BAB II tinjauan kasus

21
BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Definisi Sepsis neonatorum adalah infeksi yang terjadi pada bayi dalam 28 hari pertama setelah kelahiran (Mochtar, 2005). Sepsis neonatal adalah merupakan sindroma klinis dari penyakit sistemik akibat infeksi selama satu bulan pertama kehidupan. Bakteri, virus, jamur, dan protozoa dapat menyebabkan sepsis bayi baru lahir (Depkes, 2007). Sepsis pada BBL adalah infeksi aliran darah yang bersifat invasif dan ditandai dengan ditemukannya bakteri dalam cairan tubuh seperti darah, cairan sumsum tulang atau air kemih. Keadaan ini sering terjadi pada bayi berisiko misalnya BKB, BBLR, Bayi dengan Sindrom Gangguan Napas atau bayi yang lahir dari ibu berisiko. Sepsis neonatal biasanya dibagi dalam dua kelompok yaitu sepsis awitan dini dan awitan lambat. Pada awitan dini, kelainan ditemukan pada hari-hari pertama kehidupan (umur dibawah 3 hari). Infeksi terjadi secara vertical karena penyakit 6

description

sepsi neonaturum

Transcript of BAB II tinjauan kasus

BAB IITINJAUAN PUSTAKA

A. DefinisiSepsis neonatorum adalah infeksi yang terjadi pada bayi dalam 28 hari pertama setelah kelahiran (Mochtar, 2005).Sepsis neonatal adalah merupakan sindroma klinis dari penyakit sistemik akibat infeksi selama satu bulan pertama kehidupan. Bakteri, virus, jamur, dan protozoa dapat menyebabkan sepsis bayi baru lahir (Depkes, 2007).Sepsis pada BBL adalah infeksi aliran darah yang bersifat invasif dan ditandai dengan ditemukannya bakteri dalam cairan tubuh seperti darah, cairan sumsum tulang atau air kemih. Keadaan ini sering terjadi pada bayi berisiko misalnya BKB, BBLR, Bayi dengan Sindrom Gangguan Napas atau bayi yang lahir dari ibu berisiko. Sepsis neonatal biasanya dibagi dalam dua kelompok yaitu sepsis awitan dini dan awitan lambat. Pada awitan dini, kelainan ditemukan pada hari-hari pertama kehidupan (umur dibawah 3 hari). Infeksi terjadi secara vertical karena penyakit ibu atau infeksi yang diderita ibu selama persalinan atau kelahiran. Berlainan dengan kelompok awitan dini, penderita awitan lambat terjadi disebabkan kuman yang berasal dari lingkungan di sekitar bayi setelah hari ke 3 lahir. Proses infeksi semacam ini disebut juga infeksi dengan transmisi horizontal dan termasuk didalamnya infeksi karena kuman nosokomial. Selain perbedaan waktu paparan kuman, kedua bentuk infeksi juga berbeda dalam macam kuman penyebab infeksi. Selanjutnya baik patogenesism gambaran klinis ataupun penatalaksanaan penderita tidak banyak berbeda dan sesuai dengan perjalanan sepsisnya yang dikenal dengan cascade sepsis.Sejak adanya consensus dan American College of Chest Physicians/Society of Critical Care Medicine (ACCP/SCCM) telah timbul berbagai istilah dan defenisi di bidang infeksi.Istilah/defenisi tersebut antara lain:1. Sepsis merupakan sindrom respons inflamasi sistemik (Systemic Inflammatory Respons Syndrome SIRS) yang terjadi sebagai akibat infeksi bakteri, virus, jamur ataupun parasit.2. Sepsis berat adalah keadaan sepsis yang disertai disfungsi organ kardiovaskuler dan gangguan napas akut atau terdapat gangguan dua organ lain (seperti gangguan neurologi, hematologi, urogenital, dan hepatologi).3. Syok sepsis terjadi apabila bayi masih dalam keadaan hipotensi walaupun telah mendapatkan cairan adekuat.4. Sindroma disfungsi multi organ terjadi apabila bayi tidak mampu lagi mempertahakan homeostasis tubuh sehingga terjadi perubahan fungsi dua atau lebih organ tubuh (Aminullah, 2008).

B. Masalah Jenis InfeksiPada masa neonatal berbagai bentuk infeksi dapat terjadi pada bayi. Di Negara yang sedang berkembang macam infeksi yang sering ditemukan berturut-turut infeksi saluran pernapasan akut, infeksi saluran cerna (diare), tetanus neonatal, sepsis, dan meningitis.

Jenis infeksi utama pada masa neonatalJenis infeksiJumlah penderitaAngka kematian kasus (case fatality rate)(%)Jumlah kematian

Infeksi Pernapasan AkutTetanus NeonatalSepsisDiareMeningitis 2.500.000 438.000 750.00025.000.000 126.000

3085404640750.000372.000300.000150.00050.400

Sumber: Asril Aminullah (2008)Selanjutnya dikemukakan bahwa case fatality rate yang tinggi terjadi pada penderita tetanus dan sepsis/meningitis neonatal. Kedua penyakit ini lebih banyak menimbulkan masalah bila dibandingkan dengan penderita infeksi lain.Di Indonesia mortalitas yang disebabkan oleh tetanus neonatorum sudah banyak mengalami perbaikan. Berlainan halnya dengan tetanus, case fatality rate yang tinggi pada penderita sepsis dan meningitis merupakan masalah yang belum terpecahkan sampai saat ini. Permasalahan tersebut dapat terjadi akibat beberapa faktor termasuk diantaranya masalah kuman penyebab, masalah diagnosis ataupun masalah penatalaksanaan dan pencegahan sepsis.

C. Faktor-faktor RisikoBayi baru lahir mendapat infeksi melalui beberapa jalan. Dapat terjadi infeksi transplasental seperti infeksi kongenital virus Rubella, Protozoa toxoplasma, atau Basilus listeria monocytogenes. Yang lebih umum, infeksi didapatkan melalui jalur vertikal, dari ibu selama proses persalinan (Streptokokus grup B atau infeksi kuman gram negatif) atau secara horizontal dari lingkungan atau perawatan setelah persalinan (infeksi Stafilokokus koagulase positif atau negatif). Faktor-faktor yang mempengaruhi kemungkinan infeksi secara umum berasal dari tiga kelompok: faktor maternal, faktor neonatal, dan faktor lingkungan.1. Faktor MaternalStatus sosio-ekonomi ibu, ras, dan latar belakang etnis, semuanya mempengaruhi kecenderungan terjadinya infeksi dengan alasan yang tidak diketahui sepenuhnya. Prematuritas adalah faktor risiko utama untuk sepsis neonatal yang berhubungan terbalik dengan status sosio-ekonomi. Selain itu, ibu yang berstatus sosio-ekonomi rendah mungkin nutrisi dan rumahnya buruk serta tinggal di tempat yang jauh lebih padat dan kondisi yang kurang higienis. Dalam penelitian status sosio-ekonomi di kota New York, bayi kulit hitam lebih banyak mengalami infeksi daripada bayi kulit putih atau hispanik, sehingga menimbulkan pertanyaan tentang pengadaan perawatan prenatal yang ada. Meskipun status sosio-ekonomi rendah dihubungkan dengan kecenderungan peningkatan kolonisasi Streptokokus grup B, wanita keturunan Meksiko-Amerika dengan umur dan status sosio-ekonomi yang sama akan lebih sedikit mengalami pertumbuhan kolonisasi daripada wanita kulit putih atau kulit hitam, sehingga menimbulkan pertanyaan mengenai pentingnya latar belakang etnis. Umur ibu (kurang dari 20 tahun atau lebih 30 tahun), paritas (wanita nullipara atau gravida lebih dari tiga), dan kurangnya perawatan prenatal merupakan faktor-faktor risiko infeksi neonatal.Walaupun tidak diketahui sumbernya, ibu yang mengalami demam sebelum persalinan atau segera setelah persalinan postpartum telah dihubungkan dengan peningkatan risiko sepsis neonatal, seperti halnya bakteriuria pada ibu. Cairan amnion umumnya steril. Sepsis neonatal terjadi kira-kira 1% dari bayi yang dilahirkan oleh wanita dengan ketuban pecah dini (KPD), yaitu pecah lebih dari 24 jam. Dengan adanya tanda-tanda dan gejala korioamnionitis, risiko sepsis dengan KPD meningkat menjadi 3%-8%. Secara klinis, korioamnionitis ditandai dengan demam pada ibu, nyeri uterus, dan cairan amnion purulen atau berbau busuk.Ibu dengan kolonisasi Streptokokus grup B tanpa komplikasi obstetrik lain berkaitan dengan 0,5%-1% neonatus yang menderita sepsis. Akan tetapi, bayi yang terkolonisasi berat setelah lahir lebih mungkin menderita sepsis (5%) dari pada yang terkolonisasi ringan (0,4%). Boyer et el telah menunjukkan bahwa dengan adanya KPD lebih dari 18 jam, bayi yang lahir dari wanita yang terkolonisasi memiliki risiko tujuh kali lebih besar untuk mengalami sepsis neonatal, empat kali lebih besar bila ibu menderita demam (>37,50C), dan tujuh kali lebih besar bila persalinan terjadi pada usia kehamilan kurang 37 minggu.Prosedur yang dilaksanakan selama persalinan juga meningkatkan risiko infeksi pada bayi, termasuk pemeriksaan dan persalinan dengan bantuan forsep. Penggunaan monitor intrauteri bisa merupakan saluran masuk untuk mikroorganisme dan dihubungkan dengan risiko timbulnya virus herpes simpleks.

2. Faktor-faktor NeonatalPada sebuah ulasan kasus infeksi neonatal yang terjadi antara tahun 1985-1988, 43% episode sepsis terdiri dari penyakit dengan onset dini, sedangkan episode dengan onset lambat hanya 4%. Sepsis onset dini 25 kali lebih sering ditemukan pada bayi dengan berat badan kurang dari 1500 gram (32 minggu kehamilan) daripada bayi cukup bulan, dan mortalitas pada bayi kurang bulan mencapai 60% sedangkan bayi cukup bulan hanya 14%. Selebihnya, 53% dari seluruh episode sepsis berasal dari infeksi nosokomial 130 kali lebih sering pada bayi berat lahir sangat rendah dibanding pada bayi-bayi cukup bulan. Mortalitas infeksi nosokomial sebesar 8,3% pada bayi berat lahir sangat rendah dan 0% pada bayi cukup bulan. Bayi kurang bulan (preterm) memiliki pertahanan imunitas yang lebih rendah dibanding bayi cukup bulan (aterm). Defisiensi ini akan menurunkan aktivitas kemotaksis dan menurunkan kemampuan mengopsonisasi mikroorganisme. Sekarang sudah jelas bahwa, prematuritas adalah faktor risiko utama pada sepsis neonatal, untuk onset dini maupun penyakit nosokomial. Berat lahir berperan penting pada terjadinya infeksi neonatus. Studi Collaborative Perinatal Research yang dilakukan oleh National Institute of Health Amerika Serikat melaporkan bahwa Bayi Berat Lahir Rendah (BBLR) mempunyai resiko tinggi terjadi infeksi dibanding bayi lahir lebih 2500 gram. Berat lahir merupakan faktor neonatus terpenting yang memberi kecenderungan pada infeksi.Pada defesiensi imun, bayi cenderung mudah sakit, sehingga sering memerlukan prosedur invasif, mendapat antibiotika spektrum luas, dan memerlukan waktu perawatan di rumah sakit yang lebih lama dengan paparan tambahan terhadap flora rumah sakit yang resisten terhadap antibiotik.Laki-laki dan kehamilan kembar merupakan faktor risiko sepsis neonatal dan harus dipertimbangkan sebagai faktor risiko infeksi untuk setiap bayi. Insiden sepsis pada laki-laki yang empat kali lebih besar dibandingkan dengan bayi perempuan tidak diketahui dengan jelas tetapi telah didokumentasikan lebih dari beberapa dekade ini. Namun ada penelitian yang mengatakan bahwa infeksi neonatus sering terjadi pada bayi laki-laki yaitu 4 kali lebih besar dibanding bayi perempuan karena gen pada kromosom X mempengaruhi fungsi kelenjar timus dan sintesis Ig. Perempuan mempunyai 2 kromosom X, hal ini menyebabkan lebih tahan terhadap infeksi. Peneliti lain melaporkan bahwa rasio lecithin sphingomyelin dan konsentrasi saturated phosphatidylcholine serta kortisol dalam cairan amnion pada kehamilan 28-40 minggu bayi perempuan lebih tinggi dibanding bayi laki-laki.Kelahiran anak kembar pertama berisiko tinggi untuk infeksi asenden daripada yang kedua, tetapi kedua bayi kembar tetap berisiko tinggi untuk infeksi streptokokus grup B dan infeksi lain walaupun sudah dikendalikan untuk prematuritasnya.3. Faktor-faktor LingkunganPemasangan respirator/ventilator/pemasangan pipa endotrakeal, pengambilan darah, fungsi lumbal, dan cairan intravena memudahkan masuknya kuman/ flora bakteri endogen, yang dapat menimbulkan pneumonia dan sepsis.Setelah melalui jalan lahir dan terpapar dengan mikroorganisme pada organ genitourinaria ibu, neonatus kemudian terpapar dengan mikroorganisme pada organ genitourinaria ibu, neonatus kemudian terpapar dengan kuman di ruang perawatan dan di rumah serta pada individu perawatan. Biasanya potongan tali pusat, kulit dan nasofaring akan ditempati oleh organisme dari ruang perawatan dalam beberapa hari. Dalam waktu 1 minggu saluran cerna juga akan ditempati oleh organisme. Di antar bayi yang minum ASI, spesies Lactobacillus dan E. coli ditemukan dalam tinja, sedangkan bayi yang minum susu formula hanya didominasi oleh E. Coli. Di dalam ruang perawatan di mana biasa digunakan antibiotika, setiap neonatus cenderung didiami oleh mikroorganisme yang resisten terhadap antibiotika, walaupun bayi itu tidak diberi antibiotika spectrum luas.Bakteri penyebab infeksi berbeda jenisnya antara satu rumah sakit dengan rumah sakit lain atau antara satu negara dengan negara lain. Disebabkan perbedaan fasilitas pelayanan kesehatan, budaya setempat, pelayanan perawatan, dan pola penggunaan antibiotika. Faktor lain adalah jenis kolonisasi bakteri pada ibu hamil berbeda di setiap negara.Kadang-kadang di ruang perawatan terdapat epidemi penyebaran mikroorganisme yang berasal dari petugas, paling sering akibat kontak tangan. Bayi juga mungkin terinfeksi melalui alat yang terkontaminasi (Klaus & Fanaroff, 1998).

D. Gambaran KlinisPenampilan neonatus dengan sepsis bisa asimtomatik atau mungkin memiliki sejumlah tanda-tanda dan gejala-gejala yang tidak spesifik. Manifestasi klinisnya juga tergantung pada apakah bayi mengalami sepsis onset dini atau onset lambat dan ada tidaknya infeksi lokal, khususnya meningitis.Tanda paling awal infeksi dalam uterus adalah adanya distress janin. Khususnya, pneumonia atau sepsis bisa ditemukan pada 40% bayi bila frekuensi denyut jantung lebih dari 180 kali permenit dan pada 20% bayi dengan denyut jantung160-180 kali/menit dan jarang terjadi pada bayi dengan frekuensi denyut jantung yang lebih rendah. Seorang bayi sepsis dalam uterus mungkin terengah-engah dan kemungkinan besar mengalami aspirasi mekonium. Sebaliknya, bayi kurang dari 35 minggu kehamilan dengan cairan amnion berwarna hijau kemungkinan besar mengalami infeksi Listeria bukannya karena tercampur mekonium. Bayi yang terinfeksi juga sering tidak dapat beradaptasi dengan baik terhadap lingkungan ekstra-uteri dan kemungkinan besar memiliki nilai apgar lebih rendh tanpa etiologi yang jelas.Pada masa postnatal, bayi sepsis bisa mengalami masalah dengan ketidakstabilan temperature, termasuk hipotermia, hipertemia, atau keduanya. Bayi tampak tidak sehat, dan tidak mau minum, letargi dan gelisah. Distress respirasi sering merupakan penemuan awal dan mungkin tampak sianosis, takipnea, grunting, pernapasan cuping hidung, atau retraksi interkostal atau apnea. Sindrom distress respirasi (SDR) mungkin tidak dapat dibedakan dari pneumonia secara klinis atau melalui rontgen dada. Hipertensi pulmonal persisten pada neonatus mungkin terjadi pada bayi dengan infeksi Streptokokus grup B atau penyebab lain dari onset dini. Sepsis akibat Streptokokus grup B juga jarang terlihat berhubungan dengan hernia diafragma sisi kanan atau efusi pleura. Bayi sepsis mungkin mengalami masalah kardiovaskuler, dengan takikardi, bradikardi, perfusi jelek, sianosis atau syok. Distensi abdomen nonspesifik dan menyeluruh, muntah, diare, atau ileus mungkin muncul, tanpa menghiraukan keterlibatan langsung dari traktus gastrointestinal. Mungkin tinjanya juga berdarah.Ikterus muncul pada kira-kira sepertiga bayi sepsis dan biasanya disebabkan hiperbilirubineia direk, tetapi mungkin juga disebabkan oleh hiperbilirubinemia indirek. Urosepsis khususnya dihubungkan dengan ikterus. Hepatomegali (dan kemungkinan kecil splenmegali) dapat ditemukan.Secara neurologis, bayi sepsis bisa letargi atau iritabel. Bayi-bayi tersebut juga bisa mengalami gelisah, hipotonia, dan kejang, bahkan bila tidak ada meningitis sekalipun. Fontanel yang menonjol dan kaku kuduk tidak biasa ditemukan pada neonatus ini.Sepsis neonatal bisa berlanjut menjadi atau berasal dari infeksi lokal beberapa sistem organ. Meningitis merupakan kelanjutan yang paling sering, tetapi pneumonia, infeksi traktus urinarius, otitis dan peritonitis juga terjadi. Bayi dengan penurunan mobilitas ekstremitas atau bengkak dan eritemia di permukaan tulang atau sendi mungkin menderita osteomielitis/osteoartistis. Sendi ekstremitas bawah dapat berisiko pada neonatus yang sakit, kemungkinan akibat sekunder kateter arteri umbilikalis (Klaus & Fanaroff, 1998).

E. PatofisiologiSelama dalam kandungan janin relatif aman terhadap kontaminasi kuman karena terlindung oleh berbagai organ tubuh seperti plasenta, selaput amnion, khorion, dan beberapa faktor anti infeksi pada cairan amnion. Walaupun demikian kemungkinan kontaminasi kuman dapat timbul melalui berbagai jalan yaitu:1. Infeksi kuman, parasit atau virus yang diderita ibu dapat mencapai janin melalui aliran darah menembus barier plasenta dan masuk sirkulasi janin. Keadaan ini ditemukan pada infeksi TORCH, Triponema pallidum atau Listeria.2. Prosedur obstetri yang kurang memperhatikan faktor aseptik/antiseptik misalnya saat pengambilan contoh darah janin, bahan villi khorion atau amniosentesis. Paparan kuman pada cairan amnion saat prosedur dilakukan akan menimbulkan amnionitis dan pada akhirnya terjadi kontaminasi kuman pada janin.3. Pada saat ketuban pecah, paparan kuman yang berasal dari vagina akan lebih berperan dalam infeksi janin. Pada keadaan ini kuman vagina masuk ke dalam rongga uterus dan bayi dapat terkontaminasi kuman pada bayi yang belum lahir akan meningkat apabila ketuban telah pecah lebih dari 18-24 jam.Pasien yang terpapar setelah lahir ini dikelompokkan dalam kelompok pasien sepsis dengan awitan lambat sedang yang sebelumnya dikelompokkan pada kelompok awitan dini. Bila paparan kuman pada kedua kelompok ini berlanjut dan memasuki aliran darah maka akan terjadi respons tubuh yang berupaya untuk mengeluarkan kuman dari tubuh. Berbagai reaksi tubuh yang terjadi akan memperlihatkan pula bermacam gambaran gejala klinis pada pasien. Tergantung dari perjalanan penyakit, gambaran klinis yang terlihat akan berbeda, karenanya penatalaksaan penderita selain pemberian antibiotik, harus memperhatikan pula gangguan fungsi organ yang timbul akibat beratnya penyakit (Aminullah, 2008). F. PengelolaanPada bayi manapun yang dicurigai sepsis, terapi antimikroba harus segera diberikan setelah evaluasi diagnostik lengkap. Progres penyakit terlalu cepat untuk menunggu konfirmasi dari kultur darah atau lainnya. Jika bayi tidak stabil atau dalam keadaan yang tidak menguntungkan untuk melakukan fungsi lumbal, antibiotik harus diberikan setelah didapatkan kultur darah dan fungsi lumbal harus dilakukan pada waktu dan tempat yang lebih tepat. Pada sepsis nosokomial, antibiotik harus dapat mengatasi Stafilokokus dan Basilus gram negatif, termasuk Pseudomonas. Menilai kembali kerentanan mikroorganisme yang diisolasi dari kultur sangat penting demikian pula dengan penyesuaian pengobatannya. Kebanyakan lama terapi paling sedikit adalah 10-14 hari untuk sepsis, 21 hari untuk meningitis, dan lebih lama untuk osteomielitis. Infiltrat yang menetap pada gambaran radiografik dada tanpa kultur yang positif pada 72 jam maka keputusan perawatan sepsis neonatal lebih lanjur biasanya dibuat secara klinik.

G. Profilaksis LingkunganKondisi lingkungan dan prosedur invasif yang diberikan pada neonatus merupakan predisposisi sepsis yang sangat penting. Tindakan-tindakan yang meningkatkan koloni bakteri non-patogen sambil mencegah koloni bakteri patogen pada bayi baru lahir merupakan kepentingan utama. Kolonisasi dimulai dari umbilicus, kulit, dan kemudian menyebar ke nasofaring, mata, dan traktus gastrointestinal. Semakin cepat kolonisasi berjalan, semakin besar kemungkinan terjadinya penyakit invasif, khususnya jika bayi terkolonisasi oleh kuman yang diperoleh dari ruang perawatan, serta jumlah yang resisten antibiotik sudah berlipat ganda.Penilaian harus dilakukan dalam memilih prosedur invasif yang diperlukan bayi dan dalam membatasi lama paparan pada bayi tersebut. Lama pemberian nutrisi parenteral total dan emulsi lemak IV melalui kateter sentral harus diperhatikan.Meskipun tidak didapat uji control yang mendukung manfaat pencegahan infesi, air susu ibu dapat memberikan keuntungan daripada minum susu botol. Hal ini benar adanya, khususnya di Negara yang masih terbelakang.

H. Immunoglobulin IntravenaBerbagai percobaan dilakukan terus menerus mengenai penggunaan immunoglobulin intravena sebagai profilaksis infeksi pada bayi berat lahir sangat rendah. Bayi-bayi ini mengalami hipomaglobulinemia pada saat lahir dan konsentrasi serum selama awal bulan kehidupan menurun. Diduga, hipomagobulinemia ini adalah penyebab utama kenaikan kerentanan bayi terhadap sepsis dan bahwa IGIV dapat berperan sebagai profilaksis terhadap bayi-bayi ini.

I. ImunisasiKelahiran kurang bulan tentu saja tidak dapat melindungi bayi dari paparan sakit yang besar pada masa kanak-kanak. Vaksinasi rutin pada masa kanak-kanak seharusnya tidak diabaikan melihat banyaknya masalah-masalah lain yang dialami oleh bayi berat lahir sangat rendah. Akhir-akhir ini, terdapat data yang mendukung kemampuan bayi kurang bulan untuk membentuk respons serologi terhadap imunisasi difteria-pertusis-tetanus (DPT) pada umur 8 minggu.

6