan. Adapun
faktor–faktor yang berpengaruh terhadap tingkat pelayanan, antara lain :
Volume
Kapasitas
Kecepatan
Hubungan antara tingkat pelayanan jalan, karakteristik arus lalu lintas dan
rasio volume terhadap kapasitas (Rasio Q/C) adalah seperti yang ditunjukkan pada
Tabel 2.9.
18
Tabel 2.9 Hubungan Antara Tingkat Pelayanan Jalan, Karakteristik Arus Lalu
Lintas Dan Rasio Volume Terhadap Kapasitas (Rasio Q/C)
Sumber : TRB (1994)
Tingkat pelayanan jalan tidak hanya dapat dilihat dari perbandingan rasio
V/C, namun juga tergantung dari besarnya kecepatan operasi pada suatu ruas
jalan. Kecepatan operasi dapat diketahui dari survei langsung di lapangan.
Apabila kecepatan operasi telah didapat, maka akan dapat dibandingkan dengan
kecepatan optimum (kecepatan yang dipilih pengemudi pada saat kondisi
tertentu). Untuk lebih kelasnya dapat dilihat pada Gambar 2.1.
Tingkat
Pelayanan Kondisi Lapangan
Rasio
Q/C
A Arus bebas dengan kecepatan tinggi, pengemudi dapat memilih kecepatan yang
diinginkan tanpa tundaan 0.00 – 0.20
B Arus stabil,kecepatan mulai dibatasi oleh kondisi lalu lintas, pengemudi
memiliki kebebasan yang cukup untuk memilih kecepatan 0.21 – 0.44
C Arus stabil tetapi kecepatan bergerak dan gerak kendaraan dibatasi oleh kondisi
lalu lintas, pengemudi dibatasi dalam memilih kecepatan 0.45 – 0.74
D Arus mendekati tidak stabil, kecepatan masih dikendalikan oleh kondisi lalu
lintas, rasio Q / C masih bisa ditoleransi 0.75 – 0.84
E Volume lalu lintas mendekati kapasitas, arus tidak stabil, kecepatan kadang
terhenti 0.85 – 1.00
F Arus lalu lintas macet, kecepatan rendah, antrian panjang, serta hambatan atau
tundaan besar -
19
Gambar 2.1. Tingkat Pelayanan Berdasarkan Volume Dengan Kapasitas Yang
Dibandingkan Dengan Kecepatan Operasi Sumber : Tamin (2000)
2.6 Kecepatan Tempuh
Kecepatan adalah jarak yang ditempuh dalam satuan waktu, atau nilai
perubahan jarak terhadap waktu. Kecepatan dari suatu kendaraan dipengaruhi oleh
faktor–faktor manusia, kendaraan dan prasarana, serta dipengaruhi pula oleh
kondisi arus lalu lintas, kondisi cuaca dan kondisi lingkungan sekitarnya.
Kecepatan dipakai sebagai pengukur kualitas perjalanan bagi pengemudi.
(Departemen PU,1997). Dalam Departemen PU (1997), digunakan kecepatan
tempuh sebagai ukuran utama kinerja segmen jalan, karena mudah dimengerti dan
diukur dan merupakan masukan yang penting untuk biaya pemakaian jalan dalam
analisa ekonomi. Kecepatan tempuh didefinisikan dalam manual ini sebagai
perbandingan antara panjang jalan dengan waktu tempuh, yang dirumuskan
sebagai berikut :
TT
LV …………………………………………………………… ( 2.3 )
Dimana :
V = Kecepatan rata-rata (km/jam)
L = Panjang segmen (km)
TT = Waktu tempuh rata-rata sepanjang segmen (jam)
A
B
C D
E
0 1
Derajat kejenuhan (DS)
Kecep
atan o
perasi
F
20
2.7 Kecepatan Arus Bebas
Kecepatan arus bebas (FV) dapat didefinisikan sebagai kecepatan pada
tingkat arus nol, yaitu kecepatan yang akan dipilih pengemudi jika mengendarai
kendaraan bermotor tanpa dipengaruhi oleh kendaraan bermotor lainnya di jalan.
Kecepatan arus bebas kendaraan ringan dapat digunakan sebagai ukuran utama
kinerja segmen jalan pada saat arus sama dengan nol. Persamaan untuk penentuan
kecepatan arus bebas adalah sebagai berikut, (Departemen PU, 1997) :
FV = (FVo + FVw) x FFVsf x FFVcs ……………………… (2.4)
Dimana :
FV = kecepatan arus bebas kendaraan ringan sesungguhnya (km/jam).
FVo = kecepatan arus bebas dasar kendaraan ringan (km/jam).
FVw = penyesuaian lebar jalur lalu lintas efektif (km/jam).
FFVsf = faktor penyesuaian kondisi hambatan samping.
FFVcs = faktor penyesuaian ukuran kota.
2.7.1 Kecepatan Arus Bebas Dasar (FVo)
Penentuan kecepatan arus bebas dasar untuk kendaraan dan untuk jalan
delapan lajur dapat dianggap sama dengan enam lajur.dimana bisa kita lihat
bahwa Kecepatan Arus Bebas Dasar Untuk Jalan Perkotaan (FVo) seperti
pada Tabel 2.10
Tabel 2.10 Kecepatan Arus Bebas Dasar Untuk Jalan Perkotaan (FVo)
Tipe jalan
Kecepatan Arus Bebas Dasar (Fvo) (km / jam)
Kendaraan
ringan (LV)
Kendaraan berat
(HV)
Sepeda Motor
(MC)
Semua kendaraan
(rata–rata)
Enam lajur terbagi
(6/2 D) atauTiga lajur
satu arah (3/1) 61 52 48 57
Empat Lajur terbagi
(4/2 D) atau Dua
Lajur Satu arah
(2/1) 57 50 47 55
Empat lajur tak
terbagi (4/2 UD) 53 46 43 51
Dua Lajur Tak
terbagi 44 40 40 42
Sumber : Departemen PU (1997)
21
2.7.2 Kecepatan Arus Bebas Untuk Lebar Jalur Lalu Lintas (FVw)
Untuk jalan lebih dari empat lajur (banyak lajur), nilai penyesuaian
pada Tabel 2.11 untuk jalan empat lajur terbagi dapat digunakan.
Tabel 2.11 Penyesuaian Kecepatan Arus Bebas Untuk Lebar Jalur Lalu Lintas
(FVw) Pada Kecepatan Arus Bebas Kendaraan Ringan Untuk Jalan
Perkotaan
Tipe Jalan Lebar Lajur Lalu Lintas Efektif
(m) FVw
Empat lajur terbagi atau
jalan satu arah
Perlajur
3,00
3,25
3,50
3,75
4,00
-4
-2
0
2
4
Empat lajur tak terbagi Perlajur
3,00
3,25
3,50
3,75
4,00
-4
-2
0
2
4
Dua lajur tak terbagi Total dua arah
5
6
7
8
9
10
11
-9,5
-3
0
3
4
5
7
Sumber : Departemen PU (1997)
2.7.3 Faktor Penyesuaian Kecepatan Arus Bebas Untuk Hambatan
Samping (FFVsf)
1. Jalan Dengan Bahu
Penentuan faktor penyesuaian untuk hambatan samping berdasarkan
lebar bahu efektif yang sesungguhnya dan tingkat hambatan samping
yang dapat dilihat pada Tabel 2.12 :
22
Tabel 2.12 Faktor Penyesuaian Untuk Pengaruh Hambatan Samping Dan
Lebar Bahu (FFVsf) Pada Kecepatan Arus Bebas Kendaraan
Ringan Untuk Jalan Perkotaan Dengan Bahu
Tipe jalan
Kelas
hambatan
samping
Faktor Penyesuaian Hambatan Samping Dan Bahu Jalan
(FCsf)
Lebar Bahu Efektif (Ws)
<0,5 1,0 1,50 >2,0
4/2D
VL 1,02 1,03 1,03 1,04
L 0,98 1,00 1,02 1,03
M 0,94 0,97 1,00 1,02
H 0,89 0,93 0,96 0,99
VH 0,84 0,88 0,92 0,96
4/2UD
VL 1,02 1,03 1,03 1,04
L 0,98 1,00 1,02 1,03
M 0,93 0,96 0,99 1,02
H 0,87 0,91 0,94 0,98
VH 0,80 0,86 0,90 0,95
2/2UD atau
jalan satu
arah
VL 1,00 1,01 1,01 1,01
L 0,96 0,98 0,99 1,00
M 0,90 0,93 0,96 0,99
H 0,82 0,86 0,90 0,95
VH 0,37 0,79 0,85 0,91
Sumber : Departemen PU (1997)
2. Jalan Dengan Kreb
Penentuan faktor penyesuaian untuk hambatan samping berdasarkan
jarak antara kerb penghalang pada trotoar dan tingkat hambatannya
dapat dilihat pada Tabel 2.13.
23
Tabel 2.13 Faktor Penyesuaian Untuk Pengaruh Hambatan Samping Dan
Lebar Bahu(FFVsf) Pada Kecepatan Arus Bebas Kendaraan
Ringan Untuk Jalan Perkotaan Dengan Kerb
Tipe jalan
Kelas
hambatan
samping
Faktor Penyesuaian Hambatan Samping Dan Bahu Jalan
(FCsf)
Jarak Kerb-Penghalang (Ws)
<0,5 1,0 1,50 >2,0
4/2D
VL 1,00 1,00 1,01 1,02
L 0,97 0,98 0,99 1,00
M 0,93 0,95 0,97 0,99
H 0,87 0,90 0,93 0,96
VH 0,81 0,85 0,88 0,92
4/2UD
VL 1,00 1,01 1,01 1,02
L 0,96 0,98 0,99 1,00
M 0,91 0,93 0,96 0,98
H 0,84 0,87 0,90 0,94
VH 0,77 0,81 0,85 0,90
2/2UD atau
jalan satu
arah
VL 0,98 0,99 0,99 1,00
L 0,93 0,95 0,96 0,98
M 0,87 0,89 0,92 0,95
H 0,78 0,81 0,84 0,88
VH 0,68 0,72 0,77 0,82
Sumber : Departemen PU (1997)
2.7.4 Faktor Penyesuaian Kecepatan Arus Bebas Untuk Ukuran Kota
(FFVcs)
Faktor penyesuaian kecepatan arus bebas untuk ukuran kota ditentukan
berdasarkan tabel 2.14.
Tabel 2.14 Faktor Penyesuaian Kecepatan Arus Bebas Untuk Ukuran Kota Pada
Kecepatan Arus Bebas Kendaraan Ringan (FFVcs) Ukuran Kota (juta penduduk) Faktor Penyesuaian Ukuran Perkotaan
CS<0,1 0,1 ≤CS< 0,5 0,5 ≤CS< 1,0 1,0 ≤CS< 3,0
3,0≤CS
0,90 0,93 0,95 1,00 1,03
Sumber : Departemen PU (1997)
24
2.8 Derajat Kejenuhan
Derajat kejenuhan (DS) adalah rasio arus terhadap kapasitas dan
digunakan sebagai faktor utama penentuan tingkat kinerja jalan berdasarkan
tundaan dan segmen jalan. Nilai derajat kejenuhan menunjukkan apakah segmen
jalan tersebut mempunyai masalah kapasitas atau tidak.
Persamaan derajat kejenuhan adalah :
C
QDS ………………………………………………………… (2.5)
Dimana ;
DS = Degree of saturation (Derajat kejenuhan)
Q = Arus lalu lintas (smp/jam)
C = Kapasitas ruas jalan (smp/jam)
Derajat kejenuhan dihitung dengan menggunakan arus dan kapasitas yang
dinyatakan dengan smp/jam. Derajat kejenuhan digunakan untuk analisis prilaku
lalu lintas berupa kecepatan. Tabel dibawah ini menunjukkan hubungan antara
kecepatan rata–rata dengan derajat kejenuhan yang diambil dari gambar 2.2
(Departemen PU, 1997).
25
Gambar 2.2 Kecepatan Sebagai Fungsi Dari Q/C Untuk Jalan Dua Lajur Dua
Arah (Departemen PU 1997)
2.9 Waktu Tempuh Perjalanan
Waktu tempuh perjalanan merupakan waktu yang dipergunakan oleh
sebuah kendaraan untuk melewati suatu ruas jalan.
Pada studi ini, cara yang digunakan adalah dengan pengamat bergerak
(moving observer). Cara ini dilakukan dengan kendaraan yang menyusuri rute
yang telah ditetapkan. Pada saat survei diperlukan 3 orang pengamat dan 1 orang
pengemudi. Pengamat pertama, bertugas menghitung kendaraan yang berpapasan
dengan kendaraan yang digunakan untuk pengukuran. Pengamat kedua,
menghitung kendaraan yang disiap dan menyiap kendaraan peneliti dan pengamat
ketiga bertugas mencatat waktu perjalanan pada saat survei dimulai sampai akhir.
Untuk menghitung waktu perjalanan rata-rata digunakan rumus sebagai
berikut :
T = TW - q
y ..................................................................................... (2.6)
26
dengan ;
q = TWTA
yx
................................................................................. (2.7)
Dimana ;
x = banyaknya kendaraan yang berpapasan dengan kendaraan peneliti
TA = waktu perjalanan sewaktu berjalan melawan arus (jam)
TW = waktu perjalanan sewaktu berjalan bersama arus (jam)
y = banyaknya kendaraan yang menyiap dikurangi dengan kendaraan yang
disiap oleh peneliti (y = A-B)
q = volume lalu lintas saat dilakukan penelitian
2.10 Kecepatan
Kecepatan merupakan jarak yang dijalani pengemudi kendaraan dalam
waktu tertentu. Pemakai jalan dapat menaikkan kecepatan untuk dapat
memperpendek waktu perjalanan, atau memperpanjang jarak perjalanan.
Kecepatan sebagai rasio jarak yang dijalani dan waktu perjalanan (Alamsyah,
2005). Adapun jenis kecepatan dapat diuraikan sebagai berikut:
1. Kecepatan Setempat (spot speed)
Kecepatan setempat adalah kecepatan yang diukur saat kendaraan
melintasi suatu segmen pengamatan dijalan.
a. Kecepatan Rata-Rata Waktu (time mean speed)
Kecepatan rata-rata waktu adalah kecepatan rata-rata hitung
(aritmatika) dari kendaraan-kendaraan yang melintas di suatu segmen
pengamatan selama periode waktu tertentu.
b. Kecepatan Rata-Rata Ruang (space mean speed)
Kecepatan rata-rata ruang adalah kecepatan rata-rata kendaraan
menempuh ruas yang sedang dianalisis. Atau kecepatan rata-rata
harmonik dari semua kendaraan yang menempati suatu segmen jalan
selama periode waktu tertentu.
27
2. Kecepatan Perjalanan
Kecepatan perjalanan adalah rasio total jarak yang ditempuh dengan waktu
perjalanan.
3. Kecepatan Gerak
Kecepatan gerak adalah rasio total jarak yang ditempuh dengan waktu
selama bergerak.
2.11 Biaya Tundaan Lalu Lintas
Biaya tundaan lalu lintas merupakan tambahan biaya perjalanan yang
terjadi sebagai akibat adanya tambahan waktu perjalanan, baik yang disebabkan
oleh tundaan lalu lintas maupun tambahan volume kendaraan yang mendekati atau
melebihi kapasitas pelayanan. Hal ini terutama terjadi pada jam puncak.
Dan sisi ekonomi tambahan waktu perjalanan sebagai akibat
perkembangan tata guna lahan yang meningkatkan volume lalu lintas di suatu ruas
jalan, merupakan biaya yang ditanggung oleh masyarakat Biaya tersebut sebagai
pengaruh dari turunnya tingkat pelayanan jalan karena bertambahnya volume
mendekati kapasitas jalan tersebut.
Biaya tundaan lalu lintas merupakan biaya yang ditanggung masyarakat
sebagai pengguna jalan. Untuk mengatasi hal tersebut, pemerintah daerah selaku
pengatur dan yang memiliki tanggung jawab dalam penyediaan prasarana berupa
jaringan jalan, memiliki wewenang dalam pengaturan, pengoperasian dan
pemeliharaan jaringan jalan tersebut. Setiap pengguna lahan yang berdampak
pada peningkatan volume yang pada akhirnya meningkatkan waktu perjalanan dan
turunnya tingkat pelayanan jalan perlu mendapatkan perhatian yang serius. Untuk
itu perlu diperhitungkan suatu usaha penanganan biaya dampak kepada pihak
yang berarti dibutuhkan analisis biaya yang ditimbulkan sebagai akibat tambahan
waktu perjalanan yang disebut biaya tundaan.
Perumusan biaya tundaan lalu lintas terdiri atas beberapa komponen yaitu
volume lalu lintas, waktu tempuh perjalanan, biaya operasi kendaraan dan nilai
waktu perjalanan.
28
2.12 Nilai Waktu
Nilai waktu adalah sejumlah uang yang disediakan seseorang untuk
dikeluarkan (atau dihemat) untuk menghemat satu unit waktu perjalanan. Nilai
waktu ini relatif dengan banyaknya pengeluaran konsumen.
Tidak ada nilai yang langsung dapat diterapkan untuk dapat
mencerminkan kenyamanan pengguna jalan, tetapi dapat dikatakan bahwa
banyak pengguna jalan yang ingin mempersingkat waktu perjalanannya. Salah
satu cara untuk mengkualifikasikan nilai ini adalah dengan menggambarkan nilai
waktu sebagai opportunity cost yang dihasilkan akibat hilangnya kesempatan
produktif karena adanya kebutuhan perjalanan (bisnis atau bukan bisnis).
Beberapa studi terdahulu menyebutkan bahwa nilai daripada waktu dicari
dari survei yang mengestimasikan kemauan membayar (willingness to pay)
pemakai jalan untuk waktu yang telah dihemat dan nilai daripada waktu bagi
penumpang tergantung pada perbandingan antara waktu yang dihemat dan
lamanya perjalanan. Di kota-kota besar, nilai waktu bagi pengguna jalan lebih
berpengaruh daripada biaya operasional kendaraan (BOK).
Nilai waktu bagi penumpang dan muatan barang tergantung pada
perbandingan antara waktu yang dihemat dengan lamanya perjalanan. Ini berarti
bahwa apabila waktu yang dihemat adalah kecil dibandingkan dengan waktu
perjalanan keseluruhan maka nilai waktu perjalanannya adalah kecil atau nol.
Dalam menentukan nilai waktu seseorang, penting untuk mengidentifikasi
tujuan dari perjalanan seseorang tersebut. Nilai waktu perjalanan untuk pemilik
usaha dinilai 100 % dari pendapatan terhadap berbagai jenis kendaraan.
Perjalanan dari rumah ketempat kerja dinilai 50% dari nilai pendapatan.
Perjalanan dari dan ke tempat kerja menjadi bagian yang signifikan dari
keseluruhan arus lalu lintas dan sebagai hal yang sangat penting dalam
menentukan jam puncak. Perjalanan yang cukup panjang ketempat kerja akan
melelahkan dan menurunkan produktivitas. Hambatan diperjalanan ke tempat
kerja juga menyebabkan seseorang terlambat tiba di tempat kerja, sehingga akan
mengurangi nilai penghematan waktu untuk perjalanan kerja yaitu :
Nilai penghematan waktu perjalanan = 50 % x pendapatan .......................... (2.8)
29
Sesuai dengan DLLAJ Provinsi Bali Konsultan PTS 1999, penghematan
waktu untuk perjalanan kerja adalah 50% dari pendapatan. Dalam studi ini nilai
waktu penumpang rata–rata adalah 50% dari pendapatan dan data PDRB
menunjukkan pendapatan per kapita per satu orang penduduk dan tidak
membedakan nilai waktu seseorang.
Pembagian jenis kendaraan berdasarkan moda menyebabkan
diperlukannya nilai rata-rata jumlah penumpang per jenis kendaraan (Average
Vehicle Occupancy).
Pendekatan untuk perhitungan nilai waktu yang digunakan dalam
penelitian ini adalah pendapatan per kapita dari PDRB (Produk Domestik
Regional Bruto). Dimana data dari PDRB merupakan data statistik yang
merangkum perolehan nilai tambah dari seluruh kegiatan ekonomi di suatu
wilayah pada satu periode tertentu dan data PDRB menunjukkan nilai pendapatan
per kapita per satu orang penduduk. Adapun manfaat dari PDRB (Produk
Domestik Regional Bruto) meliputi :
a. PDRB atas dasar harga berlaku nominal menunjukkan kemampuan
sumber daya ekonomi yang dihasilkan oleh suatu wilayah. Nilai PDRB
yang besar menunjukkan kemampuan sumber daya ekonomi yang
besar.
b. PDRB atas dasar harga yang berlaku menunjukkan pendapatan yang
memungkinkan dapat dinikmati oleh penduduk suatu daerah.
c. PDRB atas dasar harga konstan dapat digunakan untuk menunjukkan
laju pertumbuhan ekonomi secara keseluruhan maupun sektor dari
tahun ke tahun.
d. PDRB pendapatan perkapita atas dasar harga berlaku menunjukkan
nilai PDRB per satu orang penduduk.
e. PDRB atas dasar harga konstan guna untuk mengetahui pertumbuhan
nyata ekonomi perkapita.
Berikut ini adalah pendapatan per kapita Kabupaten Badung mulai sejak
tahun 2010 hingga tahun 2014 sesuai dengan Tabel 2.15.
30
Tabel 2.15 Data PDRB Per kapita Kabupaten Badung Atas Dasar Harga Berlaku
Tahun PDRB per kapita ( rupiah )
2010 11.766.731,28
2011 14.926.671,10
2012 16.403.351,20
2013 18.996.092,10
2014 20.988.078,20
Sumber : BPS Kabupaten Badung (2015)
Tabel 2.16 Data Jumlah Penduduk Kabupaten Badung
Tahun Jumlah Penduduk ( jiwa )
2010 532.200
2011 546.700
2012 560.900
2013 575.000
2014 589.000
Sumber : BPS Kabupaten Badung (2015)
Tabel 2.17 Data Kepemilikan Kendaraan Bermotor Penduduk Kabupaten Badung
Tahun
Jumlah Kendaraan
Total Jumlah
Kendaraan Kendaraan
Ringan
(LV)
Kendaraan
Berat (HV)
Sepeda Motor
(MC)
2010 42.687 708 265.345 308.740 unit
2011 43.767 722 264.707 309.196 unit
2012 41.477 702 264.345 306.524 unit
2013 33.203 778 256.295 290.276 unit
2014 42.769 784 191.118 234.671 unit
Sumber : BPS Kabupaten Badung (2015)
Berikut contoh perhitungan nilai waktu kendaraan yang melintas pada ruas
jalan :
1. Prediksi PDRB per kapita tahun 2015
= pendapatan perkapita akhir tahun 2014 x [1 + (persentase rata – rata
laju pertumbuhan PDRB)]
2. Asumsi jam kerja setahun
= Prediksi jam kerja dalam sebulan x banyak bulan pada satu tahun
31
3. Pendapatan per kapita jam kerja
= Perhitungan prediksi PDRB per kapita pada tahun 2015 / asumsi jam
kerja setahun
4. Nilai waktu penumpang per jam
= Pendapatan perkapita jam kerja x 50 % (nilai penghematan waktu
perjalanan kerja)
5. Nilai waktu kendaraan per jam
= Nilai waktu penumpang per jam x rata–rata jumlah penumpang
(menurut jenis kendaraan )
6. Nilai waktu kendaraan yang melintas pada ruas jalan
= [jarak ( km ) / kecepatan rata – rata ( km / jam )] x nilai waktu
kendaraan per jam (menurut jenis kendaraan )
2.13 Biaya Operasional Kendaraan (BOK)
Biaya Operasional Kendaraan (BOK) adalah biaya yang secara ekonomis
terjadi dengan dioperasikannya suatu kendaraan pada kondisi normal untuk suatu
tujuan tertentu. Pengertian biaya ekonomi yang dimaksud disini yaitu biaya yang
sebenarnya terjadi. Adapun komponen biaya operasional kendaraan terdiri dari
biaya tetap dan biaya tidak tetap
2.13.1 Biaya Tetap
Biaya tetap adalah semua biaya operasional kendaraan yang jumlah
pengeluarannya tidak dipengaruhi oleh jumlah frekuensi operasi kendaraan.
Biaya tetap tergantung dari waktu dan tidak terpengaruh dengan penggunaan
kendaraan.
Komponen biaya tetap, antara lain :
1. Biaya penyusutan kendaraan (depresiasi)
Adalah biaya yang dikeluarkan atas penyusutan nilai ekonomis
kendaraan akibat keausan teknis karena melakukan operasi.
2. Biaya administrasi
Adalah biaya tahunan yang harus dikeluarkan pemilik atau pengemudi
untuk setiap kendaraan yang menggunakan jalan umum, yang terdiri
dari :
32
a. STNK, yaitu biaya yang dikeluarkan pemilik atau pengemudi
untuk setiap kendaraan yang menggunakan jalan umum, dimana
biaya ini dikeluarkan setiap lima tahun sekali dan pembayaran
pajak kendaraan dilakukan setiap setahun sekali dan biaya sesuai
dengan peraturan yang berlaku.
b. Izin Usaha, yaitu biaya yang dikeluarkan untuk memperoleh izin
usaha dalam mengusahakan kendaraan angkutan umum
penumpang, dimana biaya dikeluarkan setiap setahun sekali.
c. Izin Trayek, yaitu biaya yang dikeluarkan untuk memperoleh izin
pengoperasian kendaraan untuk melayani pada suatu trayek
tertentu. Izin trayek ditentukan berdasarkan peraturan daerah yang
bersangkutan dan rute. Biaya ini dikeluarkan setiap enam bulan
sekali.
d. Iuran Organda, yaitu biaya yang dikeluarkan oleh pemilik
kendaraan angkutan umum atas keterlibatan sebagai anggota
organda. Biaya ini dikeluarkan setahun sekali.
e. Kir, yaitu biaya yang dikeluarkan untuk pemeriksaan kendaraan
secara teknis apakah layak atau tidak beroperasi di jalan raya.
Biaya ini dikeluarkan setiap enam bulan sekali.
3. Biaya asuransi
Pada beberapa Negara asuransi untuk kendaraan diwajibkan, sehingga
hal ini harus dimasukkan kedalam variabel dalam memperkirakan
biaya operasional kendaraan (BOK).
2.13.2 Biaya Tidak Tetap
Biaya tidak tetap merupakan semua biaya operasi kendaraan yang
jumlah pengeluarannya dipengaruhi oleh frekuensi operasi kendaraan,
misalnya biaya pemakaian bahan bakar. Biaya tidak tetap juga disebut biaya
variabel, karena biaya ini sangat bervariasi tergantung hasil produksi seperti
jarak tempuh atau jumlah penumpang. Adapun komponen – komponen dari
biaya tidak tetap, antara lain :
33
1. Gaji Pengemudi
Adalah biaya yang dikeluarkan untuk gaji sopir atau kernet sebagai
penghasilan yang tetap. Dalam prakteknya, gaji pengemudi bukan
tanggung jawab pemilik kendaraan, melainkan harus diusahakan oleh
pengemudi sendiri. Dalam hal ini, upah pengemudi pada dasarnya
merupakan saldo dari pendapatan operasi per hari setelah dikurangi
dengan berbagai macam BOK harian seperti: biaya BBM, biaya
konsumsi, biaya retribusi, biaya sewa kendaraan (setoran). Sehingga
besar upah harian pengemudi dapat bervariasi dari hari ke hari.
2. Biaya Pemakaian Bahan Bakar
Adalah biaya yang dikeluarkan untuk pembelian bahan bakar
kendaraan yang digunakan untuk pengoperasian kendaraan. Biaya ini
menyangkut jarak tempuh yang dikeluarkan setiap liter bahan bakar
yang digunakan.
Faktor–faktor yang mempengaruhi penggunaan bahan bakar adalah :
a. Jenis kendaraan/ukuran kendaraan, dimana rata–rata pemakaian
bahan bakar meningkat sebanding dengan berat kendaraan.
b. Cuaca dan ketinggian lokasi, dimana dapat mempengaruhi kinerja
kendaraan. Seperti saat musim hujan mempengaruhi permukaan
jalan, angin juga secara langsung mempengaruhi kinerja kendaraan
dan juga suhu udara mempengaruhi tenaga kendaraan.
c. Teknik mengemudi, dimana perbedaan mencolok dalam
penggunaan bahan bakar antara pengemudi yang berbeda terjadi
pada saat kendaraan dijalankan pada saat gigi yang rendah.
d. Kondisi kendaraan, pemakaian bahan bakar akan meningkat
dikarenakan kendaraan semakin tua tergantung bagaimana baiknya
perawatan yang dilakukan.
e. Tingkat pengisian, dimana peningkatan persentase pemakaian
bahan bakar lebih besar pada saat kecepatan rendah ketika
memiliki muatan penuh dibandingkan dalam keadaan kososng.
f. Kecepatan kendaraan, pemakaian bahan bakar jelas berbeda pada
kendaraan yang berbeda dan kecepatan berbeda.
34
g. Permukaan jalan, dimana pada umumnya permukaan jalan yang
buruk menyebabkan pemakaian bahan bakar yang lebih banyak
dibandingkan dengan melaju dipermukaan yang rata atau baik.
3. Biaya Pemakaian Ban
Yaitu biaya yang dikeluarkan untuk pembelian ban, baik ban luar
maupun ban dalam. Jangka waktu penggunaan ban dihitung
berdasarkan jarak tempuh kendaraan dalam kilometer, walaupun ada
beberapa operator mengganti ban dengan menghitung bulan.
Faktor–faktor yang mempengaruhi umur ban adalah:
a. Teknik mengemudi
b. Iklim
c. Kualitas ban
d. Kondisi kendaraan
e. Tingkat pengisian
f. Permukaan jalan
g. Kecepatan kendaraan
4. Biaya Perawatan dan Pemaliharaan Kendaraan
Yaitu biaya yang dikeluarkan untuk pemeliharaan, perbaikan dan
penggantian suku cadang. Yang termasuk biaya perawatan adalah
biaya untuk mengganti suku cadang. Besarnya biaya perawatan
kendaraan ditentukan berdasarkan jarak tempuh dan jangka waktu.
Faktor–faktor yang mempengaruhi biaya pemeliharaan kendaraan,
antara lain :
a. Umur dan kondisi kendaraan
b. Kondisi dan jenis permukaan jalan
c. Kecepatan kendaraan
5. Biaya Minyak Pelumas
Adalah biaya yang dikeluarkan untuk pembelian minyak pelumas (oli),
miasalnya oli mesin dan oli gardan. Faktor–faktor yang mempengaruhi
biaya pemakaian minyak pelumas, antara lain :
a. Kebijakan pengoperasian dan kondisi kendaraan
b. Karakteristik jalan dan lalu lintas
35
Selain biaya tetap dan biaya tidak tetap ada juga tambahan yang
penting dalam penoperasian kendaraan yang secara tidak langsung
dimasukkan dalam komponen- komponen diatas. Untuk angkutan
penumpang umum tidak memerlukan biaya tambahan karena
kenyataannya pengusaha angkutan umum tidak memerlukan biaya
tambahan seperti: biaya sewa kantor, gaji pegawai administrasi selain
sopir dan kernet, biaya telepon, biaya air dan listrik.
2.13.3 Metode Perhitungan BOK
Ada beberapa metode perhitungan BOK yaitu :
1. Metode Manual Kapasitas Jalan Indonesia (MKJI) komponen lengkap
dan sesuai dengan pengeluaran pada pengoperasian kendaraan. Metode
ini digunakan apabila hanya menganalisis satu jenis kendaraan saja
seperti angkutan umum, karena dalam perhitungan ini akan
menganalisis semua kendaraan dari kecepatan maka sebaiknya jika
hanya menganalisis satu jenis kendaraan menggunakan metode dari
PCI (Pasific Consultant International).
2. Metode DLLAJ (Dinas Lalu Lintas Angkutan Jalan) yaitu hampir
sama dengan metode Departemen Perhubungan namun ada komponen-
komponen biaya yang dimasukkan hanya 50 % dari biaya sebenarnya
seperti biaya KIR, retribusi terminal dan hal ini sudah tentu akan
menyebabkan hasil perhitungan akan lebih kecil dari BOK yang
sebenarnya.
3. Metode ITB, metode ini hampir sama dengan metode Departemen
Perhubungan tetapi pada pemeliharaan kendaraan metode ini tidak
mencantumkan untuk servis besar atau servis kecil.
4. Metode PCI (Pasific Consultant International) yaitu metode yang
menggunakan kecepatan kendaraan dalam perhitungan biaya
operasional kendaraan tanpa memperhitungkan faktor–faktor yang
lain, yang berpengaruh terhadap hal tersebut.
5. Model HDM III, dimana model ini menggunakan hubungan antara
variabel bebas kecepatan perjalanan rata–rata (V) dan indeks
36
kekasaran permukaan jalan (IRI) dan model ini dikembangkan oleh
World Bank untuk perencanaan pemeliharaan jalan khusus di Negara
berkembang.
6. Metode Abelson, ini dipakai di Australia. Metode ini dipakai pada
jalan perkotaan diamana kecepatan rata- rata kurang dari 50 km/jam.
2.13.4 Metode PCI (Pasific Consultan International)
Secara teoritis, biaya operasional kendaraan dipengaruhi oleh sejumlah
faktor termasuk kondisi dan jenis kendaraan, lingkungan dan kebiasaan
pengemudi serta kondisi jalan. Dalam praktek, biaya tersebut diestimasi untuk
jenis – jenis kendaraan yang mewakili golongannya dan dinyatakan dalam
satuan bervariasi tergantung waktu dan tempat. Perkembangan teknologi juga
dapat membuat model estimasi yang pernah ada menjadi tidak relevan dan
tidak memberikan hasil prediksi yang teliti lagi pada saat ini
Di Indonesia sendiri terdapat beberapa model perhitungan
BOK,khusunya yang dikembangkan untuk keperluan sistem pengelolaan
pemeliharaan jalan ataupun model–model BOK untuk keperluan studi
kelayakan jalan.
PT.Jasa Marga selama ini menggunakan model PCI. Model ini
merupakan model empiris yang dikembangkan sejak tahun 1979 dalam
Feasibility Study Jakarta Intra Urban yang sampai sekarang masih digunakan
oleh PT.Jasa Marga. Secara umum, komponen biaya operasi kendaraan terdiri
dari :
1. Pemakaian bahan bakar
Merupakan komponen yang memberikan sumbangan yang dominan
dalam biaya operasi kendaraan. Modelnya sangat bervariasi dari model
seketika (ins antaneous) yang sangat teliti sebagai fungsi waktu, model
elemental yang memodelkan pemakaian bahan bakar meliputi:
pengaruh perlambatan, percepatan dan saat bergerak stabil (cruise)
serta berhenti hingga model sederhana yang didasarkan pada kecepatan
rata–rata. Pengukuran pemakaian bahan bakar bisa dilakukan dengan
fuel meter. Akhir–akhir ini terdapat alat yang secara otomatis dapat
37
merekam pemakaian bahan bakar secara teliti, dimana akan sangat
memudahkan dalam mengembangkan model pemakaian bahan bakar.
Untuk perhitungan pemakaian bahan bakar menggunakan persamaaan
berikut ini :
Kendaraan ringan
Y = 0,05693S² - 6,42593S + 269, 18576 ……………... (2.9)
Kendaraan berat bus
Y = 0,21692S² - 24,15490S+ 954, 78624 …………….. (2.10)
Kendaraan berat truk
Y = 0,21557S² - 24,17699S + 947, 8086 ……………… (2.11)
Dimana :
Y = pemakaian bahan bakar (liter/1000 km)
S = space mean speed/kecepatan rata–rata ruang
2. Pemakaian Minyak Pelumas (Oli)
Pemakaian minyak pelumas/oli dihitung dengan mengambil rasio
pemakaian yang sama dengan pemakaian bahan bakar, dengan
persamaan sebagai berikut :
Kendaraan ringan
Y = 0,00037S² - 0,04070S + 2,20403 ……………….. (2.12)
Kendaraan berat bus
Y = 0,00209S² - 0,24413S + 13,29445 ………………. (2.13)
Kendaraan berat truk
Y = 0,00186S² - 0,22035S + 12,06436 ……………… (2.14)
Dimana :
Y = pemakaian minyak pelumas/oli (liter/1000 km)
S = space mean speed/kecepatan rata–rata ruang
38
3. Pemakaian Ban
Pemakaian ban untuk perhitungan BOK dihitung dengan
menggunakan persamaan – persamaan berikut ini :
Kendaraan ringan
Y = 0,0008848S – 0,0045333 ………………………... (2.15)
Kendaraan berat bus
Y = 0,0012356S – 0,00064667 ………………………. (2.16)
Kendaraan berat truk
Y = 0,0015553S – 0,0059333 ………………………… (2.17)
Dimana :
Y = pemakaian ban per 1000 km
S = space mean speed/kecepatan rata–rata ruang
4. Biaya Pemeliharaan
Biaya pemeliharaan secara umum merupakan komponen BOK yang
dihitung dari pemakaian suku cadang kendaraan dan biaya yang
dikeluarkan untuk upah tenaga kerja.Biaya pemeliharaan ini terdiri dari
biaya suku cadang dan upah montir/tenaga kerja yang berlaku untuk
perhitungan BOK, dengan menggunakan persamaan–persamaan
dibawah ini :
a. Suku cadang
Kendaraan ringan
Y = 0,0000064S + 0,0005567 ………………………… (2.18)
Kendaraan berat bus
Y = 0,0000332S + 0,0005567 ………………………. (2.19)
Kendaraan berat truk
Y = 0,0000191S + 0,0015400 ……………………….. (2.20)
Dimana :
Y = pemeliharaan suku cadang per 1000 km
S = space mean speed/kecepatan rata–rata ruang
39
b. Montir
Kendaraan ringan
Y = 0,00362S + 0,36267 …………………………… (2.21)
Kendaraan berat bus
Y = 0,02311S + 1,97733 ………………………….... (2.22)
Kendaraan berat truk
Y = 0,01511S + 1,21200 …………………………… (2.23)
Dimana :
Y = Jam montir per 1000 km
S = space mean speed/runing speed
5. Biaya Penyusutan (Depresiasi)
Adalah biaya yang dikeluarkan atas penyusutan nilai ekonomis
kendaraan akibat keausan teknis karena melakukan operasi. Dalam
analisis perhitungan besarnya biaya penyusutan kendaraan per tahun
didasarkan pada nilai sekarang (present value) harga beli kendaraan
pada suatu tingkat tertentu.
Secara umum biaya penyusutan kendaraan dihitung dari nilai ekonomi
dari kendaraan, total jarak tempuh selama umur pakai kendaraan, jarak
tempuh tahunan dan kecepatan rata–rata kendaraan.
Kendaraan ringan : Y = 1005,2
1
S ………… (2.24)
Kendaraan berat bus : Y = 3150,9
1
S ………… (2.25)
Kendaraan berat truk : Y = 2100,6
1
S ………… (2.26)
Dimana :
Y = depresiasi per 1000 km
S = space mean speed/kecepatan rata–rata ruang
40
6. Biaya Asuransi
Biaya asuransi pada perhitungan BOK model PCI, diasumsikan
sebesar 3,8 % per tahun untuk kendaraan ringan. Biaya asuransi dalam
hubungan dengan kecepatan dihitung dengan cara yang sama seperti
pada perhitungan biaya bunga modal dengan jarak tempuh
tahunan.Untuk sepeda motor, besarnya biaya asuransi tidak
diperhitungkan.
Kendaraan ringan : Y = S500
38 …………… (2.27)
Kendaraan berat bus : Y = S42857,2571
60 …… (2.28)
Kendaraan berat truk : Y = S28571,1714
61 …… (2.29)
Dimana :
Y = Asuransi per 1000 km
S = space mean speed/kecepatan rata–rata ruang
2.14 Biaya Operasional Kendaraan (BOK) untuk Sepeda Motor
Sepeda motor adalah kendaraan yang sangat banyak digunakan di Bali dan
berpengaruh sangat signifikan terhadap karakteristik transportasi di Bali.
Perhitungan BOK sepeda motor mengacu pada metode yang digunakan oleh
DLLAJ Provinsi Bali–Konsultan PTS 1999. Perhitungan BOK yang telah diteliti
DLLAJ Provinsi Bali–Konsultan PTS 1999 adalah berdasarkan rumus sebagai
berikut :
VOC = a + b / V + cV² …………………………………………. (2.30)
Dimana :
VOC = Vehicle Operating Costs (biaya operasi kendaraan per km)
V = kecepatan rata – rata (km/jam)
a = konstanta, nilainya 24
b,c = koefisien, dengan nilai b = 596 dan c = 0,00370
41
Rumus DLLAJ di atas belum termasuk biaya akibat bahan bakar, suku cadang,
oli, ban, biaya servis dan jasa montir. Sehingga perlu adanya penyesuaian dengan
nilai pertumbuhan inflasi. Nilai pertumbuhan inflasi yang digunakan yaitu dari
awal rumus DLLAJ dikeluarkan Tahun 1999 – Tahun 2015 dimana survei ini
dilakukan. Rumus perhitungan BOK akibat pertumbuhan inflasi sebagai berikut :
P = P0 ( 1 + i )n ..................……………………………………(2.31)
Dimana :
P = Nilai BOK setelah adanya inflasi
P0 = Nilai BOK awal
i = Nilai rata-rata pertumbuhan inflasi
n = Jumlah Tahun
2.15 Perumusan Perhitungan Biaya Tundaan Lalu Lintas
Setelah dijelaskan komponen - komponen dari perumusan perhitungan
biaya kemacetan lalu lintas maka selanjutnya diuraikan bentuk perumusannya.
Adapun bentuk yang dapat digunakan adalah selisih biaya perjalanan sesudah dan
sebelum pertambahan volume lalu lintas dan hambatan samping jalan.
Bentuk perhitugnan di atas dapat dirumuskan sebagai berikut :
D = ∑Q x ((t1 x ( BOK1 + NW1 )) – ( t0 x ( BOK0 + NW0 )) ...... (2.32 )
Dimana :
D = koefisien selisih biaya perjalanan sebelum dan sesudah pertambahan
volume lalu lintas dan hambatan samping jalan .Selisih biaya ini
didasarkan jenis moda, ruas jalan, arah pergerakan dan waktu puncak
kegiatan (Rp).
Q = volume kendaraan pada waktu puncak (kend).
Δ t = selisih waktu tempuh antara kondisi sebelum dengan sesudah
pertambahan volume lalu lintas dan hambatan samping jalan (jam)
BOK = Biaya Operasi Kendaraan (Rp/kend.).
NW = Nilai waktu perjalanan (Rp/jam).
42
Indeks 1 menunjukkan kondisi setelah pertambahan volume dan hambatan
samping jalan.
Indeks 0 menunjukkan kondisi sebelum pertambahan volume dan hambatan
samping jalan.
Dalam studi ini, tambahan waktu perjalanan (biaya tundaan) terjadi
sebagai akibat dari voume lalu lintas yang terjadi melebihi kapasitas rencana
(turunnya tingkat pelayanan jalan).
Oleh karena itu, studi ini bersifat menilai dampak dari turunnya tingkat
pelayanan jalan terhadap sirkulasi lalu lintas dalam bentuk biaya (rupiah). Adapun
yang menjadi penekanan dalam perhitungan adalah perubahan waktu tempuh dan
aspek moneter yaitu biaya operasi kendaraan dan nilai waktu perjalanan.
Sedangkan untuk melihat jumlah kendaraan yang terkena pengaruh kemacetan
lalu lintas, dihitung dari volume kendaraan pada waktu jam puncak. Waktu
tempuh yang dimaksud disini merupakan total waktu yang diperlukan untuk
melakukan pergerakan sepanjang ruas jalan yang dituju.
Sehubungan dengan itu, untuk melihat biaya tundaan yang terjadi maka
dilakukan perhitungan selisih biaya perjalanan antara volume lalu lintas pada
waktu puncak dengan kecepatan tempuh saat sebelum dan sesudah pertambahan
volume lalu lintas dan hambatan samping jalan.
Dengan demikian, persamaan diatas dapat ditulis sebagai berikut :