BAB II Tinjauan Literatur dan Hasil Penelitian A. Tinjauan Pustaka … · 2020. 3. 5. · 10 BAB II...
Transcript of BAB II Tinjauan Literatur dan Hasil Penelitian A. Tinjauan Pustaka … · 2020. 3. 5. · 10 BAB II...
10
BAB II
Tinjauan Literatur dan Hasil Penelitian
A. Tinjauan Pustaka
1. Sejarah Perkembangan Bank di Indonesia
Bank untuk pertama kali didirikan dalam bentuk seperti sebuah firma pada
tahun 19601, pada saat kerajaan Inggris berkemauan merencanakan membangun
kembali kekuatan armada lautnya untuk bersaing dengan kekuatan armada laut
Prancis akan tetapi pemerintahan Inggris saat itu tidak mempunyai kemampuan
pendanaan kemudian berdasarkan gagasan William Peterson yang kemudian oleh
Charles Montagu direlisasikan dengan membentuk sebuah lembaga intermediasi
keuangan yang akhirnya dapat memenuhi dana pembiayaan tersebut hanya dalam
waktu dua belas hari. Sejarah mencatat asal mula dikenalnya kegiatan perbankan
adalah pada zaman kerajaan tempo dulu di daratan Eropa. Kemudian usaha
perbankan ini berkembang ke Asia Barat oleh para pedagang.2
Perkembangan perbankan di Asia, Afrika dan Amerika dibawa oleh bangsa
Eropa pada saat melakukan penjajahan ke negara jajahannya baik di Asia, Afrika
maupun Benua Amerika. Bila ditelusuri, sejarah dikenalnya perbankan dimulai
dari jasa penukaran uang. Sehingga dalam sejarah perbankan, arti bank dikenal
sebagai meja tempat penukaran uang. Dalam perjalanan sejarah kerajaan pada
masa dahulu penukaran uangnya dilakukan antar kerajaan yang satu dengam
kerajaan yang lain. Kegiatan penukaran ini sekarang dikenal dengan nama
Pedagang Valuta Asing (Money Changer). Kemudian dalam perkembangan
selanjutnya, kegiatan operasional perbankan berkembang lagi menjadi tempat
penitipan uang atau yang disebut sekarang ini kegiatan simpanan. Berikutnya,
kegiatan perbankan bertambah dengan kegiatan peminjaman uang. Uang yang
disimpan oleh masyarakat, oleh perbankan dipinjamkan kembali kepada
masyarakat yang membutuhkannya. Jasa-jasa bank lainnya menuyusul sesuai
dengan perkembangan zaman dan kebutuhan masyarakat yang semakin beragam.
1 Zainal Asikin, Pengantar Hukum Perbankan Indonesia, Rajawali Pers, Jakarta, 2016, Hal., 4.
2 Ibid, Hal., 5.
11
Sejarah perbankan di Indonesia tidak terlepas dari zaman penjajahan Hindia
Belanda. Pada masa itu De Javasche Bank, NV (Naamloze Vennotschap)
didirikan di Batavia pada tanggal 24 Januari 1828 kemudian menyusul
Nederlandsche Indische Escompto Maatschappij, NV pada tahun 1918 sebagai
pemegang monopoli pembelian hasil bumi dalam negeri dan penjualan ke luar
negeri serta terdapat beberapa bank yang memegang peranan penting di Hindia
Belanda. Bank-bank yang ada itu antara lain:3
1. De Javasche Naamloze Vennotschap.
2. De Post Poar Bank.
3. Hulp en Spaar Bank.
4. De Algemenevolks Crediet Bank.
5. Nederland Handles Maatscappi (NHM).
6. Nationale Handles Bank (NHB).
7. De Escompto Bank NV.
8. Nederlansche Indische Handelsbank.
Di samping itu, terdapat pula bank-bank milik orang Indonesia dan orang-
orang asing seperti dari Tiongkok, Jepang, dan eropa. Bank-bank tersebut antara
lain:
1. NV. Nederlansche Indische Spaar En Deposito Bank.
2. Bank Nasional Indonesia.
3. Bank Abuan Saudagar.
4. NV Bank Boemi.
5. The Chartered Bank of India, Australia and China.
6. Hongkong & Shanghai Banking Corporation.
7. The Yokohama Species Bank.
8. The Matsui Bank.
9. The Bank of China.
10. Batavia Bank.
3 Ibid, Hal., 5.
12
Kemudian memasuki masa kemerdekaan, perbankan di Indonesia bertambah
maju dan berkembang lagi. Beberapa bank Belanda dinasionalir oleh Pemerintah
Indonesia. Bank-bank yang ada di zaman awal kemerdekaan antara lain:
a. NV. Nederlansche Indische Spaar En Deposito Bank (saat ini Bank
OCBCNISP), didirikan 4 April 1941 dengan kantor pusat di Bandung.
b. Bank Negara Indonesia, yang didirikan pada tanggal 5 Juli 1946 yang
sekarang dikenal dengan BNI ’46.
c. Bank Rakyat Indonesia yang didirikan pada tanggal 22 Februari 1946.
Bank ini berasal dari De Algemenevolks Crediet Bank atau Syomin Ginko.
d. Bank Surakarta Maskapai Adil Makmur (MAI) tahun 1945 di Solo, Jawa
Tengah.
e. Bank Indonesia di Palembang pada tahun 1946.
f. Bank Dagang Nasional Indonesia tahun 1946 di Medan,
g. Indonesian Banking Corporation tahun 1947 di Yogyakarta, kemudian
menjadi Bank Amerta.
h. NV Bank Sulawesi di Manado tahun 1946.
i. Bank Dagang Indonesia NV di Samarinda tahun 1950 kemudian merger
dengan Bank Pasifik.
j. Bank Timur NV di Semarang berganti nama menjadi Bank Gemari.
Kemudian merger dengan Bank Central Asia (BCA) pada tahun 1949.
Di Indonesia, praktik perbankan sudah tersebar sampai ke pelosok pedesaan.
Lembaga keuangan berbentuk bank di Indonesia berupa Bank Umum, Bank
Perkreditan Rakyat (BPR), Bank Umum Syariah, dan juga Bank Pembiayaan
Rakyat Syariah (BPRS).
Sebagaimana diketahui bahwa Indonesia mengenal dunia perbankan dari
bekas penjajahanya, yaitu Belanda. Oleh karena itu, sejarah perbankan pun tidak
lepas dari pengaruh negara yang menjajahnya baik untuk bank pemerintah
maupun bank swasta nasional. Pada 1958, pemerintah melakukan nasionalisasi
bank milik Belanda mulai dengan Nationale Handels Bank (NHB) selanjutnya
pada tahun 1959 yang diubah menjadi Bank Umum Negara (BUNEG kemudian
menjadi Bank Bumi Daya) selanjutnya pada 1960 secara berturut-turut Escompto
13
bank menjadi Bang Dagang Negara (BDN) dan Nederlandsche Handels
Maatschappij (NHM) menjadi Bank Koperasi Tani dan Nelayan (BKTN) dan
kemudian menjadi Bank Expor Impor Indonesia (BEII).
Berikut ini akan dijelaskan secara singkat sejarah bank-bank milik pemerintah,
yaitu:
a. Bank Sentral
Bank Sentral di Indonesia adalah Bank Indonesia (BI) berdasarkan
Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1968. Kemudian ditegaskan lagi dengan
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999. Bank ini sebelumnya berasal dari De
Javasche Bank yang dinasionalkan pada tahun 1951.
b. Bank Rakyat Indonesia dan Bank Expor Impor
Bank ini berasal dari De Algemene Volkscrediet Bank, kemudian dilebur
setelah menjadi bank tunggal dengan nama Bank Nasional Indonesia (BNI)
Unit II yang bergerak dibidang rural dan Ekspor Impor, dipisahkan lagi
menjadi, yang membidangi rural menjadi bank Rakyat Indonesia dengan
Undang-undang Nomor 21 Tahun 1968. Yang membidangi Exim dengan
Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1968 menjadi Bank Ekspor Impor
Indonesia.
c. Bank Negara Indonesia (BNI ’46)
Bank ini menjalani BNI Unit III dengan Undang-Undang Nomor 17 Tahun
1968 berubah menjadi Bank Negara Indonesia ’46.
d. Bank Dagang Negara (BDN)
BDN berasal dari Escompto Bank yang dinasionalisasikan dengan
Peraturan Pemerintah Nomor 13 Tahun 1960, namun Peraturan Pemerintah
ini dicabut dan diganti dengan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1968
menjadi Bank Dagang Negara. BDN merupakan satu-satunya Bank
Pemerintah yang berada di luar Bank Negara Indonesia Unit.
14
e. Bank Bumi Daya (BBD)
BBD semula berasal dari Nederlansche Indische Hendles Bank, kemudian
menjadi Bank Bumi Daya dengan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 1968
menjadi Bank Bumi Daya.
f. Bank Pembangunan Daerah (BPD)
Bank ini didirikan di daerah-daerah tingkat I. Dasar hukumnya adalah
Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1962.
g. Bank Tabungan Negara (BTN)
BTN Berasal dari De Post Paar Bank yang kemudian menjadi Bank
Tabungan Pos Tahun 1950. Selanjutnya menjadi Bank Negara Indonesia Unit
V dan terakhir menjadi Bank Tabungan Negara dengan Undang-Undang
Nomor 20 Tahun 1968.
h. Bank Mandiri
Bank Mandiri merupakan hasil merger antara Bank Bumi Daya (BBD),
Bank Dagang Negara (BDN), Bank Pembangunan Indonesia (Bapindo) dan
Bank Expor Impor Indonesia (Bank Exim). Hasil merger keempat bank ini
dilaksanakan pada tahun 1998.
a. Pengertian Hukum Perbankan
Secara umum dapat dikatakan bahwa hukum perbankan adalah hukum yang
mengatur segala sesuatu yang berhubungan dengan perbankan. Tentu untuk
memperoleh pengertian yang lebih mendalam mengenai pengertian hukum
perbankan tidaklah cukup hanya dengan memberikan suatu rumusan yang
demikian. Oleh karena itu, perlu dikemukakan beberapa pengertian hukum
perbankan dari para ahli hukum perbankan.4
4 Hermansyah, Hukum Perbankan Indonesia (Ditinjau Menurut Undang-Undang Nomor 7 Tahun
1992 tentang perbankan, Sebagaimana Telah Diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun
1998.....), Kencana Prenadamedia Group, Jakarta, 2012, Hal., 39.
15
Menurut Muhammad Djumhana,5 hukum perbankan adalah sebagai kumpulan
peraturan hukum yang mengatur kegiatan lembaga keuangan bank yang meliputi
segala aspek, dilihat dari segi esensi, dan eksistensinya, serta hubungannya
dengan bidang kehidupan yang lain.
Adapun Munir Fuady,6 merumuskan hukum perbankan adalah seperangkat
kaidah hukum dalam bentuk peraturan perundang-undangan, yurisprudensi,
doktrin, dan lain-lain sumber hukum, yang mengatur masalah-masalah perbankan
sebagai lembaga, dan aspek kegiatannya sehari-hari, rambu-rambu yang harus
dipenuhi oleh suatu bank, perilaku petugas-petugasnya, hak, kewajiban, tugas, dan
tanggung jawab para pihak yang tersangkut dengan bisnis perbankan, apa yang
boleh dan tidak boleh dilakukan oleh bank, eksistensi perbankan, dan lain-lain
yang berkenaan dengan dunia perbankan.
Beranjak dari beberapa pengertian mengenai hukum perbankan di atas, dengan
mengacu pada pengertian perbankan sebagai segala sesuatu yang menyangkut
tentang bank, mencakup kelembagaan, kegiatan usaha, serta cara dan proses
melaksanakan kegiatan usahanya, maka pada prinsipnya dapat dirumuskan bahwa
hukum perbankan adalah keseluruhan norma-norma tertulis maupun norma-norma
tidak tertulis yang mengatur tentang bank, mencakup kelembagaan, kegiatan
usaha, serta cara, dan proses melaksanakan kegiatan usahanya.
Berkaitan dengan pengertian-pengertian di atas, kiranya dapat dijelaskan
bahwa yang dimaksud dengan norma-norma tertulis ialah seluruh peraturan
perundang-undangan yang mengatur mengenai bank, sedangkan norma-norma
yang tidak tertulis adalah hal-hal atau kebiasaan-kebiasaan yang timbul dalam
praktik perbankan.7
5 Ibid, Hal., 39.
6 Ibid, Hal., 39.
7 Ibid, Hal., 40.
16
b. Sumber Hukum Perbankan
Sebagaimana diketahui bahwa di dalam Ilmu Hukum dikeal beberapa sumber
hukum yaitu:
1. Undang-Undang (dalam arti formil dan materiil)
2. Kebiasaan (hukum tidak tertulis)
3. Yurispridensi
4. Traktat
5. Doktrin
Adapun sumber hukum perbankan di Indonesia diatur dalam berbagai
peraturan perundang-undangan sebagai berikut:
1. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan, Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 21 Tahun 1992 yang diubah dengan
Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998, Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 182 Tahun 2008 selanjutnya disebut Undang-Undang
Perbankan.
Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tidak menghapuskan atau
mengganti seluruh pasal yang terdapat dalam Undang-Undang Nomor 7
Tahun 1992 tetapi hanya mengubah dan menambah beberapa pasal yang
dianggap penting.
2. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia,
kemudian diubah dan disempurnakan dengan Undang-Undang Nomor 3
Tahun 2004, yang selanjutnya mengalami perubahan kembali dengan
Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua
atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia
menjadi Undang-Undang yakni menjadi Undang-Undang Nomor 6
Tahun 2009.
3. Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2004 tentang Lembaga Penjamin
Simpanan, yang kemudian mengalami perubahan dengan Peraturan
Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2008 tentang
17
Perubahan atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2004 yang kemudian
disahkan menjadi Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2009.
4. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah.
5. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan.
6. Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 15 / POJK.03 / 2017 tentang
Penetapan Status dan Tindak Lanjut Pengawasan Bank Umum.
7. Peraturan Bank Indonesia Nomor 11/1/PBI/2009 tanggal 27 Januari 2009
tentang Bank Umum.
2. Kegiatan Usaha Bank dan Perlindungan Hukum Nasabah
a. Hubungan Hukum Antara Bank dengan Nasabah
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan,
menyebutkan bahwa bank ialah badan usaha yang menghimpun dana dari
masyarakat dalam bentuk simpanan dan menyalurkan kembali kepada masyarakat
dalam bentuk kredit maupun bentuk lainnya dalam rangka meningkatkan taraf
hidup masyarakat.8
Berdasarkan dua fungsi utama dari bank, yaitu fungsi penyaluran dana
(kredit), dan fungsi menghimpun dana dari masyarkat, maka terdapat dua
hubungan hukum antara bank dengan nasabah, yakni:
1) Hubungan hukum antara bank dan nasabah penyimpan, dan
2) Hubungan hukum antara bank dan nasabah debitur.
Kegiatan usaha yang dapat dilakukan oleh instansi perbankan lebih banyak
menampilkan aspek hukum perdata, yaitu hubungan antara 2 (dua) subyek hukum
(penyandang hak dan kewajiban), yaitu pihak bank dan pihak nasabah.
Sebagaimana kita ketahui hubungan hukum terjadi apabila antara dua belah pihak
atau lebih menimbulkan hak dan kewajiban bagi para pihak yang terkait.
8 Pasal 1 Angka 2 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Atas Undang-
Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan)
18
Dalam kegiatan penghimpunan dana atau simpanan masyarakat, baik dalam
bentuk deposito maupun tabungan, tidak dibuat secara jelas dan rinci. Dalam
Undang-Undang Perbankan Nomor 10 Tahun 1998, tidak ditemui ketentuan yang
mengatur secara tegas perihal hubungan hukum antara bank dan nasabahnya.
Namun dari beberapa ketentuan dapat disimpulkan bahwa hubungan hukum
antara bank dengan nasabah diatur di dalam suatu perjanjian. Ketentuan ini
disimpulkan dari Pasal 1 Angka 5 Undang-Undang Perbankan “Simpanan ialah
dana yang dipercayakan oleh masyarakat kepada bank berdasarkan perjanjian
penyimpanan dana dalam bentuk giro, deposito, sertifikat deposito, tabungan dan
atau bentuk lainnya yang dipersamakan dengan itu”.9
Dengan demikian simpanan masyarakat yang disimpan dalam bank dapat
berupa:
a. Giro ialah simpanan yang penarikannya dapat dilakukan setiap saat
dengan menggunakan bilyet giro, cek, sarana perintah pembayaran
lainnya atau dengan pemindahbukuan (Pasal 1 Angka 6 Undang-Undang
Perbankan Nomor 10 Tahun 1998);
b. Deposito ialah simpanan yang penarikannya hanya dapat dilakukan pada
waktu tertentu berdasarkan perjanjian nasabah penyimpan dengan bank
(Pasal 1 Angka 7 Undang-Undang Perbankan Nomor 10 Tahun 1998);
c. Sertifikat Deposito ialah simpanan dalam bentuk deposito yang sertifikat
bukti penyimpanannya dapat dipindahtangankan (Pasal 1 Angka 8
Undang-Undang Perbankan Nomor 10 Tahun 1998);
d. Tabungan ialah simpanan yang penarikannya hanya dapat dilakukan
menurut syarat tertentu yang disepakati tetapi tidak dapat ditarik dengan
cek, bilyet giro, dan alat lainnya yang dapat dipersamakan dengan itu
(Pasal 1 Angka 9 Undang-Undang Perbankan Nomor 10 Tahun 1998).
Maka dari ketentuan tersebut terlihat bahwa hubungan hukum antara bank
dengan nasabah diatur oleh hukum perjanjian, masalah perjanjian diatur di dalam
9 http:/semestahukum.blogspot.com/2018/02/bentuk-hubungan-hukum-antara-bank.html,
dikunjungi pada tanggal 19 September 2018, pukul 08.15.
19
Buku III Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang menganut sistem terbuka,
dalam arti hukum perjanjiian memberikan suatu kebebasan yang seluas-luasnya
kepada masyarakat untuk menciptakan suatu perjanjian asalkan tidak melanggar
ketertiban umum dan kesusilaan.
Dengan ditandatanganinya suatu perjanjian oleh kedua belah pihak maka
muncul akibat hukum yang mengikat para pihak. Asas ini dalam hukum perjanjian
sering dikenal dengan asas kebebasan berkontrak (The Freedom of Contract).
Asas ini disimpulkan dalam Pasal 1338 Ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum
Perdata yang mengemukakan bahwa semua persetujuan yang dibuat secara sah
berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya.
b. Perlindungan Hukum Bagi Nasabah Penyimpan Dana
Menurut Prof. Dr. Satjipto Rahardjo, SH., bahwa hukum melindungi
kepentingan seseorang dengan cara mengalokasikan kepentingan seseorang
dengan cara mengalokasikan suatu kekuasaan kepadanya untuk bertindak dalam
rangka kepentingannya tersebut. Pengalokasian kekuasaan ini dilakukan secara
terukur, dalam arti, ditentukan keluasan dan kedalamannya. Kekuasaan yang
demikuan itulah yang disebut dengan hak. Dengan demikian, tidak setiap
kekuasaan dalam masyarakat itu bisa disebut sebagai hak, melainkan hanya
kekuasaan tertentu saja, yaitu yang diberikan oleh hukum kepada seseorang.10
Berkaitan dengan perlindungan hukum terhadap nasabah ini, Marulak Pardede
mengemukakan bahwa dalam sistem perbankan Indonesia, mengenai
perlindungan terhadap nasabah penyimpan dana, dapat dilakukan melalui 2 (dua)
cara, yaitu:
a. Perlindungan secara implisit (Implicit deposit protection) yaitu
perlindungan yang dihasilkan oleh pengawasan dan pembinaan bank yang
efektif, yang dapat menghindarkan terjadinya kebangkrutan bank.
Perlindungan ini yang diperoleh melalui: (1) peraturan perundang-
undangan dibidang perbankan, (2) perlindungan yang dihasilkan oleh
10
Hermansyah, Op.Cit., Hal., 121.
20
pengawasan dan pembinaan yang efektif, yang dilakukan oleh Bank
Indonesia, (3) upaya menjaga kelangsungan usaha bank sebagai sebuah
lembaga pada khususnya dan perlindungan terhadap sistem perbankan
pada umumnya, (4) memelihara tingkat kesehatan bank, (5) melakukan
usaha sesuai dengan prinsip kehati-hatian, (6) cara pemberian kredit yang
tidak merugikan bank dan kepentingan nasabah, dan (7) menyediakan
informasi risiko pada nasabah.
b. Perlindungan secara eksplisit (Explicit deposit protection), yaitu
perlindungan melalui pembentukan suatu lembaga yang menjamin
simpanan masyarakat, sehingga apabila bank mengalami kegagalan,
lembaga tersebut yang akan mengganti dana masyarakat yang disimpan
pada bank yang gagal tersebut. Perlindungan ini diperoleh melalui
pembentukan lembaga yang menjamin simpanan masyarakat,
sebagaimana diatur dalam Keputusan Presiden Republik Indonesia
Nomor 26 Tahun 1998 tentang Jaminan Terhadap Kewajiban Bank
Umum.
Selanjutnya dalam membahas mengenai perlindungan hukum bagi nasabah
penyimpan dana, bahwa pada hakikat dari perlindungan hukum tersebut ialah
melindungi kepentingan dari nasabah penyimpan dan simpanannya yang disimpan
di suatu bank tertentu terhadap suatu risiko kerugian. Perlindungan hukum ini
merupakan upaya untuk mempertahankan dan memelihara kepercayaan
masyarakat khususnya nasabah, maka sudah sepatutnya dunia perbankan perlu
memberikan perlindungan hukum.
Berkaitan dengan perlindungan hukum terhadap nasabah penyimpan dana,
maka dapat dibagi menjadi 2 macam perlindungan, yaitu perlindungan hukum
secara tidak langsung dan perlindungan hukum secara langsung.
1) Perlindungan Nasabah Tidak Langsung
Perlindungan secara tidak langsung oleh dunia perbankan terhadap
kepentingan nasabah penyimpan dana adalah suatu perlindungan hukum yang
diberikan kepada nasabah penyimpan dana terhadap segala risiko kerugian yang
21
timbul dari suatu kebijakasanaan atau timbul dari kegiatan usaha yang dilakukan
oleh bank. Hal ini adalah suatu upaya dan tindakan pencegahan yang bersifat
internal oleh bank yang bersangkutan dengan melalui hal-hal yang dikemukakan
berikut ini:
a) Prinsip Kehati-hatian (Prudential Priciple)
Menurut ketentuan Pasal 2 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998
dikemukakan, bahwa Perbankan Indonesia dalam melakukan usahanya berasaskan
Demokrasi Ekonomi dengan menggunakan prinsip kehati-hatian. Dari ketentuan
ini, menunjukkan bahwa prinsip kehati-hatian adalah salah satu asas terpenting
yang wajib diterapkan atau dilaksanakan oleh bank dalam menjalankan kegiatan
usahanya.
Prinsip kehati-hatian tersebut mengharuskan pihak bank untuk selalu berhati-
hati dalam menjalankan kegiatan usahanya, dalam arti harus selalu konsisten
dalam melaksanakan peraturan perundang-undangan di bidang perbankan
berdasarkan profesionalisme dan itikad baik.
b) Batas Maksimum Pemberian Kredit (BMPK)
Mengenai Batas Maksimum Pemberian Kredit (BMPK atau Legal Lending
Limit) telah diatur dalam Pasal 11 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 dan
Peraturan Pelaksanaannya.
Pasal 11 ayat (1):
Bank Indonesia menetapkan menganai batas maksimum pemberian kredit
atau pembiayaan berdasrkan prinsip syariah, pemberian jaminan,
penempatan investasi surat berharga atau hal lain yangs erupa, yang dapat
dilakukan oleh bank kepada peminjam atau kelompok peminjam yang terkait,
termasuk kepada perusahaan-perusahaan dalam kelompok yang sama
dengan bank yang bersagkutan.
Dengan demikian bank melaksanakan fungsinya sebagai penyalur dana dalam
bentuk kredit haruslah memenuhi persyaratan-persyaratan yang telah diatur dalam
22
peraturan perundang-undangan yang berlaku. Hal ini harus dilakukan untuk
mencegah timbulnya kerugian dari nasabah penyimpan dan simpanannya yang
ada pada bank. Mengingat, bahwa bank terutama bekerja dengan dana dari
masyarakat yang disimpan pada bank atas dasar kepercayaan, tentu setiap bank
perlu menjaga kesehatannya dan memelihara kepercayaan masyarakat padanya.
c) Kewajiban Mengumumkan Neraca dan Perhitungan Laba Rugi
Kewajiban dari bank untuk mengumumkan neraca dan perhitungan laba rugi
diatur dalam Pasal 35 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998: “Bank wajib
mengumumkan neraca dan perhitungan laba rugi dalam waktu dan bentuk yang
ditetapkan oleh Bank Indonesia”.
Dengan adanya ketentuan ketentuan yang mewajibkan bank untuk
menyampaikan dan mengumumkan neraca dan perhitungan laba rugi sebagaimana
diatur dalam Pasal 35, dapat memberikan informasi kepada masyarakat, terutama
nasabah penyimpan mengenai tingkat kesehatan bank dan hal-hal lain yang terkait
dengan bank tersebut.
d) Merger, Konsolidasi, dan Akuisisi Bank
Banyak alasan dan tujuan dilakukannya merger, akuisisi, dan konsolidasi oleh
pelaku usaha terhadap badan usaha bank yang dimilikinya. Salah satu yang
terpenting adalah untuk meningkatkan efisiensi dan mempertinggi daya saing
perusahaan. Namun demikian, dalam melakukan merger, konsolidasi, dan akuisisi
dibidang perbankan tidaklah dapat dilakukan dengan sebebas-bebasnya, tetapi
dibatasi oleh praturan perundang-undangan yang terkait.
Berkaitan dengan itu, menurut ketentuan Pasal 5, Peraturan Pemerintah
Nomor 28 Tahun 1999 tentang Merger, Konsolidasi, dan Akuisisi bahwa
pelaksanaan merger, konsolidasi, dan akuisisi harus memperhatikan kepentingan
dari semua pihak, yaitu kepentingan bank, kepentingan kreditor, kepentingan
pemegang saham monoritas dan karyawan bank, juga kepentingan rakyat banyak,
dan persaingan yang sehat dalam membentuk suatu usaha bank.
23
Berdasarkan ketentuan tersebut, jelaslah bahwa dalam rangka pelaksanaan
merger, konsolidasi, dan akuisisi bank, kepentingan dari nasabah penyimpan
sebagai kreditor telah memperoleh perlindungan hukum.
2) Perlindungan Nasabah Langsung
Perlindungan secara langsung oleh dunia perbankan terhadap kepentingan
nasabah penyimpan dana adalah suatu perlindungan yang diberikan kepada
nasabah penyimpan dana secara langsung terhadap kemungkinan timbulnya risiko
kerugian dari kegiatan usaha yang dilakukan oleh bank.
Mengenai perlindungan nasabah secara langsung ini dapat dikemukakan
dalam 2 (dua) hal, yakni:
a) Hak Preferen Nasabah Penyimpan Dana
Hak preferen adalah suatu hak yang diberikan kepada seorang kreditor untuk
didahulukan dari kreditor-kreditor yang lain. Dalam sistem perbankan Indonesia,
nasabah penyimpan merupakan kreditor yang mempunyai hak preferen, dalam arti
bahwa nasabah penyimpan yang harus didahulukan dalam menerima pembayaran
dari bank yang sedang mengalami kegagalan atau kesulitan dalam memenuhi
kewajiban-kewajibannya.
Berkaitan dengan itu, sebagaimana diketahui bahwa dalam Undang-Undang
Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan telah mengatur pasal-pasal yang
bertujuan memberikan perlindungan hukum kepada kepentingan nasabah
penyimpan dan simpanannya yang ada pada bank.
Berdasarkan uraian di atas, pada prinsipnya dalam Undang-Undang Nomor
10 Tahun 1998 telah diatur sedemikian rupa mengenai perlindungan hukum
terhadap kepentingan nasabah penyimpan. Namun demikian, kemungkinan
terhadap timbulnya risiko kerugian bagi nasabah penyimpan tetaplah ada. Oleh
karena itu, dunia perbankan haruslah sedemikian rupa dapat memelihara
kepercayaan masyarakat, dengan cara menerapkan prinsip kehati-hatian, serta
adanya itikad baik, dan konsisten dalam melaksanakan peraturan perundang-
undangan yang terkait dengan kegiatan usaha yang dilakukannya.
24
Berkaitan dengan hak preferen dari nasabah penyimpan, dalam hal bank yang
menyimpan dana masyarakat tersebut mengalami kegagalan atau kesulitan, maka
berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 26 Tahun 1998, dana masyarakat yang
disimpan di bank tersebut dijamin oleh pemerintah melalui lembaga penjamin
simpanan yang dikenal sebagai Unit Pelaksana Penjaminan Pemerintah sebagai
salah satu unit di Departemen Keuangan Republik Indonesia.
b) Lembaga Asuransi Deposito
Jaminan perlindungan bagi nasabah penyimpan dana sehubungan dengan
dihentikannya kegiatan usaha sebuah bank adalah mutlak diperlukan. Untuk
memberikan perlindungan dikemudian hari bagi kepentingan nasabah-nasabah
penyimpan dari bank-bank yang mengalami kegagalan, terutama para deposan
yang dananya relatif kecil, maka perlu diciptakan suatu sistem asuransi deposito.
Misi dari lembaga asuransi deposito ini adalah memelihara stabilitas dari
sistem keuangan negara dengan cara mengasuransikan para deposan bank dan
mengurangi gangguan-gangguan terhadap perekonomian nasional yang
disebabkan kegagalan-kegagalan yang dialami oleh perbankan.
Mengenai lembaga jaminan asuransi ini, sesungguhnya telah diatur dalam
Peraturan Pemerintah Nomor 34 Tahun 1973 tentang Jaminan Simpanan Uang
Pada Bank yang ditetapkan pada tanggal 22 Agustus 1973. Sejak ditetapkannya
Peraturan Pemerintah ini, belum dilaksanakan oleh Bank Indonesia.
Berkaitan dengan jaminan terhadap dana masyarakat yang ada pada bank,
dalam ketentuan pasal 37 B Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998
dikemukakan, bahwa:
Pasal 37 B ayat (1):
Setiap bank wajib menjamin dana masyarakat yang disimpan pada bank yang
bersangkutan.
Dari ketentuan tersebut, jelaslah bahwa adanya suatu kewajiban bagi bank
untuk menjamin dana dari nasabah penyimpan. Ketentuan ini juga memberikan
25
suatu jaminan bagi nasabah penyimpan bahwa apabila bank di mana iamenyimpan
dananya mengalami kegagalan, maka dananya tersebut pasti diterimanya kembali.
Berkaitan dengan itu, dalam ketentuan Pasal 37 B ayat (2) dikemukakan,
bahwa:
Untuk menjamin simpanan masyarakat pada bank sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1) dibentuk Lembaga Penjamin Simpanan.
Pembentukan Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) ini diperlukan dalam
rangka melindungi kepentingan nasabah dan sekaligus meningkatkan kepercayaan
masyarakat kepada bank.
Dalam penyelenggaraan penjaminan simpanan dana masyarakat pada bank,
Lembaga Penjamin Simpanan dapat menggunakan:
a) Skim dana bersama;
b) Skim asuransi, atau
c) Skim lainnya yang disetujui oleh Bank Indonesia.
3. Tentang Lembaga Penjamin Simpanan (LPS)
a. Latar Belakang Perlunya Lembaga Penjamin Simpanan
Fungsi utama bank dalam suatu perekonomian adalah untuk memobilisasi
dana masyarakat dan secara tepat dan cepat menyalurkan dana tersebut kepada
pengguna atau investasi yang efektif dan efisien.
Tahun 1998 ketika terjadi krisis perbankan nasional, sekitar 16 bank dicabut
izin usahanya oleh Bank Indonesia. Pencabutan izin usaha bank ini berdampak
pada kelangsungan usaha bank. Bank-bank yang dicabut izin usahanya
dilanjutkan dengan melikuidasi banknya, yang otomatis tidak dapat lagi
menjalankan usahanya. Dalam kondisi bank yang seperti ini bagaimanakah nasib
nasabah yang menyimpan dananya pada bank terebut?
Sebelum terjadinya krisis perbankan nasional, dunia perbankan pernah
digoncangkan dengan dicabut izin usaha Bank Suma pada tahun 1992 akibat
26
kalah kliring. Nasabah bank harus menunggu bertahun-tahun agar dananya dapat
diambil kembali. Dari kejadian tersebut tampak bahwa kedudukan nasabah
penyimpan dana sangatlah lemah. Undang-undang perbankan tidak mengatur
tentang kedudukan nasabah penyimpan dana. Padahal 60-70 % aset bank adalah
adalah dana dari masyarakat, sisanya sekitar 30-40 % adalah modal bank. Oleh
karena itu betapa dana masyarakat sangat berperan dalam operasional perbankan,
dan juga kepercayaan masyarakat terhadap bank perlu dijaga. Apabila masyarakat
sudah tidak memiliki kepercayaan terhadap bank, maka masyarakat tidak akan
menyimpan dananya pada bank, mereka akan beralih menginvestasikan dananya
ke berbagai bentuk investasi lainnya seperti ke pasar modal, menyimpan dalam
bentuk tanah, bangunan, atau logam mulia.
Untuk menjaga kepercayaan masyarakat terhadap bank, tahun 1998 ketika
terjadi krisis perbankan, pemerintah mengeluarkan Keputusan Presiden Nomor 26
Tahun 1998 tentang Jaminan Terhadap Kewajiban Bank Umum. Tindakan ini
merupakan tindakan pemerintah yang bersifat crash program yang bertujuan
untuk menghindarkan semakin buruknya perekonomian nasional. Pemahaman
terkait dengan crash program sendiri ialah, program dari pemerintah untuk
mengatasi suatu masalah tertentu, yang berkaitan dengan program tertentu.
Kebijakan ini bersifat sementara berlangsung sampai 26 Januari 2000. Dengan
Keputusan Presiden ini, maka dana nasabah bank yang dilikuidasi dijamin oleh
Pemerintah. Dana yang digunakan untuk menjamin dana nasabah ini tentu saja
menggunakan APBN. Hal ini tentu saja berdampak tidak baik bagi keuangan
negara.
Kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah tersebut dikenal dengan Blanket
Guarantee.11
Blanket Guarantee dikeluarkan oleh pemerintah untuk mengisi
kekosongan hukum dalam penjaminan nasabah penyimpan dana telah membawa
dampak ekonomi, politik, dan hukum sangat besar. Bank Indonesia dianggap
bertanggung jawab terhadap penyalahgunaan penyalurannya.
11
Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 2005 tentang Modal Awal Lembaga Penjamin
Simpanan.
27
Langkah berikutnya untuk menunjang Keputusan Presiden tersebut,
pemerintah membentuk Perusahaan Perseroan (Persero) di bidang penjaminan
kewajiban bank melalui Peraturan Pemerintah Nomor 53 Tahun 1998 tentang
Penyertaan Modal Negara Republik Indonesia untuk Pendirian Perusahaan
Perseroan di Bidang Penjaminan Kewajiban Bank. Tujuan dengan didirikannya
perusahaan ini ialah:
a. Penjaminan simpanan masyarakat pada bank;
b. Penjaminan kewajiban bank lainnya di luar simpanan;
c. Penumpukan keuntungan untuk meningkatkan nilai perusahaan;
d. Usaha-usaha lain yang menunjang kegiatan dalam rangka penjaminan.
Dalam perkembangannya persero tersebut belum sesuai dengan yang
diharapkan, karena belum memiliki landasan hukum. Untuk itu melalui Undang-
Undang Nomor 10 Tahun 1998 diatur tentang Lembaga Penjamin Simpanan.
Lembaga ini merupakan suatu badan hukum yang menyelenggarakan kegiatan
penjaminan atas simpanan nasabah penyimpan melalui skim asuransi, dana
penyangga, atau skim lainnya.
b. Pengaturan dan Pengertian Lembaga Penjamin Simpanan
Pengaturan tentang Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) diatur dalam Pasal 1
angka 24 dan Pasal 37 B Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998, yang isinya
sebagai berikut:
Pasal 1 angka 24 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998:
Lembaga Penjamin Simpanan adalah merupakan suatu badan hukum yang
menyelenggarakan kegiatan penjaminan atas simpanan nasabah penyimpan
melalui skim asuransi, dana penyangga, atau skim lainnya.
Pasal 37 B Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998:
1. Setiap bank wajib menjamin dana masyarakat yang disimpan pada bank
yang bersangkutan;
28
2. Untuk menjamin simpanan masyarakat pada bank sebagaimana dimaksud
ayat (1) dibentuk Lembaga Penjamin Simpanan;
3. Lembaga Penjamin Simpanan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2)
berbentuk badan hukum Indonesia;
4. Kebutuhan mengenai penjamin dana masyarakat dan Lembaga Penjamin
Simpanan, diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.
Pengaturan lebih lanjut dari undang-undang tersebut disusun Undang-undang
Nomor 24 Tahun 2004 tentang Lembaga Penjamin Simpanan. Undang-undang ini
terdiri dari 15 bab, 103 pasal. Undang-undang ini antara lain mengatur tentang:
Pembentukan, status, dan tempat kedudukan Lembaga Penjamin
Simpanan;
Fungsi, tugas, dan wewenang Lembaga Penjamin Simpanan;
Penjaminan simpaan nasabah bank;
Simpanan yang dijamin;
Penyelesaian bank gagal;
Organisasi Lembaga Penjamin Simpanan;
Dan lain-lain.
c. Kedudukan dan Organisasi Lembaga Penjamin Simpanan
Kedudukan Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) diatur dalam Bab II Undang-
Undang Nomor 24 Tahun 2004. Menurut pasal 2, LPS merupakan badan hukum
yang berkedudukan di ibu kota Negara Republik Indonesia. LPS dapat
mempunyai kantor perwakilan di wilayah negara Republik Indonesia. Mengenai
peryaratan dan tata cara pembentukan kantor perwakilan diatur dengan Keputusan
Dewan Komisioner. LPS merupakan lembaga yang independen, transparan, dan
akuntabel dalam melaksanakan tugasnya. LPS bertanggung jawab langsung
kepada Presiden.
Organisasi LPS diatur dalam Pasal 62 Undang-Undang Nomor 24 Tahun
2004. Menurut Pasal 62, organ LPS terdiri atas Dewan Komisioner dan Kepala
Eksekutif. Dewan komisioner adalam pimpinan LPS yang bertugas merumuskan
dan menetapkan kebijakan serta melakukan pengawasan dalam rangka
29
pelaksanaan tugas dan wewenang LPS. Salah satu anggota Dewan Komisioner
yang ditetapkan sebagai Kepala Eksekutif bertugas melaksanakan kegiatan
operasional LPS. Tugas dan wewenang Kepala Eksekutif ditetapkan dalam
Keputusan Dewan Komisioner
d. Fungsi, Tugas, dan Wewenang Lembaga Penjamin Simpanan
Fungsi dari lembaga penjamin simpanan menurut Undang-Undang Nomor 24
Tahun 2004 (Pasal 4) ialah:
1. Menjamin simpanan nasabah penyimpan; dan
2. Turut aktif dalam memelihara stabilitas sistem perbankan sesuai dengan
kewenangannya.
Sedangkan tugas lembaga penjamin simpanan menurut Pasal 5 Undang-
Undang Nomor 24 Tahun 2004 ialah:
a) Merumuskan dan menetapkan kebijakan pelaksanaan penjaminan
simpanan; dan
b) Melaksanakan penjaminan simpanan;
c) Merumuskan dan menetapkan kebijakan dalam rangka turut aktif
memlihara stabilitas sistem perbankan;
d) Merumuskan, menetapkan, dan melaksanakan kebijakan penyelesaian
Bank Gagal (bank resulution) yang tidak berdampak sistemik;
e) Melaksanakan penanganan bank gagal yang berdampak sistemik.
Wewenang lembaga penjamin simpanan menurut Undang-Undang Nomor 24
Tahun 2004 tentang Lembaga Penjamin Simpanan:
Pasal 6 :
a. Menetapkan dan memungut premi jaminan;
b. Menetapkan dan memungut kontribusi pada saat bank pertama kali
menjadi peserta;
c. Melakukan pengelolaan kekayaan dan kewajiban LPS;
30
d. Mendapatkan data simpanan nasabah, data kesehatan bank, laporan
keuangan bank, dan laporan hasil pemeriksaan bank sepanjang tidak
melanggar kerahasiaan bank;
e. Melakukan rekonsiliasi, verifikasi dan/atau konfirmasi atas data
sebagaimana yang dimaksud dalam huruf d;
f. Menetapkan syarat, tata cara, dan ketentuan pembayaran klaim;
g. Menunjuk, menguasakan, dan/atau menugaskan pihak lain untuk bertindak
bagi kepentinggan dan/atau atas nama LPS, guna melaksanakan sebagian
tugas tertentu;
h. Melakukan penyuluhan kepada bank dan masyarakat tentang penjaminan
simpanan; dan
i. Menjatuhkan sanksi administratif.
Lembaga penjamin simpanan (LPS) dapat melakukan penyelesaian dan
penanganan bank gagal dengan kewenangan:
a) Mengambil alih dan menjalankan segala hak dan wewenang pemegang
saham, termasuk hak dan wewenang Rapat Umum Pemegang Saham
(RUPS);
b) Menguasai dan mengelola aset dan kewajiban bank gagal yang
diselamatkan;
c) Meninjau ulang, membatalkan, mengakhiri, dan atau mengubah setiap
kontrak yang mengikat bank gagal yang diselamatkan dengan pihak ketiga
yang merugikan bank;
d) Menjual dan/atau mengalihkan aset bank tanpa persetujuan debitur
dan/atau kewajiban bank tanpa persetujuan kreditur.
Menurut ketentual Pasal 7 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2004 dalam
menjalankan tugas dan wewenangnya, LPS dapat memnita data, informasi, dan
atau dokumen kepada pihak lain. Pasal ini pun menetapkan bahwa setiap pihak
yang dimintai data, informasi, dan atau dokumen wajib memberikannya kepada
Lembaga Penjamin Simpanan (LPS).
31
e. Penjaminan Simpanan Nasabah Dalam Praktek di Indonesia
1) Hubungan Hukum Antara Lembaga Penjamin Simpanan dan Bank
Sebagaimana kita ketahui pada bulan Juli tahun 1997 terjadi gejolak ekonomi
di Indonesia, hal ini ditandai dengan adanya depresiasi nilai tukar rupiah. Nilai
tukar rupiah terus merosot dan melemah terhadap dolar Amerika Serikat (AS),
yang mana nilai tukar rupiah dari Rp 2.665,00 menjadi berkisar Rp 14.000,00 dan
Rp 15.000,00 per dolar AS. Oleh karena melemahnya nilai tukar rupiah,
pemerintah melakukan pengetatan likuiditas atau perderan uang. Sehingga dalam
hal ini menimbulkan krisis kepercayaan masyarakat terhadap perbankan,
terutama saat pemerintah melakukan pencabutan izin usaha 16 bank. Keputusan
likuidasi ini dampaknya sangat buruk yang memicu terjadinya krisis kepercayaan
yang berlanjut dengan terpuruknya sektor perbankan.12
Dengan demikian pemerintah memberikan perlindungan kepada nasabah
yang menyimpan dananya di bank, hal tersebut dapat kita ketahui dengan
dikeluarkannya peraturan perundang-undangan yang mengatur masalah
perlindungan hukum bagi nasabah bank, yaitu Undnag-Undang Nomor 7 Tahun
1992 yang kemudian diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998
tentang Perbankan. Alasan dasar pemerintah untuk mendirikan lembaga penjamin
simpanan (LPS) adalah kepercayaan industri perbankan sangat penting bagi
pertumbuhan ekonomi dan pada sistem perbankan yang diawasi secara baik dapat
meminimalkan terjadinya kebangkrutan bank. Dengan dibentuknya lembaga
penjamin simpanan (LPS) diharapkan dapat lebih menjamin simpanan dana
masyarakat. Dengan adanya LPS yang berperan sebagai penjamin terhadap dana
nasabah bank, maka apabila terdapat bank yang mengalami sulit usaha, kemudian
dicabut izin usahanya dan dilikuidasi, kedudukan dan dana nasabah tetap
terjamin.13
12
www.bi.go.id/NR/rdonlyres/.../sejarahperbankanperiode19971999.pdf, dikunjungi pada tanggal
21 September 2018 pukul 09.41.
13 JURNAL%20LPS/148391-ID-analisis-hukum-peranan-lembaga-penjamin.pdf, dikunjungi pada
tanggal 21 September 2018 pukul 09.55.
32
Sesuai dengan fungsi lembaga penjamin simpanan yaitu menjamin simpanan
nasabah penyimpan yang terdapat dalam Undang-Undang nomor 24 Tahun 2004
tentang Lembaga Penjamin Simpanan merupakan salah satu upaya untuk
memberikan perlindungan dana nasabah yang memiliki peran sebagai berikut:
a) Tahap Penyehatan Bank
Bank dapat ditetapkan dengan status bank dalam penyehatan apabila bank
tersebut dinilai masih memiliki potensi untuk dapat diperbaiki terutama dari aspek
permodalan. Selama proses penyehatan bank oleh BPPN (Badan Penyehatan
Perbankan Nasional), komunikasi dan kerjasama antara Bank Indonesia dengan
BPPN intensif dilakukan terutama yang berkaitan dengan perkembangan indikator
utama kinerja bank, antara lain kinerja permodalan, rasio likuiditas (giro wajib
minimum), non-performing loan, ketentuan prudensial dan indikasi pencapaian
rencana kerja. Apabila kondisi membaik dan program penyehatan telah selesai
dilakukan atau dinyatakan berhasil, maka status bank dalam penyehatan dicabut
dan bank diserahkan kembali kepada Bank Indonesia (BI) untuk dilakukan
pengawasan yang diperlukan.
Sebagaimana ditentukan pada Pasal 37 Ayat (1) Undang-Undang Perbankan,
suatu bank yang mengalami kesulitan dalam usahanya dapat melakukan tindakan-
tindakan guna penyehatan bank, yaitu menyerahkan pengelolaan kepada pihak
lain. Pengelolaan tersebut dapat dilakukan dengan cara melakukan rekapitalisasi
pada saat bank mengalami kesulitan dalam kelangsungan usahanya. Lembaga
penjamin simpanan dapat mengambil alih fungsi direksi bank tersebut. Oleh
karena itu agar tidak bertentangan dengan Undang-Undang Perseroan Terbatas
(PT) yang mengatur tentang kewenangan direksi, kewenangan LPS ini juga
dimuat dalam bentuk Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2004 tentang Lembaga
Penjamin Simpanan. Apabila dari hasil pengelolaan lembaga penjamin simpanan
(LPS), bank tersebut tidak bisa membaik, maka LPS akan memberikan
33
rekomendasi kepada Bank Indonesia (BI) untuk mencabut izin usaha bank
tersebut.14
b) Tahap Likuidasi Bank
Likuidasi bank adalah tindakan penyelesaian seluruh hak dan kewajiban bank
sebagai akibat pencabutan izin usaha pembubaran badan hukum bank. Dengan
demikian likuidasi bank bukanlah sekedar pencabutan izin usaha dan pembubaran
badan hukum bank, tetapi berkaitan dengan proses penyelesaian segala hak dan
kewajiban dari suatu bank yang dicabut izin usahanya. Setelah suatu bank dicabut
izin usahanya, dilanjutkan lagi dengan proses pembubaran badan hukum bank
yang bersangkutan, dan seterusnya dilakukan proses pemberesan berupa
penyelesaian seeluruh hak dan kewajiban (piutang dan utang) bank sebagai akibat
dari pencabutan izin usaha dan pembubaran badan hukum bank tersebut.
Sedangkan di dalam ketentuan Pasal 37 Ayat (2) Undang-Undang Nomor 7
Tahun 1992 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun
1998 serta dalam Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 1999, menetapkan 2
(dua) alasan hukum yang memungkinkan suatu bank dicabut izin usahanya oleh
Bank Indonesia (BI), yaitu apabila menurut penilaian Bank Indonesia:
1) Keadaan suatu bank membahayakan sistem perbankan. Yang dimaksud
dengan kriteria membahayakan sistem perbankan ialah tingkat kesulitan
yang dialami dalam melakukan kegiatan usaha, suatu bank tidak mampu
memenuhi kewajibannya kepada bank lain, sehingga pada gilirannya akan
menimbulkan dampak negatif kepada bank lainnya.15
2) Suatu bank mengalami kesulitan yang membahayakan kelangsungan
usahanya dan tindakan untuk mengatasinya belum cukup untuk mengatasi
kesulitan yang dihadapi oleh bank. Termasuk dalam kriteria bahwa suatu
14
Adrian Sutedi, Aspek Hukum Lembaga Penjamin Simpanan, Sinar Grafika, Jakarta, 2010, Hal.,
16.
15 Penjelasan Pasal 37 Ayat (2) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Atas
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan.
34
bank mengalami kesulitan yang membahayakan kelangsungan usahanya
adalah apabila berdasarkan penilaian dari Bank Indonesia, kondisi usaha
bank semakin memburuk, antara lain ditandain dengam menurunnya
permodalan, likuiditas dan rentabilitas, kualitas aset, serta pengelolaan
bank yang tidak dilakukan berdasarkan prinsip kehati-hatian pada asas
perbankan yang sehat.
2) Penanganan Bank Gagal Bayar oleh Lembaga Penjamin Simpanan
Bank gagal atau failing bank ialah bank yang mengalami kesulitan keuangan
dan membahayakan kelangsungan usahanya serta dinyatakan tidak dapat lagi
disehatkan oleh Lembaga Pengawas Perbankan sesuai dengan kewenangan yang
dimilikinya. Suatu bank disebut sebagai bank gagal dapat dikarenakan ketidak
mampuannya dalam memenuhi kewajibannya kepada para deposannya atau
dengan kata lain tidak dapat membayar atau pemenuhan permintaan dana-dana
lainnya yang masih merupakan bagian dari kewajibannya. Penghentian terhadap
operasional bank gagal mempunyai dua alternatif penyelesaian yakni, yang
pertama bank gagal tersebut dapat dilakukan dilikuidasi tanpa termasuk dalam
skema penjaminan atau yang kedua, bila bank gagal tersebut merupakan bank-
bank yang dipertanggungkan atau disebut sebagai bank tertanggung, maka bank
gagal yang bersangkutan yang berada dalam jaminan pembayaran kewajiban
berdasarkan skema penjaminan oleh lembaga atau badan penjaminan tersebut.
Sedangkan di dalam Pasal 1 angka 3 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2004
tentang Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) ditegaskan bahwa suatu bank disebut
sebagai bank gagal apabila:
a) Bank mengalami kesulitan keuangan;
b) Masalah keuangan yang dialami bank dapat membahayakan usahanya;
c) Bank tidak lagi dapat disehatkan kembali oleh Lembaga Pengawas
Perbankan sesuai dengan kewenangan yang dimilikinya.
Penyelesaian bank gagal diatur dalam Pasal 22 sampai Pasal 42 Undang-
Undang Lembaga Penjamin Simpanan. Berdasarkan peraturan yang berlaku (UU
35
LPS), LPS dapat melakukan tindakan untuk melaksanakan penyelesaian atau
penanganan terhadap bank gagal dengan cara sebagai berikut:
1. Penanganan bank gagal yang tidak berdampak sistemik dilakukan dengan
melakukan penyelamatan atau tidak melakukan penyelamatan;
2. Penanganan bank gagal yang berdampak sistemik dilakukan dengan
melakukan penyelamatan yang mengikutsertakan pemegang saham lama
atau tanpa mengikutsertakan pemegang saham lama.
f. Penjaminan Simpanan di Negara Lain
Menurut Muhammad Djuhmana16
, lembaga penjamin simpanan (Deposit
Insurance) di kalangan perbankan di negara lain sudah lama dikenal. Di Amerika
Serikat telah dikenal sejak tahun 1933 melalui lembaga Federal Deposit
Insurance Corporation (FDIC). Federal Deposit Insurance Corporation ialah
suatu lembaga yang akan mengganti dana yang disimpan oleh nasabah bank yang
dilikuidasi. Dengan memberikan jaminan kepada nasabah penyimpan melalui
FDIC maka dapat dicegah timbulnya bank panic. Hingga saat ini setiap krisis
perbankan selalu diselesaikan melalui FDIC. Federal Deposit Insurance
Corporation didirikan dengan banking Act of 1933 dengan tujuan membantu
menstabilkan sistem perbankan yang pernah mengalami kehancuran akibat
depresi ekonomi pada awal tahun 1930-an.
Thailand melakukan penyelamatan sistem perbankan dengan memberikan
bantuan kepada bank yang bermasalah melalui dana yang dikumpulkan oleh
perbankan (pooling fund) pada akhir tahun 1983 untuk memberikan bantuan
likuiditas kepada bank-bank yang bermasalah dan perusahaan sekuritas.
Pemerintah dan anggota Thai Bankers Association (TBA) mendirikan suatu
Liquddity Fund dengan dana sebesar 5 Miliar Baht. Dana tersebut digunakan
untuk membantu lembaga keuangan yang bermasalah dan dikelola bersama-sama
oleh perwakilan Thai Bankers Association, Kementrian Keuangan, dan Bank of
Thailand (BOT). Pada tahun 1985 ketika kehilangan kepercayaan masyarakat
16
Adrian Sutedi, Op.cit, Hal., 56.
36
terhadap lembaga keuangan makin serius dibentuk The Financial Institution
Development Fund (FIDF).
Di Jerman, asuransi simpanan bagi bank swasta didirikan oleh German Bank
Association untuk meng-offset keuntungan kompetitif yang dimiliki oleh saving
bank yang dimiliki oleh pemerintah. Kelompok saving bank memiliki beberapa
skim asuransi simpanan regional dan skim kompensasi nasional. Cakupan
penjaminan simpanan di Jerman merupakan tertinggi di dunia, baik dalam hal
absolut maupun jika dibandingkan dengan simpanan perkapita. Rata-rata cakupan
penjaminan adalah tiga kali per kapita GDP seluruh skim.
Melihat besarnya manfaat asuransi deposito tersebut dikalangan perbankan
internasional mempunyai keinginan untuk mendirikan asuransi deposito yang
berskala dunia atau World Deposit Insurance Corporation (WDIC).
37
B. HASIL PENELITIAN DAN ANALISA
1. Perkembangan Penjaminan Simpanan di Indonesia
Meskipun Indonesia termasuk terlambat memiliki lembaga penjamin
simpanan (karena baru ada pada 22 September 2005) namun apabila ditelusuri,
ternyata sejak tahun 1973 Indonesia telah memiliki suatu peraturan yaitu
Peraturan Pemerintah Nomor 34 Tahun 1973 tentang Jaminan Simpanan Uang
Pada Bank, yang merupakan amanat dari Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1968
tentang Bank Sentral, yang bertujuan untuk ke arah perbaikan ekonomi rakyat
perlu diadakan penilaian kembali agar terciptanya masyarakat adil dan makmur.
Di dalam penjelasan umum Peraturan Pemerintah Nomor 34 Tahun 1973
diuraikan bahwa kepercayaan masyarakat pada lembaga perbankan, merupakan
syarat mutlak dalam rangka usaha meningkatkan penyimpanan dana-dana dari
masyarakat pada lembaga perbankan serta memperluas lalu lintas pembayaran
giral. Berdasarkan Pasal 4 Ayat 2 Peraturan Pemerintah Nomor 34 Tahun 1973,
nilai simpanan yang dijamin setinggi-tingginya hanya Rp 1.000.000,- (satu juta
rupiah). Dalam hal ini sudah terlihat bahwa berdasarkan Peraturan Pemerintah
Nomor 34 Tahun 1973 sudah menerapkan sistem Limited Guarantee, dimana
batas maksimal penjaminan sudah ditetapkan dalam peraturan tersebut, dan aktor
dalam penjaminan ini adalah Bank Indonesia.
Selanjutnya, atas dasar perkembangan perekonomian dan keuangan, Bank
Indonesia (BI) dengan persetujuan Dewan Moneter dapat merubah batas tertinggi
jumlah simpanan uang yang dijamin dan besarnya premi jaminan.17
Pemerintah
kemudian mengeluarkan kebijakan untuk mengembalikan kepercayaan
masyarakat terhadap institusi perbankan, oleh karena itu kemudian dikeluarkan:
a. Keputusan Presiden Nomor 26 Tahun 1998 tentang Jaminan Terhadap
Kewajiban Pembayaran Bank Umum;
b. Keputusan Presiden Nomor 193 Tahun 1998 tentang Jaminan Terhadap
Kewajiban Pembayaran Bank Perkreditan Rakyat;
17
Pasal 4 Ayat 4, Peraturan Pemerintah Nomor 34 Tahun 1973 tentang Jaminan Simpanan Uang
Pada Bank.
38
c. Keputusan Presiden Nomor 17 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas
Keputusan Presiden Nomor 26 Tahun 1998 Tentang Jaminan Terhadap
Kewajiban Pembayaran Bank Umum;
d. Keputusan Presiden Nomor 95 Tahun 2004 tentang Perubahan Kedua Atas
Keputusan Presiden Nomor 26 Tahun 1998 tentang Jaminan Terhadap
Kewajiban Pembayaran Bank Umum.
Kebijakan lain yang dikeluarkan oleh Pemerintah agar tetap menciptakan rasa
aman bagi nasabah penyimpan serta menjaga stabilitas sistem perbankan.
Kebijakan tersebut adalah program penjaminan perbankan (blanket guarantee).
Adapun blanket guarantee ini adalah instrumen tindakan darurat berupa
pemberian jaminan pembayaran atas kewajiban bank-bank, bersifat sementara dan
biasanya ditetapkan ketika terjadi krisis sistemik pada sektor perbankan.
Blanket Guarantee ini hanya bersifat sementara, karena dalam Blanket
Guarantee memiliki permasalahan yang akan dihadapi oleh perbankan, yaitu
ketidakjelasan tentang siapa yang dilindungi (masyarakat, bankir, ataupun
deposan), pengelolaan bank yang tidak profesional karena tanggung jawab
manajemen bank terlalu rendah, dan resiko kerugian negara akan cenderung
tinggi. Blanket Guarantee memang dapat menimbulkan kembali kepercayaan dari
masyarakat terhadap institusi perbankan, tetapi ruang lingkup Blanket Guarantee
terlalu luas dan dapat menyebabkan kerugian bagi pengelola bank, masyarakat,
dan khususnya dapat merugikan Pemerintah. Karena di dalam sistem Blanket
Guarantee sistem penjaminan simpanan nasabah menggunakan Anggaran
Pendapatan dan Belanja Daerah (APBN) dan di dalam Blanket Guarantee aktor
penjaminnya adalah pihak Pemerintah.
Agar tetap menciptakan rasa aman bagi nasabah, dan untuk mengatasi
masalah Blanket Guarantee yang ruang lingkupnya terlalu luas serta menjaga
stabilitas sistem perbankan, maka perlu untuk mengganti program penjaminan
yang sangat luas lingkupnya dengan sistem penjaminan yang terbatas (Limited
Guarantee). Oleh karena itu kemudian dikeluarkan Undang-Undang Nomor 10
Tahun 1998 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992
tentang Perbankan, guna menghadapi perkembangan perekonomian nasional yang
39
senantiasa bergerak cepat, kompetitif, dan terintegrasi dengan tantangan yang
semakin kompleks serta sistem keuangan yang semakin maju, diperlukan
pembentukan suatu lembaga yang bertujuan untuk menjamin simpanan
masyarakat. Sebagaimana melaksanakan perintah yang tertera dalam Pasal 37
Huruf B Ayat 2 Undang-Undang No 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Atas
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan “Untuk menjamin
simpanan masyarakat pada bank sebagaimana dimaksud dibentuk Lembaga
Penjamin Simpanan” sebagai pelaksana penjaminan dana masyarakat.
Kemudian untuk mendukung sistem perbankan yang sehat dan stabil
diperlukan penyempurnaan terhadap program penjaminan simpanan nasabah
bank. Dalam rangka melaksanakan program penjaminan terhadap simpanan
nasabah bank tersebut perlu dibentuk suatu lembaga yang independen dan diberi
tugas, wewenang untuk melaksanakan program tersebut. Dengan demikian,
berdasarkan Pasal 37 Huruf B Ayat 2 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998,
ditetapkan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2004 tentang Lembaga Penjamin
Simpanan disebutkan tugasnya antara lain melaksanakan penjaminan simpanan,
dan secara aktif menjaga stabilitas perbankan.
Setiap kebijakan Lembaga Penjamin Simpanan selain melindungi nasabah
penyimpan, juga secara tidak langsung memikirkan bagaimana bank tetap berjalan
dan berusaha dengan baik. Supaya tetap stabil dengan berbagai kebijakan, antara
lain kebijakan suku bunga dan kebijakan penjaminan termasuk bagian dari
jejaring pengamanan yang membuat stabilitas institusi perbankan.
Hal ini juga jarang diketahui oleh masyarakat bahwa Lembaga Penjamin
Simpanan berfungsi seperti Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN), yaitu
menyelamatkan bank-bank yang boleh atau memenuhi syarat untuk diselamatkan.
Di dalam Undang-Undang jika ada bank gagal yang berdampak sistemik akan
diselamatkan oleh Lembaga Penjamin Simpanan (LPS). Jadi, peran LPS seperti
Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN). Bank diambil alih terlebih dahulu
oleh LPS, dibereskan, dan disehatkan, setelah sehat dilepas kembali oleh
Lembaga Penjamin Simpanan.
40
Apabila Lembaga Penjamin Simpanan dikaitkan dengan prospek perbankan
ke depan, maka ada beberapa catatan yang perlu dijelaskan.Yang pertama ialah,
keberadaan LPS merupakan jawaban perlunya reformasi sistem penjaminan yang
semula bersifat blanket guarantee menjadi limited guarantee.
Kedua, diperlukannya adanya reformasi dalam proses berpikir bahwa
pembatasan penjaminan simpanan bukan berarti simpanannya menjadi sama
sekali tidak terjamin. Yang terjadi adalah perubahan bentuk penjaminan di mana
semula seluruhnya oleh LPS beralih bebannya menjadi oleh LPS dan bank yang
bersangkutan. Dengan adanya pembatasan penjaminan, diperlukan kiat yang
kreatif agar perbankan tetap dapat dipercaya. Inti kepercayaan itu sendiri akan
bermuara kepada kepercayaan antara pengelola dan pemiliknya.
Ketiga, keberadaan Lembaga Penjamin Simpanan merupakan bagian dari
kelengkapan instrumen pemerintah dalam menciptakan jejaring pengaman
perbankan (banking safety net) sekaligus juga pengamanan sistem keuangan
(financial safety net). Sebagai banking safety net dilakukan melalui program
penjaminan dan penanganan bank gagal, sementara sebagai financial safety net
diwujudkan dalam bentuk pemanfaatan surplus dan akumulasi premi yang
diinvestasikan di Sertifikat Bank Indonesia dan Surat Utang Negara (SUN).
Dengan modal dan akumulasi yang dimiliki memberikan peluang Lembaga
Penjamin Simpanan memainkan peran sebagai pasar surat-surat berharga tersbut.
Keempat, keberadaan LPS dikaitkan dengan prospek perbankan tentunya
sangat terkait dengan fungsi LPS. Dengan adanya Lembaga Penjamin Simpanan,
bank dapat menjadi terlindungi karena semuanya telah menjadi peserta LPS.
Artinya ada jaminan yang jelas dan pasti kepada nasabah simpanan bahwa uang
aman disimpan di bank. Demikian pula halnya apabila terjadi bank yang
bermasalah dan dikategorikan bank gagal, maka telah ada sistem dan
kelembagaan yang menanganinya, yaitu Lembaga Penjamin Simpanan, itu semua
akan memberikan sinyal bahwa bank sebagai industri kepercayaan akan tetap
terjamin.
41
Kelima, memasuki tahun 2006 industri perbankan menghadapi berbagai
turbulensi yang relatif lebih berat dibandingkan awal tahun 2005. Selain ancaman
peningkatan Non-Performing Loan, bank juga masih harus menghadapi berbagai
ketidakpastian baik suku bunga, inflasi, maupun situasi politik. Namun demikian,
tetap ada optimisme yang perlu dijaga mengingat hasil strest test Bank Indonesia
mengindikasikan bahwa dengan Sertifikat Bank Indonesia rate sampai 15 persen
masih dalam kondisi tidak membahayakan. Kalau saja perbankan nasional bisa
mengemaspersaingan yang elegan, sehat, dan transparan, maka dampak negatif
dari persaingan dapat dieliminir.
Keenam, pada akhirnya bank harus mengambil pilihan untuk menjadikan
tahun 2006 sebagai tahun stabilisasi sekaligus instropeksi. Menghadapi era
stabilisasi lebih baik mengutamakan kepentingan jangka panjang berupa going
concern agar persoalan-persoalan jangka pendek dapat diatasi dengan cara adanya
kerelaan bank untuk mengurangi ambisinya dalam pencapaian profitabilitas
(keuntungan).
Sehingga sesuai dengan Pasal 26 Peraturan Lembaga Penjamin Simpanan,
Nomor 1/PLPS/2006 tentang Program Penjaminan Simpanan, saldo yang dijamin
untuk setiap nasabah pada suatu bank adalah:
a. Paling tinggi sebesar Rp 5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah), sejak
tanggal 22 Maret 2006 sampai dengan 21 September 2006;
b. Paling tinggi sebesar Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah), sejak
tanggal 22 September 2006 sampai dengan 21 Maret 2007;
c. Paling tinggi sebesar Rp 100.000.000,00 (seratus juta rupiah), sejak
tanggal 22 Maret 2007 sampai dengan 12 Oktober 2008.
Jumlah simpanan yang dijamin oleh lembaga penjamin simpanan (LPS) dapat
diubah apabila dipenuhi kriteria terjadinya penarikan dana perbankan dalam
jumlah besar secara bersamaan, terjadi inflasi yang cukup besar dalam beberapa
tahun, atau jumlah nasabah yang dijamin seluruh simpanannya menjadi kurang
dari 90% dari jumlah nasabah penyimpan seluruh bank.
42
Perlu diketahui dalam suatu skim penjaminan simpanan, penetapan nilai
simpanan yang dijamin banyak dilakukan dengan didasarkan pada pendapatan per
kapita (International Monetary Fund / IMF merekomendasikan 3-4 kali
pendapatan per kapita) atau dapat juga dengan mempertimbangkan proporsi
jumlah nasabah yang simpanannya dijamin seluruhnya mencapai 90% dari jumlah
rekening. Untuk Indonesia, jumlah simpanan yang dijamin adalah 7.8 kali
pendapatan per kapita, lebih besar daripada yang umumnya ditetapkan, dan
didasarkan pada proporsi jumlah nasabah yang simpanannya dijamin seluruhnya.
Salah satu pertimbangannya adalah karena pendapatan per kapita kita setelah
krisis mengalami penurunan akibat depresi rupiah.18
Ketentuan tentang besaran nilai simpanan yang dijamin Lembaga Penjamin
Simpanan sebagaimana ketentuan di atas mengalami perubahan yang sangat
tinggi, sehubungan dengan telah terjadinya ancaman krisis yang berpotensi
mengakibatkan merosotnya kepercayaan masyarakat terhadap perbankan dan
membahayakan stabilitas sistem keuangan, dipandang perlu untuk menaikkan
besaran nilai simpanan yang dijamin oleh Lembaga Penjamin Simpanan. Sesuai
dengan Pasal 1 Peraturan Pemerintah Nomor 66 Tahun 2008 tentang Besaran
Nilai Simpanan Yang Dijamin Lembaga Penjamin Simpanan, yang menegaskan
bahwa nilai simpanan yang dijamin untuk setiap nasabah pada satu bank yang
semula berdasarkan Pasal 11 ayat (1) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2004
tentang Lembaga Penjamin Simpanan ditetapkan paling banyak Rp
100.000.000,00 (seratus juta rupiah), berdasarkan Peraturan Pemerintah ini diubah
menjadi paling banyak Rp 2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah), ketentuan ini
berlaku sejak 13 Oktober 2008 hingga sekarang. Sehubungan dengan penetapan
nominal yang dijamin oleh LPS, aktor dalam penjaminan tersebut adalah
Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) dan bank yang bersangkutan, dengan cara
menetapkan dan memungut premi penjaminan berdasarkan Pasal 6 Ayat 1 Huruf
A Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2004 tentang Lembaga Penjamin Simpanan.
18
https://www.lps.go.id/siaran-pers/-/asset_publisher/1T0a/content/penjaminan-simpanan-rp-100-
juta, dikunjungi pada tanggal 12 Februari 2019, pukul 20.43.
43
2. Perlindungan Hukum Terhadap Nasabah Penyimpan Dana Dalam
Sistem Perbankan di Indonesia
Sebagaimana diketahui, bahwa Undang-undang Nomor 23 Tahun 1999
tentang Bank Indonesia yang telah beberapa kali diubah, terakhir dengan Undang-
undang Nomor 6 Tahun 2009 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua atas Undang-
Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia Menjadi Undang-Undang,
juga mengamanatkan pembentukan lembaga pengawas sektor jasa keuangan yang
mencakup perbankan, asuransi, dana pensiun, sekuritas, modal ventura dan
perusahaan pembiayaan, serta badan-badan lain yang menyelenggarakan
pengelolaan dana masyarakat. Lembaga pengawasan sektor jasa keuangan
tersebut di atas pada hakikatnya merupakan lembaga bersifat independen dalam
menjalankan tugasnya dan kedudukannya berada di luar pemerintah. Lembaga ini
berkewajiban menyampaikan laporan kepada Badan Pemeriksa Keuangan (BPK)
dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).
Lembaga pengawas sektor jasa keuangan tersebut dikenal dengan nama
Otoritas Jasa Keuangan (selanjutnya disingkat OJK). Undang-Undang Nomor 21
Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan pada dasarnya memuat ketentuan
tentang organisasi dan tata kelola (governance) dari lembaga yang memiliki
otoritas pengaturan dan pengawasan terhadap sektor jasa keuangan.
Berdasarkan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 15 / POJK.03 / 2017
tentang Penetapan Status dan Tindak Lanjut Pengawasan Bank Umum, yang
tertera dalam Pasal 2 Ayat 1, status pengawasan bank ditetapkan oleh Otoritas
Jasa Keuangan (OJK). Selanjutnya Pasal 2 Ayat 2 menjelaskan bahwa
pengawasan bank sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 Ayat 1, terdiri atas
pengawasan normal, pengawasan intensif, atau pengawasan khusus. Pengertian
terkait dengan pengawasan normal, pengawasan intensif, atau pengawasan khusus
adalah19
:
19
https://www.ojk.go.id/id/kanal/perbankan/Pages/Bank-Dalam-Pengawasan-Khusus.aspx,
dikunjungi pada tanggal 21 November 2018, pukul 10.37
44
a) Pengawasan normal, pengawasan ini dilakukan terhadap bank yang
memenuhi kriteria tidak memiliki potensi atau tidak membahayakan
kelangsungan usahanya. Umumnya, frekuensi pengawasan dan
pemantauan kondisi bank dilakukan secara normal sedangkan
pemeriksaan terhadap jenis bank ini dilakukan secara berkala atau
sekurang-kurangnya setahun sekali.
b) Pengawasan intensif, pengawasan ini dilakukan bank yang memenuhi
dan memiliki potensi kesulitan yang dapat membahayakan kelangsungan
usahanya. Langkah-langkah yang dilakukan Bank Indonesia pada bank
dengan status pengawasan intensif, antara lain:
1. Meminta bank untuk melaporkan hal-hal tertentu kepada Bank
Indonesia.
2. Melakukan peningkatan frekuensi pengkinian dan penilaian
rencana kerja dengan penyesuaian terhadap sasaran yang akan
dicapai.
3. Meminta bank untuk menyusun rencana tindakan sesuai dengan
permasalahan yang dihadapi.
4. Menempatkan pengawas dan atau pemeriksa Bank Indonesia
pada bank, apabila diperlukan.
Bagi bank dalam pengawasan intensif yang tidak menghasilkan
perbaikan kondisi keuangan dan manajerial dan berdasarkan analisis
Bank Indonesia diketahui bahwa bank tersebut dapat diklasifikasikan
sebagai bank yang memiliki kesulitan dan dapat membahayakan
kelangsungan usahanya, maka bank tersebut selanjutnya ditetapkan
sebagai bank dengan status pengawasan khusus.
c) Pengawasan khusus, pengawasan terhadap bank yang dinilai mengalami
kesulitan dan membahayakan kelangsungan usahanya. Terhadap bank
dengan status pengawasan khusus ini maka beberapa tindakan Bank
Indonesia yang diambil, antara lain:
45
1. Memerintahkan bank dan atau pemegang saham bank untuk
mengajukan rencana perbaikan permodalan secara tertulis
kepada Bank Indonesia.
2. Memerintahkan bank untuk memenuhi kewajiban melaksanakan
tindakan perbaikan.
3. Memerintahkan bank dan atau pemegang saham bank untuk
melakukan tindakan, antara lain: mengganti dewan komisaris
dan atau direksi bank, melakukan merger atau konsolidasi
dengan bank lain, menjual bank kepada pembeli yang bersedia
mengambil alih seluruh kewajiban bank, menyerahkan
pengelolaan seluruh atau sebagian kegiatan bank kepada pihak
lain.
Selanjutnya, sesuai dengan Pasal 37B Undang-Undang Nomor 10 Tahun
1998 tentang Perubahan Atas undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang
Perbankan, setiap bank wajib menjamin dana masyarakat yang disimpan pada
bank yang bersangkutan. Untuk menjamin simpanan masyarakat pada bank
tersebut dibentuk Lembaga Penjamin Simpanan (LPS). Dengan demikian
perlindungan hukum yang dapat diberikan oleh LPS terhadap nasabah di bank
melalui suatu skim penjaminan, dimana simpanan nasabah dijamin dengan batas
nominal tertentu atau limited guarantee.
Dalam Pasal 12 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2004 tentang Lembaga
Penjamin Simpanan ketentuan tersebut dipertegas dengan menyebutkan bahwa
setiap bank yang melakukan kegiatan usaha di wilayah Negara Republik
Indonesia wajib menjadi peserta penjaminan LPS. Jenis bank tersebut meliputi
bank umum, dan BPR (Bank Perkreditan Rakyat), termasuk bank nasional, bank
campuran, dan bank asing, serta bank konvensional dan bank syariah.
Bank peserta penjaminan meliputi seluruh Bank Umum (termasuk kantor
cabang dari bank yang berkedudukan di luar negeri yang melakukan kegiatan
perbankan dalam wilayah Republik Indonesia) dan Bank Perkreditan Rakyat
(BPR), baik bank konvensional maupun bank berdasarkan prinsip syariah. Kantor
46
cabang dari bank yang berkedudukan di Indonesia yang melakukan kegiatan
perbankan di luar wilayah Republik Indonesia tidak termasuk dalam penjaminan.
Sebagai peserta penjaminan, setiap bank yang melakukan kegiatan usaha di
Indonesia mempunyai kewajiban untuk:
1. Menyerahkan dokumen sebagai berikut:
a) Salinan anggaran dasar dan/atau akta pendirian bank;
b) Salinan dokumen perizinan bank;
c) Surat keterangan dari Lembaga Pengawas Perbankan mengenai
tingkat kesehatan bank;
d) Surat pernyataan dari pemegang saham, pengendali bagi yang
berbadan hukum koperasi, kantor pusat dari cabang bank asing,
direksi dan komisaris.
2. Membayar kontribusi kepesertaan;
3. Membayar premi penjaminan;
4. Menyampaikan laporan secara berkala;
5. Memberikan data, informasi, dan dokumen yang dibutuhkan dalam rangka
penyelenggaraan penjaminan;
6. Menempatkan bukti kepesertaan atau salinannya di dalam kantor bank atau
tempat lainnya, sehingga dapat diketahui dengan mudah oleh masyarakat;
7. Menempatkan pengumuman pada seluruh kantor bank yang dapat
diketahui dengan mudah oleh nasabah mengenai maksimum tingkat bunga
penjaminan yang berlaku yang ditetapkan oleh Lembaga Penjamin
Simpanan.
Nilai simpanan yang dijamin oleh Lembaga Penjamin Simpanan paling tinggi
sebesar Rp 2.000.000.000,- (dua milyar rupiah) per nasabah per bank, dan yang
menjadi aktor penjamin di dalam hal ini adalah pihak LPS dan bank terkait
dengan cara membayar premi. Apabila seorang nasabah mempunyai beberapa
rekening simpanan pada satu bank maka untuk menghitung simpanan yang
dijamin saldo seluruh rekening tersebut dijumlahkan. Lembaga Penjamin
Simpanan (LPS) menjamin seluruh simpanan nasabah bank mulai tanggal 22
September 2005. Adapun nilai simpanan yang dijamin LPS mencakup saldo pada
47
tanggal pencabutan izin usaha bank (Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-
Undang Nomor 3 Tahun 2008 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 24
Tahun 2004 tentang Lembaga Penjamin Simpanan, Undang-Undang Nomor 7
Tahun 2009 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang
Nomor 3 Tahun 2008 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun
2004 tentang Lembaga Penjamin Simpanan Menjadi Undang-Undang, Peraturan
Pemerintah Nomor 66 Tahun 2008 tentang Besaran Nilai Simpanan Yang Dijamin
Lembaga Penjamin Simpanan).
Perlu diketahui, berdasarkan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia
Nomor 25 Tahun 1999 tentang Pencabutan Izin Usaha, Pembubaran dan Likuidasi
Bank yang berwenang untuk melakukan pencabutan izin usaha bank yang terdapat
pada Pasal 4 Ayat 1 ialah pimpinan Bank Indonesia.
Tata cara klaim penjaminan simpanan:
1. Pengajuan Klaim
a) Lembaga Penjamin Simpanan mengumumkan tanggal pengajuan
klaim atas Simpanan yang layak dibayar pada sekurang-kurangnya 2
(dua) surat kabar harian yang berperedaran luas.
b) Pengumuman tanggal pengajuan klaim dilakukan secara bertahap
berdasarkan hasil rekonsiliasi dan verifikasi yang telah diselesaikan,
dengan ketentuan sebagai berikut : pengumuman tahap pertama
dilakukan paling lambat 5 (lima) hari kerja setelah rekonsiliasi dan
verifikasi dimulai, pengumuman tahap terakhir dilakukan paling
lambat 90 (sembilan puluh) hari kerja terhitung sejak izin usaha bank
dicabut.
c) Pengumuman tersebut juga memuat syarat dan tata cara pengajuan
klaim atas simpanan yang layak dibayar.
d) Klaim atas simpanan yang dijamin diajukan oleh nasabah penyimpan
kepada LPS sesuai pengumuman.
e) Pengajuan klaim penjaminan wajib dilakukan nasabah penyimpan
paling lambat 5 (lima) tahun sejak izin usaha bank dicabut.
48
f) Dalam hal nasabah penyimpan tidak mengajukan klaim penjaminan
atas simpanannya, maka hak nasabah penyimpan untuk memperoleh
pembayaran klaim dari LPS menjadi hilang.
g) Nasabah penyimpan yang hilang haknya untuk memperoleh
pembayaran klaim penjaminan dari LPS diperlakukan sama dengan
nasabah penyimpan yang simpanannya tidak dijamin, dan diselesaikan
berdasarkan mekanisme likuidasi.
2. Pembayaran Klaim Penjaminan
Cara pembayaran klaim kepada nassabah penyimpan adalah
sebagai berikut:
a) Pembayaran klaim penjaminan kepada nasabah penyimpan dilakukan
berdasarkan simpanan yang layak dibayar sesuai hasil rekonsiliasi dan
verifikasi.
b) Pembayaran klaim penjaminan yang layak dibayar kepada nasabah
penyimpan dilakukan oleh LPS melalui bank pembayar yang ditunjuk
oleh LPS.
c) Pembayaran klaim atas simpanan yang layak dibayar mulai dilakukan
paling lambat 5 (lima) hari kerja setelah tanggal rekonsiliasi dan
verifikasi dimulai.
d) Dalam hal terdapat nasabah penyimpan yang sebagian dari saldo
rekeningnya tidak dibayarkan oleh LPS karena saldo simpanan
nasabah yang bersangkutan melebihi jumlah maksimum simpanan
yang dijamin, LPS menerbitkan surat keterangan mengenai saldo
rekening yang tidak dibayarkan tersebut.
e) Pembayaran klaim penjaminan atas simpanan yang layak dibayar
dilakukan secara tunai dengan mata uang rupiah dan atau setara tunai,
antara lain dengan mengalihkan rekening nasabah penyimpan tersebut
kepada bank pembayar.
f) Dalam hal klaim penjaminan berupa valuta asing, maka pembayaran
dilakukan dengan menggunakan kurs tengah yang berlaku pada
tanggal pencabutan izin usaha bank tersebut.
49
g) Kurs tengah adalah rata-rata kurs beli dan kurs jual per akhir hari, yang
diumumkan Bank Indonesia (BI).
h) Dalam hal nasabah penyimpan pada saat yang bersamaan mempunyai
kewajiban pembayaran kepada bank yang telah jatuh tempo tetapi
belum dibayar maka pembayaran klaim atas simpanan yang layak
dibayar dapat dilakukan setelah simpanan yang layak dibayar tersebut
terlebih dahulu diperhitungkan (perjumpaan utang/ set off/
kompensasi) dengan kewajiban pembayaran nasabah penyimpan
kepada bank yang telah jatuh tempo tetapi belum dibayar tersebut.
Namun, ketentuan ini tidak berlaku dalam hal kewajiban pembayaran
nasabah penyimpan kepada bank telah dikategorikan macet
berdasarkan peraturan perundang-undangan.
i) LPS dapat menunda pembayaran kepada nasabah penyimpan yang
mempunyai kewajiban pembayaran kepada bank yang belum jatuh
tempi sampai dengan nasabah tersebut melunasi kewajibannya.
c. Klaim Penjaminan yang Tidak Layak Dibayar
a) Klaim penjaminan dinyatakan tidak layak dibayar apabila berdasarkan
hasil rekonsiliasi dan/atau verifikasi: data simpanan nasabah dimaksud
tidak tercatat pada bank, nasabah penyimpan merupakan pihak yang
diuntungkan secara tidak wajar, dan/atau nasabah penyimpan
merupakan pihak yang menyebabkan keadaan bank menjadi tidak
sehat.
b) Simpanan dinyatakan tercatat pada bank apabila: dalam pembukuan
bank terdapat data mengenai simpanan tersebut, antara lain nomor
rekening/bilyet, nama nasabah penyimpan, saldo rekening, serta
informasi lainnya yang lazim berlaku untuk rekening sejenis, dan/atau
terdapat bukti aliran dana yang menunjukkan keberadaan simpanan
tersebut.
c) Nasabah penyimpan dinyatakan sebagai pihak yang diuntungkan
secara tidak wajar, apabila nasabah tersebut memperoleh tingkat bunga
melebihi maksimum tingkat bunga penjaminan yang ditetapkan LPS.
50
d) Suatu pihak dinyatakan termasuk sebagai pihak yang menyebabkan
keadaan bank menjadi tidak sehat sebagaimana dimaksud dalam Pasal
26 huruf c, apabila pihak yang bersangkutan memiliki kewajiban
kepada bank yang dapat dikelompokkan dalam kredit macet
berdasarkan peraturan perundang-undangan dan saldo kewajiban pihak
tersebut lebih besar dari saldo simpanannya.
e) Dalam hal nasabah penyimpan yang simpanannya tidak layak dibayar
merasa dirugikan, maka nasabah dimaksud dapat: mengajukan
keberatan kepada LPS yang didukung dengan bukti nyata dan jelas,
atau melakukan upaya hukum melalui pengadilan.
f) Apabila LPS menerima keberatan nasabah penyimpan atau pengadilan
untuk mengabulkan upaya hukum nasabah penyimpan, Lembaga
Penjamin Simpanan mengubah status simpanan nasabah tersebut
(reklasifikasi/pemecahan suatu transaksi) dari simpanan yang tidak
layak dibayar menjadi simpanan yang layak dibayar.
g) LPS hanya membayar simpanan nasabah sesuai dengan penjaminan
berikut bunga yang wajar sejak simpanan nasabah tersebut ditetapkan
tidak layak dibayar sampai dengan simpanan nasabah dimaksud
dibayarkan oleh LPS.
h) Bunga yang wajar tersebut dihitung menggunakan maksimum tingkat
bunga penjaminan.
i) LPS mengumumkan maksimum tingkat bunga penjaminan setiap
bulan dengan ketentuan: tingkat bunga tersebut berlaku selama 1 (satu)
bulan, dan pengumuman dilakukan paling lambat 2 (dua) hari kerja
sebelum diberlakukan.
a. Rekonsiliasi dan Verifikasi Simpanan yang Dijamin
Apabila Lembaga Pengawas Perbankan mencabut izin usaha bank, Lembaga
Penjamin Simpanan akan segera melakukan rekonsiliasi dan verifikasi terhadap
data nasabah penyimpan berdasarkan data bank per tanggal pencabutan izin usaha
untuk menentukan, simpanan yang layak bayar, dan simpanan yang tidak layak
dibayar.
51
Lembaga Penjamin Simpanan dapat menunjuk, menguasakan, dan/atau
menugaskan pihak lain untuk melakukan rekonsiliasi dan bagi kepentingan
dan/atau atas nama Lembaga Penjamin Simpanan. Rekonsiliasi dan verifikasi
dilakukan secara bertahap berdasarkan rekening yang lebih mudah diverifikasi.
Sedangkan penentuan simpanan yang layak dibayar berdasarkan hasil rekonsiliasi
dan verifikasi diselesaikan paling lambat 90 (sembilan puluh) hari kerja terhitung
sejak izin usaha bank dicabut.
Dalam rangka melakukan rekonsiliasi dan verifikasi, pegawai bank, direksi,
komisaris, dan pemegang saham bank yang dicabut izin usahanya wajib
membantu memberikan segala data dan informasi yang diperlukan Lembaga
Penjamin Simpanan, yaitu:
a) Daftar simpanan nasabah yang tercatat dalam pembukuan bank;
b) Daftar simpanan nasabah yang juga memiliki kewajiban kepada bank
yang telah jatuh tempo dan atau gagal bayar;
c) Daftar tagihan bank kepada nasabah debitur, termasuk yang telah
dihapus bukukan oleh bank;
d) Standard Operating Procedure (SOP) internal bank yang berkenaan
dengan simpanan nasabah;
e) Susunan direksi, komisaris, dan pemegang saham bank;
f) Neraca dan riniciannya;
g) Data dan dokumen pendukung lain yang diperlukan Lembaga
Penjamin Simpanan (LPS).
Rekonsiliasi dan verifikasi dilakukan oleh Lembaga Penjamin Simpanan atau
pihak yang ditunjuk Lembaga Penjamin Simpanan berdasarkan data nasabah
penyimpan dan informasi lain yang diperoleh dari bank yang dicabut izin
usahanya. Dalam hal diperlukan Lembaga Penjamin Simpanan, rekonsiliasi dan
verifikasi dilakukan berdasarkan data dan informasi yang diperoleh dari pihak
lain.
52
b. Dampak Penjaminan Simpanan
Sesuai dengan mandat Pasal 11 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2004
tentang Lembaga Penjamin Simpanan, maka terhitung mulai tanggal 22 Maret
2007 jumlah maksimum simpanan yang dijamin hanya Rp 100.000.000,- per
nasabah/bank. Penerapan kebijakan tersebut didasari pertimbangan bahwa tujuan
dari pendirian sebuah lembaga penjamin (deposit insurance corporation) adalah
untuk melindungi sebagian besar penyimpan.
Pengertian sebagian besar penyimpan dana yang dianut berdasarkan
Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2004 tentang Lembaga Penjamin Simpanan
adalah atas dasar kepemilikan simpanan masyarakat yang terbesar porsinya.
Kepemilikan tersebut di atas adalah berdasarkan jumlah rekening yang ada dalam
sistem perbankan.
Berdasarkan data yang dipublikasikan oleh Lembaga Penjamin Simpanan
jumlah penyimpan yang memiliki simpanan sampai dengan Rp 100.000.000,-
(seratus juta rupiah) adalah 98,26 persen untuk bank umum dan 99,01 persen
untuk Bank Perkreditan Rakyat (BPR). Dengan demikian dapat dikatakan bahwa
penjaminan yang dilakukan oleh Lembaga Penjamin Simpanan telah memenuhi
asas keberpihakan kepada penyimpan terbesar.
Tentu dengan diberlakukannya penjaminan simpanan yang terbatas menjadi
maksimum Rp 100.000.000,- (seratus juta rupiah) memberikan dampak apakah
bagi masyarakat penyimpan maupun kalangan perbankan. Beberapa dampak yang
mungkin terjadi antara lain ialah sebagai berikut.
Pertama, adanya mutasi rekening sebagai bagian dari konsolidasi bagi
penyimpan yang mempunyai beberapa rekening simpanan di suatu bank. Karena
batasan penjaminan adalah per nasabah per bank, maka bagi mereka yang
memiliki lebih daru satu rekening di bank yang sama akan mengkonsolidasikan
simpanannya.
Apabila yang akan ditempuh adalah melakukan pemindahan simpanan, maka
akan ada lalu lintas pemindahan simpanan antar bank. Hal ini tentunya akan
53
menyebabkan adanya pertambahan jumlah rekening pada bank yang akan
berdampak kepada kapasitas sistem teknologi yang dimiliki oleh masing-masing
bank.
Kedua, dengan penjaminan, perlindungan terhadap penyimpan dilakukan oleh
Lembaga Penjamin Simpanan sampai dengan Rp 2.000.000.000,- (dua milyar
rupiah) dan sisanya oleh bank yang bersangkutan. Perbedannya tentu hanya dalam
hal likuiditas penjaminan saja. Bagi simpanan yang dijamin Lembaga Penjamin
Simpanan sangat likuid, karena 10 hari sejak verifikasi terhadap bank dilikuidasi,
Lembaga Penjamin Simpanan sudah harus membayarkan klaim simpanan para
nasabah.
Bagi penyimpan di atas Rp 2.000.000.000,- (dua milyar rupiah) harus
menunggu proses lebih lanjut, yaitu berupa penjualan aset bank yang dilikuidasi.
Penjaminan ini tentunya tidak likuid karena proses penjualan aset memerlukan
waktu. Belum lagi adanya prioritas pembagian dari hasil penjualan aset di mana
bagi nasabah penyimpan menduduki prioritas yang keenam dari tujuh prioritas
pendistribusian hasil penjualan aset.
Moral hazard tersebut dimungkinkan, menginat bagi bank-bank yang
simpanannya didominasi simpanan sampai dengan Rp 2.000.000.000,- (dua
milyar rupiah), sama artinya bahwa penjaminannya adalah blanket guarantee.
Sebagaimana lazimnya sebuah skim blanket guarantee, peluang terjadinya moral
hazard menjadi lebih besar. Logikanya kalau seluruh penyimpannya dijamin
untuk apa banknya dikelola dengan baik, kalau terjadi susuatu akan ada yang
menjamin.
Beberapa dampak di atas tentunya masih bersifat hipotesis. Adapun dampak
yang pasti akan terjadi dengan skim penjaminan maksimum Rp 2.000.000.000,-
(dua milyar rupiah) adalah semakin dituntutnya nasabah semakin hati-hati disatu
pihak dan bank agar selalu sehat di lain pihak.
Adanya nasabah yang semakin hati-hati dan selektif serta bank yang semakin
sehat adalah tujuan utama bagi regulator dan pemerintah dalam mengelola tatanan
perbankan nasional. Hanya dengan pendekatan itulah bank akan semakin
54
dipercaya oleh masyarakat. Oleh sebab itu, kalangan perbankan harus bisa
meyakinkan para nasabahnya agar tetap loyal meskipun skim penjaminannya
terbatas.